TUNNELINGSEBAGAI INSENTIF DARI MANAJEMEN LABA MELALUI TRANSAKSI PIHAK BERELASI DI SEKITAR PENAWARAN SAHAM PERDANA
Ayu Suryandari Mi Mitha Dwi Restuti
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana
Abstract
This study aimed to examine the influence of related party transaction by related party receivable transaction (RPT Receivable), related party payable transaction (RPT Payable) on earnings management is proxied by ROA in the period before initial public offering (IPO). Such actions can also be an opportunity to perform tunneling as measured by net outstanding corporate loans to the year-end total assets (NOREC) are seen through the performance of the company's shares using buy-and-hold returns in the period after initial public offering (IPO). By using the control variable is a non-related party transactions receivables, debt, firm size, and market returns. Samples of this study was 32 firms from non-financial firms that conduct IPO s in the Indonesia Stocked Exchange in 2007 to 2011. The results of this study in Indonesia indicate that earnings management and tunneling does not occur through related party transactions. But the loan transactions between related parties after the IPO is viewed by investors as opportunistic actions that degrade the performance of the company's shares after the IPO.
Keyword:Related party transaction, earnings management, IPO, and tunneling.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh transaksi pihak berelasi melalui transaksi piutang pihak berelasi (RPT Piutang), transaksi hutang pihak berelasi (RPT Hutang) terhadap manajemen laba yang diproksikan dengan ROA pada periode sebelum penawaran saham perdana (IPO). Tindakan tersebut juga dapat menjadi kesempatan untuk melakukan tunneling yang diukur dengan net outstanding corporate loans to year-end total assets (NOREC) yang dilihat melalui kinerja saham perusahaan menggunakan buy-and-hold return pada periode setelah penawaran saham perdana (IPO). Dengan menggunakan variabel kontrol yaitu transaksi piutang non pihak istimewa,debt, ukuran perusahaan, danmarket return. Penelitian ini menggunakan 32 sampel dari perusahaan non-keuangan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007 sampai tahun 2011. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa di Indonesia manajemen laba dan tunneling tidak terjadi melalui transaksi pihak berelasi. Namun transaksi pinjaman antar pihak hubungan berelasi setelah IPO dipandang oleh investor sebagai tindakan yang oportunistik sehingga menurunkan kinerja saham perusahaan setelah IPO.
Kata kunci:Transaksi pihak istimewa, manajemen laba, IPO, dantunneling.
PENDAHULUAN
Perkembangan pasar modal Indonesia yang pesat menyebabkan munculnya banyak investor maupun perusahaan publik baru. Dalam proses Initial Public Offering (IPO) atau penawaran saham perdana disyaratkan penerbitan suatu prospektus, yang diharapkan
informasi yang dimiliki para investor mengharuskan mereka untuk mengandalkan laporan keuangan yang ada untuk melakukan penilaian atas kinerja saham sebelum IPO dan juga menilai kemungkinan terjadinya manajemen laba. Manajemen laba adalah tindakan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu standar
tertentu dengan tujuan memaksimalkan
kesejahteraan dan atau nilai pasar perusahaan (Scott, 1997). Manajer dapat menyusun laporan keuangan dengan memilih metode akuntansi atau akrual yang akan meningkatkan laba, dan laba yang tinggi diharapkan akan dihargai tinggi oleh investor berupa harga penawaran yang tinggi (Assih et al., 2005).
Dalam Irawan dan Gumanti (2009), Barth et al., (1999) meneliti hubungan antara laba perusahaan sebelum go pubic dan harga saham. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga saham akan lebih tinggi jika dimiliki oleh perusahaan yang memiliki keuntungan yang konsisten dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki laba yang tidak konsisten. Hasil penelitian ini mampu menjelaskan kenapa manajer menggunakan metode akuntansi tertentu untuk menilai besaran laba perusahaan pada periode menjelanggo public, dan tindakan ini lebih dikenal sebagai earning management. Dengan asumsi demikian, diperkirakan bahwa praktik manajemen laba yang dilakukan pada saat IPO dimaksudkan untuk mendongkrak harga saham perdana.
Manajemen laba salah satunya dapat dilakukan melalui transaksi pihak-pihak berelasi (Related party transaction - RPT), dalam hal ini hubungan antara induk dan anak perusahaan (McKay, 2002). RPT dapat menyebabkan perpindahan laba dari perusahaan anak ke induk (Cheung et al., 2006). Contoh, Coca-Cola pernah memanfaatkan RPT dengan mempengaruhi pihak pembuat botolnya untuk membebankan harga botol yang lebih rendah agar Harga Pokok Penjualan Coca-Cola turun dan laba Coca-Cola meningkat (McKay, 2002). Penelitian Geriesh (2003) juga menemukan bahwa perusahaan yang terlibat dalam kecurangan akuntansi lebih banyak melibatkan RPT.
Melihat lebih jauh lagi, RPT dapat memunculkan motif oportunistik baru yaitu
tunneling. Menurut Johnson et al. (2000) tunneling adalah pengalihan keluar aset dan keuntungan dari anak perusahaan untuk kepentingan induk perusahaan yang berdampak pada ekspropriasi pemegang saham non-pengendali. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa perusahaan induk di Cina melakukannya dengan cara tidak membayar hutang kepada anak perusahaan yang IPO, yang berdampak pada buruknya kinerja anak perusahaan (Aharony et al., 2010). Selain itu Cheung et al. (2006) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pinjaman
perusahaan cenderung mengakibatkan
ekspropriasi hak pemegang saham non-pengendali, yang diukur menggunakan cummulative abnormal market-adjusted returns (CAR). Penelitian mereka juga berhasil menafsirkan bahwa transaksi tersebut merupakan bukti tunneling oleh pemegang saham mayoritas dan merupakan RPT yang tidak didasarkan pada alasan ekonomi. Pemahaman ini menjadi penting karena dalam Teoh et al. (1998) dibuktikan bahwa investor tidak dapat mendeteksi hasil rekayasa pada saat IPO. Akibatnya, terjadi kesalahan pengambilan keputusan investasi oleh investor.
atau pembelian kepada pihak berelasi (Jian dan Wong, 2003). Chang (2002) juga memaparkan bahwa adanya transaksi penjualan atau pembelian kepada pihak berelasi yang menimbulkan piutang atau hutang pihak berelasi tersebut, dapat
digunakan untuk melakukan earnings
management.
Secara spesifik maka tujuan dan permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Mengetahui pengaruh antara RPT dengan keberadaan manajemen laba pada periode sebelum IPO, sehingga dapat diketahui apakah RPT tersebut dilakukan sebagai sarana dalam manajemen laba pada periode sebelum IPO. (2) Mengetahui pengaruh RPT pada periode sebelum IPO dan pinjaman kepada pihak berelasi pada periode setelah IPO dengan kinerja saham perusahaan setelah IPO, sehingga dapat diketahui apakah RPT dan pinjaman tersebut berpengaruh negatif dengan kinerja saham perusahaan setelah IPO.
KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Tunneling
Istilah "tunneling" awalnya digunakan untuk menggambarkan kondisi ekspropriasi pemegang saham non-pengendali di Republik Ceko melalui pengalihan aset dan keuntungan dari perusahaan demi kepentingan pemegang saham pengendali (Guing dan Aria, 2011). Menurut Johnson et al., (2000) tunnelingadalah pengalihan keluar aset dan keuntungan dari anak perusahaan untuk kepentingan induk perusahaan yang berdampak pada ekspropriasi pemegang saham non-pengendali.
Tunneling merupakan perilaku manajemen atau pemegang saham mayoritas yang mentransfer aset dan profit perusahaan untuk kepentingan mereka sendiri, namun biaya dibebankan kepada pemegang saham minoritas (Zhang, 2004 dalam Mutamimah, 2008). Sansing (1999) menunjukkan bahwa pemegang saham mayoritas dapat mentransfer kekayaan untuk dirinya sendiri dengan mengorbankan hak para pemilik minoritas, dan terjadi penurunan pengalihan kekayaan ketika persentase kepemilikan pemegang saham mayoritas menurun.
Tunneling muncul dalam dua bentuk. Pertama, peran pemegang saham pengendali dalam memindahkan sumber daya perusahaan untuk kepentingannya sendiri melalui transaksi pihak berelasi yang diatur sedemikian rupa. Kedua, pemegang saham pengendali dapat meningkatkan porsi sahamnya tanpa memberikan kontribusi aset apapun bagi perusahaan melalui isu-isu saham dilutif, pembatasan terhadap pemegang saham non-pengendali, atau transaksi lainnya yang merugikan kelompok non-pengendali (Johnson et al., 2000).
Tunneling dapat juga dilakukan dengan cara menjual produk perusahaan kepada perusahaan yang memiliki hubungan dengan manajer dengan harga yang lebih rendah dibandingkan mempertahankan posisi/ jabatan pekerjaannya meskipun mereka sudah tidak kompeten atau berkualitas lagi dalam menjalankan usahanya atau menjual aset perusahaan kepada perusahaan yang memiliki hubungan dengan manajer (Dwinanto, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Johnson et al., (2000) dan Cheung (2006) terbukti bahwa di negara berkembang, pemilik saham mayoritas terlibat dalam praktek ekspropriasi atau tunneling yang dilakukan terhadap pemegang saham minoritas.
Manajemen Laba
Salah satu ukuran kinerja perusahaan yang sering digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan bisnis adalah laba yang dihasilkan perusahaan. Informasi laba merupakan unsur dalam laporan keuangan yang penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena memiliki nilai prediktif. Berdasarkan hal tersebut membuat pihak manajemen berusaha untuk melakukan manajemen laba agar kinerja perusahaan tampak baik oleh pihak eksternal.
manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri. Earnings management merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan.
Terdapat dua cara pandang dalam memahami manajemen laba menurut Scott (2000) dalam Rahmawati et al., (2006) yaitu: Pertama, memandang sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utulitias manajemen (opportunistic behavior). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (efficient earnings management), manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga sehingga dapat menguntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Scott (2000) dalam Rahmawati et al., (2006) juga mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mendorong manajer melakukan manajemen laba, diantaranya:
1. Bonus Purpose
Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara opportunistic untuk melakukan laba dengan memaksimalkan laba saat ini (Healy, 1985). 2. Motivasi Politik (Political Motivation)
Manajemen laba dilakukan oleh perusahaan agar mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
3. Motivasi Pajak (Taxation Motivation)
Perusahaan yang mendapatkan laba lebih tinggi akan membayar pajak yang tinggi pula. Akan tetapi, manajer perusahaan akan melakukan rekayasa agar laba yang dilaporkan tidak seperti yang sebenarnya, sehingga pajak yang dibayarkan tidak terlalu tinggi. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan. Motivasi inilah yang mendasari praktik manajemen laba. 4. PerubahanChief Executive Officer(CEO)
CEO perusahaan yang akan habis masa jabatannya atau mendekati masa pensiun akan berusahaan menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus yang diterimanya dan jika
kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.
5. Penawaran Saham Perdana (IPO)
Pada perusahaan yang akan go public tetapi belum memiliki harga pasar sehingga perlu menetapkan nilai saham yang akan ditawarkan. Hal ini mengakibatkan manajer perusahaan yang go public melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas saham. Dengan menaikkan laba perusahaan
akan mempengaruhi investor dalam
pengambilan keputusan investasi.
6. Pentingnya Memberi Informasi Kepada Investor
Kinerja perusahaan akan diinformasikan kepada investor sehingga pelaporan laba harus disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut berada dalam kinerja yang baik.
Transaksi Dengan Pihak-Pihak Berelasi
Di Indonesia, pengungkapan transaksi dengan pihak-pihak yang berelasi diatur dalam PSAK No.7 (R2010) mengenai Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi , pihak-pihak berelasi adalah orang atau entitas yang terkait dengan entitas yang menyiapkan laporan keuangannya (dalam Pernyataan ini dirujuk sebagai entitas pelapor ). Transaksi pihak berelasi adalah suatu pengalihan sumber daya, jasa atau kewajiban antara entitas pelapor dengan pihak-pihak berelasi, terlepas apakah ada harga yang dibebankan.
Berikut ini adalah contoh transaksi yang diungkapkan jika pihak tersebut adalah pihak berelasi:
a) Pembelian atau penjualan barang (barang jadi atau setengah jadi)
b) Pembelian atau penjualan properti dan aset lainnya
c) Penyediaan atau penerimaan jasa d) Sewa
e) Pengalihan riset dan pengembangan f) Pengalihan di bawah perjanjian lisensi
i) Komitmen untuk berbuat sesuatu jika peristiwa khusus terjadi atau tidak terjadi dimasa depan, termasuk kontrak eksekutori* (diakui atau tidak diakui)
j) Penyelesaian liabilitas atas nama entitas atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Dalam penelitian Cheung, Rau dan Stouraitis (2006) yang melihat pengaruh pengumuman transaksi pihak berelasi terhadap abnormal stock return, membagi sifat RPT menjadi tiga kelompok yang tidak semuanya merugikan, yaitu (1) transaksi yang apriori menyebabkan ekspropriasi pemegang saham minoritas perusahaan, antara lain akuisisi aset, penjualan aset, penjualan ekuitas, hubungan perdagangan, dan pembayaran tunai; (2) transaksi yang cenderung menguntungkan pemegang saham minoritas, seperti penerimaan kas dan hubungan antara anak perusahaan; dan (3) transaksi dengan alasan strategis dan mungkin tidak bersifat ekspropriasi, seperti takeover dan joint venture, akuisisi joint venture, dan penjualan antara sesama joint venture.
Ryngaert dan Thomas (2007) membagi RPT ke dalam dua kategori yaitu transaksi ex-ante dan ex-post. Transaksi ex-ante didefinisikan sebagai transaksi dimana suatu perusahaan dan related party melakukan transaksi sebelum perusahaan tersebut menjadi perusahaan publik atau sebelum tertentu menjadi related party dengan perusahaan. Sedangkan, transaksi ex-post adalah transaksi yang muncul setelah perusahaan go public dan setelah suatu pihak memiliki hubungan khusus dengan perusahaan. Jenis transaksi ini cenderung merugikan outside shareholder. Transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa (RPT) memiliki dua hipotesis yang bertolak belakang yaitu sebagai transaksi opportunis atau sebagai transaksi yang efisien.
Tunnelingsebagai Insentif Manajemen Laba
Jian dan Wong (2003) meneliti penggunaan RPT sebagai sarana praktik manajemen laba dan tunneling pada perusahaan di Cina. Mereka menemukan bahwa perusahaan yang masih tergabung dalam satu konglomerasi cenderung melaporkan nilai RPT yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang tidak memiliki
konglomerasi. Selain itu dapat dibuktikan juga
bahwa RPT tersebut digunakan untuk
memanipulasi laba dalam rangka memenuhi syarat agar bisa sukses melakukan IPO. Ketika perusahaan IPO tersebut telah menghasilkan aliran dana yang cukup, cenderung terjadi pengalihan sumber daya tersebut kepada perusahaan afiliasinya dalam bentuk pinjaman lunak. Sedangkan ketika dilihat pengaruhnya terhadap kinerja saham, ditemukan bahwa transaksi antara afiliasi tersebut lebih mengarah kepada tindakan oportunistik dibandingkan tindakan yang efisien.
Senada dengan Jian dan Wong, Aharony et al. (2010) juga menemukan penggunaan RPT sebagai sarana manajemen laba menjelang IPO dan lebih jauh juga membuktikan bahwa perilaku tersebut muncul karena adanya kesempatan untuk melakukan praktik tunneling pada masa setelah IPO. Tunneling biasanya dilakukan dalam bentuk pinjaman dari perusahaan IPO kepada induk perusahaannya, eksploitasi sumber daya dilakukan dengan tidak melunasi pinjaman tersebut yang berakibat pada buruknya kinerja keuangan perusahaan IPO.
Manajemen Laba dan Kinerja Perusahaan Pasca-IPO
Theo et al., (1998) meneliti hubungan manajemen laba dengan penurunan kinerja jangka panjang perusahaan dan mengungkapkan bahwa perusahaan yang melaporkan positif akrual pada saat IPO, setelah 3 tahun pasca IPO perusahaan tersebut mengalami kinerja saham yang buruk dan semakin besar (agresif) akrual diskresioner yang dimiliki perusahaan akan semakin buruk pula kinerja saham jangka panjang yang dialami perusahaan. Temuan Jain dan Kini (1994) juga menyebutkan bahwa akan terjadi penurunan kinerja laba (underperformance) pasca penawaran, meskipun ada pertumbuhan penjualan dan pengeluaran modal yang tinggi.
periode-periode setelah penawaran publik perdana. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen laba yang dilakukan manajemen pada periode sebelum IPO adalah sebuah tindakan yang sifatnya
oportunistik dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan melalui kinerja perusahaan pasca-IPO.
Rumusan Hipotesis
Penelitian ini berfokus pada tiga jenis RPT: (1) piutang oleh perusahaan IPO kepada perusahaan pihak berelasi (RPT Piutang), (2) hutang oleh perusahaan IPO dari perusahaan pihak berelasi (RPT Hutang), (3) selisih saldo akhir akun piutang dan hutang lain-lain dengan pihak berelasi yang tercatat pada perusahaan IPO (Net Outstanding Corporate Loans).
Manajemen Laba Melalui Transaksi Pihak Berelasi dalam proses IPO
Manajemen laba dapat digambarkan sebagai perilaku manajemen dalam memilih kebijakan akuntansi tertentu, atau melalui penerapan aktivitas tertentu, yang bertujuan mempengaruhi laba untuk mencapai sebuah tujuan spesifik (Scott, 2009). Salah satu motivasi yang dapat menjadi pemicu munculnya manajemen laba adalah motivasi untuk memanfaatkan kegiatan Initial Public Offering (IPO) sebagai sebuah kondisi asimetri informasi dalam rangka mendapatkan harga saham perdana yang tinggi (Scott, 2009). Investor memiliki informasi yang relatif terbatas tentang perusahaan yang akan melakukan IPO. Dengan demikian mereka hanya akan merujuk pada prospektus yang merupakan informasi utama tentang perusahaan di pasar. Sejalan dengan temuan Barth et al. (1999) pemilik perusahaan akan berupaya menaikkan atau menjaga tingkat keuntungan perusahaan guna memaksimalkan harga penawaran. Karena harga penawaran yang tinggi akan berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan issuer.
Jian dan Wong (2003) menemukan bahwa
transaksi dengan pihak berelasi (RPT)
menunjukkan kecenderung opportunis. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tingginya tingkat penjualan dengan RPT, terutama kepada pemegang saham kendali dan anggota lain perusahaan dalam
grup, ketika perusahaan memiliki insentif untuk memanipulasi laba (menjelang di delisted atau menjelang penerbitan saham baru).
Aharony et al. (2010) dalam penelitiannya di China berhasil membuktikan bahwa transaksi RPT menjadi salah satu sarana manajemen laba menjelang proses IPO. RP Sales dan RP Purchases diperkirakan menjadi faktor utama dalam pengaturan laba menjelang IPO, dengan cara memperbesar tingkat penjualan dan memperkecil biaya pembelian sehingga akan membentuk laba yang besar dan pada akhirnya akan meningkatkan besarnya dana yang diterima perusahaan sehubungan dengan proses IPO.
Dalam penelitian ini menggunakan transaksi RPT Piutang dan RPT Hutang yang timbul karena adanya transaksi penjualan dan pembelian. Ketika tingkat penjualan kepada pihak berelasi meningkat maka akan mempengaruhi besarnya laba dalam Laporan Laba Rugi, dan peningkatan piutang akan memperbesar nilai asset perusahaan dalam Neraca sehingga laba dalam Laporan Laba Rugi dan Neraca akan terpengaruh menjadi lebih besar. Sedangkan, ketika pembelian kepada pihak berelasi dilakukan maka besarnya harga beli dapat diatur sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tersebut. Saat perusahaan menetapkan menggunakan harga beli lebih rendah maka hutang yang dimiliki perusahaan juga akan semakin kecil, beban bunga hutang lebih rendah dan HPP yang tercatat juga lebih rendah. Saat beban bunga dan HPP rendah, maka laba akan terpengaruh (laba akan meningkat). Kemudian, dalam penelitian ini dimasukkan beberapa variabel untuk mengontrol Return on Assets sebagai indikator dalam mendeteksi manajemen laba. Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H1a: Kenaikan transaksi RPT Piutang pada periode sebelum IPO berpengaruh positif terhadap manajemen laba yang dilakukan perusahaan pada periode sebelum IPO. H1b: Kenaikan transaksi RPT Hutang pada
Manajemen laba dan tunneling terhadap kinerja saham di pasar modal setelah proses IPO
Praktik manajemen laba menjelang IPO cenderung menaikkan labanya dengan cara menggeser pendapatan masa depan menjadi
pendapatan sekarang. Akibatnya, laba
perusahaan pada tahun berikutnya akan cenderung turun karena pendapatan pada tahun tersebut telah diakui tahun sebelumnya. Bahkan penurunan kinerja laba akan tetap terjadi meskipun terdapat pertumbuhan penjualan dan pengeluaran modal yang tinggi setelah IPO (Ritter, 1991).
Jika manajemen laba yang dilakukan sebelum IPO adalah sebuah tindakan oportunistik untuk mencapai tujuan tertentu, maka secara teoritis perusahaan tidak akan mampu mempertahankan kinerja perusahaan pasca-IPO. Beberapa peneliti terdahulu berhasil membuktikan adanya hubungan negatif yang signifikan antara manajemen laba sebelum IPO dengan kinerja perusahaan pasca-IPO. Teoh et al. (1998) menemukan perusahaan yang secara lebih agresif melakukan manajemen laba sebelum IPO akan mengalami penurunan nilai rata-rata return saham yang lebih buruk daripada perusahaan yang konservatif. Sementara itu Assih et al. (2005) menemukan bahwa ROA perusahaan pasca-IPO akan menurun pada perusahaan-perusahaan yang melakukan manajemen laba menjelang IPO.
Selain itu dalam penelitian Aharony et al. (2010) terbukti bahwa terjadi praktek tunneling pada periode setelah IPO, sebagai insentif manajemen laba. Tunneling ini diukur melalui Net Outstanding Corporate Loans. Praktek tunneling yang terjadi dapat dilihat dari perilaku perusahaan IPO yang memberikan pinjaman yang tidak dilunasi kepada pihak berelasi untuk kemudian dimanfaatkan oleh para pemegang saham pengendali.
Semakin agresif praktek manajemen laba dan tunneling, para pemegang saham non pengendali akan semakin dirugikan. Hal ini akan terlihat dari kinerja saham perusahaan yang menurun pada periode setelah IPO. Sesuai dengan Gul et al. (2003) yang menemukan jika manajeman laba dilakukan dengan motivasi yang
buruk, maka dalam jangka panjang kinerja aktual perusahaan akan menurun, dan para investor akan semakin tidak percaya kepada perusahaan yang berakibat pada turunnya kinerja saham perusahaan. Aharony et al. (2010) juga menemukan bahwa tunneling atau eksploitasi sumber daya akan berakibat pada buruknya kinerja keuangan perusahaan yang baru terdaftar itu. Untuk mendeteksi hal ini, dimasukkan juga faktor return pasar satu hari setelah IPO sebagai pengontrol kondisi pasar saat itu. Berikut adalah hipotesisnya:
H2a: Kenaikan transaksi RPT Piutang pada periode sebelum IPO berpengaruh negatif
terhadap kinerja saham perusahaan setelah IPO. H2b: Kenaikan transaksi RPT Hutang pada periode sebelum IPO berpengaruh positif
terhadap kinerja saham perusahaan setelah IPO. H2c: Kenaikan Net Outstanding Corporate Loans pada periode setelah IPO berpengaruh negatif terhadap kinerja saham perusahaan setelah IPO.
METODE PENELITIAN Data dan Sampel
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa laporan keuangan perusahaan yang masih terdaftar di BEI sampai tanggal 31 Desember 2011. Data tersebut diperoleh dari laporan keuangan perusahaan yang listing di BEI dari tahun 2007 sampai tahun 2011 yang diperoleh dari ICMD(Indonesian Capital Market Directory), dan website Bursa Efek Indonesia. Sedangkan data harga saham dan level IHSG
diperoleh dari internet, yaitu
www.yahoofinance.com. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling, adapun kriterianya adalah:
1. Perusahaan non-keuangan yang IPO dari tahun 2007 sampai tahun 2011.
2. Perusahaan yang memiliki anak perusahaan. 3. Perusahaan yang memiliki laporan keuangan
atau prospektus satu tahun sebelum melakukan penawaran umum perdana (IPO), pada saat IPO, dan satu tahun setelah IPO.
dengan pihak berelasi kategori piutang dan hutang.
Berikut adalah hasil perhitungan sampel
Tabel 1. Hasil Pemilihan Sampel Penelitian
Deskripsi Jumlah
Perusahaan non-keuangan yang IPO dari tahun 2007-2011
Perusahaan yang tidak memiliki anak perusahaan
Perusahaan dengan data RPT tidak lengkap
Keterbatasan data tidak lengkap
95 (22) (34) (7)
Perusahaan Sampel 32
Operasionalisasi Variabel
Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
Return on Assets (ROA) merupakan indikator yang umum dalam mendeteksi manajemen laba (Aharony et al., 2000). Dalam penelitian Aharonyet al.,(2010) kinerja laba diukur dengan menggunakan ROA jika ROA memuncak pada tahun IPO tetapi pada pasca IPO, ROA kembali menurun sehingga terlihat apakah RPT berhubungan dengan pola ROA pada saat IPO dengan cara menunjukkan manajemen laba. Nilai ROA didapat dari perbandingan antara laba bersih perusahaan yang melakukan IPO pada tahun IPO dengan jumlah aset kecuali kas pada saldo akhir tahun IPO. Jumlah kas tidak diperhitungkan untuk menghilangkan cash effectakibat IPO. Penggunaan model ini sesuai dengan penelitian Aharony et al., (2010), Guing dan Aria (2011).
ROAt=0=
*Total aset yang digunakan kecuali kas pada tahun IPO
Buy-and-Hold Return (BHR) merupakan
variabel yang akan digunakan untuk melihat kinerja saham perusahaan pada periode setelah IPO. Metodebuy-and-hold return dapat diukur dengan rumusan berikut (Rahman dan Gutagol, 2008):
BHRi,t= (1 + , ) (1 + , )
Keterangan:
ri,t = imbal hasil saham i pada hari t yang dihitung sebagai berikut:
ri,t =
sedangkan mi,t adalah imbal hasil dari Indeks Harga Saham Gabungan pada hari t yang didapatkan dari perhitungan sebagai berikut:
mi,t =
Pengukuran kinerja jangka panjang imbal hasil saham perusahaan karena perbedaan periode (tahun) IPO, maka akan digunakan imbal hasil harian perusahaan selama 1 tahun yang akan dikategorikan ke dalam imbal hasil bulanan, dimana imbal hasil bulanan terdiri dari 21 imbal hasil harian. Abnormal return saham 1 tahun dihitung dari awal April setelah perusahaan melakukan IPO (tahun fiscal 0 berakhir) dihitung kedepan sampai dengan 252 hari perdagangan.
Variabel Independen
Variabel independen dalam penelitian ini, yaitu:
Related Party Receivable (RPT Piutang) merupakan perubahan rasio Related Party Receivable terhadap jumlah aset pada saldo akhir tahun. Pengukuran ini dimaksudkan untuk mendeteksi jumlah RPT Piutang yang tidak normal selama proses IPO. Penggunaan model ini sesuai dengan penelitian Aharony et al.,(2010), Guing dan Aria (2011).
RPT-Piutangi,t=0 =
-RPT-Piutangi,t=1=
model ini sesuai dengan penelitian Aharony et al.,(2010), Guing dan Aria (2011).
RPT-Hutangi,t=0 =
-RPT-Hutangi,t=1 =
- Net Outstanding Corporate Loans to year-end Total Assets (NOREC) digunakan untuk mengukur keberadaan tunneling pada periode setelah IPO. NOREC merupakan perubahan rasio Net Outstanding Corporate Loans (didapat dari selisih piutang dan hutang lain-lain kepada pihak berelasi) terhadap jumlah aset pada saldo akhir tahun. Penggunaan model ini sesuai dengan penelitian Aharony et al.,(2010), Guing dan Aria (2011).
NORECi,t=0 =
( )
-( )
NORECi,t=1 =
( )
-( )
Variabel Kontrol
Dalam penelitian ini menggunakan variabel kontrol, yaitu:
Non-Related Party Receivable (NRPT Piutang) merupakan perubahan rasio Non-Related Party Receivable terhadap jumlah aset pada saldo akhir tahun. NRPT Piutang diambil sebagai variabel kontrol karena pada kenyataannya dapat mempengaruhi besarnya pendapatan perusahaan. Penggunaan model ini sesuai dengan penelitian Aharony et al., (2010), Guing dan Aria (2011).
NRPT-Piutangi,t=0=
-NRPT-Piutangi,t=1 =
- IPO Firm s Long-Term Debt to year-end Total Assets (DEBT) diambil sebagai variabel kontrol karena semakin tinggi financial leverage, pengawasan dari manajemen akan semakin ketat dan
menyebabkan peningkatan kinerja
perusahaan (Myers, 2001). Penggunaan model ini sesuai dengan penelitian Aharony et al., (2010), Guing dan Aria (2011).
DEBTi,t=0 =
IPO Firm s Natural Logarithm of the Market Value of Equity at year-end (SIZE) diambil sebagai variabel kontrol karena semakin besar ukuran perusahaan, pengawasan dari manajemen akan semakin berkurang dan
mempengaruhi kinerja perusahaan
(Williamson, 1967). Penggunaan model ini sesuai dengan penelitian Aharony et al., (2010), Guing dan Aria (2011).
SIZEi,t=0 = Logaritma Natural dari Nilai Pasar Ekuitas Perusahaan pada tahun IPO
Market Return (MARKET) merupakan imbal hasil pasar (IHSG) dalam jangka waktu satu hari sejak tanggal IPO untuk melihat risiko sistematis yang dialami perusahaan. Penggunaan model ini sesuai dengan penelitian Aharonyet al.,(2010), Guing dan Aria (2011). MARKETi = Imbal Hasil Pasar Perusahaan yang IPO dalam Periode 1 Hari
Analisis Regresi
Model untuk mendeteksi manajemen laba dalam proses IPO
ROAi,t=0= 0+ 1 RPT-Piutangi,t=0+ 2 RPT-Hutangi,t=0+ 3 NRPT-Piutangi,t=0+
4 DEBTi,t=0+ 5 SIZEi,t=0+ɛ i,t
(Model 1)
Tabel 2. Deskripsi Variabel Model 1
Variabel Deskripsi
ROAi,t=0 Rasio Laba Perusahaan terhadap Total Aset kecuali Kas pada
tahun IPO
RPT-Piutangi,t=0 Selisih Transaksi Piutang kepada Pihak-Pihak Berelasi pada tahun IPO dengan tahun sebelum IPO
RPT-Hutangi,t=0 Selisih Transaksi Hutang dari Pihak-Pihak Berelasi pada tahun IPO dengan tahun sebelum IPO
N RPT-Piutangi,t=0
Selisih Transaksi Piutang selain RPT-Piutang pada tahun IPO dengan tahun sebelum IPO
DEBTi,t=0 Rasio antara Hutang Jangka Panjang dengan Total Aset
Perusahaan pada tahun IPO
SIZEi,t=0 Logaritma Natural dari Nilai Pasar Ekuitas Perusahaan pada
tahun IPO
Model untuk mengukur akibat dari manajemen laba dan tunneling terhadap kinerja saham di pasar modal setelah proses IPO
Penggunaan model ini sesuai dengan penelitian Aharony et al., (2010), Guing dan Aria (2011)
BHRi = f0 + f1 RPT-Piutangi,t=0+ f2
RPT-Hutangi,t=0+ f3∆NORECi,t=1 + f4 N
RPT-Piutangi,t=0+ f5∆NORECi,t=0 + f6
∆RPT-Piutangi,t=1 + f7∆RPT-Hutangi,t=1+
f8∆NRPT-Piutangi,t=1 + f9∆MARKETi +
f10∆ROAi,t=0+ f11∆SIZEi,t=0+ ɛ i,t
(Model 2) Tabel 3. Deskripsi Variabel Model 2
Variabel Deskripsi
BHRi Imbal HasilBuy-and-Holdperhitungan dari selisihreturnperusahaan
denganreturn market index
∆NORECi,t=1 Perbandingan antara Selisih Piutang dan Hutang Lain-Lain dengan
Total Aset pada tahun setelah IPO dengan tahun IPO
∆NORECi,t=0 Perbandingan antara Selisih Piutang dan Hutang Lain-Lain dengan
Total Aset pada tahun IPO dengan tahun sebelum IPO
∆RPT-Piutangi,t=1 Selisih Transaksi Piutang kepada Pihak-Pihak Berelasi pada tahun
setelah IPO dengan tahun IPO
∆RPT-Hutangi,t=1 Selisih Transaksi Hutang dari Pihak-Pihak Berelasi pada tahun
∆NRPT-Piutangi,t=1
Selisih Transaksi Piutang selain RPT-Piutang pada tahun setelah IPO dengan tahun IPO
MARKETi Imbal Hasil Pasar Perusahaan yang IPO dalam Periode 1 Hari
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Statistik Deskriptif
Tabel 4. Statistik Deskriptif RPT
Tahun IPO = 0 -1 0 1 Diff0 Diff1
Piutang kepada
Related Party 145,432,931,412 153,807,381,386 171,188,424,151 *Presentase
terhadap Total
Aset 3.066% 2.166% 2.082% -0.90% -0.08%
Piutang kepada Non-Related
Party 253,491,503,789 363,296,108,066 470,369,840,683
8.804% 8.307% 8.285% -0.50% -0.02%
Hutang dari
Related Party 100,622,057,863 130,195,406,127 151,210,223,417 *Presentase
terhadap Total
Liabilitas 3.303% 3.137% 3.003% -0.17% -0.13%
Piutang lain-lain 15,914,787,141 22,005,910,167 18,917,754,372
1.177% 0.876% 0.782% -0.30% -0.09%
Hutang lain-lain 37,882,211,378 22,161,948,970 24,837,152,025
1.412% 0.652% 0.664% -0.76% 0.01%
Selisih Piutang dan Hutang
lain-lain (21,967,424,237) (156,038,803) (5,919,397,653)
-0.236% 0.224% 0.119% 0.46% -0.11%
Keterangan Tabel: Diff0= Perbandingan persentase antara tahun IPO dengan tahun sebelum IPO;Diff1= Perbandingan persentase antara tahun setelah IPO dengan tahun IPO
Berdasarkan Tabel 3, terlihat RPT Piutang maupun NRPT Piutang perusahaan di Indonesia mengalami penurunan pada periode sebelum IPO (Diff0) dan mengalami penurunan lagi pada periode setelah IPO (Diff1). Terjadi perbedaan juga dalam RPT Hutang yang dapat dilihat pada
Diff0 dan Diff1, rata-rata perusahaan Indonesia mengalami penurunan jumlah hutang karena terjadi penurunan pembelian.
piutang kepada pihak berelasi. Namun pada periode setelah IPO (Diff1) nilai ini semakin mengecil, yang dapat diartikan bahwa pinjaman yang diberikan kepada pihak berelasi semakin meningkat. Hal ini sudah dapat dijadikan indikasi awal terjadinya tunneling berupa pengalihan dana
IPO dalam bentuk pemberian pinjaman kepada pihak berelasi yang meningkat pada periode setelah IPO.
Manajemen Laba Melalui Transaksi Pihak Berelasi dalam proses IPO (Model 1)
Tabel 5. Hasil Regresi Model 1
Variabel Koefesiensi Prob.
C -16.733 0.273
RPT-Piutangi,t=0 0.928 0.025**
RPT-Hutangi,t=0 0.929 0.039**
NRPT-Piutangi,t=0 0.341 0.223
DEBTi,t=0 -0.146 0.075*
SIZEi,t=0 0.926 0.090*
Hasil analisis regresi model 1 (Tabel 5) mengenai pengaruh variabel RPT-Piutangi,t=0 terhadap manajemen laba yang diproksikan dengan
ROAi,t=0 menunjukkan nilai signifikansi sebesar
0,025. Arah koefisien regresi bertanda positif sesuai dengan yang dihipotesiskan dan nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari 0,05. Maka hipotesis 1a yaitu kenaikan transaksi RPT Piutang pada periode sebelum IPO berpengaruh positif terhadap manajemen laba yang dilakukan perusahaan pada periode sebelum IPO didukung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada periode sebelum IPO, perusahaan melakukan manajemen laba dengan menaikkan transaksi
penjualan dengan pihak berelasi yang
mengakibatkan naiknya piutang terhadap pihak-pihak berelasi sehingga laba perusahaan meningkat menjelang periode IPO. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Aharonyet al.(2010) dan Jianet al. (2003) bahwa terjadi kecenderungan tindakan opportunities dalam transaksi yang dilakukan oleh pihak berelasi (RPT) yang dibuktikan dengan adanya tingkat penjualan yang tinggi dengan RPT menjelang IPO. Perusahaan meningkatkan laba perusahaan melalui transaksi penjualan terhadap pihak-pihak berelasi dikarenakan laba perusahaan akan meningkat pada periode sebelum IPO sehingga laba terlihat tinggi dan akan menarik investor untuk berinvestasi.
Sebaliknya, NRPT-Piutangi,t=0 tidak signifikan terhadap variabel ROAi,t=0disebabkan
kurangnya hubungan yang signifikan antara kinerja laba pada tahun IPO dengan perubahan NRPT Piutang pada tahun sebelum IPO menunjukkan bahwa manajer mungkin tidak menggunakan
kebijakan mereka dalam memanfaatkan
pendapatan dari NRPT Piutang yang dapat mempengaruhi besarnya pendapatan perusahaan sebagai sebuah alat manajemen laba selama melakukan proses IPO.
manajemen laba dengan tujuan meningkatkan laba pada periode sebelum IPO.
Berdasarkan pengujian terhadap variabel kontrol debt yang diukur dengan menggunakan hutang jangka panjang terhadap jumlah aset pada saldo akhir tahun, menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,075. Nilai signifikan tersebut diatas 0,05. Namun, arah koefisien regresi variabel kontrol bertanda negatif. Dalam penelitian Myers (2001) semakin tinggi financial leverage, pengawasan dari manajemen akan semakin ketat dan menyebabkan peningkatan kinerja perusahaan. Dengan arah koefisien kontrol negatif, ini berarti pengawasan dari manajemen semakin longgar sehingga menyebabkan penurunan kinerja perusahaan. Hal tersebut terjadi karena adanya indikasi terjadinya manajemen laba yang mengakibatkan penurunan kinerja. Namun, dalam penelitian ini berdasarkan sampel perusahaan mungkin manajemen tidak memanfaatkan debt pada tindakan kebijakan mereka sehinggafinancial leverage tidak berpengaruh terhadap tindakan manajemen laba tersebut.
Variabel kontrol yang lain adalah ukuran perusahaan yang diukur dengan menggunakan logaritma natural nilai pasar ekuitas perusahaan tahun IPO, menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,090. Nilai signifikan tersebut diatas 0,05. Namun, arah koefisien regresi variabel kontrol bertanda positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar suatu perusahaan maka semakin besar pula kesempatan manajer untuk melakukan manajemen laba dimana perusahaan besar memiliki aktivitas operasional yang lebih kompleks dan selain itu juga perusahaan besar lebih dituntut untuk memenuhi ekspektasi investor yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini berdasarkan sampel perusahaan mungkin manajer tidak memanfaatkan ukuran perusahaan pada tindakan kebijakan mereka sehingga ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap tindakan manajemen laba tersebut.
Manajemen laba dan tunneling terhadap kinerja saham di pasar modal setelah proses IPO (Model 2)
Tabel 6. Hasil Regresi Model 2
Variabel Koefesiensi Prob.
C 0.253 0.045
RPT-Piutangi,t=0 -0.002 0.510
RPT-Hutangi,t=0 0.006 0.120
∆NORECi,t=1 -0.025 0.014**
NRPT-Piutangi,t=0 -0.004 0.181
∆NORECi,t=0 0.001 0.737
RPT-Piutangi,t=1 -0.020 0.022**
RPT-Hutangi,t=1 0.011 0.097*
NRPT-Piutangi,t=1 -0.012 0.004**
MARKETi 1.187 0.040**
ROAi,t=0 0.000 0.760
SIZEi,t=0 -0.008 0.062*
Hasil analisis regresi model 2 (Tabel 6) mengenai pengaruh variabel RPT-Piutangi,t=0 terhadap BHRi tidak signifikan, tidak sesuai dengan ekspektasi hipotesis 2a. Hal ini mungkin disebabkan karena nilai transaksi RPT Piutang
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Guing dan Aria (2011) bahwa RP-Salesi,t=0 pada periode sebelum IPO tidak berpengaruh terhadap kinerja perusahaan setelah IPO. Sementara itu, dalam hasil penelitiannya Aharony et al. (2010) RP Salesi,t=0 adalah negatif signifikan yang menunjukkan bahwa hubungan ini juga memiliki makna ekonomi.
Berbeda dengan RPT-Piutangi,t=0,variabel RPT-Piutangi,t=1 menunjukkan nilai signifikan sebesar 0,022. Nilai signifikansi kurang dari 0,05 dan arah koefisien regresi bertanda negatif yang berarti kenaikan RPT Piutang setelah IPO berpengaruh negatif terhadap kinerja saham perusahaan setelah IPO. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Laughran dan Ritter (1997) menyatakan bahwa penurunan kinerja operasi yang terjadi pasca penawaran akan sejalan dengan penurunan kinerja saham sebagai akibat dilakukannya manipulasi saat penawaran. Kondisi tersebut terjadi karena harga saham berkolerasi dengan kinerja keuangan, sehingga penurunan kinerja keuangan akan membuat pasar melakukan koreksi harga saham yangovervaluetersebut.
Pengaruh variabel RPT-Hutangi,t=0 terhadap BHRi tidak signifikan, tidak sesuai dengan ekspektasi hipotesis 2b. Hal ini mungkin disebabkan karena nilai transaksi RPT Hutang juga tidak signifikan dalam mempengaruhi laba maupun kondisi keuangan perusahaan. Oleh karena itu, hipotesis 2b yang menyatakan bahwa kenaikan transaksi RPT Hutang pada periode sebelum IPO berpengaruh positif terhadap kinerja saham perusahaan setelah IPO tidak didukung. Variabel RPT-Hutangi,t=0 dan RPT-Hutangi,t=1 tidak berpengaruh terhadap variabel BHRi, yang berarti bahwa hutang sebelum dan setelah IPO tidak berpengaruh terhadap kinerja saham perusahaan. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Aharony et al., (2010) dimana RP-Purchasesi,t=0 dan RP-Purchasesi,t=1tidak berpengaruh terhadap variabel BHRi.Hal tersebut menunjukkan tidak ada implikasi pasar opotunistik RP Purchases baik sebelum atau setelah IPO.
Variabel NRPT-Piutangi,t=0 yang tidak signifikan menunjukkan bahwa transaksi NRPT Piutang yang mampu mempengaruhi besarnya pendapatan perusahaan ini tidak berpengaruh
terhadap kinerja saham perusahaan. Namun, berbeda dengan NRPT-Piutangi,t=1 yang negatif signifikan terhadap variabel BHRi, yang berarti terdapat kenaikan transaksi NRPT Piutang setelah IPO berpengaruh negatif terhadap kinerja saham perusahaan. Hal tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan karena arah koefisien regresinya negatif. Dalam penelitian ini diharapkan NRPT Piutang setelah IPO ini berpengaruh positif terhadap kinerja saham perusahaan, sebab besarnya pendapatan dari transaksi NRPT Piutang diharap mampu meningkatkan kinerja saham perusahaan setelah IPO.
Berdasarkan hasil analisis regresi variabel RPT-Piutangi,t=1 negatif signifikan dan variabel NORECi,t=0 tidak signifikan. Hal ini berarti terjadinya RPT Piutang yang tidak biasa pada saat periode setelah IPO membuktikan bahwa tidak terjadi praktek manajemen laba melalui RPT Piutang dan Norec yang tidak biasa pada saat periode sebelum IPO mengindikasi terjadinya perilaku tunneling melalui pinjaman dari perusahaan IPO kepada pihak berelasi. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Aharony et al. (2010) dimana variabel RP-Salesi,t=1 dan NORECi,t=0 secara statistik tidak signifikan, yang menunjukkan bahwa RP Sales yang tidak biasa pada saat periode setelah IPO maupun Norec yang tidak biasa pada saat periode sebelum IPO dirasa oleh investor sebagai tindakan oportunistik dari manajemen laba atau perilaku tunneling.
Indonesia tidak terbukti terjadi praktek manajemen laba melalui RPT Piutang, RPT Hutang yang diikuti dengan tunneling melalui pinjaman dari perusahaan IPO kepada pihak berelasi (dalam hal ini pemegang saham pengendali pada periode setelah IPO), transaksi pinjaman antar pihak berelasi ini berpengaruh buruk terhadap kinerja saham perusahaan. Hal ini disebabkan karena pinjaman tersebut kemungkinan dikenali investor sebagai salah satu bentuk pelarian aset yang merugikan pemegang saham non-pengendali.
Variabel kontrol MARKETi,t=0berpengaruh positif signifikan terhadap variabel BHRi dengan signifikansi 0,040. Artinya, setiap terjadi peningkatan MARKETi,t=0 akan meningkatkan nilai BHRi secara signifikan. Namun, dengan meningkatnya nilai BHRi menunjukkan akan terjadinya peningkatan risiko pasar pada perusahaan dalam periode setelah IPO (Aharonyet al., 2010). Variabel ROAi,t=0 tidak signifikan terhadap variabel BHRi, yang berarti ringkasan ukuran kinerja akuntansi ini tidak berpengaruh terhadap kinerja saham perusahaan. Namun, arah koefisien regresinya positif yang mungkin menunjukkan bahwa kinerja akuntansi pada tahun IPO memiliki dampak positif pada satu tahun berikutnya (Aharony et al., 2010). Sedangkan, variabel SIZEi,t=0 negatif tidak signifikan terhadap variabel BHRi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Aharony et al., (2010) yang memperkirakan bahwa ukuran perusahaan mungkin tidak memiliki dampak pada kinerja saham di masa mendatang.
SIMPULAN DAN KETERBATASAN Simpulan
Penelitian ini dilakukan terhadap 32 sampel perusahaan non-keuangan yang melakukan IPO di Indonesia dalam rentang tahun 2007-2011. Penelitian ini menggunakan RPT untuk mendeteksi manajemen laba, hal ini dilakukan karena di Cina telah terbukti bahwa banyak perusahaan melakukan manajemen laba melalui RPT. Fenomena ini kemudian tidak terbukti pada kondisi Indonesia.
Dalam penelitian ini, membuktikan bahwa di Indonesia terjadi peningkatan variabel piutang kepada pihak berelasi yang signifikan terhadap
kinerja perusahaan yang dilihat menggunakan proksi ROA selama proses IPO. Peningkatan variabel piutang dari pihak berelasi hanya
menunjukkan kecenderungan terjadinya
manajemen laba dengan tujuan meningkatkan ROA perusahaan. Sedangkan, penurunan variabel hutang di Indonesia ini tidak terbukti dikarenakan perusahaan lebih meningkatkan transaksi piutang terhadap pihak berelasi agar laba perusahaan meningkat ketika periode sebelum IPO berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia manajemen laba mungkin tidak dilakukan melalui transaksi piutang dan hutang dengan pihak berelasi selama proses IPO. Dapat disimpulkan bahwa perusahaan IPO di Indonesia tidak menggunakan transaksi piutang dan hutang dengan pihak berelasi sebagai sarana dalam manajemen laba menjelang IPO.
Selanjutnya diperoleh bukti yang menunjukkan bahwa kinerja saham perusahaan setelah IPO berhubungan negatif dengan tidak dilunasinya pinjaman kepada pihak berelasi pada periode setelah IPO. Hal ini tampak dari selisih piutang dan hutang lain-lain yang memiliki hubungan negatif dengan Buy-and-Hold Return yang merepresentasikan kinerja saham. Sedangkan tidak terbukti secara signifikan bahwa keberadaan piutang kepada pihak berelasi pada periode sebelum IPO berhubungan negatif dengan kinerja saham perusahaan setelah IPO. Hal ini konsisten dengan hasil model 1, karena transaksi RPT tidak menjadi pilihan utama dalam melakukan manajemen laba selama proses IPO. Dengan demikian, walaupun penelitian ini tidak mendukung adanya manajemen laba yang diikuti tunneling melalui RPT pada saat seputar IPO, namun transaksi pinjaman antar pihak berelasi setelah IPO dipandang oleh investor sebagai tindakan yang oportunistik sehingga menurunkan kinerja saham perusahaan setelah IPO.
karakteristik perusahaan di Indonesia dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aharony, J., Wang, J., & Yuan, H. 2010. Tunneling As An Incentive For Earnings Management During The IPO Process in China. Journal of Accounting and Public Policy, 29, 1-26.
Aharony, J., Lee, C.-W.J., & Wong, T.J. 2000. Financial Packaging of IPO Firms in China. Journal of Accounting Research, 38, 103-126.
Assih, P., Hastuti, Ambar Woro., dan Parawiyati. 2005. Pengaruh Manajemen Laba pada Nilai dan Kinerja Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 2, 125-144.
Barth, M. E. Elliot, J. A. dan Finn, M. W. (1999). Market Rewards Associated With Patterns of Increasing Earnings. Journal of Accounting Research.Volume 37 Nomor2. 387-413.
Chang, Sea Jin. 2002. Ownership Structure, Expropriation, and Performance of Group Affiliated Companies in Korea.Academy of Management Journal 2003, Vol. 46, No. 2, 238-253.
Cheung, Y.-L., Rau, P.R., & Stouraitis, A. 2006. Tunneling, Propping, and Expropriation: Evidence From Connected Party Transactions in Hong Kong. Journal of Finance Economics, 82, 343 386.
Cohen, D., & Zarowin, P. 2008. Economic Consequences of Real and Accrual-Based Earnings Management Activities.
Dwinanto, J. 2010. Pengaruh Merger dan Akuisisi terhadap Kekayaan Pemegang Saham Minoritas (Studi Kasus PT Lippo Karawaci Tbk.). Tesis Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Dyanty et al,. 2012. Pengaruh Kepemilikan Pengendalian Akhir terhadap Transaksi Pihak Berelasi. Simposium Nasional Akuntansi XV.
Geriesh, L. 2003. Organizational Culture and Fraudulent Financial Reporting. The CPA Journal, 73, 28.
Gordon, E.A.dan E.Henry and D.Palia (2004a). Related Party Transaction and Corporate Governance. Advances in Financial Economics, Volume 9:1-27.
Graham, J.R., Harvey, C.R., & Rajgopal, S. 2005. The Economic Implications of Corporate Financial Reporting. Journal of Accounting and Economics, 40, 3-73.
Guing, A., dan Aria, F. 2011. Manajemen Laba dan Tunneling melalui Transaksi Pihak Istimewa di Sekitar Penawaran Saham Perdana. Simposium Nasional Akuntansi XIV.
Gul, F.A., Leung, S., & Srinidhi, B. 2003. Informative and Opportunistic Earnings Management and The Value Relevance of Earnings: Some Evidence on The Role of IOS.
Healy, P. M., dan Wahlen, J. M. 1999. A Review of the Earnings Management Literature and Its Implications for Standard Setting. Accounting Horizons.13 (4): 365-383.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2010. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Jakarta: Salemba Empat.
Imam Ghozali. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Irawan, Moh. Adi dan Gumanti, Tatang Ary. 2009. IndikasiEarnings ManagementpadaInitial Public Offering.Simposium Nasional Akuntansi XII.
Jian, M., & Wong, T.J. 2003. Earnings Management and Tunneling Through Related Party Transactions: Evidence From Chinese Corporate Groups.
Johnson, S., La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., & Shleifer, A. 2000. Tunneling. The American Economic Review, 90, 22-27.
Kusumawardhani, N.A.S., dan Veronica, S. 2009. Fenomena Manajemen Laba Menjelang IPO dan Kaitannya dengan Nilai Perusahaan Perdana Serta Kinerja Perusahaan Pasca-IPO: Studi Empiris Pada Perusahaan Yang IPO Di Indonesia Tahun 2000-2003. Simposium Nasional Akuntansi XII.
Loughran, Tim, dan Ritter Jay R. 1997. The Operating Performance of Firms Conducting.
McKay, B. 2002. Coca-Cola: Real Thing Can Be Hard To Measure.Wall Street Journal.
Mutaminah. 2008. Tunneling atau Value Added dalam Strategi Merger dan Akuisisi di Indonesia. Manajemen & Bisnis. Vol. 7, No. 1.
Myers, S.C. 2001. Capital Structure. Journal of Economic Perspectives, 15, 81-102.
Rahman, A., dan Hutagol, Y. 2008. Manajemen Laba melalui Akrual dan Aktivitas Real pada Penawaran Perdana dan Hubungannya dengan Kinerja Jangka Panjang. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Volume 5 Nomor 1, Juni 2008.
Rahmawati et al,. 2006. Pengaruh Asimetri Informasi terhadap Praktik Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan Publik yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium
Nasional Akuntansi IX.
Ritter, J. R., 1991, The Long Run Performance of Initial Public Offering. Journal of Finance. 46: 3-27.
Roychowdhury, S. 2006. Earnings Management through Real Activities Manipulation. Journal of Accounting and Economics.
Ryngaert, Michael and Thomas, Shawn. 2007. Related Party Transactions: Their Origin and Wealth Effect.Wall Street Journal.
Sansing, R. C. 1999. Economic Foundations of Valuation Discounts. The Journal of the American Taxation Association21: 28 38.
Santoso, S. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Scott, William R. 1997. Financial Accounting Theory, International Edition, New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Scott, William R. 2009. Financial Accounting Theory. 5th ed. Ontario: Pearson Education Canada, Inc. Seasoned Equity Offerings. Journal of Finance (5),pp1833-1850.
Sekaran, U. 2003. Research Methods for Business : A Skill Building Approach 2nd Edition, John Wiley and Son. New York.
Setiawati, L., dan Na im, A. 2000. Manajemen Laba.Jurnal Ekonomi dan Bisnis. 15(4):
159-576.
Teoh, S.H., Welch, I., & Wong, T.J. 1998. Earnings Management and The Long-Run Market Performance of Initial Public Offerings. The Journal of Finance, 53, 1935-1974.
Williamson, O. 1967. Hierarchical Control and Optimum Firm Size. Journal of Political
LAMPIRAN
Pengujian Hipotesis Model 1
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1 .651a .424 .314 4.57736
a. Predictors: (Constant), Size, Debt, RPT_Hutang0, RPT_Piutang0, NRPT_Piutang0
ANOVAb
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 401.528 5 80.306 3.833 .010a
Residual 544.759 26 20.952
Total 946.286 31
a. Predictors: (Constant), Size, Debt, RPT_Hutang0, RPT_Piutang0, NRPT_Piutang0 b. Dependent Variable: ROA
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
T Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) -16.733 14.926 -1.121 .273
RPT_Piutang0 .928 .389 .368 2.386 .025
RPT_Hutang0 .929 .426 .340 2.179 .039
NRPT_Piutang0 .341 .273 .200 1.250 .223
Debt -.146 .079 -.294 -1.855 .075
Size .926 .526 .275 1.761 .090
a. Dependent Variable: ROA
Pengujian Hipotesis Model 2
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1 .836a .699 .534 .03095
a. Predictors: (Constant), Size, RPT_Hutang0, RPT_Piutang0, RPT_Piutang1, Norec0, Norec1, ROA, NRPT_Piutang1, Market, RPT_Hutang1, NRPT_Piutang0
ANOVAb
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression .045 11 .004 4.228 .003a
Residual .019 20 .001
Total .064 31
a. Predictors: (Constant), Size, RPT_Hutang0, RPT_Piutang0, RPT_Piutang1, Norec0, Norec1, ROA, NRPT_Piutang1, Market, RPT_Hutang1, NRPT_Piutang0
b. Dependent Variable: BHR
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
T Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) .253 .118 2.137 .045
RPT_Piutang0 -.002 .003 -.110 -.671 .510
RPT_Hutang0 .006 .004 .260 1.625 .120
Norec1 -.025 .009 -.544 -2.685 .014
NRPT_Piutang0 -.004 .003 -.251 -1.388 .181
Norec0 .001 .004 .044 .340 .737
RPT_Piutang1 -.020 .008 -.424 -2.494 .022
RPT_Hutang1 .011 .007 .298 1.740 .097
NRPT_Piutang1 -.012 .004 -.551 -3.266 .004
Market 1.187 .541 .362 2.195 .040
ROA .000 .001 .049 .310 .760
Size -.008 .004 -.302 -1.980 .062