• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. untuk berekspresi dan berkomunikasi. Menurut Bruner (1986), posisi tubuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. untuk berekspresi dan berkomunikasi. Menurut Bruner (1986), posisi tubuh"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah 1.1.1. Komunikasi dan tato

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari segala bentuk komunikasi1. Komunikasi memiliki bentuknya masing-masing bergantung pada situasi komunikasi yang berlangsung. Sebagai wahana penyampaian pesan, komunikasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, tergantung pilihan yang dianggap paling tepat oleh pengirim. Komunikasi dapat berbentuk verbal maupun nonverbal. Proses komunikasi verbal adalah kegiatan interaksi penyampaian dan penerimaan pesan-pesan yang dilakukan melalui percakapan (lisan) dan tulisan.

Kajian tentang komunikasi nonverbal telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah melalui tubuh. Bagi sebagian orang, tubuh menjadi media tepat untuk berekspresi dan berkomunikasi. Menurut Bruner (1986), posisi tubuh menjadi sangat vital karena ia merupakan ruang perjumpaan antara individu dan sosial, ide dan materi, sakral dan profan, transenden dan imanen. Sepanjang hayatnya manusia sebagai pelaku komunikasi tidaklah hidup dengan tubuh alamiahnya an sich.

Perbedaan persepsi pelaku komunikasi dalam menilai tato memberikan ilustrasi yang tidak hanya secara equal menjadikannya sebagai bentuk pilihan

1

Istilah komunikasi sendiri berasal dari kata Latin Communicare atau Communis yang berarti untuk berbagi, membagi keluar, berkomunikasi, menanamkan, menginformasikan, bergabung, bersatu, dan berpartisipasi dalam. Aw Suranto, Komunikasi Sosial Budaya, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm. 146.

(2)

antara memakai atau tidak, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai lain di luar dua pilihan hitam-putih. Lebih dari sekedar bentuk persetujuan, peneliti melihat tato bukan hanya sebagai wacana dalam bentuk ilustrasi gambar saja. Perkembangan pemaknaan tato yang individualistik tentunya memberikan warna tersendiri untuk dapat dilihat dari berbagai aspek, salah satunya dari aspek komunikasi.

Pengertian Tato secara garis besarnya adalah "gambar atau simbol yang dilukiskan pada permukaan kulit", atau dengan kata lain dapat juga diartikan sebagai "seni dalam merajah tubuh". Kata sebutan T-A-T-O itu sendiri menurut sejarah berawal dari bahasa Tahitian; “Ta-tu atau Ta-tau” yang konon artinya memberikan torehan tanda atau simbol. Setiap negara memiliki perbedaan penulisan kata dan bahasa sebutan untuk tato, seperti negara Indonesia.2

Tato ada di berbagai belahan dunia. Pada kisaran tahun 4000-2000 SM, tato merupakan bagian dari ritual yang memiliki nilai dan fungsionalitas yang cukup tinggi, dan juga digunakan sebagai lambang tingkatan religiositas seseorang, seperti kelompok masyarakat Amunet di Mesir maupun suku-suku kuno seperti Maya, Inca, Ainu, Polynesians, Maori, Aztec, dan lain-lain. Bangsa Yunani kuno memakai tato sebagai tanda pengenal para anggota dari badan intelijen mereka, alias mata-mata perang pada saat itu. Bangsa Cina kuno memakai tato untuk menandakan bahwa seseorang pernah dipenjara.

2

Anne Nicholas dalam “The Art of New Zealand” menjelaskan bahwa kata tato yang berasal dari kata tattau tersebut dibawa oleh Joseph Banks yang pertama kali bersandar di Tahiti pada 1769, dan disana ia mencatat berbagai fenomena manusia Tahiti yang tubuhnya dipenuhi oleh tato. Hatib Abdul Kadir Olong, Tato, LKis Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2006, hlm 84.

(3)

Di Indonesia orang-orang Mentawai di kepulauan Mentawai, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Sumba di NTB, sudah mengenal tato sejak zaman dulu. contohnya Suku Mentawai, tatonya tidak dibuat dengan sembarangan. Tato bagi masyarakat tradisional Mentawai memiliki banyak makna, tanda, serta simbol. 1.1.2. Stigma tato

Tato kini mengalami pergeseran dan memasuki nilai antroposentris. Sebelumnya tato bernilai religius transendental dan magis pada masyarakat suku bangsa pedalaman. Pergeseran inilah yang kemudian menjadikan tato sebagai wilayah yang diperebutkan antara moralitas tubuh hingga solidaritas tubuh. Ketika tato tidak menjadi simbolisasi tren maka ia akan kehilangan nilai sakralitas dan masuk ke pelataran profan. Pada akhirnya, tato dipandang terdemistifikasi hingga masuk ke jurang stigmatisasi negatif yang bernada klaim bahwa tato adalah cap penjahat, bajingan, gali, gento, dan sebagainya.

1.1.3. Tato sebagai gaya hidup masyarakat urban

Pasca runtuhnya rezim orde baru, ternyata udara segar kebebasan dan liberalitas tidak hanya dapat dinikmati oleh kalangan sadar hukum dan aktivis politik an sich, namun kebebasan dalam berekspresi juga melanda kaum muda urban yang lebih agresif, reaksioner, atraktif terhadap situasi dan lingkungan. Salah satu bentuk nyata yang dilakukan adalah kian merebaknya tato dan tindik menjadi simbol yang dapat ditafsirkan bermacam-macam, dari sekedar ikut-ikutan, pemberontakan, ekspresi, dan rasa seni.

(4)

interpretatif. Kegiatan interpretatif inilah yang disinggung oleh Geetz (1973): kebudayaan adalah jalinan di mana manusia menginterpretasikan pengalamannya dan selanjutnya hal tersebut menuntun tingkah lakunya. Ketika manusia menambahi, mengurangi, dan mengubah bagian tubuh sebagai media komunikasi maka akan memunculkan simbol ataupun bentuk komunikasi yang dapat dibaca dengan beragam makna.3

Masyarakat urban diidentikkan dengan masyarakat pendatang yang tinggal atau mengadu nasib di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan kota-kota besar lainnya. Masyarkat urban juga sering diartikan sebagai masyarakat desa yang pindah ke kota dimana gaya hidup dan pola pikirnya terpengaruh atau mencoba disesuaikan dengan kehidupan perkotaan. Di sisi lain masyarakat urban diartikan sebagai masyarakat yang majemuk, dimana ada beragam etnis dan golongan yang tinggal bersama di lingkungan yang permanen.

Pada kehidupan masyarkat urban, tato menempati kedudukan khusus dan menjadi pilihan dalam gaya hidup. Tato dijadikan pelengkap dalam fesyen dan disejajarkan dengan aksesoris-aksesoris pelengkap fesyen lainnya. Tidak hanya tato permanen, tato temporer pun sekarang menjadi sebuah tren dalam berpenampilan. Fenomena ini diakui Yunita P. Sakui, Psi., sebagai salah satu dampak globalisasi. Tren tato ini tidak lepas dari andil media massa yang tanpa malu-malu menampilkan artis-artis dengan tato di tubuhnya. Masyarakat urban yang notabene berusaha beradaptasi dengan kehidupan metropolis juga tanpa sungkan-sungkan meniru gaya idolanya. Idola dalam hal ini menjadi sumber

3

(5)

inspirasi dan referensi untuk menemukan jati diri para kaum urban. Proses tahapan pengaruh idola terhadap pengikut atau pengadopsi melewati bererapa tahapan, yakni: interest stage (terpesona atau tertarik model penampilan seseorang), kemudian evaluation stage (mengevaluasi perlu atau tidaknya melakukan peniruan), trial stage (mencoba menirukan bagian yang menarik hatinya), dan yang terakhir adalah adoption stage (mengambil keputusan, meniru sang idola).

1.1.4. Manajemen impresi pengguna tato

Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Dia menyebut upaya tersebut sebagai impression management atau pengelolaan kesan, yaitu teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan tertentu, seseorang akan mempresentasikan dirinya dengan atribut atau tindakan tertentu. Ketika berinteraksi atau berkomunikasi seseorang akan mengelola dirinya agar tampak seperti apa yang dikehendakinya. Benturan antara konsep diri dan peran dapat menimbulkan panggung-panggung drama dalam sosial, yang bisa dikatakan dalam teori Goffman sebagai manajemen impresi.4

Pasca runtuhnya rezim orde baru, tato telah menjadi fenomena kebudayaan masif yang menimbulkan kesan interpretatif. Realitas menunjukkan bahwa konsumsi tato didominasi oleh kaum muda, baik di pedesaan ataupun perkotaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa kaum muda mulai berani secara

4

Engkus Kuswarno, Fenomenologi (Metodologi Penelitian Komunikasi), Widya Padjajaran, Bandung, 2009, hlm. 221.

(6)

terangan mengkomunikasikan identitas mereka. Namun, dalam suatu sosiokultural, ada nilai dan peran sosiokultural. Nilai adalah prinsip-prinsip etika yang dipegang dengan kuat oleh individu atau kelompok sehingga mengikatnya dan lalu sangat berpengaruh pada perilakunya. Selain nilai, ada unsur peran dalam sosiokultural. Peran adalah seperangkat harapan atau tuntutan kepada seseorang untuk menampilkan perilaku tertentu karena orang tersebut menduduki status sosial atau pekerjaan profesional tertentu.5

Dikarenakan masih banyaknya stigma negatif yang ada dalam sosial khususnya di kota Jakarta, maka penulis melihat adanya pengelolaan kesan dari para pengguna tato yang menjalani peran-peran sosial maupun profesional. Penulis juga melihat adanya benturan antara konsep diri pengguna tato dengan aturan dan nilai-nilai yang ada dalam bermasyarakat maupun secara profesional. Tidak semua pengguna tato memperlihatkan tatonya secara terang-terangan pada masyarakat umum. Kebanyakan dari mereka hanya memperlihatkan tato mereka pada komunitas tato mereka, ataupun mereka hanya memperlihatkan tato di luar jam kerja, saat berkumpul bersama teman-teman mereka.

1.1.5. Peran

Peran adalah deskripsi sosial tentang siapa kita dan kita siapa. Peran menjadi bermakna ketika dikaitkan dengan orang lain, komunitas sosial politik atau pekerjaan profesional. Peran adalah kombinasi antara posisi dan pengaruh. Menurut Biddle dan Thomas dalam Arisandi, peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan

5

(7)

tertentu. Misalnya dalam pekerjaan profesional, konsep diri seorang dokter tidak diharapkan bertato, atau seorang dosen yang tidak diharapkan mempunyai tato. 1.1.6. Benturan pada peran

Dalam kaitannya dengan peran yang harus dilakukan, tidak semuanya mampu untuk menjalankan peran yang melekat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi kekurangberhasilan dalam menjalankan perannya. Dalam ilmu sosial, ketidakberhasilan ini terwujud dalam role conflict dan role strain.

1) Role conflict

Setiap orang memainkan sejumlah peran yang berbeda, dan kadang-kadang peran-peran tersebut membawa harapan-harapan yang bertentangan. Menurut Hendropuspito [1989], konflik peran (role conflict) sering terjadi pada orang yang memegang sejumlah peran yang berbeda macamnya, kalau peran-peran itu mempunyai pola kelakuan yang saling berlawanan meski subjek atau sasaran yang dituju sama. Dengan kata lain, bentrokan peranan terjadi kalau untuk menaati suatu pola, seseorang harus melanggar pola lain. Setidaknya ada dua macam konflik peran yakni konflik antara berbagai peran yang berbeda, dan konflik dalam satu peran tunggal. Pertama, satu atau lebih peran (apakah itu peran independen atau bagian-bagian dari seperangkat peran) mungkin menimbulkan kewajiban-kewajiban yang bertentangan bagi seseorang. Kedua, dalam peran tunggal mungkin ada konflik inheren.

(8)

2) Role strain

Adanya harapan-harapan yang bertentangan dalam satu peran yang sama ini dinamakan role strain. Satu hal yang menyebabkan terjadinya role strain adalah karena peran apapun sering menuntut adanya interaksi dengan berbagai status lain yang berbeda. Sampai tingkatan tertentu, masing-masing interaksi ini merumuskan peran yang berbeda, karena membawa harapan-harapan yang berbeda pula. Maka, apa yang tampak sebagai satu peran tunggal mungkin dalam sejumlah aspek sebenarnya adalah beberapa peran. Misalnya, status sebagai karyawan bagian pemasaran (sales) eceran di sebuah perusahaan, dalam arti tertentu sebenarnya membawa beberapa peran: sebagai bawahan (terhadap atasan di perusahaan itu), sebagai sesama pekerja (terhadap karyawan-karyawan lain di perusahaan itu), dan sebagai penjual (terhadap konsumen dan masyarakat yang ditawari produk perusahaan tersebut).6

1.1.7. Tato sebagai konsep diri

Manusia selalu mempunyai dan menunjukkan ide, kreativitas, rasa estetik, hingga rasa kemanusiaannya sepanjang peradaban. Salah satunya dengan menambah, mengurangi, mengubah, bahkan mengatur bagian tubuh alaminya dengan berbagai cara. Tubuh dengan posisi ambang seperti itu tidak saja disadari sebagai medium bagi merasuknya pengalaman diri, tetapi juga merupakan medium bagi terpancarnya ekspresi dan aktualisasi diri. Bahkan, lewat dan dalam

6

Rina Wahyu, “Teori Peran (Role Theory)”, diakses dari http://rinawahyu42.wordpress.com/2011/06/07/teori-peran-rhole-theory.

(9)

tubuh, pengalaman dan ekspresi terkait secara dialektis. Tak heran jika kemudian timbul aktivitas dekorasi seperti tato, piercing, dan body painting sebagai bentuk ekspresi konsep diri.

Dalam masyarakat modern, semua manusia adalah performer. Setiap orang bisa memainkan dan mengontrol konsep diri mereka. Gaya pakaian, pilihan bahasa, musik hingga segala macam aksesoris hingga tato atau tindik. George Herbert Mead mengatakan setiap manusia mengembangkan konsep dirinya melalui interaksi dengan orang lain dalam masyarakat – dan itu dilakukan lewat komunikasi. Jadi kita mengenal diri kita lewat orang lain, yang menjadi cermin yang memantulkan bayangan kita. Konsep diri menurut George Herbert Mead bukan sekedar penggambaran deskriptif mengenai diri kita, tetapi juga penilaian kita tentang diri kita. Dalam perkembangannya, significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita. Mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita, dan menyentuh kita secara emosional. Orang-orang ini bisa jadi idola kita, bintang film, musik, dan sebagainya.

Banyak artis atau suatu komunitas terkenal yang menggunakan tato, seperti David Beckham, Adam Levine, Tora Sudiro, dan sebagainya. Efek daripada para artis ini memperlihatkan tatonya, membuat banyak para pengguna tato yang juga mulai memperlihatkan tatonya di dalam sosial masyarakat.

1.1.8. Tato dalam berbagai aspek kajian

Ada berbagai macam aspek kajian mengenai tato, seperti kajian budaya, agama, politik, sosial, hermeunetika, seni, komunikasi, dan sebagainya. Dalam

(10)

segi politik contohnya adanya studi kasus petrus, yang mengupas mengenai tato dan premanisme. Banyak penelitian yang sebagian besar merupakan penelitian dari luar negeri, hanya sebagian kecil penelitian berasal dari Indonesia. Gumgum Gumilar, pada Jurnal Mediator tahun 2008 dengan judul penelitian “Makna Komunikasi Simbolik di Kalangan Pengguna Tato Kota Bandung”, mengeksplorasi bagaimana perkembangan motivasi dan proses pembuatan tato, makna simbolik, serta manajemen impresi pengguna tato di Bandung.

1.2. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Tato yang merupakan suatu produk dari kegiatan menggambar pada kulit tubuh dengan menggunakan alat sejenis jarum atau benda dipertajam yang terbuat dari flora (Olong, 2006), awalnya dianggap sebagai sesuatu yang tabu tetapi sekarang dimiliki oleh banyak orang terutama oleh kalangan profesional muda.

Dikarenakan masih banyaknya stigma negatif yang ada dalam sosial khususnya di kota Jakarta, maka penulis melihat adanya pengelolaan kesan dari para pengguna tato yang menjalani peran-peran sosial maupun profesional.

Dalam suatu sosiokultural, ada nilai dan peran sosiokultural. Selain nilai, ada unsur peran dalam sosiokultural. Peran adalah deskripsi sosial tentang siapa kita dan kita siapa. Peran menjadi bermakna ketika dikaitkan dengan orang lain, komunitas sosial politik dan pekerjaan profesional. Misalnya dalam pekerjaan profesional, konsep diri seorang dokter tidak diharapkan bertato, atau seorang dosen yang tidak diharapkan mempunyai tato.

Penulis juga melihat adanya benturan antara konsep diri pengguna tato dengan aturan dan nilai-nilai yang ada di dalam peran bermasyarakat maupun

(11)

peran secara profesional. Tidak semua pengguna tato memperlihatkan tatonya secara terang-terangan pada masyarakat umum. Kebanyakan dari mereka hanya memperlihatkan tato mereka pada komunitas tato mereka, ataupun mereka hanya memperlihatkan tato di luar jam kerja, saat berkumpul bersama teman-teman mereka.

Tato bukan sekadar simbol, bagi kalangan pengguna tato merupakan serangkaian objek yang dapat dikaitkan dengan manajemen impresi dan konsep diri. Kajian ini akan menjadi lebih menarik jika dikaitkan dengan kalangan profesional pengguna tato. Sebab, salah satu karakteristik profesional menurut Edgar Schein (1974) adalah mempunyai motivasi kuat dan terikat pada kode etik yang berlaku sesuai bidang profesinya.

Berdasarkan uraian yang telah saya kemukakan sejauh ini, maka terdapat pertanyaan utama sebagai masalah penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana manajemen impresi pengguna tato saat terjadi benturan konsep diri dengan peran pengguna tato dalam lingkungan sosial atau profesional? 2. Bagaimana benturan konsep diri pengguna tato dengan peran mereka dalam

lingkungan sosial atau profesional? 3. Bagaimana konsep diri pengguna tato? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti memiliki tujuan-tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan manajemen impresi di kalangan pengguna tato saat terjadi benturan antara peran dengan konsep diri.

(12)

2. Untuk mendeskripsikan benturan antara konsep diri pengguna tato dengan peran pengguna tato dalam lingkungan sosial atau profesional.

3. Untuk mendeskripsikan konsep diri pengguna tato serta memahami cara atau strategi pengguna tato mengkomunikasikan konsep diri.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Aspek teoritis

Hasil penelitian mengenai konsep diri pengguna tato diharapkan dapat menjadi referensi dan memperkaya kajian mengenai manajemen impresi dan konsep diri.

1.4.2. Aspek praktis

Penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan para peneliti lain untuk dapat memahami mengapa para pengguna tato menggunakan manajemen impresi mereka terhadap peran-peran mereka dalam lingkungan sosial maupun profesional, beturan-beturan apa saja yang dialami para pengguna tato kota Jakarta, serta bagaimana sebenarnya konsep diri mereka.

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan tindakan pada penelitian ini hanya satu kali pertemuan atau dua jam mata pelajaran. Sebelum pembelajaran dimulai guru memberi penghargaan kepada kelompok

Menurut Suyanti (2010: 111) pembelajaran kooperatif berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain. Perbedaan tersebut dapat terlihat dari proses pembelajaran yang lebih

Hasil penelitian didapatkan perbedaan yang cukup terlihat di mana jumlah pasien karsinoma hepatoseluler yang terinfeksi virus hepatitis B memiliki jumlah terbanyak sebesar

Sedangkan hasil transformasi pada E.coli JM 109 yang ditambahkan oleh X-gal dan IPTG diperoleh 842 koloni bakteri berwarna putih dan 78 koloni biru (gambar 2C).. Koloni putih

Reproduksi secara vegetatif pada jamur bersel satu dilakukan dengan cara pembentukan tunas yang akan tumbuh menjadi individu baru.. Sementara reproduksi secara

Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat saluran nafas (batuk) tanpa resep pada tayangan acara untuk anak-anak di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli

Pemilik perusahaan adalah para pemegang saham sedangkan pengurus perusahaan adalah direksi beserta stafnya yang diawasi oleh dewan komisaris.. Kelangsungan perusahaan

Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk Kantor Cabang Surakarta dan sumber lain mengenai pajak dan retribusi, e-retribusi pasar, bank, keuangan inklusif yang berkaitan dengan