• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 1 Pendahuluan I.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 1 Pendahuluan I.1 Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 1 Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangannya terhadap PDB, penyedia lapangan kerja dan penyediaan pangan dalam negeri. Kesadaran terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih tetap memelihara kegiatan pertanian mereka meskipun negara telah menjadi negara industri. Sehubungan dengan itu, pengendalian lahan pertanian merupakan salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan. (Yudoyono, 2006)

Arti penting dan peranan pertanian bagi pembangunan suatu bangsa telah ditunjukkan oleh pengalaman nyata beberapa Negara di dunia. Negara-negara yang saat ini tergolong sebagai Negara maju mengawali perkembangannya dengan membangun pertanian, seperti Perancis, Jepang dan Amerika Serikat. Bahkan suatu Negara dapat bangkit dan maju setelah hancur luluh akibat Perang Dunia I dengan pemilahan yang tepat untuk membangun sektor pertanian seperti perikanan dan kehutanan sebagaimana ditunjukkan oleh Negara-negara Skandinvia (Finlandia dan Denmark). Contoh yang lebih dekat adalah Thailand. Produk pertanian Thailand dari buah, sayur-sayuran bahkan sampai hasil olahan singkong (antara lain modified starch, maltodekstrin) mampu mencapai pasar global.

Sumber daya alam saja ternyata tidak cukup, diperlukan sumberdaya lain dan yang lebih penting seperti kebijakan pemerintah yang memihak kepada pertanian. Hal ini dibuktikan oleh Negara gajah putih tersebut. Di Negara itu pengembangan pertanian tidak hanya ditangani oleh Departemen Pertanian saja tetapi didukung oleh seluruh sektor sehingga semua sumber daya mulai dari kredit hingga transportasi diarahkan untuk mendukung pertanian.

(2)

Kondisi pertanian di Indonesia sepanjang era pemerintahan orde baru sampai sebelum krisis moneter 1997, era reformasi 1998 – 2004 arah dan strategi pembangunan nasional dituangkan dalam GBHN, tersirat bahwa pengembangan pertanian harus didukung oleh industri yang tangguh. Berbagai kebijakan untuk meningkatkan peran pertanian tertuang dalam berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah, seperti program Bimas (Bimbingan Masyarakat), Inmas (Intensifikasi Massal), dan Insus (Intesifikasi Khusus) sebagai realisasi revolusi hijau merupakan tanggapan pemerintah untuk menjadikan pertanian tulang punggung perekonomian bangsa agar ketahanan pangan nasional dapat dicapai dengan baik.

Kebijakan pangan nasional akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Serangkaian kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belakangan ini disamping tidak konsisten, juga tidak mencerminkan sense of humanity. Hal ini dapat dilihat dari dampak yang telah terjadi maupun bakal muncul terhadap kesejahteraan petani Indonesia dan ketahanan pangan nasional. Jatuhnya harga gabah petani memperlihatkan betapa lemahnya antisipasi pemerintah terhadap permasalahan yang menyangkut kehidupan petani. Di samping itu penerapan pencabutan subsidi pupuk yang dilakukan pemerintah sangat memberatkan juga harga gabah dasar tidak dapat dipertahankan.

Namun sektor pertanian adalah salah satu sektor yang selama ini masih diandalkan oleh Negara Indonesia karena sektor pertanian mampu memberikan pemulihan dalam mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia. Keadaan inilah yang menampakkan bahwa sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang andal dan mempunyai potensi besar untuk berperan sebagai pemicu pemulihan ekonomi nasional melalui salah satunnya adalah ketahanan pangan nasional. Dengan demikian diharapkan kebijakan untuk sektor pertanian lebih diutamakan.

Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang, baik di tingkat nasional, daerah dan rumah tangga. Ketahanan pangan harus diwujudkan secara merata di

(3)

seluruh wilayah sepanjang waktu, dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis dan desentralistis saat ini, pelaku utama pembangunan pangan mulai dari produksi, penyediaan, distribusi dan konsumsi adalah masyarakat, sedangkan pemerintah lebih berperan sebagai inisiator, fasilitator dan regulator agar kegiatan masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya nasional dapat berjalan lancar, efisien, berkeadilan dan bertanggungjawab.

Ketahanan pangan mempunyai fungsi ekonomi, sosial, budaya, politik dan keamanan bagi Indonesia. Membangun ketahanan pangan nasional adalah menjadi kewajiban seluruh komponen bangsa Indonesia, dimulai dengan membangun ketahanan pangan di tingkat regional, daerah dan rumah tangga. Menurut UU No 7 tahun 1996 tentang pangan, dimana diamanatkan pembangunan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, dan pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan, yaitu terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Melalui pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat diartikan lebih lanjut sebagai : (1) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan dalam arti luas mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia; (2) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman; (3) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa pangan harus tersedia setiap saat di seluruh wilayah, dan (4) terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah didapat oleh setiap rumah tangga dengan harga terjangkau.

(4)

Pangan dalam hal ini mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, peternakan dan perikanan, baik dalam bentuk primer ataupun olahan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidtrat, protein, lemak dan mineral, termasuk di dalam air minum yang berasal dari berbagai sumber. Dalam kaitannya untuk mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi fungsi lahan pertanian, apalagi alih fungsi lahan di setiap daerah mengalami penurunan dari lahan sawah ke lahan non sawah.

Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat. Setidaknya ada 10 peraturan/perundangan yang berkenaan dengan masalah alih fungsi lahan seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel I.1 Peraturan/Perundangan Terkait Dengan Alih-Guna Lahan Pertanian (Nasoetion, 2003).

No. Peraturan/Perundangan Garis besar isi, khususnya yang terkait dengan alih fungsi guna lahan pertanian

1 UU No. 24/1992 Penyusunan RTRW harus mempertimbangkan budidaya pangan/STT:

2 Kepres No. 52/1989 Pembangunan kawasan industri, tidak boleh konversi SIT/tanah pertanian subur:

3 Kepres No. 33/1990 Pelarangan pemberian izin perubahan fungsi lahan basah dan pengairan beririgasi bagi pembangunan kawasan industri: 4 SE MNA/KBPN

410-1851/1994

Pencegahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian melalui penyusunan RTR 5 SE MNA/KBPN

410-2261/1994

Izin lokasi tidak boleh mengkonversi sawah irigasi teknis (SIT) 6 SE/KBAPPENAS

5334/MK/9/1994

Pelarangan konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non pertanian 7 SE MNA/KBPN

5335/MK/1994

Penyusunan RTRW dati II melarang konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non pertanian

8 SE MNA/KBPN 5417/MK/10/1994

Efisiensi pemanfaatan lahan bagi pembangunan perumahan 9 SE MENDAGRI

474/4263/SJ/1994

Mempertahankan sawah irigasi teknis untuk mendukung swasembada pangan

10 SE MNA/KBPN 460-1594/1996

a. Mencegah konversi tanah sawah dan irigasi teknis menjadi tanah kering:

(5)

Namun demikian, implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: (i) Kebijakan yang kontradiktif; (ii) Cakupan kebijakan yang terbatas; (iii) Kendala konsistensi perencanaan (Nasoetion, 2003).

Alih fungsi lahan pertanian produktif di Jawa, terutama lahan sawah, menjadi lahan non pertanian telah berlangsung dan sulit dihindari sebagai akibat pesatnya laju pembangunan. Penurunan produksi padi di Jawa yang menyediakan 60 % produksi beras nasional terjadi akibat penciutan lahan sawah karena alih fungsi lahan dan pelandaian tingkat produktivitas di daerah-daerah itensifikasi. Untuk mendorong usaha mempertahankan swasembada beras maka perluasan area tanam padi harus segera dialihkan ke luar Jawa yang lahannya masih cukup luas. Namun, daerah tersebut umumnya mempunyai kendala kualitas lahan yang rendah dan infrastruktur yang kurang memadai (Sri Adiningsih et al., 1994)

Usaha yang dilakukan pemerintah untuk mempertahankan swasembada pangan adalah peningkatan mutu program itensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi lahan pertanian. Program ekstensifikasi dilakukan dengan pencetakan sawah baru, terutama didaerah yang telah memiliki jaringan irigasi di luar Jawa (Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan, 1994). Meskipun biaya pencetakan sawah relatif mahal, dengan penerapan paket teknologi yang tepat diharapkan produksi padi dapat meningkat. Hal ini penting dilakukan guna mengantisipasi kebutuhan beras yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan penciutan lahan sawah di Jawa Barat.

Kebutuhan konsumsi nasional pada tahun 2001 diperkirakan sebesar 54.259.400 ton padi atau setara 46.939.807 ton beras (Abdulrachman et al., 1998). Produksi nasional pada tahun 1998 sebesar 46.598.380 ton padi atau setara 40.312.259 ton beras (Badan Pusat Statistik 1998), sehingga terjadi kekurangan 5.824.119 ton setara

(6)

5.043.105 ton beras. Untuk menutupi kekurangan tersebut antara lain dilakukan impor beras, yang pada tahun 1998 lalu mencapai 2,80 juta ton (Kurnia, 2001; Suryamanto et al., 2001).

Hasil penelitian JICA menyebutkan bahwa tahun 2020, Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit beras sebesar 8.857.000 ton. Angka ini diperoleh setelah mempertimbangkan kebutuhan beras penduduk, kondisi jaringan irigasi yang ada, pencetakan sawah, rehabilitasi, dan pemeliharaan irigasi (Kurnia, 2001).

Pertumbuhan penduduk di Propinsi Jawa Barat dari tahun ke tahun berkisar di angka 2% dan terus merambah naik. Bila memperhatikan data pangan Jawa Barat, produksi beras Jawa Barat dari tahun ke tahun memperlihatkan data yang fluktuatif. Pada tahun 2006, Jawa Barat mengasilkan padi sebanyak 9.500.551 ton. Data produksi tahun sebelumnya sebesar 9.787.217 ton, tahun 2004 sebesar 9.602.302 ton, dan pada tahun 2003 sebesar 8.776.889 ton. Dengan demikian, wajar bila masyarakat Jawa Barat akan selalu terancam kekurangan pangan karena pertumbuhan penduduk yang bergerak linier tidak imbangi dengan produksi beras tahunan yang sepadan (Ginanjarkartasasmita, Pikiran Rakyat, Senin 9 April 07).

Berkurangnya produksi pangan dan stok beras di Jawa Barat juga dipengaruhi oleh alih fungsi lahan yang ada, dengan demikian luas lahan yang digunakan untuk pertanian diupayakan dimaksimalkan dalam produksi pertanian melalui intensifikasi atau usaha lain guna menambah penigkatan produksi pangan di Jawa Barat. Maka dengan permasalahan di atas maka penulis akan mengkaji permasalahan tersebut melalui penelitian yang akan penulis lakukan dengan judul Pengaruh Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Barat.

I.2 Rumusan Permasalahan

Dalam beberapa hal alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lainnya bersifat dilematis. Pertambahan penduduk dan pertumbuhan kegiatan ekonomi yang pesat di

(7)

beberapa wilayah memerlukan jumlah lahan non pertanian yang mencukupi. Namun demikian, pertambahan jumlah penduduk juga memerlukan supply bahan pangan yang lebih besar, yang berarti lahan pertanian juga lebih luas, sementara total luas lahan yang ada berjumlah tetap.

Adapun permasalahan yang berkaitan dengan alih fungsi lahan adalah 1). Kebutuhan lahan untuk keperluan diluar pertanian (seperti industri, perumahan, sarana prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya), yang setiap tahunnya terus meningkat, sehingga berdampak terhadap kompleksnya permasalahan dilapangan, 2). Berkurangnya rata-rata kepemilikan lahan sehingga usaha tani kurang menguntungkan, 3). Kehidupan sosial masyarakat khususnya generasi muda cenderung kurang tertarik menggeluti usaha bidang pertanian, 4). Kurangnya koordinasi dan sinergitas kegiatan khususnya dalam pengawasan dan penanganan perizinan penggunaan lahan pertanian produktif, 5). Kurangnnya kesadaran dan komitmen dari semua unsur terkait untuk mempertahankan lahan pertanian produktif, RTRW dan lainnya, 6). Kurang berjalannya penegakan hukum dan penerapan sangsi terhadap pelanggar kerusakan lingkungan, 7). Belum adannya pengaturan insentif bagi masyarakat yang mampu mempertahankan lahan produktif khususnya lahan sawah irigasi teknis. (Dinas pertanian Jawa Barat 2007)

Sebagai akibatnya telah terjadi persaingan yang ketat dalam pemanfaatan lahan yang berakibat pada meningkatnya nilai lahan (land rent) maka penggunaan lahan untuk pertanian akan selalu dikalahkan oleh peruntukan lain seperti industri dan perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Meskipun nilai intrinsik dari lahan pertanian, terutama sawah, jauh lebih tinggi dari nilai pasarnya (Pakpahan et. al. 2005, Sumaryanto dan Sudaryanto, 2005) namun nilai-nilai tersebut belum tercipta ‘pasarannya’ sehingga pemilik lahan/petani belum memperoleh nilai finansialnya.

Di sisi internal sektor pertanian, berbagai karakteristik dari usaha tani sendiri belum sepenuhnya mendukung ke arah pelaksanaan pelestarian lahan pertanian yang ada.

(8)

Sempitnya rata-rata luas lahan yang diusahakan petani karena proses fragmentasi yang disebabkan sistem waris pecah bagi makin memarjinalkan kegiatan usaha tani. Sempitnya lahan berakibat pada tidak tercukupinya hasil kegiatan usaha pertanian untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi mencukupi mendorong penerapan teknologi baru untuk peningkatan produktivitas.

Yang terjadi kemudian bukan modernisasi (penerapan teknologi yang up to date) tapi penjualan lahan pertanian untuk penggunaan lainnya (alih fungsi lahan pertanian). Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan -pertanyaan sebagai berikut:

a) Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi ketahanan pangan di Jawa Barat? b) Bagaimana pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap ketersediaan pangan

khususnya beras dan produksi padi di Jawa Barat?

I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap ketahanan pangan di Propinsi Jawa Barat.

Sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: Mengidentifikasi alih fungsi lahan pertanian yang berkaitan dengan ketahanan pangan di Propinsi Jawa Barat.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan:

a) Sebagai bahan masukkan kepada Dinas terkait yang berkaitan dengan alih fungsi lahan pertanian dan ketahanan pangan di Propinsi Jawa Barat..

b) Dengan adanya pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap ketahanan pangan di Propinsi Jawa Barat diharapkan dapat meningkatkan pemanfaatan lahan pertanian secara optimal dan dapat melakukan pengendalian alih fungsi lahan secara optimal di Propinsi Jawa Barat.

(9)

I.4 Ruang Lingkup Penelitian

a) Ruang Lingkup Wilayah

Penelitian dilakukan di wilayah Propinsi Jawa Barat b) Ruang Lingkup Materi

Ruang lingkup materi pada penelitian ini adalah: Data wilayah Jawa Barat, data luas lahan pertanian Jawa Barat, data alih fungsi lahan pertaniah di Jawa Barat, data ketersediaan padi di Jawa Barat, data penduduk di Jawa Barat

I.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang digunakan ialah menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk menghitung data pertanian yang berkaitan dengan penelitian ini, dan metode kualitatif digunakan sebagai pendukung metode kuantitatif. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan deskriptif dan analisis dilakukan berdasarkan data skunder dan telaah pustaka, serta data primer berupa data pertanian dan wawancara dengan pihak terkait.

Dengan melakukan studi dokumen, wawancara dan observasi. Studi dokumen digunakan untuk mencari informasi tertulis tentang data penelitian. Wawancara dilakukan untuk menggali kebenaran informasi yang telah dilakukan dalam studi dokumen, sedangkan observasi dilakukan untuk melihat secara nyata apa yang terjadi dilapangan tentang perubahan alih fungsi lahan di Jawa Barat.

Studi dokumen dan studi wawancara dilakukan pada instansi yang terkait, seperti Dinas Pertanian, Bapeda Jawa Barat dan instansi lainnya yang berkaitan dengan alih fungsi lahan dan ketahanan pangan di Propinsi Jawa Barat, untuk itu penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan penelitian. Penelitian terbagi dalam 3 ( tiga) kegiatan utama yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Studi Pendahuluan, studi ini menjelaskan tentang gambaran umum permasalahan yang ada pada Bab I seperti latar belakang masalah , tujuan dan sasaran penelitian mengenai alih fungsi lahan dan ketahanan pangan di Jawa Barat.

(10)

2. Identifikasi, pada bagian kedua ini menjelaskan tentang Bab II, III dimana Bab II menjelaskan tentang konsep pembangunan, masa depan pertanian, alih fungsi lahan pertanian dan ketahanan pangan di Jawa Barat, Bab III membahas profil Jawa Barat, Gambaran umum pertanian serta kebijakan ketahanan pangan di Jawa Barat.

3. Analisis, yaitu dengan menganalis perubahan alih fungsi lahan pertanian di Jawa Barat, yaitu dengan mengidentifikasi permasalahan dan analisis permasalahan alih fungsi lahan terhadap ketahanan pangan di Jawa Barat dan selanjutnya ditarik kesimpulan dari pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap ketahanan pangan di Jawa Barat dan saran yang berkaitan dengan alih fungsi lahan yang mempengaruhi ketahanan pangan di Jawa Barat. Adapun visualisasi skematik metode penelitian adalah sebagai berikut:

Gambar. I.1 Visualisasi Skematik Metode Penelitian Latar Belakang Masalah

Konsep pembangunan, Masa depan pertanian, Ketahanan pangan, Alih fungsi lahan pertanian & Indeks

Ketahanan Pangan

Profil Jawa Barat dan Gambaran Umum Pertanian di Jawa Barat,

Kebijakan Pertanian serta Ketahanan Pangan di Jawa Barat

Alih fungsi lahan pertanian dan Pengaruh nya terhadap ketahanan

pangan di Jawa Barat

Analisis, Kesimpulan dan Saran

Pertanyaan penelitian Menjawab pertanyaan penelitian Analisis, Kesimpulan dan Saran

(11)

I.6 Sistematika Penulisan Penelitian

Untuk memperoleh gambaran tentang penulisan tesis ini, sistematika penulisan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Menjelaskan tentang rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian serta ruang lingkup penelitian. Dalam metode penelitian digunakan metode kuantitatif dan metode kualitatif untuk melakukan penelitian.

Bab II Studi pustaka

Menjelaskan tentang pengertian pembangunan dan konsep pembangunan, arah masa depan pertanian, pengertian ketahanan pangan, konsep pembangunan ketahanan pangan, alih fungsi lahan pertanian dan indeks ketahanan pangan di Jawa Barat.

Bab III Profil Propinsi Jawa Barat

Menjelaskan mengenai profil Propinsi Jawa Barat, Gambaran umum pertanian, strategi dan kebijakan pertanian nasional dan Propinsi di Jawa Barat, dan ketahanan pangan dalam sektor pertanian di Propnsi Jawa Barat.

Bab IV Alih fungsi lahan pertanian dan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan

Mengkaji status atau kondisi alih fungsi lahan pertanian, kondisi produksi padi di Jawa Barat, produksi beras dan surplus pangan di Jawa Barat, serta pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap ketahanan pangan di Propinsi Jawa Barat, perubahan alih fungsi lahan pertanian terhadap produksi padi dan ketersediaan pangan di Propinsi Jawa Barat.

(12)

Bab V Analisis, kesimpulan dan saran

Menganalisis alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah dan pengaruhnya terhadap produksi padi di Jawa Barat. Dan sejauh mana pengaruhnya terhadap ketahanan pangan di Jawa Barat dengan adanya alih fungsi lahan sawah ke lahan non sawah. Kesimpulan dalam penelitian ini ialah memberikan penjelasan tentang perubahan alih fungsi lahan pertanian mempunyai pengaruh yang dapat mengurangi hasil pertanian padi di Propinsi Jawa Barat serta ketahanan pangan. Saran yang disampaikan memberikan arahan yang positif kepada instansi terkait dan pemerintah di Jawa Barat agar dalam pengelolaan lahan dapat dikendalian dengan pengurangan alih fungsi lahan pertanian ke industri, perumahan dan lainnya..

Gambar

Tabel I.1 Peraturan/Perundangan Terkait Dengan Alih-Guna Lahan Pertanian   (Nasoetion, 2003)

Referensi

Dokumen terkait

Dua hal yang dipelajari penulis dengan pendekatan kemosistematika dalam peng- amatan adalah: (1) ketetapan karakter pada kelompok besar tetumbuhan yang memiliki arti dalam

Penelitian ini berjudul Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali, yang penelitiannya meliputi wawancara pada Masyarakat Suku Bali di Desa Cipta Dharma atau

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Pendekatan dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang memberikan tekanan utama pada penjelasan konsep dasar yang kemudian dipergunakan sebagai sarana

Audit, Bonus Audit, Pengalaman Audit, Kualitas Audit. Persaingan dalam bisnis jasa akuntan publik yang semakin ketat, keinginan menghimpun klien sebanyak mungkin dan harapan agar

Perbandingan distribusi severitas antara yang menggunakan KDE dengan yang menggunakan suatu model distribusi tertentu dilakukan untuk melihat secara visual, manakah dari

61 Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa dilema yang Jepang alami pada saat pengambilan keputusan untuk berkomitmen pada Protokol Kyoto adalah karena

2011 sangat memberi peluang optimalisasi diplomasi Indonesia dalam berperan memecahkan berbagai masalah yang ada baik di dalam negeri maupun di dalam kawasan