• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 pasal 3, bahwa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 pasal 3, bahwa"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap

Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 pasal 3, bahwa wilayah provinsi, sebagaimana yang dimaksud pasal 2 ayat 1, terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Wilayah pesisir dan pulau dipandang dari segi pembangunan merupakan potensi sumberdaya yang dapat diperbaharui (pulih), terdiri atas : perikanan laut (tangkap, budidaya, dan pascapanen), hutan mangrove, terumbu karang, industri bioteknologi kelautan dan pulau-pulau kecil (Dahuri, 2001). Secara khusus, sumberdaya perikanan tangkap dikelompokkan ke dalam 4 kelompok yakni (Naamin, 1987):

1. Sumberdaya ikan demersal, yaitu jenis ikan hidup di atau dekat perairan. 2. Sumberdaya pelagis kecil, yaitu jenis ikan yang berada di permukaan.

3. Sumberdaya pelagis besar, yaitu jenis ikan oseanik yang berada di permukaan dan sangat jauh dari lepas pantai, seperti tuna dan cakalang.

4. Sumberdaya udang dan biota laut non ikan lainnya.

Perikanan tangkap menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003) adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Berdasarkan pengelolaannya, UU No. 22 Tahun 1999 pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada pasal 3, meliputi (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, (2) pengaturan kepentingan administrasi, (3) pengaturan tata ruang, (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah yang

(2)

dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, dan (5) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Selanjutnya pasal 10 ayat 3 dijelaskan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi.

Berdasarkan kewenangan yang diberikan dalam pengelolaan sumberdaya tersebut, maka setiap orang dapat memanfaatkan dan masuk dalam industri perikanan. Setidaknya ada dua rejim pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu rejim akses terbuka (open access regime) dan rejim pengelolaan secara terpusat (centrally planned management). Perbedaan kedua rejim ini terletak pada terkontrol-tidaknya pengelolaan sumberdaya dan bebas-tidaknya nelayan melakukan ekspansi penangkapan ikan baik secara teknologi, hari menangkap ikan maupun daerah penangkapan. Walaupun akses terbuka seringkali disamakan dengan milik bersama (common property) namun pada dasarnya keduanya memiliki arti yang sangat berbeda. Sumberdaya milik bersama dapat saja pemanfaatannya terkelola dengan baik karena memang ada yang memilikinya atau kepemilikan bersama (co-owners). Di luar dari kelompok pemilik, pemanfaatan sumberdaya tidak dapat diikutkan, oleh karena akan menimbulkan kesukaran bagi kelompok pemilik sumberdaya (exclusion). Karena sumberdaya akses terbuka tidak dimiliki oleh siapapun, maka tidak ada yang bisa mengeluarkan seseorang dari mengkonsumsi suatu sumberdaya sehingga lebih sering tidak tertata dalam pemanfaatannya (Fox, 1992).

Keadaan sumberdaya perikanan yang bebas dan liar pada tingkatan tertentu dapat dikategorikan sebagai suatu sumberdaya akses terbuka. Sebagai suatu akses terbuka, berarti bahwa sumberdaya perikanan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap orang. Bila industri masih memiliki keuntungan super normal dan merupakan insentif bagi pendatang baru (new entrans) untuk masuk ke dalam industri, maka

(3)



seseorang dengan modal dan keterampilan yang dimilikinya dapat dengan bebas masuk ke dalam industri tersebut. Namun jika dirasakan usaha perikanan tidak lagi menguntungkan, dia dengan bebas juga dapat keluar dari industri atau kegiatan ini. Pada saat yang sama mereka yang sudah terlebih dahulu ada dalam industri akan memperluas atau meningkatkan usahanya (Clark et al., 1985).

Masuknya pendatang baru ke dalam industri perikanan serta perluasan usaha oleh mereka yang terlebih dahulu ada disana akan membuat upaya intensitas penangkapan ikan bertambah karena modal yang bertambah. Namun karena ikan yang diusahakan terbatas, tambahan modal ini akan menurunkan produktivitas marginal dan produktivitas rata-rata. Secara ekonomi, gejala penurunan produktivitas ini sepatutnya menjadi peringatan atau tanda bagi nelayan untuk ke luar dari industri. Namun demikian karena kesulitan dalam mengalihkan investasi, faktor musim, ketidakpastian (uncertainty) usaha serta resiko yang diambil (risk taker) dalam bentuk harapan hasil tangkapan yang lebih baik di waktu yang akan datang, maka nelayan akan terus berusaha dan bila mungkin terus meningkatkan kapasitas penangkapan ikan (Clark et al., 1985). Bila ini terjadi, penangkapan ikan secara berlebihan (biological overfishing) terjadi secara bersama dengan kelebihan investasi (economic overfishing) (Nikijuluw et al., 2000).

2.2. Kebijakan Sektor Perikanan Kabupaten Morowali

Kabupaten Morowali sebagai salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan meliputi sebagian dari Laut Banda yakni perairan Teluk Tolo. Saat ini upaya pengkajian stok ikan di perairan Teluk Tolo masih sangat terbatas pelaksanaannya. Departemen Kelautan dan Perikanan (2003), bahwa total potensi perikanan Laut Banda

(4)



mencapai 248.40 ribu ton pertahun, dimana potensi terbesar ikan Pelagis Kecil 132.00 ribu ton pertahun dengan tingkat pemanfaatan 29.6% dan ikan Pelagis Besar 104.12 ribu ton dengan tingkat pemanfaatan 27.6%. Dirjen Perikanan Tangkap (2003) memberikan informasi potensi ikan Pelagis Besar terutama ikan Cakalang di perairan Teluk Tolo yakni 26.20 ton pertahun. Ini berarti bahwa 25.16% potensi Pelagis Besar di Laut Banda merupakan potensi perikanan di perairan Teluk Tolo.

Mengingat kegiatan pemanfaatan sumberdaya (produksi) ikan terkait dengan kelestarian sumberdaya perikanan, maka semua kebijakan yang diterapkan mempertimbangkan keberadaan sumberdaya dalam jangka waktu yang relatif lama. Ketentuan Umum Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang perikanan, bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan adalah semua upaya termasuk kebijakan dan non-kebijakan yang bertujuan agar sumberdaya itu dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung secara terus-menerus. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, membuka peluang yang lebih besar bagi daerah (Kabupaten dan Kota), guna mengoptimalkan pengelolaan kawasan pesisir dan laut secara sinergis, mengatur memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjamin fungsi keseimbangan lingkungan. Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh daerah memang terdapat keuntungan, tetapi juga sekaligus menjadi beban dan tanggungjawab daerah dalam pengendalian dan pengelolaannya.

Pembatasan tekonologi alat tangkap, pembatasan jumlah effort dan pengendalian daerah penangkapan ikan merupakan pengendalian secara biologi. Pengendalian secara ekonomi menggunakan peubah ekonomi sebagai instrumen pengendalian upaya penangkapan ikan. Peubah ekonomi yang relevan dalam menunjang pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal meliputi : harga ikan,

(5)



subsidi BBM, pajak dan biaya izin penangkapan ikan (Nikijuluw, 2002), pengembangan alternatif lapangan kerja nelayan (Pascoe and Mardle, 2001 ; Kjoersgaard and Andersen, 2003), pemberian kredit, pengembangan prasarana pelabuhan perikanan, peningkatan keterampilan nelayan dan pengembangan agribisnis perikanan (Kjoersgaard and Andersen, 2003).

Kebijakan di sektor Kelautan dan Perikanan Kabupaten Morowali, selanjutnya dikelompokkan sebagai berikut :

2.2.1. Kebijakan Harga Input

Bahan bakar minyak (solar, bensin dan minyak tanah) merupakan komponen dalam kegiatan penangkapan ikan di perairan. Selama pemerintahan Orde Baru, kebijakan subsidi BBM bagi masyarakat telah dilakukan, walaupun dalam penyalurannya menunjukkan ketidakefektifan. Pada periode yang sama, kebijakan subsidi BBM di sektor perikanan belum ditempuh pemerintah dan ada indikasi sektor ini tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Kebijakan subsidi BBM di sektor perikanan baru terlihat saat dibukanya kementrian Kelautan dan Perikanan. Istilah subsidi BBM pun diganti dengan peningkatan aksesibilitas penggunaan BBM yang dilakukan dengan cara pendirian Sentra Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dekat dengan pusat produksi perikanan.

Demikian pula penyediaan prasarana pabrik es guna mendukung operasi melaut yang lebih lama tidak tersedia sehingga pengadaannya diperoleh dari Provinsi Sulawesi Tenggara yang harganya relatif mahal. Peningkatan mutu keterampilan nelayan setempat terutama yang mengoperasikan alat tangkap Purse seine dan Rawai Tuna perlu dilakukan, mengingat tenaga kerja yang digunakan saat ini umumnya berasal dari Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Tenggara.

(6)



2.2.2. Kebijakan Pengembangan Teknologi

Pengembangan teknologi penangkapan ikan di Kabupaten Morowali umumnya berlangsung secara alamiah tanpa intervensi pemerintah. Upaya yang dilakukan nelayan terbatas pada penambahan jumlah dan jenis alat tangkap, peningkatan jumlah dan ukuran perahu motor lebih besar dari perahu tanpa motor, sementara modernisasi alat tangkap masih sangat terbatas.

Pengembangan motorisasi armada perahu layar ukuran kecil dengan alat penangkapan ikan tradisional seperti bubu, jaring insang dan pancing dari perahu layar ke perahu bermotor tempel. Tahapan selanjutnya pengembangan perahu motor tempel menjadi perahu motor “dalam” yang merupakan modifikasi perahu layar ukuran besar (3-5 GT) yang dilengkapi dengan pemasangan mesin motor di dalam palka. Alat tangkap yang umum digunakan yakni Jaring Insang dan Purse seine.

Penambahan jumlah alat tangkap berlangsung secara alami seiring dengan peningkatan jumlah kebutuhan konsumsi ikan dan pertambahan jumlah penduduk. Heterogenitas alat tangkap yang terjadi, selain disebabkan oleh masuknya nelayan dari daerah lain yang membawa inovasi baru alat penangkapan ikan seperti Purse seine dan Rawai Tuna, juga disebabkan oleh perubahan harga beberapa jenis ikan. Pengembangan teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap Purse seine bagi nelayan di Kabupaten Morowali telah berlangsung cukup lama. Purse seine dimodifikasi sebagai alat tangkap sederhana menjadi alat tangkap “Giop”, yang diperuntukkan bagi penangkapan ikan Layang dan ikan Roa. Pengembangan Purse seine dengan sistem moderen guna penangkapan beberapa jenis ikan Pelagis kecil, baru dilakukan pada tahun 1995. Pada tahun 2003, diluncurkan program pengembangan usaha perikanan, termasuk Purse seine dengan bantuan 5 unit alat tangkap kepada nelayan di Kecamatan Bungku Selatan. Alat

(7)



tangkap Purse seine merupakan milik pemerintah setempat yang dikelola nelayan dan suatu saat akan menjadi milik kelompok nelayan. Pengalihan kepemilikan ini dilakukan dengan bagi hasil, caranya adalah bagian yang diterima pemerintah dari hasil penjualan dianggap sebagai cicilan pinjaman dari usaha alat tangkap, sehingga pada jangka waktu tertentu alat tangkap menjadi milik kelompok nelayan (Tim Penyusun Renstra Perikanan dan Kelautan, 2001).

2.2.3. Kebijakan Agribisnis Perikanan

Peluang bisnis kelautan dan perikanan setidaknya dapat dilihat dari dua faktor, yakni (1) faktor internal berupa potensi sumberdaya kelautan dan perikanan, potensi sumberdaya manusia, teknologi, sarana dan prasarana serta pemasaran, dan (2) faktor eksternal yang berkaitan dengan aspek permintaan produk perikanan dan syarat-syarat yang menyertai permintaan tersebut dalam persaingan dengan daerah atau negara lain (Erwadi dan Syafri, 2003).

Secara umum perdagangan hasil perikanan dunia yang berasal dari hasil penangkapan memperlihatkan nilai pertumbuhan impor dunia selama periode 1994-1997 yang meningkat rata-rata 1.23% per tahun dalam volumenya dan 3.8% pertahun dalam nilainya. Tahun 1997 kebutuhan impor dunia mencapai volume 21 juta ton dengan nilai US$ 56 milyar. Tingkat permintaan ikan domestik dan ikan ekspor dari total produksi ikan Indonesia mencapai 60.25% dan 8.13%. Di masa mendatang diperkirakan permintaan dan harga ikan dunia akan meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, kualitas hidup dan pergeseran pola konsumsi masyarakat serta faktor sarana-prasarana perikanan yang mendukung.

Rencana strategis (Renstra) sektor kelautan dan perikanan Kabupaten Morowali, peningkatan harga ikan dan kesejahteraan nelayan ditempuh melalui

(8)



pengembangan koperasi perikanan dan pelaksanaan pelelangan ikan secara murni dan terbuka. Disamping itu, kebijakan peningkatan mutu ikan ditempuh melalui pengenalan rantai dingin (cold chain system) dan penggunaan es untuk memelihara mutu dan peningkatan harga ikan. Guna mendukung pengembangan bisnis yang akan berlangsung diperlukan peningkatan kinerja dan daya saing melalui : (1) proses peningkatan nilai tambah beberapa komoditi perikanan melalui diferensiasi pengembangan industri agribisnis, (2) peningkatan kerjasama antar daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dalam pemanfaatan sarana dan prasarana yang lebih optimal, dan (3) terbukanya kemungkinan kerjasama kemitraan dengan luar negeri. Kebijakan pendukung pengembangan bisnis sektor kelautan dan perikanan lain yakni insentif fiskal dan moneter yang mendorong tumbuhnya pengembangan bisnis sektor ini. Pengalokasian investasi pemerintah pusat dan daerah umumnya diarahkan pada pengembangan modal dan pengembangan infrastruktur daerah.

2.2.4. Kebijakan Perluasan Daerah Penangkapan 4-12 Mil

Perluasan daerah penangkapan ikan oleh nelayan kecil bergeser sejalan dengan peningkatan ukuran dan konstruksi kapal, jenis alat tangkap ikan yang digunakan dan tenaga kuda (horse power, HP) mesin kapal. Berkaitan dengan ukuran kapal tersebut, kesepakatan pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Pulau Sulawesi menetapkan batas besarnya kapal ikan skala kecil yaitu pada ukuran maksimum 30 GT. Batasan tersebut berkaitan dengan kewenangan pemberian ijin penangkapan ikan, termasuk jangkauan daerah penangkapan ikan.

Kebijakan yang berkaitan dengan ijin perikanan hanya diberlakukan bagi kapal penangkapan ikan skala besar, baik nelayan domestik maupun nelayan asing dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1990. Demikian pula

(9)



pasal 10 UU Perikanan tahun 1985 bahwa mewajibkan setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan untuk memiliki ijin usaha perikanan, kecuali bagi nelayan kecil atau perorangan lainnya yang sifat usahanya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak dikenakan kewajiban memiliki ijin usaha perikanan.

Dasar pengelolaan perikanan Kabupaten Morowali mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999, wewenang daerah dalam mengelola sumberdaya laut mencakup : (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas 4 mil untuk pemerintah kabupaten/kota dan 12 mil untuk pemerintah provinsi, (2) pengaturan kepentingan administratif, (3) pengaturan tata ruang, (4) penegakan hukum, dan (5) penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Selanjutnya dalam UU No. 25 Tahun 2000, pasal 2 ayat 3 (2) dan Pasal 3, ayat 5 (2) diatur kewenangan dalam bidang kelautan berupa penetapan kebijakan dan pengaturan yang berkaitan dengan pelaksanaan UU No.22/1999 meliputi penataan dan pengelolaan sumberdaya perairan, konservasi, ijin usaha dan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan.

2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Pengembangan model ekonomi perikanan pada dasarnya berbeda dengan model ekonomi produksi pertanian umumnya. Perbedaan utama terletak pada hak kepemilikan sumberdaya. Ekonomi pertanian memiliki ketergantungan yang tinggi pada penguasaan lahan pertanian yang mengenal hak milik pribadi (private property}, sementara perikanan memiliki ketergantungan yang tinggi pada penguasaan teknologi penangkapan ikan dan sumberdaya alam milik umum (common property). Christy dan Scott (1966) mengemukakan bahwa, karena

(10)



sifatnya yang open access, sumberdaya laut dapat digunakan oleh lebih dari satu individu (satuan ekonomi) atau tidak ada seorangpun yang berhak khusus untuk menggunakan sumberdaya tersebut dan tidak seorangpun yang dapat melarang untuk memanfaatkannya. Pengguna boleh masuk secara tak terbatas untuk bersaing yang bisa mengantarkan pada over eksploitasi (overfishing) dan penggunaan sumberdaya yang inefisien. Hal ini disebabkan karena nelayan yang dalam perikanan bebas terbuka (open access fishery), akan tetap memilih bertahan di sektor perikanan selama biaya rata-rata sama dengan penerimaan rata-ratanya. Hal ini bertentangan dengan perilaku maksimisasi profit dari seorang produsen (firm) yang umum diterangkan dalam teori ekonomi mikro, dimana produsen berusaha untuk menyamakan penerimaan marjinal dengan biaya marjinalnya.

Model ekonomi perikanan (bionomik) telah diaplikasikan dengan beberapa modifikasi, salah satu diantaranya menggunakan model optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan. Bentuk penelitian lain tentang perikanan juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan kajian utama menggunakan model ekonomi rumahtangga dan analisis pendapatan nelayan. Ada beberapa aspek yang dikaji dalam model bionomik perikanan dengan memasukkan model optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan, yakni : aspek biologi (teknis), aspek ekonomis dan aspek manajemen sumberdaya perikanan.

2.3.1. Aspek Biologi Perikanan

Penelitian-penelitian yang mengkhususkan pada model ekonomi perikanan pada umumnya mengacu pada kelestarian sumberdaya ikan semenjak ahli biologi Schaefer pada tahun 1954 yang mengembangkan model pertumbuhan ikan (O’Rourke,1971). Model ini menggunakan data time series untuk menduga fungsi

(11)



produksi perikanan (yield function), yakni hasil tangkapan adalah fungsi kuadratik dari jumlah perahu. Hasil estimasi dari yield function ini selanjutnya digunakan untuk menduga Maximum Sustainable Yield (MSY) ikan di California. Model lain yang agak mirip telah digunakan oleh Gallastegui (1983) untuk menduga fungsi produksi ikan Sardin di Spanyol, modelnya menggunakan bentuk logaritmit serta memasukkan variabel tangkapan tahun sebelumnya sebagai variabel eksogen untuk memproksi stok ikan serta variabel usaha yang diproksi dengan jumlah lampu setiap perahu. Hasilnya menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan Sardin yang diperoleh telah melampaui MSY. Model produksi perikanan lainnya, mengasumsikan bahwa sumberdaya ikan penuh dengan ketidakpastian hasil akibat ketidakpastian kepulihan sumberdaya. Oleh karenanya pendekatan model yang digunakan adalah model stokastik dari regenerasi sumberdaya, dimana secara empiris variabel dependennya menggunakan pertumbuhan biomass ikan dan usaha (Clark et al., 1985).

Model produksi yang tidak menggunakan teori pertumbuhan ikan dari Schaefer adalah menggunakan teori pertumbuhan ikan yang dikembangkan oleh Beverton and Holt (1957), bahwa jumlah biomass yang tinggal setelah usaha penangkapan ikan dilakukan sama dengan kelipatan usaha dari proporsi biomass yang hilang setiap unit usaha. Hasil tangkapan ikan tidak dipengaruhi secara terpisah oleh cadangan ikan dan usaha seperti model umum, tetapi dipengaruhi secara interaksi antara cadangan ikan dan usaha (Pauly and Soriano, 1986).

Pendugaan populasi ikan tertentu dengan menggunakan metode Scahefer di Pantai Barat Sumatera menemukan bahwa potensi pemanfaatan (MSY) ikan pelagis (ikan Kembung dan ikan Tongkol) dengan menggunakan Purse seine masih relatif tinggi. Hasil tangkapan ikan per upaya dari alat tangkap Pancing Tonda, Rawai Hanyut dan Jaring Ijo memperlihatkan bahwa perairan Bengkulu relatif tinggi

(12)



potensi ikan pelagisnya (Haluan, 1994). Analisis bionomik sumberdaya di perairan Jawa dan Maluku menemukan bahwa selama dekade 20 tahun terakhir, telah terjadi fluktuasi jumlah alat standar penangkapan ikan pelagis kecil dan alat tangkap Trammel Net untuk udang di Jawa Tengah. Selain itu, terjadi kecenderungan over eksploitasi sumberdaya ikan dan jika eksploitasi tetap dilakukan (dikembangkan) maka perlu diarahkan pada areal fishing ground yang belum padat penangkapannya atau diperlukan adanya diversifikasi alat tangkap. Potensi sumberdaya ikan di perairan Maluku belum dieksploitasi secara penuh sehingga perlu mendorong ekspansi industri melalui penambahan upaya penangkapan. Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa sebagian dari alat tangkap masih menghasilkan rentabilitas dan pendapatan sosial yang cukup tinggi, seperti Gillnet dan Payang. Sementara, rentabilitas dan pendapatan sosial yang diterima dari Mini Purse seine, Trammel net, Jaring Arat, Rawai dan Bagan, relatif sangat kecil (Nikijuluw et al., 2000).

Pendugaan parameter populasi ikan yang meliputi laju pertumbuhan, mortalitas, pola rekrutmen, relatif hasil dan biomassa per rekrutmen serta laju eksploitasi ikan yang mendominasi hasil tangkapan nelayan serta pendugaan total hasil tangkapan dilakukan oleh Kartamihardja (2000) di Danau Tondano Sulawesi Utara. Hasil tangkapan relatif per rekrutmen (Y/R) dan biomassa relatif per rekrutmen (B/R) diduga dengan menggunakan model Beverton dan Holt. Sementara pendugaan hasil tangkapan pada periode tertentu menggunakan persamaan Williams. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju eksploitasi ikan Payangka dan Mujair menunjukkan telah berada sedikit di atas tingkat optimumnya sehingga usaha pengelolaan sumberdaya ikan tersebut perlu diatur melalui pembatasan tingkat eksploitasinya.

(13)



2.3.2. Aspek Ekonomi Perikanan

Fenomena ekonomi menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah endogen maupun eksogen yang membedakan model ekonomi pertanian dengan ekonomi perikanan, yakni : (1) kepemilikan asset, (2) daerah produksi (penangkapan ikan) yang berbeda, (3) sistem bagi hasil dalam pengaturan upah, dan (4) peubah kebijakan. Sehubungan dengan hal tersebut, kemampuan nelayan untuk memaksimumkan hasil tangkapan ikan ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain : (1) modal kerja atau investasi (perahu/motor dan jenis alat tangkap), (2) potensi sumberdaya perairan atau daerah operasi penangkapan ikan di laut, (3) hari kerja efektif melaut, (4) kemudahan untuk memasarkan hasil tangkapan dengan harga yang wajar, dan (5) biaya operasi/produksi penangkapan ikan (Smith, 1987).

Kepemilikan asset kapal rumahtangga nelayan pada usaha penangkapan ikan adalah analog dengan penguasaan luas areal lahan pada ekonomi rumahtangga petani yang lazim digunakan untuk pemodelan ekonomi rumahtangga petani. Mengingat besarnya tonage (ukuran mesin) kapal berhubungan langsung dengan produktifitas dan produksi tangkapan, maka untuk menduga produksi nelayan, disamping didasarkan atas teknologi alat tangkap dan jumlah kapal, juga ditentukan oleh tonage kapal yang dimiliki (Muhammad, 2002). Kepemilikan asset (kapal) dipengaruhi oleh penerimaan atau pendapatan melaut dan non-melaut, jumlah tenaga kerja dan jumlah sarana produksi (Aryani, 1994 dan Reniati, 1998).

Namun demikian, modernisasi dalam kepemilikan asset perikanan seringkali menyebabkan juga berbagai permasalahan, antara lain : ketimpangan antar nelayan (buruh dengan pemilik kapal) karena kesempatan untuk memperoleh bantuan teknologi dan modal seringkali bias pada segelintir nelayan (Kusnadi, 2000). Oleh karena itu pembangunan perikanan yang diharapkan sebagai sumber pertumbuhan

(14)



baru, lebih diarahkan pada penyediaan sarana dan prasarana produksi antara lain modernisasi jenis alat tangkap dan motorisasi armada penangkapan ikan. Motorisasi berdampak pada mobilitas nelayan lebih cepat dan frekuensi melaut yang lebih tinggi, sehingga mempengaruhi hasil tangkapan ikan. Selain itu, kondisi ini menyebabkan nelayan dapat menentukan daerah operasi penangkapan ikan dan mampu meningkatkan hasil tangkapan ikan (produksi) pada saat musim dimana kemampuan nelayan untuk melaut sangat terbatas (Allsopp, 1985).

2.3.3. Aspek Manajemen Perikanan

Analisis ekonomi dari berbagai alternatif manajemen perikanan telah dicoba dilakukan di Malaysia yang menggunakan model Schaefer. Model kuadratik dari fungsi penangkapan ikan yang digunakan, memasukkan variabel bebas capital intensive dan labor intensive dari berbagai jenis alat penangkapan ikan dari berbagai wilayah perairan. Hasil menunjukkan bahwa usaha penangkapan ikan dengan capital intensive dengan menggunakan teknologi moderen lebih efektif daripada usaha yang menggunakan labor intensive dengan teknologi tradisional. Kebijakan pajak akan membawa ke penggunaan sumberdaya yang kurang optimal, dan kebijakan subsidi akan mempercepat pengurasan sumberdaya ikan. Sementara itu, pembatasan kapal akan memperpanjang potensi sumberdaya ikan dan mampu membawa peningkatan rent ekonomi produksi lestari untuk tujuan peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja (Mustapha, 1984 dalam Soepanto, 1999).

Optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan tujuan untuk mengetahui jumlah alat tangkap, kapal penangkap ikan yang seharusnya dioperasikan guna mensejahterakan nelayan dilakukan dengan pendekatan Multiobjective Goal Programming. Pertimbangannya bahwa hasil penelitian

(15)



diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Kebutuhan yang dimaksud yakni optimalisasi total hasil tangkapan ikan, jumlah hari kerja operasi, penggunaan BBM dan jumlah alat tangkap optimal (Panjaitan et al., 1995). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sasaran pengendalian hasil tangkapan, pengendalian jumlah hari operasi, pengendalian penggunaan BBM dan pengendalian pemakaian jumlah dan luas jaring dapat dicapai sesuai target. Selanjutnya terdapat unit penangkapan ikan yang perlu ditambah adalah Jaring Insang, Trammel Net, Bagan Perahu dan Tonda, sedangkan unit penangkapan ikan dikurangi adalah Pancing Ulur.

Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan menggunakan multiobjective goal programming model juga dilakukan dengan memasukkan faktor profit maksimum, penyerapan dan keselamatan tenaga kerja, ketersediaan input bagi industri perikanan, pembatasan penangkapan dan dampak industri perikanan terhadap perdagangan ikan non komersil. Faktor-faktor tersebut merupakan tujuan pengelolaan perikanan yang ingin dicapai targetnya (Pascoe and Mardle, 2001; Kjoersgaard and Andersen, 2003). Sementara Rawung (1999) dan Ihsan (2000) melakukan penelitian tentang pendugaan potensi sumberdaya (MSY) dengan menggunakan model Schaefer yang dikombinasikan dengan optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang menggunakan metode analisis program linear. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan karang dengan menggunakan enam alat tangkap ikan ternyata efektif untuk digunakan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan masih dibawah tingkat MSY.

Referensi

Dokumen terkait

I genomsnitt för samtliga försök 1992-96 gav led C (extra tidig sådd) l procent högre skörd än led B (tidig sådd) och konventionell sådd, som gav samma skörd. Slutsatsen är

Dilatar belakangi pembelajaran matematika yang membuat siswa jenuh terutama dalam berhitung yang mana Pada kondisi awal pembelajaran /pra siklus hasil belajar siswa masih rendah,

3.5 Mengenal teks diagram /label tentang anggota keluarga dan kerabat dengan bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata

Tujuan mendasar dari sistem suspensi atau peredam kendaraan di atas permukaan tanah adalah untuk mempertahankan kontak terus menerus antara roda dan permukaan jalan, dan

Aktiva tetap berwujud adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan,

Ada pun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “apakah melalui penerapan strategi Multiple Intelligence dapat meningkatkan aktivitas belajar

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah perusahaan telekomunikasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) di prediksi akan mengalami kebangkrutan atau tidak

Tabel distribusi frekuensi berdasarkan shift (kerja gilir) menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi yang baik terkait shift kerjanya, yakni sebanyak 67 orang