• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan tata kelola pemerintahan, collaborative governance

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan tata kelola pemerintahan, collaborative governance"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Dalam perkembangan tata kelola pemerintahan, collaborative governance (tata kelola pemerintahan kolaboratif) menjadi trend dan fenomena baru yang menarik diteliti dan dikaji. Collaborative governance sendiri telah dikembangkan selama dua dekade terakhir (Ansell dan Gash, 2007: 543). Di Indonesia, anjuran untuk melibatkan multipihak (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam manajemen dan kebijakan publik sektor lingkungan hidup tersirat dalam beberapa regulasi pemerintah. Salah satunya adalah UU No. 32 / 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Inisiasi pemerintahan berpola collaborative governance terlihat terus berkembang di berbagai daerah seiring dengan adanya agenda otonomi daerah. Pernyataan ini berdasar pada potret pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar yang mengikutsertakan pihak swasta dan masyarakat secara aktif mulai dari formulasi sampai evaluasi program green and clean (hijau dan bersih). Praktek yang dilakukan dalam program green and clean lebih dari sekedar pola kerjasama pemerintah swasta (KPS) sebagaimana yang sering dilakukan oleh pemerintah dalam perencanaan proyek infrastruktur.

Konsep dan prinsip collaborative governance yang diterapkan di berbagai negara atau daerah relatif sama. Adapun yang membedakannya terletak pada sektornya, tujuannya, strukturnya, prosesnya dan dampaknya. Dengan adanya

(2)

perbedaan tersebut, tentu menjadi daya tarik tersendiri untuk dipahami lebih lanjut. Terutama pada kasus yang terjadi di tingkat kabupaten atau kota. Komitmen, kepercayaan dan kewenangan diantara kolaborator di setiap daerah selalu memiliki dinamika tersendiri. Ada lokalitas kedaerahan yang memicu munculnya perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Mengkaji suatu kasus tata pemerintahan berbasis collaborative governance dimaksudkan untuk mengetahui potret best practices (praktek-praktek terbaik) dan worst practices (praktek-praktek terburuk). Alasan utama mengkaji fenomena MGC beranjak dari kesadaran bahwa collaborative governance merupakan instrumen kebijakan publik (Gray dkk, 2003: 8).

Praktek pemerintahan yang terjadi dalam program Makassar Green and Clean (MGC) berbasis collaborative governance. Alasan mendasar mengklaim MGC sebagai wujud dari collaborative governance karena program ini melibatkan organ pemerintah dan non pemerintah aktif bekerjasama. Ini mencirikan praktek governance. Disamping itu, isu-isu seperti kepercayaan, kesepahaman, komitmen, kepemimpinan, kelembagaan dan sumber daya tampak dalam program MGC. Ini mencirikan sebuah praktek collaborative. Jadi, aktivitas collaborative governance ada dalam program MGC. Program MGC diinisiasi oleh Yayasan Peduli Negeri (YPN), Pemerintah Kota Makassar dan PT Unilever Indonesia pada tahun 2008. Untuk selanjutnya ditindaklanjuti melalui kolaborasi dengan Media Fajar dan PT Pertamina. Dalam kolaborasi tersebut, komunitas masyarakat dilibatkan secara aktif sebagai fasilitator dan kader lingkungan. Untuk

(3)

selanjutnya, pada tahun 2010 dibentuk Forum Kampung Bersih dan Hijau (FORKASIH) sebagai paguyuban masyarakat.

Praktek collaborative governance dalam program MGC 2008 – 2013 dinilai memiliki pengaruh terhadap situasi dan kondisi lingkungan hidup di kota Makassar. Ikatan kesepahaman antara kolaborator yang tetap utuh selama kurang lebih enam tahun menjadi catatan tersendiri. Program berbasis collaborative governance tingkat lokal yang mampu eksis selama enam tahun merupakan pencapaian yang patut di apresiasi. Keterlibatan aktif komunitas masyarakat sebagai bagian dari program memberi nuansa yang lebih unik. Program MGC dianggap mampu merubah pola pikir masyarakat kota Makassar dalam mengelola lingkungan hidup. Kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang dimaksud yakni penghijauan pemukiman dan pengelolaan sampah. Program MGC mampu mendorong kota Makassar memperoleh Sertifikat Adipura tahun 2010 dan Piala Adipura tahun 2013. Mengaitkan antara program MGC dengan penghargaan Adipura berdasar pada pernyataan Walikota Makassar. Walikota Makassar (2009 - 2014), Ilham Arief Sirajuddin, mengatakan bahwa MGC terbukti turut andil atas penghargaan sertifikat Adipura 2010 yang diraih kota Makassar (www.makassartv.co.id). Program yang salah satunya mengantarkan Makassar meraih piala Adipura 2013 adalah program MGC (www.fajar.co.id).

Namun, terjadi dinamika tersendiri pada hasil program MGC 2008 – 2013 di tingkat RW sebagai praktek pelaksanaan collaborative governance. Hasil pelaksanaan program di wilayah yang menjadi lokasi MGC terbagi menjadi dua bagian. Ada yang tergolong berhasil. Adapula yang tergolong kurang atau tidak

(4)

berhasil. Beberapa RW yang menjadi wilayah MGC mampu eksis secara berkelanjutan, begitupun sebaliknya. Terjadinya dua fenomena tersebut pada suatu program lingkungan hidup di kota Makassar menarik dikaji secara komparatif. Minimal beranjak dari penelitian ini dapat diketahui mengapa pada wilayah tertentu berhasil dengan baik (jangka pendek dan jangka panjang) dan pada beberapa wilayah kurang atau tidak berhasil dengan baik (jangka pendek dan jangka panjang). Cakupan hasil yang dimaksud dikaitkan dengan kondisi fisik dan non fisik lingkungan hidup kota Makassar selama program MGC diimpementasikan. Pelaksanaan dan hasil program MGC sebagai wujud collaborative governance penting diketahui ruang lingkupnya supaya pengetahuan terhadap kasus lebih komprehensif. Penelitian ini tidak fokus pada lingkup best practices atau worst practices secara parsial. Lebih pada studi komparasi antara yang baik dan buruk agar dapat diketahui semua hal yang terkait dengan hasil collaborative governance pada program MGC.

Secara umum, pelaksanaan upaya penghijauan dan pengelolaan sampah dapat dilakukan karena governance melingkupi Pemerintah Kota Makasar, PT Unilever Indonesia, Media Fajar dan Yayasan Peduli Negeri serta FORKASIH dalam program MGC mampu berkolaborasi. Prinsip governance dalam sektor lingkungan hidup merupakan suatu keharusan karena upaya kerjasama dan hubungan sinergis mutlak ada di antara domain governance menurut Budiati (2012: 5). Desain kolaborasi public-private-society dalam tata kelola lingkungan merupakan salah satu penjabaran lanjutan dari konsep governance. Organisasi pemerintah dan non pemerintah sudah mulai mengedepankan apa yang disebut

(5)

tata kelola kolaboratif sektor lingkungan hidup (collaborative environmental governance). Pada dasarnya collaborative governance dalam program MGC bisa terwujud karena program lingkungan hidup Pemerintah Kota Makassar bersinergi dengan aksi corporate social responsibility (CSR) PT Unilever Indonesia dan Media Fajar. Juga bersinergi dengan gerakan peduli lingkungan Yayasan Peduli Negeri. Biddle (2011: 9) menyebutkan bahwasanya banyak peneliti telah menyarankan collaborative governance diantisipasi untuk membawa hasil lingkungan yang membaik.

Ruang lingkup dari praktek collaborative governance dalam program MGC erat kaitannya dengan desentralisasi urusan lingkungan hidup. Program MGC sendiri tetap eksis karena adanya dukungan dari sistem desentralisasi lingkungan. Seiring dengan eksisnya program MGC, penting untuk diketahui bahwa berdasar hasil peninjauan pelaksanaan otonomi daerah lingkungan hidup oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2013), ada beberapa masalah yang masih dihadapi selama pelaksanaan desentralisasi lingkungan seperti:

1. Kebijakan atau peraturan pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup (PPLH) daerah yang belum jelas, termasuk didalamnya visi dan misi kepala daerah yang kurang terhadap lingkungan.

2. Sarana dan prasarana atau infrastruktur daerah (kantor, laboratorium dan sebagainya) yang belum memasdai.

3. Ketersediaan sumber daya manusia (SDM) lingkungan hidup secara kualitas dan kuantitas yang belum memadai.

(6)

5. Iklim politik yang masih kurang berpihak kepada lingkungan.

Kelima poin tersebut merupakan deskripsi umum problem pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia beberapa tahun terakhir. Ternyata banyak problematika yang belum terselesaikan di berbagai daerah. Bahkan masalah demi masalah terus bermunculan secara perlahan dan pasti. Meskipun gambaran umumnya demikian, pastinya tidak semua kabupaten atau kota memiliki semua masalah sebagaimana yang dijelaskan. Penjelasan masalah desentralisasi lingkungan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup bersifat universal di seluruh pemerintah daerah. Kalaupun mayoritas daerah mengalami persoalan sebagaimana yang disebutkan, tentu tingkatannya berbeda-beda antar pemerintah daerah. Ada pemerintah daerah yang mengalami semua persoalan yang diutarakan. Ada pemerintah daerah yang hanya mengalami beberapa saja. Adapula pemerintah daerah yang tidak mengalami satu masalah pun. Peluang bervariasinya tingkatan masalah dikarenakan setiap pemerintah daerah memiliki kelebihan dan kekurangan dalam mengelola urusan lingkungan hidup didaerahnya masing-masing.

Keberpihakan Pemerintah Kota Makassar dalam mengelola lingkungan hidup dibuktikan dengan dieksiskannya program MGC dari 2008 sampai 2013 secara berkelanjutan. Selain itu, keseriusan pemerintah dalam membuat regulasi terkait lingkungan hidup dibuktikan pula dengan dibuatnya beberapa regulasi seperti Peraturan Walikota Makassar No. 37 / 2010 tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup dan

(7)

Peraturan Daerah Kota Makassar No. 4 / 2011 tentang Pengelolaan Sampah. Terkait regulasi, saat ini sedang dirampungkan Peraturan Daerah untuk merevisi Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang No. 25 /1997 tentang Penghijauan Dalam Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Ujung Pandang. Guna mendukung tata kelola lingkugan hidup kota Makassar, pada tahun 2009 dibentuk Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Makassar untuk membantu Dinas Pertamanan dan Kebersihan (DPK) Kota Makassar.

Kunci kesuksesan atau kegagalan upaya penghijauan pemukiman dan pengelolaan sampah banyak ditentukan oleh kepiawaian pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas kewilayahan. Kemampuan daerah memperadakan program berbasis collaborative governance seperti MGC menjadi nilai tambah tersendiri. Pemerintah bukan lagi aktor tunggal pembangunan. Patut di apresiasi daerah yang tidak menjadikan pemerintahnya sebagai aktor tunggal dalam manajemen publik. Terutama sektor lingkugan lingkungan hidup yang memang sangat sulit diselesaikan tanpa pelibatan multipihak. Kondisi lingkungan yang memprihatinkan dari tahun ke tahun perlu ditanggulangi semaksimal mungkin. Aturan perundang-undangannya sangat jelas diatur dalam UU No. 32 / 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang tersebut menuntut keikutsertaan semua kalangan dalam pengendalian lingkungan. Beberapa asas yang ditekankan yakni partisipatif, kearifan lokal, tata kelola pemerintahan yang baik dan otonomi daerah. Undang-undang ini mempertegas landasan yuridis pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

(8)

Pembahasan terkait manajemen dan kebijakan publik sektor lingkungan hidup dengan mengaitkannya dengan collaborative governance dalam program MGC berarti muatan utamanya adalah interkorelasi Pemerintah Kota Makassar, PT Unilever Indonesia, Media Fajar, Yayasan Peduli Negeri dan juga FORKASIH. Tentunya ada hal pendukung dan penghambat yang turut mengiringi program atau kegiatan lingkungan yang melibatkan multi pihak. Dinamika yang baik dari pihak-pihak yang terlibat dalam tata kelola akan menjadi pemicu keberhasilan collaborative governance. Sebaliknya, dinamika yang buruk dari pihak-pihak yang terlibat akan menjadi pemicu kegagalan collaborative governance. Untuk menentukan baik atau buruknya suatu hubungan pemerintah, swasta dan masyarakat, dapat dikaji pada proses keterlibatan, motivasi dan kapasitas kolaborator selama program MGC dilaksanakan. Ketiganya merupakan bahan kajian yang menarik. Oleh Emerson, dkk (2011) menyebutnya sebagai dinamika collaborative governance.

Collaborative governance sektor lingkungan terkadang masih diperbincangkan, antara substansi atau simbol (Rodrigue, Magnan dan Cho, 2012). Adapun praktek kolaborasi yang dilakukan oleh banyak pihak pada program MGC telah mengindikasikan adanya pengutamaan muatan substansi. Adanya sesuatu hal yang dihasilkan terhadap kolaborator dan kondisi lingkungan hidup menjadi alasan mendasarnya, meskipun belum merata berhasil di seluruh wilayah yang menjadi area pelaksanaan program. Collaborative governance yang dilakukan sudah cukup tepat untuk dijadikan sebagai bahan penelitian pada kasus kolaboratif dalam pembangunan berkelanjutan. Ini mengingat masih jarang daerah

(9)

yang mengelola lingkungannya dengan mengedepankan praktek collaborative governance. Dalam Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHD) 2012 dijelaskan peranan multipihak pihak terdiri dari dunia usaha, Badan Usaha Milik Nnegara (BUMN), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat hukum ada, media, perguruan tinggi dan masyarakat luas dalam mengelola lingkungan hidup. Sayangnya, laporan SLHD tersebut belum menjelaskan satu sub bab pun tentang sejauhmana eksistensi kerjasama yang dilakukan pihak-pihak tersebut. Sementara itu, penting untuk disadari bahwa aksi dalam penghijauan dan pengelolaan sampah dapat berimpak pada kualitas lingkungan hidup.

Kolaborasi dalam pengelolaan lingkungan penting digalakkan mengingat situasi dan kondisi lingkungan hidup di kota Makassar masih memprihatinkan. Secara khusus SLHD Kota Makassar 2013 merilis bahwa :

1. Pencemaran air limbah akibat sampah domestik dari rumah tangga menunjukkan kecenderungan naik. Kanal, sungai dan laut mengalami pencemaran dari limbah industri.

2. Pencemaran udara terus terjadi yang disebabkan oleh emisi aktivitas industri, transportasi dan timbulan sampah dalam jumlah besar.

Data SLHD Kota Makassar 2013 minimal mengingatkan kepada semua pihak untuk turut mengambil bagian. Oleh karena konteks sebab akibat masalah lingkungan bersumber dari berbagai kalangan maka pengendaliannya jangan diparsialkan. Bagaimanapun juga, masalah lingkungan sulit ditangani oleh satu pihak. Pengendalinya bukan hanya pemerintah melainkan juga pihak swasta dan

(10)

masyarakat pada sektor lingkungan dikenal dengan konsep environmental governance (tata kelola lingkungan). Pergeseran paradigma dari sentralisasi ke desentralisasi lingkungan dan dari environmental government ke environmental governance merupakan suatu hal yang bersifat transformatif sekaligus reformis. Dengan demikian, suatu keharusan atau kewajiban bagi pemerintah daerah bersama swasta dan masyarakat setempat untuk menunaikan amanat negara dengan maksimal. Perubahan teks mesti seiring dengan perubahan konteks. Wujud nyata dari environmental governance diperlukan dalam pembangunan berkelanjutan.

Suatu collaborative governance sektor lingkungan hidup baik apabila semua pihak bisa bekerjasama tanpa konflik dan aksinya memunculkan perbaikan lingkungan hidup. Fenomena itulah yang mengemuka sehingga hal tersebut penting untuk dikaji lebih lanjut. Secara ringkas, pemilihan telaah pada program MGC 2008 – 2013 di kota Makassar didasarkan pada beberapa alasan berikut :

1. Program MGC melibatkan pemerintah, perusahaan, media, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat. Sebuah wujud dari collaborative environmental governance. Interkorelasi antara pihak memunculkan fakta sosial yang menarik diteliti dan dikaji dalam sudut pandang manajemen dan kebijakan publik.

2. Program serupa juga dilaksanakan di beberapa kota besar meliputi Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, Medan, Bandung, Banjarmasin, Balikpapan, Manado dan Denpasar. Pelaksanaan di kota Makassar

(11)

memiliki karakteristik tersendiri sehingga penting untuk diketahui dengan pendekatan studi kasus.

3. Program MGC telah dijadikan program unggulan Pemerintah Kota Makassar sejak tahun 2008 dalam rangka menyelesaikan masalah lingkungan kota. Selama pelaksanaannya, ada dinamika collaborative governance yang menarik untuk dikaji. Dalam hal ini, secara khusus terkait isu-isu collaborative governance seperti komunikasi, komitmen dan kepemimpinan.

4. Program MGC menekankan upaya penghijauan dan kebersihan (pengelolaan sampah) kota Makassar. Sejak program dirintis, ada dampak yang dirasakan terhadap perbaikan lingkungan hidup. Khususnya penghijauaan dan pengelolaan sampah.

5. Program MGC di Makassar diklaim sebagai pelopor sekaligus percontohan praktek collaborative environmental governance di Indonesia bagian timur. Dalam konteks ini, ada fenomena yang menarik diketahui dan dikembangkan agar kelebihannya bisa dimaksimalkan dan kelemahannya bisa diminimalisir.

Pada prinsipnya collaborative environmental governance sangat penting untuk diteliti sebagai bagian dari kepedulian terhadap instrumen kebijakan dan tata kelola lingkungan hidup daerah. Penelitian terhadap fenomena-fenomena sosial dari aspek collaborative governance yang terjadi dalam program MGC menarik dan tepat bila ditinjau dari disiplin ilmu administrasi negara atau

(12)

governance merupakan instrumen kebijakan publik sekaligus desain manajemen publik. Baik atau buruknya collaborative environmental govenrnance akan menjadi catatan dalam pengelolaan lingkungan hidup masa kini dan masa akan datang. Oleh karena itu, peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan judul ‘Collaborative Governance Dalam Program Makassar Green and Clean (MGC) 2008 – 2013’. Secara spesifik peneliti mengkaji ruang lingkup dari kolaborasi dalam tata kelola lingkungan hidup (collaborative environmental governance). Peneliti fokus pada dinamika isu dan aksi para kolaborator. Kemudian diakaitkan dengan hasil dari aksi yang dilakukan terhadap perbaikan lingkungan hidup. Oleh karena kolaborasi terkait dengan sektor lingkungan hidup maka pembahasannya erat kaitannya dengan upaya penghijauan dan pengelolaan sampah.

I.B. Pertanyaan Penelitian

Secara umum, penelitian ini mengarah pada kajian environmental governance di era desentralisasi. Untuk selanjutnya penelitian fokus pada collaborative governance dengan studi kasus pada program MGC di kota Makassar. Setelah memahami kolaborasinya, selanjutnya ditelaah dampaknya terhadap lingkungan perkotaan. Beranjak dari hal tersebut, peneliti merangkum 2 pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana berlangsungnya collaborative governance dalam program Makassar Green and Clean (MGC) 2008 – 2013 ?

(13)

2. Sejauhmana collaborative governance tersebut menghasilkan kondisi lingkungan perkotaan yang lebih baik ?

I.C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Baik dalam teori maupun praktek, collaborative governance sektor lingkungan merupakan suatu hal yang menarik sehingga peneliti mencoba mengkaji dalam satu penelitian dengan tujuan tertentu. Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji dan mengembangkan studi manajemen dan kebijakan publik yang terkait dengan praktek kolaborasi. Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Mengetahui collaborative governance dalam program Makassar Green and Clean (MGC) 2008 – 2013.

2. Mengetahui sejauhmana collaborative governance tersebut memperbaiki kondisi lingkungan perkotaaan.

Suatu penelitian diharapkan mempunyai manfaat bagi dunia akademisi dan praktisi. Oleh karena studi administrasi publik, manajemen publik dan kebijakan publik berbentuk ilmu terapan dan penelitian ini berbentuk kajian akademik maka kemanfaatan penelitian pada aspek teori dan praktek sudah menjadi keharusan. Bagaimanapun juga, hasil dari penelitan ini tetap berorientasi pada pengembangan konsep dan aplikasi. Berikut manfaat yang diharapkan berdasar kategorinya:

1. Dalam aspek akademik, penelitian ini mengembangkan kerangka collaborative governance sektor lingkungan sehingga membantu para ilmuwan atau akademisi dalam mengkaji pola hubungan antara pemerintah

(14)

daerah, swasta dan masyarakat lokal dalam menyelesaikan masalah lingkungan. Juga memberi tambahan referensi ilmu pengetahuan dalam studi manajemen dan kebijakan publik atau administrasi publik serta ilmu pemerintahan.

2. Dalam aspek praktis, penelitian ini dapat membantu pemerintah daerah, swasta dan masyarakat lokal dalam memformulasikan, mengimplementasikan dan mengevaluasi upaya pengendalian dan perlindungan lingkungan hidup. Juga dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman atau pertimbangan dalam pembuatan program hijau (green) dan bersih (clean) berbasis kota berkelanjutan di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Skripsi dengan judul “Sistem Informasi Pengelolaan Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Berbasis Web Responsif” telah menghasilkan sebuah sistem yang dapat

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada capaian dimensi ecological knowledge dalam konsep literasi lingkungan pada kelas yang menggunakan

Seluruh rekan dan pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu, yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini secara langsung maupun tidak langsung.. Penulis telah

Hal ini dapat dibuktikan bahwa anak yang berada pada minimal kategori berkembang sesuai harapan (BSH) pada setiap indikator yaitu indikator menghubungkan jumlah gambar

Bahwa pemanfaatan serta Penuaian hasil dari bisnis yang dijalankan adalah penyesuaian pemasaran dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan dampak dalam kesejahteraan

Dari evaluasi menggunakan silhouette coefficient pada penggunaan data twitter nilai sc Single linkage lebih tinggi daripada k-means.. Sedangkan nilai sc tertinggi untuk single

Pernyataan kemampuan dasar disusun dengan tujuan melengkapi pernyataan kompetensi penunjang yang tercantum pada Buku Standar Kompetensi Dokter gigi terbitan