1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini pemerintah mencanangkan pendekatan kluster sebagai alternatif kebijakan dalam mengembangkan Industri Kecil dan Menengah (IKM). Pendekatan kluster dinilai lebih efektif mengingat jumlah IKM yang sangat banyak dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Strategi IKM melalui kluster (clustering) sudah terbukti di banyak negara mampu meningkatkan kemampuan inovasi dan daya saing global dari para pelaku usaha di dalam satu kluster tertentu (Tambunan, 2009). Menurut Kuncoro (2012) kluster industri (industrial cluster) didefinisikan sebagai kelompok produksi yang terkonsentrasi secara spasial dan biasanya hanya terspesialisasi pada satu atau dua industri utama. Lebih lanjut Kuncoro (2012) menambahkan bahwa terkonsentrasinya aktivitas ekonomi secara spasial apabila dipandang dari dimensi geografis merupakan suatu proses selektif bagi industrialisasi itu sendiri.
Argumentasi tersebut diperkuat oleh Hartanto (2004) yang menyebutkan bahwa clustering menunjuk pada fenomena bahwa keeping-keping industri tidak tersebar secara random akan tetapi sengaja diorganisasi dalam wilayah tertentu. Sedangkan Boadway (2004, dalam Marijan, 2005) menyebutkan bahwa aktivitas ekonomi yang bergerak dibidang serupa memiliki kecenderungan untuk mengkluster. Keberadaan industri yang mengelompok pada suatu kluster tertentu patut diduga akan mendapatkan keuntungan ekonomi (economies of localization). Lebih lanjut dijelaskan bahwa industri yang berkumpul di dalam sebuah kluster dalam ruang geografis tertentu akan menikmati keuntungan yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan industri yang berada di luar kluster dan berdiri sendiri. (Marshall, 1919 dalam Hartanto, 2004).
Sependapat dengan argumentasi di atas Tarigan (2010) juga memberikan pandangan yang sama dimana lokasi yang memiliki banyak penjual dengan barang sejenis, akan memiliki daya tarik lebih besar bagi konsumen daripada lokasi dengan sedikit penjual. Selain itu fungsi dari adanya kluster adalah
2 memberikan dampak publikasi yang luas bagi para pelaku didalamnya. Hal ini akan lebih menguntungkan sebab akan menghemat biaya pengeluaran untuk kegiatan promosi.
Sementara itu menurut Porter (2000, dalam Marijan, 2005) hubungan keterkaitan antara pembeli dan pemasok yang terspesialisasi tidak hanya sekedar karena memiliki lokasi yang sama, akan tetapi akibat adanya keterkaitan (lingkages) di antara para pelaku usaha. Keterkaitan tersebut memiliki arti yang sangat luas dimana perusahaan-perusahaan di dalam satu kluster yang sama tidak hanya bersaing (competition), tetapi juga melakukan kerjasama (cooperation). Kluster industri dianggap memiliki potensi yang besar di dalam pengembangan aktivitas ekonomi di suatu wilayah.
Perusahaan yang mengelompok di dalam satu kluster tertentu akan memiliki keuntungan-keuntungan baik itu penghematan secara eksternal (external economies) maupun penghematan internal (internal economies). Penghematan internal dapat terjadi berkaitan dengan adanya penghematan biaya yang dapat dilakukan oleh suatu unit perusahaan. Sedangkan penghematan eksternal dapat tercipta apabila di antara para pelaku usaha mampu melahirkan efisiensi secara kolektif (collective efficiency) dengan menciptakan keunggulan kompetitif yang disebabkan karena adanya aksi bersama (Marijan, 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa aksi bersama di antara para pelaku usaha tidak hanya bersifat pasif, tetapi juga harus bersifat dinamis. Kerjasama yang dianggap pasif apabila perusahaan-perusahaan tersebut hanya menikmati keuntungan yang disebabkan oleh lokasi yang sama. Sedangkan kerjasama yang bersifat dinamis terjadi manakala aksi yang dilakukan oleh para pelaku usaha berkaitan dengan upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi bersama.
Kaitannya dengan keberadaan IKM di Indonesia, peran dan fungsi dari IKM itu sendiri sangat vital terutama dalam mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional. Walaupun sumbangan IKM terhadap pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) tidak sebesar kontribusi sektor manufaktur, akan tetapi kelompok usaha tersebut mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja bila dibandingkan dengan industri skala besar (Tambunan, 2009 ;
3 Arsyad, 2010). Selain itu kapasitas IKM dalam menyediakan kesempatan kerja yang luas khususnya bagi masyarakat di perdesaan turut membawa dampak positif terutama bagi upaya pemberdayaan masyarakat kelas bawah. Keberadaan IKM sendiri berperan penting khususnya dari perspektif kesempatan kerja, peningkatkan pendapatan, pemerataan dalam distribusi pendapatan, pengurangan kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi (Hubeis, 2009 ; Tambunan, 2009).
Peranan IKM sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat ekonomi kelas bawah membuat sektor ekonomi tersebut banyak berkembang terutama di daerah perdesaan. Salah satu wilayah yang memiliki potensi IKM sebagai tumpuan ekonomi masyakarat lokal yaitu berada di Kabupaten Bantul. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tercatat bahwa Kabupaten Bantul memiliki potensi IKM yang jumlahnya paling signifikan bila dibandingkan dengan kabupaten/kota yang lainnya. Potensi yang terlihat dapat diukur dari jumlah unit usaha dan jumlah tenaga kerja yang dapat terserap oleh sektor IKM. Di Kabupaten Bantul sendiri tenaga kerja yang terserap dalam sektor IKM tahun 2012 mencapai 84.972 orang, dimana jumlah tenaga kerja tersebut merupakan yang terbesar di antara wilayah yang lain. Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang telah disajikan pada Tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1 Rekapitulasi Potensi IKM Di Provinsi DIY Tahun 2012
No Kabupaten/Kota Indikator
Jumlah Unit Usaha Tenaga Kerja (orang)
1 Kota Yogyakarta 4.183 22.661
2 Kab. Kulonprogo 21.018 58.169
3 Kab. Sleman 16.771 62.077
4 Kab. Gunungkidul 20.658 72.660
5 Kab. Bantul 18.885 84.972
Sumber : Disperindagkop Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (2013)
Jumlah IKM di Kabupaten Bantul sendiri mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahunnya baik itu dari jumlah unit usaha maupun jumlah tenaga kerja. Peningkatan jumlah IKM ditandai dengan munculnya unit usaha dengan merk dagang baru. Di Kabupaten Bantul pertumbuhan jumlah unit usaha IKM
4 selalu diikuti dengan peningkatan terhadap penyerapan tenaga kerja, sebagaimana dapat terlihat pada Tabel 1.2 berikut.
Tabel 1.2 Rekapitulasi Potensi IKM Di Kabupaten Bantul Tahun 2007-2012
No Tahun Unit Usaha (unit) Tenaga Kerja (orang) Nilai Investasi (Rp.000) Nilai Produksi (Rp.000) 1 2007 17.911 79.904 349.812.930 643.626.570 2 2008 17.937 80.468 358.501.270 721.321.400 3 2009 18.014 80.968 365.087.700 783.503.680. 4 2010 18.119 81.705 488.675.000 799.540.000 5 2011 18.555 83.799 474.313.180 799.512.000 6 2012 18.885 84.972 481.271.198 811.729.576
Sumber : Disperindagkop Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (2013)
Di Kabupaten Bantul sendiri terdapat beberapa kluster IKM untuk jenis industri tertentu seperti industri pangan; industri sandang dan kulit; industri kimia dan bahan bangunan; industri logam dan elektronika; serta industri kerajinan. Dua diantaranya yaitu kluster atau sentra industri batik yang berada di Wijirejo Kecamatan Pandak dan Wukirsari Kecamatan Imogiri. Kluster Wijirejo dan kluster Wukirsari merupakan sentra industri batik di Kabupaten Bantul yang dipilih sebagai lokasi penelitian. Pemilihan terhadap lokasi tersebut bukan tanpa alasan. Walaupun kedua kluster berada dalam satu wilayah administrasi yang sama serta memiliki spesifikasi produk sejenis yaitu batik, patut diduga bahwa masing-masing kluster tetap memiliki karakteristik tersendiri. Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang menyatakan bahwa setiap kluster dengan subsektor manufaktur yang sama akan tetap memiliki perbedaan secara substansial serta memiliki karakteritik produk tersendiri (Hartanto, 2004 ; Kuncoro, 2012).
Berdasarkan argumentasi tersebut penelitian ini nantinya akan mengarah kepada studi komparasi yang membandingkan karakteristik kluster antara Sentra Industri Batik Wijirejo dengan Sentra Industri Batik Wukirsari. Penelitian ini menarik untuk dilakukan karena menitikberatkan pada proses identifikasi
5 karakteristik kluster dari dua sentra industri dengan produk sejenis. Selain mengidentifikasi karakteristik kluster yang dilihat dari pola kluster dan formasi keterkaitan, penelitian ini juga melihat karakteristik kluster dari tinjauan yang lain yaitu pola penyerapan tenaga kerja dan karakteristik produk yang dihasilkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui secara lebih rinci dan pasti bagaimana proses kegiatan industri berjalan. Proses produksi yang diidentifikasi tersebut dilihat dari faktor input, proses, dan output. Walaupun di kedua kluster merupakan sentra penghasil batik, akan tetapi ciri dan karakteristik produknya tentu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Disamping itu pentingnya melihat pola penyerapan tenaga kerja pada kedua sentra bertujuan untuk melihat jaringan tenaga kerja yang terbentuk dan mengetahui hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha sebagai pemilik unit IKM.
1.2 Perumusan Masalah
Keberadaan berbagai jenis sentra industri kecil dan menengah tidak hanya berperan dalam kapasitasnya menciptakan kesempatan kerja yang luas, tetapi juga sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing wilayah. Pendekatan strategi IKM melalui kluster (clustering) sudah terbukti di banyak negara mampu meningkatkan kemampuan inovasi dan daya saing global dari para pelaku usaha di dalam satu kluster tertentu (Tambunan, 2009). Upaya mengembangkan IKM melalui pendekatan kluster merupakan salah satu kebijakan dari pemerintah. Dalam perkembangannya pengembangan IKM diarahkan ke dalam bentuk sentra-sentra industri yang banyak dilakukan oleh pemerintah di daerah. Pada prinsipnya sentra dan kluster dimaknai sebagai hal yang sama yaitu konsentrasi aktivitas ekonomi yang memiliki spesifikasi produk tertentu serta tidak dibatasi oleh batas-batas administrasi. Istilah sentra banyak digunakan di kalangan pemerintahan, sementara di buku-buku literatur banyak digunakan istilah kluster sebagai penggantinya.
Menurut Porter (2000, dalam Marijan, 2005) pemahaman mengenai kluster mencakup dua hal sekaligus yakni secara fungsional dan geografis. Kecenderungan IKM untuk mengelompok di suatu wilayah berkat adanya lokasi
6 geografis yang berdekatan. Sementara itu hubungan fungsional yang tercipta antar pelaku usaha dalam kluster yang sama dapat berbentuk kompetisi (competition) ataupun kerjasama (cooperation). Menurut Hartanto (2004) pada tahapan awal industri dengan produk yang sama dalam suatu kluster akan saling berkompetisi satu sama lain. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu tuntutan kompetisi tersebut justru akan mendorong pelaku usaha untuk berinovasi dan mengembangkan teknologi modern. Selain itu tingkat persaingan yang sangat ketat juga akan mendorong para pelaku usaha untuk menciptakan spesialisasi produk tertentu, termasuk juga dalam kapasitasnya untuk meningkatkan daya saing wilayah.
Menurut Prasetya (2011) hampir sebagian besar kluster IKM yang berada di Indonesia merupakan kluster industri skala kecil yang berbasis kerajinan (craft base) seperti industri kerajinan, mebel, produk kulit dan logam. Kluster industri seperti ini terdiri dari unit usaha inti dan usaha penunjang. Unit usaha di dalam kluster diharapkan akan mendapatkan banyak keuntungan bila dibandingkan dengan unit usaha yang berdiri sendiri di luar kluster. Selain itu keberadaan kluster dengan subsektor manufaktur yang sama akan tetap memiliki perbedaan secara substansial dan memiliki karakteristik produk tersendiri (Hartanto, 2004 ; Kuncoro, 2012).
Salah satu kluster yang menjadi sentra IKM di Kabupaten Bantul yaitu berada di Desa Wijirejo Kecamatan Pandak dan Desa Wukirsari Kecamatan Imogiri. Kedua wilayah tersebut berada dalam satu kabupaten yang sama dengan produk industri yang sejenis yaitu batik. Walaupun demikian, kedua kluster patut diduga memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya termasuk pula dalam kaitannya dengan pola penyerapan tenaga kerja dan produktivitas usaha.
Berdasarkan latar belakang penelitian yang sudah disampaikan sebelumnya, penelitian ini diarahkan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
1) Bagaimana formasi keterkaitan dan pola kluster yang terbentuk antara sentra industri batik Wijirejo dengan Wukirsari?
7 2) Bagaimana pola penyerapan tenaga kerja antara sentra industri batik
Wijerejo dengan Wukirsari?
3) Bagaimana kapasitas produksi dan jenis produk yang dihasilkan antara sentra industri batik Wijirejo dengan Wukirsari?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian ini yaitu :
1) Mengidentifikasi formasi keterkaitan dan pola kluster antara sentra industri batik Wijirejo dengan Wukirsari.
2) Mengidentifikasi pola penyerapan tenaga kerja antara sentra industri batik Wijirejo dengan Wukirsari.
3) Mengidentifikasi kapasitas produksi dan jenis produk yang dihasilkan antara sentra industri batik Wijirejo dengan Wukirsari.
1.4 Kegunaan Penelitian
1) Memberikan manfaat dan sumbangan secara akademis.
2) Memberikan gambaran mengenai formasi keterkaitan dan pola kluster yang terbentuk antara sentra industri batik Wijirejo dan Wukirsari.
3) Memberikan gambaran mengenai pola penyerapan tenaga kerja, kapasitas produksi, dan jenis produk yang dihasilkan pada sentra industri batik Wijirejo dan Wukirsari.
4) Mamberikan rekomendasi kepada pengambil kebijakan di Kabupaten Bantul terutama terkait dengan pengembangan kluster di kedua wilayah.
8 1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1 Pendekatan Geografi
Menurut Bintarto (1984), geografi adalah ilmu yang mempelajari hubungan kausal gejala-gejala yang ada di permukaan bumi, baik yang sifatnya fisik maupun menyangkut makhluk hidup lain beserta permasalahannya melalui pendekatan kelingkungan, keruangan, maupun kompleks wilayah untuk kepentingan program, proses, dan keberhasilan suatu pembangunan. Sedangkan menurut Yeates (1968, dalam Bintarto, 1979) geografi adalah suatu ilmu yang memperhatikan perkembangan rasional dan lokal dari berbagai sifat yang beranekaragam di permukaan bumi.
Secara umum analisa dalam studi geografi didasarkan pada tiga pendekatan utama yaitu pendekatan kelingkungan (ecological), pendekatan keruangan (spatial), dan pendekatan kompleks wilayah (regional complex). Secara lebih mendalam Bintarto (1979) menjelaskan ketiga pendekatan tersebut seperti uraian berikut :
a. Pendekatan Kelingkungan (Ecological Approach)
Pendekatan ini menekankan pada gejala ekologis hubungan antara organisme hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan terhadap lingkungan alamnya. Penekanan dalam pendekatan ini terletak pada aspek manusia yang menjadi fokus utama di dalam proses interaksi.
b. Pendekatan Keruangan (Spatial Approach)
Pendekatan ini mempelajari perbedaan antar lokasi mengenai sifat dan karakteristik yang ditimbulkan. Dalam analisa ini terdapat dua faktor yang harus diperhatikan yakni penyebaran penggunaan ruang yang telah ada serta penyediaan ruang yang akan digunakan untuk berbagai kegiatan. Penekanan di dalam pendekatan ini didasarkan pada analisis yang terkait dengan aspek ruang itu sendiri.
c. Pendekatan Kompleks Wilayah (Regional Complex Approach)
Pendekatan ini merupakan gabungan dari pendekatan kelingkungan dan pendekatan keruangan. Di dalam pendekatan ini menekankan pada aspek penyebaran suatu fenomena tertentu (analisa keruangan) dan hubungan
9 interaksi antara manusia dengan lingkungan fisiknya (analisa ekologi) serta keterkaitan di antara keduanya.
Berdasarkan ketiga pendekatan geografi tersebut, penelitian ini nantinya akan menggunakan salah satu pendekatan yaitu pendekatan keruangan (spatial). Pendekatan ini pada prinsipnya akan mengkaji mengenai pola, persebaran, interaksi, dan interdependensi pada masing-masing kluster. Adanya hubungan antara aktivitas manusia yang dilakukan dengan ruang-ruang di permukaan bumi akan membentuk pola dan keterkaitan ruang-ruang tertentu.
1.5.2 Kluster Industri (industrial cluster)
Menurut Porter (1990, dalam Kuncoro, 2012) kluster didefinisikan sebagai kumpulan industri yang saling terkait satu dengan lainnya berdasarkan hubungan di antara pembeli dan pemasok yang terspesialisasi. Hubungan tersebut tidak hanya sekedar karena memiliki lokasi yang sama, tetapi kluster industri terbentuk akibat adanya keterkaitan (lingkages) di antara para pelaku usaha. Senada dengan definisi di atas Schmitz & Nadvi (1999, dalam Hartanto, 2004) mendefinisikan kluster industri sebagai pengelompokan di sebuah wilayah tertentu dari berbagai perusahaan dalam sektor yang sama. Sedangkan Boadway (2004, dalam Marijan, 2005) menyebutkan bahwa aktivitas ekonomi yang bergerak dibidang serupa memiliki kecenderungan untuk mengkluster.
Menurut Porter (2000, dalam Marijan, 2005) pemahaman mengenai kluster dapat mencakup dua hal sekaligus yakni secara fungsional maupun geografis. Kluster tidak hanya dimaknai sebagai kumpulan perusahaan yang berada di suatu tempat tertentu, tetapi juga adanya keterkaitan di antara perusahaan-perusahaan tersebut. Keterkaitan tersebut memiliki arti yang sangat luas dimana perusahaan-perusahaan di dalam satu kluster yang sama tidak hanya bersaing (competition) satu sama lain, tetapi juga melakukan kerjasama (cooperation). Kluster industri dianggap memiliki potensi yang
10 besar di dalam pengembangan aktivitas ekonomi di suatu wilayah. Sementara itu menurut O’Sullivan (1996) keberadaan perusahaan-perusahaan yang mengelompok secara spasial seringkali dikaitkan dengan dua keuntungan ekonomi yaitu urbanisasi ekonomi (urbanization economies) dan lokalisasi ekonomi (localization economies).
Perusahaan yang mengelompok di dalam satu kluster tertentu akan memiliki keuntungan-keuntungan baik itu penghematan secara eksternal (external economies) maupun penghematan internal (internal economies). Penghematan internal dapat terjadi berkaitan dengan adanya penghematan biaya yang dapat dilakukan oleh suatu unit perusahaan. Sedangkan penghematan eksternal dapat tercipta apabila di antara para pelaku usaha mampu melahirkan efisiensi secara kolektif (collective efficiency) dengan menciptakan keunggulan kompetitif yang disebabkan karena adanya aksi bersama (Marijan, 2005). Aksi bersama di antara para pelaku usaha tidak hanya bersifat pasif, tetapi juga harus bersifat dinamis. Kerjasama yang dianggap pasif apabila perusahaan-perusahaan tersebut hanya menikmati keuntungan yang disebabkan oleh lokasi yang sama. Sedangkan kerjasama yang bersifat dinamis terjadi manakala aksi yang dilakukan oleh para pelaku usaha berkaitan dengan upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi bersama.
Menurut Hartanto (2004) manfaat lain yang diperoleh perusahaan dari adanya kluster adalah dampak publikasi. Konsentrasi perusahaan di suatu wilayah tertentu akan mampu menarik perhatian para calon pembeli. Lebih dari itu kluster akan mampu menarik pembeli dengan jumlah pesanan besar. Dengan konsentrasi perusahaan di wilayah tertentu, pembeli akan merasa yakin bahwa pesanan mereka akan mampu disediakan oleh perusahaan tersebut. Kemudian yang pada gilirannya akan semakin banyak calon pembeli yang datang. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan yang berlokasi berjauhan, perusahaan yang mengelompok di suatu lokasi bisa mendapatkan keuntungan ekonomi yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan perusahaan yang berdiri sendiri.
11 Pembahasan mengenai konsep kluster industri sering kali dikaitkan dengan konsep aglomerasi, walaupun pada prinsipnya kedua hal tersebut berbeda. Menurut Porter (1990, dalam Kuncoro, 2012) kluster industri hanya ditandai dengan adanya spesialisasi sektoral dan konsentrasi geografis, sedangkan aglomerasi merupakan fenomena yang jauh lebih kompleks bila dibandingkan dengan kluster industri. Sedangkan untuk membedakan antara kluster industri dengan aglomerasi dapat diukur dengan tiga variabel yaitu skala, spesialisasi, dan keanekaragaman (Schmitz, 1995 dalam Kuncoro, 2012). Sementara itu menurut Perroux (1970, dalam Arsyad, 2010) terjadinya proses aglomerasi (pemusatan) akan membawa dampak positif yaitu adanya keuntungan skala ekonomi (economies of scale) dan keuntungan dalam penghematan biaya. Adanya keuntungan skala ekonomi (economies of scale) akan mendorong terciptanya spesialisasi dan sebaliknya dimana spesialisasi akan menciptakan efisiensi dalam berproduksi (Tarigan, 2010).
1.5.3 Teori Keruangan dan Teori Lokasi
Secara umum landasan utama dalam pembahasan mengenai teori lokasi adalah ruang. Tanpa adanya ruang maka akan sangat sulit mendifinisikan lokasi secara komprehensif. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Sementara itu, menurut Tarigan (2010) dalam studi wilayah yang dimaksud dengan ruang adalah permukaan bumi, baik yang ada di atasnya maupun yang ada di bawahya sepanjang manusia masih bisa menjangkaunya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa studi mengenai ruang tidak selalu terpaku pada posisi ataupun lokasi pada titik koordinat tertentu, melainkan analisis atas dampak atau keterkaitan antara kegiatan di suatu lokasi dengan berbagai kegiatan lain pada lokasi lain.
12 Di sisi lain teori lokasi didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial, serta hubunganya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha atau kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2010). Sehingga dapat dikatakan bahwa teori lokasi dapat digunakan untuk melihat kedekatan suatu kegiatan dengan kegiatan yang lainnya dan kemudian menganalisis dampak yang terjadi dari kegiatan tersebut.
Sementara itu, pemilihan lokasi industri yang mengelompok pada suatu lokasi tertentu didasarkan atas pertimbangan biaya minimum. Menurut Weber (1909, dalam Tarigan, 2010) terdapat tiga faktor yang akan mempengaruhi lokasi industri yaitu biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan dampak aglomerasi atau deaglomerasi. Biaya transportasi dan upah tenaga kerja merupakan faktor umum yang secara fundamental mempengaruhi pemilihan lokasi industri, sedangkan dampak aglomerasi atau deaglomerasi merupakan kekuatan lokal yang berpengaruh menciptakan konsentrasi berbagai kegiatan dalam ruang.
Selain karena pertimbangan biaya minimum, konsentrasi lokasi industri juga erat kaitannya dengan manfaat aglomerasi. Beberapa manfaat terjadinya aglomerasi menurut Peroux (1970, dalam Arsyad, 2011) antara lain:
1. Keuntungan internal perusahaan yaitu adanya faktor-faktor produksi yang tidak dapat dibagi yang hanya dapat diperoleh dalam jumlah tertentu. 2. Keuntungan lokalisasi (localization economies) yaitu berhubungan dengan
sumber bahan baku atau fasilitas sumber.
3. Keuntungan Eksteren (keuntungan urbanisasi) yaitu tersedianya tenaga kerja tanpa membutuhkan latihan khusus untuk suatu pekerjaan tertentu. Disamping itu juga mendorong berdirinya perusahaan jasa pelayanaan masyarakat seperti listrik, air minum, perbankan dalam skala yang besar.
13 1.5.4 Konsep Industri Kecil dan Menengah (IKM)
Menurut perspektif dunia, industri kecil dan menengah memainkan suatu peran yang sangat vital di dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negara sedang berkembang (NSB) tetapi juga di negara-negara maju (NM). Baik itu di negara-negara maju maupun negara-negara sedang berkembang, IKM sangat penting tidak hanya karena kelompok usaha tersebut mampu menyerap tenaga kerja lebih besar bila dibandingkan dengan industri besar, tetapi juga kontribusinya sebagai upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan.
Menurut Berry (2001, dalam Tambunan, 2009) industri kecil dan menengah mampu menghadapi krisis ekonomi tahun 1997/1998 jauh lebih baik bila dibandingkan dengan industri besar. Senada dengan hal tersebut Rahardjo (1984) juga mengungkapkan bahwa tingkat fleksibilitas dan kemampuan adaptasi dari sektor IKM merupakan faktor kunci yang menjadikan sektor ekonomi tersebut tidak terlalu terpengaruh oleh resesi ekonomi dunia. Selain itu sektor IKM yang tidak terlalu bergantung pada kredit perbankan membuat kelompok usaha tersebut lebih mandiri dan mampu merespons goncangan ekonomi secara cepat. Menurut Tambunan (2009) sektor IKM di banyak negara sedang berkembang dapat bertahan pada saat krisis karena sektor ekonomi tersebut memiliki segmen pasar tersendiri, sehingga dapat terlindungi secara alami dari persaingan langsung dengan industri skala besar. Hal iniah yang membuat sektor IKM dapat menyesuaikan diri dengan proses produksi selama krisis. Walaupun demikian, tidak semua IKM mampu bertahan di dalam krisis ekonomi sebagian dari mereka ada pula yang harus menutup usahanya atau mengurangi kapasitas produksi karena terkena dampak negatif dari adanya krisis tersebut.
Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh IKM tidak lepas dari adanya karakteristik utama yang membedakan antara IKM dengan IB (Industri Besar) antara lain : (1) IKM memiliki jumlah unit usaha jauh melebihi IB dan mayoritas terkonsentrasi di daerah perdesaan; (2) bersifat padat karya; (3)
14 menggunakan teknologi yang tepat guna; (4) tingkat pendidikan, modal, dan keterampilan sumber daya manusia yang masih terbatas; (5) IKM lebih mampu bertahan pada saat krisis ekonomi global; (6) IKM dijadikan sebagai wadah untuk meningkatkan kemampuan berwirausaha; (7) IKM menjadi alat untuk melakukan investasi terutama di daerah perdesaan; dan (8) memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi (Tambunan, 2009).
Selain keunggulan yang dimiliki sektor IKM juga memiliki berbagai macam kelemahan antara lain : (1) sumber daya manusia yang lemah dalam kewirausahaan dan manajerial; (2) keterbatasan modal; (3) jaringan pemasaran yang masih terbatas; (4) penguasaan teknologi yang rendah; (5) tidak didukung oleh kebijakan dan regulasi yang memadai; (6) tidak terorganisasi dalam jaringan dan sistem kerja sama antar pelaku usaha; (7) belum memenuhi standar operasional; dan (8) belum berbadan hukum secara resmi (Hubeis, 2009). Ditambahkan pula oleh Kuncoro (2004) bahwa lemahnya kemampuan manajerial dan sumber daya manusia mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Di negara sedang berkembang baik itu di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, IKM juga berperan penting khususnya dari perspektif kesempatan kerja, sumber pendapatan bagi kelompok miskin, distribusi pendapatan, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan ekonomi perdesaan. Namun dilihat dari sumbangannya terhadap pembentukan PDB dan ekspor non migas, peran IKM di negara sedang berkembang masih relatif rendah. Hal inilah sebenarnya yang menjadi perbedaan signifikan antara IKM di negara sedang berkembang dengan IKM di negara maju (Tambunan, 2009).
Definisi dan konsep mengenai IKM dimaknai berbeda oleh setiap negara baik itu menurut indikator tenaga kerja, nilai aset, maupun omset. Di antara para pelaku usaha di setiap negara tidak ada kesepakatan umum dalam membedakan antara kegiatan industri skala mikro, kecil, menengah, dan besar sehingga penilaian terhadap peranan IKM di masing-masing negara akan berbeda satu dengan yang lainnya (Tambunan, 2009). Walaupun demikian, salah satu karakteristik khusus dari IKM terutama di negara sedang
15 berkembang yaitu penggunaan tenaga kerja yang berasal dari lingkungan keluarga sendiri (self employment).
Seiring dengan berjalannya waktu pengembangan sektor IKM bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda, dimana satu sisi dari sektor IKM memberikan peluang besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Namun di sisi lain permasalahan yang kerap dihadapi oleh sektor IKM membuat sektor ekonomi tersebut perlu memperkuat diri terutama dalam menghadapi percaturan bisnis secara global.
1.5.5 Kriteria Industri Kecil dan Menengah (IKM)
Di Indonesia sendiri penentuan terhadap kriteria dan karakteristik mengenai sektor IKM sudah dijabarkan ke dalam beberapa produk hukum, antara lain Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Kecil, Mikro, dan Menegah (UMKM) dan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Selain itu badan resmi pemerintahan seperti BPS (Badan Pusat Statistik), BI (Bank Idonesia), dan Disperindagkop (Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM) juga telah memiliki standar tersendiri dalam menilai kriteria sektor IKM. Sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 1.3 berikut.
Tabel 1.3 Kriteria IKM Menurut Berbagai Sumber
Sumber Skala Industri Kriteria
UU No.20 tahun 2008
Usaha Mikro
Aset maksimal 50 juta diluar tanah dan bangunan Omset maksimal 300 juta Usaha Kecil
Aset 50 juta – 500 juta diluar tanah dan bangunan Omset > 300 juta – 2,5 M Usaha Menengah
Aset 500 juta – 10 M diluar tanah dan bangunan Omset > 2,5 M – 50 M
UU No.9 tahun 1995 Usaha Kecil
Aset maksimal 200 juta diluar tanah dan bangunan Omset maksimal 1 M
16
Sumber Skala Industri Kriteria
Badan Pusat Statistik (BPS)
Industri Rumah Tangga Pekerja 1 – 4 orang Industri Kecil Pekerja 5 – 19 orang Industri Menengah Pekerja 20 – 99 orang Industri Besar Pekerja > 100 orang
Bank Indonesia (BI)
Usaha Mikro
Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin
Dimiliki oleh keluarga sumber daya lokal dan teknologi sederhana Lapangan usaha yang
mudah untuk exit dan entry
Usaha Kecil dan Menengah
Modal < 20 juta
Aset maksimal < 600 juta diluar tanah dan bangunan Omset tahunan < 1 M Dinas Perindustrian,
Perdagangan, Koperasi, dan UKM (Disperindagkop)
Industri Kecil Aset maksimal 200 juta Omset tahunan < 1 M Industri Menengah
Omset pertahun lebih besar dari 1 M tetapi kurang dari 50 M
Sumber : Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008; Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995; Badan Pusat Statistik; Bank Indonesia; Disperindagkop; Hubeis (2009).
Selain itu menurut Kuncoro (2004) terdapat beberapa karakteristik utama dari industri kecil antara lain : (1) tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara tenaga kerja administrasi dan operasional, sehingga banyak pengusaha yang juga merangkap sebagai pekerja industri; (2) menggunakan tenaga kerja dari anggota keluarga sendiri (self employment); (3) rendahnya akses terhadap pinjaman modal dari lembaga kredit formal; (4) sebagian besar belum berbadan hukum secara resmi; dan (5) hampir sepertiga bagian bergerak pada kelompok usaha industri yang masih tradisional.
1.5.6 Pengertian Tenaga Kerja
Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang dimaksud dengan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
17 Qt = f (Lt, Kt)
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Definisi tersebut menjelaskan tentang kapasitas tenaga kerja di dalam setiap proses produksi, dimana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya akan saling terkait. Hal tersebut berarti bahwa terdapat hubungan timbal balik antara pekerja (supply) dengan pemilik usaha (demand) dimana keduanya menjadi saling bergantung satu dengan yang lainnya.
Sementara itu, menurut Sastrohardiwiryo (2005) dengan posisinya sebagai faktor produksi, tenaga kerja merupakan salah satu unsur dari perusahaan yang memiliki peran penting dalam operasional perusahaan. Dengan demikian, aspek tenaga kerja menjadi salah satu unsur vital yang tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi. Menurut Mankiw (2003) hubungan di antara faktor produksi dengan tenaga kerja dapat diasumsikan dengan persamaan berikut :
Dimana : Qt = Jumlah produksi
Lt = Jumlah tenaga kerja
Kt = Kapital (Modal)
Sedangkan menurut Simanjuntak (2005) selain penduduk yang sudah bekerja serta penduduk yang sedang bekerja, maka penduduk yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah atau mengurus rumah tangga termasuk pula di dalam kelompok tenaga kerja. Berdasarkan beberapa pengertian tenaga kerja di atas dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja adalah total penduduk dalam usia kerja yang mampu melakukan pekerjaan tertentu baik itu penduduk yang sudah bekerja, sedang mencari pekerjaan, maupun penduduk yang secara fisik memiliki kemampuan untuk bekerja tetapi tidak melakukannya seperti anak sekolah atau ibu rumah tangga. Dengan kata lain tenaga kerja menjadi faktor utama di dalam proses produksi yang sangat penting bagi kelangsungan kegiatan ekonomi tertentu.
18 1.5.7 Pentingnya IKM Dalam Penyerapan Tenaga Kerja
Sebagai salah satu sektor ekonomi yang memiliki banyak keunggulan, IKM memiliki peranan besar terutama dalam kapasitasnya untuk menciptakan kesempatan kerja yang luas. Selain itu jenis IKM yang beranekaragam dan tersebar di sebagian besar wilayah membuat sektor ekonomi tersebut berfungsi sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara pemerataan distribusi pendapatan. Pertumbuhan jumlah unit IKM yang diikuti dengan penambahan pada jumlah tenaga kerja mengindikasikan adanya permintaan jumlah tenaga kerja yang bertambah.
Peranan sektor IKM dalam penyerapan tenaga kerja menjadi lebih penting terutama bagi daerah perdesaan. Dimana sebagian besar penduduk perdesaan masih menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, akan tetapi seiring dengan perkembangan jaman lahan pertanian mulai terdegradasi akibat alih fungsi lahan yang semakin masif. Selain itu struktur dan pola tani yang semakin berkembang tidak diikuti dengan imbalan yang layak bagi pekerjanya, maka dari itu banyak tenaga kerja yang beralih ke alternatif lain. Guna menampung limpahan tenaga kerja dari sektor pertanian tersebut perlu adanya upaya untuk menciptakan diversifikasi pekerjaan di daerah perdesaan, salah satunya yaitu melalui kegiatan di sektor IKM.
Menurut Cahyono (1983) tenaga kerja di daerah perdesaan pada umumnya tidak memiliki keterampilan teknis dan majerial yang tinggi. Kondisi tersebut sangat sesuai untuk jenis-jenis industri yang membutuhkan hubungan kerja secara informal dan fleksibel. Para pekerja tersebut tidak akan dituntut untuk melakukan jenis-jenis pekerjaan yang spesifik, akan tetapi melakukan jenis pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Ditambahkan pula oleh Cahyono (1983) banyaknya angkatan kerja yang dapat diserap oleh sektor informal merupakan refleksi dari ketidakmampuan sektor formal dalam membuka kesempatan kerja yang lebih luas terhadap sebagian besar penduduk usia kerja. Walaupun selama ini diakui bahwa sektor formal mampu memberikan kontribusi besar di dalam pembentukan PDB (Produk Domestik
19 Bruto), namun di sisi lain sektor ekonomi tersebut tidak mampu untuk menyerap banyak tenaga kerja.
1.5.8 Batik
Menurut Hamzuri (1994) batik ialah lukisan atau gambaran pada mori yang dibuat dengan menggunakan alat bernama canting. Sedangkan Djumena (1990) mendefinisikan seni batik sebagai salah satu kesenian khas Indonesia yang telah lama hidup dan berkembang, sehingga sudah menjadi bagian dari peninggalan sejarah budaya yang sangat bernilai. Sedangkan terdapat banyak hal yang dapat terungkap dari seni batik itu sendiri seperti latar belakang kebudayaan, kepercayaan, adat-istiadat, sifat dan tata cara kehidupan, alam lingkungan, cita rasa, serta tingkat keterampilan. Seni kebudayaan sendiri akan berkembang sepanjang sejarah dengan mendapatkan pengaruh (influence) dari luar yang kemudian dipilah agar sesuai dengan kebudayaan asli masyarakat setempat.
Ditambahkan pula oleh Djumena (1990) bahwa proses membatik pada dasarnya sama dengan melukis pada sehelai kain putih, akan tetapi yang membedakan adalah penggunaan canting sebagai alat lukis dan malam sebagai bahan pewarnaannya. Sependapat dengan hal tersebut Prawirohardjo (2011) juga mendefinisikan bahwa membatik adalah melukis diatas sehelai mori dengan sebuah alat khusus yang disebut canting yang telah diisi dengan cairan lilin panas. Malam sendiri adalah campuran dari parafilin, lilin lebah, gondorukem, mata kucing, dan lemak hewan dengan perbandingan yang dapat berbeda-beda pada setiap daerah. Perbedaan tersebut tidak hanya terkait dengan penggunaan alat dan bahan untuk membatik, tetapi juga perbedaan dalam warna, motif, dan corak yang dihasilkan dari masing-masing daerah. Warna, motif, dan corak batik tersebut akan menggambarkan mengenai sifat, karakteristik, letak geografis, selera, dan keterampilan membatik dari masing-masing daerah asal.
Namun seiring berjalannya waktu mulai terjadi pergeseran dari batik tradisional menjadi batik modern. Proses membatik dengan cara tradisional
20 dianggap memakan waktu yang lama serta biaya yang besar, maka dari itu dalam perkembangannya proses membatik mulai beralih menggunakan alat-alat modern. Alat-alat-alat tersebut berfungsi untuk mempercepat proses pengerjaan seperti penggunaan cap sebagai alat bantu. Hal tersebut berdampak pada munculnya beberapa jenis batik baru antara lain batik sablon, batik cap, batik printing, atau batik kombinasi yang memiliki harga jual lebih rendah bila dibandingkan dengan batik tulis. Batik sendiri telah ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi Uni Emirat Arab oleh badan resmi milik PBB bernama UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization).
21 1.6 Rincian Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian dapat dirumuskan beberapa rincian pertanyaan penelitian yaitu sebagai berikut :
1) Bagaimana formasi keterkaitan dan pola kluster yang terbentuk antara sentra industri batik di Wijirejo dengan Wukirsari?
a. Adakah showroom yang digunakan secara bersama-sama? b. Adakah asosiasi/paguyuban dagang?
c. Bagaimana fungsi dari paguyuban dagang (berjalan atau tidak)? d. Adakah kerjasama di antara pengusaha dalam satu kluster? e. Bagaimana intensitas kerjasama yang tercipta (intensif/tidak)? f. Apa perbedaan mendasar karakteristik kluster dari masing-masing
sentra industri?
2) Bagaimana pola penyerapan tenaga kerja antara sentra industri batik di Wijirejo dengan Wukirsari?
a. Bagaimana status tenaga kerja yang dimiliki?
b. Bagaimana status ketenagakerjaan (tetap/kontrak/borongan)? c. Berapa usia rata-rata pekerja?
d. Bagaimana sistem upah tenaga kerja?
e. Apa dasar pertimbangan dalam memilih tenaga kerja? f. Dari mana daerah asal pekerja?
3) Bagaimana kapasitas produksi dan jenis produk yang dihasilkan antara sentra industri batik di Wijirejo dengan Wukirsari?
a. Dari mana modal awal usaha?
b. Seberapa sering intensitas membeli bahan baku? c. Dari mana mendapatkan bahan baku?
d. Bagaimana proses produksinya? e. Apa produk yang dihasilkan?
f. Berapa kapasitas produksi per bulan?
g. Bagaimana strategi pemasaran yang digunakan? h. Dimana pengusaha memasarkan produknya?
22 1.7 Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian yang sama terkait dengan kluster industri kecil dan menengah pernah dilakukan sebelumnya baik itu dengan locus, focus, dan method yang berbeda. Sedangkan penelitian ini nantinya akan mengarah kepada riset yang bersifat komparasi yaitu membandingkan karakteristik kluster antara dua sentra industri yang berbeda tetapi memiliki jenis produk yang sama. Selain itu penelitian ini juga akan difokuskan kepada identifikasi formasi keterkaitan dan pola kluster yang terbentuk dari masing-masing sentra industri batik tersebut. Dimana dalam hal ini lokasi penelitian yang diambil berada di dua tempat yang berbeda, akan tetapi masih berada dalam satu wilayah administrasi yang sama. Berdasarkan hasil penelusuran sementara dapat diidentifikasi beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, sebagaimana telah disajikan pada Tabel 1.4 berikut.
23 Tabel 1.4 Matriks Penelitian Sebelumnya
No Penulis Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil
1. Irwan
Adimaschandra Supomo (2003)
Analisis Formasi
Keterkaitan Pola Kluster dan Orientasi Pasar : Studi Kasus Sentra Industri Keramik Di Kasongan, Kabupaten Bantul, D.I.Yogyakarta
1) Menidentifikasi pola kluster industri keramik Kasongan (mengacu pada teori pola kluster Markusen) 2) Mengidentifikasi formasi
keterkaitan pasar sentra industri keramik di Kasongan baik dari sisi supplier, antar unit usaha, maupun
konsumen.
3) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi pasar domestik atau luar negeri sektor industri keramik di Kasongan. - Metode studi lapangan (field research) - Metode analisis : deskriptif analitik dan analisis regresi logistik
- Pola kluster keramik Kasongan merupakan gabungan antara pola Marshallian dan Hub and Spoke
- Terjadi keterkaitan yang erat baik antara pemasok, produsen keramik, maupun pembeli - Terdapat empat faktor
signifikan yang menyebabkan probabilitas untuk berorientasi pasar ekspor semakin besar, yaitu keaktifan promosi, penerapan teknologi pembakaran, jumlah tenaga kerja yang direkrut, dan umur perusahaan
2. Anastasia Ratna F (2007)
Analisis Pola Kluster dan Formasi Keterkaitan Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga : Studi Kasus
1) Mengetahui pola kluster yang terbentuk pada sentra
kerajinan batik di Desa Jarum 2) Mengetahui formasi
keterkaitan pasar sentra
- Metode studi lapangan (field research)
- Pengambilan sampel : metode purposive
- Pola kluster pada sentra kerajinan batik tulis Jarum mengikuti sebagian pola kluster Marshallian dan pola kluster Hub and Spoke
24 Sentra Kerajinan Batik
Tulis Di Desa Jarum, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah
kerajinan batik di Desa Jarum, baik dari sisi pemasok, antar unit usaha, maupun konsumen 3) Mengetahui pengaruh gempa
terhadap volume produksi, volume penjualan, dan pendapatan pengusaha di sentra kerajinan batik di Desa Jarum
sampling
- Metode penelitian yang digunakan yaitu mix method (metode kualitatif dianalisis secara deskriptif-analitik, sedangkan metode kuantitatif dilakukan dengan uji statistik sederhana)
- Pada umumnya pengusaha batik di Desa Jarum menjalin kerjasama dengan pihak-pihak luar antara lain kerjasama dengan pemasok bahan baku dan konsumen.
- Dengan alat uji Wilcoxon Signed Ranks Test (Uji
Peringkat Berganda Wilcoxon) dapat disimpulkan bahwa gempa 27 Mei 2006
berpengaruh terhadap volume produksi, volume penjualan, dan pendapatan pengusaha 3. Agustina
Setyaningrum (2011)
Perilaku Keruangan Pengusaha dan Arahan Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Kerajinan Ukir Di Sentra Industri Seni Patung dan Pahat Desa Mulyoharjo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara
1) Mengetahui karakteristik pengusaha IKM kerajinan ukir 2) Menggambarkan perilaku
keruangan pengusaha IKM kerajinan ukir
3) Mengetahui strategi pengusaha dalam
mengembangkan usaha IKM kerajinan ukirnya
4) Memberikan arahan
- Metode kualitatif (data primer dan data sekunder) - Alat analisis menggunakan GIS dan SWOT - Teknik analisis menggunakan trianggulasi data antara data hasil
- Tipologi pengusaha dibedakan menjadi tiga yaitu pengusaha rintisan, menengah, dan berpengalaman
- Perilaku keruangan pengusaha digambarkan pada bagimana pengusaha mendatangkan bahan baku, memasarkan produk, asal pembeli, dan asal tenaga kerja
25 pengembangan IKM kerajinan
ukir di sentra industri seni patung dan pahat
observasi lapangan, data hasil
wawancara, dan data sekunder
- Strategi pengusaha meliputi : keuangan, penyediaan bahan baku, mempekerjakan pengrajin, produk yang dihasilkan, dan pemasaran - Arahan pengembangan dibagi
ke dalam tiga poin yaitu pengembangan untuk keberlanjutan usaha, entrepreneurship, dan kemitraan
26 1.8 Kerangka Pemikiran
1) Formasi keterkaitan dan pola kluster yang terbentuk pada masing-masing sentra industri 2) Pola penyerapan tenaga kerja pada masing-masing sentra industri
3) Kapasitas produksi dan jenis produk yang dihasilkan pada masing-masing sentra industri 1. Faktor Input - Modal - Bahan Baku - Alat Produksi 2. Faktor Output - Produksi Harian - Omset - Spesialisasi Produk Hubungan industrial
antara pekerja dengan pengusaha sebagai pemilik usaha IKM 1.Keterkaitan Geografis (lokasi yang berdekatan) 2.Keterkaitan Fungsional (hubungan kerjasama/kompetisi di antara para pelaku usaha)
Studi Komparasi
Kluster Industri Di Kabupaten Bantul
Sentra Industri Batik Wijirejo
Sentra Industri Batik Wukirsari
Sifat dan Karakteristik Kluster
Produktivitas Usaha Pola Penyerapan Tenaga Kerja Formasi Keterkaitan dan Pola Kluster