ANALISIS MAS{LAH{AH MURSALAH TERHADAP BEBERAPA
PANDANGAN TOKOH NAHDLATUL ULAMA KABUPATEN
SIDOARJO TENTANG PERNIKAHAN DINI AKIBAT HAMIL
PRA NIKAH
SKRIPSI
Oleh :
Ahmad Hamim Tohari NIM. C71211166
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal Al-Syakhsiyyah SURABAYA
ANALISIS MAS}LAH}AH MURSALAH TERHADAP BEBERAPA
PANDANGAN TOKOH NAHDLATUL ULAMA KABUPATEN
SIDOARJO TENTANG PERNIKAHAN DINI AKIBAT HAMIL
PRA NIKAH
SKRIPSI Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Skripsi dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syari’ah dan Hukum Perdata Islam
Oleh :
AHMAD HAMIM TOHARI NIM. C71211166
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwal Al-Syakhsiyyah SURABAYA
ABSTRAK
Pernikahan dini merupakan sebuah fenomena yang ditanggapi oleh masyarakat secara kontradiksi, sehingga menjadi bahan yang menarik untuk diperbincangkan disegala aspek sosial masyarakat. Skripsi ini adalah hasil penelitian berdasarkan tanggapan beberapa para tokoh Nahdlatul Ulama Sidoarjo yang dianalisis dengan Teori Mas}lah}ah Mursalah dengan mengunakan teknik wawancara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana padangan beberapa Tokoh Nahdlatul Ulama Kab. Sidoarjo terhadap pernikahan dini akibat hamil pranikah dan analisis mas}lah}ah mursalah.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah pendekatan penelitian kualitatif. Sesuai dengan pendekatan yang peneliti ambil maka metode yang digunakan adalah wawancara. Analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan menggambarkan realita yang nyata di dalam masyarakat dan penyelesaiannya.
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama Sidoarjo terhadap pernikahan dini akibat hamil pra nikah, pertama sebagian besar para tokoh membolehkan pernikahan dini karena sebab hamil duluan tanpa menunggu kelahiran si anak. Hal ini dilakukan demi menjaga image dan nasab si anak, seharusnya dalam kasus ini segerah dinikahkan karena sudah terlanjur hamil duluan. Kedua hal ini merupakan suatu kemaslahatan yang dilakukan demi menjaga image dan status nasab si anak, ini semua sesuai dengan maqa>s}id as
syari’a>h yakni hifdz al-nasl (menjaga nasab) dan hifdz al-‘Ird (menjaga kehormatan), Intinya yakni meraih manfaat dan menghidarkan mafsada. Dan dalam kebolehan menikahi wanita hamil pra nikah hal ini pula juga tercantum pada KHI Pasal 53.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR . ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 12
F. Kegunaan Penelitian ... 12
G. Definisi Operasional ... 13
H. Metode Penelitian ... 15
I. Sistematika Pembahasan ... 23
BAB II PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF SERTA TEORI MAS>>}LAH{{AH MURSALAH A. Pernikahan dalam Islam ... 25
1. Pengertian Pernikahan ... 25
2. Pentingnya Pernikahan ... 28
3. Hukum Pernikahan ... 31
B. Pernikahan Menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum
Islam ... 33
1. Sahnya Perkawinan Menurut Fiqih Islam ... 33
2. Sahnya Perkawinan Menurut KHI ... 37
C. Problematika Pernikahan dalam Islam ... 41
1. Pernikahan Dini Menurut Fiqih Islam ... 42
2. Syarat Pernikahan Dini dalam Islam ... 48
3. Pernikahan Dini Menurut KHI ... 49
D. Pernikahan Wanita Hamil Pra Nikah... 54
1. Pernikahan Wanita Hamil Pra Nikah Menurut Fiqih... 54
2. Pernikahan Wanita Hamil Pra Nikah Menurut KHI... 60
E. Teori Mas}lah}ah Mursalah ... 62
1. Pengertian Mas}lah}ah Mursalah ... 62
2. Macam-macam Mas}lah}ah ... 64
3. Kedudukan Mas}lah}ah Sebagai Sumber Hukum ... 68
4. Syarat-syarat Mas}lah}ah ... 72
BAB III RAGAM PANDANGAN TOKOH NAHDLATUL ULAMA TERHADAP PERNIKAHAN DINI AKIBAT HAMIL PRA NIKAH A. Pendapat Tokoh NU Kab. Sidoarjo terhadap Pernikahan Dini Akibat Hamil Pra Nikah ... 76
B. Pengelompokan Pendapat Para Tokoh Yang Menyetujui dan Yang Tidak Menyetujui Tentang Pernikahan Dini Akibat Hamil Pranikah ... 84
BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH NU TERHADAP PERNIKAHAN DINI AKIBAT HAMIL PRA NIKAH Analisis Pandangan Tokoh ... 88
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 98
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terciptanya suatu masyarakat tidak lepas adanya suatu perkawinan.
Perkawinan itu sendiri merupakan langkah terbaik untuk membina keluarga
bahagia, yakni suatu keluarga yang dapat menciptakan generasi penerus
sebagai khalifah di muka bumi.1 Perkawinan sebagaimana dianjurkan oleh Syār’i baik dalam al-Qur’an dan al-Hadits memiliki beberapa aspek, yaitu:
aspek ibadah, aspek sosial dan aspek hukum. Melaksanakan perkawinan
berarti melaksanakan suatu ibadah yang bearti telah menyempurnakan
sebagian dari agama.
Dengan perkawinan, islam telah memberikan kedudukan sosial yang
sangat tinggi terhadap wanita (isteri), dimana suami tidak boleh berbuat
sewenang-wenang terhadap istrinya, karena mereka telah sama-sama
memiliki ketentuan hak serta kewajiban yang harus dipadu dengan rasa kasih
sayang, dan satu sama lain dituntut untuk bertanggung jawab.2
Perkawinan bila dilihat dari aspek hukum, merupakan suatu
perjanjian yang kuat. Al-Qur’an mengistilahkannya dengan mitsāqan
galîzan. Perkawinan dinamakan perjanjian yang sangat kuat, karena cara
mengadakan ikatan tersebut memiliki berbagai aturan yang telah ditetapkan
syara’, mulai dari hal-hal yang menyangkut syarat-syarat dan rukun-rukun
1 Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: PT Cipta Bakti, 1995), 22.
2
tertentu sampai pada cara-cara memutuskan ikatan perkawinan (persoalan
syiqāq, t{alaq, fasakh dan lain sebagainya).
Perkara yang merupakan bagian dari kesempurnaan agama seseorang
muslim ini telah ditetapkan hukumnya oleh Allah dan Rasul-Nya. Hadits
menganjurkan seorang muslim untuk menikah, dan al-Qur’an menganjurkan
untuk menikahi wanita yang baik-baik. Dalam masalah perkawinan, Islam
telah berbicara panjang lebar. Dari mulai bagaimana mencari kriteria bakal
calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya dikala resmi
menjadi sang penyejuk hati, Islam menuntunnya. Begitu pula Islam
mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah,
namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah
Rasulullah SAW, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun
tetap penuh dengan hikmat.3
Pernikahan merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afd}a>l
dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan
pernikahan inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan
Allah SWT. Oleh sebab itulah Rasulullah SAW, mendorong untuk
mempercepat nikah, mempermudah jalannya dan memberantas
kendala-kendalanya. Pernikahan penting dalam kehidupan manusia, karena dari
pernikahan seseorang akan memasuki dunia baru. Dari pernikahan
terbentuknya sebuah unit terkecil dari keluarga dalam masyarakat yang
bernegara yang memiliki sifat dan kepribadian yang religius dan
3
kekeluargaan, demi untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga
perkawinana hanya boleh dilakuakan calon mempelai yang telah mencapai
umur yang ditetapkan dalam KHI Pasal 15 dan Undang-Undang No 1 tahun
1974 Pasal 6 ayat (2) “mengharuskan bagi seseorang yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua”, dan pada Pasal 7 ayat (1)
menyebutkan bahwa yang perlu mendapat izin orang tua untuk
melangsungkan perkawinan ialah pihak pria yang telah mencapai umur 19
tahun dan wanita yang telah mencapai umur 16 tahun.4
Dalam hal adanya penyimpangan batas umur minimal sebagaimana
yang dimaksud Pasal 7 ayat (1) maka dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan sedangkan ketentuan yang mengatur tentang pemberian
dispensasi terhadap perkawinan bagi anak yang belum mencapai umur
tertuang dalam Peraturan Mentri Agama No. 3 tahun 1975 Pasal 13 tentang
Kewajiban-kewajiban Pegawai Nikah dan Tata Kerja Pengadilan dalam
Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan bagi yang
Beragama Islam .5
Disini pokok permasalahanya yakni apabila pernikahan itu
dilangsungkan mungkin secara agama sah, tetapi secara hukum yang
diterapkan mengenai batas usia itu sendiri dilanggarnya maka bagimana
kelanjutanya, terkadang yang terjadi di lapangan karena telah melanggar
atau melampaui batas maka akan dipersidangkan untuk meminta dispensasi
4 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 17.
4
nikah agar pernikahannya di catat di KUA (Kantor Urusan Agama) dan
mendapat pengakuan dari negara, tetapi di sisi lain ada yang di nikahkan
secara sirrih saja, alhasil suatu saat apabila pihak wanita di rugikan oleh
pihak pria maka pihak perempuan tidak bisa menuntut secara hukum.
Terkadang ada saja pelanggaran-pelanggaran dilakukan semisal kita jumpai
perkawinan itu tetap di catat di KUA walaupun tidak sesuai dengan aturan
yang berlaku dengan alasan kemaslahatan, yang mana para pelakunya
mengubah tahun kelahirannya yang berbeda dengan akte kelahirannya.
Masalah pernikahan dini selalu menjadi bahan perbincangan yang
menarik untuk diperbincangkan dan diperdebatkan, karena menimbulkan pro
kontra dari berbagai pihak. Berbagai tanggapan tentang menikah di usia dini
bermunculan, ada yang menanggapi dengan positif, namun tak jarang pula
ada yang memandang negatif. Fenomena pernikahan dini di usia dini
tidaklah jauh berbeda mengingat fakta perilaku seksual remaja melakukan
hubungan seks pranikah sering berujung pada pernikahan dini salah satunya
yang di akibatkan hamil sebelum nikah katakanlah zina dini. Kebanyakan
jalan keluar yang diambil oleh setiap orang tua yakni menyegerakan
perkawinan anaknya dengan orang yang menghamilinya, selain untuk
menutup aib dan menyelamatkan status anak pasca kelahiran juga untuk
menjaga dari fitnah. Tetapi mereka tidak melihat dampak yang telah mereka
perbuat fakta di lapangan tidak jarang kita temukan berbagai kasus
mengenai anak-anak kecil yang tidak terurus oleh orang tuanya dikarenakan
5
rumah tanggah mereka dengan baik, dan dari ketidak kecakapannya itu lah
terkadang berujung padapenceraian dan alhasil tingkat penceraian tinggi
disuatu daerah, wanitanya banyak yang memilih menjanda, anak tak terurus,
yang akhirnya menimbulkan gizi buruk, trauma, tabiat buruk seorang anak,
hingga kematian pada si anak.
Dalam pernikahan dini potensi konflik sangatlah tinggi karena
mereka belum matang untuk hidup mandiri dan menafkahi serta membinah
keluarga kecilnya, tidak jarang orangtua (wali dari si anak) mereka ikut
campur dalam kehidupan rumah tangga mereka. Pandangan ulama
terkemuka seperti Ibnu Syubromah agama melarang pernikahan dini
(pernikahan sebelum usia baligh), nilai esensial pernikahan adalah memenuhi
kebutuhan biologis dan melanggengkan keturunan. Kedua hal ini tidak
terdapat pada anak yang belum baligh karena anak yang belum baligh
mereka menekankan pada tujuan pokok pernikahan. Memahamai masalah
dari aspek historis, sosiologis dan kultural, Nabi Muhammad SAW menikahi
Siti Aisyah r.a saat itu ia berusia 6 tahun, Ibnu Syubromah menganggap hal
tersebut sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Muhammad SAW yang tidak
bisa ditiru umatnya lainnya, sebaliknya mayoritas pakar Hukum Islam
melegalkan pemahaman ini dan ada pula yang mentelaah lagi masalah ini
tentang berapa umur sebenarnya Aisyah r.a saat menikah.6
Sejarah telah mencatat bahwa Aisyah r.a dinikahi baginda nabi dalam
usia mudah. Pernikahan dini merupakan hal yang lumrah dikalangan sahabat.
6
Imam Jalaludin Suyuthi dalam kamus hadistnya “ada 3 perkara yang tidak
boleh di akhirkan yaitu shalat ketika datangnya waktunya, ketika ada
jenazah dan wanita yang tidak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang
setara atau sekufuk.7
Pacaran era sekarang bisa dikatakan sudah melampaui batas dan
mengindahkan norma-norma agama, akibatnya sering terjadi tindakan
asusila di masyarakat. Fakta menunjukkan betapa moral bangsa sudah masuk
dalam taraf yang memprihatinkan dan pernikahan dini merupakan salah satu
upaya untuk meminimalisasikan tindakan-tindakan negatif tersebut dan
sekaligus menghindari agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang kian
menghawatirkan, disini banyak yang bertanya apakah hal tersebut sudah
mas{lah{a atau belum.
Dari kasus tersebut timbulah sebuah penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui Analisis Mas{lah{ah Mursalah terhadap Pandangan Tokoh
Nahdlatu Ulama Kab. Sidoarjo tentang Pernikahan Dini Akibat Hamil Pra
Nikah dan ingin mengetahui bagaimana dampak sosiologis pernikahan dini
akibat hamil pra nikah dan solusinya.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, terdapat beberapa batasan
masalah dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
7
1. Faktor yang melatar belakangi adanya pernikahan dini.
2. Pernikahan belum cukup umur.
3. Pernikahan yang dilakukan secara sirrih namun dicatat di KUA.
4. Pernikahan dipandang dari hakikatnya.
5. Dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya.
6. Pendapat tokoh Nahdlatul Ulama Sidoarjo terhadap pernikah dini akibat
hamil pra nikah.
7. Analisis mas{lah{a mursalah terhadap pandangan tokoh Nahdlatul Ulama
Sidoarjo tentang pernikahan dini akibat hamil pra nikah.
Agar pembahasan lebih terfokus, maka diperlukan batasan masalah
dalam penelitian ini. Penelitian yang dilakukan penulis ini terbatas pada:
1. Pendapat tokoh Nahdlatul Ulama Kab. Sidoarjo terhadap pernikahan
dini akibat hamil pra nikah.
2. Analisis mas{lah{ah mursalah terhadap pendapat tokoh Nahdalatul Ulama
Sidoarjo tentang pernikahan dini akibat hamil pra nikah.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendapat tokoh Nahdlatul Ulama Kab. Sidoarjo terhadap
pernikahan dini akibat hamil pra nikah ?
2. Bagaimana analisis mas{lah{ah mursalah terhadap pandangan tokoh
Nahdlatul Ulama Kab. Sidoarjo tentang pernikahan dini akibat hamil pra
8
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini merupakan deskripsi singkat tentang kajian atau
penelitian yang sebelumnya belum pernah dilakukan diseputar masalah yang
akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini
tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang
telah ada. Penelitian ini secara garis besar membahas tentang pernikahan
dini dan hamil pra nikah dengan mengangkat judul “Analisis Mas{lah{ah
Mursalah terhadap Beberapa Pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama Kabupaten
Sidoarjo tentang Pernikahan Dini Akibat Hamil Pra Nikah.”
Walaupun ada kemiripan dalam penelitian yang saya lakukan seputar
pernikahan dini seperti halnya yang saya paparkan di bawah ini :
1. Purwanti Yuanita Maharnani (NIM. B07205053), Dinamika Psikologi
Remaja Putri Yang Melakukan Pernikahan Dini Di Desa Dumajah
Tanah Merah Bangkalan Madura, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 2009).8 Dalam penelitian ini memaparkan adat yang berkembang di pulau madura yang mana tidak asing lagi di pulau ini
setelah anak perempuan dan anak laki-laki suda dalam usia balig tak
jarang mereka sudah dijodohkan ataupun mereka memilih pasangan di
usia mudah, dari kenyataan ini menimbulkan dua masalah hukum.
Praktek pernikahan dini ini sudah lama terjadi dengan banyak pelaku.
Tidak di kota besar tidak di pedalaman. Sebabnya pun bervariasi, karena
9
masalah ekonomi, rendahnya pendidikan, pemahaman budaya dan
nilai-nilai agama tertentu dan lain-lain. Pada Penelitian ini subyek yang
digunakan menjadi sampel sebanyak 2 orang dengan sampling snowball
effect, yaitu pengambilan sampel yang bisa bertambah sesuai dengan
kebutuhan data yang dibutuhkan oleh peneliti hingga data sampai pada
kejenuhan yaitu ketika tidak ditemukan lagi data atau fakta yang unik.
Karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Subjek
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, Subjek merupakan pasangan
yang menikah pada usia dibawah 18 tahun dan atau yang telah menjalani
hubungan pernikahan minimal 3 bulan. Alasan pemilihan umur subjek
tersebut adalah, sangat muda sehingga mampu digali lebih dalam lagi
tentang tujuan dan orientasi ketika memutuskan untuk menikah, hasil
analis data menunjukan pengambilan keputusan menikah di usia dini
lebih didasari kepada aspek intuitif yaitu merasa telah mampu untuk
melangsungkan pernikahan atau hidup berumahtangga, selain itu
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan sekitar tempat tinggal subjek
yang membolehkan adanya pernikahan dini. Kesiapan menikah dilihat
dari secara usia dirasa sudah matang untuk melakukan pernikahan,
kemudian secara sosial ekonomi subjek yang diteliti berasal dari
ekonomi yang kurang sejahtera sehingga dengan menikah maka bisa
membantu beban perekonomian, selain itu faktor kepercayaan juga
menentekuan keputusan sesorang untuk menikah dini. Faktor
10
dini untuk menikah memang sudah menjadi budaya hal ini seperti teori
yang diungkapkan oleh kesimpulan penelitian ini: (1) Pengambilan
keputusan dalam menikah diusia dini lebih ditekankan kepada aspek
intuitif sebagai dasar pengambilan keputusannya, didasarkan pada
kesiapan secara psikologis dari pelaku pernikahan dini dan juga latar
belakang sosial budaya masyarakat setempat (2) Faktor yang paling
dominan mempengaruhi pengambilan keputusan menikah dini adalah
faktor lingkungan yaitu budaya dan adat istiadat setempat serta group
atau komunitas orang–orang sekitar pelaku, faktor tuntutan tugas atau
pribadi untuk membantu perekonomian keluarga juga menjadi faktor
yang turut mendukung, Selain itu ditemukan pula faktor kekuatan
kepercayaan mereka bahwa nikah secepatnya cepat pula rezeqi itu
datang kepadanya.
2. Muwahid (NIM. C01205123), Analisa Hukum Islam Dan
Undang-Undangan No. 13 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap
Penetapan Dispensasi Nikah Usia Dini di PA. Jombang Nomor:
24/Pdt.P/2008PA.Jbg, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010).9 Hasil penelitian ini berdasarkan keputusan pengadilan Nomor:
24/Pdt.P/2008PA.Jbg, hakim telah mengabulkan permohonan dispensasi
nikah dibawah umur. Timbul permasalahan apakah dispensasi nikah
terhadap anak di bawah umur pada kasus penetapan tersebut merupakan
11
suatu bentuk perlindungan anak atau bukan?... Padahal Perlindungan
Anak menegaskan bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk mencegah
terjadinya perkawinan anaknya yang masih di bawah umur. Data hasil
penelitian menunjukkan bahwa dispensasi nikah terhadap anak di bawah
umur pada Kasus Penetapan Nomor: 24/Pdt.P/2008PA.Jbg merupakan
suatau bentuk perlindungan anak dan terhadap anak yang akan
dilahirkan. Hakim yang mengabulkan permohonan dispensasi nikah pada
kasus tersebut sudah tepat karena telah berpendoman pada
Undang-Undang Perkawinan yang membolehkan seseorang anak di bawah umur
dapat melangsungkan perkawinan, dengan mempertimbangkan
kepentingan terbaik bagi anak. Dispensasi sendiri merupakan bentuk
tanggung jawab orang tua terhadap anak yang telah mengalami
“kecelakaan”. Perlu adanya sinkronisasi antara Undang-Undang
Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak mengenai usia
anak dalam perkawinan.
3. Mulyawati (NIM. C01399215), Studi Kasus Dikabulkan Dan Ditolaknya
Dispensasi Kawin Di Bawah Umur Di Pengadilan Agama Sidoarjo,
(Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003).10
Dari penelitian di atas menunjukkan bahwa ada persamaan penelitian
dengan penelitian yang akan dikaji yaitu dari segi pernikahan dini, tetapi
yang dimaksud pernikahan dini oleh peneliti selanjutnya disini merupakan
akibat dari pada hubungan di luar nikah yang menyebabkan para remaja
12
menikah diusia dini akibat hubungan di luar nikah. Sedangkan sisi perbedaan
penelitiannya terletak pada sebab hamil pra nikah, serta ragam pandangan
ulama NU dalam menyikapinya.
E. Tujuan Penelitian
Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah tadi,
maka penelitan ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pendapat tokoh Nahdlatul Ulama kabupaten Sidoarjo
terhadap pernikahan dini akibat hamil pra nikah.
2. Untuk mengetahui analisa mas{lah{a mursalah terhadap pandangan tokoh
Nahdlatul Ulama kabupaten Sidoarjo terhadap pernikahan dini akibat
hamil pra nikah.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun manfaat atau kegunaan hasil penelitian yakni:
1. Secara Teoritis
Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan dapat dijadikan sebagai bahan bagi peneliti selanjutnya
yang mengkaji hukum keluarga Islam serta bermanfaat bagi mahsiswa/i
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, khususnya Fakultas
Syari’ah Program Studi Akhwal Al-Syakhshiyyah dalam hal yang
berkaitan dengan masalah terkait.
13
a. Bagi Penulis
Sebagai tugas akhir penulis atau untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana, strata satu (S1) pada prodi Ahwal Al-
Syakhshiyyah. Selain itu diharapkan dapat meningkatkan penalaran,
keluasaan wawasan serta kemampuan pemahaman penulis tentang
hukum pernikahan dini akibat hamil pranikah. Sekaligus sebagai
bahan pembelajaran bagi peneliti untuk mengembangkan
pengetahuan penulis dengan landasan dan kerangka teoritis yang
ilmiah atau pengintegrasian ilmu pengetahuan dengan praktek serta
melatih diri dalam research ilmiah.
b. Bagi Masyarakat
Dengan hasil penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan
masukan moral kepada masyarakat luas terutama kepada pemuda/i
islam hendaknya menjaga harga diri mereka, serta menjauhi
pergaulan yang menjurus kepada berbuat zinah karena hal tersebut
dilarang dalam agama, dan sebagai bahan pertimbanagan dalam
memutuskan sebuah kemaslahatan bersama.
G. Definisi Operasional
Untuk memperjelas tentang judul skripsi agar tidak terjadi kesalahan
penafsiran maka penulis perlu untuk mendefinisikan beberapa kata tersebut
14
Mas{laha{h Mursalah : Metode ijtihad dalam rangka mengali hukum
(istinbath) islam, namun tidak berdasarkan nash
tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan
maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid as
syari’ah).11 Secara etimologi berarti manfaat,
faedah, bagus, baik, kebaikan,12 sedangkan menurut istilah ulama ushul adalah kemaslahatan yang oleh
sha>ri’ tidak dibuatkan hukum untuk
mewujudkannya, tidak ada dalil shara’ yang
menunjukkan dianggap atau tidaknya kemaslahatan
itu.13
Pernikahan Dini : Sebuah ikatan pernikahan yang salah satu atau
kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau
sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah
atas.14
Tokoh Nadlatul Ulama : Orang yang terkemuka atau kenamaan15 dalam hal ini tokoh yang dimaksut adalah ulama atau kiyai
NU yang berada di Kabupaten Sidoarjo.
11 Narun Haroen, Ushul Fiqih I, cet. I (Jakarta: Logos, 1996), 114.
12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996), 214.
13 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhih, cet I(Jakarta: Pustaka Amani, 2013), 110.
14 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996), 302.
15 Departement Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
15
H. Metodologi Penelitian
Dalam suatu penelitian ilmiah memerlukan metodologi penelitian
untuk menemukan hasil penelitian. Metodologi secara umum memiliki arti
tata cara yang menentukan proses penelusuran apa yang akan digunakan.
Menurut Bogdan ”metodologi berarti proses, prinsip-prinsip dan prosedur
yang kita pakai dalam mendekati persoalan-persoalan dan usaha mencari
jawabannya.”16 Metodologi merupakan ilmu-ilmu yang digunakan untuk
memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu
dalam menemukan kebenaran. Sedangkan penelitian secara sederhana ialah
mengetahui sesuatu yang dilakukan melalui cara tertentu dengan prosedur
yang sistematis. Penelitian merupakan suatu kegiatan penyelidikan mulai
dari mengumpulkan, mengolah, menganalisis dan menyajikan data secara
hati-hati, teratur dan sistematis untuk memecahkan suatu masalah atau
menguji kesimpulan sementara.17 Dari uraian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan metodologi penelitian merupakan cara ilmiah yang sistematis
untuk mencari kebenaran dan mendapatkan data dengan tujuan serta
kegunaan tertentu.
1. Jenis Penelitian
Dalam Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan pendekatan yang diarahkan
pada latar belakang dan individu secara holistik. Penelitian kualitatif
16 Taylor Bogdan, Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), 25.
17 Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: PT Bumi
16
digunakan untuk menggali atau menjelaskan makna dibalik realita yang
ada di dalam masyarakat secara mendalam. Menurut Bodgan bahwa
“Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang diamati”. H.B Sutopo, mengatakan “Penelitian kualitatif
menekankan pada makna, lebih memfokuskan pada data kualitas dengan
analisis kualitatifnya”.18 Jadi penelitian kualitatif adalah menekankan
pada makna dari obyek penelitian yang diamati dengan mendeskripsikan
data dan lebih terfokus pada kualitas data. Sesuai dengan karakteristik
data yang bersifat kualitatif maka penelitian menggunakan metode
kualitatif deskriptif. Pengambilan data menggunakan metode observasi,
wawancara dan dokumentasi. Data yang diperoleh dideskripsikan atau
diuraikan kemudian dianalisis. Dapat dikatakan bahwa, penelitian
deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran dari suatu
keadaan pada subjek yang diamati pada saat tertentu. Sedangkan
penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati. Tujuan dari penelitian kualitatif deskriptif ialah untuk
melukiskan keadaaan sesuatu atau yang sedang terjadi pada saat
penelitian berlangsung.
Lokasi yang dijadikana sebagai objek penelitian yakni di dalam
lingkup kabupaten Sidoarjo tentang adanya pernikahan dini akibat hamil
17
pra nikah serta pendapat beberapa tokoh Nahdlatul Ulama yang ada di
dalamnya.
2. Data
Data yang didapat dari lapangan berupa pendapat, konsep,
tanggapan yang berhubungan dengan “Pandangan Tokoh Nahdlatul
Ulama Kab. Sidoarjo Terhadap Pernikahan Dini Akibat Hamil Pra
Nikah”. Penelitian sesuai dengan keadaan di lapangan sehingga bersifat
terbuka. Peneliti melakukan penelitian langsung di lapangan mencari
informan untuk mendeskripsikan apa yang didapatkan dari lapangan.
Sesuai dengan masalah penelitian yang telah dirumuskan, maka
data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, antara lain:
a. Data primer, berupa alasan pernikahan dini dilakukan karena sebab
hamil pra nikah di Kabupaten Sidoarjo
b. Data sekunder, berupa buku-buku, dan Undang-Undang.
3. Sumber Data
Sumber Data merupakan segala sesuatu yang digunakan sebagai
data dalam suatu penelitian. Sumber data utama dalam penelitian
kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan
seperti dokumen dan lain-lain.19 Sumber data yang diambil dalam
penelitian lapangan ini, terbagi menjadi dua, sebagaimana berikut
a. Sumber Data Primer
Informan (narasumber)
18
Dalam penelitian kualitatif Informan memiliki kedudukan
yang penting untuk digali informasinya. Menurut. Sutopo, H. B
dalam penelitian kualitatif posisi sumber data manusia (narasumber)
sangat penting perannya sebagai individu yang memiliki
informasinya. Informan bukan hanya sekedar memberikan
tanggapan tetapi lebih pada memilih arah dan selera dalam
memberikan informasi yang dimiliki.20 Informan dalam penelitian ini adalah tokoh/ ulama NU Kab. Sidoarjo, pendapat tokoh ulama
NU di Kabupaten Sidoarjo, seperti KH. A. Firdaus (PP. Roudhlotul
Ulum), KH. Agus Samsyudin (Musytasar PC NU Sidoarjo), Gus
Mad (PP>. Millinium), KH. Abdul Muntholib, KH. Muhktarom (PP.
Al-Fatah), KH. Fadli (PP. Al-Azhar), Drs. KH. Wahid Hasan (PP.
Roudlotul Ulum).
b. Sumber Data Sekunder
Dokumen
Dokumen dan Arsip merupakan sumber data yang sama
pentingnya dengan sumber data lain dalam penelitian kualitatif.
Dalam penelitian ini dokumen yang dapat digunakan adalah
penelitian-penelitian yang serupa yang telah dilakukan di tempat
yang berbeda dan atau informasi dari internet. Selain itu juga
beragam foto dan catatan lapangan mengenai pandangan Tokoh NU
Kab. Sidoarjo terhadap pernikahan dini akibat hamil pranikah.
19
Kepustakaan dilakukan dibeberapa tempat, yaitu perpustakaan UIN
Sunan Ampel Surabaya dan perpustakaan yang mendukung lainnya
yang mempunyai referensi yang berkaitan dengan pernikahan dini
akibat hamil pranikah, diantaranya: UU No.1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Fiqih Sunnah (Sayyid Sabiq),
Fiqih Munakahat (Abd. Rahman Ghazali), Muqarana Mazaib Fil
Ushul (Ramli SA), Hukum Perkawinan Islam (Moh. Idris Ramulyo),
Fiqh Islami wa Adillah (Wahbah al-Zuhaili), Ahwal
Al-Syakhshiyyah (Muhammad Abu Zahra), Ushul Fiqh (Abdul Wahab
Khalaf) dan lain sebagainya.
4. Strategi Penelitian
Berdasarkan bentuk penelitian kualitatif, maka startegi yang
digunakan dalam penelitian adalah strategi studi kasus. Strategi studi
kasus merupakan strategi penelitian pada kasus tertentu untuk
mempelajari, menerangkan atau memahami suatu kasus tanpa ada
paksaan. Secara umum studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok
bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan ”how” atau
”why”. Studi kasus digunakan karena untuk memperoleh kebenaran
dalam penelitian yaitu tentang kasus dalam pernikahan dini akibat hamil
pranikah. Data dari lapangan disusun ke dalam teks yang menekankan
pada masalah proses dan makna.21
20
Studi kasus dalam penelitian ini dikhususkan menjadi studi kasus
tunggal terpancang. Menurut Sutopo, H. B, “Studi kasus tunggal adalah
penelitian hanya dilakukan pada satu sasaran (satu lokasi atau satu
subyek).” Jumlah sasaran (lokasi studi) tidak menentukan penelitian
berupa studi kasus tunggal ataupun ganda, walaupun penelitian
dilakukan dibeberapa lokasi (beberapa kelompok atau sejumlah pribadi),
bila sasaran studi memiliki karakteristik sama atau seragam maka
penelitian tersebut tetap merupakan studi kasus tunggal.22 Dikatakan terpancang karena dalam penelitian ini sasaran dan tujuan serta masalah
yang disebut ditetapkan sebelum terjun ke lapangan. Tunggal, karena
obyek penelitian hanya terfokus pada Pandangan Tokoh NU Kab.
Sidoarjo Terhadap Pernikahan Dini Akibat Hamil Pra Nikah.
5. Teknik Pengumpulan Data
Sumber Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah informan,
dokumentasi dan studi pustaka. Untuk mendapat data dan informasi
yang lengkap sesuai dengan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini
menggunakan berbagai cara untuk mengumpulkan data, yaitu:
wawancara dan dokumentasi.
a. Wawancara
Wawancara adalah merupakan suatu teknik untuk mendekati
sumber informasi dengan cara tanya jawab sepihak yang dikerjakan
dengan sistematis dan berdasarkan pada tujuan penelitian.
21
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu.23
Menurut H.B. Sutopo “Ada dua jenis teknik wawancara,
yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur yang
disebut wawancara mendalam (in depth interviewing).” Wawancara
terstruktur merupakan jenis wawancara yang sering disebut sebagai
wawancara terfokus. Dalam wawancara terstruktur, masalah
ditentukan oleh peneliti sebelum wawancara dilakukan. Sedangkan
wawancara tidak terstruktur atau mendalam dilakukan dengan
pertanyaan yang bersifat “open ended” dan mengarah pada
kedalaman informasi, Teknik wawancara dalam penelitian ini
adalah wawancara tidak terstruktur dan mendalam yang bersifat
open-ended. Wawancara dilakukan dengan face to face, bebas,
suasana informal dan pertanyaan tidak terstruktur namun tetap
mengarah pada masalah penelitian.24 b. Dokumentasi
Dokumen tertulis dan arsip memiliki posisi penting dalam
penelitian kualitatif terutama bila kajian penelitian mengarah pada
latar belakang atau peristiwa masa lampau yang berkaitan dengan
masa kini yang sedang diteliti. Menurut Sutopo, H. B “Dokumen
23 Ibid., 79.
22
dan arsip merupakan bahan tertulis yang berkaitan dengan suatu
peristiwa atau aktivitas tertentu.”25Dokumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rekaman wawancara dan hasil foto dan
dokumen lainnya jikalau ada.
6. Teknik Analisis Data
Analisis Data merupakan hal yang penting dalam penelitian,
karena sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil penelitian. “Analisis
data kualitaif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan
data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mentesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan
apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.” Analisis alur kegiatan
yang terjadi secara bersamaan yaitu: (1) reduksi data, (2) sajian data,
dan (3) penarikan kesimpulan serta verifikasi.” Yakni sebagai berikut :26 a. Reduksi Data
Reduksi Data merupakan proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan dan abstraksi data dari fieldnote (catatan
lapangan). Proses ini berlangsung terus sepanjang penelitian sampai
laporan akhir untuk mempertegas, mempermudah, membuang hal
yang tidak penting, serta mengatur data sehingga kesimpulan akhir
dapat dilakukan.
b. Penyajian Data
25 Ibid., 54.
23
Penyajian Data adalah suatu rakitan organisasi informasi
yang memungkinkan kesimpulan peneliti dapat dilakukan dengan
melihat penyajian data. dapat dipahami berbagai hal yang terjadi
dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis
ataupun tindakan lain berdasarkan pemahaman penyajian data.
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Penarikan Kesimpulan merupakan kesimpulan dari apa yang
telah diteliti dari awal hingga akhir. Penarikan kesimpulan hanyalah
merupakan sebagian dari satu kegiatan dari kofigurasi yang utuh.
Kesimpulan akhir ditentukan sampai proses pengumpulan data
berakhir. Dalam melakukan penarikan kesimpulan peneliti bersikap
terbuka artinya apabila pada akhir penelitian menemukan data yang
kurang akurat, peneliti tidak segan-segan untuk mengadakan
penyimpulan ulang.27
I. Sitematika Pembahasan
Untuk mempermuda penulisan, maka dalam skripsi ini dibagi dalam
beberapa bab dan tiap-tiap bab dibagi dalam beberapa sub bab, sehingga
mudah dipahami oleh para pembaca. Dalam pembahasan ini penulis akan
menggunakan sistem pembahasan sebagai berikut:
Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang memberi gambaran
secara umum berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi dan batasan
24
masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab Kedua, merupakan bab yang membahas tentang kerangka teoritis
atau kerangka konseptual memuat penjelasan makna perkawinan dalam
hukum islam dan teori mas{lah{ah mursala yang di dalamnya terdapat
pengertian, pentingnya perkawinan, syarat-syarat, rukun, hukum nikah,
hikmah nikah, probelmatika perkawinan, teori mas}lah}a dan lain sebagainya.
Bahasannya ditekankan pada penjabaran disiplin keilmuan tertentu sesuai
dengan bidang penelitian yang akan dilakukan dan sedapat mungkin
mencakup seluruh perkembangan teori keilmuan tersebut sampai
perkembangan terbaru.
Bab Ketiga, merupakan bab yang membahas data penelitian, meliputi
deskripsi data secara nyata sesuai dengan kondisi yang didapatkan dari hasil
penelitian dari berbagai ragam pandangan tokoh NU Kab.Sidoarjo serta
kesimpulan pendapat terbanyak.
Bab Keempat, merupakan bab yang membahasan tentang analisis
data penelitian yang telah dideskripsikan guna menjawab masalah penelitian.
Yang berisikan tentang temuan-temuan yang dihasilkan dari penelitian, dan
pada bab ini juga dijelaskan mengenai konfrimasi temuan dengan teori yang
digunakan.
Bab Kelima, merupakan bab terahir atau penutup yang berisi tentang
BAB II
PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF SERTA TEORI MAS{LAH{AH MURSALAH
A. Pernikahan dalam Islam
1. Pengertian Pernikahan
Dalam bahasa Indonesia, pernikahan atau perkawinan berasal dari kata
“kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan
jenis (melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh).1 Perkawinan juga
disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah
)
حاكن
(
yang menurutbahasa artinya mengumpulkan, saling memasuk-kan, dan digunakan untuk
arti bersetubuh (wat{hi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk
arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah. Beralih dari makna
etimologi inilah para ulama fikih mendefinisikan perkawinan dalam
konteks hubungan biologis.2
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya
adalah:
زلا
و ا ج
ش ر
ع
ا
و
ع ق
د
و ض
ع ه
شلا
را ع
ل ي
ف ي
د
م ل
ك
سا ت
م ت
عا
رلا
ج
ل
ب
لا
م ر ا
ة
و ح
ل ا
س ت
م ت
عا
ب
رلا
ج
ل
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996), 291.
26
“Perkawianan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’
untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan
perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan
dengan laki-laki.”3
Definisi lain yang diberikan oleh beberapa mazhab terkemuka yakni:
Menurut Hanafiah, “nikah adalah akad yang memberi faedah untuk
melaksanakan atau melakukan mut’ah secara sengaja,” artinya kehalalan
seseorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak
ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.
Menurut Hanabila, “nikah adalah akad yang menggunakan lafad
inkah yang bermakna tazwij dengan maksud mengambil manfaat untuk
bersenang-senang.”
Menurut golongan ulama Syafi’iyah, “nikah adalah akad yang
dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita.”4
Dikalangan ulama Syafi’iyah rumusan yang biasa dipakai adalah:
ع ق
د
ي ت
ض
م ن
ا ب
حا
ة
ولا
ء ط
ب ل
ف
ظ
لا
ك
حا
ا و
زلا
و ا ج
“Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan
hubungan kelamin dengan menggunakan lafad na-ka-ha atau
za-wa-ja.” (al-Mahally: 206)
Ulama golongan Syafi’iyah ini memberikan definisi sebagaimana
disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan
27
dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul
sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduannya tidak
boleh bergaul.5
Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhsiyyah,
mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum
berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan
perempuan, saling tolong-menolong, serta menimbulkan hak dan kewajiban
di antara keduanya.6
Dengan redaksi yang berbeda, Imam Taqiyyudin di dalam Kifayat
al-Akhyar mendefinisikan nikah sebagai, ibarat tentang akad yang masyhur
yang terdiri dari rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah
al-wat’ (bersetubuh).7
Definisi yang diberikan oleh ulama fiqih di atas bernuansa biologis.
Nikah dilihat hanya sebagai akad yang menyebabkan kehalalan melakukan
persetubuhan. Hal ini semakin tegas karena menurut al-Azhari makna asal
kata nikah bagi orang arab adalah al-wat’ (persetubuhan).
Pengertian para ahli fiqih tentang hal ini bermacam-macam, tetapi
satu hal mereka semuanya sependapat, bahwa perkawinan, nikah atau
zawaj adalah suatu akad atau perjanjian yang mengandung kehalalan
hubungan kelamin.
5Amir Syaifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), 37.
6 Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah (Qohirah: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1957), 19. 7 Taqiyyudi Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Al-Akhyar, juz II (Beirut: Dar
28
2. Pentingnya Pernikahan
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara’, sebagaimana
ditegaskan dalam firman Allah SWT surat An-Nisa>’ : 3 yang berbunyi:8
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja,9 atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dan begitu pula Allah SWT, telah menjelaskan dalam surat Adz-Dza>riya>t
ayat 49:10
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.”
Dalam surat Ya>siin ayat 36 dinyatakan:11
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasang,
inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan
8 Al-Qur’an dan Terjemahannya, 77.
9 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami
sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
29
berlangsung dari generasi kegenerasi berikutnya, sebagaimana tercantum
dalam surat An-Nisa>’ ayat 1:12
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya dan pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada
semua makhluk tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan.
Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia
untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah
masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam
mewujutkan perkawinan.
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang
berlaku di Indonesia dinyatakan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.” Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal
2 yang berbunyi “pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan
ghaliz{ha>n untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibada.” Dalam penjelasannya, tujuan perkawinan erat kaitanya dengan
30
keturunan, pemeliharaan dan pendidikan anak yang menjadi hak dan
kewajiban orang tua.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu
perkawinan dijumpai adanya berbagai aspek, baik secara hukum, sosial,
maupun agama. Aspek Hukum dalam perkawinan dipahami dari pernyataan
bahwah perkawinan adalah suatu “perjanjian”. Sebagai perjanjian,
perkawinan mempunyai tiga sifat, yaitu:13
a. Tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak,
b. Ditentukan tata cara pelaksanaan dan pemutusannya dan c. Ditentukan pula akibat-akibat perjanjian tersebut bagi kedua
belah pihak, berupa hak dan kewajiban masing-masing.
Kata “perjanjian” juga mengandung unsur kesengajaan, sehingga
untuk penyelenggaraan perkawinan perlu diketahui oleh masyarakat luas,
dan tidak dilakuakan secara diam-diam.14
Sehubungan dengan Aspek Sosial perkawinan, maka hal ini
didasarkan pada anggapan bahwah orang yang melangsungkan perkawianan
bearti telah dewasa dan berani hidup mandiri. Karena itu kedudukannya
terhormat dan kedudukannya di masyarakat dihargai sepenuhnya.15
Sementara, Aspek Agama dalam perkawinan tercermin dalam
ungkapan bahwah perkawinan merupakan perkara yang “suci”. Dengan
demikian perkawinan menurut Islam merupakan ibadah, yaitu dalam
13 Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), 298.
31
rangka terlaksananya perintah Allah SWT atas petunjuk Rasul-Nya, yakni
terpenuhinya rukun dan syarat nikah.16
Dan pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti
yang terdapat pada Pasal 2 dinyatakan bahwah perkawinan dalam hukum
Islam adalah “akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidz{ha>n untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibada.”17
Kata miitsaqan ghalidz{ha>n ini terdapat dalam firman Allah SWT
surat An-Nisa>’ ayat 21:18
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dan mereka (suami-isteri-suami-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”
3. Hukum Pernikahan
Sedangkan hukum nikah ada 5 yaitu:19
a. Jaiz (boleh, ini asal hukumnya). Setiap pria dan wanita Islam
boleh memilih mau menikah atau tidak menikah. Maksutnya
bagi seorang pria dan wanita kalau memilih tidak menikah,
maka dirinya harus dapat menahan godaan dan sanggup
memelihara kehormatannya.
16 Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), 298-299.
17 Udang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam, 228.
18 Al-Qur’an dan Terjemhannya, 81.
32
b. Sunnah, bagi orang yang berkehendak serta cukup nafaqah,
sandang, pangan dan lain-lain. Maksudnya bagi seorang pria
atau wanita yang ingin hidup sebagai suami istri sebaiknya
menikah, karena dengan menikah bagi mereka akan
mendapatkan pahala, tetapi tidak berdosa kalau memang ingin
hidup tanpa suatu perkawinan.
c. Wajib, bagi orang yang sudah cukup sandang, pangan dan
dikhawatirkan terjerumus ke lembah perzinaan. Maksudnya
kalau seorang pria atau wanita sudah ada keinginan hidup
sebagai suami-istri, maka berkewajiban mereka supaya segera
melangsungkan perkawinan. Berdosalah kalau tidak di
lakukan sedangkan bagi orang tua yang mengetahui keinginan
itu tidak boleh menghalang-halangi apalagi membatalkan,
sebab perbuatannya berdosa.
d. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafaqah.
e. Haram, bagi orang yang berkehendak menyakiti perempuan
yang dinikahi. Maksudnya kalau seorang pria atau seorang
wanita menjalankan suatau perkawinan dengan niat jahat
seperti menipu atau ingin membalas dendam, maka hukumnya
haram karena tujuan perkawinan bukan untuk melaksanakan
suatu kejahatan.20
4. Hikmah Pernikahan
33
Beberapa Hikmah dalam Pernikahan:
a. Pernikahan adalah (pembentukan) lingkungan yang baik untuk
mengikat tali kekeluargaan, saling mencintai, menjaga diri
dan membetengi dari hal-hal yang diharamkan.
b. Pernikahan merupakan sarana yang paling baik untuk
melahirkan anak-anak, memperbanyak keturunan dengan
tetap menjaga keutuhan nasab.
c. Pernikahan menjadi sarana yang paling baik untuk
menyalurkan nafsu seksual, dengan tetap terjaga dari
penyakit.
d. Lewat pernikahan akan tersalurkan sifat ke bapakan dan ke
ibuan yang semakin bertambah dengan lahirnya anak.
e. Dalam pernikahan terdapat ketenangan, kedamaian, perasaan
malu dan menjaga kehormatan diri bagi suami dan istri.21
B. Pernikahan Menurut Fiqih Islam dan Kompilasai Hukum Islam (KHI)
1. Sahnya Perkawinan Menurut Fiqih Islam
Rukun dan syarat merupakan penentu suatu perbuatan hukum,
terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut
dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam
hal bahwa keduanya merupakan suatu yang harus diadakan. Dalam suatu
acara perkawinan rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti
perkawinan tidak sah jika keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
34
Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwah rukun itu adalah
sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur
yang mewujutkannya, sedangkan syarat itu adalah sesuatu yang berada di
luarnya dan tidak merupakan unsurnya.22
Jumhur ulama sepakat bahwah rukun perkawinan itu terdiri dari:23
a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan
perkawinan.
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW:
اهيلو ندا يغب تحكن ةارما اما
لطاب اهحاك ف
(
دمرلا اور
ى
)
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin
walinya, maka pernikahannya batal.” (At Tirmizi)24
Dalam hadist lain Nabi SAW bersabda:
ل
اهسفنةارما جوزتلو ةارما جوزت
(
هجام نبا اور
)
“Jaganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lainnya dan jaganlah seseorang perempuan menikahkan
dirinya sendiri.” (Ibnu Majah)25
c. Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi SAW:
22 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinana (Jakarta: Kencana, 2007), 59.
23 Ibid., 61.
24 Al-Tirmizi, Kitab Sunan Al-Tirmidzi, jus II (Lebanon: Darul Fikr, 2003), 352.
25 Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid al Qazwainy ibn Majah, Kitab Sunan Ibn Majah, Jus I
35
لدع ىد اشو ىوبلا حاكنل
(
دحا اور
)
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang
saksi yang adil”.26
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat-syaratnya terpenuhi. Maka perkawinan itu sah dan
menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:
a. Calon mempelai perempuan halal dikawini oleh laki-laki yang
ingin menjadikannya isteri. Jadi, perempuannya itu bukan
merupakan orang yang haram dinikahi, baik karena haram
dinikahi untuk sementara maupun untuk selama-lamanya.
b. Akad nikah dihadiri para saksi27
Dalam masalah syarat pernikahan itu terdapat beberapa pendapat
diantaranya para madzhab fiqih yaitu sebagai berikut:
a) Hanafiah berpendapat, bahwa sebagian syarat-syarat
pernikahan berhubungan dengan sighat, dan sebagian lagi
berhubungan dengan calon mempelai, serta sebagian yang
lainnya berkaitan dengan kesaksian.
26 Imam Hafidz Ali Ibn Umar Addaru Qutni, Sunan Addaru Qutni (Beirut Lebanon: Dar El
Marefah, 2001), 147.
36
b) Sedangkan menurut Syafi’iyah hukum syarat pernikahan itu
ada kalanya menyangkut sighat. Ada juga yang berhubungan
dengan wali, serta ada yang berhubungan dengan calon
suami-istri dan sebagian lagi berhubungan dengan syuhud (saksi).28
Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada lima dan
masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan
pembahasan maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian
syarat-syarat dari rukun tersebut.29
1. Calon suami, syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam b. Laki-laki
c. Jelas orangnya
d. Dapat memberikan persetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan
2. Calon Isteri, syarat-syaratnya:
a. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani
b. Perempuan
c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai persetujuannya e. Tidak terdapat halangan perkawinan
3. Wali nikah, syarat-syaratnya:
a. Laki-laki
b. Dewasa
c. Mempunyai hak perwalian
37
d. Tidak terdapat halangan perwaliannya
4. Saksi nikah, syarat-syaratnya:
a. Minimal dua orang laki-laki b. Hadir dalam ijab qabul c. Dapat mengerti maksud akad d. Islam
e. Dewasa
5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut
d. Antara ijab dan qabul bersambungan e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
f. Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah
g. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
Adapun dalam hal-hal tertentu, seperti posisi wali dan saksi masih
ikhtilaf dikalangan ulama, namun mayoritas sepakat dengan rukun yang
lima ini.30
2. Sahnya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Sahnya perkawinan menurut KHI yang terdapat pada Pasal 4 yang
berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
38
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinana.” Dan sahnya perkawinan menurut hukum Islam harus
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Syarat Umum
Perkawinan itu tidak dilakukan jika bertentangan dengan
larangan-larangan yang termaktub dalam ketentuan Q.S. Al Baqarah: 22131 yaitu
larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualian
dalam Q.S. Al Maidah: 532 yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini
perempuan-perempuan ahli kitab, seperti Yahudi dan Nasrani.
Kemudian tidak bertentangan dengan larangan-larangan tersebut dalam
Q.S. An Nisa: 22, 23 dan 24.33
2. Syarat Khusus
a. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan
b. Kedua calon mempelai itu haruslah Islam, akil baligh (dewasa dan
berakal), sehat baik rohani maupun jasmani
c. Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, jadi
tidak boleh perkawinan itu dipaksakan
d. Harus ada wali nikah
e. Harus ada dua orang saksi, Islam, dewasa dan adil
f. Bayarlah mahar (mas kawin)
31 Al-Qur’an dan Terjemahnya, 35. 32 Ibid., 107.
39
g. Pernyataan ijab dan qabul.34
Mengenai KHI ketika membahas rukun perkawinan tampaknya
mengikuti sistematika fiqih yang mengkaitkan rukun dan syarat. Ini di
muat dalam Pasal 14 yang berbunyi:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi dan
e. Ijab dan qabul
Pasal berikutnya juga dibahas tentang wali (Pasal 19), saksi (Pasal
24), akad nikah (Pasal 27). Namun sistematiknya diletakkan pada bagian
yang terpisah dari pembahasan rukun. Mengenai wali nikah Pasal 19 KHI
menyatakan bahwah, “wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang
harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.” Selanjunya Pasal 20 dinyatakan:
1. Yang berhak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh.
2. Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim.
Pada Pasal 21 dibahas empat kelompok wali nasab yang
pembahasannya sama dengan fiqih Islam seperti:
1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas
40
2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung, seayah dan
keturunan laki-laki mereka
3. Kelompok kerabat paman, yakin saudara laki-laki kandung
ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka
4. Kelompok saudara laki-lakai kandung kakek, saudara laki-laki
seayah kakek dan keturunan mereka
Sedangkan menyangkut wali hakim dinyatakan pada Pasal 23
berbunyi:
1. Wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah jika wali nasab tidak
mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau
ghaib atau ‘adhal atau enggan.
2. Dalam hal wali ‘adhla atau engan maka wali hakim harus dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama
tentang wali tersebut.
Dalam pembahasan saksi nikah, KHI juga masih senada dengan apa
yang berkembang dalam fiqih. Pada Pasal 24 ayat 1 dan 2 dinyatakan
bahwah ”saksi nikah merupakan rukun nikah dan setiap perkawinan harus
disaksikan oleh dua orang saksi.” Mengenai syarat-syarat saksi terdapat
pada Pasal 25 yang berbunyi ”yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam
akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil, balig, tidak terganggu
41
Pada Pasal 26 berbicara tentang keharusan saksi menghadiri akad
nikah secarah langsung dan menandatangani akta nikah pada waktu dan
tempat akad nikah dilangsungkan.
Pada Pasal 27 KHI mengatur tentang akad nikah yang berbunyi “ijab
dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntutan dan
tidak berselang waktu.
Sedangkan Pasal 28 mengatur tentang kebolehan wali nikah untuk
mewakilkan hak walinya kepada orang lain. Pasal 29 juga memberi ruang
kepada calon mempelai pria di mana dalam keadaan tertentu dapat
mewakilkan dirinya kepada orang lain dengan syarat adanya surat kuasa
dan pernyataan bahwa orang yang diberinya kuasa adalah mewakili dirinya.
Juga diataur pada ayat 3, jika wali keberatan dengan perwalian calon
mempelai pria, maka akad nikah tidak dapat dilangsungkan.35
C. Problematika Pernikahan dalam Islam
1. Pernikah Dini Menurut Fiqih Islam
Pernikahan dini dalam kitab fiqih klasik biasa disebut dengan nikah al
shaghira>h, yaitu pernikahan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki atau
perempuan yang belum baligh.36 Dalam prespektif fiqih, usia baligh
seseorang dicirikan dengan ihtilam (mimpi basah) bagi seorang laki-laki
dan keluarnya darah haid bagi seorang perempuan. Dari sisi usia, menurut
Abu Hanifah bagi laki-laki adalah 18 tahun dan perempuan 17 tahun.
35 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 54-55.
42
Sementara menurut Syafi’i usia baligh adalah 15 tahun baik laki-laki
ataupun perempuan.
Hukum pernikahan dini menurut mayoritas ulama adalah sah apabila
telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang telah ditentukan yaitu
sighat (ijab qabul), calon mempelai (suami-istri), wali bagi perempuan dan
dua saksi. Namun ada juga ulama yang tidak membolehkan pernikahan dini
dengan beberapa argumentasi.37
Ulama yang mengesahkan pernikan dini mengemukakan dalil dan
argumentasi sebagai berikut:
a. Terdapat dalam surat At{-T{ala>q ayat 4:38