• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka adalah suatu proses pembentukan jaringan sehingga kembali seperti semula atau dengan kata lain penggantian jaringan yang rusak atau mati oleh jaringan baru yang sehat melalui proses regenerasi dan organisasi. Keberhasilan penyembuhan luka tergantung dari keseimbangan lokal dari kedua proses tersebut, yaitu proses regenerasi dan organisasi (Lawler, 2002). Proses penyembuhan luka terjadi dengan mengganti sel yang rusak dengan yang baru dan sama sehingga fungsi jaringan akan pulih dengan sempurna. Penyembuhan yang seperti itu disebut regenerasi, sedangkan pada proses penyembuhan dari sel atau jaringan lunak yang diganti oleh jaringan parut atau jaringan ikat disebut organisasi (Sudiono, 2003; Kumar et al, 2005)

2.1.1 Fase-fase penyembuhan luka

Secara umum fase penyembuhan luka dibagi menjadi 4 tahap, yaitu: 1. Fase hemostasis

Merupakan peristiwa pada awal terjadinya jejas. Pada fase ini terjadi respon dari komponen vaskuler berupa vasokonstriksi pembuluh darah dan hemostasis. Proses ini sangat cepat, hanya berlangsung 5-10 menit (Mackay & Miller, 2003).

(2)

Proses hemostasis melibatkan konstriksi pembuluh darah, konstraksi otot polos, agregasi trombosit, koagulasi darah, dan diikuti oleh vasodilatasi yang diperantarai oleh pelepasan histamin. Trombosis akan melepaskan leukotrien C4

dan D4 yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu juga

melepaskan serotonin yang dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi eksudasi cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler (Mercy, 2008).

2. Fase inflamasi

Inflamasi merupakan respon vaskuler dan seluler terhadap luka. Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Pada fase ini tampak kemerahan, pembengkakan, adanya rasa hangat yang diiringi dengan rasa nyeri. Berdasarkan waktu terjadinya, fase inflamasi dibagi menjadi dua, yaitu keradangan akut dan kronis. Keradangan akut adalah respon yang terjadi segera setelah adanya jejas, berlangsung singkat beberapa jam sampai beberapa hari. Respon akut ditandai dengan eksudasi sel plasma keluar bersama-sama sel limfosit dan makrofag (Lawler et al, 2002).

Sebagai respon dari keradangan akut tersebut, sel netrofil bergerak dari mikrosirkulasi ke dalam jaringan yang terluka, memfagosit benda asing dan jaringan nekrotik. Selanjutnya akan terbentuk gumpalan fibrin yang memacu pembentukan sel epitel, diikuti dengan munculnya agen kemotaksis lain termasuk fibroplastic growth factor, transforming growth factor-beta (TGF-β), PDGF. Makrofag melakukan fagositosis dengan cara yang sama dengan sel PMN sebagai proses inflamasi dan menghasilkan berbagai macam growth factor selama 3-5 hari (Kumar et al, 2005)

(3)

Radang kronis merupakan kelanjutan dari radang akut, yang secara histologis ditandai dengan terbentuknya jaringan granulasi yang terdiri dari infiltrasi sel radang kronis (monosit, limfosit, dan sel plasma), proliferasi pembuluh darah muda, dan proliferasi fibroblas (Lawler et al, 2002).

3. Fase proliferasi

Dimulai pada hari ke lima sampai minggu ke tiga pasca trauma. Pada fase ini terbentuk jaringan granulasi yang berisi sel inflamasi, fibroblast dan pembuluh darah (Miloro et al, 2004). Fase proliferasi merupakan fase perbaikan luka yang meliputi fibroplasia, sintesa kolagen, angiogenesis, pembentukan jaringan granulasi, dan epitelisasi (Kumar et al, 2005).

Pada daerah permukaan dermal terbentuk sel epitel baru yang akan mengisi daerah luka di permukaan. Pembentukan epitel pada daerah mukosa mulut terjadi lebih cepat dibandingkan dengan reepitelisasi pada daerah kulit (Miloro et al, 2004).

4. Fase Remodelling

Dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Pada fase ini, terjadi penyempurnaan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan yang kuat dan bermutu. Karena kebutuhan metabolik luka yang menurun, maka kapiler juga mulai menurun.Karena pengaruh sitokin dan growth factor matrik kolagen mengalami degradasi, resintesis, reorganisasi dan distabilkan oleh moleculer crosslinking menjadi scar. Fibroblas mulai menghilang dan kolagen tipe I diganti oleh kolagen tipe III (Miloro et al, 2004)

(4)

Tulang adalah suatu struktur dinamik yang mengalami remodeling terus menerus, berupa resorpsi yang diikuti oleh pengendapan jaringan tulang baru. Remodeling ini memungkinkan tulang beradaptasi terhadap sinyal fisik (misalnya peningkatan beban yang harus disangga) dan hormon. Jenis sel utama yang berperan dalam penyerapan dan pengendapan tulang adalah osteoklas dan osteoblas (Murray et al, 2009).

Tulang dapat dibentuk dalam dua cara, yaitu melalui mineralisasi langsung pada matriks yang disekresi osteoblas (osifikasi intramembranosa) atau melalui penimbunan matriks tulang pada tulang rawan sebelumnya (osifikasi endokondral). Tulang maksila dan mandibula dibentuk melalui osifikasi intramembranosa (Junqueira et al, 1998).

Osifikasi intramembranosa, terjadi pada hampir seluruh tulang pipih, disebut demikian karena berlangsung di dalam daerah-daerah pemadatan jaringan mesenkim.Tulang frontal dan parietal tengkorak, sebagian tulang oksipital dan temporal, maksila dan mandibula dibentuk melalui osifikasi ini. Osifikasi intramembranosa juga mengatur pertumbuhan tulang-tulang pendek dan penebalan tulang-tulang panjang (Junqueira et al, 1998).

Pada tempat akan dibentuk tulang, jaringan mesenkim yang terdiri atas sel-sel jaringan ikat primitif saling berhubungan melalui cabang-cabang protoplasma, tetapi protoplasma itu tidak menyatu. Substansi intraselnya bersifat semi cairan yang mengandung serat kolagen halus. Lapisan atau membran mesenkimal ini menjadi sangat vaskuler (mengandung banyak pembuluh darah), karena itu sejumlah sel berkembang menjadi sel osteogenik atau sel osteoprogenitor. Sel-sel ini membesar dan berbentuk polihedral, dan sitoplasmanya menjadi basofilik, sel

(5)

tersebut disebut osteoblas. Diantara sel itu timbul substansi intersel yang padat berupa batang-batang langsing yang menutupi serat jaringan ikat yang memang telah ada dalam matriks. Batang matriks itu bertambah tebal dan mengelilingi sel-sel. Pada tahapan ini matriks belum mengapur dan merupakan unsur organik matriks yang disebut osteoid (Leeson et al, 1996).

2.2.1 Proses penyembuhan tulang pasca pemberian graft

Penyembuhan fraktur mengembalikan jaringan ke sifat fisik dan mekanik seperti keadaan semula akan tetapi keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor sistemik dan keadaan lokal. Penyembuhan terjadi dalam tiga tahap yang berbeda tetapi tumpang tindih : (Kalfas, 2001)

1) Tahap inflamasi awal

Pada tahap inflamasi, hematoma berkembang dalam situs fraktur dalam beberapa jam dihari pertama. Sel-sel inflamasi (makrofag, monosit, limfosit, dan sel polimorfonuklear) dan fibroblas infiltrasi ke tulang di bawah mediasi prostaglandin. Hal ini menyebabkan pembentukan jaringan granulasi, pertumbuhan jaringan pembuluh darah, dan migrasi sel mesenkim. Nutrisi primer dan pasokan oksigen pada proses awal ini disediakan oleh tulang cancellous dan otot yang terkena jejas. Penggunaan obat antiinflamasi atau sitotoksik selama 1 minggu dapat mengubah respon inflamasi dan menghambat penyembuhan tulang.

2) Tahap perbaikan

Selama tahap perbaikan, fibroblas mulai meletakkan stroma yang membantu mendukung pertumbuhan vaskular. Sebagaimana pertumbuhan vaskular

(6)

berlangsung, matriks kolagen terbentuk sementara osteoid disekresi dan selanjutnya termineralisasi, yang mengarah pada pembentukan kalus lunak di sekitar lokasi perbaikan. Dalam hal ketahanan terhadap gerakan, kalus ini sangat lemah pada 4 sampai 6 minggu pertama dari proses penyembuhan dan membutuhkan perlindungan yang memadai dalam bentuk bracing atau fiksasi internal. Pada akhirnya kalus mengalami ossifikasi, membentuk jembatan tulang anyaman antara fragmen fraktur. Jika imobilisasi fragmen fraktur tidak dilakukan, osifikasi kalus tidak dapat terjadi, dan kesatuan fibrous yang tidak stabil dapat berkembang sebagai gantinya.

3) Tahap remodelling akhir

Penyembuhan fraktur selesai selama tahap remodelling di mana tulang dikembalikan ke bentuk, struktur, dan kekuatan mekanik aslinya. Remodelling tulang terjadi secara perlahan selama beberapa bulan sampai bertahun-tahun dan difasilitasi oleh stres mekanik yang ditempatkan pada tulang. Sebagai lokasi fraktur yang terkena kekuatan beban aksial, tulang biasanya ditetapkan di mana diperlukan dan diserap kembali dari tempat yang tidak diperlukan. Kekuatan yang memadai biasanya dicapai dalam 3 sampai 6 bulan.

2.3 Hidroksiapatit

Hidroksiapatit merupakan kristal apatit yang paling stabil. HA termasuk kelompok apatit yang paling banyak digunakan dibidang medis karena memilki sifat biokompatibel dan osteokonduktif (Winoto, 2010). Merupakan senyawa inorganik Ca3(PO)4)2)3 Ca(OH)2 yang ditemukan pada matriks tulang dan gigi

(7)

yang memberikan kekuatan pada struktur tersebut. Senyawa yang memiliki formula kimia ini disintesis untuk digunakan sebagai suplemen kalsium dan membantu prostetik. HA berjumlah 95% dari berat enamel, sedangkan pada dentin hanya satu persepuluh dari jumlah yang terdapat pada enamel (Francheschi, 2005).

HA merupakan material biokompatibel padat yang dapat dibuat secara sintesis atau diperoleh dari sumber biologis seperti koral. Material kalsium fosfatnya memiliki karakteristik yang hampir identik dengan dental enamel dan tulang kortikal. Saat diimplankan ke hewan atau manusia, HA memproduksi sedikit atau tidak sama sekali respon tubuh terhadap benda asing tersebut. Pemeriksaan histologis menunjukkan bahwa saat HA diletakkan pada defek tulang terlihat penyembuhan tulang di sekeliling material dan pengikatan kimia langsung terhadap partikel tanpa intervensi kapsul fibrosa (Francheschi, 2005).

Sumber prekursor untuk menghasilkan HA dapat juga diperoleh dari bahan alam. Bahan alam yang mulai dikembangkan yaitu koral, kerang dan cangkang telur, penggunaan bahan tersebut dapat digunakan sebagai sumber kalsium. Sebagian besar kandungan yang terdapat pada bahan HA adalah kalsit (kalsium karbonat, CaCO3) (Winoto, 2010). HA digunakan untuk tujuan implant karena mempunyai kemiripan dengan konstituen mineral pada tulang dan gigi. Banyak laporan yang menyatakan penggunaan klinis HA untuk perbaikan rahang, penggantian tulang dan rekonstruksi telinga (Heinemann et al, 2010).

HA bersifat brittle (rapuh) dan tidak dapat menyamai sifat mekanikal dari tulang asli. Sehingga penggunaan HA dilakukan pada area yang memiliki kekuatan regangan yang rendah seperti bone/dental filling ataupun sebagai

(8)

coating pada implant. HA juga memiliki kemampuan dalam memberikan adhesi yang baik terhadap jaringan lokal yang dikarenakan oleh adanya reaksi kimia dari permukaannya (Wahl & Czernuszka, 2006).

Namun dalam pengaplikasiannya HA ini dikenal sebagai long-term ridge preservation karena sifatnya yang membutuhkan waktu lama untuk diresorbsi oleh tubuh, karena sifat tersebut maka bahan ini tidak cocok untuk ridge yang nantinya akan mendapat implant (Bartee, 2001)

2.4 Chitosan

Chitosan adalah bipoliaminosakarida alam yang diperoleh dari deasetilasi chitin yang merupakan polisakarida terbanyak kedua di alam setelah selulosa (Agnihotri et al, 2004). Chitosan memiliki berat molekul 300-1000 kDa tergantung dari sumber dan proses preparasi. Nama kimia dari chitosan adalah poly [-(1,4)-deoxy-D-glucopiranose]. Chitosan terdiri dari 2-amino-2-deoxy-β-D-glucan yang dikombinasi dengan ikatan glikosida (Pinto et al, 2011; Agnihotri et al, 2004).

Chitosan merupakan basa lemah dan tidak dapat larut dalam air serta pelarut organik. Akan tetapi chitosan dapat larut dalam larutan yang bersifat asam (pH<6,5) dimana keadaan asam ini dapat mengubah glukosamin menjadi gugus R-NH3+ yang larut (Sinha et al, 2004). Katonik dari chitosan dapat menyebabkan

interaksi elektrostatis dengan ionik glikosaminoglikan dan proteoglikan. Glikosaminoglikan ini terlibat dalam memodulasi beberapa sitokin dan growth factor. Chitosan dapat dihidrolisa melalui proses chitogenase, dan enzim lizozim bertanggung jawab dalam proses pendegradasian chitosan. Enzim ini dapat

(9)

ditemukan dalam kelenjar air mata, telinga bagian tengah, hidung, bronkus, bronkiolus, sumsum tulang dan traktus digestifus. Enzim ini berperan penting dalam respon inflamasi yang disekresi oleh makrofag, monosit, dan granulosit. Monosit dan makrofag memiliki konstribusi penting dalam ketersediaan lizozim yang dalam tubuh konsentrasinya sekitar 7-13 mg/l (Pinto et al, 2011).

Chitosan memiliki sifat biokompatibilitas, biodegradebilitas, memiliki struktur porus, stabil pada pembentukan sel, osteokonduksi dan memiliki sifat antibakteri instrinsik. Dengan adanya sifat-sifat tersebut, maka chitosan dapat juga digunakan sebagai bahan scaffold dalam tissue engineering yang ideal (Venkatesan & Kim, 2010). Chitosan juga memiliki ikatan kovalen rantai grup imidazole yang digunakan untuk menstimulasi pembentukan tulang. Pada evaluasi secara in vitro didapatkan efek chitosan pada pembentukan tulang sudah mencapai tingkat seluler yang dapat mempengaruhi meningkatnya sel osteopregenitor yang akan meningkatkan pembentukan tulang. Hasil pada penempatan chitosan subperiosteal didapatkan bahwa chitosan dapat meningkatkan osteogenesis pada tahapan inflamasi yang ringan hingga berat (Kung et al, 2011).Namun penggunaan chitosan sendiri sebagai scaffold, tidak dapat menirukan seluruh propertis jaringan tulang (Venkatesan & Kim, 2010).

2.5 Bone graft

Graft adalah suatu bagian jaringan yang diambil dari satu tempat dan ditransplantasikan ke tempat lain, baik pada individu yang sama maupun yang berlainan. Tujuan graft adalah untuk memperbaiki suatu cacat yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau anomali pertumbuhan dan perkembangan. Bone

(10)

graft adalah pilihan yang banyak digunakan untuk memperbaiki kerusakan tulang periodontal, dengan graft tulang diharapkan ada perbaikan klinis pada jaringan periodontal, hal ini lebih baik bila dibandingkan dengan cara bedah pembersihan biasa tanpa penambahan bahan graft (Aly et al, 2010).

2.5.1 Jenis-Jenis Bonegraft

Jaringan graft termasuk tulang, sudah digunakan secara luas sampai sekarang, karena merupakan salah satu jaringan yang sama, digunakan sebagai pengganti dengan tujuan adanya perbaikan kerusakan jaringan (Aly et al, 2010).

2.5.1.1 Autograft

Autograft, adalah graft yang berasal dari donor sendiri yang hanya di pindah dari satu tempat ketempat lainnya (Kusumaningsih et al, 2009) Secara fisiologis paling unggul karena berasal dari jaringan tubuh sendiri, tetapi mempunyai beberapa kekurangan; jumlah yang terbatas, sulit mengambil material graft, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, meningkatkan resiko kehilangan darah dan menambah waktu anestesi, menyebabkan morbiditas serta kemungkinan resorbsi akar pada daerah donor (Hayati & Nur, 2009).

Graft tulang autogenus terbagi atas dua jenis utama; autograft tulang bebas dan autograft berdekatan. Autograft tulang bebas terdiri atas tulang cortical, cancellous, atau kombinasi dari keduanya, dan bisa didapatkan dari tempat luar rongga mulut atau di dalam mulut. Autograft tulang contigius (berdekatan), disebut juga bone swaging sudah jarang digunakan untuk mengeliminasi cacat tulang. Teknik bone swaging mensyaratkan adanya daerah edentulus sehingga

(11)

defek pada tulang menyatu sampai ke dasar permukaan akar tanpa menyebabkan fraktur tulang dasarnya. Oleh sebab itu teknik ini memiliki kesulitan dengan tingkat elastisitas dari tulang. Tulang dengan komposisi cancellous yang lebih besar menjadi lebih fleksibel. Tulang tanpa komposisi cancellous yang cukup cenderung untuk terjadi fraktur (Greenwald, 2008).

2.5.1.2 Allograft

Allograft (graf alogenik) adalah jaringan yang ditransplantasikan dari satu individu kepada individu lain baik dalam spesies yang sama maupun spesies yang berbeda. Walaupun allograft mungkin memiliki kemampuan menginduksi regenerasi tulang, bahan ini juga dapat membangkitkan respons jaringan yang merugikan dan respons penolakan hospes, kecuali diproses secara khusus. Graft diambil dari tulang cadaver dan disterilkan untuk mencegah penularan penyakit. Keuntungan menggunakan allograft dibandingkan autograft adalah pasien tidak perlu mengalami luka bedah tambahan untuk pengambilan donor dari tubuhnya sendiri sementara potensi perbaikan tulangnya tetap sama. Salah satu bahan allograft yang sering dipergunakan dalam terapi periodontal adalah Demineralized Freeze-dried Bone Allograft (DFDBA). DFDBA adalah bone graft yang didekalsifikasi dalam asam hidrokoloid kemudian dikeringkan secara beku kering (Greenwald, 2008).

Kelemahan dari allograft antara lain penetrasi vaskular tertunda, pembentukan tulang lambat, mempercepat penyerapan tulang, dan penyatuan graft tertunda atau tidak lengkap. Secara umum, insiden penyatuan graft tertunda atau

(12)

tidak lengkap pada allograft lebih tinggi daripada autograft. Allograft adalah osteokonduktif tetapi merupakan osteoinduktif yang lemah (Kalfas, 2001).

2.5.1.3 Xenograft

Xenograft (xenogenik) adalah bahan graft yang diambil dari spesies yang berbeda, biasanya berasal dari lembu atau babi, untuk digunakan pada manusia. Graft hidroksiapatit yang berasal dari tulang lembu di buat melalui proses kimia (Bio-Oss) atau pemanasan tinggi. Proses ini menghasilkan suatu tulang hidroksilapatit alami yang serupa dengan struktur mikroporositas dan makroporositas tulang manusia, dan partikel-partikel nampak diresorbsi sementara tulang dideposisi (Greenwald, 2008).

2.5.2 Mekanisme Graft Tulang 2.5.2.1 Osteogenesis

Merupakan kemampuan dari graft untuk membentuk tulang baru, dan proses ini tergantung dari kehadiran sel tulang hidup pada graft. Material graft osteogenik mengandung sel aktif yang berkemampuan membentuk tulang (sel osteoprogenitor) atau yang potensial untuk berdiferensiasi menjadi sel pembentuk tulang (sel prekursor osteogenik terinduksi). Sel-sel tersebut, yang berperan pada tahap awal proses penyembuhan untuk menyatukan graft dengan tulang host, harus dilindungi selama prosedur grafting untuk memastikan kelangsungannya. Osteogenesis adalah sifat yang hanya bisa ditemukan pada tulang autogenous baru dan pada sel sum-sum tulang (Kalfas, 2001).

(13)

2.5.2.2 Osteokonduksi

Osteokonduksi memberikan matriks fisik atau scaffolding yang sesuai untuk deposisi tulang baru. Graft yang bersifat osteokonduksi merangsang pertumbuhan tulang dan menyebabkan aposisi tulang daru tulang yang telah ada, tetapi tidak memproduksi formasi tulang ketika diletakkan dalam jaringan lunak. Untuk merangsang pertumbuhan tulang melalui permukaan suatu graft osteokonduksi memerlukan kehadiran tulang yang ada atau sel mesenkim yang terdiferensiasi. (Hill, 2000)

Sifat osteokonduktif dapat ditemukan pada cancellous autograft dan allograft, matriks tulang terdemineralisasi, hidroksiapatit, kolagen, dan kalsium fosfat (Kalfas, 2001).

2.5.2.3 Osteoinduksi

Osteoinduksi adalah kemampuan dari material graft untuk menginduksi stem sel untuk berdiferensiasi menjadi sel tulang yang matang. Proses ini khususnya dikaitkan dengan kehadiran dari faktor pertumbuhan tulang dalam material graft atau sebagai penunjang dari graft tulang. Protein morfogenik tulang dan matriks tulang terdemineralisasi adalah material osteoinduktif utama. Dalam tingkat yang jauh lebih rendah, tulang autograft dan allograft juga memiliki sedikit sifat osteoinduktif (Kalfas, 2001)

2.6 Makrofag

Makrofag merupakan sel berbentuk tidak beraturan dengan cabang-cabang yang pendek dan banyak ditemukan pada daerah yang kaya akan pembuluh darah.

(14)

Makrofag berukuran 10-30 µm dan umumnya memiliki inti lonjong atau berbentuk ginjal yang letaknya eksentris. Jika mendapat rangsangan makrofag dapat melakukan gerakan amoeboid dengan kaki-kaki palsu terjulur ke segala arah. Membran plasma makrofag melipat-lipat dan bertonjolan kecil-kecil membantu perluasan, fagositosis dan gerakan sel (Junquiera et al, 1998)

Makrofag merupakan sel anggota sistem pertahanan tubuh dengan kemampuan fagositosis yang besar. Makrofag berperan dalam mempertahankan jaringan normal dengan memakan sel mati, debris sel dan benda renik lain serta memecahnya dengan enzim lisosim. Makrofag juga memiliki peran penting pada sistem imun dengan cara memproses dan menyajikan antigen pada limfosit yang mampu menghasilkan antibodi protektif (makrofag sebagai Antigen Presenting Cell atau APC) (Cotran et al, 1999). Makrofag juga memediasi respon imun dan peradangan terhadap benda asing melalui pelepasan sitokin (Baxter, 2008). Makrofag terutama berasal dari sel prekursor dari sum-sum tulang yang membelah menghasilkan monosit yang beredar dalam darah. Pada tahap selanjutnya bermigrasi ke dalam jaringan ikat, tempat makrofag menjadi matang. Makrofag jaringan dapat berproliferasi secara lokal, menghasilkan sel sejenis lebih banyak lagi (Fawcett, 2002).

Aktivasi makrofag tergantung pada produk dari limfosit T helper 1 (TH1)

yang teraktivasi secara spesifik dan sel NK (natural killer) – terutama, interferon-γ (IFN- γ) dan jaringan sitokin termasuk interleukin-12 (IL-12) dan IL-18 yang diproduksi oleh sel-sel APC (antigen-presenting cells) (Gordon, 2003).

Makrofag tidak bekerja sendiri dalam menanggulangi infeksi melainkan berinteraksi dengan limfosit yang juga mengumpul di tempat invasi bakteri.

(15)

Aktivasi makrofag tergantung pada sebuah lipopolisakarida (LPS) yang merupakan unsur utama dari permukaan bakteri gram negatif, dan IFN- γ, sebuah sitokin yang diproduksi oleh limfosit-T yang terangsang oleh antigan (Fawcett, 2002).

Makrofag berperan penting pada penyembuhan luka, berperan pada peleburan fibrin, pembersihan jaringan nekrotik dan pembentukan pembuluh darah baru. Makrofag meregulasi pengerahan dan perkembangan fibroblas, dan remodelling jaringan ikat. Penelitian in vivo menunjukkan bahwa makrofag yang teraktivasi berkaitan tingginya derajat vaskularisasi (Gordon, 2003).

Referensi

Dokumen terkait

Untuk masalah ini kami menawarkan SIP (SMART INTILTRATOR PIPE), hal ini sebenarnya seperti sumur resapan, namun yang membedakan konsep kami adalah lebih efisien

Motivasi atau dorongan untuk melaksanakan pekerjaan yang muncul dari dalam diri sendiri lebih berati dibandingkan dengan dorongan muncul dari luas diri sendiri, sebab

Hal ini menunjukkan naik atau turunnya rasio keuangan (current ratio, debt to asset ratio, total asset turnover dan net profit margin) akan mempengaruhi posisi laba hal

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan modernisasi administrasi perpajakan pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tasikmalaya dan pengaruhnya

 perubahan seperti seperti yang yang terjadi terjadi pada pada 1976 1976 menjadi menjadi Pusat Pusat Pengembangan Pengembangan Teknologi Teknologi Mineral (PPTM)

Seorang tukang kayu dan seorang tukang cat bekerja bersama-sama untuk Seorang tukang kayu dan seorang tukang cat bekerja bersama-sama untuk menghasilkan 2 jenis

Tingkat pengusahaan sumberdaya ikan karang khususnya ikan kerapu dan sunu di perairan teluk Saleh sudah sangat tinggi, yang terlihat dari banyaknya ikan muda yang

Menyusun Petunjuk Teknis (Juknis) Penanaman Tanaman Nilam Tahun 2013 di daerahnya. Melakukan bimbingan, pengendalian dan pemantauan ke lokasi. Membantu kelompok tani