• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. Obat cacing (pirantel pamoat) juga lebih baik diminum dengan susu atau sesudah makan, karena akan terjadi peningkatan absorpsi dengan makanan/susu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6. Obat cacing (pirantel pamoat) juga lebih baik diminum dengan susu atau sesudah makan, karena akan terjadi peningkatan absorpsi dengan makanan/susu"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Contoh interaksi obat dengan makanan/minuman atau nutrient

1. obat-obat antialergi golongan antihistamin (Benadryl, Claritin, CTM, Zyrtec, Incidal, dll) merupakan obat bersifat asam lemah yang absorpsinya terjadi di lambung. Maka seharusnya diminum saat perut kosong (satu jam sblm makan atau 2 jam sesudah makan) atau cukup diminum dengan air putih saja. Jika diminum dengan susu, adanya pencernaan susu akan menghambat proses absorpsi di lambung, efek obat menjadi lambat.

2. Obat pain killer dan antiinflamasi (anti rematik, anti Gout/asam urat, anti bengkak). Obat golongan ini sebagian besar bersifat asam agak tinggi (ibuprofen=Nurofen, advil, aspirin, aspilet, aspro, asam mefenamat=ponstan, mefinal) walaupun absorpsi terjadi di lambung, namun karena keasaman yang tinggi tsb akan menimbulkan efek samping nyeri lambung, maka seharusnya diminum bersama susu, atau sebentar sesudah makan. Walaupun jelas ada penundaan absorpsi, namun karena mengingat efek sampingnya yang jauh lebih berbahaya, maka lebih baik menunda absorpsi dengan makan/minum susu tsb. Begitu pula dengan obat anti inflamasi golongan non steroid (diclofenac/voltaren, difflam, cataflam) dan steroid (deksametason, metil

prednisolon/meptin, medrol, prednisone/deltasone, cortisone asetat/cortef), harus diminum sesudah makan atau bersama susu. Lain lagi dengan parasetamol (panadol, tempra, lylenol), karena bersifat lebih basa lemah dan diabsorpsi di usus, maka lebih baik obat jenis ini diminum sebelum makan, diikuti makanan sehingga akan segera sampai di usus, terjadilah proses

absorpsi.

3. Secara umum untuk antibiotik (penisilin=amoksisilin, ampisilin, ciproflokasasin, ofloksasin, eritromisin, azitromisin, metronidasol, cotrimoksasol) seharusnya diminum saat perut kosong. Minum cukup dengan air putih. Karena absorpsi terjadi di lambung. Hal menarik terjadi khusus dengan golongan tetrasiklin (tetrasiklin, oksitetrasiklin, doksisiklin, minosiklin). Bila obat golongan ini diminum dengan susu atau daiyr product yang mengandung kalsium (yogurt), atau diminum bersama obat suplemen mengandung zat besi dan kalsium (multivitamin dan mineral), atau obat sakit maag (mengandung kalsium, magnesium, atau aluminium), maka mineral valensi 2 dan 3 ini akan membentuk senyawa komplaeks ermolekul besar dengan golongan tetrasiklin. Obat golongan tetrasiklin sama sekali tidak terabsorpsi sehingga tidak akan muncul efek farmakologi yang diinginkan pasien, kemungkinan besar terjadi kegagalan terapi. Obat jerawat biasanya mengandung golongan tetrasiklin ini. Hal serupa juga berlaku untuk obat antijamur (griseofulvin, ketokonazol, fluconazol). Jangan diminum bersama susu, dairy product, multivitamin dan mineral, obat antasid untuk sakit maag.

4. Obat asma mengandung teofilin atau aminofilin, adanya makanan lemak tinggi atau cafein akan meningkatkan efek samping teofilin (terjadi gangguan di jantung, palpitasi). Jangan minum obat asma ini dengan kopi atau sesudah makan lemak tinggi. Makana berkadar tinggi karbohidrat seperti nasi akan menurunkan jumlah teofilin yang terabsorpsi. (Aminofilin sesudah masuk tubuh akan membentuk teofilin juga =prodrug).

5. Obat antikolesterol lovastatin, simvastatin, pravastatin, dengan adanya susu atau makanan akan meningkatkan absorpsi obat. Maka lebih baik diminum dengan susu atau sesudah makan (kurang dari 2 jam sesudah makan).

6. Obat cacing (pirantel pamoat) juga lebih baik diminum dengan susu atau sesudah makan, karena akan terjadi peningkatan absorpsi dengan makanan/susu

(2)

7. Obat antihipertensi ACEinhibitor (captopril dan golongannya=capoten, vasotec,accupril) jangan diminum bersama jus buah atau sayuran yang mengandung tinggi kalium/potasium (pisang, jeruk, sayuran berhijau daun), karena tingginya kalium akan meningkatkan efek oat golongan ini sehingga bisa muncul efek samping di jantung.

Jadi, sebaiknya obat diminum dengan susu, teh, air putih, jus buah, sebelum atau sesudah makan sangat bervariasi tergantung golongan obat (beserta sifat fisika kimia dan faktor lainnya yang terkait). Tidak bisa dilakukan generalisasi : tidak boleh minum obat dengan susu, minum obat harus sesudah makan, ini image dalam masyarakat yang harus diubah demi keberhasilan terapi obat.

(3)

Sistem syaraf otonom

Posted by Valdis Rein on 12:44 PM

Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf vegetatif, sistem syaraf visceral atau sistem syaraf tidak sadar, sistem mengendalikan dan mengatur kemauan. Sistem syaraf ini terdiri dari atas serabut syaraf-syaraf, ganglion-ganglion dan jaringan syaraf yang mensyarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-otot polos. Obat-obat yang sanggup mempengaruhi fungsi sistem syaraf otonom, bekerja berdasarkan kemampunannya untuk meniru atau memodifikasi aktivitas neurohimor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut syaraf otonom di ganglion atau sel-sel (organ-organ) efektor. Termasuk kelompok ini pula adalah beberapa kelenjar (ludah, keringat dan pencernaan) dan juga otot jantung, yang sebagai pengecualian bukan merupakan otot polos, tetapi suatu otot lurik. Dengan demikian, sistem saraf otonom tersebar luas di seluruh tubuh dan fungsinya adalah mengatur secara otomatis keadaan fisiologi yang konstan, seperti suhu badan, tekanan, dan peredaran darah, serta pernapasan (Tjay & Rahardja, 2002).

Anatomi Susunan Saraf Otonom

Sistem saraf otonom membawa impuls saraf dari susunan saraf pusat ke organ efektor melalui 2 jenis serat saraf eferen yaitu saraf praganglion dan saraf pascaganglion. Lingkaran refleks saraf otonom terdiri dari serat aferen yang sentripental disalurkan melalui N. vagus, pelvikus, splanknikus, dan saraf otonom lainnya. Badan sel serat-serat ini terletak di ganglia dalam kolumna dorsalis dan ganglia sensorik dari saraf kranial tertentu. Tidak jelas perbedaan antara serabut aferen sistem saraf otonom dengan serabut aferen sistem somatik, sehingga tidak dikenal obat yang secara spesifik dapat mempengaruhi serabut aferen otonom. Serat eferen yang disalurkan melalui saraf praganglion, ganglion, dan saraf pascaganglion berakhir pada sel efektor (Tjay & Rahardja, 2002).

Saraf otonom juga berhubungan dengan saraf somatik; sebaliknya kejadian somatik dapat mempengaruhi fungsi organ otonom. Pada susunan saraf pusat terdapat beberapa pusat otonom, yaitu di medulla oblongata terdapat pengatur pernapasan dan tekanan darah; hipotalamus dan hipofisis yang mengatur suhu tubuh, keseimbangan air, metabolisme karbohidrat dan lemak, pusat tidur dan sebagainya. Hipotalamus dianggap sebagai pusat sistem saraf otonom. Walaupun demikian masih ada pusat yang lebih tinggi lagi yang dapat mempengaruhinya yaitu korpus striatum dan korteks serebrum yang dianggap sebagai koordinator antara sistem otonom dan somatik (Tjay & Rahardja, 2002).

Serat eferen terbagi dalam sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis disalurkan melalui serat torakolumbal dari torakal 1 sampai lumbal 3, dalam sistem ini termasuk ganglia paravertebral, pravertebral dan ganglia terminal. Sistem parasimpatis atau kraniosakral outflow disalurkan melalui saraf otak ke III, VII, IX dan X, dan N. pelvikus yang berasal dari bagian sacral segmen 2, 3, dan 4. Sebagian besar neuron praganglion parasimpatis berakhir di sel-sel ganglion yang tersebar merata atau yang terdapat pada dinding organ efektor (Mutschler, 1991). Serat aferen misalnya yang berasal dari presoreseptor dan kemoreseptor dalam sinus karotikus, badan karotis dan aorta yang diteruskan melalui N. IX dan X menuju ke medulla oblongata. Sistem ini berhubungan dengan refleks untuk mempertahankan tekanan darah, frekuensi jantung dan pernapasan (Mutschler, 1991).

Neurotransmitter yang memperantarakan perpindahan impuls di serabut aferen belum jelas dipahami. Salah satu dugaan adalah substansi P yang terdapat di serabut sensoris aferen akar

(4)

dorsal ganglia dan tanduk dorsal medulla spinalis. Substansi P diduga berfungsi pada penyampaian stimulus nyeri ke pusat. Peptida lain yaitu somatostatin, polipeptida vasoaktif intestinal (VIP, Vasoactive Intestinal Polipeptide) dan kolesistokinin juga diduga berperan pada penyampaian impuls aferen dari organ otonom. Enfekalin di interneuron medulla spinalis dorsalis di area substansia gelatinosa berefek antinosiseptif yang ditimbulkan lewat aksi prasipnatik dan pascasipnatik, menghambat penglepasan substansi P (Mutschler, 1991).

Terdapat 5 perbedaan pokok antara saraf otonom dan saraf somatik yaitu 1. Saraf otonom menginervasi semua struktur dalam tubuh kecuali otot rangka;

2. Sinaps saraf otonom simpatis terletak dalam ganglia yang berada di medulla spinalis, yakni ganglio pravertebralis dan ganglia paravertebralis. Tetapi sinaps saraf otonom parasimpatis berakhir di ganglia parasimpatis, yang terdapat di luar organ yang dipersarafi, yakni ganglia siliaris, pterigopalatina, submandibula, otikus dan pelvis. Saraf somatik hanya mempunyai satu jenis neuron motorik, yang berasal dari otak atau medulla spinalis langsung menuju otot rangka tanpa melalui ganglia;

3. Saraf otonom membentuk pleksus yang terletak di luar susunan saraf pusat, saraf somatik tidak membentuk pleksus;

4. Saraf somatik diselubungi sarung mielin, saraf otonom pasca ganglion tidak bermielin; 5. Saraf otonom menginervasi sel efektor yang bersifat otonom, artinya sel efektor itu dapat berfungsi tanpa persarafan. Sebaliknya, jika saraf somatik putus maka otot rangka yang bersangkutan mengalami paralisis disusul atropi otot (Mutschler, 1991).

Fungsi Sistem Saraf Otonom

Sistem saraf otonom berfungsi untuk memelihara keseimbangan dalam organism (sistem dunia dalam). Sistem ini mengatur fungsi-fungsi yang tidak di bawah kesadaran dan kemauan, di antaranya:

• Sirkulasi, dengan cara menaikkan atau menurunkan aktivitas jantung dan khususnya melalui penyempitan atau pelebaran pembuluh-pembuluh darah.

• Pernapasan, dengan cara menaikkan atau menurunkan frekuensi pernapasan dan penyempitan atau pelebaran otot bronkhus.

• Peristaltik saluran cerna.

• Tonus semua otot polos lain (misalnya kandung empedu, ureter, kandung kemih, uterus). • Sekresi kelenjar keringat, kelenjar air ludah, kelenjar lembung, kelenjar usus, dan kelenjar-kelenjar lain (Wawansumantri, 2009).

Obat otonom

Obat-obat otonom adalah obat yang dapat memengaruhi penerusan impuls dalam sistem saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan, atau penguraian

neurotransmitter atau memengaruhi kerjanya atas reseptor khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot polos dan organ jantung dan kelenjar (Tjay & Rahardja, 2002). Cara kerja obat otonom

Obat otonom mempengaruhi transmisi neurohumoral dengan cara menghambat atau mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan tempat pengaruh obat pada transmisi sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu:

1. Hambatan pada sintesis atau penglepasan transmitter a. Kolinergik

(5)

Hemikolinium menghambat ambilan kolin ke dalam ujung saraf dan dengan demikian

mengurangi sintesis asetilkolin. Toksin botulinus menghambat penglepasan asetilkolin di semua saraf kolinergik. Toksin tersebut memblok secara irreversibel penglepasan asetilkolin dari gelembung saraf di ujung akson dan merupakan salah satu toksin paling poten yang dikenal. Toksin botulinum memproteolisis protein membrane; sintaksin dan SNAP-25 (synaptosome associated protein) yang berperan dalam fusi membran vesikel dengan membran prasinaps dalam eksositosis vesikel kolinergik. Toksin tetanus mempunyai mekanisme kerja yang serupa.

b. Adrenergik

Metiltirosin memblok sintesis norepinefrin dengan menghambat tirosin-hidroksilase, enzim yang mengkatalisis tahap penentu laju sintesis (rate limiting slope) norepinefrin. Sebaliknya,

metildopa, penghambat dopa dekarboksilase, seperti dopa sendiri didekarboksilasi dan dihidroksilasi menjadi α-metil norepinefrin. Guanetidin dan bretilium juga mengganggu penyimpanan norepinefrin dengan akibat pengosongan norepinefrin di vesikel.

2. Menyebabkan penglepasan transmitter a. Kolinergik

Racun laba-laba black widow yaitu latroroksin menyebabkan penglepasan asetilkolin (eksositosis) yang berlebihan, disusul dengan blockade.

b. Adrenergik

Banyak obat dapat meningkatkan penglepasan norepinefrin. Tergantung dari kecepatan dan lamanya penglepasan, efek yang terlihat dapat berlawanan. Tiramin, efedrin, amfetamin dan obat sejenis menyebabkan penglepasan norepinefrin yang relatif cepat dan singkat sehingga

menghasilkan efek simpatomimetik . Sebaliknya reserpin, dengan memblok transport aktif norepinefrin dan transmitter lain misalnya 5-HT dan dopamin ke dalam vesikel menyebabkan pengosongan transmitter secara lambat dari vesikel. Norepinefrin di luar vesikel akan dipecah oleh MAO. Akibat pengosongan depot norepinefrin di ujung saraf, terjadi penurunan aktivitas yang bermanifestasi sebagai penurunan tekanan darah.

Bretilium dan guanetidin menghambat penglepasan neurotransmitter dari vesikel. Kokain dan antidepresi trisiklik menghambat ambilan kembali norepinefrin ke ujung saraf adrenergik. 3. Ikatan dengan reseptor

Obat yang menduduki reseptor dan dapat menimbulkan efek yang mirip dengan efek transmitter disebut agonis. Obat yang hanya menduduki reseptor tanpa menimbulkan efek langsung

mengakibatkan berkurang atau hilangnya efek transmitter pada sel tersebut karena tergesernya transmitter dari reseptor disebut antagonis atau bloker.

4. Hambatan destruksi transmitter a. Kolinergik

Antikolinesterase merupakan kelompok besar zat yang menghambat destruksi asetilkolin karena menghambat AChE, dengan akibat perangsangan berlebihan di reseptor muskarinik oleh

asetilkolin dan terjadinya perangsangan disusul blockade di reseptor nikotinik. b. Adrenergik

Ambilan kembali norepinefrin setelah penglepasannya di ujung saraf merupakan mekanisme utama penghentian transmisi adrenergik. Hambatan proses ini oleh kokain dan imipramin mendasari peningkatan respon terhadap perangsangan simpatis oleh obat tersebut. Penghambat COMT misalnya entakapon hanya sedikit meningkatkan respon katekolamin, sedangkan penghambat MAO misalnya tranisilpromin, pargilin, iproniazid, dan nialamid hanya meningkatkan efek tiramin tetapi tidak meningkatkan efek katekolamin. Sekarang telah dikembangkan MAO yang lebih selektif. Monoaminoksidase-A yang menghambat MAO

(6)

pemecah norepinefrin dan 5-HT dan penghambat MAO-B yang mneghambat pemecahan dopamin (Mutschler, 1991).

Penggolongan Obat Otonom

Menurut efek utamanya maka obat otonom dapat dibagi dalam 5 golongan, yaitu: 1. Parasimpatomimetik atau kolinergik

Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimpatis.

2. Simpatomimetik atau adrenergik

Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis. 3. Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik

Golongan obat yang menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis 4. Simpatolitik atau penghambat adrenergik

Golongan obat yang menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf simpatis. 5. Obat ganglion

Golongan obat yang merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion (Pearce, 2002). DAFTAR PUSTAKA

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi 5. ITB. Bandung.

Pearce, E. C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta Tjay, T. H dan K. Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Penerbit Gramedia. Jakarta

Wawansumantri. 2009. Sistem Syaraf Pada Manusia. Available online at

http://www.scribd.com/doc/13342264/Sistem-Saraf-Pada-Manusia [diakses tanggal 26 Maret 2010].

Val Rein's blog

 Home  Downloads  Contact me  Free Ebook

Categories

Chat Box

Monday, January 9, 2012

(7)

Posted by Valdis Rein on 12:44 PM

Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf vegetatif, sistem syaraf visceral atau sistem syaraf tidak sadar, sistem mengendalikan dan mengatur kemauan. Sistem syaraf ini terdiri dari atas serabut syaraf-syaraf, ganglion-ganglion dan jaringan syaraf yang mensyarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-otot polos. Obat-obat yang sanggup mempengaruhi fungsi sistem syaraf otonom, bekerja berdasarkan kemampunannya untuk meniru atau memodifikasi aktivitas neurohimor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut syaraf otonom di ganglion atau sel-sel (organ-organ) efektor. Termasuk kelompok ini pula adalah beberapa kelenjar (ludah, keringat dan pencernaan) dan juga otot jantung, yang sebagai pengecualian bukan merupakan otot polos, tetapi suatu otot lurik. Dengan demikian, sistem saraf otonom tersebar luas di seluruh tubuh dan fungsinya adalah mengatur secara otomatis keadaan fisiologi yang konstan, seperti suhu badan, tekanan, dan peredaran darah, serta pernapasan (Tjay & Rahardja, 2002).

Anatomi Susunan Saraf Otonom

Sistem saraf otonom membawa impuls saraf dari susunan saraf pusat ke organ efektor melalui 2 jenis serat saraf eferen yaitu saraf praganglion dan saraf pascaganglion. Lingkaran refleks saraf otonom terdiri dari serat aferen yang sentripental disalurkan melalui N. vagus, pelvikus, splanknikus, dan saraf otonom lainnya. Badan sel serat-serat ini terletak di ganglia dalam kolumna dorsalis dan ganglia sensorik dari saraf kranial tertentu. Tidak jelas perbedaan antara serabut aferen sistem saraf otonom dengan serabut aferen sistem somatik, sehingga tidak dikenal obat yang secara spesifik dapat mempengaruhi serabut aferen otonom. Serat eferen yang disalurkan melalui saraf praganglion, ganglion, dan saraf pascaganglion berakhir pada sel efektor (Tjay & Rahardja, 2002).

Saraf otonom juga berhubungan dengan saraf somatik; sebaliknya kejadian somatik dapat mempengaruhi fungsi organ otonom. Pada susunan saraf pusat terdapat beberapa pusat otonom, yaitu di medulla oblongata terdapat pengatur pernapasan dan tekanan darah; hipotalamus dan hipofisis yang mengatur suhu tubuh, keseimbangan air, metabolisme karbohidrat dan lemak, pusat tidur dan sebagainya. Hipotalamus dianggap sebagai pusat sistem saraf otonom. Walaupun demikian masih ada pusat yang lebih tinggi lagi yang dapat mempengaruhinya yaitu korpus striatum dan korteks serebrum yang dianggap sebagai koordinator antara sistem otonom dan somatik (Tjay & Rahardja, 2002).

Serat eferen terbagi dalam sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis disalurkan melalui serat torakolumbal dari torakal 1 sampai lumbal 3, dalam sistem ini termasuk ganglia paravertebral, pravertebral dan ganglia terminal. Sistem parasimpatis atau kraniosakral outflow disalurkan melalui saraf otak ke III, VII, IX dan X, dan N. pelvikus yang berasal dari bagian sacral segmen 2, 3, dan 4. Sebagian besar neuron praganglion parasimpatis berakhir di sel-sel ganglion yang tersebar merata atau yang terdapat pada dinding organ efektor (Mutschler, 1991). Serat aferen misalnya yang berasal dari presoreseptor dan kemoreseptor dalam sinus karotikus, badan karotis dan aorta yang diteruskan melalui N. IX dan X menuju ke medulla oblongata. Sistem ini berhubungan dengan refleks untuk mempertahankan tekanan darah, frekuensi jantung dan pernapasan (Mutschler, 1991).

Neurotransmitter yang memperantarakan perpindahan impuls di serabut aferen belum jelas dipahami. Salah satu dugaan adalah substansi P yang terdapat di serabut sensoris aferen akar dorsal ganglia dan tanduk dorsal medulla spinalis. Substansi P diduga berfungsi pada penyampaian stimulus nyeri ke pusat. Peptida lain yaitu somatostatin, polipeptida vasoaktif

(8)

intestinal (VIP, Vasoactive Intestinal Polipeptide) dan kolesistokinin juga diduga berperan pada penyampaian impuls aferen dari organ otonom. Enfekalin di interneuron medulla spinalis dorsalis di area substansia gelatinosa berefek antinosiseptif yang ditimbulkan lewat aksi prasipnatik dan pascasipnatik, menghambat penglepasan substansi P (Mutschler, 1991).

Terdapat 5 perbedaan pokok antara saraf otonom dan saraf somatik yaitu 1. Saraf otonom menginervasi semua struktur dalam tubuh kecuali otot rangka;

2. Sinaps saraf otonom simpatis terletak dalam ganglia yang berada di medulla spinalis, yakni ganglio pravertebralis dan ganglia paravertebralis. Tetapi sinaps saraf otonom parasimpatis berakhir di ganglia parasimpatis, yang terdapat di luar organ yang dipersarafi, yakni ganglia siliaris, pterigopalatina, submandibula, otikus dan pelvis. Saraf somatik hanya mempunyai satu jenis neuron motorik, yang berasal dari otak atau medulla spinalis langsung menuju otot rangka tanpa melalui ganglia;

3. Saraf otonom membentuk pleksus yang terletak di luar susunan saraf pusat, saraf somatik tidak membentuk pleksus;

4. Saraf somatik diselubungi sarung mielin, saraf otonom pasca ganglion tidak bermielin; 5. Saraf otonom menginervasi sel efektor yang bersifat otonom, artinya sel efektor itu dapat berfungsi tanpa persarafan. Sebaliknya, jika saraf somatik putus maka otot rangka yang bersangkutan mengalami paralisis disusul atropi otot (Mutschler, 1991).

Fungsi Sistem Saraf Otonom

Sistem saraf otonom berfungsi untuk memelihara keseimbangan dalam organism (sistem dunia dalam). Sistem ini mengatur fungsi-fungsi yang tidak di bawah kesadaran dan kemauan, di antaranya:

• Sirkulasi, dengan cara menaikkan atau menurunkan aktivitas jantung dan khususnya melalui penyempitan atau pelebaran pembuluh-pembuluh darah.

• Pernapasan, dengan cara menaikkan atau menurunkan frekuensi pernapasan dan penyempitan atau pelebaran otot bronkhus.

• Peristaltik saluran cerna.

• Tonus semua otot polos lain (misalnya kandung empedu, ureter, kandung kemih, uterus). • Sekresi kelenjar keringat, kelenjar air ludah, kelenjar lembung, kelenjar usus, dan kelenjar-kelenjar lain (Wawansumantri, 2009).

Obat otonom

Obat-obat otonom adalah obat yang dapat memengaruhi penerusan impuls dalam sistem saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan, atau penguraian

neurotransmitter atau memengaruhi kerjanya atas reseptor khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot polos dan organ jantung dan kelenjar (Tjay & Rahardja, 2002). Cara kerja obat otonom

Obat otonom mempengaruhi transmisi neurohumoral dengan cara menghambat atau mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan tempat pengaruh obat pada transmisi sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu:

1. Hambatan pada sintesis atau penglepasan transmitter a. Kolinergik

Hemikolinium menghambat ambilan kolin ke dalam ujung saraf dan dengan demikian

(9)

saraf kolinergik. Toksin tersebut memblok secara irreversibel penglepasan asetilkolin dari gelembung saraf di ujung akson dan merupakan salah satu toksin paling poten yang dikenal. Toksin botulinum memproteolisis protein membrane; sintaksin dan SNAP-25 (synaptosome associated protein) yang berperan dalam fusi membran vesikel dengan membran prasinaps dalam eksositosis vesikel kolinergik. Toksin tetanus mempunyai mekanisme kerja yang serupa.

b. Adrenergik

Metiltirosin memblok sintesis norepinefrin dengan menghambat tirosin-hidroksilase, enzim yang mengkatalisis tahap penentu laju sintesis (rate limiting slope) norepinefrin. Sebaliknya,

metildopa, penghambat dopa dekarboksilase, seperti dopa sendiri didekarboksilasi dan dihidroksilasi menjadi α-metil norepinefrin. Guanetidin dan bretilium juga mengganggu penyimpanan norepinefrin dengan akibat pengosongan norepinefrin di vesikel.

2. Menyebabkan penglepasan transmitter a. Kolinergik

Racun laba-laba black widow yaitu latroroksin menyebabkan penglepasan asetilkolin (eksositosis) yang berlebihan, disusul dengan blockade.

b. Adrenergik

Banyak obat dapat meningkatkan penglepasan norepinefrin. Tergantung dari kecepatan dan lamanya penglepasan, efek yang terlihat dapat berlawanan. Tiramin, efedrin, amfetamin dan obat sejenis menyebabkan penglepasan norepinefrin yang relatif cepat dan singkat sehingga

menghasilkan efek simpatomimetik . Sebaliknya reserpin, dengan memblok transport aktif norepinefrin dan transmitter lain misalnya 5-HT dan dopamin ke dalam vesikel menyebabkan pengosongan transmitter secara lambat dari vesikel. Norepinefrin di luar vesikel akan dipecah oleh MAO. Akibat pengosongan depot norepinefrin di ujung saraf, terjadi penurunan aktivitas yang bermanifestasi sebagai penurunan tekanan darah.

Bretilium dan guanetidin menghambat penglepasan neurotransmitter dari vesikel. Kokain dan antidepresi trisiklik menghambat ambilan kembali norepinefrin ke ujung saraf adrenergik. 3. Ikatan dengan reseptor

Obat yang menduduki reseptor dan dapat menimbulkan efek yang mirip dengan efek transmitter disebut agonis. Obat yang hanya menduduki reseptor tanpa menimbulkan efek langsung

mengakibatkan berkurang atau hilangnya efek transmitter pada sel tersebut karena tergesernya transmitter dari reseptor disebut antagonis atau bloker.

4. Hambatan destruksi transmitter a. Kolinergik

Antikolinesterase merupakan kelompok besar zat yang menghambat destruksi asetilkolin karena menghambat AChE, dengan akibat perangsangan berlebihan di reseptor muskarinik oleh

asetilkolin dan terjadinya perangsangan disusul blockade di reseptor nikotinik. b. Adrenergik

Ambilan kembali norepinefrin setelah penglepasannya di ujung saraf merupakan mekanisme utama penghentian transmisi adrenergik. Hambatan proses ini oleh kokain dan imipramin mendasari peningkatan respon terhadap perangsangan simpatis oleh obat tersebut. Penghambat COMT misalnya entakapon hanya sedikit meningkatkan respon katekolamin, sedangkan penghambat MAO misalnya tranisilpromin, pargilin, iproniazid, dan nialamid hanya meningkatkan efek tiramin tetapi tidak meningkatkan efek katekolamin. Sekarang telah dikembangkan MAO yang lebih selektif. Monoaminoksidase-A yang menghambat MAO pemecah norepinefrin dan 5-HT dan penghambat MAO-B yang mneghambat pemecahan dopamin (Mutschler, 1991).

(10)

Penggolongan Obat Otonom

Menurut efek utamanya maka obat otonom dapat dibagi dalam 5 golongan, yaitu: 1. Parasimpatomimetik atau kolinergik

Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimpatis.

2. Simpatomimetik atau adrenergik

Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis. 3. Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik

Golongan obat yang menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis 4. Simpatolitik atau penghambat adrenergik

Golongan obat yang menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf simpatis. 5. Obat ganglion

Golongan obat yang merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion (Pearce, 2002). DAFTAR PUSTAKA

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi 5. ITB. Bandung.

Pearce, E. C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta Tjay, T. H dan K. Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Penerbit Gramedia. Jakarta

Wawansumantri. 2009. Sistem Syaraf Pada Manusia. Available online at

http://www.scribd.com/doc/13342264/Sistem-Saraf-Pada-Manusia [diakses tanggal 26 Maret 2010].

(11)

Obat Sistem Syaraf Otonom

2:15 AM S7 Group

Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook

Digolongkan menjadi ;  Parasimpatomimetik / Kolinergik  Simpatomimetik / Adrenergik  Parasimpatolitik / Kolinolitik  Simpatolitik  Obat ganglion.

SSO SARAF PARASIMPATIS

Neurotransmitter : Asetil Kolin (Ach)

Reaksi : Asetil Ko Enzim A + Kolin ==> Asetil kolin

Reseptor dari Asetil Kolin :

Resptor muskarinik (pada otot polos) terbagi atas :

M1 : Terdapat pada sel-sel otak dan sel-sel parietal lambung M2 : Terdapat pada jantung

M3 : Terdapat pada otot polos dan kelenjar.

Reseptor Nikotinik ( pada otot rangka ) terdapat pada : - Ganglia otonom (simpul saraf)

- Medula adrenal.

Obat-obat yang bekerja pada saraf parasimpatis : Kolinomimetik = Kolinergik = Parasimpatomimetik

(12)

Obat yang kerjanya mirip dengan asetil kolin dibagi atas : <!> Bekerja langsung pada reseptor Ach, yaitu :

Nikotinik agonis (Ganglion stimulan)

Tidak digunakan dalam klinis, meningkatkan motilitas usus, meningkatkan salivasi dan ekskresi bronkus.

Contoh > Nikotin

Muskarinik agonis

* Karbakol dan Betanekol

Karbakol mempunyai kekuatan 800 kali Ach, sedangkan Betanekol mempunyai kekuatan

10 kali Ach

Digunakan untuk menstimulasi peristaltik ureter pada kandung kemih & menurunkan kapasitas

kandung kemih (biasa digunkan pada penyakit ginjal atau sesudah operasi). * Pilokarpin (pada tetes mata)

Untuk mengurangi tekanan intra okuler pada penderita glaukoma. <!> Antikolinesterase = Anti Asetil kolin Esterase

Bekerja menginhibisi enzim asetilkolin esterase yang berperan dalam perubahan asetilkolin menjadi asam

asetat dan kolin, sehingga asetilkolin dapat secara bebas mencapai reseptornya.

Yang bekerja secara reversibel

* Edrphonium (Untuk pengobatan pada miastenia gravis). * Fisostigmin (Dalam sediaan tetes mata untuk pengobatan glaukoma). * Neostigmin & Piridostigmin.

Yang bekerja secara irreversibel

Dari golongan senyawa fosfor organik

Contoh > Insektisida Paration dan Malation. Kolinolitik = parasimpatolitik

Merupakan antagonis reseptor kolinergik yang terbagi menjadi ; <!> Bloker Ganglion

Menyebabkan hipotensi, midriasis, mulut kering, konstipasi, retensi urin dan impoten. Contoh : Trimetaphan (Digunakan untuk memelihara kondisi hipotensi pada saat operasi). <!> Antagonis Muskarinik

Bekerja memblok efek asetilkolin yang dilepaskan dari postganglion saraf parasimpatis. Atropin yang merupakan alkaloid dari tanaman Atropa belladona merupakan prototipe dari golongan ini.

Atropin dan Hyosin (Scopolamin)

* Medikasi pre-anestesi pada saat operasi untuk menghambat sekresi bronkus yang berlebihan.

(13)

* Sebagai antispasmodik untuk mengatasi kejang pada saluran cerna. * Pengobatan Parkinson’s Disease (Benzatropin).

Iprotropium (Merupakan terapi tambahan pada pengobatan asma). Tropicamid (Untuk mendilatasi pupil mata).

Hyosin (Untuk mabuk perjalanan).

SSO SIMPATIS Neurotransmiter :

Yang dihasilkan oleh ujung;

Saraf simpatis ==> Nor Adrenalin / Nor Epinefrin

Yang dihasilkan oleh medula;

Adrenal ==> Adrenalin“SSO Simpatis berperan penting dalam pengaturan organ-organ jantung

dan vascular”.

RESEPTOR SSO SIMPATIS Reseptor α (Subtipe : α1 dan α2)

<*> α1, Terdapat pada otot polos pembuluh darah, sel kemih, kelamin, peredaran darah jantung. <*> α2, Terdapat pada ujung saraf adrenergik, sel-sel efektor pada otak, β pankreas dan platelet .

(14)

Reseptor β (Subtipe : β1, β2 dan β3)

Berdasarkan perbedaan selektivitas pada bidang agonis & antagonisnya. <*> β1, Terdapat pada jantung.

<*> β2, Bronkus, peredaram darah, sal cerna dan sel kemih. <*> β3, Jaringan adiposa.

Dimana aktivasi reseptor;

<*> β1, Menimbulkan perangsangan jantung dan peningkatan sekresi renin di ginjal. <*> β2, Relaksasi otot polos bronkus , dan sebagainya.

Referensi

Dokumen terkait

tersebut dapat menyulitkan dokter dalam pengambilan data anamnesis, demikian pula dalam pengobatan dan tindak lanjut adanya gangguan kognitif tentu akan mempengaruhi kepatuhan

[r]

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 13 Tahun 2010 tentang

Kabupaten Samosir memiliki 12 puskesmas yaitu 5 puskesmas dengan rawat inap dan 7 puskesmas dengan non rawat inap.Kabupaten Samosir memiliki cakupan persalinan yang

Hasil rancangan merupakan tahap uji coba terhadap Pengembangan LKS (Lembar Kerja Siswa) Online Untuk Evaluasi Belajar Pada Sekolah Menengah Kejuan Berbais Web yang

Dalam penelitian yang dilakukan pada situs-situs arkeologi di indonesia bagian barat, diketahui bahwa aspek-aspek kemaritiman tidak hanya ditemukan pada situs-situs

Dr.. Seperti &amp;uga pemeri%aan $ang mendalam. Seperti &amp;uga pen$a%it $ang lain# pemeri%aan )i $ang pen$a%it $ang lain# pemeri%aan )i $ang teliti dan

Oleh sebab itu, untuk saat ini, karena belum adanya pengaturan lebih lanjut mengenai LPD termasuk dalam melakukan pengikatan jaminan dalam transaksi kredit,