• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Polip Hidung 2.1.1 Definisi

Polip hidung ialah penyakit inflamasi kronik dari mukosa hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya massa edematus bertangkai dari mukosa yang mengalami inflamasi. Kebanyakan polip berasal dari celah kompleks ostiomeatal yang meluas keseluruh rongga hidung (Kirtsreesakul, 2005). Polip merupakan lesi massa paling sering dijumpai di hidung (Hosemann, Gode & Wagner, 1994).

2.1.2 Epidemiologi polip hidung

Prevalensi polip hidung sekitar 2-4% dari populasi umum dengan prevalensi yang cenderung meningkat seiring bertambahnya usia (Bachert, 2011). Insiden paling tinggi pada rentang usia 40-60 tahun. Polip hidung sangat jarang dijumpai pada anak-anak. Jika ada massa di hidung anak-anak yang menyerupai polip, kemungkinan besar merupakan suatu kistik fibrosis (Pearlman, et al., 2010). Prevalensi polip hidung pada orang dewasa di Swedia sekitar 2,7% (Akerlund, 2003). Polip hidung sering bersamaan dengan gangguan pada saluran nafas bawah seperti asma dan hiperaktifitas bronkial yang tidak spesifik (Kramer & Rasp, 1999). Hamadi (2004) melakukan penelitian di Divisi Rinologi Departemen THT-KL FK UI-RSCM dengan mendapatkan prevalensi polip hidung yang berhubungan dengan angka infeksi bakterial yang tinggi. Munir (2008) melaporkan selama Maret 2004 sampai Februari 2005 kasus baru polip hidung sebanyak 26 orang dengan kecenderungan peningkatan insiden pada dekade 4 dan 5. Dewi (2011) melaporkan selama 2010 didapatkan kasus baru polip hidung sebanyak 43 orang dimana insiden tertinggi pada dekade 4 dan 5. Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan penderita polip hidung sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik THT-KL RS.Dr. Soetomo Surabaya. Indrawati (2011) di RS DR. Sardjito

(2)

Yogyakarta, melaporkan terdapat 24 penderita polip baru. Sembiring (2014) melaporkan 30 kasus baru polip hidung selama 1,5 tahun dengan insiden yang tinggi pada usia ≥ 40 tahun.

2.1.3 Makroskopis polip hidung

Secara makroskopik polip hidung tampak sebagai lesi non-neoplastik yang merupakan edema mukosa sinonasal yang prolaps ke dalam rongga hidung (Choi, et al., 2006). Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari celah kompleks osteomeatal di meatus medius dan sinus etmoid. Merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif. Warna polip yang pucat disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip (Mangunkusumo & Wardani, 2007).

2.1.4 Mikroskopis polip hidung

Secara mikroskopik didapatkan perubahan struktur epitel yaitu hiperplasia sel goblet, metaplasia skuamosa serta infIltrasi sel-sel radang seperti eosinofIl, limfosit dan sel plasma. Selain itu terdapat pula edema hebat lamina propria disertai dengan akumulasi matriks protein dan penebalan membran basal. Pada tingkat seluler, proses inflamasi melibatkan epitel, sel dendritik, sel endotelial dan sel inflamasi seperti limfosit, eosinofIl, neutrofil dan sel mast. Pada tingkat molekular banyak sekali gen-gen pro-inflamasi yang dapat diidentifikasi (Liu, et al., 2004). Eosinofil memegang peranan penting dalam patofisiologi polip hidung. Satu-satunya polip yang tidak memIliki eosinofil dan meningkatnya IL-5 adalah polip antro-koanal (Ferguson & Orlandi, 2006).

(3)

2.1.5 Patogenesis polip hidung

Terdapat beberapa teori patogenesis terbentuknya polip hidung, yaitu : 1. Alergi

Alergi dididuga sebagai salah satu faktor predisposisi polip hidung karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil (Lund, 1995). Suatu metaanalisis menemukan 19% dari polip hidung mempunyai Ig E spesifik yang merupakan manifestasi alergi mukosa hidung (Kirtsreesakul, 2005).

2. Ketidakseimbangan vasomotor

Hal ini merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang dapat mencetuskan alergi. Regulasi vaskular yang tidak baik dan meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan pembentukan polip hidung (Kirtsreesakul, 2005).

3. Fenomena Bernouli

Hal ini terjadi karena menurunnya tekanan akibat konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung (Kirtsreesakul, 2005).

4. Infeksi

Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus atau Bacteroides fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada rinosinusitis) atau Pseudomonas aeruginosa yang sering ditemukan pada kistik fibrosis (Kirtsreesakul, 2005).

2.1.6 Stadium polip hidung

Pemeriksaan dengan rinoskopi anterior saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosa atau menyingkirkan keberadaan polip hidung. Selain pencitraan dengan tomografi komputer, dibutuhkan pemeriksaan

(4)

hidung dengan nasoendoskopi untuk menentukan perluasan polip dalam rongga sinus (Lund & Kennedy, 1995).

Tabel 2.1 Stadium Polip menurut Mackay and Lund

Polip Stadium

Tidak ada polip 0

Polip terbatas pada meatus media 1

Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum memenuhi rongga hidung

2

Polip yang massif (memenuhi rongga hidung) 3 Sumber: Assanasen & Naclerio (2001)

Untuk kepentingan praktik, polip hidung diklasifikasikan oleh Stammberger menjadi (Kirtsreesakul, 2005) :

1. Polip antrokoanal, kebanyakan timbul dari sinus maksilaris dan prolaps ke koana.

2. Polip idiopatik, unilateral maupun bilateral, kebanyakan adalah polip eosinofilik.

3. Polip eosinofilik dengan asma dengan atau tanpa sensitifitas aspirin. 4. Polip dengan penyakit sistemik penyerta seperti cystic fibrosis, primary

ciliary dyskinesia, Churg-Strauss-syndrome, Kartagener syndrome, dll. 2.1.7 Penatalaksanaan polip hidung

Mygind dan Lildholdt (1996) menjelaskan bahwa tujuan penatalaksanaan polip hidung, antara lain:

1. Eliminasi polip hidung atau mengurangi ukuran polip sebesar mungkin. 2. Membuka kembali jalan nafas melalui hidung.

3. Meredakan gejala.

4. Penciuman kembali normal. 5. Mencegah komplikasi.

(5)

EPOS (2012) merekomendasikan penggunaan kortikosteroid sistemik pada tatalaksana polip hidung dengan Grade of Recommendation A dan Level of Evidence 1b. Penggunaan steroid oral hanya dalam jangka pendek (2-3 minggu) oleh karena resiko efek samping sistemik (Bachert, 2011). Guideline tatalaksana rinosinusitis kronik dengan polip hidung PERHATI-KL (2007) menjelaskan bahwa polip hidung stadium 1 ditatalaksana medikamentosa, stadium 2 ditatalaksana medikamentosa dilanjutkan operasi dan untuk stadium 3 ditatalaksana dengan tindakan pembedahan. Adapun kortikosteroid oral yang digunakan pada terapi polip hidung antara lain: Metilprednisolon 64 mg tappering off hingga 8 mg selama 10 hari, Dexametason 12 mg tappering off hingga 4 mg selama 9 hari dan Prednison 1 mg / kgbb selama 10 hari (PERHATI-KL 2007).

(6)

Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan polip hidung. 2.3 Anatomi Kavum Nasi

Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung (PERHATI-KL, 2007)

Keluhan

Sumbatan hidung dengan 1/>gejala:

Rinore purulen, anosmia/hiposmia, post nasal drips, sakit kepala frontal Tampak massa dgn rinoskopi / naso-endoskopi

Massa polip hidung Tentukan stadium Curiga keganasan Biopsi Stadium 2 dan 3: terapi bedah Stadium 1 dan 2: terapi medik

Jika mungkin: biopsi untuk tentukan tipe polip (eosinofilik/netrofilik) dan/lakukan polipektomi reduksi pada polip stadium 2 dan 3 untuk memperbaiki airway. Semua stadium tipe netrofilik: terapi bedah Semua stadium tipe eosinofilik: terapi medik Persiapan prabedah: HDST dan CT Scan Terapi bedah Terapi medik:

1. Steroid topikal dan/atau

2. Polipektomi medikamentosa (HDST)

Tidak ada perbaikan: Tetap/membesar/me ngecil sedikit Perbaikan: Mengecil cukup banyak Perbaikan: hilang

Tindak lanjut dengan steroid topikal

Pemeriksaan berkala dengan naso-endoskopi Sembuh

Poliprekuren:

- Cari faktor alergi - Kaustik /ekstraksi polip kecil - Steroid topikal - Operasi ulang

(7)

2.1.8 IL-5 pada polip hidung

Sitokin proinflamasi merupakan molekul yang terlibat dalam proses seperti kemotaksis, kontrol proliferasi sel, aktivasi sel, diferensiasi dan fungsi banyak sel yang berpartisipasi dalam proses inflamasi. IL-5 adalah sitokin yang merangsang pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil di sumsum tulang, memediasi aktivasi dan migrasi selektif eosinofil dari sirkulasi perifer ke dalam jaringan, meningkatkan vitalitas eosinofil dengan menghambat apoptosis. IL-5 diproduksi oleh subset sel Th2 (CD4+) dan sel mast yang diaktifkan. Sel CD4+ yang berdiferensiasi menjadi Th2 melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang sel B untuk memproduksi Ig E yang diikat sel mast. IL-4 juga bersifat autokrin dan merupakan sitokin yang berperan dalam diferensiasi sel Th2 (Bratawijaya, 2006). Interleukin-3 (IL-Interleukin-3), IL-5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) berbagi fungsi yang sama ketika mereka bekerja pada sel yang sama. Dalam studi in vitro telah dinilai kemampuan IL-3, IL-5 dan GM-CSF untuk meningkatkan kelangsungan hidup eosinofil. Salah satu yang paling penting efek adalah untuk memperpanjang masa hidup eosinofil dengan menunda timbulnya apoptosis. Dari hal tersebut, IL-5 telah diakui sebagai sitokin yang paling spesifik untuk eosinofil dan merupakan regulator pendorong utama eosinopoiesis (Duda, 2015).

Peran IL-5 dalam patogenesis polip hidung didukung oleh beberapa bukti eksperimental. Tingginya tingkat IL-5 yang ditemukan pada polip hidung menunjukkan pentingnya sitokin ini dalam patogenesis penyakit. Fan et al dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa sekresi IL-5 yang disebabkan oleh sel Th2 dan autosecretion dari IL-5 dari eosinofil teraktivasi mungkin menjadi penyebab alasan untuk timbulnya peradangan kronis. Studi lain yang dipimpin oleh Hirschberg et al mengungkapkan bahwa IL-5 merupakan faktor penting yang terlibat dalam perekrutan dan aktivasi eosinofil.

Eosinofil dibentuk dari mieloid di sumsum tulang, diaktivasi oleh sitokin dan dilepaskan ke dalam sirkulasi jika ada stimulus yang tepat. Setelah dalam sirkulasi eosinofil ini menumpuk dengan cepat dalam jaringan,

(8)

dimana eosinofil ini mensintesis dan melepaskan mediator lipid yang dapat menyebabkan edema, bronkokonstriksi, kemotaksis, serta mensekresikan enzim dan protein yang dapat merusak jaringan. (Greenfeder, et al., 2001)

Inflamasi merupakan gambaran histopatologi yang sangat jelas pada polip hidung ditandai dengan infiltrasi sel-sel seperti eosinofil, limfosit dan sel plasma. Eosinofil melepaskan produk-produk inflamasi dari granul-granul yang ada pada eosinofil seperti Major Basic Protein (MBP), Eosinophilic Cationic Protein (ECP) dan Eosinophil Peroxidase (EPO) seperti leukotrien, platelet activating factor dan transforming growth factor (TGF). Saat dilepaskan produk-produk ini akan mengakibatkan perubahan patologis yang tampak pada polip seperti kerusakan epitel, penipisan membran basal, fibrosis stroma, angiogenesis serta hiperplasia epitel dan kelenjar. Tertundanya apoptosis merupakan mekanisme penting dalam akumulasi eosinofil. Telah diketahui banhwa sitokin-sitokin Th2 seperti IL-3 dan 5 serta GM-CSF meningkatkan usia hidup eosinofil dengan menghambat apoptosis eosinofil (Watanabe, et al., 2004). IL-5 berperan dalam pengikatan, aktivasi dan inhibisi apoptosis eosinofil. IL-5 memiliki hubungan paling baik dengan eosinophil cationic protein, membuktikan bahwa 5 memiliki peran besar dalam peradangan eosinofil. Produksi IL-5 yang tinggi menjadi penyebab utama lamanya usia eosinofil dan menyebabkan degradasi jaringan matriks. Hal tersebut merupakan karakteristik struktur polip (Bachert, et al., 2005). Penumpukan protein plasma juga diatur oleh eosinofil. Albumin dan protein plasma yang lain menumpuk didalam pseudokista bersama infiltrasi eosinofil sehingga terbentuklah polip (Bachert, et al., 2000). Pada polip hidung apoptosis eosinofil di mukosa hidung lebih lambat dibandingkan di darah. Sitokin IL-3, IL-5 dan GM-CSF menghambat apoptosis eosinofil sekurang kurangnya 12 sampai 14 hari pada jaringan sebaliknya hanya bertahan 48 jam pada keadaan tidak adanya sitokin. Eosinofil di jaringan juga dapat meregulasi masa hidupnya sendiri melalui jalur autokrin (Rudack, Bachert & Stoll, 1999).

(9)

Gambar 2.2 Model Rekruitmen EosinofIl pada polip hidung (Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004).

TGF-β1, suatu sitokin dengan kerja menginhibisi sintesis IL-5. Produksi IL-5 yang tinggi dan tidak adanya TGF-β1 diduga menjadi penyebab utama lamanya usia eosinofil dan menfasilitasi degradasi jaringan matriks, kedua hal tersebut merupakan karakteristik struktur polip (Bachert, et al., 2005).

2.2 Kortikosteroid

Sejak ditemukan tahun 1935, steroid telah digunakan secara luas. Saat ini banyak peran klinis steroid terkait dengan kemampuannya sebagai antiinflamasi (Ericson-Neilsen & Kaye, 2014). Ada dua jenis steroid yang dihasilkan lapisan luar kelenjar adrenal (kortek) yaitu androgen adrenal (fungsi seksual) dan kortikosteroid. Kortikosteroid memiliki fungsi dan efek yang luas. Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak; keseimbangan elektrolit dan air; fungsi jantung dan sistem saraf; ginjal, otot lurik dan organ lain. Steroid dapat juga menyebabkan retensi sodium dan sedikit efek antiinflamasi (Beck, 2004).

(10)

Tabel 2.2 Perbedaan Potensi Kortikosteroid berdasarkan Na+/retensi H20 dan Waktu Paruh (Becker, 2013)

Obat Dosis, mg Na+/retensi H20 Biologic Half Life/h Kortisol 20 1 8-12 Prednison 5 0,8 12-36 Metilprednisolon 4 0,5 12-36 Triamsinolon 4 0 12-36 Deksametason 0,75 0 36-72 Betametason 0,75 0 36-72

Kortikosteroid memiliki efek samping yang luas sehingga mempengaruhi berbagai sistem di tubuh, antara lain: regulasi umpan balik negatif pada hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis, penyakit addison, meningkatkan resistensi insulin di jaringan, meningkatkan glukosa darah puasa, bekerja langsung pada osteoklas untuk mempengaruhi resorbsi tulang dan menurunkan absorbsi kalsium disaluran cerna sehingga menyebabkan osteopenia dan osteoporosis. Karena banyaknya efek samping yang ditimbulkan kortikosteroid pada tubuh, klinisi harus hati-hati ketika memberikan kortikosteroid. Jika kortikosteroid diberikan kurang dari satu minggu maka dapat dihentikan tanpa tappering. Untuk penggunaan selama 1-3 minggu, tappering dilakukan berdasarkan keadaan klinis dan penyakit yang menjadi alasan diberikannnya terapi tersebut ( Ericson-Neilsen & Kaye, 2014).

Polip hidung adalah manifestasi proses inflamasi sehingga kortikosteroid merupakan terapi yang efektif. Kortikosteroid bekerja dengan mengurangi konsentrasi mediator inflamasi dan sel-sel inflamasi dengan cara menginhibisi proliferasi sel dan menginduksi apoptosis (Ferguson & Orlandi, 2006). Efek anti inflamasi ini tidak hanya berdampak pada sel-sel inflamasi seperti limfosit dan eosinofil tetapi juga sel-sel epitel dan fibroblas. Kortikosteroid merupakan terapi konservatif pilihan untuk polip baik sebagai terapi utama maupun untuk mencegah kekambuhan. Kortikosteroid memIliki efek anti-inflamasi yang luas (Newton & Ah-See, 2008).

(11)

Kortikosteroid menghambat pelepasan mediator vasoaktif sehingga mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan dan deposit mediator. Kortikosteroid mengurangi peningkatan reaksi inflamasi dengan mengurangi rekruitmen sel-sel inflamasi dan juga menghambat proliferasi fibroblast dan sintesa matriks protein ekstraselular. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya sitokin dan sel-sel inflamasi. Sel T sangat sensitif terhadap kortikosteroid. Jumlah sel T yang berkurang sangat tergantung pada dosis kortikosteroid. Rekruitmen sel-sel inflamasi dihambat dengan dihambatnya ekspresi ikatan molekul seperti ICAM-1 dan VCAM-1, yang berperan dalam proses influx basofil dan sel mast di lapisan epitel mukosa hidung. Kortikosteroid mengurangi pelepasan mediator seperti histamin, prostanoids dan leukotrien. Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah sel-sel inflamasi di mukosa. Kortikosteroid menormalkan jumlah sel yang mengalami influx (Bachert, et al., 2005).

Gambar 2.3 Pengaruh kortikosteroid oral terhadap polip hidung (Gevaert, Cauwenberge & Bachert, 2004).

(12)

Gambar 2.4 Efek kortikosteroid pada kelangsungan hidup dan apoptosis eosinofil manusia (Druilhe, et al., 2003).

Keterangan:

Nasib eosinofil di jaringan yang meradang tergantung pada keseimbangan antara faktor pro dan anti-apoptosis. Faktor-faktor ini diproduksi oleh eosinofil sendiri atau oleh sel yang ada dalam lingkungan tersebut, termasuk limfosit T. Apoptosis eosinofil dibersihkan dari jaringan oleh sel fagosit. Kortikosteroid mempercepat bersihan eosinofil oleh beberapa mekanisme, termasuk (i) penghambatan produksi dan efek faktor kelangsungan hidup, seperti IL-3, IL-5 atau GM-CSF, (ii) dengan mempromosikan pelepasan faktor apoptogenic dan / atau dengan meningkatkan efeknya, seperti yang ditunjukkan untuk aktivasi Fas, (iii) dengan langsung merangsang mesin apoptosis intraseluler, dan (iv) peningkatan kapasitas monosit, makrofag dan sel-sel epitel. (+) Dan (-) mengacu pada dampak positif dan negatif dari kortikosteroid.

(13)

Penggunaan steroid oral hanya dalam jangka pendek (2-3 minggu) oleh karena resiko efek samping sistemik (Bachert, 2011). Steroid oral kontraindikasi pada penderita infeksi akut, ulkus peptikum, psikosis dan osteoporosis. Penggunaan steroid oral direkomendasikan untuk penderita rinosinusitis kronik dengan polip hidung dan untuk penatalaksanaan eksaserbasi gejala yang berat pada penderita tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbaikan gejala yang cepat dan perubahan ukuran polip hidung dengan penggunaan steroid oral. Adapun steroid oral yang sering digunakan pada terapi polip hidung antara lain: Metilprednisolon, Dexametason dan Prednison (Kowalski, 2011). Lildholdt mendapatkan polipektomi dengan steroid oral jangka pendek menunjukkan hasil yang sama dengan polipektomi dengan menggunakan snare. Komplikasi yang dapat timbul berupa imunosupresi, gangguan penyembuhan luka, ulkus peptikum, mudah memar, meningkatnya kadar gula darah, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya tekanan intra ocular, supresi adrenal, katarak, perubahan distribusi lemak tubuh, retensi cairan, kehilangan potassium dan kalsium, menurunnya kepadatan tulang, kelemahan otot, hirsutism, emosi yang labil hingga psychosis (Jankowski, et al., 2002).

Alobid et al (2006) melaporkan pemberian prednison selama 2 minggu efektif memperbaiki kualitas hidup penderita polip hidung. Ukuran polip berkurang secara bermakna, gejala hidung tersumbat dan gangguan penghidu terkoreksi secara bermakna. Cochrane Database of Systematic Reviews (2010) melaporkan penggunaan prednison oral terhadap 166 pasien menunjukkan pengurangan ukuran polip disertai perbaikan gejala hidung dan kualitas hidup penderita yang bermakna. Kowalski (2011) melaporkan, penggunaan prednisolon selama 2 minggu menunjukkan pengurangan ukuran polip yang bermakna. Moberly (2011) melaporkan, pemakaian 25 mg prednisolon selama 2 minggu dapat mengurangi ukuran polip hidung secara bermakna. Pada penelitian ini peneliti menggunakan Metilprednisolon 64 mg tappering off selama 20 hari sebagai terapi. Dosis diturunkan setengahnya setiap 5 hari sekali.

(14)

2.3 Kerangka Teori

Keterangan :

Penghasil IL-5 antara lain Th2, sel Mast, basofil, CD4+. IL-5 perperan dalam meningkatkan adhesi eosinofil ke endotelium sehingga meningkatkan akumulasi eosinofil. IL-5 juga menginhibisi apoptosis eosinofil. 1. Kortikosteroid mempengaruhi Th2 sehingga menyebabkan pelepasan mediator inflamasi berkurang, salah satunya adalah IL-5. Berkurangnya jumlah IL-5 yang dilepaskan mengakibatkan ekspresi IL-5 menurun pada pemeriksaan imunohistoimia. 2. Kortikosteroid bekerja mengurangi jumlah IL-5 yang telah dilepaskan oleh Th2, sehingga ekspresi IL-5 menurun. 3. Kortikosteroid bekerja meningkatkan terjadinya apoptosis eosinofil, sehingga jumlah eosinofil berkurang. Hal ini menyebabkan polip hidung mengecil dan ekspresi IL-5 menurun pada pemeriksaan immunohistokimia.

Metilprednisolon

CD 4+

Eosinofil Th2 Sel Mast Basofil

IL-5

Ekspresi IL-5 Pelepasan mediator inflamasi

Polip Hidung

(15)

2.4 Kerangka Konsep Metilprednisolon oral Polip hidung Sel-sel inflamasi Apoptosis

Jumlah sel radang polip hidung

Gambar

Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan polip hidung.
Gambar  2.2  Model  Rekruitmen  EosinofIl  pada  polip  hidung  (Gevaert,  Cauwenberge & Bachert, 2004)
Tabel 2.2 Perbedaan Potensi Kortikosteroid berdasarkan Na+/retensi H20  dan Waktu Paruh (Becker, 2013)
Gambar 2.3 Pengaruh kortikosteroid oral terhadap polip hidung (Gevaert,  Cauwenberge & Bachert, 2004)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dalam prakteknya umur pahat tidak hanya dipengaruhi oleh geometri pahat saja melainkan juga oleh semua factor yang berkaitan dengan proses pemesinan, yaitu antara lain jenis

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan modernisasi administrasi perpajakan pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tasikmalaya dan pengaruhnya

Tahapan ini juga dilakukan untuk pencarian solusi dalam mengatasi permasalahan pada IMM Komisariat Adam Malik FKI UMS, data yang telah didapatkan untuk memberikan

Destinasi wisata yang masih terbilang baru ini menya- jikan pemandangan pegunungan, arsitektur bangunan unik, desain kontemporer serta paduan desain modern dengan tradisional

Seperti SAS (The Society for the Adherence of the Sunnah) di Amerika Serikat CRLO (Central for Scientific Research and Legal Opinions/) sebuah lembaga fatwa resmi di

Upaya resosialitatif adalah upaya mengembalikan individu, keluarga dan kelompok khusus ke dalam pergaulan masyarakat, diantaranya adalah kelompok-kelompok yang diasingkan

Bandung: Program Magister Sistem dan Teknik Jalan Raya PPS-ITB, 1998.. Tesis (Magister Sistem dan Teknik Jalan

penyakit terbanyak atau penyebab kematian penyakit terbanyak atau penyebab kematian pada lansia..