• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752011031 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752011031 BAB III"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Bab III

SIKAP POLITIK GEREJA TORAJA

A. Keadaan Geografis Kabupaten Tana Toraja

Kabupaten Tana Toraja adalah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Ibu kota kabupaten ini adalah Makale. Sebelum pemekaran, kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.990 km² dan berpenduduk sebanyak 248.607 jiwa (2007).

(2)

Tana Toraja adalah salah satu tempat konservasi peradaban budaya Proto Melayu Austronesia yang masih terawat hingga kini. Kebudayaan adat istiadat, seni musik, seni tari, seni sastra lisan, bahasa, rumah, ukiran, tenunan dan kuliner yang masih sangat Tradisional, membuat Pemerintah Indonesia mengupayakan agar Tana Toraja bisa dikenal di dunia Internasional, salah satunya adalah mecalonkan Tana Toraja ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2009.1

B. Gambaran Umum Gereja Toraja 1. Sejarah Singkat Gereja Toraja

Cikal bakal Gereja Toraja berawal dari benih injil yang ditaburkan oleh guru-guru sekolah Landschap (anggota Indische Kerk-Gereja Protestan Indonesia), yang dibuka oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Para guru ini berasal dari Ambon, Minahasa, Sangir, Kupang, dan Jawa. Atas pimpinan dan kuasa Roh Kudus, terjadilah pembaptisan yang pertama pada tanggal 16 Maret 1913 kepada 20 orang murid sekolah Lanschap di Makale oleh Hulpprediker F. Kelleng dari Bontain. Pemberitaan injil kemudian di lanjutkan secara intensif oleh Gereformerde Zendingsbond (GZB) yang datang ke Tana Toraja sejak 10 Nopember 1913. GZB adalah sebuah badan zending yang didirikan oleh anggota-anggota Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) yang menganut paham gereformeerd. GZB berlatarbelakang pietis, dalam arti sangat mementingkan kesalehan dan kesucian hidup orang Kristen. Injil yang ditaburkan oleh GZB di Tana Toraja tumbuh dan dibina oleh GZB selama kurang lebih 34 tahun lamanya. Paham teologi GZB yang pietis itu banyak mempengaruhi paham teologi warga Gereja Toraja sampai saat ini.2

1

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tana Toraja

2

(3)

Pada tahun 1947 terjadilah babak baru dalam sejarah penginjilan di kalangan masyarakat Toraja. tepatnya pada tanggal 25 – 28 Maret 1947 diadakanlah persidangan Sinode I di Rantepao yang dihadiri oleh 35 utusan dari 18 Klasis. Sidang Sinode I ini memutuskan bahwa orang-orang Toraja yang menganut agama Kristen bersekutu dan berdiri sendiri dalam satu institusi gereja yang diberi nama Gereja Toraja.3

2. Bentuk

Gereja Toraja dalam menata kelembagaan sebagai alat pelayanan menerapkan bentuk struktur pelayanan Presbiterial Sinodal, dengan pengertian yaitu : Bentuk Presbiterial, adalah pengaturan tata hidup dan pelayanan gereja yang dilaksanakan oleh para presbiteroi (Pendeta, Penatua, dan Diaken ) dalam satu jemaat. Bentuk Sinodal ( Sinode artinya berjalan bersama) diwujudkan dalam proses pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan oleh Majelis Jemaat secara bersama-sama dalam Sidang Majelis Klasis dan Sidang Majelis Sinode. Keputusan persidangan Majelis Klasis mengikat seluruh jemaat dalam lingkup klasis bersangkutan. Keputusan Sidang Majelis Sinode mengikat seluruh jemaat dalam lingkup Gereja Toraja4

Jadi bentuk Presbiterial Sinodal adalah pengaturan tata hidup dan pelayanan gereja yang dilaksanakan oleh para presbiteroi (Pendeta, Penatua, Diaken) dalam satu jemaat, dengan keterikatan dan ketaatan kepada kebersama-samaan dengan para presbiteroi dalam lingkup yang lebih luas (Klasis dan Sinode).

Oleh karena itu dapat katakan bahwa sistem presbiterial sinodal yang dianut oleh Gereja Toraja merupakan instrument yang sangat baik dalam mendukung sikap politik Gereja Toraja terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Menurut Kalatiku Pembonan, Kebijakan otonomi

3

Ibid.

4

(4)

daerah merupakan kebijakan nasional yang berhasil didorong oleh orde reformasi untuk mengubah paradigma pemerintahan dari arah sentralistik ke arah desentralistik. Pada dasarnya, otonomi daerah dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pelayanan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, peran serta atau partisipasi masyarakat, dan peningkatan daya saing daerah.5

3. Sosial-Kultural

Gereja Toraja yang lahir dari pekabaran Injil kepada masyarakat suku Toraja, dalam pertumbuhannya tidak dapat dilepaskan dari akar-akar budaya masyarakat Toraja. Dalam kerangka demikian, Gereja Toraja di satu pihak bertanggungjawab memelihara, melestarikan, dan mengembangkan identitas masyarakat Toraja, yang memiliki karakteristik yang khusus baik dalam rangka mengisi kebhinekaan yang tunggal ika masyarakat bagi bangsa Indonesia maupun pada pihak lain terpanggil memberikan kontribusi bagi pengembangan kemanusiaan yang universal. Disadari dengan sungguh bahwa Gereja Toraja meskipun merupakan institusi keagamaan, namun juga berwatak sosial kemasyarakatan yang tidak secara kebetulan menyandang pada dirinya sebutan Toraja. Dengan nama itu terpatri tanggungjawab misi pemeliharaan, pelestarian, pengembangan nilai-nilai budaya dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Toraja dan yang memiliki karakter tersendiri. Keunikan budaya dan masyarakat Toraja tidaklah memiliki tujuan pada dirinya sendiri sebagai simbol keistimewaan dan prestise yang harus dipertaruhkan oleh masyarakat Toraja, tetapi harus diterima sebagai instrument yang berfungsi menjadi sarana dan strategi bagi aktualisasi hidup orang Toraja yang lebih manusiawi.6

5

Kalatiku Paembonan, Mendorong Realitas Kepemimpinan dalam Perspektif Sinodal Gereja Toraja, Buku kenangan Emeritasi Pdt. D.P. Sumbung, hlm. 108.

6

(5)

Hal lain yang membuat Gereja Toraja ikut tertantang adalah masih mengentalnya semangat primordialisme kesukuan Toraja yang kurang menguntungkan bagi pengembangan kehidupan bersama yang lebih luas, baik dalam lingkup kehidupan bergereja secara ekumenais, maupun dalam lingkup hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.7

4. Analisis Konteks Gereja Toraja

Berikut ini penulis akan menguraikan analisis konteks Gereja Toraja berdasarkan keputusan Sidang Sinode XXII di Jakarta.8

a. Kekuatan dan Kelemahan 1) Kekuatan

Bentuk kelembagaan Gereja Toraja menerapkan sistem Presbiterial Sinodal yang terdiri dari 4 (empat) Wilayah yang membawahi 85 Klasis, 1001 jemaat dan 267 cabang kebaktian, dan 56 tempat kebaktian yang tersebar di 13 propinsi di Pulau Sulawesi, Kalimantan dan Jawa. Warga Gereja Toraja kurang lebih 500.000 Jiwa yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, sejak tahun 2010 sudah ada satu jemaat di Kualalumpur Malaysia, dalam kerjasama dengan Geraja Presbiterian Malaysia. Hal ini merupakan asset yang mampu memenuhi kebutuhan berbagai Sumber Daya yang diperlukan oleh

Gereja Toraja dalam mencapai visi dan tujuan akhirnya.9

Kondisi medan pelayanan dengan letak geografis yang berbeda tersebut secara otomatis menggambarkan keragaman dan perbedaan potensi dari masing- masing wilayah pelayanan. Perbedaan potensi dari setiap wilayah pelayanan yang ada niscaya

7

Ibid, Hlm. 8.

8

Keputusan Sidang Sinode Am XXII di Jakarta, hlm. 141-149

9

(6)

membutuhkan management (pengelolaan) yang kuat dan optimal, dengan tetap mempertimbangkan karakteristik masing-masing medan pelayanan.

Di bidang sarana dan prasarana yang merupakan asset pendukung persekutuan, pelayanan dan kesaksian misalnya rumah sakit, sekolah-sekolah, Perguruan Tinggi, lembaga pelayanan sosial, membutuhkan peningkatan kapasitas baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.

Keberadaan lembaga Kelompok Pelayanan Kategorial (KARGT, PPGT, PWGT

dan PKB) merupakan “asset” yang memiliki peran strategis dalam Gereja Toraja.

Keberadaan lembaga-lembaga ini jika difungsikan dengan baik, akan memiliki peran yang penting sebagai wadah untuk pembinaan mental dan spiritual, tetapi juga mempersiapkan kader untuk berkarya dalam berbagai bidang termasuk bidang politik. 2) Kelemahan

Pada sisi fungsionaris pelayan / presbiteroi (Pendeta, Penatua, Syamas) perlu mendapat perhatian khususnya keberadaan tenaga Pendeta yang prosentasenya belum seimbang jika dibandingkan dengan kebutuhan jemaat dalam seluruh lingkup pelayanan Gereja Toraja. Jumlah Pendeta yang ada saat ini sekitar 500 orang dengan perbandingan 797 jemaat dan 290 lebih cabang kebaktian dirasakan belum mampu memenuhi kebutuhan pelayanan.

(7)

mengalami kendala diseputar Sumber Daya untuk menjawab kebutuhan pelayanan di wilayah tersebut. Keberadaan Penatua dan Syamas di masing masing wilayah juga mengalami kesenjangan kualitas SDM sehingga hal tersebut sangat berimplikasi pada kualitas persekutuan, pelayanan dan kesaksian pada masing-masing wilayah (klasis dan jemaat). Kondisi keimanan warga jemaat banyak mengalami dekadensi (kemerosotan), hal ini dapat terlihat dari prilaku warga jemaat yang banyak terseret kedalam arus negatif globalisasi dan modernisasi seperti gaya hidup hedonisme, pragmatis dan kurang berempati terhadap kondisi sosial/kemasyarakatan yang berkembang disekelilingnya, serta perilaku negatif lainnya.

Salah satu faktor yang signifikan menyebabkan hal tersebut adalah rendahnya kualitas pembinaan mental spritual dalam pelayanan Gereja Toraja yang disebabkan oleh mutu pelayanan dari para pelayan yang tidak mampu mengubah pribadi anggota jemaat. walaupun akhir-akhir ini setiap tahun Gereja Toraja Mengadakan kegiatan yang disebut Pekan Spiritual, tetapi menjadi pertanyaan sejauhmana kegiatan tersebut membentuk karakter, mental dan spriritual warga jemaat, ataukah kegiatan tersebut hanya sebatas seremonial saja? Semantara itu, konsentrasi para Presbiteroi (Pendeta, Penatua, Diaken) lebih banyak tersita untuk mengurus dan mengelola Gereja pada sisi kelembagaannya ketimbang berkonsentrasi pada tugas-tugas pembinaan mental-spiritual warga jemaat selaku Gereja yang hakiki (orang / manusianya).

b. Peluang dan tantangan Peluang

(8)

dipisahkan dengan masyarakat Toraja, hal merupakan peluang bagi gereja untuk mengemban misi, berteologi dalam konteks agar masyarakat Toraja dapat menikmati Injil dalam budaya mereka sendiri.

Pergeseran tatanan politik melalui penerapan otonomi daerah pada satu sisi memberi ruang yang luas bagi partisipasi masyarakat Toraja untuk mengekspresikan aspirasi mereka sesuai kepentingan dan masa depan yang diinginkan. Salah satu perwujudan dari otonomi daerah adalah pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada). Sebagaimana yang diatur dalam undang-undang Pemilu Kada bahwa rakyat di daerah itulah yang akan memilih secara langsung siapa yang pantas menjadi pemimpin mereka. Pemilihan langsung tersebut merupakan sebuah kesempatan (kairos) bagi masyarakat Toraja termasuk warga Gereja Toraja pada khususnya, untuk terlibat dalam proses demokrasi di tingkatan daerah.

Tantangan

Di samping menjadi peluang, perjumpaan antara gereja dengan kebudayaan toraja juga merupakan sebuah tatangan. Kondisi ini seringkali menghantarkan Gereja Toraja dipersimpangan jalan untuk memutuskan apakah menarik garis demarkasi secara

tegas untuk menyatakan “ tidak ” terhadap adat-istiadat yang bertentangan dengan

firman Tuhan, ataukah “ membungkus “ ketidakberdayaan pimpinan umat (gereja)

terhadap eksistensi adat dan tradisi lokal dengan argumentasi “ bertheologi kontekstual

“ untuk melanggengkan adat sekaligus agar misi pelayanan pekabaran injil tertap

(9)

kondisi masyarakat Toraja dalam suatu tarik-menarik. Pada satu sisi agama Kristen diakui sebagai dasar iman, etos dan pandangan dunia yang lahir dalam budaya nenek moyang mereka tetap berpengaruh, walaupun hal itu tidak nampak secara eksplisit. Hal ini menyebabkan kondisi masyarakat Toraja sering menampilkan sikap dualisme dan juga sering dikotomis. Pada satu sisi agama diakui (Alkitab menjadi pegangan), namun di sisi lain petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan (pemali).10

Otonomi daerah pada satu sisi merupakan peluang, namun pada sisi lain akan menimbulkan pergeseran konflik dari pusat ke daerah yang berjalan secara alami, situasi tersebut juga dipicu oleh ketidakmatangan mental para elit politik lokal dan pemimpin masyarakat yang dapat menimbulkan solidaritas sempit melalui semangat primordial, sektarianisme yang bisa bermuara pada gesekan sosial politik di tingkat lokal. Berbagai praktik money politics (politik uang) yang mengiringi otonomi daerah juga sangat berdampak buruk pada prilaku masyarakat yang semakin pragmatis dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan hidup. Fenomena tersebut juga menjadi tantangan Gereja Toraja selaku pengawal moral masyarakat.

Berbagai masalah sosial yang kini terjadi di Toraja yang notabene sebagai basis utama pelayanan Gereja Toraja dan seluruh instrumen kelembagaan Gereja Toraja berkedudukan di sana (mulai dari Jemaat, Klasis, Wilayah, hingga BPMS), semakin mempertegas ketidakoptimalan fungsi pembinaan dan pelayanan mental spiritual Gereja Toraja terhadap lingkungan sekitarnya.

Semakin maraknya peredaran narkoba, premanisme kelompok pemuda, sex bebas/ prostitusi terselubung, kriminalitas, pencurian, perjudian, gaya hidup pragmatis

10

(10)

dan hedonis serta rentan terhadap money politic adalah gambaran penyakit sosial masyarakat yang tumbuh karena semakin menipisnya kualitas keimanan masyarakat.

Kehadiran Gereja Toraja yang tersebar dibeberapa propinsi di tanah air membuka ruang dan kesempatan yang strategis untuk turut berperan serta secara signifikan bagi partsipasi penataan kebangsaan yang sedang membutuhkan gagasan-gagasan pencerahan dan pemikiran yang bernas dalam upaya pencarian jati diri ke-Indonesiaan yang tengah berada dalam masa transisi nilai dibidang politik, social, ekonomi dan relasi antar umat beragama.Konflik horizontal ditengah masyarakat akibat penggunaan simbol-simbol agama dan etnis telah memformat pola pikir masyarakat dalam bingkai rumah kaca primordialitas. Sementara para elit politik juga seringkali melakukan politisasi agama dan agamaisasi politik demi kepentingan sesaat dan tujuan kelompok sempit yang dapat menghantarkan relasi keagamaan kejurang perpecahan dan kekerasan agama. Realitas ini menjadi tantangan Gereja Toraja untuk turut membangun kontrol yang signifikan bagi cara-cara yang pragmatis seperti itu.

(11)

Gereja belum mampu menuntun gereja dan warganya untuk memasuki kehidupan bermasyarakat secara baik dalam kehidupan majemuk.

Tragedi sosial dalam lingkup Nasional yang begitu beruntun (bencana alam seperti: tsunami, gempa, longsor, banjir,dll) yang merenggut ribuan nyawa telah menyinggung perasaan kemanusiaan seluruh komponen bangsa Indonesia. Kejadian ini harus dilihat sebagai sebuah waktu Illahi (chairos Allah) untuk mengaktualisasikan solidaritas kemanusiaan Gereja sekaligus mengembangkan sensitifitas dan solidaritas sosial gereja sebagai lembaga pelayanan dalam arti luas untuk menegaskan keberpihakan gereja bagi orang yang tengah menghadapi kesulitan tanpa memandang latar belakang perbedaan sosial, agama, dan etnis.

(12)

ini sungguh merupakan pengingkaran terhadap NKRI dan sangat rentan menimbulkan konflik beragama. Secara khusus gerakan ini sangat meresahkan dan menjadi hambatan bagi pertumbuhan gereja ke depan.

Mengemukanya berbagai gerakan radikal/fundamentalis dari kelompok tertentu yang terekspresi melalui gerakan teroris merupakan persoalan yang harus diantisipasi secara bijak oleh Gereja.

Pada satu sisi implikasi dari prilaku terorisme ini menimbulkan kewaspadaan sekaligus phobia (ketakutan) dalam melakukan ritual keagamaan bagi umat Kristen, namun pada sisi lain Gereja juga dituntut untuk berani melakukan perlawanan moral terhadap tindakan-tindakan yang tidak manusiawi tersebut, sekaligus juga menjadikan hal tersebut sebagai moment untuk menginstropeksi, re-stropeksi dan otokritik terhadap strategi, mekanisme, bentuk-bentuk kehadiran Gereja di tengah -tengah masyarakat majemuk di Indonesia.

(13)

melalui kemenangan ekonomi liberal-kapitalisme, dibidang sosial-budaya ditandai dengan perjuangan civil society, dibidang teknologi dengan akselerasi teknologi informasi, komunikasi dan transportasi.

(14)

5. Warisan Teologis

Jika kita memperhatikan sejarah Gereja Toraja di atas, maka dapat dikatakan bahwa warisan teologis yang dianut oleh Gereja Toraja adalah sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan peitisme. Seperti yang diketahui bahwa Gereja Toraja lahir dari peran Gereformerde Zendingsbond (GZB) yang berlatarbelakang pietis, dalam arti sangat mementingkan kesalehan dan kesucian hidup orang Kristen. Injil yang ditaburkan oleh GZB di Tana Toraja tumbuh dan dibina oleh GZB selama kurang lebih 34 tahun lamanya. Paham teologi GZB yang pietis itu banyak mempengaruhi paham teologi warga Gereja Toraja sampai saat ini. Sehubungan dengan hal tersebut, Van den End mengatakan bahwa:

“GZB mewakili sayap kanan Gereja Hervormd, yang berpegang pada ajaran

Calvinis, tetapi menggabungkannya dengan kesalehan peitis. Unsur pietis berarti bahwa pertobatan merupakan pokok utama dalam pemberitaan Firman dan dalam penggembalaan Jemaat. selaku orang-orang Calvinis, mereka mementingkan unsur-unsur objektif, khususnya jabatan gereja dan organisasi gereja. Namun, pengaruh pietisme dalam lingkungan mereka menyebabkan mereka tidak

fanatik”11

Hal ini memiliki dampak terhadap lemahnya kepedulian warga Gereja Toraja terhadap tanggungjawab kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi yang demikian tidak memungkinkan tumbuhnya kesadaran warga Gereja untuk melihat bidang politik sebagai bidang pelayanan dan kesaksian iman Kristen.

C. Sikap Gereja Toraja Tentang Politik

Jika ditelusuri tentang bagaimana sikap atau pandangan Gereja Toraja tentang politik maka hal tersebut dapat ditemukan dalam Pengakuan Iman Gereja Toraja Bab VII ayat 6, yang terkait dengan hubungan antara pemerintah dengan gereja,. Dalam pengakuan tersebut dikatakan bahwa:

11

(15)

“Pemerintah dan lembaga-lembaganya adalah alat di tangan Tuhan untuk menyelenggarakan kesejahteraan, keadilan dan kebenaran serta memerangi kejahatan dalam tanggungjawab kepada Tuhan dan kepada rakyat. Oleh sebab itu kita wajib mendoakan dan membantu pemerintah agar dapat menjalankan

tugasnya sesuai kehendak Allah untuk kesejahteraan manusia”.12

Melalui pengakuan tersebut, dapat dikatakan bahwa Gereja Toraja secara eksplisit merumuskan prinsip dan konsepnya tentang peranannya di bidang politik,khususnya dalam hubungannya dengan pemerintah. Tetapi hal tersebut belum secara tegas menggambarkan mengenai peran profetis gereja jika pemerintah tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya yaitu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat.

Dari pengakuan Iman Gereja Toraja tersebut di atas, kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh Gereja Toraja dalam keputusan-keputusan sidang sinode. Ada dua keputusan Sidang Sinode Gereja Toraja yang memuat tentang bagimana sikap Gereja Toraja terhadap politik. Keputusan tersebut antara lain:

a. Keputusan Sidang Sinode Am Geraja Toraja XXI di Palopo.

Dalam keputusan pasal 18 tentang Gereja dan Politik, sidang sinode merumuskan bahwa dalam rangka meningkatkan peran serta pendeta dalam gereja dan masyarakat, maka SSA XXI Gereja Toraja mendukung hasil konsultasi Gereja dan Politik yang diselenggarakan oleh Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja untuk dipedomani oleh jemaat-jemaat dalam Gereja Toraja.

Konsultasi tersebut menghasilkan visi dan misi Gereja Toraja dalam bidang politik. Visi dan misi tersebut adalah:

1. Visi

Visi Gereja Toraja dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah sehingga nama Tuhan

12

(16)

dikuduskan, kehendak-Nya (keadilan, kebenaran, demokrasi, HAM, partisipasi dalam pemeliharaan lingkungan hidup) diberlakukan. Orientasi kepedulian dan perhatian gereja haruslah terarah kepada kepada kepentingan rakyat banyak dan merasa terpanggil untuk berada di pihak mereka yang tertindas, tercecer, terjepit, dsb. Atau dengan kata lain, gereja terpanggil untuk berada di pihak saudara-saudara Kristus yang paling hina.

2. Misi

Gereja yang diutus dan berada di dunia yang majemuk, dituntut untuk melaksanakan tugas kenabiannya secara positif, kritis, kreatif, dan realistis dalam berbagai segi kehidupan, antara lan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dalam hubungannya dengan pemerintah, maka gereja terpanggil untuk menyatakan sikap yang jelas, yaitu mendukung pemerintah (bd. Rm 13), namun secara kritis menegur dengan kasih pemerintah yang tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan Tuhan. Berdasarkan hal tersebut, maka Gereja Toraja bertanggungjawab untuk memperlengkapi, membimbing, dan mengarahkan warganya agar berkualitas dalam arti yang luas, sehingga dapat tetap berfungsi sebagai garam, dan terang dunia, baik pada aras lokal, regiaonal, nasional maupun internasional.

Gereja Toraja terpanggil untuk membina warganya melihat bidang politik sebagai bidang misi Kristen, sehingga warga gereja dapat memilih arah politik yang benar, baik dan tepat, sesuai dengan iman Kristiani. Itu berarti pilihan arah politik warga gereja harus dipandang sebagai panggilan dan pilihan iman. 13

13

(17)

Menurut Pdt. Dr. I.P. Lambe’, konsultasi tersebut dilatarbelakangi

pemahaman bahwa pasca reformasi bangsa Indonesia mengalami masa transisi. Dalam masa transisi itu orang-orang Kristen harus memainkan peran mereka sebagai bagian integral dari bangsa ini. Jika tidak, bangsa ini akan diatur tanpa kehadiran kita komunitas Kristiani. Kita akan menjadi kelompok yang secara sosial politis tersisih.14

Hal lain yang menjadi keputusan dalam sidang tersebut adalah perihal mengenai fungsionaris Gereja Toraja yang terlibat dalam bidang politik praktis. Dalam keputusan tersebut dikatakan bahwa fungsionaris Gereja Toraja yang penuh waktu harus meninggalkan kedudukannya apabila menduduki jabatan Ketua / Sekretaris / Bendahara (KBS) dalam organisasi politik dan atau anggota legislatif. Pengisian jabatan yang ditinggalkan, ditetapkan melalui Rapat Kerja Gereja Toraja. Yang dimaksud fungsionaris Gereja Toraja adalah para pejabat penuh waktu yang diangkat oleh persidangan atau oleh BPS Gereja Toraja pada tingkat unit kerja. Pendeta Gereja Toraja yang memilih menjadi KSB (Ketua, Sekretaris, dan bendahara), atau anggota legislatif dalam suatu partai politik apabila ingin kembali melaksanakan tugas kependetaan sesuai dengan ketentuan dalam Gereja Toraja, harus mengajukan permohonan kembali kepada BPS Gereja

Toraja untuk penempatan selanjutnya”.15

3.

14Hasil Wawa ara de ga Pdt. Dr. I.P. La e’, Ma ta Ketua U u BPS Gere

ja Toraja, Mantan anggota DPD RI, dan Mantan Sekum PGI

15

(18)

b. Keputusan Sidang Sinode Am XXII pada tanggal 3-8 Juni 2006 di Jakarta. Dalam sidang sinode tersebut dirumuskan keputusan yang terkait dengan sikap politik Gereja Toraja, secara khusus mengenai Pengembangan peran kebangsaan (gereja dan politik. Keputusan tersebut menyatakan bahwa sikap antusias masyarakat Indonesia untuk melakukan pemilihan pemimpin negara secara langsung merupakan suatu kemajuan dalam proses demokratisasi yang cukup memberi harapan. 16

Namun berkaitan dengan itu, suatu hal yang patut direnungkan adalah

“apakah pemilihan langsung tersebut merupakan jalur yang dengan sengaja

dipilih untuk membawa masyarakat kepada kehidupan demokrasi yang berdamai

sejahtera?” Pertanyaan semacam ini tetap relevan untuk dikemukakan oleh karena

fakta-fakta di lapangan menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara sampai saat ini masih tetap mengindikasikan adanya ketegangan antara kehendak politik (political will) penyelenggara negara dan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. 17

Dalam konteks yang demikian ini, “demokrasi” pun masih potensil

menjadi kendaraan untuk sekedar mememenuhi kepentingan pribadi, kepentingan kelompok atau kepentingan golongan sendiri, yang pada akhirnya dapat berimplikasi pada terabaikannya kepentingan pihak lain. Peluang bagi terjadinya kondisi yang demikian ini akan semakin diperbesar oleh masih kurang dan belum meratanya kedewasaan berpolitik sebagian rakyat Indonesia. 18

16

Himpunan Keputusan Sidang Sinode Am XXII Gereja Toraja, di Jakarta, 2-8 Juli 2006, Hlm. 74

17

Ibid

18

(19)

Dalam kondisi ini Gereja Toraja terpanggil untuk mengupayakan pemberdayaan dan pendewasaan politik warganya secara terprogram dan sistematis. Gereja perlu, secara sengaja, melakukan upaya-upaya pemberdayaan bagi warganya agar dapat melakukan kewajiban politiknya, memperjuangkan hak-hak politiknya secara konstruktif, menjamin berlangsungnya hubungan harmonis dan sinergis dengan sesama komponen bangsa. Patut dicatat bahwa upaya-upaya untuk memperjuangkan hak-hak politik tersebut harus tetap dipahami sebagai upaya memperjuangkan dan mewujudkan damai sejahtera Allah bagi semua. Karena itu, upaya tersebut juga harus tetap berlangsung dalam hubungan yang baik dengan Allah Sang Pencipta, sumber kedamaian dan kesejahteraan.19

Dari hasil keputusan sidang sinode tersebut di atas, Gereja Toraja kemudian menjabarkannya dalam program kerja Badan Pekerja Sinode. Adapun rapat kerja Badan Pekerja Sinode yang memuat tentang sikap politik Gereja Toraja yaitu:

a. Rapat Kerja IV Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Toraja, tahun 2006.

Sikap Gereja Toraja terhadap politik nampak dalam program Bidang Pembinaan Warga Gereja Dan Pekabaran Injil. Program tersebut yaitu:

- Pendidikan politik warga Jemaat, yang dilaksanakan melalui khotbah yang dimuat dalam buku membangun jemaat.

- Pencerdasan warga Jemaat dalam menyikapi isu-isu HAM

19

(20)

b. Rapat kerja I Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, tahun 2011.

Sikap politik gereja tampak dalam program mengenai Peningkatan peran Ekumenis Kebangsaan, dan Pengelolaan Pluralitas, yang terdiri atas:

- Pemberdayaan dan pendewasaan politik warga jemaat sehingga mampu melaksanakan kewajiban dan memperjuangkan hak politiknya dengan benar.

- Pendidikan politik dan pendampingan warga jemaat yang berminat dan berpotensi di bidang politik.

- Pengembangan peran gereja dalam proses legislasi-Pendampingan bagi warga gereja yang berperan dalam bidang politik.

- Pendampingan dan advokasi HAM

- Penyampaian suara kenabian kepada pemerintah dan lembaga-lembaga sosial demi kehidupan yang adil,bermoral, dan damai-sejahtera.

Berdasarkan hasil keputusan rapat kerja Badan Pekerja Sinode maka, Gereja Toraja mengadakan Konsultasi Pekabaran Injil.. Dalam hasil Konsultasi III Pekabaran Inji ditekankan tentang demokratisasi.20

Sejak tahun 1998, upaya demokratisasi di Indonesia semakin marak. Dalam kurun waktu yang lama warga masyarakat hampir tidak mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan pendapatnya. Oleh karena semuanya diatur dari “atas”, maka budaya paternalistik yang memang sudah berakar dalam budaya tradisional, tumbuh subur dalam masyarakat. Dalam banyak hal “keseragaman” ditekankan. Kenyataan ini menjadi rongrongan terhadap realitas kemajemukan yang sejak zaman nenek

20

(21)

moyang dihargai, terutama karena semangat kekeluargaan yang masih kental. Namun, ketidaksiapan menerima kesempatan (iklim demokratis) ini, menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kebebasan mengungkapkan pendapat.

Perjuangan bagi kepentingan pribadi dan kelompok sering lebih diutamakan daripada kepentingan bersama yang membangun masyarakat. Tidak jarang terjadi pemaksaan kehendak secara anarkhis dengan memanipulasi pola hubungan mayoritas-minoritas, bahkan menggunakan kekuatan dan kekerasan fisik maupun berbagai bentuk kuasa lainnya (misalnya kuasa uang, kedudukan, dsb).

(22)

Itu juga berarti, bahwa demokrasi merupakan alat untuk mencegah penimpangan-penyimpangan yang dipromosikan dan diperjuangkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang menghendaki hegemoni, baik berdasarkan agama maupun ideologi lain yang bercorak eksklusif-diskriminatif. Gereja dan warganya hanya dapat berpartisipasi mengerjakan demokratisasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bila ia melihat setiap manusia sebagai sesama mahkota ciptaan Allah yang kepadanya Allah mempercayakan pelayanan pendamaian di tengah dunia ini supaya seluruh makhluk memuliakan Allah.

Kehidupan dan kehadiran jemaat adalah kehidupan yang menghadirkan tubuh Kristus yang dikorbankan dan dibagikan untuk seluruh umat manusia dan segala mahluk. Dengan pandangan demikian, gereja dapat secara aktif, terencana dan sistematis menyelenggarakan pendidikan politik bagi warganya, tentu saja dalam perspektif teologis-alkitabiah. Nilai demokrasi perlu ditumbuhkembangkan di dalam kehidupan keluarga, antara lain dengan mengembangkan sikap saling menghargai di antara anggota keluarga, memberi ruang dan kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk mengungkapkan pandangannya tanpa rasa takut atau ditakut-takuti. Dengan demikian, dalam kehidupan berjemaat setiap orang percaya dapat menghargai orang lain dan terbuka membicarakan perbedaan-perbedaan pendapat dalam semangat persaudaraan di dalam Kristus serta berupaya saling mendukung melampaui perbedaan-perbedaan yang ada. Cara hidup seperti ini akan sangat berharga bagi kesaksian gereja di tengah masyarakat yang majemuk.

(23)

Gereja Toraja dalam setiap momen Pemilihan Umum dan Pemilukada. Berikut ini penulis memaparkan dua contoh surat penggembalaan dari Badan Pekerja Sinode kepada Jemaat-jemaat. Surat penggembalaan itu antara lain:

a. Surat Penggembalaan Menghadapi Pemilihan Umum Republik Indonesia Tahun 2009. Beberapa hal yang ditekankan dalam surat tersebut adalah:

Dalam menghadapi cara memilih yang tidak mudah ini membutuhkan niat dan kehendak untuk saling membantu memberi pemahaman sehingga suara kita tidak menjadi sia-sia. Banyak di antara kita yang tidak biasa dengan budaya baca tutis sehingga menjadi bingung ketika tiba-tiba dihadapkan pada kertas berukuran besar yang berisi tanda-tanda dan tulisan yang maknanya mungkin asing. Mari sating memberi informasi tentang cara sah memberi suara. Merupakan langkah yang baik katau Majetis Jemaat (dengan tetap menjaga netralitas, tidak memihak) dapat berinisyatif bekerja sama dengan KPU/PPK/PPS menyosialisasikan cara memberi suara yang benar.

PEMILU ini merupakan bagian dari proses panjang membawa bangsa ini keluar dari kritis multidimensional yang belum juga berakhir (sejak 1998 hingga sekarang). Sementara itu, bersama bangsa-bangsa di dunia, kita juga sedang menghadapi krisis keuangan dan ekonomi global. Karena itu, hak untuk memilih hendaknya dipergunakan sesuai dengan suara hati yang telah dijernihkan dan dipertajam dengan pertimbangan-pertimbangan yang sudah disebutkan di atas.

(24)

aktif dalam pembangunan bangsa kita. Jika tidak mempergunakan hak pilih, maka hal itu dapat berarti kita menyerahkan pengambilan keputusan seluruhnya kepada orang lain yang sangat mungkin tidak sejalan dengan yang sesungguhnya merupakan harapan kita sendiri. Di samping itu, kita patut menyadari bahwa PEMILU tahun 2009 ini menentukan pemenangnya dengan perolehan suara terbanyak. Satu suara sungguh sangat menentukan seseorang terpilih sebagai pemenang. Dan sangat mungkin satu suara itu adatah suara kita. Kita semua memiliki panggilan untuk menegakkan Republik lndonesia menjadi semakin adil, damai, dan sejahtera.

Ajaran Yesus Kristus adalah pedoman kita dalam segala hal. Sebagai pengikut Yesus Kristus, dengan tegas kita harus menolak segala bentuk kekerasan, manipulasi, kebencian, perpecahan, dan suap (politik uang). Kita harus mengutamakan persekutuan dan tidak membiarkan perbedaan dukungan dan pilihan (calon legistatif dan partai politik) merusak koinonia kristiani kita. lbarat sebuah permainan olahraga, PEMILU akan berakhir dengan kepastian akan ada sedikit saja yang keluar sebagai pemenang dan jauh lebih banyak yang akan keluar sebagai yang kalah. Memang semua peserta telah berusaha dengan sepenuh kemampuannya, tetapi semua peserta harus menjunjung tinggi nilai sportivitas. Sebagai orang beriman, kita semua sebaiknya menghadapi PEMILU ini dalam suasana hati yang siap dan terbuka menanti dengan tenang kehendak Tuhan.

(25)

Pada tahun 2010 ini terjadi pemilihan kepala daerah dan atau walikota di beberapa daerah di mana anggota-anggota Gereja Toraja berdomisili. Kami menyeru segenap anggota Gereja Toraja yang memiliki hak memilih di daerah masing-masing untuk menggunakan hak pilihnya pada hari pemilihan yang sudah ditetapkan. Pemilihan umum Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah atau walikota/Wakil Walikota ini merupakan kesempatan yang baik bagi kita sebagai rakyat terlibat langsung menentukan pemimpin tertinggi di kabupaten dan atau provinsi masing-masing. Tuhan telah menempatkan kita hidup dalam sebuah masyarakat yang majemuk.

Kita hidup dalam masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda dalam banyak aspek: Suku, agama, kepercayaan, ras, budaya, bahasa, adat-istiadat, golongan, dll. Kita juga hidup dalam masyarakat yang masih sedang berjuang melawan musuh-musuh damai-sejahtera: Kejahatan korupsi, ketidakadilan, kekerasan, lemahnya penegakan hukum, pengangguran, kurangnya lapangan kerja, penyalahgunaan narkoba, rendahnya mutu pendidikan dan kesehatan, dan kemiskinan (moral dan kebutuhan hidup sehari-hari).

(26)

mengasihi dan mencintai rakyat; pemimpin yang dapat membangun dan meningkatkan mutu kehidupan bersama kita seluruh rakyat secara adil, bijak, utuh, dan menyeluruh.

Mari memilih calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang mengutamakan kepentingan umum lebih daripada kepentingan pribadi, suku, golongan, atau kelompok sendiri dan dapat berlaku adil bagi semua komponen rakyat sehingga tercipta "damai sejahtera bagi semua". Kami menghimbau segenap anggota Gereja Toraja untuk secara tegas menolak cara-cara yang melawan Firman Tuhan dalam upaya meraih kursi kekuasaan. Misalnya suap, ancaman (menakuti-nakuti), kekerasan, penyebaran fitnah terhadap pasangan calon tertentu. Pegang teguhlah Visi Gereja Toraja, "Damai Sejahtera Bagi Semua". Pada masa kampanye mungkin suasana politik akan dinamis. Mari kita semua berdoa dan berusaha sungguh-sungguh supaya kampanye berlangsung dengan damai dan penuh penghormatan atas hak-hak asasi tiap orang. Kami menghimbau segenap anggota Gereja Toraja untuk mendoakan secara khusus kegiatan pemilihan umum kepala daerah atau walikota baik dalam doa-doa pribadi maupun dalam ibadah-ibadah hari Minggu menjelang PEMILU KADA.

(27)

dan memperjuangkan nasib orang banyak, serta membela hak orang lemah, miskin dan tersisih.

Namun hal yang prinsip itu belum sejalan dengan realitas. Sebagai salah satu contoh, warga jemaat maupun masyarakat pada umumnya masih rentan terhadap praktek politik uang (money politic). Kenyataan ini menurut penulis merupakan bentuk dari belum dipahaminya makna politik sebagai perjuangan bersama untuk kesejahteraan masyarakat, politik masih dipahami sebagai medan untuk saling merebut kekuasaan. Hal tersebut disadari oleh Gereja Toraja yang tampak dalam laporan Badan Pekerja Sinode pada SSA XIII di Tallunglipu. Hal yang menyebabkan sikap politik gereja masih sebatas konseptual karena antara lain Gereja Toraja dalam sejarah masa lampau tidak memiliki wawasan teologis yang jelas mengenai keterlibatannya dalam bidang politik, yang pada gilirannya mengakibatkan ketidakjelasan visi dan misi gereja dalam bidang politik. Sehubungan dengan itu, ada dua hal yang perlu dicatat:

1. Adanya pengaruh tradisi teologi pietis yang cenderung menjauhkan gereja dari bidang politik. Sebagimana yang penulis telah uraikan sebelumnya.

2. Belum dirumuskannya secara sistematis langkah-langkah strategik yang harus ditempuh oleh Gereja Toraja dalam mengimplementasikan sikap politiknya. D. Sikap Politik Gereja Toraja Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Otonomi Daerah merupakan salah satu bagian dari dinamika politik di Indonesia pasca reformasi. Adapun sikap politik Gereja Toraja terkait dengan otonomi daerah tampak dalam konsultasi III PI Gereja Toraja. Dalam konsultasi tersebut dirumuskan bahwa:

(28)

daerah semestinya tidak terlepas dari kepentingan pertumbuhan nasional. Nilai dan semangat yang terkandung dalam Undang-undang ini sejalan dengan nilai dan semangat yang melandasi bentuk Presbiterial Sinodal yang dianut oleh Gereja Toraja. Sebagaimana halnya otonomi daerah harus dikembangkan dalam kerangka NKRI, demikian halnya kemandirian jemaat-jemaat harus dibina dalam kerangka keutuhan gereja. Dalam bingkai pemikiran seperti di atas, pertumbuhan dan kemandirian jemaat-jemaat/klasis-klasis perlu didorong dan ditempatkan dalam perjalanan dan kesaksian bersama (sinode) Gereja Toraja dalam konteks masyarakat Indonesia.21

Berkaitan dengan itu, Peran Gereja Toraja dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Tana Toraja tampak dalam proses pemekaran kabupaten sehingga kabupaten Toraja Utara dapat berdiri. Peran tersebut nampak melalui perjuangan para wakil-wakil rakyat yang berasal dari Toraja baik di tingkat DPRD Kabupaten, DPRD provinsi, DPR RI, dan DPD RI. Pemekaran bertujuan untuk mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat.

Menurut Pdt. Soleman Batti’, M.Th, pemekaran dipandang sebagai strategi politis karena

dengan adanya pemekaran, sudah ada dua kabupaten yang mayoritas penduduknya Kristen. Oleh karena itu ketika ada forum pertemuan dalam konteks provinsi Sulawesi Selatan maka ada dua bupati yang dapat berbicara dan mendorong agar Sulawesi Selatan terhindar dari pemikiran sektarian. Pemikiran sektarian itu sudah mulai tampak melalui perda-perda syariah.22

Sementara itu, Menurut Pdt. I.Y. Panggalo, D.Th., sekarang ini agak sulit jika peran Gereja Toraja dihubungkan secara langsung dengan otonomi daerah. Tetapi menurutnya peran secara tidak langsung tampak dalam peran gereja dalam mendampingi dan memfasilitasi dua kubu terkait proses pemekaran yakni kubu yang menentang pemekaran dan kubu yang mendukung pemekaran kabupaten. Oleh karena itu menurutnya, otonomi daerah merupakan peluang sekaligus tantangan. Otonomi daerah merupakan peluang karena

21

Hasil Konsultasi III Pekabaran Injil Gereja Toraja, PSP Tangmentoe, 20-25 Mei 2005.hlm 107

22

(29)

merupakan kesempatan bagi kabupaten Tana Toraja untuk dimekarkan. Dengan adanya pemekaran, maka wilayah kabupaten Tana Toraja dikelola oleh dua pemerintahan yakni kabupaten Tana Toraja (induk) dan kabupaten Toraja Utara (hasil pemekaran). Otonomi daerah merupakan sebuah tantangan karena dapat berpotensi menimbulkan fanatisme kedaerahan. Menurut I.Y. Panggalo peran Gereja Toraja dalam pelaksanaan otonomi daerah hanya sebatas memberdayakan warga masyarakat dalam hal partisipasi politik serta memberikan pendampingan dan pendidikan politik bagi warga gereja dan warga masyarakat pada umumnya. Terkait dengan nilai-nilai budaya, I.Y. Panggalo mengatakan bahwa semestinya nilai-nilai budaya mewarnai pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Tana Toraja misalnya nilai-nilai Tongkonan yakni gotong-royong dan seharusnya pemerintah bekerjasama dengan Gereja untuk mencapai maksud tersebut.23

Selain pemekaran, otonomi daerah dengan sistem pemilihan langsung, maka sebagai kaum minoritas di wilayah provinsi Sulawesi Selatan, kabupaten Tana Toraja menjadi daerah yang dipertimbangkan. Tetapi otonomi daerah juga dengan sistem pemilihan langsung berpotensi menciptakan disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu peran gereja sangat dibutuhkan. Menurut Samuel Eban, SH. Gereja harus memainkan peran profetisnya agar sistem perpolitikan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam rangka mencapai harapan tersebut, gereja harus menyiapkan Sumber Daya Manusia, oleh sebab itu Tana Toraja harus dijadikan daerah atau pusat pendidikan.24

Selain itu, Kabupaten Tana Toraja sebagai salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, yang sebagian besar penduduknya adalah warga Gereja Toraja, maka dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah semestinya sistem pemerintahan dikelola bernafaskan

23

Hasil Wawancara dengan Pdt. I.Y. Panggalo, D.Th., Ketua I Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, yang membidangi Pembinaan Warga Gereja dan Pekabaran Injil.

24

(30)

nilai Kristiani. Karena itu Gereja Toraja akan mendorong pihak legislatif (DPRD) untuk mengeluarkan perda-perda yang berkaitan dengan pemberantasan penyakit sosial misalnya tentang judi, prostitusi, narkoba, dan lain-lain.25

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat disimpulkan bahwa secara prinsip Gereja Toraja menerima dan setuju terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Sikap tersebut tidak bertentangan dengan sikap Gereja Toraja tentang politik secara umum, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Karena Gereja Toraja menyadari bahwa pelaksanaan otonomi daerah adalah bagian dari pelaksanaan proses demokrasi di Indonesia.

Namun menurut penulis, Gereja Toraja belum secara serius menjadikan otonomi daerah sebagai sebuah isu politik dalam rangka memberdayakan warganya maupun warga masyarakat untuk berpartisipasi di dalamnya. Pada hal struktur presbiterial sinodal yang dianut Gereja Toraja sejalan dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah yakni memberi kewenangan kepada jemaat-jemaat secara otonom untuk memberdayakan potensi masing-masing.

Ketidakseriusan Gereja Toraja terhadap pelaksanaan otonomi daerah tampak jelas dalam tidak dijadikannya menjadi isu sentral dalam keputusan sidang sinode, sebagai wadah pengambilan keputusan tertinggi dalam lingkup Gereja Toraja. Bahkan tidak pernah dibahas dalam rapat kerja (program) Badan Pekerja Sinode sebagi wadah untuk menjabarkan secara teknis keputusan Sidang sinode. Otonomi daerah hanya bagian terkecil dari hasil konsultasi III PI, sebagimana yang telah diuraikan sebelumnya.

Oleh karena itu sebagai dampak dari hal di atas, maka pemahaman Gereja Toraja terhadap pelaksanaan otonomi daerah hanya sebatas pertimbangan pragmatis. Hal tersebut tampak dalam hasil wawancara penulis dengan pimpinan sinode, yang telah diuraikan

25

(31)

sebelumnya bahwa proses pemekaran kabupaten Tana Toraja sebagai implementasi Undang-undang otonomi daerah, dipandang oleh Gereja Toraja untuk memperkuat posisi sebagai kaum minoritas di tengah kaum mayoritas Islam di Sulawesi Selatan.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Untuk memahami apa itu pelayanan Konseling Pastoral Holistik yang dilakukan oleh gereja (pendeta serta majelis dan atau jemaat dengan kompetensi), maka kita

dengan pendeta Batak yang menuntut haknya untuk memimpin Gereja HKBP

(1) Gereja tersebut belum memiliki pendeta atau sedang memanggil/mencari Pendeta; (2) Harapan jemaat terhadap seorang pendeta karena banyak pendeta yang

Kedua : Apakah saudara bersedia mentaati semua aturan gereja dan berjanji untuk tetap setia menjalankan tugas sebagai Diaken dan Penatua di GPIB Jemaat

Hasil w aw ancara dengan Pdt.. 50 Gereja GPIB tentang Perbendaharaan GPIB, melakukan pembinaan bagi warga jemaat melalui khotbah mingguan, kunjungan pastoral, seminar,

Melalui sinergi antara pejabat gerejawi, yaitu penatua dan diaken, dan pemimpin dari warga jemaat biasa, yaitu ketua kelompok, pelayanan jemaat menjadi sebuah shared

Kedua Apakah saudara bersedia mentaati semua aturan gereja dan berjanji untuk tetap setia menjalankan tugas sebagai Diaken dan Penatua di GPIB Jemaat “Horeb” DKI

Mengingat bahwa akan dilaksanakan Peneguhan Diaken-Penatua GPIB Jemaat Bukit Benuas periode 2017-2022 yang akan dilanjutkan dengan Sidang Majelis Jemaat Khusus Pemilihan PHMJ