• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TUGAS DAN WEWENANG MAJELIS PENGAWAS NOTARIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TUGAS DAN WEWENANG MAJELIS PENGAWAS NOTARIS"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TUGAS DAN WEWENANG MAJELIS PENGAWAS NOTARIS

2.1 PELAKSANAAN TUGAS JAWABAN NOTARIS

Perkembangan masyarakat telah mengalami peningkatan yang sangat pesat, khususnya di bidang perekonomian. Dalam setiap transaksi kehidupan manusia membutuhkan adanya sebuah kepastian hukum untuk sebuah perlindungan atas dirinya.

Perlindungan tersebut didapatkan dari Pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban melindungi setiap masyarakatnya. Cara Pemerintah beragam dalam melindungi masyarakatanya, mulai dari memberikan keamanan dengan kepastian hukum tersebut sehingga masyarakat pun mempunyai rasa percaya dan merasa aman untuk melakukan tindakan atau peristiwa hukum.

Kehidupan masyarakat tersebut didukung oleh Pemerintah berupa adanya Peraturan Perundang-undangan ataupun dengan cara menyediakan sarana dan prasarana hukum sebagai wujud dari Negara Hukum, sehingga dapat menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan.

Selain itu, kepastian hukum pun didapat dari sebuah alat bukti tertulis, khususnya dalam bentuk akta. Akta disini adalah akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang telah diberi kewenangan untuk membuatnya, yaitu Notaris. Dimana, seorang Notaris mempunyai wewenang penuh untuk membuat akta-akta yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figuur) yang keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan bukti yang kuat, seorang ahli yang tidak

(2)

memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan datang. Kalau seorang advokat membela hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seorang Notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu.10

2.1.1 Pengertian Notaris

Dalam membahas sebuah masalah sangatlah penting untuk mengetahui sebuah pengertian dari istilah atau pun dari inti masalah tersebut agar setiap orang bisa berfikir dan mengerti atas setiap permasalahan yang dibahas. Dalam hal ini perlu diketahui mengenai pengertian dari Notaris, dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan gresse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”.11 Dan pengertian tersebut diperbaharui atau ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UUJN yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut.12

Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang

10

Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, cet. 1, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007), hlm. 449.

11G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, cet. 3, (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 31. 12Indonesia, Undang-undang Jabatan Notaris, op.cit, Ps. 1 angka 1.

(3)

membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum, secara substantif akta Notaris dapat berupa :13 (1) Suatu keadaaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dikehendaki oleh

para pihak agar dituangkan dalam bentuk akta otentik untuk dijadikan sebagai alat bukti;

(2) Berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa tindakan hukum tertentu wajib dibuat dalam bentuk akta otentik.

Dibentuknya Notaris adalah untuk membantu masyarakat dalam memberikan keterangan-keterangan yang dapat dipercaya, dengan tandatangan dan cap yang dapat memberikan jaminan dan bukti yang kuat, dan yang terlebih lagi sifatnya yang independent atau tidak memihak salah satu pihak dalam akta. Notaris diberikan wewenang oleh Pemerintah dan tidak sedikit perbuatan hukum harus dilaksanakan menggunakan jasa seorang Notaris untuk mengesahkan atau dikatakan dengan akta otentik.14

Profesi Notaris adalah salah satu profesi yang menuntut keseimbangan ketiga bentuk kecerdasan manusia (Intelektual, Emosi dan Spiritual). Seorang Notaris sebagai pemberi legal advice kepada masyarakat tidak mungkin bisa menjalankan tugasnya jika tidak memiliki pengetahuan hukum yang kuat (kecerdasan intelektual).15

Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat menggugat secara perdata Notaris, dan menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan

13Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cet. 1, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 32.

14 Ibid. 15

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan Di Masa Datang, cet. 2, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2009), hlm. 143.

(4)

hukum yang berlaku, hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.16

2.1.2 Kewenangan Notaris

Wewenang (atau sering pula ditulis dengan istilah Kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan jabatan yang bersangkutan. Dengan demikian setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang Notaris terbatas sebagaimana peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan Pejabat yang bersangkutan.17

Wewenang yang diperoleh suatu Jabatan mempunyai sumber asalnya. Dalam Hukum Administrasi wewenang bisa diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau Mandat. Wewenang secara Atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Wewenang secara Delegasi merupakan pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berddasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Dan Mandat sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang berkompeten berhalangan.18

Berdasarkan UUJN tersebut ternyata Notaris sebagai pejabat Umum memperoleh wewenang secara Atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya dari Departemen Hukum dan HAM.19

16Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), cet. 1, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2009), hlm. 27-28

17

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, op.cit., hlm. 77 18Ibid., hlm. 77-78.

(5)

Notaris sebagai sebuah jabatan (bukan profesi atau profesi jabatan), dan jabatan apapun yang ada di negeri ini mempunyai wewenang sendiri. Setiap wewenang harus ada dasar hukumnya. Kalau kita berbicara mengenai wewenang, maka wewenang seorang Pejabat apapun harus jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pejabat atau jabatan tersebut. Sehingga jika seorang pejabat melakukan suatu tindakan diluar wewenang disebut sebagai perbuatan melanggar hukum. Oleh karena itu, suatu wewenang tidak muncul begitu saja sebagai hasil dari suatu diskusi atau pembicaraan dibelakang meja ataupun karena pembahasan-pembahasan ataupun pendapat-pendapat di lembaga legislatif, tapi wewenang harus dinyatakan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.20

Kewenangan Notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN, yang dapat dibagi menjadi21:

(a) Kewenangan Umum Notaris.

Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris, yaitu membuat akta secara umum, hal ini disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris dengan batasan sepanjang:

1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.

2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan. 3. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan

siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.

20Ibid. 21Ibid.

(6)

Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2 (dua) kesimpulan, yaitu:

1. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.

2. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna22, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang /pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari Jabatan Notaris23. (b) Kewenangan Khusus Notaris.

Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai kewenangan khusus Notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti24:

1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

3. Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

22

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1994, tanggal 17 Oktober 1994, menegaskan bahwa akta otentik menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR jo 285 Rbg jo 1866 BW merupkan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak darinya. M.Ali Boediarto, “Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad”, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hlm. 150.

23

M.J.A. van Mourik, “Civil Law and the Civil Law Notary in a Modern World”, Media Notariat, (Januari-April-Juli-Oktober 1992), hlm. 26.

(7)

5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau;

7. Membuat akta risalah lelang.

Sebenarnya ada kewenangan khusus Notaris lainnya, yaitu membuat akta dalam bentuk in Originali, yaitu akta25:

1. Pembayaran uang sewa, bunga dan pensiunan; 2. Penawaran pembayaran tunai;

3. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; 4. Akta kuasa;

5. Keterangan kepemilikan; atau

6. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Tetapi kewenangan tersebut tidak dimasukkan sebagai kewenangan khusus, tapi dimasukkan sebagai kewajiban Notaris (Pasal 16 ayat (3) UUJN). Dilihat secara substansi hal tersebut harus dimasukkan sebagai kewenangan khusus Notaris, karena Pasal 16 ayat (3) UUJN tersebut tindakan hukum yang harus dilakukan Notaris, yaitu membuat akta tertentu dalam bentuk In Originali.26

Notaris juga mempunyai kewenangan khusus lainnya seperti yang tersebut dalam Pasal 51 UUJN, yaitu berwenang untuk membetulkan kesalah tulis atau kesalahan ketik yang terdapat dalam Minuta akta yang telah ditandatangani, dengan cara membuat Berita Acara Pembetulan, dan Salinan atas Berita Acara Pembetulan tersebut Notaris wajib menyampaikan kepada para pihak.27

(c) Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian.

Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan dating kemudian (ius

25

Ibid., hlm. 82 26Ibid.

(8)

constituendum). Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan maka Notaris telah melakukan tindakan diluar wewenang, maka produk atau akta Notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable), dan pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris diluar wewenang tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke pengadilan negeri.28

Wewenang Notaris yang akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan muncul akan ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini perlu diberikan batasan mengenai peraturan perundang-undangan yang dimaksud Batasan perundang-undangan dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.29

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa: “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”.30

Berdasarkan uraian di atas, bahwa kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga Negara (Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat) atau Pejabat Negara yang berwenang dan mengikat secara umum, dengan batasan seperti ini, maka peraturan perundang-undang 28

Ibid.

29Ibid., hlm. 83. 30Ibid.

(9)

yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang (bukan di bawah undang-undang). Sebenarnya kalau ingin menambah kewenangan Notaris bukan dengan cara menambahkan wewenang Notaris berdasarkan undang-undang saja, karena hal tersebut telah cukup dalam kewenangan umum Notaris, tapi bisa juga dilakukan, yaitu untuk mewajibkan agar tindakan hukum tertentu harus dibuat dengan akta Notaris, contohnya dalam pendirian partai politik wajib dibuat dalam akta Notaris.31

2.1.3. Kewajiban Notaris

Kewajiban Notaris merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh Notaris, yang jika tidak dilakukan atau dilanggar, maka atas pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi terhadap Notaris. Kewajiban Notaris yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan k UUJN yang jika dilanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 UUJN.32

Bahwa kehadiran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan bukti otentik. Oleh karena itu pelayanan kepada masyarakat wajib diutamakan sesuai dengan UUJN, tapi dalam keadaan tertentu dapat menolak untuk memberikan pelayanan dengan alasan-alasan tertentu (Pasal 16 ayat [1] huruf d UUJN). Dalam Penjelasan pasal tersebut secara limitatif ditegaskan yang dimaksud dengan alasan untuk menolaknya, alasan yang mengakibatkan Notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan Notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang.33

Sebenarnya dalam pratek ditemukan alasan-alasan lain, sehingga Notaris menolak memberikan jasanya, antara lain34:

31Ibid. 32

Ibid., hlm. 86. 33

Ibid., hlm. 87

34R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta: Rajawali, 1982), hlm. 97-98.

(10)

a. Apabila Notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi berhalangan karena fisik.

b. Apabila Noataris tidak ada karena dalam cuti, jadi karena sebab yang sah. c. Apabila Notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapt melayani orang

lain.

d. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat sesuatu akta, tidak diserahkan kepada Notaris.

e. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh Notaris atua tidak dapat diperkenalkan kepadanya. f. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar bea materai yang

diwajibkan.

g. Apabila karena pemberian jasa tersebut, Notaris melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan melanggar hukum.

h. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa Notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang-orang yang menghadap berbicara dalam bahasa yang tidak jelas, sehingga Notaris tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka.

Dalam praktek Notaris jika diteliti, akan ditemukan alasan lain, kenapa Notaris tidak mau atau menolak memberikan jasanya, dengan alasan antara akta yang akan dibuat tidak cocok dengan honorarium yang akan diterima Notaris.35

Kalaupun Notaris akan menolak memberikan jasanya kepada piahk yang membutuhkannya, maka penolakan tersebut harus merupakan penolakan dala arti hukum, artinya ada alasan atau argumentasi hukum yang jelas dan tegas sehingga pihak yang bersangkutan dapat memahaminya. Pada intinya apapun alasan penolakan yang dilakukan oleh Notaris akan kembali pada Notaris sendiri yang menentukannya.36

35Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, op.cit., hlm. 87 36Ibid.

(11)

Khusus untuk Notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf I dan k UUJN disamping dapat dijatuhi sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN, juga dapat dikenakan sanksi berupa akta yang dibuat dibawah di hadapan Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum, dan juga merugikan para pihak yang bersangkutan, maka pihak tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris.37

Untuk Pasal 16 ayat (1) huruf l dan m UUJN meskipun termasuk ke dalam kewajiban Notaris, tapi jika Notaris tidak melakukannya tidak dikenakan sanksi apapun.38

Menurut ketentuan Pasal 16 ayat (7) UUJN pembacaan akta tidak wajib dilakukan, jika dikehendaki oleh para penghadap agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri , mengetahui dan memahami isi akta tersebut, dengan ketentuan hal tersebut dicantumkan atau pada akhir akta. Sebaiknya jika penghadap tidak menghendaki seperti itu, maka Notaris wajib untuk membacakannya, ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi dan Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 ayat (1) UUJN. Jika ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUJN dan Pasal 44 UUJN dilanggar oleh Notaris, maka akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 UUJN, yaitu akta yang dibuat dihadapan Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum, dan juga merugikan para pihak yang bersangkutan, maka pihak tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris.39

Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN jika tidak dilaksanakan oleh Notaris, artinya Notaris tidak mau menerima Magang, maka Notaris yang bersangkutan tidak dikenakan sanksi apapun. Meskipun kewajiban tersebut tanpa sanksi, secara moral ketentuan tersebut wajib untuk dilaksanakan oleh 37

Ibid., hlm. 88 38Ibid.

(12)

Notaris, dan harus diingat semua Notaris yang sekarang menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris pernah magang dan Notaris sebelum yang bersangkutan diangkat sebagai Notaris. Meskipun demikian alangkah bijaknya organisasi Jabatan Notaris meminta kepada anggotanya untuk menerima Magang tersebut, sebagai bentuk tanggung jawab moral kepada kelangsungan dunia Notaris Indonesia.40

 Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) Notaris

Salah satu bagian dari sumpah/janji Notaris yaitu bahwa Notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan Notaris (Pasal 4 ayat [2] UUJN), dan pada Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN,bahwa Notaris berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain, ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN ini ditempatkan sebagai suatu kewajiban Notaris.41

Bahwa substansi sumpah/janji Notaris ataupun pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN kepada untuk merahasiakan segala sesuatu yang berkaitan dengan akta yang dibuat atau di hadapan Notaris dan berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris.42 Secara umum Notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta Notaris, kecuali diperintahkan oleh Undang-undang bahwa Notaris tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan yang berkaitan dengan akta tersebut, dengan demikian batasannya hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan Notaris untuk membuka rahasia isi akta dan keterangan/pernyataan yang diketahui Notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud.

40 Ibid.

41Ibid., hlm. 89 42Ibid.

(13)

Bahwa instrumen untuk ingkar bagi Notaris ditegaskan sebagai salah satu kewajiban Notaris yang tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, sehingga kewajiban ingkar untuk Notaris melekat pada tugas jabatan Notaris. Sebagai salah satu kewajiban yang harus dilakukan, berbeda dengan hak ingkar, yang dapat dipergunakan atau tidak dipergunakan, tapi kewajiban ingkar mutlak dilakukan dan dijalankan oleh Notaris, kecuali ada undang-undang yang memerintahkan untuk menggunakan kewajiban ingkar tersebut.43

Kewajiban ingkar tersebut merupakan instrumen yang sangat penting yang diberikan UUJN kepada Notaris, tapi ternyata dalam praktek, kewajiban tersebut tidak banyak dilakukan oleh para Notaris, bahkan kebanyakan para Notaris ketika diperiksa oleh Majelis Pengawa Notaris atau dalam pemerikasaan penyidik atau dalam persidangan lebih suka “buka mulut” untuk menceritakan dan mengungkapkan semua hal yang yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, sehingga jabatan Notaris, sebagai suatu jabatan kepercayaan telah dicederai oleh para Notaris sendiri.44

Dalam hal ini timbul pertanyaan, kapan kewajiban ingkar dapat dilakukan? Kewajiban ingkar dapat dilakukan dengan batasan sepanjang Notaris diperiksa oleh instansi mana saja yang berupaya untuk meminta pertanyaan atau keterangan dari Notaris yang berkaitan dengan akta yang telah atau pernah dibuat oleh atau dihadapan Notaris yang bersangkutan.45

Notaris sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan /pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta, kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya. Tindakan seperti ini merupakan suatu kewajiban Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 43

Ibid. 44Ibid. 45Ibid.

(14)

4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN. Jika ternyata Notaris sebagai saksi atau tersangka, tergugat ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang merasa dirugikan kepada pihak yang berwajib dapat diambil tindakan atas Notaris tersebut, tindakan Notaris seperti ini dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP, yaitu membongkar rahasia, karena Notaris berkewajiban untuk menyimpannya. Dalam kedudukan sebagai saksi (perkara perdata) Notaris dapat minta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian, karena jabatannya menurut Undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya (Pasal 1909 ayat [3] BW).46

Jelas sudah bahwa Notaris mempunyai kewajiban seperti tersebut di atas, pertanyaannya kenapa para Notaris tidak menyadari mempunyai kewajiban seperti itu? Bahwa Notaris mempunyai kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri Notaris, tapi untuk kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada Notaris, bahwa Notaris dipercaya oleh para pihak mampu menyimpan semua keterangan atau pernyataan para pihak yang pernah diberikan di hadapan Notaris yang berkaitan dalam pembuatan akta.47

Dengan demikian bagian dari sumpah/janji Notaris yang berisi bahwa Notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan Notaris dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN karena ditempatkan sebagai kewajiban Notaris dapat disebut sebagai suatu kewajiban ingkar (Verschoningsplicht) Notaris.48

46Ibid., hlm. 90 47

Ibid. 48

Paulus Effendi Lotulung, Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selaku Pejabat Umum dalam Menjalankan Tugasnya,(Bandung: Ugrading-Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia, 2003), hlm. 2.

(15)

2.1.4 Larangan Notaris

Larangan Notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang dilakukan oleh Notaris sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 UUJN, jika larangan ini dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 85 UUJN.49

Undang-undang melarang untuk Notaris50:

a. Menjalankan jabatan diluar diluar wilayah jabatannya;

b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. Merangkap sebagai pegawai negeri;

d. Merangkap jabatan sebagai pejabat Negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat;

f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau badan usaha swasta;

g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah diluar wilayah jabatan Notaris;

h. Menjadi Notaris pengganti; atau

i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

Dalam hal ini ada 1 (satu) larangan yang perlu ditegaskan mengenai substansi Pasal 17 huruf b, yaitu meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah. Bahwa Notaris mempunyai wilayah jabatan 1 (satu) propinsi (Pasal 18 ayat [2] UUJN) dan mempunyai tempat kedudukan pada 1 (satu) kota atau kabupaten pada propinsi tersebut (Pasal 18 ayat [1] UUJN). Dalam hal ini yang dilarang menurut ketentuan Pasal 17 huruf b UUJN yaitu meninggalkan wilayah jabatannya 49Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, op.cit., hlm. 90

(16)

(propinsi) lebih dari 7 (tujuh) hari kerja. Dengan konstruksi hukum seperti itu, maka dapat ditafsirkan tidak dilarang meninggalkan tempat kedudukan Notaris (Kota/Kabupaten) lebih dari 7 (tujuh) hari kerja.51

Seharusnya yang dilarang, yaitu meninggalkan tempat kedudukan Notaris lebih dari 7 (tujuh) hari kerja hal ini harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUJN yang menegaskan Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya. Dan ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUJN jika dilanggar oleh Notaris, tidak ada sanksi apapun untuk Notaris yang melanggarnya menurut UUJN. Jika hal ini terjadi maka sanksi untuk Notaris dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 1868 dan Pasal 1869 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu dinilai tidak berwenangnya Notaris yang bersangkutan yang berkaitan dengan tempat dimana akta dibuat, maka akta yang dibuat tidak diperlakukan sebagai akta otentik, tapi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, jika ditandatangani para pihak.52

2.2 PELANGGARAN-PELANGGARAN NOTARIS YANG SERING TERJADI

DALAM PRAKTEK

2.2.1 Jumlah dan Jenis Pelanggaran

Pelaksanaan tugas seorang Notaris juga diwarnai dengan beragam kesalahan yang pada akhirnya akan menimbulkan pelanggaran sehingga merugikan banyak pihak, beragam pelanggaran tersebut dapat karena disengaja atau tidak. Pelanggaran itu di antaranya adalah praktik kenotariatan di luar daerah yurisdiksi si Notaris, keberpihakan Notaris terhadap salah satu pihak, ikut mempromosikan sebuah kegiatan komersil, atau menjelek-jelekan Notaris lain. Disadari atau tidak, pelanggaran-pelamggaran tersebut kerap terjadi dan tentu saja ada pihak-pihak yang dirugikan dari pelanggaran-pelanggaran

51Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, op.cit., hlm. 91 52Ibid.

(17)

tersebut. Pihak yang biasanya sering dirugikan adalah klien dari Notaris itu sendiri.53

Banyak diterimanya laporan-laporan oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD) mengenai pelanggaran Notaris dari masyarakat. Setiap laporan yang diterima, MPD tidak langsung menyerahkan ke Majelis Pengawas Wilayah (MPW). MPD melakukan pemeriksaan terlebih dahulu, apakah laporan ini perlu untuk ditindaklanjuti, membuat Berita Acara yang berupa pemeriksaan terlapor dan pelapor.

Walaupun di dalam UUJN tidak diatur mengenai mediasi dalam pemeriksaaan, akan tetapi pada prakteknya setiap tingkatan pemeriksaan melakukan mediasi terlebih dahulu, apabila pelapor berniat tidak melanjutkan laporannya dan sudah ada perselesaian yang disepakati para pihak, maka laporan tersebut tidak akan dilanjutkan, dengan para pihak yang bersengketa menandatangani surat pernyarataan yang telah disediakan oleh Majelis.54

Menurut Sekertaris Majelis Pengawas Wilayah Notaris DKI Jakarta, Bapak M. Ramdan, SH, M.Si pelanggaran yang sering dilaporkan masyarakat adalah mengenai Pasal 16 ayat (1) butir a UUJN, yaitu Notaris harus bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbutan hukum. Akan tetapi laporan tersebut belum menjadi dasar adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris.55

Dari data yang telah diterima dari Majelis Pengawas Wilayah Notaris DKI Jakarta, adanya kasus yang telah diputus oleh MPW DKI Jakarta dari tahun 2009-2010 adalah sebanyak 7 (tujuh) kasus. 4 (empat) diantaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan putusan: 2 (dua) menyatakan Notaris tidak bersalah, berarti tidak adanya suatu pelanggaran, sedangkan 2

53Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, cet. 1, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009), hlm. 64

54

Wawancara dengan Sekertaris Majelis Pengawas Wilayah Notaris DKI Jakarta Muhammad Ramdan, SH., MSi, tanggal 7 Mei 2010, pukul 10.30 WIB

(18)

(dua) lainnya memberikan sanksi teguran tertulis dan teguran lisan kepada Notaris. 3 (tiga) kasus lainnya menggunakan upaya hukum banding yang dilimpahkan ke Majelis Pengawas Pusat (MPP) dan menjadi kewenangan MPP untuk memeriksa dan memutus.

Dari ke-7 kasus tersebut, beragam pelanggaran yang diduga dilakukan oleh Notaris, 2 (dua) kasus yang telah mempunyai putusan tetap dan menyatakan telah terjadinya pelanggaran, yaitu dimana ditemukannya Notaris tidak memenuhi Pasal 16 ayat (1) huruf a, yaitu untuk bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum, untuk pelanggaran Pasal ini berikan sanksi berupa teguran lisan, sedangkan dalam putusan lainnya telah terjadi pelanggaran hampir serupa, yaitu tidak memenuhi Pasal 16 ayat (1) huruf a dan b, dimana selain huruf a yang telah disebutkan di atas, huruf b mewajibkan Notaris untuk membuat akta dalam bentuk Minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris dan untuk pelanggaran tersebut, MPW memberikan sanksi teguran tertulis.

Sanksi yang hanya berupa teguran lisan atau tertulis, tetap berdampak kepada Notaris, karena sanksi tersebut menjadi hal yang memberatkan Notaris, apabila ingin mengajukan cuti, meminta rekomendasi kepada MPW dan/atau Organisasi, bahkan apabila seringnya teguran yang diberikan, hal itu dapat berdampak dan menjadi dasar untuk Organisasi meminta pemberhentian Notaris tersebut dikarenakan tidak melakukan jabatannya dengan baik (akan tetapi mengenai hal ini, perlu pemeriksaan yang lebih teliti, dikarenakan tidak dapat sewenang-wenang bertindak).56

Atas kasus-kasus yang mengajukan banding, bukan hanya dari pihak Notaris yang melalukan upaya hukum tersebut, tetapi dapat ditemukan banding diajukan pula dari masyarakat. Mengenai banding yang dilakukan oleh Notaris, dimana MPW memutuskan Notaris melakukan kesalahan.

(19)

2.2.2 Indikator Terjadinya Pelanggaran

Banyak hal yang mempengaruhi terjadinya sebuah pelanggaran. Yaitu karena kelalaian atas sebuah tanggung jawab, hal tersebut biasanya yang paling sering terjadi. Selain itu, dapat juga dikarenakan tidak adanya sanksi yang tegas dan banyak keberpihakan kepada jabatan Notaris.

Majelis Pengawas Notaris (MPN) sebagai suatu badan yang dipercaya untuk mengawasi Notaris dalam berperilaku, dinilai kurang memberikan tindakan yang tegas agar Notaris jera atau takut untuk melakukan pelanggaran yang telah diatur oleh peraturan yang ada, hal tersebut dapat menjadi salah satu indikator terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris.

Notaris dalam menjalankan jabatannya, disana tidak ada pihak yang mengawasi secara langsung. Misalnya, saat penandatanganan akta, angota MPN tidak ada ditempat untuk menyaksikan apakah Notaris telah melaksanakan apa yang diatur oleh undang-undang, seperti membacakan akta, menyaksikan penandatanganan, dan lain sebagainya.

Hal tersebut baru akan terungkap, jika ada pihak yang dirugikan melaporkan kepada pihak yang berwenang, apabila tidak ada pihak yang melaporkan dugaan pelanggaran atas akta yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan, maka walaupun telah terjadi sebuah pelanggaran, Notaris tersebut tidak mendapat sebuah sanksi. Apakah, tidak semua pelanggaran yang dilakukan Notaris dapat diberikan sanksi? Apabila jawabannya adalah ya, maka hal tersebut yang menjadi salah satu indikator Notaris melakukan pelanggaran, karena hanya pelanggaran yang diketahui dan dimintakan sebuah pertanggungjawaban atas kinerja Notaris saja yang dapat dikenakan sanksi. Apabila para pihak dalam akta tidak memperdulikan hal tersebut, dan MPN tahu telah terjadi sebuah pelanggaran, Notaris tersebut tetap tidak diberikan sanksi. Padahal peraturan dibuat untuk ditaati, dan diadakannya sanksi untuk membuat Notaris tidak melakukan pelanggaran.

(20)

Adanya indikator-indikator yang telah disebutkan di atas yang membuat pelanggaran terus terjadi, apabila adanya kerjasama yang kuat antara MPN dan Notaris, maka maksud dan tujuan dari Undang-undang dapat tercapai dengan baik.

Dilain pihak, peraturan yang ada tidak dapat dijadikan senjata bagi masyarakat untuk menjatuhkan profesi Notaris. Apabila adanya suatu laporan dari masyarakat yang menganggap telah terjadinya suatu pelanggaran yang dilakukan Notaris, MPN sebagai badan pengawas, juga sebagai badan pemeriksa, memeriksa apakah benar laporan masyarakat tersebut telah terjadi.

Masyarakat sekarang bukanlah masyarakat yang bodoh, untuk sebuah kepentingan, seseorang dapat mencari celah dari pihak yang terkait untuk mencapai kepentingannya tersebut. Setiap laporan, yang diberikan kepada MPD dan dilimpahkan ke MPW untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan memutuskan perkara tersebut, harus dilakukan dengan adil dan benar, agar tidak adanya kesalahan dalam memutus.

Putusan harus mendasar, karena apabila putusan tersebut salah, salah satu pihak pasti dirugikan atas putusan tersebut, MPW atau MPP (tingkatan yang berhak memutus) harus memberikan putusan layaknya hakim dalam peradilan umum. Apabila putusan tersebut menyatakan Notaris bersalah, hal itu berdampak adanya riwayat buruk dalam kinerja Notaris tersebut, dan hal itu akan membuat tercorengnya nama Notaris. Maka dari itu, putusan bukan hanya berupa salah atau tidaknya, akan tetapi sebuah putusan harus berdasarkan yang sebenarnya dan seadilnya.

Tidak semua laporan dari masyarakat dianggap benar telah terjadi pelanggaran, harus diperiksa dengan seksama, karena pada dasarnya Notaris adalah pejabat yang harus dihormati, agar tidak setiap masyarakat dapat sewenang-wenang melaporkan karena hal tersebut dapat menjatuhkan Notaris tersebut, disinilah MPN sebagai pengawas juga yang memeriksa Notaris

(21)

dianggap perlu untuk melindungi Notaris agar tidak terjadi kesewenang-wenangan atas jabatan Notaris.

2.2.3 Analisis atas Contoh Kasus Pelanggaran Notaris

Pemeriksaan oleh tingkat Wilayah FAKTA HUKUM :

1. Bahwa Majelis Pemeriksa Daerah Notaris Jakarta Selatan telah memeriksa Pelapor dan Terlapor pada tanggal 9 Januari 2008 dan mengadakan rapat hasil pemeriksaan tersebut pada tanggal 24 Januari 2008, dengan rekomendasi sebagai berikut:

a. Untuk dapat memperoleh salinan akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT. X tanggal 31 Oktober 2007 maka Pelapor harus meminta salinan akta dimaksud kepada Direksi Perseroan. Terlapor tidak berwenang untuk memberikan salinan akta dimaksud kepada Pelapor. Hal ini sesuai dengan Pasal 100 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas : “Atas permohonan tertulis dari pemegang saham, Direksi memberi izin kepada pemegang saham untuk memeriksa daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan tahunan, serta mendapatkan salinan risalah RUPS dan salinan laporan tahunan”.

b. Terdapat perbedaan pendapat (Dissenting opinion) dari Majelis Pemeriksa Daerah Kotamadya Jakarta Selatan, yaitu sebagai berikut: “Pelapor dapat meminta salinan akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT. X tanggal 31 Oktober 2007 kepada Terlapor. Hal ini berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris : ”Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, Grosse akta, salinan akta, atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang

(22)

memperoleh hak kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan”

2. MPD Jakarta Selatan menyampaikan berkas kepada MPW Notaris DKI Jakarta, Nomor 69/PN.02.02/II/2008, tanggal 5 Februari 2008 tentang Penyampaian Berita Acara Pemeriksaan Laporan Masyarakat.

3. Bahwa pokok perselisihan adalah : Pelapor tidak mendapatkan salinan Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT. X tanggal 31 Oktober 2007, dan Pelapor menganggap Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT. X tanggal 31 Oktober 2007 tidak sah.

4. Bahwa Terlapor menolak permintaan Pelapor sebagai pihak yang berkepentingan, agar diberikan salinan Akta Berita Acara Rapat Umum Pemengang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT. X tanggal 31 Oktober 2007. 5. Bahwa, hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris DKI Jakarta

tanggal 13 Mei 2008 yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Pelapor dan Terlapor. Pada pokoknya baik Pelapor dan Terlapor masing-masing tetap berpegang teguh pada pendapatnya antara lain sebagai berikut:

A. Keterangan Pelapor :

1. Pelapor menerangkan bahwa setelah mendapat BAP dari MPD Jakarta Selatan ia tidak terima dengan alasan bahwa isi BAP tersebut tidak sesuai dengan proses pemeriksaan sesungguhnya; 2. Pelapor menerangkan bahwa ia bukan Pemegang Saham PT. X; 3. Pelapor menerangkan bahwa ia telah mengajukan permohonan

salinan Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT. X tanggal 31 Oktober 2007;

4. Pelapor menerangkan sudah memberikan semua bukti dalam laporannya kepada MPW;

5. Pelapor menambahkan keterangan bahwa RUPSLB dipimpin bukan oleh Direktur Utama, tetapi oleh salah seorang Direktur, padahal

(23)

Direktur Utama hadir dalam rapat tersebut. Pelapor menambahkan bahwa Terlapor mengatakan dalam pemeriksaan MPD Jakarta Selatan bahwa Terlapor hanya mempunyai hubungan dengan PT. X, dan karenanya jika Pelapor hendak meminta salinan Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT. X tanggal 31 Oktober 2007, maka sebaiknya pelapor meminta kepada PT. X.

B. Keterangan Terlapor :

1. Terlapor menerangkan bahwa ia hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT. X berdasarkan permintaan dari perusahaan tersebut. Atas permintaan itu, sebelum dilakukan RUPS Terlapor meminta dokumen Anggaran Dasar berkaitan dengan pendirian Perseroan sampai dengan terakhir dalam rangka undangan RUPS tersebut. Terlapor juga menerangkan telah meneliti tata cara pemanggilan dan RUPS sesuai denga AD PT. kemudian pada tanggal 31 Oktober 2007 Terlapor hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT. X yang diselenggarakan dengan Agenda Perubahan Susunan Pengurus Perseroan;

2. Terlapor menerangkan bahwa rapat dihadiri oleh 100% pemegang saham dan karenanya rapat dapat mengambil keputusan yang sah; 3. Terlapor menerangkan bahwa prosedur penunjukan pimpinan rapat

sudah dilakukan secara sah, dan rapat dipimpin oleh seorang Direktur;

4. Terlapor menerangkan bahwa ia mengetahui masa jabatan Direktur Utama sudah berakhir. Hal ini ia ketahui dari Anggaran Dasar perusahaan yang bersangkutan;

5. Terlapor menerangkan bahwa proses pengambilan keputusan rapat sah dan disetujui oleh 100% pemegang saham;

(24)

6. Terlapor menerangkan bahwa ia menyerahkan salinan Akta RUPSLB kepada perseroan (PT.X) dan kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagai pemberitahuan; 7. Terlapor menerangkan bahwa ia tidak ingat tanggal penyampaian salinan Akta RUPSLB tersebut, tetapi ia mengetahui Surat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tentang pemberitahuan tersebut telah dikeluarkan;

8. Terlapor menerangkan bahwa ia hanya menyerahkan salinan Akta RUPSLB kepada pihak yang berkepentingan langsung, yaitu orang yang memperoleh hak dan perusahaan yang mengundang RUPSLB tersebut.

PERTIMBANGAN HUKUM Mengingat :

1. Bahwa berdasarkan pasal 16 ayat (1) butir a UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris disebutkan bahwa Notaris harus bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbutan hukum;

2. Bahwa berdasarkan pasal 54 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris disebutkan bahwa Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hal;

3. Bahwa dari keterangan Pelapor dan Terlapor sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan tanggal 13 Mei 2008, yang juga telah dibacakan kembali kepada keduanya dan keduanya menyatakan setuju dengan membubuhkan tanda tangan dalam Berita Acara Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa, dapat disimpulkan bahwa Pelapor bukan pemegang saham PT. X dan bukan pula orang yang memperoleh hak dari RUPSL. Oleh karenanya, Pelapor tidak termasuk katergori orang yang langsung

(25)

berkepentingan sebagaimana dimaksud Pasal 54 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;

4. Bahwa MPW bukanlah lembaga yang berwenang untuk menilai sah tidaknya RUPS suatu perseroan dan karenanya tidak berwenang pula untuk memutuskan perkara yang diajukan oleh Pelapor tentang tidak sahnya RUPSLB PT. X;

5. Pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris serta ketentuan hukum lainnya yang bersangkutan:

Memperhatikan:

Hasil rapat Pemeriksaan Majelis Pengawas Wilayah Notaris DKI Jakarta tertanggal 24 Juni 2008.

Memutuskan:

1. Menyatakan bahwa Terlapor telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 54 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

2. Menyatakan bahwa Majelis Pengawas Wilayah Notaris DKI Jakarta Tidak berwenang untuk menyatakan sah tidaknya RUPS suatu perseroan.

3. Menolak permohonan Pelapor untuk seluruhnya.

Pemeriksaan oleh tingkat Pusat

FAKTA HUKUM yang ditemukan:

- Penjelasan yang diambil dari MEMORI BANDING, menjawab ketidak jelasan dan sekaligus membuktikan bahwa Pembanding/Pelaopr selaku anggota Direki telah diberhentikan oleh akta Nomor 2 Berita Acara RUPSLB tanggal 13 Oktober 2007 tesebut, yang nyata-nyata Pembanding/Pelapor adalah orang yang berkepentingan langsung pada akta dan sekaligus merupakn bukti yang sah sebagaimana dimaksud anggaran dasar Perseroan pasal 21 ayat (2) dan (3).

(26)

PERTIMBANGAN HUKUM:

Menimbang, bahwa sesuai pokok perkara yang dilaporkan tersebut, Majelis Pemeriksa Pusat memperhatikan Pasal 54 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menetapkan bahwa, “Notrais hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, pada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan”. Kemudian di dalam penjelasan pasa, dalam Undang-undang tersebut dinyatakan “cukup jelas”. Selanjutnya Majelis Pemeriksa Pusat mempertimbangkan, siapakah yang dimaksud orang yang berkepentingan langsung pada akta, demikian juga hubungan hukum orang dengan akta maupun hubungan hukum dengan pejabat pembuat akta yang memohon dibuatkannya akta notaril. Adanya hubungan hukum para pihak dimaksud, menimbulkan hak dan kewajiban untuk memberikan dan atau menolak memberikan salinan akta kepada orang yang menyatakan berkepentingan langsung pada suatu akta.

Menimbang, bahwa mengutip pendapat ahli sebagaimana pendapat G.H.S. Lumban Tobing, SH dalam bukunya berjudul “Peraturan Jabatan Notaris”, pada halaman 261 dalam sub judul “pemberian grosse akta, salinan akta dan kutipan akta kepada yang langsung berkepentingan, ahli waris dan penerima hak”. Dijelaskan bahwa, pasal 40 Peraturan Jabatan Notaris mempunyai hubungan yang erat dengan pasal 17 Peraturan Jabatan Notaris yang mengatur sumpah jabatan Notaris. Pada waktu menerima jabatannya Notaris bersumpah :untuk merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dengan peraturan-peraturan mana dimaksudkan peraturan-peraturan dalam Peraturan Jabatan Notaris, khususnya pasal 40 Peraturan Jabatan Notaris dengan mengucapkan sumpah itu. Bahwa pada umumnya mereka yang bukan pihak (party) atau yang bukan langsung

(27)

berkepentingan dalam suatu akta, tidak dapat memeroleh grosse akta, salinan akta atau kutipan akta dari Notaris. Hanya apabila “hakim” berpendapat, bahwa seseorang yang bukan pihak dalam suatu akta mempunyai kepentingan pada akta itu, orang yang bersangkutan dapat mengajukan tuntutan untuk diberikan kepadanya salinan dari akta itu. Selanjutnya, bahwa pengertian dari “yang langsung berkepentingan” beliau menganut pendapat Hoge Raad sebagaimana tercermin dalam arrestnya tanggal 20 Juni 1913 (W.P.N.R. 2278, N.J. 1913 halaman 790). Menurut arrest tersebut, yang dimaksud dengan “orang-orang yang langsung berkepentingan” bukan mereka yang mempunyai kepentingan pada akta, akan tetapi mereka yang mempunyai hak atas akta, artinya yang mempunyai hubungan hukum dengan akta, yang bersumber dari penugasan yang diberikan kepada Notaris untuk membuat akta tersebut.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas Majelis Pemeriksa Pusat berpendapat bahwa Pasal 40 Peraturan Jabatan Notaris (Stb 1860:3) Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia, pada prinsipnya sama dengan ketentuan Pasal 54 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang dalam penjelasan pasal dinyatakan “cukup jelas”. Selanjutnya Majelis Pemeriksa Pusat berpendapat bahwa sesuai tugas pokok Majelis Pengawas Notaris sebagaimana dimaksud Pasal 67 ayat (5) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menyebutkan bahwa pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi prilaku dan pelaksanaan Jabatan Notaris.

Menimbang, bahwa sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 54 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Majelis Pemeriksa Pusat perlu memperhatikan hubungan hukum orang yang berkepentingan terhadap diselenggarakannya RUPSLB PT. X tanggal 31 Oktober 2007 dan Notaris yang membuat Berita Acara RUPSLB PT. X tanggal 31 Oktober 2007. Berdasarkan hubungan hukum dimaksud, maka yang meminta dilakukannya RUPSLB tersebut sesuai dengan fakta hukum yang

(28)

disampaikan Pembanding dahulu Pelapor adalah kepada seluruh pemegang saham para anggota Direksi dan anggota Komisaris, demikian pula bahwa menurut Terbanding dahulu Terlapor pada sidang tanggal 11 Maret 2009 menerangkan bahwa PT. X yang meminta Terbanding dahulu Pelapor untuk hadir dalam RUPSLB. Dengan demikian, maka Majelis Pemeriksa Pusat berpendapat bahwa orang yang mempunyai kepentingan langsung dan yang berhak atas akta adalah para pemegang saham dan Direktur Utama yang mengundang acara RUPSLB tersebut, sehingga mereka adalah pihak yang mempunyai hubungan hukum dan menimbulkan hak dan kewajiban dengan Notaris selaku Terbanding/Terlapor.

Memutuskan:

1. Menyatakan menolak permohonan banding Pembanding dahulu Pelapor seluruhnya.

2. Menyatakan menguatkan Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris DKI Jakarta Nomor: 04.PTS.LM/MPWN.DKI.JKT/VII/08 tanggal 09 Juli 2008 berkekuatan hukum mengikat.

Dari contoh kasus yang telah diuraikan diatas, perlu adanya pemeriksaan dengan seksama dari para angota pemeriksa, dari tinggat wilayah maupun pusat untuk dapat memutuskan sebuah perkara dengan benar. Dilihat dari kasus diatas, tidak adanya penjelasan dari Undang-undang mengenai definisi dari hal yang dilaporkan, dengan itu, para Majelis Pemeriksa Notaris mengambil pengertian dari pakar hukum di bidang kenotariatan, dan hal tersebut dapat dijadikan acuan dalam memutus sebuah perkara.

Ketentuan-ketentuan dalam sebuah peraturan dapat diambil banyak penafsiran, hal tersebut pun salah ditafsirkan oleh Pelapor mengenai “pihak yang berkepentingan” tersebut. Oleh karena itu, perlu banyaknya pengetahuan dalam menganalisa sebuah kasus dan tafsiran dari sebuah peraturan, dan hal ini pula yang harus dilakukan para Majelis Pemeriksa Notaris, untuk dapat memutuskan sebuah kasus dengan benar dan adil. Hal ini pun menjadi salah

(29)

satu tugas dari Majelis Pengawas Notaris, dalam hal ini selaku Pemeriksa Notaris.

Notarispun harus dilindungi, bukan dikarenakan dapatnya masyarakat melaporkan segala tindak tanduknya, maka langsung dianggap bahwa telah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris. Notaris sebagai pejabat yang diberi kewenangan besar oleh Negara, harus pula diberi pengawasan serta perlindungan terhadapnya, MPN disini dalam memeriksa dan memutuskan harus pula memperhatikan hal tersebut, tapi bukan berarti harus lebih memproritaskan Notaris. Tugas MPN disini sama selayaknya hakim, yang memutuskan berdasarkan fakta, bukti serta dalil yang didapatnya.

2.3 TINDAKAN ATAS PELANGGARAN-PELANGGARAN YANG

DILAKUKAN OLEH NOTARIS

2.3.1 Pengawasan dari Majelis Pengawas Notaris

Sejak kehadiran institusi Notaris di Indonesia, pengawasan terhadap Notaris selalu dilakukan oleh lembaga peradilan dan pemerintah, bahwa tujuan dari pengawasan agar para Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, demi untuk pengamanan kepentingan masyarakat, karena Notaris diangkat oleh pemerintah, bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri melainkan untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya57. Tujuan lain dari pengawasan terhadap Notaris, bahwa Notaris dihadirkan untuk melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkan alat bukti berupa akta otentik sesuai permintaan kepada Notaris. Sehingga tanpa adanya masyarakat yang membutuhkan Notaris, maka Notaris tidak ada gunanya58.

Pada dasarnya yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

57

G.H.S. Lumban Tobing, op cit., hlm. 301

58Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, op. cit, hlm. 129

(30)

yang dalam pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Menteri sebagai kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagai urusan pemerintah di bidang hukum dan hak asasi manusia59. Dengan demikian kewenangan pengawasan terhadap Notaris ada pada pemerintah, sehingga berkaitan dengan cara pemerintah memperoleh wewenang pengawasan tersebut60.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan yang dimaksud dengan Pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawasterhadap Notaris. Dengan demikian ada 3 (tiga) tugas yang dilakukan Majelis Pengawas, yaitu61:

1. Pengawasan Preventif 2. Pengawasan Kuratif 3. Pembinaan

Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis tidak hanya pelaksanaan tugas jabatan Notaris agas sesuai dengan ketentuan UUJN, tapi juga Kode Etik Notaris dan tindak-tanduk atau perilaku kehidupan Notaris yang dapat mencederai keluhuran martabat jabatan Notaris. Dalam pengawasan Majelis Pengawas (Pasal 67 ayat [5] UUJN), hal ini menunjukan sangat luas ruang lingkup pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas.62

Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan Notaris dengan ukuran yang pasti pada UUJN dengan maksud agar semua ketentuan UUJN yang mengatur pelaksanaan tugas jabatan Notaris dipatuhi oleh Notaris, dan jika 59Indonesia, Peraturan Presiden tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi , Susunan Organisasi , dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, No. 9 Tahun 2005, Ps. 35

60

Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, op.cit., hlm. 131

61Ibid., hlm. 144. 62Ibid., hlm. 144-145

(31)

terjadi pelanggaran, maka Majelis Pengawas dapat menjatuhkan sanksi kepada Notaris yang bersangkutan.63

Majelis Pengawas juga diberi wewenang untuk menyelenggarakan sidang adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris (Pasal 70 huruf a UUJN). Pemberian wewenang seperti itu telah memberikan wewenang yang sangat besar kepada Majelis Pengawas. Bahwa Kode Etik Notaris merupakan pengaturan yang berlaku untuk anggota organisasi Notaris, jika terjadi pelanggaran atas Kode Etik Notaris tersebut, maka organisasi Notaris melalui Dewan Kehormatan Notaris (Daerah, Wilayah, dan Pusat) berkewajiban untuk memeriksa Notaris tersebut dan menyelenggarakan sidang pemeriksaan atas pelanggaran tersebut. Jika terbukti, Dewan Kehormatan Notaris dapat memberikan sanksi atas keanggotaan yang bersangkutan pada organisasi jabatan Notaris. Adanya pemberian wewenang seperti itu kepada Majelis Pengawas Notaris, merupakan suatu bentuk pengambilalihan wewenang dari Dewan Kehormatan Notaris. Pelanggaran atas Kode Etik harus diperiksa oleh Dewan Kehormatan Notaris sendiri tidak perlu diberikan kepada Majelis Pengawas, sehingga jika Majelis Pengawas menerima laporan telah terjadi pelanggaran Kode Etik Notaris, sangat tepat jika laporan seperti itu diteruskan kepada Dewan Kehormatan Notaris, untuk diperiksa dan diberikan sanksi oleh Dewan Kehormatan Notaris atau dalam hal ini Majelis Pengawas harus memilah dan memilih laporan yang menjadi kewenangannya dan laporan yang menjadi kewenangan Dewan Kehormatan Notaris. Kehormatan organisasi Notaris, salah satunya yaitu dapat mengontrol perilaku para anggotanya sendiri dan memberikan sanksi kepada yang terbukti melanggar.64

Pengawasan berupa tindak tanduk atau perilaku Notaris tidak mudah untuk diberi batasan. Sebagai contoh Pasal 9 ayat (1) huruf c UUJN menegaskan salah satu alasan Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya, yaitu melakukan perbuatan tercela. Penjelasan pasal tersebut memberikan batasan 63Ibid.

(32)

bahwa yang dimaksud dengan perbuatan tercela adalah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan,dan norma adat. Pasal 12 huruf c UUJN menegaskan bahwa salah satu alasan Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat yaitu melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Penjelasan pasal tersebut memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat” misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba, dan berzina.65 Perilaku atau tindak tanduk Notaris yang berada dalam ruang lingkup pengawasan Majelis Pengawas di luar pengawasan tugas pelaksanaan tugas jabatan Notaris, dengan batasan66:

- Melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat.

- Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris, misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba, dan berzina. 2.3.2 Pemeriksaan Notaris oleh Majelis Pengawas Notaris

Pasal 70 huruf b UUJN dan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menentukan MPD berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu. Majelis atau Tim Pemerikasa dengan tugas seperti ini hanya ada pada MPD saja, yang merupakan tugas pemeriksaan rutin atau setiap waktu yang diperlukan, dan langsung dilakukan di kantor Notaris yang bersangkutan. Tim Pemeriksa ini sifatnya insidentil (untuk pemerikasaan tahunan atau sewaktu-waktu) saja, dibentuk oleh Majelis Pengawas Daerah jika diperlukan.67

65 Ibid.

66Ibid. hlm. 146 67Ibid.

(33)

Pemeriksaan yang dilakukan Tim Pemerikasa meliputi pemerikasaan:68 1. Kantor Notaris (alamat dan kondisi fisik kantor);

2. Surat Pengangkatan sebagai Notaris; 3. Berita Acara sumpah jabatan Notaris; 4. Surat keterangan izin cuti Notaris; 5. Sertifikat cuti Notaris;

6. Protokol Notaris yang terdiri dari: a. Minuta akta;

b. Buku daftar akta atau repertorium;

c. Buku khusus untuk mendaftarkan surat dibawah tangan yang disahkan tanda tangannya dan surat dibawah tangan yang dibukukan;

d. Buku daftar nama penghadap atau klapper dari daftar akta dan daftar surat dibawah tangan yang disahkan;

e. Buku daftar protes; f. Buku daftar wasiat;

g. Buku daftar lain yang harus disimpan oleh Notaris berdasarkan ketentuan perudang-undangan.

7. Keadaan arsip;

8. Keadaan penyimpanan akta (penjilidan dan keamanannya);

9. Laporan bulanan pengiriman salinan yang disahkan dari daftar akta, daftar surat dibawah tangan yang disahkan, dan daftar durat dibawah tanagn yang dibukukan;

10. Uji petik terhadap akta;

11. Penyerahan protokol berumur 25 tahun atau lebih; 12. Jumlah pegawai yang terdiri atas:

a. Sarjana;dan b. Non sarjana

13. Sarana kantor, antara lain:

(34)

a. Komputer; b. Meja; c. Lemari d. Kursi tamu; e. Mesin tik; f. Filling cabinet; g. Pesawat telepon/faksimili/internet. 14. Penilaian pemeriksaan; dan

15. Waktu dan tanggal pemerikasaan.

Pasal 20 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menentukan bahwa pemerikasaan terhadap Notaris dilakukan juga oleh Majelis Pemeriksa (Daerah, Wilayah dan Pusat), yang sifatnya insidentil saja, dengan kewenangan memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesame Notaris (Pasal 20 ayat [2] Peraturan Menteri).69

Instansi utama yang melakukan pengawasan dan pemerikasaan terhadap Notaris, yaitu Majelis Pengawas. Untuk kepentingan tertentu Majelis Pengawas membentuk Tim Pemeriksa dan Majelis Pemeriksa (Daerah, Wilayah dan Pusat). Dengan demikian ada 3 (tiga) institusi dengan tugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris dengan kewenangan masing-masing, yaitu:70

1. Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah dan Pusat); dengan kewenangan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris dan tindak tanduk atau perilaku kehidupan Notaris. 2. Tim Pemeriksa; dengan kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap

Protokol secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu.

69Ibid., hlm. 148 70Ibid.

(35)

3. Majelis Pemeriksa (Daerah, Wilayah dan Pusat), dengan kewenanga untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama Notaris.

Pengaturan pengawasan dan pemeriksaan seperti itu memperpanjang rantai pengawasan dan pemeriksaan dengan keharusan Majelis Pengawas untuk membentuk Tim Pemeriksa dan Majelis Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan tertentu. Lebih baik yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan Notaris yaitu Majelis Pengawas saja dengan segala kewenangan yang ada menurut UUJN dan Peraturan Menteri tersebut.71

Telah dikatakan di atas, bahwa Majelis Pengawas Notaris, masing-masing dalam setiap tingkatannya terdiri dari 3 unsur, yaitu Akademisi, Profesi Notaris dan Pemerintah. Lalu, bagaimana apabila seorang anggota MPD, MPW dan MPP yang dari unsur Notaris. Dengan demikian, timbul pertanyaan siapakah yang harus mengawasinya? Dan suatu hal yang aneh, tetapi lucu jika anggota MPD, MPW dan MPP memeriksa serta mengawasi dirinya sendiri, juga suatu hal yang tidak proporsional jika anggota MPD, MPW dan MPP yang bukan Notaris mengawasi serta memeriksa anggotanya yang berasal dari Notaris72.

Undang-undang Jabatan Notaris dan Keputusan serta Peraturan Menteri tersebut tidak mengatur jika sebagaimana yang tersebut di atas terjadi. Untuk memberikan jawaban atas hal tersebut, ada dua alternatif yang harus dilakukan, yaitu:

1. Dilakukan Pengawasan Berjenjang untuk Notaris yang Menjadi Anggota Majelis Pengawas

Artinya, anggota MPD yang berasal dari Notaris akan diawasi dan diperiksa oleh MPW dan anggota MPW yang berasal dari Notaris akan

71 Ibid.

72Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, (Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT), cet. 1, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), , hlm. 82-83.

(36)

diawasi dan diperiksa oleh MPP, sedangkan anggota MPP yang berasal dari Notaris akan diawasi dan diperiksa oleh Menteri.

2. Mengundurkan Diri untuk Diganti oleh Notaris yang Lain

Dengan demikian, akan terjadi kekosongan anggota majelis pengawas. Jika hal ini terjadi, akan dilakukan pergantian antarwaktu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.

Ketentuan seperti tersebut harus dilakukan. Jangan sampai anggota majelis pengawas yang berasal dari Notaris memperoleh hak-hak istimewa serta luput dari pengawasan dan pemeriksaan.73

2.3.3 Wewenang Majelis Pengawas Notaris Dalam Menjatuhkan Sanksi

Majelis Pengawas Notaris mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris. Sanksi ini disebutkan atau diatur dalam UUJN, juga disebutkan kembali dan ditambah dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004. Dengan pengaturan seperti itu ada pengaturan sanksi yang tidak disebutkan dalam UUJN tapi ternyata diatur atau disebutkan juga dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004, yaitu:74

1. Mengenai wewenang MPW untuk menjatuhkan sanksi, dalam Pasal 73 ayat (1) huruf e UUJN, bahwa MPW berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan teguran secara tertulis, tapi dalam keputusan Menteri angka 2 butif 1 menentukan bahwa MPW juga berwenang untuk menjatuhkan (seluruh) sanksi sebagaimana yan tersebut dalam Pasal 85

73

Ibid., hlm. 53

74Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, op.cit., hlm.149

(37)

UUJN. Adanya pembedaan pengaturan sanksi menunjukan adanya inkonsistensi dalam pengaturan sanksi, seharusnya yang dijadikan pedoman yaitu ketentuan Pasal 73 ayat (1) huruf a UUJN tersebut, artinya MPW tidak berwenang selain dari menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan teguran secara tertulis.

2. Mengenai wewenang MPP, yaitu mengenai penjatuhan sanksi dalam Pasal 84 UUJN. Dalam angka 3 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004 bahwa MPP mempunyai kewenangan untuk melaksanakan sanksi yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN. Pasal 84 UUJN merupakan sanksi perdata, yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan (perantara) MPP untuk melaksanakannya dan MPP bukan lembaga eksekusi sanksi perdata. Pelaksanaan saksi tersebut tidak serta merta berlaku, tapi harus ada proses pembuktian yang dilaksanakan di pengadilan umum, dan ada putusan dari pengadilan melalui gugatan, bahwa akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta batal demi hukum. Keputusan Menteri yang menentukan MPP berwenang untuk melaksanakan Pasal 84 UUJN telah menyimpang dari esensi suatu sanksi perdata. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004 seperti itu tidak perlu dilaksanakan.

Pada dasarnya tidak semua Majelis Pengawas mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi, yaitu:75

1. MPD tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun. Meskipun MPD mempunyai wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari Notaris lainnya dengan menyelenggarakan siding untuk memeriksa adanya gugatan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris, tapi tidak diberi kewenangan

(38)

untuk menjatuhkan sanksi apapun. Dalam hal ini, MPD hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan pemeriksaannya kembali kepada MPW dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris (Pasal 71 huruf e UUJN).

2. MPW dapat menjatuhkan sanksi teguran lisan atau tertulis.

MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, dan sanksi ini bersifat final. Disamping itu mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara dari jabatan Notaris selama 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan, atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan Notaris.

Saksi dari MPW berupa teguran lisan dan terguran tertulis yang bersifat final tidak dapat dikategorikan sebagia sanksi, tapi merupakan tahap awal dari aspek prosedur paksaan nyata untuk kemudian dijatuhi sanksi yang lain, seperti pemberhentian sementara dari jabatannya.

3. MPP dapat menjatuhkan sanksi terbatas.

Pasal 77 hurud c UUJN menentukan bahwa MPP berwenang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi seperti ini merupakan masa menunggu dalam jangka waktu tertentu sebelum dijatuhkan sanksi yang lain, seperti sanksi pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris. Sanksi-sanksi yang lainnya MPP hanya berwenang untuk mengusulkan:

a. Pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya kepada Menteri (Pasal 77 huruf d UUJN);

b. Pemberhentian sanksi berupa pemberhentian tidak hormat dari jabatannya dengan alasan tertentu (Pasal 12 UUJN).

Dengan demikian pengaturan sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN, sanksi berupa terguran lisan dan terguran tertulis hanya dapat dijatuhkan oleh MPW. Sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatan Notaris hanya dapat

(39)

dilakukan oleh MPP, dan sanksi berupa pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris serta pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris hanya dapat dilakukan oleh Menateri atas usulan MPP. Pada dasarnya pengangkatan dan pemberhentian Notaris dari jabatannya sesuai dengan aturan hukum bahwa yang mengangkat dan yang memberhentikannya harus instansi yang sama, yaitu Menteri.76

2.4. UPAYA UNTUK MENGATASI PELANGGARAN OLEH NOTARIS 2.4.1. Ruang Lingkup Tugas Majelis Pengawas Notaris

Majelis Pengawas Notaris sebagaimana yang telah disebutkan diatas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris yang meliputi perilaku dan pelaksanaan jabatan Notaris. Majelis Pengawas Notaris secara umum mempunyai ruang lingkup kewenangan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris (Pasal 70 huruf a, Pasal 73 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 77 huruf a dan b UUJN)77.

Berdasarkan substansi pasal tersebut bahwa Majelis Pengawas Notaris berwenang melakukan sidang untuk memeriksa:78

1. Adanya dugaan pelanggaran Kode Etik;

2. Adanya dugaan pelanggaran pelaksana tugas jabatan Notaris;

3. Perilaku para Notaris yang di luar menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris yang dapat menggangu atau mempengaruhi pelaksanaan tugas jabatan Notaris.

Majelis Pengawas juga berwenang memeriksa fisik kantor Notaris beserta perangkatnya, juga memeriksa fisik minuta akta Notaris (Bab IV Tugas Tim Pemeriksa Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004). Dalam tataran yang ideal perlu 76

Ibid., hlm. 150-151.

77Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, op.cit., hlm. 171. 78Ibid.

(40)

dilakukan pemisahan mengenai kewenangan Majelis Pengawas, yaitu Majelis Pengawas lebih tepat untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatan Notaris atau perilaku yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris, karena perilaku Notaris yang berpedoman kepada UUJN memberikan implikasi yang baik dalam pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris dan juga Majelis Pengawas tidak perlu melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap fisik kantor Notaris, karena fisik kantor Notaris secara minimal disesuaikan dengan kebutuhan Notaris yang bersangkutan, serta tidak perlu pula melakukan pemeriksaan atas/terhadap minuta akta-akta dibuat oleh Notaris yang bersangkutan, karena akta merupakan perwujudan kemampuan keilmuan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.79

Untuk pengawasan terhadap pelanggaran Kode Etik Jabatan Notaris seharusnya diserahkan depada Dewan Kehormatan Notaris, bahwa kewibawaan institusi Notaris dapat tercermin dari suatu Dewan Kehormatan Notaris yang dapat melakukan tindakan dan menjatuhkan sanksi kepada Notaris yang melakukan pelanggaran Kode Etik Jabatan Notaris.80

Majelis Pengawas Daerah (MPD) dibentuk dan berkedudukan di kabupaten atau kota (Pasal 69 atau [1] UUJN), Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dibentuk dan berkedudukan di ibukota propinsi (Pasal 72 ayat [1] UUJN), dan Majelis Pengawas Pusat (MPP) dibentuk dan berkedudukan di ibukota Negara (Pasal 76 ayat [1] UUJN). Pengawas dan pemerikasaan terhadap Notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas, yang didalamnya ada unsur Notaris, dengan demikian setidaknya Notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas yang memahami dunia Notaris. Adanya anggota Majelis pengawas dari Notaris merupakan pengawasan internal artinya dilakukan oleh sesama Notaris yang memahami dunia Notaris luar-dalam, sedangkan unsur lainnya merupakan unsur eksternal yang mewakili dunia akademik, pemerintah dan 79Ibid., hlm. 171-172

(41)

masyarakat. Perpaduan keanggotaan Majelis Pengawas diharapkan dapat memberikan sinergi pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan para Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak menyimpang dari UUJN karena diawasi secara internal dan eksternal.81

Majelis pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang berwenang melakukan pengawasan, pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, tiap jenjang (MPD, MPW dan MPP) mempunyai wewenang masing-masing, yaitu:

1. Majelis Pengawas Daerah (MPD)

Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10.Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Rebuplik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dalam Pasal 66 UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan:82

(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris;

b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berita acara penyerahan.

Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak dipunyai oleh MPW ataupun MPP. Substansi Pasal 66 UUJN imperatif

81Ibid., hlm. 173 82Ibid., hlm. 179

Referensi

Dokumen terkait

SEQUENTIAL CLOSE READ WRITE REWRITE START DELETE Boleh Boleh Tidak Tidak Boleh Tidak Boleh Tidak Boleh Tidak Tidak Tidak Boleh Boleh Tidak Boleh Boleh Boleh

Dalam hasil perbandingan yang telah dilakukan metode Certainty Factor memiliki hasil dengan tingkat keberhasilan proses diagnosa yang tinggi berdasarkan nilai bobot berdasarkan

Faktor-faktor yang menjadi penghambat para guru melaksanakan kurikulum 2013 adalah kurangnya sarana dan prasaran dalam mengembangkan proses pembelajaran, kurangnya buku

SL-PTT merupakan program yang berfungsi sebagai pusat belajar pengambilan keputusan para petani/kelompok tani, sekaligus tempat tukar menukar informasi dan pengalaman

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan bahwakemampuan pemecahan masalah mahasiswa PGSD FKIP Universitas Riau pada pecahan melalui pendekatan model

Tinggi tanaman pada kemiringan 3% juga berbeda nyata (signifikan) dengan kemiringan 7%. Besarnya panjang akar rata-rata tanaman pada masing-masing kemiringan dan

Strategi dan Peran Fundraiser di BAZNAS Kabupaten Sidoarjo Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Sidoarjo menggunakan menajemen strategi terlebih dahulu guna

Maka agar yang dipotret persis dengan potretnya, alat potret itu harus memakai film negatif yang belum terpakai (belum ada gambarnya), yang masih bersih.. Begitu pula