• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752012027 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752012027 BAB III"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

Fungsi Pendeta Weekend di Jemaat dalam Pelayanan Pastoral

3.1 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

3.1.1 Keadaan Geografis

Provinsi NTT terletak di selatan katulistiwa pada posisi 80-120 LS dan 1180-1250 BT. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Samudera Hindia, sebelah timur dengan Republik Demokrasi Timor Lesta, dan sebelah barat dengan propinsi NTB. NTT merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 1.192 pulau, 432 pulau di antaranya sudah mempunyai nama dan sisanya sampai saat ini belum mempunyai nama. 42 pulau dihuni dan 1.150 pulau tidak dihuni, Di antara 432 pulau yang sudah bernama terdapat 4 pulau besar: Flores, Sumba, Timor dan Alor (FLOBAMORA) dan pulau-pulau kecil antara lain: Adonara, Babi, Lomblen, Pamana Besar, Panga Batang, Parmahan, Rusah, Samhila, Solor (masuk wilayah Kabupaten Flotim/ Lembata), Pulau Batang, Kisu, Lapang, Pura, Rusa, Trweng (Kabupaten Alor), Pulau Dana, Doo, Landu Manifon, Manuk, Pamana, Raijna, Rote, Sarvu, Semau (Kabupaten Kupang/ Rote Ndao), Pulau Loren, Komodo, Rinca, Sebabi, Sebayur Kecil, Sebayur Besar Serayu Besar (Wilayah Kabupaten Manggarai), Pulau Untelue (Kabupaten Ngada), Pulau Halura (Kabupaten Sumba Timur, dll.)1

3.1.2 Keadaan Sosial-budaya

Propinsi NTT mempunyai budaya yang beragam. Hal ini dikarenakan ada banyak suku yang terdapat di propinsi ini, dan setiap suku mempunyai ciri khasnya

1 http://nttprov.go.id/provntt/index.php?option=com_content&task=view&id=9&Itemid=5 (diunduh pada

(2)

sendiri-sendiri. Suku-suku tersebut tersebar di 42 pulau di NTT yang telah berpenghuni saat ini. Selain menempati daerah atau pulau asalnya masing-masing, orang-orang dari suku-suku tersebut juga berpindah mencari penghidupan yang lebih baik di daerah atau pulau lain. Hal ini mengakibatkan di pulau Timor kita bisa menjumpai orang dari suku Rote, suku Sabu, Flores, dan lain-lain. Sehingga masyarakat di pulau Timor tidak hanya didominasi oleh orang dari suku Timor saja. Di Kupang, ibukota propinsi NTT, keragaman ini sangat terasa, banyak sekali penduduk dari Rote dan Sabu yang berdomisili di kota ini. Mata pencaharian mereka selain berdagang, ada juga yang bekerja sebagai nelayan, Pegawai Negeri Sipil, dan berwiraswasta.2

Sistem sosial masyarakat di NTT memiliki keterikatan dengan sistem sosial yang dimiliki oleh suku-suku yang ada di NTT pada zaman dahulu. Contohnya di Sumba mengenal sistem kasta, pada masa kinipun sistem kasta masih berpengaruh kuat pada kehidupan sosial politik masyarakat Sumba. Sistem sosial dan pemerintahan suku-suku di NTT pada zaman dahulu umumnya adalah sistem kerajaan. Sekumpulan masyarakat atau suku diperintah oleh seorang raja yang dipilih oleh masyarakatnya, namun ada pula yang berdasarkan keturunan (dinasti). Contohnya di suku Timor yang mendiami TTS. Pada zaman dahulu ada 3 kerajaan besar di daerah tersebut yaitu kerajaan Amanuban, kerajaan Amanatun, dan kerajaan Mollo. Kerajaan Amanuban diperintah oleh dinasti kanaf

(marga) Nope, kerajaan Amanatun dipeinta oleh dinasti kanaf Banunaek, dan Mollo diperintah oleh dinasti dari kanaf Oematan. Setiapn orang yang berasal dari kanaf-kanaf

raja ini sangat dihormati di masyarakat.3

2 Doko,I.H, Nusa Tenggara Timur Dalam Kencah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia , (Bandung: Masa

baru, 1973), 13

3 A.D.M. Parera, Sejarah Pemerintahan Raja -Raja Timor: Suatu Kajian Atas Peta Politik Pemerintahan

(3)

Di masa sekarang mereka memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat di mana nenek moyangnya pernah memimpin sebagai raja, dan mereka dipandang sebagai bangsawan. Sampai saat ini, hal itu masih terasa di daerah-daerah di TTS pada khususnya. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat mempunyai penghormatan yang tinggi terhadap seorang pemimpin. Di masa sekarang, ketika masyarakat sudah mengenal sistem birokrasi modern, penghormatan terhadap pemimpin itu masih berlaku. Bahkan ketika orang itu sudah tidak menjadi pemimpin lagi, atau sudah digantikan oleh orng lain, sikap menghargai dan menghormati itu masih kental terasa.

Hal lain yang menonjol dalam system sosial masyarakat di NTT adalah solidaritas yang tinggi antar kerabat. Kerabat yang dimaksudkan di sini bisa 3 jenis, yang pertama adalah kerabat dalam pengertian sanak saudara atau mereka yang memiliki hubungan darah. Yang kedua adalah kerabat dalam pengertian tidak memiliki hubunga darah tetapi menjadi satu keluarga akibat kawin-mawin. Yang ketiga adalah kerabat dalam pengertian satu suku.4 Solidaritas yang terbangun dalam 3 lembaga ini yaitu hubungan saudara, perkawinan, dan suku secara luas, memberi pengaruh besar dala kehidupan masyarakat di kemudian hari, namun dari ketiganya yang paling kuat adalah solidaritas antar kerabat sedarah (geneologi).5

3.1.3 Keagamaan di Nusa Tenggara Timur

Presentase jumlah pemeluk agama di provinsi NTT adalah agama Katolik mencapai 1.156.239 jiwa, agama Kristen Protestan mencapai 710.766 jiwa, agama Islam mencpai 252.671 jiwa, agama Budha dan Hindu 6.003 jiwa, dan penganut agama/kepercayaan asli 257.513 jiwa. Sedangkan jumlah tempat ibadah di Provinsi NTT adalah: Gereja / Kapela

4 Van Wooden, Klen Mitos dan Kekuasaan, (Jakarta: PT.Temprint, 1985), 25

(4)

Katolik sebanyak 2.035 buah, Greja protestan 4.555 buah, Mesjid / Mushollah 905 buah, Pura 28 buah dan Wihara sebanyak 1 buah.6 Dari data ini dapat dilihat secara jelas bahwa mayoritas penduduk NTT adalah pemeluk agama Kristen, baik itu Kristen Protestan maupun Kristen Katolik.

3.2 GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN

3.2.1 Sejarah GMIT

Menurut Van den End dan Weitjens, sejarah berdirinya GMIT tidak terlepas dari sejarah kekristenan di Nusa Tenggara. Kekristenan di Nusa tenggara dibawa oleh orang-orang Belanda lewat lembaga-lembaga pekabaran Injilnya. Pada tahun 1899, wilayah Timor, Rote dan Sawu dilayani oleh seorang pendeta bantu/zendeling dari Belanda. Jumlah orang Kristen diketiga pulau itu kurang lebih sekitar 15.000 jiwa. Yang paling banyak adalah di pulau Rote, yakni sekitar 8.000 jiwa. Oleh karena jumlah orang Kristen yang terus meningkat, didirikan sebuah sekolah pendeta di Ba’a Rote. Paada tahun 1920 dipinahkan ke Kupang. Oleh karena ada semangat anti-Belanda yang kemudian mendorong perjuangan untuk dibentuknya sebuah gereja mendiri di Timor dan sekitarnya, maka pada tahun 1931 sekolah ini ditutup, kemudian dibuka lagi pada tahun 1935 di Kapan, dan tahun 1936 dipindahkan ke SoE.7

Selanjutnya Van den End dan Weitjens dalam Ragi Cerita II (1996), mengatakan bahwa berita-berita tentang perkembangan kekristenan di Minahasa dan Maluku semakin memperuncing semangat orang-orang kristen di Timor dan sekitrnya untuk berdiri

6 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah,

Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Timur, (Departemen P dan K: Jakarta, 1983), 14

7 Van den End, Th, dan Weitjens, J. Ragi Cerita 2: Sejarah Gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung

(5)

sendiri. Pada tahun 1938 mulailah diambil tindakan-tindakan konkret seperti pembentukan Perhimpunan Kelengkapan yang terdiri dari orang Belandan dan orang Indonesia. Perhimpunan kelengkpan ini kemudian memilih dan membentuk Majelis Penolong selaku badan penasihat bagi pendeta ketua di Kupang. Pendeta ketua dan para pendeta bantu wajib meminta pendapat kedua badan ini sehubungan dengan rencana pembentukan gereja mandiri di Timor. Setelah dibuat berbagai Peraturan untuk Majlis Gereja yang lengkap yang kemudian disahkan oleh Gereja Protestan Indonesia (GPI), maka pada tanggal 31 Oktober 1947 berdirilah Gereja Masehi Injili di Timor. Gereja ini meliputi wilayah pulau Timor, Flores, Alor, Pantar, Rote, Sawu dan Sumbawa. Selama 1947-1950, ketua sinode adalah seorang pendeta Belanda, dan biaya kehidupan gereja tetapi ditanggung oleh pemerintah. Barulah pada tahun 1950, jabatan ketua sinode dipegang oleh seorang Pendeta pribumi, yaitu Pdt. J. L. Ch. Abineno, dan pemerintah mengakhiri pembayaran gaji serta sokongan lain yang masih tersisa dari zaman geeja-negara. Dengan demikian GMIT benar-benar berdiri sendiri.8

3.2.2 Struktur Dasar GMIT

GMIT mempunyai struktur yang dijalankan dalam azas presbiterial sinodal. Seluruh jemaat berada di bawah koordinasi sinode GMIT. Sinode GMIT dijalankan oleh Majelis Sinode. Di bawah Majelis Sinode ada Majelis Jemaat / Majelis Jemaat Harian yang berkoordinasi langsung dengan jemaat. Dalam menjalankan tugasnya Majelsi Sinode berkonsultasi dan berada di bawah pengawasan Badan Pertimbangan Pengawasan Pelayanan Sinode (BPPPS), sedangkan Majelis jemaat / Majelis Jemaat Harian berkonsultasi dan berada di bawah pengawasan Badan Pertimbangan Pengawasan Jemaat (BPPPJ). Majelis Sinode terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua, Sekretaris dan wakil

(6)

sekretaris, bendahara, dan anggota-anggota. Yang menjadi anggota adalah Komisi Diakonia, Komisi Umum, Litbang, Komisi Kemitraan, Komisi Personil, Komisi Kategorial, Komisi Teologi, Komisi Ibadah, Komisi Keuangan, Komisi Harta Milik, dan Komisi Penggajian. Pengambilan keputusan tertinggi ada pada Persidangan Majelis Sinode.9

Masih dalam Tata Gereja GMIT, pengambilan keputusan tertinggi di tingkat jemaat ada pada Persidangan Jemat. Di bawah Persidangan Jemaat ada Majelis Jemaat yang terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Skretaris, Bendahara dan Wakil Bendahara, dan anggota-anggota. Yang menjadi anggota adalah pengurus bidang kategorial, Komisi Ibadah dan Persektuan Doa, Komisi Pelayanan Kasih, Panitia-panitia, Komisi Katekasasi dan Kesaksian, Komisi Litbang dan Perencanaan. Sekretaris bertanggungjawab atas Perpustakaan dan Pendayaan, serta Tata Usaha. Bendahara bertanggungjawab atas Harta Milik dan tata Usaha Keuangan. Jemaat yang terdiri dari rayon-ryon berkoordinasi langsung dengan Majelis Jemaat / Majelis Jemaat harian.10

(7)

3.2.3 Sejarah Gereja Bukit Zaitun Oelelo

(Foto 1 Papan Nama Gereja Bukit Zaitun Oelelo - dok.pribadi)

(8)

(Foto 3 Gereja Bukit Zaitun Oelelo tampak samping - dok.pribadi)

(9)

daerah Tarus, Noelbaki dan Nunkurus. Organisasi pelayanan Gereja Bukit Zaitun Oelelo cukup baik karena ada Majelis Jemaat, Majelis jemaat harian, BP3J, Panitia Pembangunan, ada UPP, Kaum Perempuan, Kaum Bapak, PAR dan Katekasasi. Hingga saat ini Gereja Bukit Zaitun Oelelo memiliki 18 rayon dengan jumlah majelis jemaat sebanyak 26 orang.11

3.3 HASIL PENELITIAN

3.3.1 Penilaian Warga Jemaat Terhadap Tugas dan Tanggung Jawab Pendeta di

Gereja Bukit Zaitun Oelelo dalam Pelayanan

Berbicara tentang fungsi seorang pendeta, tentunya masing-masing jemaat memiliki pandangannya masing-masing. Oleh karena itu sebelum bertanya tentang penilaian warga jemaat terhadap tugas dan tanggung jawab pendeta di gereja Bukit Zaitun Oelelo dalam pelayanan maka penulis sedikit bertanya kepada jemaat tentang pemahaman warga jemaat tentang pelayanan pastoral.

Bapak GL mengatakan bahwa pelayanan pastoral pendeta adalah kunjungan rutin pendeta ke rumah-rumah jemaat untuk memotivasi jemaat agar aktif dalam kegiatan gereja. Lebih lanjut bapak GL secara tegas menyampaikan bahwa pelayanan pastoral sepatutnya menjangkau dan menghampiri jemaat yang bermasalah, bukan hanya duduk diam menunggu jemaat berinisiatif menjumpai pendamping untuk menceritakan masalah atau pergumulan yang dihadapinya.12 Bapak ZN mengatakan bahwa pelayanan pastoral pendeta adalah tugas pendeta yang harus mengunjungi jemaat yang sakit, berdukacita, karena dengan perkunjungan ini pendeta telah melakukan pelayanan pastoral yang

11 Berdasarkan penuturan sejarah oleh Bapak penatua Soinbala, Kamis 17 Des 2015, karena belum ada

catatan resmi tentang sejarah jemaat Gereja Bukit Zaitun Oelelo.

(10)

diartikan sebagai tugas kunjungan pendeta kerumah jemaat untuk mendoakan jemaat. Menurut bapak ZN seorang pendeta yang baik yaitu mereka yang memiliki kualitas intelektual yang baik, mempunyai rasa empati yang besar, namun baik dalam keseharian, percaya pada proses, siapapun orangnya.13 Bapak YS mengatakan bahwa pelayanan pastoral merupakan kunjungan pendeta kerumah-rumah jemaat untuk membimbing setiap keluarga jemaat, ia harus mau mendengarkan, tidak menghakimi serta dapat memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah.14 Berdeda dengan ibu AS yang mengatakan bahwa pelayanan pastoral merupakan layanan yang serius di lakukan pendeta kepada jemaat yang sedang meghadapi permasalahan yang berat dan membutuhkan nasehat dari pelayan. Ditambahakan oleh Ibu AS, ketulusan dan kerendahan hati diperlukan seorang pendeta untuk menciptakan rasa nyaman bagi yang didampingi, sehingga proses konseling dapat berjalan dengan baik.15

Setelah mengetahui pemahaman para warga jemaat tentang pelayanan pastoral, maka penulis mulai bertanya tentang penilaian para warga jemaat tentang pelayanan pastoral yang dilakukan oleh pendeta di gereja Bukit Zaitun Oelelo. Hal yang menarik disini adalah terjadi kontradiktif dalam temuan penelitian. Rupanya pemahaman tersebut tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Baik bapak GL, bapak ZN, bapak YS maupun ibu AS menilai pelayanan pastoral pendeta tersebut kurang baik dengan alasan bahwa pelayanan pastoral yang dilakukan pendeta sering kali diabaikan dan diserahkan kepada majelis jemaat untuk melayani, contoh yang diberikan oleh bapak GL mapun bapak ZN adalah ketika jemaat mempunyai pergumulan dalam keluarga maupun dalam kehidupan sehari-hari dan sangat membutuhkan perhatian dari pendeta tetapi pelayanan itu justru

(11)

tidak ada, bahkan ibu AS mengatakan bahwa pendeta tersebut terlihat santai dan dinilai kurang perhatian terhadap pelayanan jemaat, dan bapak YS juga menambahkan bahwa pendeta tersebut hanya ada pada hari minggu atau pada hari-hari gerejawi lainnya.16

Melihat dari persepsi dari warga jemaat tentang sosok seorang pendeta yang melakukan pelayanan pastoral dengan baik serta fakta lapangan yang berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan, pastilah warga jemaat merasa kecewa dengan kinerja kerja dari pendeta yang ada di gereja Bukit Zaitun Oelelo. Memang pelayanan pastoral seorang pendeta membutuhkan bantuan dari majelis jemaat yang ada tetapi bukan berarti bahwa pendeta tersebut melepaskan tugas dan tanggung jawabnya begitu saja, karena fungsi majelis jemaat disini adalah sebagai partner kerja yang secara bersama-sama mengkoordinasi pelayanan bagi jemaat.

Berkaitan dengan penilaian warga jemaat tentang tugas dan tanggung jawab pendeta dalam pelayanan pastoral, cara pandang anggota jemaat terhadap pemimpinnya (pendeta) dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda yakni, dari sisi negatif dan positif. Pemahaman jemaat yang negatif disebabkan proses pelayanan kepada anggota jemaat yang kurang baik, timbulnya rasa resah, kegelisahaan, dan rasa tidak nyaman terhadap cara hidup pendeta dalam kegiatan formal gereja ataupun juga kehidupan kesehariannya. Sedangkan dari sisi positif pendeta dipandang sebagai hamba Tuhan yang melakukan pelayanan dengan baik dan menjadi teladan. Kerja keras pendeta dengan kesungguhan dan kegigihannya dalam melayani jemaat, serta spritualitas pendeta telah melahirkan terciptanya rasa hormat jemaat, sehingga menunjukan cara pandang yang positif dari anggota jemaat. Pendeta di gereja Bukit Zaitun Oelelo diharpkan mampu melaksanan tugas dan tanggung jawabnya dalam pelayanan pastoral sehingga pendeta tersebut dapat

(12)

memberikan makna positif atau pengaruh yang baik bagi jemaatnya.

3.3.2 Penilaian Majelis Jemaat Terhadap Tugas dan Tanggung Jawab Pendeta di

Gereja Bukit Zaitun Oelelo dalam Pelayanan

Seperti halnya wawancara terhadap jemaat, maka ketika melakukan wawancara terhadap majelis jemaat tentang penilaiannya terhadap fungsi pendeta tentang pelayanan pastoral, maka sebelumnya penulis bertanya kepada majelis jemaat tentang apa itu pelayanan pastoral dari perspektif majelis jemaat.

Berdasarkan penelitian, didapati bahwa majelis jemaat di gereja Bukit Zaitun Oelelo memahami pelayanan pastoral sebagai pendampingan yang dilakukan oleh pendeta, seperti yang dikatakan bapak penatua SB : ”Kalau saya memahami pelayanan pastoral itu sebagai pembinaan. Saya hanya memahami kalau pelayanan itu dilakukan oleh pendeta dan vikaris, kalau kami sebagai pembantu-pembantu pendeta ini hanya sebagai pendampingan kepada jemaat yang mempunyai permasalahan.”17 Menurut ibu penatua

AD : “Pelayanan pastoral adalah perkunjungan pendeta ke rumah-rumah jemaat, yang

telah diprogramkan oleh gereja. Didalam perkunjungan ini biasanya pelayan mempertanyakan dengan santai kepada jemaat : bagaimana keadaan mereka, apakah ada masalah keluarga dan lain-lain. Setelah pelayan mengetahui adanya persoalan jemaat, maka pelayan mulai melakukan konseling pastoral dengan memberakan arahan dan nasehat serta mendoakan jemaat agar mampu dalam menghadapi persoalan tersebut.”18

Ibu penatua AG mengatakan : “Pelayanan pastoral merupakan layanan perkunjungan

pendeta ke rumah jemaat untuk mendoakan, menghibur dan menguatkan jemaat yang sedang bermasalah. Penguatan yang dimaksudkan adalah dengan membaca Alkitab dan

(13)

doa bersama.” 19 Bapak diaken AP megatakan : “Pelayanan pastoral pendeta sesungguhnya memiliki posisi penting dalam gereja, karena melalui pelayanan pastorallah gereja dapat lebih efektif menemukan akar permasalahan dalam jemaat yang kemudian perlu diselesaikan dan dijawab melalui program/kegiatan pelayanan.”20 Bapak diaken CB mengatakan : “Yang namanya pelayanan pastoral pendeta berarti pendekatan yang dilakukan secara terus menerus dalam upaya mendapatkan akar persoalan dan mendapatkan solusinya.”21

Ketika penulis bertanya tentang penilaian majelis jemaat tentang kegiatan pelayanan pastoral pendeta terhadap jemaat, baik itu bapak SB, ibu AD, ibu AG, bapak AP maupun bapak CB mengatakan bahwa pendeta di gereja Bukit Zaitun Oelelo kurang memberikan perhatian secara khusus pada pelayanan pastoral, sehingga jemaat kurang memahami hakekat pelayanan pastoral pendeta dengan baik. Para majelis jemaat mengatakan bahwa bahwa pendeta yang ada di gereja Bukit Zaitun Oelelo hanya mengunjungi jemaat pada saat ada acara tertentu, misalnya pada saat kebaktian minggu dan hari-hari gerejawi lainnya sedangkan untuk pelayanan konseling yang lain dilakukan oleh para penatua dan diaken. Hal ini mengakibatkan adanya kurang komunikasi antara pendeta, penatua diaken dan jemaat sehingga hubungan antara pendeta dan majelis berjalan kurang baik, masalah-masalah dalam jemaat lebih sering diselesaikan oleh tua-tua adat, banyak keluarga yang belum nikah secara gerejawi, surat/menyurat tidak ada, kurangnya kehadiran jemaat dalam ibadah minggu (terutama kaum muda), serta keuangan gereja menjadi tidak jelas karena kurangnya kehadiran pendeta dalam rapat Majelis Harian. Ketika penulis bertanya tentang konseling yang terjadwal, misalnya perkunjungan kepada

(14)

jemaat yang berduka, baik pendeta maupun majelis stempat mengatakan bahwa ketika ada warga jemaat yang berduka maka pendeta atau pegawai yang bekerja di kantor gereja akan bersama-sama melakukan perkunjungan serta memberikan diakonia kepada warga jemaat yang berduka. Dalam hal pelaksanaan ibadah pendeta hanya memimpin waktu ibadah pemakaman saja, namun dalam ibadah penghiburan selama jenasah belum dimakamkan menjadi tugas dan tanggungjawab penatua setempat, pendeta hanya hadir untuk memberika penguatan serta penghiburan kepada warga jemaat yang berduka.22

Dari hasil wawancara tentang pendapat majelis jemaat terhadap pelayanan pastoral, rata-rata para majelis jemaat memberikan jawaban hampir sama yakni, pelayanan pastoral hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berlatar belakang pendidikan teologi seperti pendeta dan vikaris. Hal inilah yang menimbulkan adanya ketidakpuasan dalam diri majelis jemaat ketika pendeta tidak melakukan proses pelayanan pastoral secara bersama-sama. Tidak adanya pendeta dalam proses pelayanan pastoral pada akhirnya menjadi isu sensitif dan mampu membuat adanya ketidak harmonisan dalam hubungan pendeta dan jemaat dalam GMIT terkhususnya di gereja Bukit Zaitun Oelelo, padahal tanggung jawab gereja yang paling utama yakni memelihara keutuhan persekutuan, maka ada semacam kemutlakkan untuk menolong sesama warga jemaat agar tidak terjadi perpecahan dalam persekutuan tubuh Kristus, yang mana masing-masing anggota dapat saling memperhatikan satu dengan yang lain dalam rangka keutuhan persatuan. Melalui tanggung jawab tersebut, gereja Bukit Zaitun Oelelo seharusnya senantiasa akan memperhatikan masalah serta penderitaan yang sementara dialami jemaatnya. Gereja Bukit Zaitun Oelelo seharusnya menyadari bahwa “... jika satu anggota menderita semua anggota turut menderita; jika satu dihormati, seluruh anggota bersukacita“ (I Kor. 12:26).

(15)

Hal tersebut di atas sejalan dengan nasihat Rasul Paulus kepada Jemaat Korintus:

“Kamu adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya“ (I Korintus

12:27), sesungguhnya sebagai tindakan antisipatif timbulnya perpecahan dalam jemaat yang diakibatkan oleh kurangnya perhatian dan atau pelayanan. Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil oleh Tuhan Yesus; gereja adalah persekutuan yang secara disiplin mau hidup untuk mendengarkan dan melakukan pekerjaan Tuhan Yesus; gereja adalah persekutuan semua orang yang mengaku Yesus sebagai Tuhan, oleh karena itu seharusnya kerja sama antara pendeta dan majelis jemaat dalam hal pelayanan pastoral haruslah dilakukan secara bersama-sama agar mendapatkan hasil yang baik. Dalam kaitannya dengan kehidupan bergereja, maka pelayanan pastoral dapat diartikan sebagai suatu proses atau usaha yang dilakukan pendeta dan majelis jemaat untuk memperbaharui dan menyempurnakan kehidupan jemaat yang mengalami permasalahan atau pergumulan dalam kehidupanya. Proses tersebut dilakukan secara efisien dan efektif dan tentunya berpatokan pada Tata Gereja serta Alkitab sebagai landasan teologis bagi kehidupan umat manusia.

3.3.3 Penilaian Pendeta yang Ada di Klasis Kupang Tengah Terhadap Tugas dan

Tanggung Jawab Pendeta di Gereja Bukit Zaitun Oelelo dalam Pelayanan

(16)

sangat mempengaruhi jalannya pelayanan pastoral tersebut. Lebih jauh penulis bertanya kepada pendeta GP mengenai apa yang biasa dilakukan dalam melakukan pelayanan pastoral kepada warga jemaat, pendeta GP mengetakan bahwa hal yang biasa dilakukan adalah mengajak jemaat untuk beribadah terlebih dahulu, setelah ibadah barulah pendeta melakukan pelayanan pastoral kepada jemaat dengan menanyakan permasalah yang dihadapi serta berdoa dan tbisa juga mencari solusi bersama bagi permasalahan yang sedang dihadapi oleh jemaat tersebut.23 Pendeta FR juga mempunyai tanggapan sendiri tentang pelayanan pastoral, yaitu pelayanan pastoral merupakan layanan yang dilakukan pendeta kepada jemaat yang sedang menghadapi permasalahan hidup yang dapat mengganggu relasinya dengan orang lain. Di sini pendeta harus mampu membimbing dan mengarahkan jemaat tersebut lewat perkunjungan yang rutin, di mana pendeta harus bisa mengenal secara dekat siapa jemaat nya yang sedang mengalamai permasalahan, bagai mana kehidupannya dan mampu membantu jemaat tersebut untuk mengatasi serta keluar dari permasalahan yang sedang di hadapi..24 Pendeta RK memberikan tanggapannya sendiri tentang pelayanan pastoral, di mana beliau memahami bahwa pelayanan pastoral tidak hanya dapat dilakukan pada saat pendeta melakukan kegiatan perkunjungan kerumah jemaat, melainkan di mana saja, kapan saja pendeta dapat melakukan konseling pastoral, baik pada ibadah minggu, ibadah kategorial, ibadah rumah tangga, ibadah penghiburan dan lain-lain.25

Jika dilihat dari pemahaman beberapa pendeta yang ada di Klasis Kupang Tengah, maka seharusnya proses pelayanan patoral bisa berjalan dengan baik karena para pendeta sejatinya sudah mengetahui hakekat dari pelayanan patoral itu sendiri. Berhubungan

(17)

dengan judul tesis yang diangkat, maka penulis bertanya lagi tentang tanggapan para pendeta mengenai kinerja kerja pendeta yang ada di gereja Bukit Zaitun Oelelo dalam hal pelayanan pastoral. Hal yang menarik disini adalah masing-masing pendeta memberikan tanggapannya sendiri terhadap pertanyaan ini.

(18)

tinggal bersama pasangannya dan mengenjungi jemaat hanya saat ibadah hari minggu dan ibadah gerejawi lainnya.26

Pendeta FR mengatakan bahwa jemaat dan majelis jemaat juga sering mengeluh tentang tugas dan tanggung jawab pendeta dalam hal melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang gembala. Jemaat mengatakan bahwa mereka lebih sering menyelesaikan persoalan dalam hidupnya bersama tua adat yang ada atau dibiarkan begitu saja sehingga terkadang hubungan antar jemaat menjadi tidak baik, sedangkan majelis jemaat mengatakan bahwa akibat ketidak hadiran dari pendeta tersebut, program-program pelayanan yang sudah direncanakan sering kali tidak dilaksanakan. Pendeta FR juga sependapat dengan pendeta GP tentang ketegasan Majelis Sinode dalam menangani kasus pendeta weekend yang ada di GMIT.27 Lain lagi dengan pendapat yang diberikan oleh pendeta RK. Pendeta RK mengatakan bahwa fenomena pendeta weekend ini merupakan hal yang sensitif jika dibicarakan karena menyangkut kehidupan pribadi seseorang, tetapi pendeta RK juga sejatinya berpendapat bahwa fenomena ini sebaiknya dapat diselesaikan dengan baik agar kehidupan spiritual jemaat juga dapat bertumbuh dengan baik.28

Dari hasil wawancara di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa pelayanan pastoral sejatinya menempatkan orang dalam relasinya dengan Allah, dalam artian pengetahuan di bidang teologia memampukan pendamping untuk menjadi penolong yang unik bagi orang-orang yang masalah-masalah dan terhambatnya pertumbuhan hidup mereka disebabkan oleh dilema etis, konflik religius, distorsi nilai, dan masalah-masalah keprihatinan yang ultima, seperti misalnya, mencari makna dalam kehidupan dan menangani orang yang takut sekali menghadapi kematian. Untuk dapat melaksanakannya

(19)

diperlukan suatu dasar yakni, kasih. Kasih adalah pusat penyataan Kristus untuk kemanusiaan kita. Allah telah mewujudkan kasih-Nya bagi kita dalam tindakan yang menyatakan tujuannya, dan tindakan itu diceritakan dalam hakikat Yesus. Jadi, mengasihi, di dalam pemahaman Perjanjian Baru berarti berpartisipasi di dalam tindakan. Tindakan kita adalah suatu tanggapan, di dalam cara yang cocok dengan situasi kita, kepada apa yang telah diperbuat Allah bagi kita.

Pemahaman tentang pelayanan pastoral oleh para pendeta seperti hasil di atas sesungguhnya merupakan suatu respon positif terhadap panggilan gereja untuk melayani. Para pendeta memiliki suatu kewajiban terhadap warga jemaat yang memerlukan pendampingan karena bermasalah atau mempunyai pergumulan dalam hidup. Akan tetapi terkadang karena beberapa faktor kewajiban tersebut terkadang tidak dilaksanakan dengan baik dengan alasan-alasan yang ada. Disini baik dari pendeta itu sendiri maupun bidang organisasi yang mengaturnya diharapkan mampu mencari solusi terbaik guna terlaksananya suatu kehidupan bergerja yang memusatkan hubungannya dengan Allah dalam proses kehidupannya setiap hari.

3.3.4 Pandangan Pendeta yang Melayani di Bukit Zaitun Oelelo Terhadap Tugas

dan Tanggung Jawab Seorang Pendeta dalam Pelayanan Konseling

(20)

Pendeta BT mengatakan bahwa bentuk layanan pastoral tersebut adalah perkunjungan rutin dan perkunjungan kepada warga jemaat yang bermasalah. Yang dimaksud dengan perkunjungan rutin yang dilaksanakan oleh pelayan adalah perkunjungan ke rumah-rumah jemaat dan biasanya dilakukan bersama penatua dan diaken. Para penatua dan diaken yang akan mendampingi pelayan (pendeta atau vikaris) dalam mengunjungi jemaat, biasanya sebelum mengadakan kunjungan jemaat, penatua atau diaken akan memberikan informasi tentang keberadaan jemaat di lingkungannya. Dengan informasi ini, pelayan (pendeta atau vikaris) yang akan mengunjungi jemaat mengetahui apa yang harus dilakukannya pada saat kunjungan tersebut. Lebih jauh Pendeta BT mengatakan bahwa “kunjungan rutin kepada jemaat bertujuan melakukan persekutuan yang erat lagi dengan bukti mengenal jemaat, baik dari kepala keluarga sampai kepada anak-anak. Dalam kunjungan ini, biasanya yang sering menjadi topik pembicaraan adalah seputar kehidupan politik, ekonomi dan kriminal yang terjadi akhir-akhir ini. Jarang sekali pelayan mendapatkan jemaat yang terbuka terhadap masalah yang dihadapi oleh keluarga yang di kunjungi. Lebih sering membicarakan persoalan-persoalan di luar permasalahan pribadi. Ada juga jemaat yang mau terbuka dengan permasalahannya, tetapi biasanya masalah kenakalan anak-anak dan juga minta

didoakan.” Hal ini yang membuat perkunjungan kurang dimaknai dengan tugas pelayan

yang sesungguhnya, melainkan hanya kunjungan yang sekedarnya saja. Sedangkan perkunjungan kepada kepada warga jemaat yang bermasalah berjalan sesuai dengan program gereja. Jemaat yang mendapatkan pelayanan perkunjungan ini, biasanya jemaat yang permasalahan keluarganya diketahui oleh pelayan gereja, jemaat yang sakit, dan jemaat yang sedang berduka cita.29

(21)

Jika diperhatikan dari pemahaman pendeta BT tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendeta dalam hal pelayanan pastoral, maka sewajarnya jika proses pelayanan pastoral terhadap jemaat yang dilakukan oleh pendeta BT bisa terlaksana dengan baik. Akan tetapi dari fakta lapangan yang penulis dapatkan tidak sejalan dengan pandangan pendeta BT tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendeta dalam hal pelayanan konseling, oleh karena itu penulis bertanya lagi tentang bagaimana pendeta BT dalam melaksanakan pelayanan pastoral kepada jemaat. Dalam hal ini pendeta BT mulai untuk berbicara secara terbuka tentang peekrjaannya dalam jemaat.

Diakui oleh pendeta BT bahwa memang ia hanya mengunjungi jemaat hanya pada saat ibadah minngu atau ibadah gerejawi lainnya, tetapi beliau beranggapan bahwa setidaknya sudah ada pekerjaan dalam hal melayani jemaat yang telah dikerjakan. Beliau juga mengatakan bahwa memang jemaat Bukit Zaitun Oelelo telah menyiapkan rumah jabatan baginya tetapi ia lebih memilih untuk tinggal bersama istrinya yang juga melayani di Klasis Amarasi Barat dan beliau juga membantu pelayanan sang istri yang ada di tempat sang istri melayani. Oleh karena itu beliau menganggap bahwa ia telah melaksanakan tugas di jemaat tempatnya ditempatkan serta membantu pelayanan sang istri di jemaat sang istri ditempatkan.30

Dari hasil wawancara penulis dengan pendeta BT penulis beranggapan bahwa pendeta BT sepertinya sedikit melalukan pembelaan diri terhadap apa yang dilakukan. Memang pelayanan pastoral bisa dilakukan kapan dan dimana saja, akan tetapi jika seorang pendeta telah ditugaskan untuk melayani pada satu jemaat maka sudah seharusnya ia bertanggung jawab terhadap jemaat tersebut dengan mengingat janji pelayanan yang telah diucapkan. Seorang pendeta yang telah ditempatkan dalam satu

(22)

jemaat seharusnya mampu untuk mengontrol dirinya sendiri agar mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Kontrol diri berarti mengendalikan emosi, tindakan, keinginan, dan hasrat pribadi, ini tentang bagaimana mengendalikan tindakan, kebiasaan, kekuatan, dan keinginan kita.

Kontrol diri mencakup kedisiplinan diri dalam perilaku dan gaya hidup. Kurangnya kontrol diri merupakan alasan utama mengapa banyak pemimpin yang tidak sukses. Ketika kontrol diri ada, seorang pendeta memiliki kekuatan untuk melakukan banyak hal yang oleh orang lain bisa jadi dianggap sangat sulit terutama dalam menghadapi persoalan jemaat. Hal ini mendatangkan rasa hormat dan rasa kagum dari warga jemaat, karena sejatinya seorang pendeta adalah gembala bagi domba-dombanya, sehingga karakter gembala yang baik akan menampakkan diri pada sikap dan perilaku yang terikat kepada kebenaran, kebajikan, kejujuran, kesetiaan, dan ketahanan dalam pengabdian, oleh karena itu seorang pendeta pendeta haruslah memahami arti dari pelayanan.

Berbagai kata yang digunakan oleh gereja dengan arti pelayanan, mengabdi atau menghamba kepada Tuhan dan bukan kepada orang lain. Pola hidup yang bukan lagi hidup untuk diri sendiri melainkan hidup untuk Tuhan dan untuk orang lain. Dorongan untuk melayani Tuhan dan orang lain adalah karena Yesus sendiri sudah melayani kita. Tujuan hidup-Nya bukanlah untuk mendapatkan pelayanan, melainkan untuk memberi pelayanan. Isi hidup-Nya bukanlah dilayani, melainkan melayani.

3.4 Kesimpulan

(23)

pendeta weekend di atas, maka penulis menemukan beberapa temuan-temuan yang akan dibahas pada bab selanjutnya yakni, bab 4 tentang analisis. Temuan-temuan tersebut menyangkut sudah tidaknya pendeta di gereja Bukit Zaitun Oelelo melaksanakan tugas panca pelayanan GMIT yakni, Bidang Koinonia (Persekutuan Jemaat), Bidang Diakonia (Pelayanan Kasih), Bidang Marturia (Kesaksian), Bidang Liturgia (Tata Ibadah) dan Bidang Oikonomia (Penatalayanan), karena ketika berbicara tentang pelayanan di gereja Bukit Zaitun Oelelo, berarti juga berbicara tentang panca pelayanan GMIT karena eksistensi GMIT tidak terlepas dari tugas dan panggilan gereja ke dunia yang tujuan pelayanan itu untuk menciptakan masyarakat yang bermoral dan beretika baik, menciptakan keteraturan agar mencapai kehidupan yang tertib, tentram dan damai melalui gereja. Oleh karena itu dalam rangka mendukung pelayanan yang ada maka gereja Bukit Zaitun Oelelo juga merumuskan pelayanannya dalam panca pelayanan GMIT sebagai berikut:31

a. Bidang Koinonia

Berdasarkan hasil penelitian dan tujan dari bidang kononia berdasarkan tujuan pelayanan GMIT terdapat tanda-tanda bahwa sistem pelayanan dalam bidang koinonia di gereja Bukit Zaitun Oelelo belum mencapai tujuannya, karena belum terlihat jelas solidaritas persekutuan dalam dan di luar jemaat.

b. Bidang Marturia

Berdasarkan hasil penelitian dan tujuan dari bidang marturia berdasarkan tujuan pelayanan GMIT, maka dapat dikatakan bahwa pelayanan pastoral dalam bidang ini masih sangat kurang, karena pemahaman warga jemaat tentang teologi di gereja Bukit Zaitun Oelelo masih kurang yang dapat dilihiat dari kurangnya minat warga jemaat dalam

(24)

mengikuti katekesasi Sidi serta tidak adanya perkunjungan kepada warga jemaat. c. Bidang Diakonia

Berdasarkan hasil penelitian dan tujuan dari bidang diakonia berdasarkan tujuan pelayanan GMIT, pendeta yang melayani di gereja Bukit Zaitun Oelelo telah melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang pelayana pastoral dengan memberikan diakonia karikatif kepada jemaat yang membutuhkan, akan tetapi diakonia reformatif dan transformatif belum dirasakan oleh warga jemaat.

d. Bidang Liturgia

Berdasarkan hasil penelitian dan tujuan dari bidang liturgia berdasarkan tujuan pelayanan GMIT, dalam bidang ini pelayanan pendeta kepada jemaat sudah cukup, karena ibadah pada hari minggu menggunakan tema yang telah disediakan oleh Majelis Sinode, adanya pemakaian stola dengan mengikuti tata cara pemakaian stola. Akan tetapi liturgi yang digunakan masih dirasa kurang karena tidak adanya liturgi yang kreatif serta warga jemaat belum memahami bahwa keseluruhan hidupnya adalah liturgi yang sejati. e. Bidang Oikonomia

Berdasarkan hasil penelitian dan tujuan dari bidang oikonomia berdasarkan tujuan pelayanan GMIT, dalam bidang ini pelayanan pendeta kepada jemaat masih sangat kurang, karena belum meningkatnya SDM warga jemaat serta penganggaran gereja menjadi tidak jelas yang disebabkan oleh ketidak hadirannya pendeta dalam rapat Majelis Jemaat.

(25)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Melihat bentuk pelayanan sosial yang dilakukan oleh gereja yang bersifat Diakonia Karitatif, penyusun menilai bahwa pelayanan yang dilakukan oleh gereja kepada

14 Sehingga yang akan menjadi tujuan tulisan ini adalah pendekatan pelayanan dari pendeta GMIT Kanaan Naimata melalui kunjungan pastoral dengan meneladani

Dokumen Gereja: Program Pelayanan Majelis Jemaat Kaisarea BTN Kolhua Tahun 2015 Himpunan Pelajaran Katekisasi Sinode GMIT. 1994. Peraturan Pokok Jemaat GMIT

Hasil w aw ancara dengan Pdt.. 50 Gereja GPIB tentang Perbendaharaan GPIB, melakukan pembinaan bagi warga jemaat melalui khotbah mingguan, kunjungan pastoral, seminar,

Bagi GMIT jabatan pendeta adalah wujud pemberian Kristus melalui gereja kepada mereka yang terpilih dari antara anggota sidi untuk menjalankan fungsi khusus dalam

Pontoh (2013) telah melakukan penelitian di Gereja Bukit Zaitun Luwuk yang mendapatkan hasil dari penelitianya bahwa Gereja Bukit Zaitun Luwuk belum menerapkan

Mutasi pendeta GKPB sesuai dengan Tata Gereja pasal 86 ayat 1 dan 2 adalah (1) Mutasi bagi seorang pendeta dalam suatu pelayanan dilaksanakan setiap 4 (empat) tahun,

- Sesuai dengan pendapat keluarga, saya sebaiknya bergereja di GMIT untuk mendapatkan pelayanan yang ramah dari gereja.. - Sesuai dengan pendapat keluarga, saya sebaiknya