REKONSTRUKSI TEKTONIK MIKROKONTINEN PEGUNUNGAN SELATAN
JAWA TIMUR: SEBUAH HIPOTESIS BERDASARKAN ANALISIS KEMAGNETAN
PURBA
Salahuddin Husein1* Moch. Nukman2 1
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2
Prodi Geofisika, Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta *corresponding author: shddin@gmail.com
SARI
Berdasarkan analisis kandungan zirkon pada batuan volkanik berumur Miosen, Pegunungan Selatan Jawa Timur (PSJT) dianggap sebuah fragmen Gondwana yang terpisah dari mikrokontinen Jawa Timur – Sulawesi Barat. Kajian tomografi seismik juga berhasil menunjukkan sebaran mikrokontinen PSJT tersebut. Model rekonstruksi tektonik yang ada selama ini menempatkan kolisi dan amalgamasi Pegunungan Selatan terhadap Sundaland terjadi pada akhir Kapur. Meski demikian, studi paleomagnetisme mengindikasikan posisi paleolatitude PSJT pada umur Eosen masih berada pada jarak sekitar 16o selatan dari posisinya saat ini. Dengan asumsi posisi Sundaland tidak banyak berubah semenjak akhir Kapur, hal ini memunculkan pertanyaan kapan sebenarnya kolisi PSJT terhadap tepian tenggara Sundaland. Makalah ini mengusulkan kolisi tersebut terjadi secara menyerong di akhir Oligosen dan berlangsung hingga Miosen Tengah, yang diakomodir oleh subduksi ganda dan patahan transform yang kelak menjadi Patahan Progo-Muria, serta memerangkapkan kerak samudera di bawah Cekungan Kendeng.
I. PENDAHULUAN
Pulau Jawa terletak di ujung tenggara
Sundaland, sebuah wilayah Benua Eurasia yang
tersusun atas penggabungan banyak kontinen mikro asal Gondwana dan Laurasia (Hall, 2012). Fisiografi tepian tenggara Pulau Jawa dibangun oleh Pegunungan Selatan Jawa Timur (PSJT). Pegunungan ini dibatasi di bagian utara oleh dataran volkanisme Kuarter Zona Solo dan Perbukitan Lipatan Kendeng. Di bagian barat batasnya adalah depresi struktural Yogyakarta dan pegunungan volkanis Tersier Kulonprogo. Di bagian selatan batasnya langsung berhadapan dengan Samudera Hindia.
Dalam rekonstruksi tektonik yang muncul selama ini (Sribudiyani et al., 2003; Hall, 2012), PSJT digabungkan dengan Jawa Timur Utara – Sulawesi Barat, sebagai satu kesatuan lempengan benua yang bernama mikrokontinen Argo. Dasar utamanya mengacu pada sebaran umur petrotektonik Pulau Jawa oleh Hamilton (1979), yang menempatkan batas kerak benua dan zona bancuh subduksi berusia Kapur pada lajur Ciletuh-Karangsambung-Meratus.
Rekonstruksi yang ada selama ini lebih berdasarkan pada asumsi-asumsi regional yang dibangun atas posisi dan pergerakan Sundaland dan Benua Australia. Semenjak ditemukannya jejak zirkon berumur Arkean pada batuan gunungapi Oligo-Miosen yang membawa implikasi kehadiran batuan kontinen yang berasosiasi dengan Benua Gondwana sebagai alas PSJT, sehingga muncul pemikiran bahwa secara tektonik zona ini harus dipisahkan dari mikrokontinen Argo (Smyth et al., 2007; Satyana, 2014). Hal ini memunculkan tantangan lain, yaitu bagaimana menentukan batas-batas kontinen mikro PJST, dan bagaimana cara melakukan rekonstruksi tektoniknya. Makalah ini mencoba menjawab beberapa permasalahan terkait, dengan melakukan analisis palinspatik terhadap mikrokontinen PJST, berdasarkan data-data kemagnetan purba yang pernah dilakukan peneliti terdahulu.
II. TATAAN GEOLOGI
2.1. Tataan tektonikSundaland, dimana Pulau Jawa berada di
beberapa kontinen mikro yang berasal dari Gondwana dan Laurasia di sepanjang Perioda Kapur (Metcalfe et al., 1996; Hall, 2002). Pegunungan Selatan Jawa Timur dianggap sebagai bagian dari kontinen mikro Jawa Timur – Sulawesi Barat (Argo) yang bergabung dengan Sundaland di Kala Kapur Akhir, yang dibawa oleh lajur subduksi Samudera Keno-Tetis
berarah timurlaut-baratdaya. Akibat
amalgamasi tersebut, terjadi perpindahan lajur subduksi menjadi berarah timur-barat seperti sekarang ini terjadi di awal Paleogen (Hall, 2002).
Identifikasi luasan kontinen mikro Jawa Timur – Sulawesi Barat dan lajur subduksi Kapur Akhir yang berarah timurlaut-baratdaya dianggap bersifat spekulatif, karena hanya ditentukan dengan korelasi kompleks subduksi di Karangsambung, Jawa Tengah dan Meratus, Kalimantan Selatan (Metcalfe et al., 1996; Parkinson et al., 1998). Litologi berumur Kapur yang tersingkap di Karangsambung memiliki karakter ofiolit, mencakup lava basal berstruktur bantal, rijang, batugamping, sekis, dan batuan metasedimen (Wakita, 2000). Bukti-bukti adanya fosil subduksi ditunjukkan oleh kehadiran batuan metamorfik tekanan tinggi yang membawa glaukopan-kuarsa-jadeit serta eklogit (Miyazaki et al., 1998). Umur Perioda Kapur ditentukan dengan kandungan radiolaria di dalam rijang (Wakita et al., 1994) dan penanggalan K-Ar pada muskovit dari sekis mika yang menunjukkan rentang umur 110 hingga 124 juta tahun silam (Parkinson et al., 1998; Miyazaki et al., 1998).
Diluar jalur Karangsambung-Meratus, terdapat singkapan batuan Kapur lainnya di Jawa Tengah, yaitu di Bayat. Di daerah ini, batuan metamorfik derajat rendah tersingkap, seperti filit, sekis, dan marmer. Penanggalan K-Ar pada sekis mika menunjukkan umur 98 juta tahun silan (Prasetyadi, 2007). Keberadaan Bayat sebagai bagian penting dalam menyusun proses amalgamasi tektonik Jawa Timur – Sulawesi Selatan menjadi perdebatan cukup panjang. Meskipun Parkinson et al. (1998) melaporkan ketiadaan fasies sekis biru sebagai indikator proses metamorfisme bertekanan
tinggi yang berasosiasi dengan subduksi, namun penelitian termutakhir dari Setiawan et al. (2013) menunjukkan keberadaan fasies tersebut yang ditandai dengan kehadiran sekis
glaukopan-epidot, sekaligus dapat
menempatkan Bayat sebagai salah satu fosil subduksi Jawa.
Sejarah geologi Kenozoikum Pulau Jawa adalah sejarah busur gunungapi (van Bemmelen, 1949). Terdapat dua lajur gunungapi, yaitu
busur gunungapi Oligo-Miosen yang
membangun Pegunungan Selatan, dan busur gunungapi modern yang aktif semenjak Miosen Akhir dan menempati bagian tengah Pulau Jawa, dimana kedua busur tersebut terpisah jarak 50 km. Penelitian Smyth (2005) mengindikasikan Busur Pegunungan Selatan telah aktif semenjak Eosen Tengah. Secara fisiografis, busur gunungapi modern menempati bagian selatan Zona Kendeng yang merupakan suatu cekungan sedimenter yang dalam.
2.2. Kemagnetan Purba
Rekonstruksi tektonik untuk Sundaland selama ini berdasarkan pada asumsi-asumsi regional yang dibangun atas posisi paleogeografi Eurasia dan Australia (Hall, 2002,2012). Sundaland dianggap mengalami rotasi berlawanan arah jarum jam
(counter-clockwise) berdasarkan pada rotasi yang dialami
oleh Sumatera dan Kalimantan (Ngkoimani et al., 2006). Penelitian yang mendukung terhadap rekonstruksi tektonik adalah kajian kemagnetan purba (Tauxe, 1998), yang dapat memberikan informasi mendasar tentang posisi geografis suatu lempeng di waktu geologi tertentu. Adapun kemagnetan purba Pegunungan Selatan sejauh ini pernah diteliti dua kali, oleh Mahfi (1984) dan Ngkoimani et al. (2006). Menarik mencermati kedua hasil penelitian tersebut, yang berdasarkan pada rentang sampel berumur Eosen hingga Miosen, memiliki persamaan dan perbedaan.
Mahfi (1984) mengambil sampel dari berbagai jenis batuan, yaitu batuan beku, batuan piroklastika, dan batugamping kristalin (Table 1). Umur sampel ditentukan secara relatif,
dengan membandingkannya terhadap peta geologi yang telah tersedia saat itu. Dari tujuh lokasi sampel, hanya 4 saja yang memberikan hasil analisis paleomagnetisme yang memuaskan (Table 1), selebihnya tidak dapat dianalisis karena memiliki sifat kemagnetan yang lemah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa posisi Pegunungan Selatan pada Kala Eosen menempati lintang 20oS dan kemudian mengalami rotasi searah jarum jam (clockwise) sebelum menempati posisinya saat ini di Kala
Miosen. Rekonstruksi dari data
paleomagnetisme Mahfi (1984) menunjukkan kecepatan laju lempeng mikrokontinen PSJT sebesar 4 cm/thn yang relatif sesuai dengan kecepatan pergerakan lempeng regional Indo-Australia (5-6 cm/yr) sejak 50 juta tahun terakhir.
Seluruh sampel Ngkoimani et al. (2006) berupa batuan beku andesitik (Table 1). Sebagian besar sampel berasal dari Pegunungan Kulonprogo yang telah memiliki umur penanggalan K-Ar dari penelitian sebelumnya (Soeria-Atmadja et al., 1994). Satu sampel dari lokasi Kulonprogo menunjukkan umur K-Ar hingga 75 juta tahun lalu (Kapur Akhir). Sampel-sampel lainnya berasal dari Berbah, Parangtritis, dan Gunungkidul. Hasil analisis kemagnetan purba mereka menunjukkan PSJT pernah bergeser dari lintang 16-20°S di akhir Kapur hingga Eosen, menuju lintang 10-11°S pada Miosen. Temuan ini mendukung hasil perhitungan yang dilakukan oleh Mahfi (1984). Meski demikian, Ngkoimani et al. (2006) tidak menerangkan secara implisit tentang rotasi yang dialami oleh PSJT selama pergeseran kontinen mikro tersebut ke arah utara, dan dalam modelnya mereka tetap mengusulkan rotasi berlawanan arah jarum jam terhadap PSJT selama Paleogen, sebagaimana model Hall (2002).
2.3. Studi tomografi
Haberland et al. (2014) telah melakukan analisis tomografi terhadap 244 data gempabumi lokal yang dikumpulkan oleh jejaring Meramex (Merapi Amphibious
Experiments) di Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang mendukung keberadaan mikrokontinen PSJT dengan ditandai sebaran zona kecepatan seismik rendah. Lebih lanjut, Haberland juga mampu mengidentifikasi batas utara mikrokontinen PJST tersebut, yang berada di kawasan Bayat. Hasil riset Haberland tersebut mendukung dugaan Smyth et al. (2007) yang melakukan delineasi batas mikrokontinen PSJT berdasarkan sebaran zirkon di Jawa Timur, yang juga menempatkan batasnya di antara busur
gunungapi modern dan lereng utara
Pegunungan Selatan.
Sebelah utara mikrokontinen PJST ditandai dengan sebaran zona kecepatan seismik tinggi, mengindikasikan adanya kerak samudera yang terperangkap (obduksi) di bagian tengah Pulau Jawa yang menunjam ke arah selatan. Meskipun hampir seluruh peneliti mengasumsikan subduksi yang terjadi dalam akresi Sundaland adalah ke arah utara, hasil penelitian Haberland ini memberikan justifikasi menarik tentang model subduksi Jawa ke arah selatan, sebagaimana yang pernah diusulkan oleh Seubert & Sulistianingsih (2008).
2.4. Kontaminasi kerak
Smyth et al. (2007) juga mencoba menentukan batas barat mikrokontinen PSJT dengan melihat sebaran zirkon. Mereka menempatkan batas tersebut di daerah Kulon Progo, tepat dengan satu kelurusan struktur besar berarah NNE-SSW yang dikenal sebagai Patahan Progo-Muria (Smyth et al., 2005). Patahan Progo-Muria menandai perubahan drastis pola anomali gayaberat di ujung barat Cekungan Kendeng dan Cekungan Rembang. Patahan ini juga menghubungkan beberapa struktur di daratan maupun di lepas pantai, seperti tinggian Progo di cekungan depan busur, kelurusan tiga pusat gunungapi Oligo-Miosen di Pegunungan Kulon Progo, memotong deretan gunungapi melintang busur Merapi-Ungaran, dan berujung pada kehadiran Gunungapi Muria yang kaya potassium di belakang busur gunungapi modern (Smyth et al., 2007).
Jolis et al. (2012) menjumpai adanya perubahan kontaminasi unsur kerak terhadap magma yang dihasilkan oleh busur gunungapi modern Jawa, dimana terjadi peningkatan 87Sr/86Sr dan δ18O, serta pengurangan nilai 143Nd/144Nd dari Krakatau ke arah Merapi, yang mengindikasikan pengaruh kerak benua. Sebaliknya ke arah timur dari Merapi dan Patahan Progo-Muria, mereka menjumpai munculnya pengaruh kerak samudera dalam jejak isotop radiogenik magma. Hasil penelitian Jolis ini memberikan gambaran tentang jenis kerak yang berada di bawah busur gunungapi modern, yang juga menjadi batuan alas Cekungan Kendeng, sekaligus menegaskan peran penting patahan Progo-Muria sebagai batas mikrokontinen PSJT.
III. METODE
Idealnya, rekonstruksi lempeng tektonik membutuhkan data-data fasies batuan, sebaran fauna, umur batuan, dan kemagnetan purba (Hochard & Stampfli, 2008). Dalam membangun rekonstruksi, setiap lempeng tektonik digerakkan secara bertahap dalam sebuah unit tunggal yang rigid, dengan memperhatikan aspek kinematikanya. Analisis palinspatik difokuskan pada batas-batas lempeng, dimana akan terjadi penghilangan atau penambahan luasan lempeng, yang dapat menjelaskan pergeseran yang telah terjadi serta yang akan
menentukan kemungkinan-kemungkinan
mekanisme pergerakan lempeng di waktu geologi berikutnya.
Sebanyak 20 peta rekonstruksi tektonik wilayah Indonesia dibangun di dalam makalah ini dengan pendekatan palinspatik, berdasarkan pada rekonstruksi yang dibuat oleh Hall (2012). Perubahan dilakukan untuk memisahkan mikrokontinen Jawa Timur dari mikrokontinen Argo. Data-data paleomagnetisme Mahfi (1984) dan Ngkoimani et al. (2006) diperhitungkan untuk menentukan posisi lintang geografis purba (Tabel 1; Gambar 1). Rotasi mikrokontinen Jawa Timur mengacu hasil penelitian Mahfi (1984), yaitu bersifat searah jarum jam (clockwise).
IV. DISKUSI
Subduksi di tepi selatan Samudera Meso-Tetis pada Yura Akhir memicu peregangan kerak benua di tepian baratlaut Gondawana (Australia), menyebabkan munculnya berbagai fragmen kontinen mikro, seperti mikrokontinen Banda (Kalimantan baratdaya) dan Argo (Jawa Timur – Sulawesi Barat), termasuk salahsatunya adalah kontinen mikro Jawa Timur yang membawa Pegunungan Selatan (Gambar 2). Proses subduksi Meso-Tetis dan munculnya pemekaran samudera Keno-Tetis yang mengikuti peregangan membawa berbagai kontinen mikro tersebut bergerak (drifting) ke arah utara, menuju Sundaland. Salah satu produk subduksi di selatan Meso-Tetis adalah munculnya busur gunungapi Woyla, yang juga turut bergerak ke arah utara (Gambar 2).
Diperkirakan pada pertengahan Kapur Awal mikrokontinen Argo mengalami pemekaran yang menghasilkan dua sliver (potongan) kontinen (Gambar 3). Pada penghujung Kapur Awal salah satu sliver Argo tersebut mengalami kolisi dengan bagian timur mikrokontinen Jawa Timur. Peristiwa ini diduga menghasilkan metamorfisme Bantimala. Sliver Argo lainnya pun menyusul mengalami kolisi dengan bagian barat mikrokontinen Jawa Timur, menghasilkan metamorfisme Bayat (Gambar 4). Mengikuti kolisi Bayat tersebut terbentuk sumbu pemekaran samudera baru di sebelah barat
mikrokontinen Jawa Timur sebagai
perkembangan dari pemekaran India dan Australia, dengan arah pemekaran relatif tegaklurus terhadap tepian Sundaland. Pada umur Albian (akhir Kapur Awal) ini pula, mikrokontinen Banda, Argo, dan Mangkalihat mulai mengalami kolisi dengan mikrokontinen Luconia yang bergerak dari Eurasia timur (Gambar 4). Di sisi barat Sundaland, Busur Woyla juga mulai mengalami kolisi dengan Sumatera.
Pada awal Kapur Akhir sutur-sutur utama
Sundaland telah terbentuk sempurna akibat
rangkaian kolisi Albian tersebut di atas. Bagian timur Samudera Keno-Tetis berubah menjadi tepian pasif akibat arah pemekaran yang tegak lurus Sundaland. Di bagian barat Keno-Tetis
patahan transform 90-East mengambil peran dalam percepatan pergeseran India ke utara menuju Eurasia (Gambar 5). Memasuki awal Paleogen ketika Australia mulai menekan ke utara yang menyebabkan tepian pasif di selatan
Sundaland didominasi oleh tektonik patahan
transform (Gambar 6). Posisi mikrokontinen Jawa Timur masih berada di sekitar lintang 20o selatan, sebagaimana yang diindikasikan oleh pengukuran kemagnetan purba (Mahfi, 1984; Ngkoimani et al., 2006).
Pada pertengahan Eosen Australia mulai bergerak ke utara dan menyebabkan proses subduksi kembali terjadi di tepi selatan
Sundaland. Pergeseran mikrokontinen Jawa
Timur ke utara diakomodasi oleh dua patahan transform dan subduksi ganda (Gambar 7). Di sepanjang awal Oligosen Australia mendekati
Sundaland dengan cepat, dan di akhir Oligosen
Awal mikrokontinen Jawa Timur mulai mengalami kolisi terhadap Sundaland, dimulai dari ujung timurnya terhadap Sulawesi Barat (Gambar 8).
Di penghujung Oligosen hingga memasuki Miosen awal, ujung utara Australia (Sula Spur) mengalami kolisi terhadap busur Sulawesi Utara. Akibat dorongan Australia tersebut, rotasi berlawanan arah jarum jam (counter-clockwise)
Sundaland dimulai (Gambar 9). Di sisi lain,
mikrokontinen Jawa Timur mulai merapatkan jejak subduksinya terhadap Sundaland dalam pegerakan rotasi searah jarum jam (clockwise), membentuk Cekungan Kendeng di atas kerak samudera yang terperangkap. Patahan transform yang mengakomodasi pergeseran mikrokontinen Jawa Timur sebelah barat menjadi cikal-bakal dari Patahan Progo-Muria. Posisi mikrokontinen Jawa Timur telah berada di sekitar posisinya saat ini (lintang 8o selatan), sebagaimana yang diindikasikan oleh pengukuran kemagnetan purba (Mahfi, 1984; Ngkoimani et al., 2006). Pembalikan polaritas subduksi Jawa Timur diduga terjadi saat ini, dimana subduksi ke utara berkembang di selatan mikrokontinen Jawa Timur untuk mengakomodasi pergeseran Samudera Hindia ke utara.
Di sepanjang Miosen tengah hingga awal Miosen akhir, rotasi Sundaland tetap berlangsung, seiring dengan pegerakan Australia ke utara. Di sisi tenggara Sundaland terjadi pemunduran subduksi (roll-back) di sepanjang palung Jawa Timur yang mampu menarik Sumba untuk bergeser ke arah tenggara (Gambar 10). Proses ini juga memicu munculnya busur gunungapi modern di sepanjang Jawa Timur hingga ke Sunda Kecil.
Semenjak Pliosen hingga Resen roll-back palung Jawa semakin menggeser Sumba ke arah tenggara dan menghasilkan peregangan di Laut Banda Selatan yang menerus ke arah barat hingga di utara Sumbawa (Gambar 11). Di ujung barat, tekanan subduksi mengakibatkan inversi Pulau Jawa, membentuk fisiografi sebagaimana yang tampak saat ini. Deformasi tektonik terbesar selama inversi Plio-Pleistocene dialami
oleh Cekungan Kendeng, kemungkinan
disebabkan oleh sifat asalmula batuan dasarnya yang berupa kerak samudera yang terperangkap.
V. KESIMPULAN
Rekonstruksi tektonik mikrokontinen Jawa Timur dalam makalah ini dilakukan secara palinspatik dengan memasukkan hasil kajian kemagnetan purba dari dua peneliti terdahulu, Mahfi (1984) dan Ngkoimani et al. (2006). Hasilnya menunjukkan bahwa pergeseran mikrokontinen Jawa Timur difasilitasi oleh patahan transform dan subduksi ganda selama Eosen – Miosen Awal, dari posisi awal yang berada di lintang 20 o Selatan. Posisi geometri mikrokontinen Jawa Timur yang relatif menyerong terhadap tepian Sundaland
menyebabkan rotasi searah jarum jam (clockwise) dialami oleh mikrokontinen ini ketika kolisi mulai terjadi semenjak Oligosen Akhir. Penutupan kerak samudera di utara mikrokontinen Jawa Timur pada Miosen Awal membentuk asalmula Cekungan Kendeng, yang semenjak itu mengalami sedimentasi yang cepat akibat pasokan sedimen yang tinggi dari busur gunungapi Pegunungan Selatan Jawa
Timur. Penutupan Cekungan Kendeng
disempurnakan saat inversi Plio-Pleistosen,
terperangkap dapat diketahui dari kontaminasi jejak isotop radiogenik magma Jollis et al. (2012) dan studi tomografi Haberland et al. (2014).
VI. SARAN
Implikasi dari model rekonstruksi ini adalah penelitian lanjutan yang harus melengkapi persyaratan rekonstruksi tektonik lempeng lainnya menurut (Hochard & Stampfli, 2008), yaitu distribusi fasies batuan dan konstrain umurnya. Pekerjaan ini harus dimulai dengan mengkaji kembali petrotektonik kelompok batuan metamorfik di Bayat, dimana fasies metamorfisme dan analisis struktur geologinya akan menjadi kunci utama.
Selanjutnya korelasi fasies sedimenter dan analisis struktur geologi antara Pegunungan Selatan Jawa Timur ke berbagai cekungan sekitarnya juga dilakukan kembali, terutama pada area kunci berikut: (a) Pegunungan Selatan terhadap Kulonprogo – Serayu Selatan, yang merupakan kunci dalam memahami sifat tektonik Patahan Progo-Muria, (b) Pegunungan
Selatan terhadap Kendeng, yang merupakan kunci dalam memahami dinamika kerak samudera yang menjadi batuan dasar Kendeng, dan (c) Kendeng terhadap Randublatung-Rembang, sebagai kunci untuk memahami hubungan kerak samudera Kendeng dan paparan benua Rembang.
Diluar Jawa Timur, kajian tektonik yang sama harus diberlakukan kepada Sumba dan Sulawesi Selatan, karena keduanya membangun mikrokontinen Jawa Timur bersama-sama dengan Pegunungan Selatan Jawa Timur sebelum kemudian menjadi terpisah semenjak inisiasi kolisi di Oligosen Awal hingga menempati posisinya seperti saat ini.
VII. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis sangat mengapresiasi atas diskusi dan masukan yang diberika oleh para kolega di Departemen Teknik Geologi FT UGM sehingga model rekonstruksi tektonik Jawa Timur ini dapat terwujud, yaitu Moch. Indra Novian, M.Eng., Dr. Didit Hadi Barianto, dan Nugroho Imam Setiawan, Ph,D.
DAFTAR PUSTAKA
Haberland, C., M. Bohm, and G. Asch (2014) Accretionary nature of the crust of Central and East Java (Indonesia) revealed by local earthquake travel-time tomography. Journal of Asian Earth Sciences, 96, pp. 287-295.
Hall, R. (2002) Cenozoic geological and plate tectonic evolution of SE Asia and the SW Pacific: computer-based reconstructions, model and animations, Journal of Asian Earth Science, 20, pp. 353-434.
Hall, R. (2012) Late Jurassic–Cenozoic reconstructions of the Indonesian region and the Indian Ocean,
Tectonophysics, 570–571, pp. 1-41.
Hamilton, W. (1979) Tectonics of the Indonesian Region, USGS Professional Paper, vol. 1078, 345 p. Hochard, C. and G. Stampfli (2008) Dynamic Plate boundaries: A method of reconstructing the past
(abstract). Proceedings of the 33rd International Geological Congress, Oslo, 1 p.
Jolis, E.M., V. Troll, F. Deegan, L. Blythe, C. Harris, C. Freda, D. Hilton, J. Chadwick, and M. Van Helden (2012) Tracing crustal contamination along the Java segment of the Sunda Arc, Indonesia.
Geophysical Research Abstracts, 14, EGU2012-9291, EGU General Assembly 2012.
Mahfi, A. (1984) A Paleomagnetic Study of Miocene and Eocene Rocks from Central Java, Indonesia. Unpublished M.A. Thesis, University of California, Santa Barbara
Metcalfe, I. (1996) Gondwanaland dispersion, Asian accretion and evolution of eastern Tethys, in: Z.X. Li, I. Metcalfe, C.M. Powell (eds.), Breakup of Rodinia and Gondwanaland and Assembly of Asia, 43, pp. 605-624.
Miyazaki, K., J. Sopaheluwakan, I. Zulkarnain, K. Wakita (1998) A jadeite–quartz–glaucophane rock from Karangsambung, central Java, Indonesia, Island Arc, 7, pp. 223-230.
Nishimura, S., K.H. Thio, and F. Hehuwat (1980) Fission-Track Ages of Tephras and Tuffs from Bayat and Karansambung, Central Jawa. Physical Geology of Indonesian Island Arcs, Kyoto University, Kyoto, pp. 81-87.
Parkinson, C.D., K. Miyazaki, K. Wakita, A.J. Barber, D.A. Carswell (1998) An overview and tectonic synthesis of the pre-Tertiary very-high-pressure metamorphic and associated rocks of Java, Sulawesi and Kalimantan, Indonesia, Island Arc, 7, pp. 184-200.
Prasetyadi, C. (2007) Evolusi Tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur, Tesis S3, Institut Teknologi Bandung, Indonesia.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Satyana, A.H. (2014) New Consideration on The Cretaceous Subduction Zone of Ciletuh-Luk Ulo-Bayat-Meratus: Implications for Southeast Sundaland Petroleum Geology. Proceedings of 38th
Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, IPA14-G-129, 41 p.
Setiawan, N.I., Osanai, Y., Prasetyadi, C. (2013) A preliminary view and importance of metamorphic geology from Jiwo Hills in Central Java, Proceedings Seminar Nasional Kebumian ke-6, Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, pp. 11-23.
Seubert, B.W., and F. Sulistianingsih (2008) A Proposed New Model for the Tectonic Evolution of South Java. Proceedings of 32nd Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, IPA08-G-034, 22 p.
Smyth, H. (2005) Eocene to Miocene Basin History and Volcanic Activity in East Java, Indonesia. PhD-Thesis University of London, 2005, 476 pp.
Soeria-Atmadja, R., Maury, R. C., Bellon, H., Pringgoprawiro, H., Polve, M. (1994), Tertiary Magmatic Belt in Java, Journal of Southeast Asian Earth Sciences, 12, pp. 13-27.
Surono, B. Toha, dan I. Sudarno (1992) Peta Geologi Lembar Surakarta - Giritontro, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Tauxe, L. (1998) Paleomagnetic Principles and Practice. Kluwer Academic Publishers, Boston, 299 p. Wakita, K. and B.W. Munasri (1994) Cretaceous radiolarians from the Luk-Ulo Melange Complex in
the Karangsambung area, Central Java, Indonesia. Journal of Southeast Asian Earth Science, 9, pp. 29-43.
Wakita, K. (2000) Cretaceous accretionary - collision complexes in central Indonesia. Journal of Asian
Earth Science, 18, pp. 739-749.
van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia. Government Printing Office, Nijhoff, The Hague, 730 p.
TABEL
Tabel 1. Lokasi sampel paleomagnetisme Pegunungan Selatan (Mahfi, 1984; Ngkoimani et al., 2006). Umur relatif mengacu pada peta geologi regional P3G (Surono et al., 1992; Rahardjo et al., 1995). Umur mutlak di lokasi ITR mengacu pada penganggalan fission track Nishimura et al. (1980). Umur mutlak di lokasi GSR, GIJ, KLB, KSG, dan PRA mengacu pada penanggalan K-Ar Soeria-Atmadja et al. (1994).
Mahfi, 1984
Lokasi Lintang Bujur Litologi Umur relatif Umur
mutlak (jtl)
Paleo-lintang Kisaran Kulonprogo
IGM -7.7361 110.1941 Andesit Oligo-Miosen -8 ± 2
Yogyakarta
IGA -7.8046 110.3202 Batugamping Eosen - - -
IWA -7.8084 110.4595 Basalt Oligo-Miosen -11.6 ± 4.3
Bayat
ITR -7.8102 110.6433 F. Kebobutak Oligo-Miosen 17 – 12 Mya - -
IGT -7.7667 110.6785 F. Oyo Miosen Tengah - - -
IWP -7.7669 110.6712 Batugamping Eosen - -22.9 ± 9.2
IPD -7.7748 110.6691 Diorit Plio-Pleistosen - -22.1 ± 3.3
Ngkoimani et el., 2016 Kulonprogo
GSR -7.8625 110.0759 F. Andesit Tua Oligo-Miosen 25.35 ± 0.65 -13.4 (-9.4) – (-17.7) GIJ -7.8055 110.0825 Andesit Miosen Awal 25.98 ± 0.55 -12.0 (-9.2) – (-14.9) KLB -7.8236 110.0878 Andesit Miosen Awal 29.63 ± 2.26 -21.4 (-15.7) – (-28.1) GPW -7.7825 110.0988 Andesit Miosen Awal 75.87 ± 4.06 -19.8 (-17.6) – (-22.0) SKP -7.7807 110.1001 Andesit Miosen Awal 47.42 ± 3.19 -15.8 (-13.9) – (-17.7) PWH -7.6899 110.1863 F. Andesit Tua Oligo-Miosen 11.35 ± 4.96 -10.4 (-8.2) – (-12.7) KSG -7.7384 110.1973 F. Andesit Tua Oligo-Miosen 28.31 ± 3.46 12.2 (24.2) – (18.4) Yogyakarta
WTA -7.8084 110.4595 F. Semilir Oligo-Miosen 56.3 ± 3.8 - 11.1 (-9.4) – (-17.0) PRA -8.0172 110.3244 F. Nglanggran Miosen Awal 26.44 ± 0.83 -13.1 (-9.2) – (-14.9) Gunung Kidul
WDR -7.8717 110.582 F. Nglanggran Miosen Awal 6.69 ± 6.89 -9.2 (-7.2) – (-11.4)
GAMBAR
Gambar 1. Sebaran lokasi pengukuran paleomagnetisme di Pegunungan Selatan dan Kulonprogo (Mahfi, 1984; Ngkoimani et al., 2006).Gambar 2. Rekonstruksi 160 jtl (Oxfordian – awal Yura Akhir), dimana bagian barat Australia mengalami pemekaran menjadi berbagai kontinen mikro, termasuk PSJT; dan 140 jtl (Valanginian – awal Kapur Awal) ketika pemekaran samudera Keno-Tetis telah memisahkan berbagai kontinen mikro tersebut, dibantu dengan tarikan penunjaman ke arah utara.
Gambar 3. Rekonstruksi 130 jtl (Berremian – tengah Kapur Awal) ketika kontinen mikro Argo mengalami pemekaran yang menghasilkan dua sliver kontinen; dan 120 jtl (Aptian – akhir Kapur Awal) dimana salah satu sliver Argo mengalami kolisi dengan timur kontinen mikro Jawa Timur, yang diduga menghasilkan metamorfisme Bantimala.
Gambar 4. Rekonstruksi 110 – 100 jtl (Albian – akhir Kapur Awal) dimana sliver Argo lainnya mengalami kolisi dengan bagian barat mikrokontinen Jawa Timur, menghasilkan metamorfisme Bayat. Mengikuti kolisi Bayat tersebut terjadi sumbu pemekaran samudera baru di sebelah barat mikrokontinen Jawa Timur sebagai perkembangan dari pemekaran India dan Australia. Di ujung Sundaland, mikrokontinen Banda, Argo, dan Mangkalihat mulai mengalami kolisi dengan mikrokontinen Luconia yang bergerak dari Eurasia timur. Di sisi barat, Busur Woyla juga mulai mengalami kolisi dengan Sumatera.
Gambar 5. Rekonstruksi 91 – 89 jtl (Turonian – awal Kapur Akhir) dimana sutur-sutur utama Sundaland telah terbentuk akibat rangkaian kolisi Albian, dan bagian timur Samudera Keno-Tetis berubah menjadi tepian pasif akibat arah pemekaran yang tegak lurus Sundaland. Di bagian barat Keno-Tetis patahan transform 90-East mengambil peran dalam percepatan pergeseran India ke utara menuju Eurasia.
Gambar 6. Rekonstruksi 65 – 50 jtl (awal Paleogen) ketika Australia mulai akan bergerak ke utara. Tepian pasif di selatan Sundaland didominasi oleh tektonik patahan transform.
Gambar 7. Rekonstruksi 45 – 40 jtl (Eosen tengah) saat Australia mulai bergerak ke utara dan menyebabkan proses subduksi kembali terjadi di tepi selatan Sundaland. Pergeseran mikrokontinen Jawa Timur ke utara diakomodasi oleh dua patahan taransform dan subduksi ganda.
Gambar 8. Rekonstruksi 35 – 30 jtl (Oligosen awal) ketika Australia mendekati Sundaland dengan cepat. Mikrokontinen Jawa Timur mulai mengalami kolisi terhadap Sundaland, dimulai dari ujung timurnya terhadap Sulawesi Barat.
Gambar 9. Rekonstruksi 25 – 20 jtl (Oligosen akhir – Miosen awal) saat ujung utara Australia (Sula Spur) mengalami kolisi terhadap busur Sulawesi Utara. Akibat dorongan Australia tersebut, rotasi berlawanan arah jarum jam (counter-clockwise) Sundaland dimulai. Mikrokontinen Jawa Timur mulai merapatkan jejak subduksinya terhadap Sundaland, membentuk Cekungan Kendeng di atas kerak samudera yang terperangkap. Subduksi di Jawa Timur beralih polaritasnya untuk mengakomodasi pergerakan Samudera Hindia ke utara.
Gambar 10. Rekonstruksi 15 – 10 jtl (Miosen tengah – awal Miosen akhir) ketika pemunduran subduksi (roll-back) mendominasi palung Jawa yang mampu menarik Sumba untuk bergeser ke arah tenggara. Proses ini juga memicu munculnya busur gunungapi modern di sepanjang Jawa Timur hingga ke Sunda Kecil.
Gambar 11. Rekonstruksi 5 – 0 jtl (Pliosen – Resen) ketika pemunduran subduksi (roll-back) palung Jawa semakin menggeser Sumba ke arah tenggara dan menghasilkan peregangan di Laut Banda Selatan yang menerus ke arah barat hingga di utara Sumbawa. Di ujung barat, tekanan subduksi mengakibatkan inversi Pulau Jawa, dengan inversi terbesar dialami oleh Cekungan Kendeng.