• Tidak ada hasil yang ditemukan

Edema Paru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Edema Paru"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT REFERAT STASE RADIOLOGI STASE RADIOLOGI RSUD PACITAN RSUD PACITAN I. DEFINISI I. DEFINISI

Edema merupakan akumulasi cairan di dalam tubuh. Kata edema atau Edema merupakan akumulasi cairan di dalam tubuh. Kata edema atau  pembengkakan

 pembengkakan tubuh tubuh lebih lebih tepat tepat jika jika disebut disebut sebagai sebagai limfadema, limfadema, hal hal iniini dikarenakan peningkatan cairan interstitial biasanya disebabkan oleh blockade dikarenakan peningkatan cairan interstitial biasanya disebabkan oleh blockade limfonodi (Walsh, 2008). Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh limfonodi (Walsh, 2008). Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini akumulasi cairan di paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit untuk memenuhi alveolus di dalam paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit untuk  bernafas.

 bernafas. Penyebab Penyebab tersering tersering edema edema paru paru disebabkan disebabkan oleh oleh permasalahan permasalahan jantung.jantung.  Namun,

 Namun, akumulasi akumulasi cairan cairan di di dalam dalam paru paru dapat dapat disebabkan disebabkan oleh oleh beberapa beberapa alasanalasan diantaranya adalah pneumonia, beberapa racun, maupun obat-obatan. Edema paru diantaranya adalah pneumonia, beberapa racun, maupun obat-obatan. Edema paru yang terjadi secara akut merupakan kondisi kegawatan medis yang harus segera yang terjadi secara akut merupakan kondisi kegawatan medis yang harus segera ditangani. Walaupun edema paru kadang merupakan kondisi yang fatal, namun ditangani. Walaupun edema paru kadang merupakan kondisi yang fatal, namun  penanganan

 penanganan yang yang tepat tepat untuk untuk edema edema paru paru dan dan kondisi kondisi yang yang mendasarinya mendasarinya dapatdapat memberikan tingkat perbaikan yang tinggi. Terapi untuk edema paru sangat memberikan tingkat perbaikan yang tinggi. Terapi untuk edema paru sangat  bervariasi,

 bervariasi, tergantung tergantung dari dari penyebab penyebab yang yang mendasarinya, mendasarinya, namun namun secara secara umumumum terapi ini termasuk suplementasi oksigen dan pengobatan medikametosa (Mayo terapi ini termasuk suplementasi oksigen dan pengobatan medikametosa (Mayo Clinic, 2012).

Clinic, 2012).

Gambar 1.

(2)

Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta  penderita edema paru di seluruh dunia. Di

 penderita edema paru di seluruh dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edemaInggris sekitar 2,1 juta penderita edema  paru

 paru yang yang perlu perlu pengobatan pengobatan dan dan pengawasan pengawasan secara secara komprehensif, komprehensif, di di AmerikaAmerika serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema paru, dan di Jerman serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema paru, dan di Jerman sekitar 6 juta penduduk menderita edema paru. Penyakit edema paru pertama kali sekitar 6 juta penduduk menderita edema paru. Penyakit edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke  berbagai

 berbagai daerah, daerah, hingga hingga sampai sampai tahun tahun 1980 1980 seluruh seluruh propinsi propinsi di di Indonesia. Indonesia. SejakSejak  pertama

 pertama kali kali ditemukan, jumlah ditemukan, jumlah kasus kasus menunjukkan hasil menunjukkan hasil dengan kecenderdengan kecenderunganungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden terbesar meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000  penduduk

 penduduk dan dan CFR CFR = = 2%. 2%. Pada Pada tahun tahun 1999 1999 IR IR menurun menurun tajam tajam sebesar sebesar 10,17%,10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).

21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003). II. ANATOMI

II. ANATOMI

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di  paru-paru.

 paru-paru. Edema Edema pada pada paru paru biasanya biasanya terjadi terjadi di di alveolus alveolus dan dan ruang ruang interstitialinterstitial diantara endotel kapiler darah dan dinding alveolus. Penyebab edema paru ini diantara endotel kapiler darah dan dinding alveolus. Penyebab edema paru ini diantaranya adalah ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik, obstruksi diantaranya adalah ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik, obstruksi sistem limfatik pulmonal, dan penyakit yang dapat merusak epitel kapiler ataupun sistem limfatik pulmonal, dan penyakit yang dapat merusak epitel kapiler ataupun alveolus.

alveolus. 2.1. Alveolus 2.1. Alveolus

Alveolus merupakan kantung yang dilapisi oleh epitel simpel squamosa Alveolus merupakan kantung yang dilapisi oleh epitel simpel squamosa dan didukung oleh membran basement yang elastic. Dinding alveolus terdiri daru dan didukung oleh membran basement yang elastic. Dinding alveolus terdiri daru dua tipe sel epitel alveolar. Sel alveolar tipe 1 jumlahnya lebih banyak dua tipe sel epitel alveolar. Sel alveolar tipe 1 jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan sel alveolar tipe 2. Sel alveolar tipe 1 merupakan epitel dibandingkan dengan sel alveolar tipe 2. Sel alveolar tipe 1 merupakan epitel simpel skuamosa yang berada sepanjang dinding alveolus. Sel alveolar tipe 2 atau simpel skuamosa yang berada sepanjang dinding alveolus. Sel alveolar tipe 2 atau  biasanya

 biasanya disebut disebut sebagai sebagai sel sel septal, septal, merupakan merupakan sel sel epitel epitel kuboid kuboid yang yang beradaberada diantara sel alveolar tipe 1. Sel alveolar tipe 1 berfungsi sebagai tempat utama diantara sel alveolar tipe 1. Sel alveolar tipe 1 berfungsi sebagai tempat utama  pertukaran gas.

 pertukaran gas. Sedangkan sel Sedangkan sel alveolar alveolar tipe 2 tipe 2 merupakan sel merupakan sel yang permukaannyayang permukaannya terdapat mikrofili yang mensekresi cairan alveolar dan berfungsi untuk menjaga terdapat mikrofili yang mensekresi cairan alveolar dan berfungsi untuk menjaga  permukaan

(3)

Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta  penderita edema paru di seluruh dunia. Di

 penderita edema paru di seluruh dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edemaInggris sekitar 2,1 juta penderita edema  paru

 paru yang yang perlu perlu pengobatan pengobatan dan dan pengawasan pengawasan secara secara komprehensif, komprehensif, di di AmerikaAmerika serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema paru, dan di Jerman serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema paru, dan di Jerman sekitar 6 juta penduduk menderita edema paru. Penyakit edema paru pertama kali sekitar 6 juta penduduk menderita edema paru. Penyakit edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke  berbagai

 berbagai daerah, daerah, hingga hingga sampai sampai tahun tahun 1980 1980 seluruh seluruh propinsi propinsi di di Indonesia. Indonesia. SejakSejak  pertama

 pertama kali kali ditemukan, jumlah ditemukan, jumlah kasus kasus menunjukkan hasil menunjukkan hasil dengan kecenderdengan kecenderunganungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden terbesar meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000  penduduk

 penduduk dan dan CFR CFR = = 2%. 2%. Pada Pada tahun tahun 1999 1999 IR IR menurun menurun tajam tajam sebesar sebesar 10,17%,10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).

21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003). II. ANATOMI

II. ANATOMI

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di  paru-paru.

 paru-paru. Edema Edema pada pada paru paru biasanya biasanya terjadi terjadi di di alveolus alveolus dan dan ruang ruang interstitialinterstitial diantara endotel kapiler darah dan dinding alveolus. Penyebab edema paru ini diantara endotel kapiler darah dan dinding alveolus. Penyebab edema paru ini diantaranya adalah ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik, obstruksi diantaranya adalah ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik, obstruksi sistem limfatik pulmonal, dan penyakit yang dapat merusak epitel kapiler ataupun sistem limfatik pulmonal, dan penyakit yang dapat merusak epitel kapiler ataupun alveolus.

alveolus. 2.1. Alveolus 2.1. Alveolus

Alveolus merupakan kantung yang dilapisi oleh epitel simpel squamosa Alveolus merupakan kantung yang dilapisi oleh epitel simpel squamosa dan didukung oleh membran basement yang elastic. Dinding alveolus terdiri daru dan didukung oleh membran basement yang elastic. Dinding alveolus terdiri daru dua tipe sel epitel alveolar. Sel alveolar tipe 1 jumlahnya lebih banyak dua tipe sel epitel alveolar. Sel alveolar tipe 1 jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan sel alveolar tipe 2. Sel alveolar tipe 1 merupakan epitel dibandingkan dengan sel alveolar tipe 2. Sel alveolar tipe 1 merupakan epitel simpel skuamosa yang berada sepanjang dinding alveolus. Sel alveolar tipe 2 atau simpel skuamosa yang berada sepanjang dinding alveolus. Sel alveolar tipe 2 atau  biasanya

 biasanya disebut disebut sebagai sebagai sel sel septal, septal, merupakan merupakan sel sel epitel epitel kuboid kuboid yang yang beradaberada diantara sel alveolar tipe 1. Sel alveolar tipe 1 berfungsi sebagai tempat utama diantara sel alveolar tipe 1. Sel alveolar tipe 1 berfungsi sebagai tempat utama  pertukaran gas.

 pertukaran gas. Sedangkan sel Sedangkan sel alveolar alveolar tipe 2 tipe 2 merupakan sel merupakan sel yang permukaannyayang permukaannya terdapat mikrofili yang mensekresi cairan alveolar dan berfungsi untuk menjaga terdapat mikrofili yang mensekresi cairan alveolar dan berfungsi untuk menjaga  permukaan

(4)

terdiri dari fosfolipid dan lipoprotein. Surfaktan berfungsi menurunkan tekanan terdiri dari fosfolipid dan lipoprotein. Surfaktan berfungsi menurunkan tekanan cairan alveolus, yang menurunkan tendensi alveolus untuk kolaps (Derrickson & cairan alveolus, yang menurunkan tendensi alveolus untuk kolaps (Derrickson & Tortora, 2008).

Tortora, 2008).

Gambar 2.

Gambar 2. Anatomi AlveolusAnatomi Alveolus

Pada dinding alveolus terdapat pula alveolar makrofag atau disebut juga Pada dinding alveolus terdapat pula alveolar makrofag atau disebut juga sebagai sel dust, fungsi dari alveolar makrofag ini adalah untuk memfagosit atau sebagai sel dust, fungsi dari alveolar makrofag ini adalah untuk memfagosit atau membuang partikel debu atau debris di ruang alveolar. Selain itu, terdapat juga membuang partikel debu atau debris di ruang alveolar. Selain itu, terdapat juga fibroblast yang memproduksi reticular dan serat elastic. Pada bagian luar fibroblast yang memproduksi reticular dan serat elastic. Pada bagian luar  permukaan

 permukaan alveolus, alveolus, arteriole arteriole dan dan venula venula lobules lobules menyatuu menyatuu menjadi menjadi pembuluhpembuluh darah kapiler yang terdiri dari satu lapis sel endotel dan membrane basement. darah kapiler yang terdiri dari satu lapis sel endotel dan membrane basement. Pertukaran O2 dan CO2 antara ruang udara di paru dan pembuluh darah melalui Pertukaran O2 dan CO2 antara ruang udara di paru dan pembuluh darah melalui  proses difusi

 proses difusi melalui melalui dinding alveolus dinding alveolus dan endotel, dan endotel, yang bersama yang bersama disebut sedisebut sebagaibagai membrane pernafasan atau

membrane pernafasan atau respiratory membrane.respiratory membrane. Jika dimulai dari rongga udara Jika dimulai dari rongga udara alveolus menuju ke plasma darah, membrane pernafasan terdiri dari empat alveolus menuju ke plasma darah, membrane pernafasan terdiri dari empat lapisan. Lapisan pertama adalah dinding alveolus yang terdiri dari sel alveolar lapisan. Lapisan pertama adalah dinding alveolus yang terdiri dari sel alveolar tipe1, 2, dan alveolar makrofag; lapisan kedua adalah epitel membrane basement tipe1, 2, dan alveolar makrofag; lapisan kedua adalah epitel membrane basement yang berada di luar dinding alveolus; lapisan ketiga adalah membrane basement yang berada di luar dinding alveolus; lapisan ketiga adalah membrane basement

(5)

kapiler; dan lapisan terakhir adalah endotel kapiler. Walaupun terdiri dari kapiler; dan lapisan terakhir adalah endotel kapiler. Walaupun terdiri dari  beberapa

 beberapa lapisan, lapisan, ketebalan ketebalan lapisan lapisan ini ini hanya hanya 0,5 0,5 µm µm sehingga sehingga difusi difusi gas gas dapatdapat terjadi. Perkiraan jumlah alveoli di dalam paru-paru adalah sekitar 300 juta alveoli terjadi. Perkiraan jumlah alveoli di dalam paru-paru adalah sekitar 300 juta alveoli (Derrickson & Tortora, 2008).

(Derrickson & Tortora, 2008). 2.2. Ruang Intersitial Paru 2.2. Ruang Intersitial Paru

Kapiler darah dipisahkan dengan gas alveolar oleh beberapa lapisan Kapiler darah dipisahkan dengan gas alveolar oleh beberapa lapisan anatomi, diantaranya adalah endotel kapiler, endotel membrane basement, ruang anatomi, diantaranya adalah endotel kapiler, endotel membrane basement, ruang interstitial, epitel membrane basement, dan epitel alveolus (tipe 1 pneumosit). interstitial, epitel membrane basement, dan epitel alveolus (tipe 1 pneumosit). Membrane basement epitel dan endotel dipisahkan oleh ruang yang mengandung Membrane basement epitel dan endotel dipisahkan oleh ruang yang mengandung  jaringan

 jaringan ikat ikat fibrosa, fibrosa, ikat ikat elastic, elastic, fibroblast, fibroblast, dan dan makrofag. makrofag. Tidak Tidak ada ada sistemsistem limfatik di ruang interstitial pada septum alveoli, kapiler limfatik pertama muncul limfatik di ruang interstitial pada septum alveoli, kapiler limfatik pertama muncul di ruang interstitial mengelilingi bronkiolus terminal, arteri, dan vena kecil di ruang interstitial mengelilingi bronkiolus terminal, arteri, dan vena kecil (Chruchill Livingstone, 2010).

(Chruchill Livingstone, 2010).

Gambar 3.

(6)

Diantara sel endotel dan epitel, terdapat lubang atau penghubung yang memungkinkan aliran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial, dan akhirnya dari ruang interstitial menuju ruang alveolar. Penghubung antara sel endotel biasanya lebih besar dan disebut loose, sedangkan penghubung antara sel epitel relative lebih kecil yang disebut tight. Untuk mengetahui bagaimana cairan interstitial paru diproduksi, disimpan, dan dibersihkan, maka kita harus mengetahui konsepnya. Konsep pertama adalah ruang interstitial paru merupakan terusan dari ruangan di antara jaringan ikat perianteriolar dan peribronchial yang  berlanjut menjadi ruang interstitial di antara membrane basement endotel dan epitel di alveolus; kedua, tekanan negatifnya progresif dari distal ke proksimal (Chruchill Livingstone, 2010).

Tidak ada sistem limfatik di ruang interstitial di septum alveolus. Kapiler limfatik mulai ada di ruang interstitial yang mengelilingi terminal bronkiolus dan arteri kecil. Cairan interstitial normalnya dibuang dari ruang interstitial alveolar ke saluran limfa oleh mekanisme gradient tekanan, yang disebabkan karena tekanan ruang interstitial yang lebih negative di daerah arteri besar dan brokus. Aliran cairan interstitial yang menuju hilum dibantu oleh perbedaan tekanan negative, katub limfatik, dan pulsasi arteri pulmonalis. Cairan tersebut akhirnya diteruskan dari limfonodi ke sirkulasi vena sentral. Peningkatan tekanan vena sentral menurunkan aliran limfa di paru-paru, yang dapat menjadi faktor edema interstitial (Chruchill Livingstone, 2010).

III. KLASIFIKASI

Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya diklasifikasikan menjadi edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Edema paru kardiogenik biasanya disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif yang akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru. Sedangkan edema paru non-kardiogenik dikatagorikan berdasarkan kondisi yang mendasarinya. Edema paru non-kardiogenik diklasifikasikan menjadi tekanan rendah alveolus, peningkatan permeabilitas alveolus, atau edema neurogenik. Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena obstruksi saluran nafas atas seperti paralisis laring, penyebab peningkatan permeabilitas

(7)

adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema neurogenik disebabkan oleh epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi. Perbedaan antara kardiogenik dan non-kardiogenik sangat penting dilakukan tidak hanya untuk terapi, tapi juga untuk alasan prognosis (Glaus et al, 2010).

Gambar 4. Klasifikasi Edema Paru 3.1. Edema Paru Kardiogenik

Edema paru kardiogenik akut adalah salah satu tanda dari gagal jantung  berat akut yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru sampai lebih dari 18 mmHg yang disebabkan dari peningkatan tekanan vena paru. Dari fisiologisnya sendiri, ruang intravascular dan ekstravaskular dipisahkan oleh  barier endotel. Tekanan yang berpengaruh dalam barier ini adalah tekanan hidrostatik plasma dan tekanan onkotik plasma. Tekanan hidrostatik plasma  berfungsi untuk mendorong cairan ke luar jaringan. Sedangkan tekanan onkotik  plasma berfungsi untuk menjaga atau menarik cairan ke dalam ruang vaskuler. Edema paru kardiogenik merefleksikan akumulasi cairan yang berisi protein rendah di interstitium dan alveolus paru.

Edema Paru Kardiogenik Valvular Non-valvular Non-kardiogenik Tekanan Rendah Alveolus Peningkatan Permeabilitas Alveolus Neurogenik

(8)

Gambar 5. Klasifikasi Edema Paru Kardiogenik 3.1.1. Etiologi

Edema paru kardiogenik disebabkan karena peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam interstiti um dan alveolus paru. Peningkatan tekanan atrium kiri, peningkatan tekanan vena  paru, dan tekanan mikrovaskular paru dapat menyebabkan edema paru.

3.1.1.1. Obstruksi Aliran Atrium

Obstruksi aliran atrium dapat disebabkan karena stenosis katub mitral, atau dalam kasus yang jarang dapat disebabkan oleh myxoma atrium, thrombosis pada katub prostetik, atau adanya membrane kongenital di atrium kiri (contohnya, cor triatrium). Stenosis mitral sering disebabkan karena demam rematik, yang akhirnya dapat bermanifestasi sebagai edem paru. Penyebab lainnya terjadinya edem paru kardiogenik yang bersamaan dengan stenosis katub mitral adalah  penurunan pengisian ventrikel kiri, yang dapat disebabkan oleh takikardia dan

aritmia (penyebab tersering adalah atrial fibrilasi) (Henry & Sovari, 2012). 3.1.1.2. Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri

(9)

Disfungsi sistolik merupakan penyebab tersering terjadinya edem paru kardiogenik, hal ini didefinisikan sebagai penurunan kontraktilitas sel miokardium yang dapat menurunkan volume output jantung. Penurunan output jantung menstimulasi aktivitas simpatik dan meningkatkan volume darah dengan mengaktivasi sistem rennin-angiotensin-aldosteron yang nantinya akan menyebabkan penurunan waktu pengisian ventrikel kiri, dan peningkatan tekanan hidrostatik kapiler (Henry & Sovari, 2012).

Kegagalan ventrikel kiri kronis, biasanya disebabkan karena penyakit gagal jantung kongestif atau kardiomiopati. Penyebab eksaserbasi akut penyakit ini meliputi, infark miokard akut (IMA), pasien dengan ketidakpatuhan  pembatasan diet garam, pasien dengan ketidakpatuhan mengkonsumsi obat diuretic, anemia berat, sepsis, thyrotoksikosis, myokarditis, toksin myocardial (alkohol, kokain, agen kemoterapi), penyakit katub jantung kronis, stenosis aorta, regurgitasi aorta, dan regurgitasi mitral (Henry & Sovari, 2012).

3.1.1.3. Disfungsi Diastolik Ventrikel Kiri

Infark dan iskemia dapat menjadi penyebab terjadinya disfungsi diastolic ventrikel kiri. Dengan mekanisme yang hampir sama, kontusio myocardial menyebabkan disfungsi baik sistolik maupun diastolic. Disfungsi diastolic merupakan pertana penurunan pada distensisitas atau compliance  diastolic ventrikel kiri. Karena distensisitas ventrikel kiri menurun, peningkatan tekanan diastolic diperlukan untuk mendapatkan stroke volume yang normal. Meskipun kontraktilitas ventrikel kiri normal, penurunan output jantung dalam hubungannya dengan peningkatan tekanan akhir diastolic, menyebabkan timbulnya edema paru hidrostatik. Abnormalitas diastolic dapat pula disebabkan karena konstriksi  pericarditis dan tamponade jantung (Henry & Sovari, 2012).

3.1.1.4. Disritmia

Disritmia merupakan gangguan irama jantung akibat perubahan elketrofisiologis sel-sel miokardial yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan irama, frekuensi, dan konduksi jantung. Onset baru dan cepat dari fibrilasi atrium dan takikardia ventricular dapat menyebabkan keadaan edem paru kardiogenik (Henry & Sovari, 2012).

(10)

3.1.1.5. Hipertrofi dan Miopati Ventrikel Kiri

Hiperttofi dan miopati ventrikel kiri dapat meningkatkan kekakuan ventrikel kiri dan peningkatan tekanan akhir diastolic, yang nantinya akan menimbulkan edema paru yang terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru (Henry & Sovari, 2012).

3.1.1.6. Cairan Berlebih Ventrikel Kiri

Cairan berlebih dapat terjadi pada keadaan kardiak maupun non-kardiak. Kondisi kardiak dapat disebabkan karena rupturnya septum ventrikel, insufisiensi aorta akut maupun kronik, dan regurgitasi mitral akut maupun kronik. Endokarditis, disseksi aorta, rupture trauma, rupturnya fenestrasi katub kongenital, dan penyebab iatrogenic merupakan etiologi penting terjadinya regurgitasi akut aorta yang nantinya dapat menyebabkan edema paru (Henry & Sovari, 2012).

Ruptur septum ventrikel, insufisiensi aorta, dan regurgitasi mitral dapat menyebabkan peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri dan peningkatan tekanan atrium kiri, dan dapat menjadi penyebab terjadinya edema par u. Obstruksi aliran ventrikel kiri, seperti pada kasus stenosis aorta, dapat menyebabkan  peningkatan tekanan pengisian akhir diastolic, penignkatan tekanan atrium kiri,

dan akhirnya terdapat peningkatan tekanan kapiler paru (Henry & Sovari, 2012). Peningkatan retensi sodium dapat terjadi pada kasus disfungsi sistolik ventrikel kiri. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti pada penyakit ginjal primer, retensi sodium, dan kelebihan cairan dapat memainkan peran utama terjadinya edema paru. Edema paru kardiogenik dapat pula terjadi pada pasien gagal ginjal yang memerlukan hemodialisis (Henry & Sovari, 2012).

3.1.1.7. Infark Miokardial

Infark miokardial dapat menjadi salah satu penyebab edema paru kardiogenik, oleh beberapa sebab. Salah satunya adalah komplikasi mekanis dari infark miokardial, yaitu rupturnya septum ventrikel atau otot papilar. Komplikasi mekanis ini secara langsung akan meningkatkan volume load pada serangan akut, yang nantinya akan menimbulkan terjadinya edema paru (Henry & Sovari, 2012). 3.1.1.8. Obstruksi Aliran Ventrikel Kiri

(11)

Stenosis akut pada katub aorta dapat menyebabkan edema paru. Namun, stenosis yang diakibatkan karena penyakit kongenital, kalsifikasi, disfungsi  prostetik, atau penyakit rematik, biasanya berlangsung secara kronis dan dapat

menimbulkan adaptasi hemodinamik pada jantung. Adaptasi hemodinamik ini diantaranya adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang dapat menyebabkan edema paru karena disfungsi diastolic ventrikel kiri. Hipertrofi kardiomiopati merupakan  penyebab obstruksi aliran dinamik ventrikel kiri (Henry & Sovari, 2012).

3.1.2. Patofisiologis

Kapiler pembuluh darah paru dan gas di dalam alveolus dipisahkan oleh membrane kapiler-alveolar. Membran ini terbagi menjadi tiga lapisan, lapisan  pertama adalah endotel kapiler; lapisan kedua adalah ruang interstitial yang terdiri dari jaringan ikat, fibroblast, dan makrofag; dan lapisan terakhir adalah epitel alveolus. Pertukaran cairan normalnya terjadi diantara vascular bed dan ruang interstitium. Edema paru terjadi saat aliran cairan dari vaskuler ke dalam ruang interstitial meningkat (Henry & Sovari, 2012).

Hukum starling menentukan keseimbangan cairan diantara alveolus dan vascular bed.  Aliran cairan yang melintas antar membrane ditentukan oleh  persamaan:

Q = K (Pcap

 – 

 Pis)

 – 

 I (Pcap

 – 

 Pis)

dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah tekanan hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis adalah tekanan hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog cairan ke kapiler; dan I adalah koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding kapiler dalam mencegah filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic koloid plasma, yang cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua adalah tekanan osmotic koloid dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar dari kepiler (Henry & Sovari, 2012).

Filtrasi cairan dapat meningkat dengan perubahan parameter dari hukum Starling tersebut. Edema paru kardiogenik secara predominan terjadi karena gangguan aliran pada atrium kiri atau karena disfungsi ventrikel kiri. Pada edem

(12)

 paru yang terjadi karena peningkatan tekanan kapiler paru, maka tekanan kapiler  parunya harus lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan koloid osmotic plasma. Tekanan kapiler paru normalnya 8

 – 

  12 mmHg, dan tekanan osmotic koloidnya adalah 28 mmHg (Henry & Sovari, 2012).

Sistem limfa memainkan pernana penting dalam menjaga agar cairan di  paru selalu seimbang dengan cara membuang cairan, koloid, atau liquid dari ruang interstitial dengan kecepatan 10

 – 

 20 mL/jam. Pada peningkatan tekanan kapiler arteri paru melebihi 18 mmHg, hal ini dapat meningkatkan filtrasi dari cairan ke dalam ruang interstitium, namun kecepatan pembuangan sistem limfa tidak ikut meningkat. Hal ini berbeda dengan peningkatan tekanan atrium kiri yang kronis, dengan kecepatan pembuangan sistem limfe bisa sampai 200 mL/jam, yang dapat memproteksi paru dari edema paru (Henry & Sovari, 2012).

3.1.3. Stadium

Terdapat tiga stadium pada edema paru kardiogenik menurut prosesnya. Stadium pertama atau biasa disebut sebagai  stage 1  adalah peningkatan tekanan atrium kiri yang dapat menyebabkan distensi dan pembukaan pembuluh paru kecil. Pada stadium ini, pertukaran gas darah tidak terganggu. Pada stadium kedua atau stage 2, cairan dan koloid berpindah ke ruang interstitium paru dari kapiler  paru, namun peningkatan aliran limfa dapat secara efisien membuang cairan

tersebut. Berlanjutnya filtrasi cairan yang terus-menerus dapat membuat kapasitas drainase limfatik tidak dapat mengkompensasinya lagi. Akumulasi cairan di ruang interstitium dapat mengganggu pertukaran gas yang dapat menyebabkan hipoksemia. Hipoksemia pada stadium ini dapat menstimulasi terjadinya takipneu. Takipneu dapat terjadi karena stimulasi reseptor juxtapulmonary kapiler. Pada stadium terakhir atau  stage 3, filtrasi cairan di ruang interstitial berlanjut yang akhirnya sampai memenuhi ruang tersebut (diperkirakan 500 mL cairan). Akhirnya cairan berpindah dari ruang interstitium ke epitel alveolar, dan akhirnya memenuhi ruang alveolar. Pada stadium ini, abnormalitas pertukaran gas dapat dilihat, kapasitas vital, dan volume respiratory menurun, yang menyebabkan hipoksemia menjadi lebih berat (Henry & Sovari, 2012).

(13)

3.1.4. Manifestasi Klinis

Pasien dengan edema paru kardiogenik biasanya memiliki gejala klinis gagal jantung kiri. Pasien biasanya mengeluhkan sesak nafas yang tiba-tiba dan  berat, rasa cemas, dan perasaan seperti tenggelam. Manifestasi klinis dari edema  paru kardiogenik akut mencerminkan bukti adanya hipoksia dan peningkatan

tonus simpatis. Pada pasien dengan edema paru kardiogenik, keluhan paling sering adalah sesak nafas dan diaphoresis atau keringat berlebihan. Pasien  biasanya mengeluhkan dispneu saat aktifitas, ortopneu, dan paroksismal nocturnal dispneu. Batuk adalah keluhan yang sering dan dapat memberikan petunjuk awal adanya perburukan edema pada paru pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang kronis. Sputum berwarna pink dan berbusa mungkin dikeluhkan oleh pasien dengan penyakit yang parah. Kadang disertai suara serak dikarenakan gangguan di  persarafan laring karena stenosis mitral atau hipertensi pulmonal. Nyeri dada

harus diwaspadai oleh dokter sebagai kemungkinan untuk infark miokardial akut, atau diseksi aorta dengan regurgitasi aorta (Henry & Sovari, 2012).

3.1.5. Pemeriksaan Fisik

Temukan fisik pada pasien dengan edema paru kardiogenik didapatkan takipneu dan takikardi. Pasien mungkin duduk secara tegak untuk mendapatkan udara yang lebih. Selain itu pasien juga dapat menjadi gelisah, cemas, bingung, dan mengeluarkan banyak keringat. Hipertensi sering didapatkan karena adanya keadaan hiperadrenergik. Hipotensi menunjukkan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang parah yang dapat merupakan kemungkinan adanya syok kardiogenik. Auskultasi paru-paru biasanya menunjukkan hasil normal, tapi ronki atau wheezing mungkin dapat terdengar. Pada auskultasi kardiovaskuler biasanya  penting untuk mendengarkan adanya S3 pada jantung, penemuan adanya murmur dapat membantu dalam diagnosis gangguan katub akut. Stenosis aorta dikaitkan dengan murmur sistolik yang keras yang dapat terdengar baik sternum atas dan menjalar ke arteri karotis. Sebaliknya, regurgitasi aorta akut dapat ditemukan murmur diastolic yang lembut (Henry & Sovari, 2012).

Regurgitasi mitral akut akan ditemukan murmur sistolik keras yang terdengar baik di apeks atau di sternum bagian bawah. Stenosis mitral biasanya

(14)

menghasilkan S1 keras, dan gemuruh diastolik pada apeks jantung. Gejala klinis lain adalah kulit yang pucat atau bintik-bintik yang diakibatkan vasokonstriksi  perifer. Pasien dengan gagal jantung ventrikel kanan mungkin dapat ditemukan hepatomegali, hepatojugular reflux, dan edema perifer. Edema paru kardiogenik  parah mungkin terkait dengan perubahan status mental, yang dapat disebabkan oleh hipoksia atau hiperkapnia. Meskipun edema paru kardiogenik biasanya  berhubungan dengan hipokapnia, hiperkapnia dengan asidosis respiratorik dapat dilihat pula pada pasien dengan edema paru kardiogenik parah atau penyakit obstruktif kronik yang mendasari (Henry & Sovari, 2012).

3.1.6. Pemeriksaan Penunjang

3.1.6.1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan dalam evaluasi pasien dengan penyakit edema paru kardiogenik adalah sebagai berikut; hitung darah lengkap, pemeriksaan ini digunakan untuk membantu dalam menilai apakah terdapat anemia berat, sepsis, atau infeksi yang dapat dinilai dari hitung leukosit; hitung elektrolit, pasien dengan CHF kronis sering mendapatkan terapi diuretic yang merupakan suatu predisposisi abnormalitas elektrolit, terutama hipokalemia dan hipomagnesia; BUN dan kreatinin, pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat gagal ginjal dan mengantisipasi respon diuretic, pada disfungsi sistolik, penurunana BUN dan kreatinin merupakan pertanda adanya hipoperfusi dari ginjal; Oksimetri, pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui adanya hipoksia, pemeriksaan ini penting dalam memonitoring respon pasien untuk suplementasi oksigen dan terapi lainnya; analisis gas darah digunakan untuk melihat secara akurat saturasi oksigen (Henry & Sovari, 2012).

3.1.6.2. Elektrokardiografi

Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai hipertrofi atrium kiri dan ventrikel kiri. Selain itu dapat digunakan sebagai indicator disfungsi kronis ventrikel kiri. Elektrokardiogram juga dapat digunakan untuk melihat takidisritmia akut atau bradidisritmia pada penyakit iskemia atau infark miokardial akut sebagai salah satu penyebab dari edema paru kardiogenik (Henry & Sovari, 2012).

(15)

3.1.6.3. Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiograf pada pasien dengan gagal jantung kronis sangat penting dilakukan sebagai pemeriksaan diagnosis untuk mengetahui etiologi dari edema paru. Ekokardiograf dapat digunakan untuk mengetahui fungsi dari sistolik maupun diastolic ventrikel kiri, gangguan fungsi katub, dan mengetahui penyakit pericardial. Selain itu, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui beberapa etiologi mekanis penyebab edema paru seperti, rupture akut otot papilar, ventricular septal defect akut, tamponade jantung, rupture ventrikel kiri, vegetasi katub yang akhirnya dapat menimbulkan regurgitasi aorta (Henry & Sovari, 2012).

3.1.7. Tatalaksana

Manajemen utama pada pasien dengan edema paru kardiogenik termasuk didalamnya adalah resusitasi ABC (airway, breathing, dan circulation). Oksigen seharusnya diberikan pada semua pasien untuk menjaga saturasi oksigen lebih dari 90%. Penyakit yang mendasari seperti aritmia atau infark miokard seharusnya diterapi dengan sesuai. Oksigen diberikan melalui face mask¸ CPAP, intubasi, dan ventilasi mekanis dapat dipilih tergantung dari keadaan hipoksemia dan asidosis, sertia kesadaran pasien (Henry & Sovari, 2012).

Tujuan manajemen dari edema paru kardiogenik adalah, pertama  penurunan venous return paru (preload reduction), penurunan resistensi vascular sistemik (afterload reduction), dan penggunaan obat inotropik. Reduksi preload digunakan untuk menurunkan tekanan hidrostatik kapiler paru dan penurunan transudari cairan ke dalam ruang interstitium dan alveolus paru. Reduksi afterload digunakan untuk meningkatkan cardiac output dan meningkatkan perfusi ke ginjal, sehingga dieresis dapat berjalan pada pasien dengan kelebihan cairan (Henry & Sovari, 2012).

Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri atau pada penyakit katub  jantung, kemungkinan akan terjadi hipotensi. Pasien ini mungkin tidak akan

mengalami perbaikan dengan pengobatan yang menurunkan preload dan afterload. Oleh karena itu, pengobatan inotropik diperlukan untuk pasien ini untuk menjaga tekanan darah secara adekuat. Pasien yang masih hipoksia memerlukan suplemen

(16)

oksigen serta pada pasien dengan distress pernafasan memerlukan bantuan ventilasi (Henry & Sovari, 2012).

3.1.7.1. Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi cairan merupakan prosedur membuang cairan yang sangat  berguna pada pasien dengan disfungsi ginjal dan pada pasien dengan resistensi

diuretic (Henry & Sovari, 2012).

3.1.7.2. Intra-aortic Balloon Pumping

Intra-aortic balloon pumping dapat digunakan untuk menstabilasi hemodinamik pada pasien sebelum dimulainya terapi definitive. Fungsi dari intra-aortic balloon pumping ini adalah menurunkan afterload, saat diatol balon ini gunakan untuk meningkatkan aliran darah koroner (Henry & Sovari, 2012).

3.1.7.3. Diet

Pasien dengan gagal jantung atau edema paru seharusnya diberikan diet rendah garam untuk menurunkan retensi cairan. Selain itu, keseimbangan cairan seharusnya juga dimonitor (Henry & Sovari, 2012).

3.2. Edema Paru Non-Kardiogenik

Edema paru non-kardiogenik adalah edema yang disebabkan karena  perubahan permeabilitas dari membrane kapiler paru yang mengakibatkan

keadaan patologis baik secara langsung maupun tidak langsung. Edema paru non-kardiogenik dapat disebut juga sebagai respiratory distress syndrome. RDS yang ringan disebut sebagai acute lung injury, dan RDS yang berat disebut sebagai acute respiratory distress syndrome.  Edema paru non-kardiogenik mempunyai karakteristik kerusakan alveolus difus yang ditandai dengan peningkatan  permeabilitas membrane kapiler alveolus dan juga akumulasi cairan yang kaya  protein di ruang alveolus.

3.2.1. Etiopatologi

Beberapa mekanisme telah diketahui sebagai penyebab terjadinya edema  paru non-kardiogenik. Sebagai contoh adalah tekanan alveolar yang rendah,  peningkatan permeabilitas vaskuler, peningkatan tekanan hidrostatik, dan kombinasi ketiganya. Beberapa penyebab edema paru non-kardiogenik menurut  patofisiologinya terjadi karena penurunan tekanan alveolar (edema post obstruksi

(17)

atau reekspansi edema), edema neurogenik, vaskulitis, dan peningkatan edema  paru. Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena obstruksi saluran nafas atas seperti paralisis laring, penyebab peningkatan  permeabilitas adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema neurogenik disebabkan oleh epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi. Penurunan tekanan alveolus mungkin juga terjadi setelah pleurosentesis, pneumotorax, obstruksi saluran nafas atas (sindroma brachycephalic, paralisis laring, ataupun kolaps trakeal). Pada neurogenik edema, secara patofisiologi terjadi karena peningkatan aktivasi simpato-andregenik di medulla oblongata. Hal ini berpengaruh pada konstriksi vena paru yang membuat darah mengalir lebih banyak dari sistemik ke sirkulasi pulmonal, hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatis yang akhirnya dapat menyebabkan edema. Peningkatan permeabilitas vaskuler menjadi masalah besar penyebab edema paru non-kardiogenik. Hal ini diakibatkan karena kerusakan berat dan difus pada parenkim paru, yang menyebabkan permeabilitas endotel dan epitel terganggu, sehingga menyebabkan cairan yang kaya akan protein keluar (Glaus, 2012).

(18)

Menurut penyebabnya, edema paru non-kardiogenik dibagi menjadi  penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung dari edema  paru non-kardiogenik adalah aspirasi, injuri inhalasi, kontusio pulmonal, infeksi difus paru. Sedangkan penyebab tidak langsung dari edema paru non-kardiogenik ini adalah sepsis, syok sepsis, overdosis obat, pancreatitis, uremia, dan koagulopati. Penyebab langsung berarti etiologi tersebut menyebabkan kerusakan langsung pada epitel alveolus, sedangkan penyebab tidak langsung berarti kerusakan epitel terjadi karena dampak tidak langsung atau karena penyebaran mediator inflamasi secara hematogen. Peneybab tersering terjadinya edema paru non-kardiogenik adalah infeksi difus paru (direk) dan sepsis (indirek) (Perina, 2003).

Gambar 7. Toxin Penyebab Tersering Non-Kardiogenik

Proses inflamasi yang terjadi pada alveolar dibagi menjadi tiga proses. Proses pertama adalah inisiasi, yaitu persipitasi antigen oleh antigen presenting cell, yang nantinya akan melepaskan mediator-mediator inflamasi. Tahap kedua adalah tahap amplifikasi, yaitu aktifnya neutrofil di organ target (paru). Tahap terakhir adalah injury, pada tahap ini sel yang mengalami inflamasi akan melepaskan metabolit O2 reaktif yang akan menimbulkan kerusakan sel.

(19)

Kerusakan sel ini akan mengeakibatkan permeabilitas vascular meningkat, yang menyebabkan akumulasi cairan berisi protein di alveolus, dan akhirnya akan membentuk membrane hialin yang berisi fibrin atau protein. Selain itu, kerusakan sel dapat menimbulkan penurunan produksi surfaktan yang menyebabkan alveolus dapat kolaps yang akhirnya akan menurunkan compliance  paru yang menyebabkan peningkatan usaha untuk bernafas sehingga timbul distress respirasi (Perina, 2003).

3.2.2. Manifestasi Klinis

Edema paru non-kardiogenik mempunyai berbagai derajat manifestasi distress pernafasan yang nantinya dapat menimbulkan kegagalan pernafasan. Tanda klinis awal pada edema paru non-kardiogenik adalah peningkatan usaha untuk bernafas yang ditandai dengan adanya takipneu dan dispneu. Auskultasi  paru sulit untuk membedakan antara edema paru kardiogenik dan edema paru

non-kardiogenik. Beberapa manifestasi untuk membedakan dengan penyebab kardiogenik diantaranya adalah tidak adanya edema perifer, distensi vena  jugularis, dan gallop ventrikel.

3.2.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya adalah  pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan hasil abnormal sesuai dengan  penyebab dasar penyakit atau underlying disease-nya. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mengidentifiikasi edema paru non-kardiogenik. Pemeriksaan serum protein mungkin dapat berguna dalam membedakan antara edema paru kardiogenik dan edema paru kardiogenik. Pasien dengan edema paru non-kardiogenik menunjukkan hasil adanya hipoproteinemia yang reversible, hal ini menyarankan bahawa hipoproteinemia dapat digunakan sebagai tanda adanya edema paru non-kardiogenik. Pemeriksaan IL-8 juga dapat digunakan untuk mengetahui adanya hipoksia yang cepat pada stadium awal dari ALI atau acute lung injury  sebelum menjadi acute respiratory distress syndrome. Pemeriksaan saturasi O2 penting digunakan untuk melihat perkembangan penyakit ini. Penurunan saturasi oksigen, dapat menjadi indikasi dilakukannya pengukuran gas darah. Pemeriksaan radiografi biasanya menunjukkan hasil yang normal, atau

(20)

terdapat infiltrate difus bilateral, ataupun infiltrate alveolus. Gambaran jantung  biasanya normal (Perina, 2003).

3.2.4. Tata Laksana

Pada awal terjadinya kerusakan, mungkin pasien tidak mengeluhkan adanya gejala dan tanda gangguan pernafasan. Tanda awal adalah terjadinya  peningkatan frekuensi pernafasan yang diikuti oleh dispneu. Analisis gas darah arteri sebaiknya dilakukan untuk melihat tipe dan derajat abnormalitas pertukaran darah. Pada pasien dengan hipoksemia (PO2 <60 mmHg) tanpa hiperkapnia, dapat diberikan oksigen yang diberikan melalui nasal prongs atau venture mask dengan reservoir. Jika hiperkapnia terjadi maka tata laksananya adalah dengan ventilasi mekanis (Kakauros & Stravros, 2003).

3.2.4.1. Ventilasi Mekanis

Ventilasi mekanis merupakan tatalaksana yang dibutuhkan untuk pasien dengan edema paru non-kardiogenik. Jika hipoksemia tidak dapat dikoreksi dengan menggunakan ventilasi mekanis, maka dapat digunakan  positive endexpiratory pressure atau PEEP. Pada kondisi ini PEEP yang digunakan adalah 5 -10 cm H20. Fungsi dari PEEP adalah untuk menghindari kolaps alveolus. PEEP  juga dapat meningkatkan FRC dan menghindari risiko dari kerusakan paru

lanjutan. Walaupun penggunaan PEEP efektif dalam meningkatkan oksigenasi  pada pasien, namun risiko komplikasi juga akan bertambah saat digunakan  bersama dengan alat mekanis lainnya. Penggunaan PEEP dengan tekanan yang sangat tinggi mungkin dapat menyebabkan komplikasi berupa edema alveolar yang bertambah, penurunan curah jantung, dan penurunan tekanan serta aliran darah ke ginjal. Komplikasi lainnya penggunaan PEEP adalah barotrauma, yang insidensinya 5-15% dan berupa pneumomediastinum, pneumothorax, dan emfisema subkutaneus (Kakauros & Stravros, 2003).

IV. GAMBARAN RADIOLOGIS

Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran tersebut adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut  septal lines atau kerley lines, peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa

(21)

interlobar biasanya tidak terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika terdapat akumulasi cairan di daerah tersebut.

Gambar 8. Anatomi Interstitium Paru

Terdapat beberapa  Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika  jaringan ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya sekitar 6 cm dari hilus dan tidak sampai ke perifer paru.  Kerley lines B, garis ini  biasanya disebut sebagai septal lines, garis ini akan muncul biasanya di basis paru atau di sekitar sudut costofrenikus. Panjang garis horizontal ini 1-2 cm dengan tebal hanya 1 mm.  Kerley lines C merupakan Kerley lines B en face, merupakan opasitas reticular pada basis paru.  Kerley lines D, merupakan garis yang sama dengan  Kerley lines B, dan akan terlihat hanya pada lateral chest radiograph.  Peribronchial cuffing adalah penebalan dinding bronkus dan terlihat seperti ringlike density. Peribronchial cuffing terjadi ketika terdapatnnya akumulasi cairan di jaringan ikat sekitar dinding bronkus.  Peribronchial cuffing  bentuknya ringerlike, kecil, multiple, seperti donat.

(22)

Gambar 9. [Gambar Atas] Kerley lines A (panah putih) , Kerley lines B (kepala  panah putih) , Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Bawah]

 Peribronchial cuffing, pleural effusion.

Edema paru dapat diklasifikasikan menjadi edema peningkatan tekanan hidrostatik, edema permeabilitas dengan kerusakan alveolus difus, edema  permeabilitas tanpa kerusakan alveolus difus, edema campuran. Edema paru memiliki beberapa manifestasi radiologis yang bermacam-macam. Edema paru  post-obstruktif memiliki gambaran khas pada radiologi berupa septal line ( Kerley  B lines), peribronchial cuffing, dan pada kasus yang lebih berat terdapat central alveolar edema ( perivascular hazzines).  Edema paru dengan emboli kronis paru  bermanifestasi sebagai area dengan garis demarkasi yang tajam atau  sharply

demarcated area dengan peningkatan  ground-glass attenuation.  Edema paru dengan penyakit oklusi vena bermanifestasi dengan arteri paru yang besar, edema

(23)

interstitial difus dengan kerley lines, peribronchial cuffing, dan dilatasi ventrikel. Pada stadium 1 edema paru pada pasien yang hampir tenggelam bermanifestasi dengan kerley lines, peribronchial cuffing, dan  patchy, konsolidari perihilar alveolus; sedangkan pada stadium 2 dan 3 manifestasi radiologisnya tidak spesifik. Edema paru pada ketinggian bermanifestasi sebagai edema interstitial sentral yang berhubungan dengan  peribronchial cuffing, dan konsolidasi  patchy rongga udara. Pada edema paru neurogenik manifestasinya bilateral dengan konsolidasi homogen ruang udara yang hampir ditemukan pada 50% kasus. Reperfusi edema paru digambarkan dengan konsolidasi heterogen ruang udara yang predominan pada bagian distal menuju kanal pembuluh darah. Post reduksi edema paru digambarkan dengan konsolidasi ipsilateral paru, sedangkan edema  paru dikarenakan emboli udara digambarkan dengan terstitial edema diikuti  bilateral opasitas pada alveolus yang predominan di basis paru.

4.1. Edema karena Peningkatan Tekanan Hidrostatik

Terdapat dua stadium patofisiologi dan radiologi pada perkembangan tekanan edema, yaitu stadium edema interstiial dan edema alveolar. Kedua stadium ini identik pada gagal jantung kiri dan kelebihan cairan intravaskuler. Keduanya sering dijumpai pada pasien dengan edema tekanan di ICU maupun IGD. Intensitas dan durasi dari kedua stadium ini tergantung dari peningkatan tekanan yang terjadi, yaitu tergantung dari rasio tekanan hidrostatik dan onkotik.

Gambar 10. Gambaran foto thorax pada pasien laki-laki, 33 tahun dengan edema  peningkatan tekanan hidrostatik karena akut mikolitik leukemia yang datang dengan kelebihan cairan karena gagal ginjal dan gagal jantung. Panah hitam pada

(24)

gambar b menunjukkan adanya pelebaran progresif pembuluh darah lobus ( peribronchial cuffing), panah putih gambar c menunjukkan adanya bilateral kerley lines,  dan juga terdapat area noduler dengan peningkatan opasitas. Kelebihan cairan dapat dikonfirmasi dari pertambahan ukuran dari vena zygos.

Gambar 11. Gambaran CT-scan pada pasien laki-laki 53 tahun, dengan edema  peningkatan tekanan hidrostatik. Didapatkan adanya peribronchial cuffing (panah

hitam) pada bagian anterior paru kiri. Kedua paru terlihat adanya  ground-glass area.

Edema interstitial terjadi saat tekanan arteri transmural diantara 15-25 mmHg, yang nantinya akan terlihat pada gambaran radiologis dengan mengaburkan gambaran pembuluh darah subsegmental dan segmental,  pembesaran dari ruang peribronkovaskular, munculnya kerley lines, dan dapat

muncul efusi subpleura. Jika cairan ekstravaskuler terus menerus bertambah, maka edema akan bermigrasi ke cenral dan akan mengaburkan secara prograsif  pembuluh darah di lobus dan berlanjut pada pembuluh darah di hilus. Pada poin ini, radiolusens pada paru akan berkurang, sehingga indentifikasi pembuluh darah kecil akan sulit dilakukan. Pada area perihilar,  peribronchial cuffing dapat muncul. Jika tekanan melebihi 25 mmHg, cairan akan mengalir dari kompartmen ekstravaskuler yang kapasitasnya sudah maksimal menuju ke stadium kedua, yaitu edema alveolus. Gambaran radiologis pada stadium kedua ini adalah tiny nodular

(25)

atau acinar area dengan peningkatan opasitas yang dapat bergabung dan membentuk suatu konsolidasi frank atau frank consolidation.

Gambar 12.Hubungan antara Tekanan Kapiler Paru dengan Temuan Radiologi. 4.2. Bat Wing Edema

Bat wing edema mengarah pada distribusi edema alveolar di bagian sentral dan dengan distribusi non-gravitasional. Gambaran radiologis ini biasanya terdapat pada 10% kasus edema paru, dan secara keseluruhan terjadi pada kasus  perkembangan cepat gagal jantung berat seperti pada insufisiensi katub mitral

akut (yang berhubungan dengan rupturnya otot papilar, infark miokard masif, dan destruksi katub seperti pada endokarditis septik) atau pada kasus gagal ginjal. Pada kasus bat wing edema, korteks paru bersih dari cairan alveolar ataupun interstitial. Kondisi patologis ini berkembang secara cepat yang ditandai secara radiologis dengan infiltrat alveolus, dan gambaran tipikal edem pulmo jarang ditemukan.

(26)

Gambar 13. Bat wing edema pada pasien wanita, 77 tahun dengan kelebihan cairan dan gagal jantung. Pada gambaran foto thorax dada (3.a) dan gambaran CT-scan (3.b) menunjukkan adanya wing alveolar edema  yang distribusinya sentral dan sparing dari konteks paru. Infiltrat pada pasien ini berkurang setelah 32 jam menjalani pengobatan.

Beberapa teori diungkapkan dalam patofisiologis bat wing edema. Salah satu teorinya menyebutkan peningkatan konduktifitas hidraulik. Hal ini menyebabkan mukopolisakarida mengisi ruang sitokeleton perivaskular dan menghambat aliran cairan. Namun, dengan meningkatnya hidrasi cairan, matrix ekstraseluler ini memberikan jalan agar cairan dapat mengalir ke central. Penemuan lainnya mengungkapkan efek pumping dari siklus pernafasan, yang lebih besar berada di kortex paru, yang menyebabkan banyak cairan dialirkan ke hilus. Penemuan lainnya mengungkapakn kontraktilitas septum alveolus menjadi faktor pendukung untuk mengalirkan cairan interstitial ke hilus.

(27)

Gambar 14. Bat wing edema pada pasien wanita, 66 tahun, dengan overload cairan dari gangguan ginjal dan sudah dilakukan hemodialisis untuk nefroangiosklerosis hipertensinya. Pasien ditemukan tidak sadarkan diri setelah  berbaring ke sisi kanannya dalam beberapa jam. Gambaran radiologis menunjukkan adanya unusual recumbent bat wing pulmonary edema   yang  berhubungan dengan efusi pleura sebelah kanan.

4.3. Distribusi Asimetris dari Edema Peningkatan Tekanan

Penyebab tersering terjadinya distribusi asimetris dari edema tekanan adalah perubahan morfologi dari parenkim paru pada kasus penyakit paru obstruksi kronis. Selain itu, pada kasus gagal jantung, emfisema pada apices atau gambaran destruksi dan fibrosis pada bagian paru bagian atas dan tengah (sering ditemukan pada kasus end-stage tuberculosis, sarcoidosis, atau asbestosis) akan terlihat pada kasus edema paru yang predominan pada bagian yang kurang  berpengaruh pada proses penyakit ini.

Faktor hemodinamik mungkin juga berpengaruh pada distribusi asimeteris edema paru ini. Edema paru yang berhubungan dengan regurgitasi mitral menunjukkan bagian lobus atas kanan yang predominan dikarenakan gangguan aliran yang disebabkan oleh refluks langsung pada vena paru bagian atas kanan. Distribusi asimetris ini terjadi pada 9% dewasa dan 22% pada anak-anak dengan regurgitasi mitral derajat 3 dan 4.

(28)

Gambar 15. Edema paru asimetris pada pasien pria dengan chronic obstructive  pulmonary disease. Pada gambar 5.a yang merupakan parenkim paru dan gambar 5.b yang merupakan gambaran mediastinum menunjukkan edema dengan gambaran diffuse ground-glass attentuation dengan gradien anteroposterior. Cairan yang memenuhi bula subpleura paling jelas terlihat pada gambar 5.b di  bagian kiri bawah.

Gambar 16.  Edema paru asimetris pada pasien laki-laki 70 tahun, dengan end- stage fibrosis dan emfisema bulosa dikarenakan asbestosis dengan gagal jantung. Pada gambaran radiografi didapatkan infiltrat edema paru predominan pada basis  paru karena aliran darah paru mengalir ke bagian ini dari bula lobus bagian atas.

(29)

Fibrosis interstitial yang disebabkan karena asbestosis dapat menjadi tempat masuknya edema ke ruang alveolus.

Gambar 17. Edema paru dengan serangan asma akut pada anak-anak berumur 3 tahun. Gambaran radiografi ditemukan adanya edema paru yang berhubungan dengan  peribronchial cuffing, ill-defined vessels,  pembesaran hilus, dan  peningkatan opasitas area alveolar.

Akhirnya, posisi pasien juga menentukan distribusi cairan intra dan extravaskuler ini. Pada pasien dengan posisi supine, CT scan axial selalu menunjukkan gradien anteroposterior dengan distribusi asimetris dari edema yang disebabkan karena operasi prolong atau imobilisasi. Distribusi ini juga dapat didapatkan pada pasien dengan gagal jantung kongestive dan pasien dengan overghidrasi.

4.4. Edema Paru dengan Asma Akut

Kondisi edema paru pada asma akut sangat jarang terjadi, kondisi ini  berhubungan dengan gas yang terperangkap menyebabkan tekanan intraalveolar menjadi positif, hal ini menyebabkan menurunnya gradien tekanan hidrostatik. Pada saat inspirasi tidal, anak-anak dengan episode serangan asma akut menunjukkan hasil tingginya tekanan negatif puncak inspirasi (sekitar 29 cm air), dibandingkan dengan pada anak yang sehat (sekitar 7 cm air). Selanjutnya, didapatkan pula tekanan pleura yang menurun saat respirasi tidal, mencapai -25.5

(30)

cm air, dibandingkan dengan anak yang sehat dengan penurunan tekanan sekitar -5 cm air. Tekanan negatif pleura saat serangan asma akut ini membantu untuk  pelebaran saluran pernafasan. Obstruksi saluran nafas pada kasus asma

menyebabkan akumulasi cairan ekstravaskular. Dari salah satu pusat penelitian, didapatkan bahwa kasus ini sangat jarang, dan hanya ada satu kasus selama lima tahun. Gambaran radiologi pada kasus ini adalah adanya  Kerley lines,  peribronchial cuffing, dan peningkatan opasitas area alveolus.

4.5. Edema Paru Postobstruksi

Edema paru postobstruksi terjadi setelah obstruksi saluran pernafasan atas dan membentuk edema hidrostatik. Edema paru ini sering terjadi karena masuknya benda asing, laringospasme, epiglotitis, atau  strangulation.  Jika obstruksi terjadi obstruksi saat inspirasi, hal ini mengakibatkan tekanan negatif intratorax meningkat dan membuat venous return meningkat pula. Edema terjadi karena penurunan tekanan negatif pleura secara tiba-tiba, yang menyebabkan gradien tekanan hidrostatik antara intravaskular dan ekstravaskular meningkat. Jika obstruksi terjadi saat inspirasi dan ekspirasi, maka tekanan positiv intratorax akan meningkat dan dapat membuat terjadinya edem.

Gambar 18. Edema paru postobstruksi pada pasien pria, berumur 31 tahun dengan laringospasme postekstubasi. Gambaran CT scan didapatkan adanya edema paru dengan  peribronchial cuffing yang predominan di parenkim paru sentral. Kortex paru tidak didapatkan adanya edema alveolar ataupun Kerley lines. Pada gambaran radiografi dada dan CT, edema paru postobstruksi ditandai dengan garis septal atau  septal lines, peribronchial cuffing, dan pada kasus yang

(31)

 berat akan didapatkan central alveolar edema. Gambaran ini hampir sama dengan gambaran pada edema karena tekanan hidrostatik. Ukuran jantung biasanya normal, yang mengindikasikan tekanan edema tidak berhubungan dengan overhidrasi. Resolusi biasanya didapatkan pada hari ke 2 sampai ke 3 setelah terapi yang cepat dan sesuai.

4.6. Edema Paru dengan Emboli Paru Akut dan Kronis

Selama beberapa tahun ini, didapatkan gambaran edema paru pada foto thorax pasien dengan emboli paru akut, kasusnya sekitar 10% dari emboli paru akut. Gambaran CT yang terlihat adalah meningkatnya  ground-glass attenuation yang terlokalisasi pada arteri segmental atau subsegmental. Beberapa peneliti  percaya bahwa mekanisme edema paru masif pada kasus emboli paru akut adalah  berhubungan dengan hipertensi pulmonal. Hipertensi ini menyebabkan oklusi lebih dari 50%  pulmonary arterial bed. Hal ini menyebabkan meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler, akhirnya perfusi aliran ke area ini ikut meningkat dan dapat menimbulkan edema.

Gambar 19. Edema paru pada pasien laki-laki berumur 56 tahun dengan penyakit tromboemboli kronis. Gambar diatas menunjukkan gambaran CT scan dengan hipoperfusi dari lobus kanan atas dan kiri bawah yang menunjukkan gambaran  ground glass attentuation  dan pembesaran arteri. Hipoperfusi pada lobus kiri  bawah berhubungan dengan penurunan ukuran pembuluh darah.

(32)

Gambar 20. Angiogram dari paru kanan yang menunjukkan  segmental webs (panah hitam) dan oklusi vaskular.

4.7. Edema Paru pada Penyakit Oklusi Vena

Penyakit oklusi vena paru merupakan kondisi letal yang berhubungan dengan menyempit atau oklusi nya vena atau venula kecil paru yang dikarenakan trombus. Penyakit ini tersebar menyebar pada vena kecil paru, dan tidak melibatkan vena besar. Oklusi vena menyebabkan resistensi pembuluh darah  perifer meningkat sehingga menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik vaskuler. Gambaran radiografi dan CT menunnjukkan hasil pembesaran arteri  paru, difus edema interstitial dengan  Kerley lines, peribronchial cuffing, dan

dilatasi ventrikel kanan.

Gambar 21. Gambaran foto thorax edema paru yang berhubungan dengan  penyakit oklusi vena pada pasien wanita 28 tahun dengan dispneu akut.

(33)

Gambar 22. Gambaran angiogram didapatkan arteri paru perifer paten, kecil, dan elongasi. Tekanan kapiler paru normal, namun tekanan arteri paru meningkat 54 mmHg.

Gambar 23. High resolusi CT scan, didapatkan penebalan septum inter dan intralobular,  peribronchial cuffing, efusi pleura minimal, dan residual diffuse  ground-glass attenuatin. Oklusi vena paru didiagnosis dengan biopsi paru.

4.8. Near Dr owning Pul monary Edema

 Near drowning didefinisikan sebagai asfiksiasi yang diakibatkan karena inhalasi air dan masih bertahan hidup sampai minimal 24 jam setelahnya. Terdapat tiga stadium pada kasus ini. Stadium pertama adalah laringospasme akut yang diakibatkan karena inhalasi air yang sedikit (dry drowning). Hal ini akan  bermanifestasi hampir sama dengan edema paru postobstruktif. Gambaran radiologis yang dapat terlihat adalah kerley lines, peribronchial cuffing, patchy, konsolidasi alveolar perihilar. Gambaran tersebut akan hilang setelah 24 sampai 48 jam dilakukan terapi. Pada stadium kedua, masih terdapat laringospasme pada

(34)

korban, dan sebagian air akan ditelan ke perut. Pada stadium ketiga, 10-15%  pasien masih menampakkan gejala dry drowning  dikarenakan laringospasme yang  persisten, sedangkan sisanya sekitar 90% pasien, laringospasme yang terjadi akan mulai berelaksasi karena hipoksia dan aspirasi air dalam jumlah yang cukup  banyak. Pada kasus seperti ini, lesi di paru tidak lagi berhubungan dengan edema tekanan, namun lebih karena hipoksia yang dapat menyebabkan pengeluaran sitokin, dan akhirnya terjadi edema permeabilitas. Gambaran radiologis pada stadium dua dan tiga biasanya tidak spesifik. Bisa didapatkan gambaran ill-defiined lessions dan konsolidasi ruang udara lobus. Besarnya lesi tergantung dari volume air yang dihirup dan durasi dari hipoksia, maupun jenis air yang terhirup (air garam atau air segar).

Gambar 24. Gambaran edema paru pada anak berumur 5 tahun yang hampir tenggelam 1 jam sebelum dibawa ke rumah sakit. Terdapat pembesaran jantung, diffuse confluent alveolar patterns of pulmonary edema , dan  peribronchial cuffing.  Gambaran cortikal paru bersih dari edema interstitial, hal ini mengindikasikan edema berasal dari kerusakan alveolar langsung dari inhalasi air atau edema karena laringospasme dibandingkan dengan edema karena hipoksia.

(35)

Gambar 25. Gambaran foto thorax dan CT scan setelah 3 jam kejadian, menunjukkan adanya penurunan edema paru.

4.9. Edema Permeabilitas dengan DAD (dif fu se alveolar damage )

Acute respiratory distress syndrome atau ARDS merupakan istilah yang digunakan untuk akut atau subakut, lesi difus paru yang dapat menyebabkan hipoksemia berat. Lesi ini berhubungan dengan beberapa faktor persipitasi dan tidak berhubungan dengan insufisiensi jantung. Lebih lanjut, ARDS terjadi tanpa  peningkatan tekanan kapiler paru. Kerusakan difus alveolus merupakan hasil dari  beberapa faktor persipitasi, atau terjadi karena kondisi sekunder sistemik. Kerusakan langsung sel biasanya terjadi karena agen kimia, agen infeksi, cairan lambung, dan gas toksin yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada sel. Sedangkan kerusakan tidak langsung atau  secondary damage terjadi karena kaskade biokimia sistemik yang dapat menimbulkan agen oksidatif, mediator inflamasi, dan enzim yang dapat merupakan endotel, contoh penyebabnya adalah sepsis, pankreatitis, trauma berat, dan transfusi darah.

Terdapat tiga stadium pada ARDS. Stadium pertama mempunyai karakteristik edema interstitial dengan konten protein yang tinggi diikuti dengan edema alveolar dan pembentukan membran hialin. Edema cepat pada ruang alveolar menyebabkan  Kerley lines  tidak terlihat pada ARDS. Stadium kedua adalah stadium proliferasi yang berhubungan dengan eksudat fibrosa. Stadium ketiga adalah stadium fibrotik, yang mempunyai karakteristik dengan jaringan

(36)

 parut dan formasi dari  subpleural dan intrapulmonary cysts.  Pada stadium  pertama gambaran radiologis yang dapat terlihat adalah adanya edema interstitial diikuti dengan opasitas pada daerah perihilar. Selanjutnya dapat terlihat gambaran konsolidasi dengan air bronkogram jika edema sudah berlanjut ke edema alveolar. Tidak didapatkan adanya kardiomegali, apical vascular redistribution, dan Kerley lines. Pada stadium proliferasi akan terlihat gambaran  ground glass  yang opasitasnya meningkat. Pada stadium fibrotik, akan didapatkan adanya lesi  subpleural dan intrapulmonary cystic, hal ini dapat menjadi pneumotoraks.

Gambar 26. ARDS yang berhubungan dengan DAD pada pasien pria 20 tahun dengan bronkoaspirasi saat dilakukan intubasi trakea. Gambar a, b, c

(37)

menunjukkan adanya konsolidasi pada anteroposterior gradien. Hiperlusensi pada area perifer bilateral menunjukkan adanya udara yang terperangkap. Tidak terdapat Kerley lines pada gambaran di atas. Gambar d, e menunjukkan hasil CT scan 1 hari setelah pasien diposisikan secara  prone position selama 12 jam menunjukkan hasil konsolidasi yang berkurang pada bagian posterior, dan juga efusi pleura yang mulai berkurang.

Gambar 27. Gambaran atipikal ARDS yang disebabkan karena s hyok septik pada  pasien laki-laki berumur 47 tahun. Gambaran CT scan pasien tersebut

menunjukkan bilateral konoslidasi yang predominan pada bagian anterior.

Gambar 28. Edema paru yang diakibatkan karena heroin pada pasien laki-laki  berumur 19 tahun. Gambaran thorax a menunjukkan adanya edema paru difus masif. Sedangkan pada gambar thorax b menunjukkan gambaran 27 jam setelah dirawat menunjukkan resolusi edema paru. Perubahan edema ini mungkin dapat disebabkan karena intubasi dan ventilasi tekanan positif pada pasien.

(38)

4.10. Edema Permeabilitas tanpa DAD

Edema permeabilitas tanpa DAD berarti tidak adanya kerusakan sel pada kondisi patologis. Beberapa kondisi edema permeabilitas tanpa DAD adalah edema paru dikarenakan heroin, edema paru yang mengikuti sitokin, dan high-altitude pulmonary edema.

4.10.1. Edema Paru dikarenakan Heroin

Edema paru yang terjadi secara langsung berhubungan dengan kondisi overdosis dari opiat, heroin, atau cocain. Edema paru terjadi pada 15% kasus overdosis heroin dengan mortalitas 10%. Overdosis heroin dipercaya akan menyebabkan depresi dari pusat pernafasan yang akan menimbulkan hipoksia dan asidosis, yang keduanya dapat menyebabkan edema permeabilitas tanpa DAD. Kondisi absen-nya DAD dapat diduga karena resolusi yang terjadi secara cepat. Gambaran radiologi dari edema paru dikarenakan heroin tidak dapat dibedakan dengan gambaran radiologi dari edema permeabilitas tanpa DAD lainnya. Manifestasinya berupa  patchy,  bilateral konsolidasi, ill-defined vessels, dan  peribrochial cuffing . Sering terjadi komplikasi berupa insufisiensi ginjal dan

aspirasi cairan lambung pada kondisi ini.

Gambar 29. Edema paru yang diakibatkan karena heroin pada pasien laki-laki  berumur 24 tahun yanng dibawa ke RS dengan GCS 3. Gambar a merupakan foto thorax dengan edema paru kanan dengan posisi right lateral decubitus. Gambar b

(39)

merupakan gambar thorax setelah 28 jam, yang menunjukkan resolusi cepat infiltrat pada paru.

4.10.2. Edema Paru yang Mengikuti Sitokin

Interleukin atau IL-2 merupakan glukoprotein memiliki aktivitas tumoricidal yang berguna pada pasien dengan metastase melanoma dan metastase adenocarcinoma ginjal. Sitokin lain yang mungkin berpengaruh adalah TNF (tumor necrosis factor). Baik IL-2 maupun TNF dapat menimbulkan gangguan  permeabilitas tanpa DAD yang akhirnya dapat menimbulkan edema paru. Sitokin

ini lebih sering menyerang pada sel endotel kapiler. Gambaran radiologis pada keadaan ini adalah bilateral simetris interstitial edema dengan penebalan  septal lines, dan tidak didapatkannya adanya edema alveolar. Selain itu  peribronchial cuffing juga didapatkan pada 75% kasus.

Gambar 30. Edema paru yang mengikuti sitokin pada wanita berusia 37 tahun dengan melanoma maligna. Gambaran radiologis didapatkan bilateral difus edema  paru dengan  peribronchial cuffing (tanda panah hitam), pelebaran hilus,

ill-defined vessels,  dan efusi pleura. Tidak ada daerah alveolus yang opasitasnya meningkat.

(40)

4.10.3. High-altitude Pulmonary Edema

High-altitude pulmonary edema adalah kondisi fatal yang terjadi pada individu yang sebelumnya sehat. Hal ini terjadi karena prolong exposure dari lingkungan yang mengandung sedikit tekanan oksigen atmosfir. Hal ini sering terjadi pada anak muda yang sering naik gunung dengan ketinggian lebih dari 3.000 meter. Manifestasi klinisnya antara lain adalah dyspneu saat istriahat, batuk dengan sputum pink, dan gangguan neurogenik yang terjadi karena edema otak.

Proses patofisiologinya masih kontroversial. Namun beberapa peneliti setuju bahwa kondisi hipoksia akut menyebabkan vasokontriksi heterogen yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal. Akibatnya, terjadi kebocoran endotel yang akan menyebabkan edema interstitial dan alveolar tanpa disertai DAD. Kebocoran vaskuler ini menyebabkan akumulasi cairan yang berisi protein tinggi, yang nantinya akan membentuk sputum yang berbusa. Keadaan ini akan cepat membaik dengan terapi yang adekuat dengan oksigen dan vasodilator paru. Gambaran radiologis pada kondisi ini adalah edema interstitial sentral,  peribronchial cuffing, ill-defined vessels, patchy, dan konsolidasi asimetris.

Beberapa Kerley lines mungkin dapat terlihat.

Gambar 31. High-altitude pulmonary edema pada pasien wanita berusia 30 tahun yang sedang mendaki sampai ketinggian 4.500 m. Gambaran radiografi dan CT scan menunjukkan adanya konsolidasi yang sebagian besar berada di korteks paru. Tidak ada kerley lines ataupun efusi pleura yang terlihat.

(41)

4.11. Edema Paru Neurogenik

Edema paru neurogenik terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan gangguan otak berat seperti pada trauma, perdarahan subaraknoid, stroke, maupun status epileptikus. Diagnosis dari edema paru neurogenik dibuat menggunakan metode eksklusi. Penyebabnya masih kontroversional, beberapa mengemukakan kombinasi antara faktor yang mempengaruhi edema hidrostatik dan faktor yang mempengaruhi edema permeabilitas tanpa DAD. Gejala dari edema paru neurogenik ini diantaranya adalah dispneu, takipneu, dan sianosis yang terjadi setelah adanya gangguan pada otak. Gejala dan tanda ini akan berkurang secara cepat pada kebanyakan kasus. Gambaran radiografi pada kasus ini adalah adanya  bilateral, homogen konsolidasi, dengan predominasi apices pada 50% kasus.

Gambaran radiologi ini biasanya menghilang setelah 1-2 hari.

Gambar 32. Edema paru neurogenik pada pasien wantia berumur 54 tahun dengan perdarahan intrakranial karena hipertensi arteri. Gambar a. menunjukkan foto rontgen thorax dengan gambaran konsolidasi yang predominan pada daerah apices. Tanpa disertai efusi pleura,  Kerley lines, maupun ukuran jantung yang abnormal. Gambar b. menunjukkan CT scan dengan gambaran konsolidasi alveolar pada sentral paru, dan penebalan septum interlobus (tanda panah hitam). 4.12. Edema Paru karena Emboli Udara

Edema paru karena emboli udara sangat jarang terjadi, dan biasanya terjadi karena komplikasi iatrogenik atau karena prodesur yang invasif, seperti pada

Gambar

Gambar 4. Klasifikasi Edema Paru 3.1. Edema Paru Kardiogenik
Gambar 5. Klasifikasi Edema Paru Kardiogenik 3.1.1. Etiologi
Gambar 6. Etiologi Edema Paru Non-Kardiogenik
Gambar 7. Toxin Penyebab Tersering Non-Kardiogenik
+7

Referensi

Dokumen terkait

[11] Söz konusu bilgi, Platon için çok büyük bir önemi olan tümdengelimsel bir bilgi olmakla birlikte, Platon matematiği iki bakımdan eleştirir.. Buna göre,

Penertiban pasar simpang aur (Jalan AURI) yang selama ini ditempati untuk berjualan, dan sekarang jalan tersebut telah dapat dimanfaatkan sesuai fungsinya

Untuk melakukan pengukuran kinerja dengan melihat variabel kunci kemudian dikembangkan Pada unit kerja yang bersangkutan untuk dapat diketahui tingkat pencapaian

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Peran Dinas Pertanian dan Kehutanan Terhadap Pengawasan Hutan Lindung (Studi Kasus Desa Gunung Kijang Kecamatan Gunung Kijang

Use Case : buku serah kantung, daftar kantung, buat lap periodik, buat lap bulanan, buat lap kinerja harian, buat lap periodik incoming, buat lap hasil uji

Area penyimpanan, persiapan, dan aplikasi harus mempunyai ventilasi yang baik , hal ini untuk mencegah pembentukan uap dengan konsentrasi tinggi yang melebihi batas limit

Berdasarkan paparan istilah di atas, maka yang dimaksud dengan judul skripsi ini adalah kajian Hukum Islam mengenai penerapan uang muka dalam kegiatan sewa

[r]