• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM MENJAMIN KEBEBASAN BERAGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM MENJAMIN KEBEBASAN BERAGAMA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

65

TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM MENJAMIN KEBEBASAN

BERAGAMA

Dedi Yuliansyah1 Basri Effendi2

1

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, dedyyuliansyah@unsyiah.ac.id

2

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, basrieffendi@unsyiah.ac.id Corresponding author: dedyyuliansyah@unsyiah.ac.id

Received: 25th November 2020, Revised: 2nd December 2020, Accepted: 5th January 2021

Abstract

The implementation of the guarantee of religious life is an important part of the conception of the Indonesian nation-state which creates the responsibility of state administrators to regulate freedom of religion and belief, in order not to cause disturbances to security and public order. The problem occurs when the state authority has the power to regulate it, but not perform its function in ensuring the religions rights, so that it does not limit the basic human rights to observant their religion. Therefore, the focus of the study in this paper is whether religious freedom in Indonesia is in accordance with the mandate of the constitution, and what is the form of the state's responsibility to guarantee religious freedom in accordance with applicable laws. Freedom of religion is a right that cannot be reduced regardless of the circumstances (non-derogable rights). Protection of the right to freedom of belief and practice of religion is contained in international human rights instruments and national legislation. This study uses normative legal research methods (juridical-normative). The research approach is carried out by examining various conventions and regulations that are related and relevant to the problem and object of this study.

Keywords: State’s responsibility, Diversity

Abstrak

Pelaksanaan Jaminan kehidupan beragama merupakan bagian penting dalam konsepsi negara kebangsaan Indonesia yang melahirkan tanggungjawab penyelenggara negara untuk mengatur kebebasan beragama dan berkeyakinan agar tidak menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum. Permasalahan terjadi ketika otoritas negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur hal tersebut, tetapi belum melaksanakan fungsinya dalam menjamin hak beragama, sehingga tidak membatasi Hak dasar manusia untuk menjalankan agamanya. Oleh karena itu, fokus kajian pada penulisan ini adalah apakah kebebasan beragama di Indonesia sudah sesuai dengan amanah konstitusi, dan bagaimana bentuk tanggung jawab negara untuk menjamin kebebasan beragama sesuai perundang-undangan yang berlaku. Kebebasan beragama merupakan hak yang tidak dapat dikurangi bagaimanapun juga keadaannya (non-derogable rights). Perlindungan hak atas kebebasan memeluk dan menjalankan agama dimuat dalam instrumen HAM internasional dan peraturan perundang-undangan nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan atau metode penelitian hukum normatif (yuridis-normatif). Pendekatan penelitian dilakukan dengan cara mengkaji berbagai konvensi dan peraturan-peraturan yang berhubungan dan relevan dengan masalah objek kajian dalam penelitian ini.

(2)

66 I. PENDAHULUAN

Konsepsi kebebasan beragama telah berkembang sejak Indonesia berdiri sebagai negara yang merdeka. Sebelum BPUPKI membahas mengenai dasar negara, wacana ini telah menjadi bagian dari perdebatan founding father, yang kemudian dirumuskan dalam hukum dasar (staat fundamental norm) Sila pertama Pancasila. Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengemukakan bahwa “Negara Indonesia merupakan negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun hal tersebut bukan berarti menunjukkan Indonesia negara agama, namun demikian Indonesia bukan juga negara sekuler, tetapi Indonesia mengakui keberadaan agama, sebagai bagian integral dari masyarakat Indonesia dan menjadikan agama sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia.

Konstitusi Indonesia mewajibkan setiap penduduk untuk saling hormat menghormati dan menghargai terhadap perbedaan keyakinan yang ada.“Oleh karena itu, negara menjamin hak penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya”tersebut. Pengaturan tentang jaminan hak penduduk dalam beragama tersebut, menunjukkan bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang dibentuk dari proses resultante (kesepakatan) dari suatu bangsa memiliki nilai-nilai religius.1

Adanya jaminan dalam kehidupan beragama tersebut juga menunjukkan relevansi dalam konsepsi negara kebangsaan Indonesia, yang terdiri dari ikatan berbagai perbedaan dan nilai-nilai pluralitas.2 Negara disatu sisi menjamin kebebasan beragama, tetapi disisi juga memastikan agar kehidupan beragama dapat terlaksana secara tentram dan damai. Oleh karena itu, negara diberikan kewenangan oleh konstitusi untuk melakukan pengaturan, agar tidak terjadi disintegrasi akibat praktek berama yang salah.

Hal itu kemudian melahirkan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta para penyelenggara negara untuk untuk mengatur kebebasan beragama dan berkeyakinan agar tidak menimbulkan penyimpangan dalam beragama yang berakibat mengganggu kepentingan umum. Memang ada kebebasan kepada setiap orang untuk menjalankan ritual ibadah dan memahami suatu ajaran yang merupakan hak setiap individu. Akan tetapi, pemahaman itu harus sesuai

1

Adam muhshi, Teologi Konstitusi: Hukum Hak Asasi Manusia atas Kebebasan Beragama, Jakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2015, hlm. 3.

2

(3)

67

dengan kaidah pokok agama sebagaimana yang diajarkan oleh para pemuka agama yang menjadi rujukan dan berdasarkan sumber ajaran agama yaitu yaitu kitab.3

Meskipun hak memeluk agama dan menjalankan keyakinan termasuk non-derogable

rights, sehingga tidak bisa dikurangi, 4 namun menurut perspektif HAM, negara dalam menjalankan tanggungjawabnya diperbolehkan untuk membatasi hak-hak tertentu. Tidak semua hak dalm menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan, berada dalam ruang lingkup hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Negara sebagai otoritas yang berdaulat dalam ranah publik dapat melakukan pembatasan sesuai aturan yang berlaku. Setiap pembatasan yang dilakukan oleh negara tersebut, harus melalui suatu mekanisme yang benar dengan melibatkan lembaga yang memiliki otoritas untuk mengatur.

Permasalahan terjadi ketika otoritas negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur tersebut, seperti tidak berdaya ketika berhadapan dengan kelompok masyarakat tertentu. Sehingga kehadiran negara seperti ada dan tiada, karena tidak memiliki wibawa untuk melaksanakan tanggung jawabnya tersebut. Disisi lain permasalahan juga terjadi dalam hal menentukan batasan dari tanggung jawab negara dalam menjamin beragama. Ketika negara melampaui batas dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, yang terjadi justru bukan ketentraman tetapi pelanggaran terhadap hak warga negara dalam beragama. Oleh sebab itu, permasalahan dalam penulisan ini adalah apakah kebebasan beragama di Indonesia sudah sesuai dengan amanah konstitusi? Bagaimana bentuk tanggung jawab negara untuk menjamin kebebasan beragama sesuai perundang-undangan yang berlaku?

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini“menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis-normatif). Penelitian ini didahului dengan menelaah berbagai konvensi dan peraturan-peraturan terkait yang sesuai dan relevan dengan pokok masalah yang dikaji melalui penelitian”ini. Selanjutnya dilakukan kajian juga terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi dan menjadi perhatian msyarakat umum, kemudian mengkaji dan menganalisa latar belakang dan perkembangan issu mengenai

3

Faiq Tobroni, “Keterlibatan Negara dalam Mengawal Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan (Komentar Akademis atas Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965)” Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 6, Desember 2010, hlm. 106.

4

Frans Sayogie, “Perlindungan Negara Terhadap hak Kebebasan beragama: Perspektif Islam dan Hak Asasi manusia Universal”, Jurnal Hukum Prioris, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013, hlm. 45.

(4)

68

masalah yang diangkat dalam penelitian ini, lalu dilakukan perbandingan dengan hal-hal yang dianggap sama. Terakhir dengan mengkaji pendapat-pendapat dan doktrin-doktrin Ilmu Hukum, untuk mendapatkan ide, konsep dan juga asas-asas hukum yang sesuai dengan permasalahan dari penelitian”ini.

III. PEMBAHASAN

3.1 Kebebasan Beragama Dibeberapa Negara Di Dunia

Kebebasan beragama merupakan“hak untuk menentukan, memeluk dan melaksanakan agama dan juga keyakinan. Hak inibersifat mutlak dan tidak bisa dikurangi dalam kondisi apapun”(non-derogable rights). Hak kebebasan beragama termuat dalam instrumen HAM

internasional dan perundang-undangan nasional yang mencakup dua dimensi yaitu yang bersifat individual dan yang bersifat kolektif.

Agama dan keberagaman adalah tolak ukur dan juga pintu gerbang (anant garde) untuk menilai bahwa pandangan pluralitas dilaksanakan oleh individu maupun kelompok. Semangat keberagaman yang cenderung memuja fundamentalisme adalah akar masalah yang berpeluang menjadi bencana di kemudian hari.5

Pemaksaan agama tertentu oleh pihak tertentu kepada masyarakat akan mengganggu stabilitas politik. Spinoza menjelaskan bahwa, pemaksaan agama kepada masyarakat akan menimbulkan pemberontakan sipil, politik dan juga agama. Oleh sebab itu, negara harus memposisikan dirinya sebagai pihak yang berperan penting (duty holders) menciptakan harmoni universal tersebut,6 dengan cara mendukung toleransi dan menjamin hak warga negara dalam mengeluarkan pendapat dan berekspresi secara bebas dan bertanggung jawab, . Jika negara tidak mengambil peran strategis ini, maka akan sangat rentan terhadap stabilitas keamanan, politik bahkan ketidakpastian hukum, yang berimbas kepada munculnya perilaku anarkhis masyarakat, disebabkan faktor ketidakpercayaan kepada institusi negara (public

disobyences).

5

Benny Soesetyo, Kegagalan Negara Menjamin Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Setara Institute, Jakarta, 2010, hlm. 21.

6

Michael Haas, International Human Rights: A Comprehensive Introduction, published, (London and New York: Routledge, 2008), hlm. 77.

(5)

69

Negara berkewajiban menjamin kebebasan beragama memiliki maksud bahwa negara harus memanfaatkan otoritas dan kewenangannya untuk menjamin terpenuhinya hak tersebut. Jaminan hak kebebasan beragama harus diatur sedemikian rupa, tidak melihat pluralitas agama berlaku bagi yang memiliki satu jenis agama seperti di Negara Yunani, maupun pada negara yang terdapat beragam agama yang diakui secara resmi seperti di Indonesia, atau bahkan di Negara yang menganut paham sekuler sekalipun seperti di Negara Amerika Serikat.7

Kebebasan beragama di Negara Amerika Serikat dapat dicermati dalam kasus

Employment Division vs Smith yang terjadi pada tahun 1990. Waktu itu ada dua penduduk

asli Amerika yang berada di Negara Bagian Oregon yang memanfaatkan peyote (obat bius yang pergunakan untuk upacara adat). Pada saat itu, Pengadilan memutuskan bahwa jikalau pemerintah dapat menerangkan alasan dibalik ketentuan undang-undang yang melarang penggunaan obat bius tersebut, maka hal itu dapat mengesampingkan kebebasan menjalankan keyakinan bagi penduduk asli Amerika. 8 Putusan ini yang menjadi yurisprudensi yang diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam hal pembatasan kebebasan beragama oleh peraturan negara. Bahkan, dalam kasus Boerne vs Flores pada tahun 1997 pengadilan membatalkan the Religious Freedom and Restoration Act 1993 karena dianggap tidak konstitusional sebab penafsiran terhadap konstitusi yang merupakan hak pengadilan, dan legislatif tidak dapat menetapkan undang-undang yang tidak sesuai dengan putusan Makamah Agung.9

Menurut instrumen hukum internasional, peran negara dalam mengatur kehidupan beragama disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3) International Covenant on Civil and Political

Rights (ICCPR) yang menetapkan bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan seseorang

hanya bisa dibatasi berdasarkan hukum, semata-mata untuk menjaga dan melindungi

7

Fatmawati, Op. cit, hlm. 504

8

Ibid. hlm. 89.

9

Bagir Manan (et.al), Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia, Yayasan HAM, Demokrasi dan Supremasi Hukum: Bandung, 2001, hlm. 89.

(6)

70

keamanan, ketertiban, kesehatan, dan moral masyarakat, atau hak-hak kebebasan mendasar yang dimiliki setiap individu.10

Disisi lain, pengaturan terhadap kehidupan beragama tidak hanya mengakomodir kepentingan golongan pemeluk agama tertentu saja, akan tetapi hal tersebut diatur demi menjaga kepentingan ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Ada berbagai peristiwa yang terjadi dalam masyarakat sebagai efek dari penyimpangan dalam menjalankan ritual agama. Kasus-kasus demikian biasanya terjadi dalam interaksi antar warga negara seperti

proselytism yang dilakukan dengan secara tidak bermoral, penodaan terhadap agama, dan

penyalahgunaan ajaran agama. 11

Proselytism merupakan paksaan untuk pindah agama dan keyakinan secara paksa

bukan atas kesadaran individu. Proselytism merupakan pemaksaan, yang dilarang dalam konstitusi suatu negara, dilarang juga dalam Deklarasi Kairo (Cairo Declaration) tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan: “Dilarang melakukan pemaksaan dalam bentuk dan keadaan apapun kepada setiap manusia atau untuk dengan memanfaatkan keadaan, seperti kemiskinan atau ketidaktahuannya untuk merubah kepercayaannya ke suatu agama bahkan ke atheism”.12

Meskipun ada ketentuan dalam Pasal 18 ayat (3) ICCPR yang mengatur pembatasan untuk menjalankan agama atau keyakinan akan kepercayaan, tetapi tidak ada pembatasan untuk kebebasan berfikir, berkeyakinan dan memeluk agama seperti dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (1) juga tidak membatasi kebabasan untuk memeluk atau menganut suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihan hati nuraninya seperti disebutkan dalam Pasal 18 ayat (2).13

Untuk menjaga keselamatan rakyat sebagaimana diatur dalam artikel 18 (3) ICCPR yang menyatakan bahwa kebebasan untuk menjalankan dan memilih agama atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi ketika berkaitan dengan perlindungan terhadap keamanan dan ketertiban rakyat. Tujuan utama dari negara adalah tercapainya ketertiban umum, yang

10

El Khanif (et.al), Hak Asasi Manusia; Dialektika Universalisme vs Relativisme di Indonesia, Lkis Pelangi Aksara, 2017, hlm. 126

11

Rhona K.M. Smith, (et.al), Hukum HAM, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008, hlm. 106.

12

Ifdhal kasim, Hak Sipil dan Politik Esai-Esai Pilihan Buku, Jakarta: ELSAM, 2001, hlm. 245.

13

Karl Joseph Partsch, Kebebasan Beragama, Berekspresi, dan Kebebasan Berpolitik, Dalam Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik Esai-Esai Pilihan Buku 1, ELSAM, Jakarta, 2001, hlm. 244.

(7)

71

memberikan dasar jaminan bagi pelaksanaan segala kegiatan-kegiatan sosial, dimana untuk mewujudkan hal tersebut perlu suatu otoritas yang menjadi kekuasaan yang dapat mencegah atau memberikan penindakan terhadap yang melanggarnya.14

Jika diamati pelaaksanaan kehidupan kebebasan beragama di barat, toleransi dalam beragama ialah salah satu prinsip dasar dalam masyarakat dan merupakan sesuatu yang dihormati oleh setiap orang yang kemudian diterima sebagai suatu ajaran universal.15 Sejarah pernah mencatat masa kegelapan kebebasan beragama, dimana penganut Kristen Protestan pernah dibantai oleh penguasa Kristen katolik.Pada saat itu banyak penganut agama protestan dituduh bid’ah dan hidup-hidup dibakar oleh penguasa saat itu yaitu Marry I yang berkuasa pada tahun 15553-1558. Begitu juga yang terjadi di paris dan Netherland, ribuan protestan dibantai. Hal ini dilakukan hanya untuk mewujudkan satu ajaran agama Christians.16

Akibat dari peristiwa sejarah kelam, pembantaian terhadap penduduk sipil oleh otoritas kekuasaan agama dengan alasan melakukan praktek agama yang salah telah merubah paradigm berpikir orang-orang Eropa terhadap agama. Hal ini berimplikasi terhadap hubungan agama dan negara, sehingga melahirkan ajaran sekulerisme. Secara historis ide tentang kekuasaan yang absolut yang melahirkan kekuasaan sekuler berkembang dari pemikiran Thomas Hobbes pada tahun1588 sampai 1679. Hobbes terpengaruhi oleh peristiwa English Civil War perang saudara yang terjadi dari tahun 1642-1651 antara pendukung Raja Charles I yang dibantu oleh loyalis katolik melawan pemberontak protestan yang mendukung Oliver Cromwell.17

John Locke lalu mengembangkan pemikiran dari Hobbes lewat bukunya yang berjudul Letter Concerning Toleration (1689). Locke mengemukakan pendapatnya akan perlunya toleransi antar pemeluk agama dan dipisahkannya agama dan negara.18 Pasca berakhirnya Perang Dunia yang Kedua, pengaruh teori dari John Locke ini, dengan konsep pemisahan negara dengan agama melahirkan kelompok humanis sekuler yang mewakili pemikiran hampir seluruh negara Eropa waktu itu. Saat ini banyak negara-negara di Eropa

14

R.M. Mac Iver, The Modern State, 7th ed., Oxford University Press, London, 1955, hlm. 230.

15

Natalie Goldstein, Global Issues: Religion ad the State, Facts on File Inc, New York, 2010, hlm. 3.

16

Ibid, hlm. 27.

17

Fatmawati, Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Negara Hukum Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011, hlm. 503.

18

(8)

72

memelihara toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dengan menjaga jarak antara agama dan negara sekuler (religious and secular). Pada permulaan tahun 1960-an negara-negara di Eropa mulai memisahkan antara hukum gereja dengan hukum sipil (civil law) misalnya perzinahan (adultery) tidak lagi dikategorikan sebagai kejahatan sipil.19

3.2 Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

Konstitusi Indonesia, yakni UUD '1945 jelas menegaskan akan jaminan kebebasan beragama, dalam Pasal 28E ayat (1). Ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama

dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Peran negara untuk itu juga dinyatakan pada Pasal 29 Ayat (2), yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama”. Sayangnya, ketegasan serupa sepertinya absen dalam banyak peristiwa bernuansa sama; pembatasan bahkan pelarangan warga negara menjalankan ibadahnya. Dalam isu yang sama, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) saja mencatat ada sepuluh jenis pelanggaran HAM yang dilaporkan sepanjang kurun tiga bulan; April hingga Juni 2015.

Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komisi ini mencatat di antaranya ada penyegelan, penutupan dan pelarangan terhadap rumah ibadah dan kegiatan beribadah pada Masjid Al-Hidayah milik jemaat Ahmadiyah di Depok, Musala An-Nur di Bukit Duri Jakarta Selatan, penghentian pembangunan Masjid Nur Mushafir di Kupang, penutupan Musala As-Syafiiyah di Denpasar Bali. Khusus kasus di Bukit Duri, yang notabene di Jakarta, warga bersama lurah, ketua RW dan ketua RT setempat memaksa JAI Bukit Duri menghentikan seluruh kegiatannya. Polisi tak melarang pemaksaan tersebut.

Sementara itu, di Aceh Singkil, sejak 2012 penyegelan terhadap 19 gereja juga dilakukan pemerintah setempat. Peraturan Gubernur Tahun 2007 tentang Rumah Ibadah, juga disebut sebagai akar persoalan, mempersulit kelompok minoritas mendirikan rumah ibadah di sana. Di Aceh, beberapa organisasi juga diadili, dengan tudingan “sesat”. Intoleransi juga

19

Natalie Goldstein dalam Fatmawati “Perlindungan atas hak kebebasan beragama dan beribadah dalam negara Hukum Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011, hlm. 424.

(9)

73

terjadi di Provinsi Jawa Barat. Di sejumlah kasus di atas, negara terkesan menafikan hak asasi warganya. Bahkan, pada kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor yang jemaatnya kerap beribadah di depan Istana Negara, hukum dan aparaturnya seolah raib.

Gereja masih disegel, meski Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan bahwa bangunan GKI Yasmin legal. Esensi kebebasan beragama memang bukan sebatas pada datang dan beribadah pada rumah ibadah. Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU), Musdah Mulia berpendapat, ada sejumlah unsur dalam kebebasan beragama. Termasuk bebas berpindah agama atau kepercayaan, dan bebas memanifestasikan ritual agamanya. Ini berlaku bagi semua umur, gender, dan kelas sosial. Berbagai penjabaran dari kebebasan beragama itu, juga seharusnya dilindungi, bukan sebatas pada rumah ibadah dan kegiatannya. Polri dan Kementerian Agama juga menjalankan fungsi-fungsi negara untuk itu.20

Indonesia secara fundamental menjadikan hak kebebasan beragama pada sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan dasar falsafah negara (philosofische

grondslag).21 Diantara hak-hak dasar manusia yang terpenting adalah hak kebebasan beragama. Legitimasi perundang-undangan termasuk hirarki perundang-undangan yang paling tinggi (UUD 1945) memberi peluang besar bagi kebebasan beragama di Indonesia. Hukum di Indonesia tidak pernah diskriminatif dalam hal memberian kebebasan yang sebesar-besarnya bagi pemeluka agama manapun untuk beribadah dan menjalankan keyakinannya masing-maisng.

Jaminan kebebasan beragama di Indonesia, dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana dalam Pasal 22 Ayat (1) negara memberi jaminan bagi warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan keyakinan yang dianut oleh setiap orang. Ini berarti setiap orang berhak memeluk agamanya dan kepercayaan menurut keyakinannya sendiri, tanpa dapat dipaksa oleh siapapun.

20

Sumber: http://www.sinarharapan.co/news/read/150722189/perlindungan-terhadap-kebebasan-beragama

21

Dalam pandangan Soekarno yang menyatakan bahwa “Philosofische grondslag itulah fundamental, filsafat, pikiran yang dalam, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal abadi”.

(10)

74

Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin dalam konstitusi menurut tatanan hukum positif, tidak serta-merta menjamin kebebasan dalam praktek. Konstitusi Republik Indonesia memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap rakyat di dalam Pasal 28 E UUD 1945 Negara menjamin setiap warga Negara untuk sebebas-bebasnya memeluk agama dan juga beribadat menuru tata cara agamanya, termasuk memilih pendidikan yang sesuai dengan agama yang dipeluk. Kemudian dilanjutkan dalam ayat (2), dimana diman setiapa warga Negara memiliki hak untuk secara bebas meyakini kepercayaan termasuk menyatakan pikiran sesuai yang diyakini oleh hati nuraninya.

Kemudian Pasal 29 Ayat (1) juga menyatakan "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Lebih lanjut dalam Pasal 29 Ayat (2) menyebutkan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu."

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama menyatakan, Setiap orang dilarang penafsiran tentang suatu agama yang ada dan diakui resmi di Indonesia di muka umum, seperti menceritakan, menganjurkan termasuk mengusahakan adanya penafsiran tersebut. Termasuk juga melakukan kegitan yang menyerupai kegiatan suatu agama tertentu di Indonesia. Melakukan hal tersebut bisa dipidana.

Konsepsi agama yang utama di Indonesia menurut ketentuan di atas adalah Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa negara melarang setiap warganya untuk melakukan tindakan “kampanye” dimuka umum suatu perbuatan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama yang diakui di Indonesia, yakni yang telah disebutkan di atas baik dengan cara penafsiran tanpa berdasarkan kaidah-kaidah penafsiran masing-masing agama maupun tindakan peribadatan yang berbeda yang baik yang sudah menjadi budaya suatu agama atau legitimasi agama menurut pokok-pokok ajaran dari agama itu.

Keberadaan UU No 1/PNPS/1995 pernah dilakukan uji materil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Namun, majelis hakim Mahkamah Konstitusi pada saat itu menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh pemohon uji materil tersebut, sehingga undang-undang tersebut masih berlaku dan dinyatakan tidak bertentangan dengan Undang-Undang

(11)

75

Dasar 1945. Majelis hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa negara Indonesia adalah Negara dengan berdasarkan ketuhanan yang maha esa yang memberikan jaminan bagi warga negara Indonesia untuk memeluk agama yang dikehendaki dan menjalankan peribadatan sesuai keyakinannya.22

Majelis hakim juga berpendapat bahwa dalil yang pemohon ajukan, yang menyatakan bahwa negara tidak dapat melakukan intervensi terhadap kebebasan beragama tidak tepat, mengingat fungsi negara tersebut dilaksanakan demi menjaga kepentingan umum. Dalam putusannya majelis hakim juga berpendapat bahwa pembatasan terhadap hak kebebasan beragama sebagai bentuk diskriminasi, dimana hal itu dilakukan sebagai wujud perlindungan terhadap hak orang lain.23

3.3. Bentuk Tanggung Jawab Negara Dalam Menjamin Kebebasan Beragama

Secara konstitusional, lahirnya tanggung jawab negara dalam menjamin kebebasan beragama merupakan kosekuensi yuridis dari ketentuan Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan dari setiap penduduk Indonesia untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya”itu. Menurut Yusril Ihza Mahendra ketentuan Pasal 29 UUD 1945 tersebut dari aspek teologi keagamaan, kebebasan memeluk dan menjalankan agama itu bersifat transeden yang bersumber dari Tuhan.24

Indonesia“merupakan Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang berarti, secara prinsip bangsa Indonesia tidak lain dan tidak bukan ialah bangsa yang beragama walaupun demikian Indonesia bukan negara”agama.Negara memberikan jaminan dan perlindungan bagi hidup dan berkembangnya agama dalam negara, dan para penganut agama berhak untuk sebebas-bebasnya melaksanakan dan mengembangkan agamanya sesuai dengan”kepercayaan yang dianut.

Bentuk kewajiban negara dalam memberikan perlindungan, penghormatan, serta pemenuhan bagi kemerdekaan beragama dan berkepercayaaan akan tercapai dengan memberikan jaminan dan perlindungan bagi warga Negara dalam kemerdekaan beragama. Di

22

Sodikin, “Hukum dan Hak Kebebasan Beragama” Jurnal Cita Hukum, Vol. 1 No.2 Desember 2013, hlm. 128.

23

Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 Perihal Pengujian UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan UUD 1945

24

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian. Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 105.

(12)

76

sisi lain juga perlunya memberikan pelayanan dan bimbingan bagi warga Negara dalam beragama, serta melakukan pengawasan terhadap adanya aliran-lairan kepercayaan dan agama yang dapat membahayakan masyarakat, negara dan bangsa. Pemerintah dengan otoritas yang dimilikinya dapat melakukan pencegahan atas penyalahgunaan atau penodaan agama sehingga terwujudnya keamanan dan”ketertiban masyarakat.

Negara juga harus mencegah tindakan main hakim sendiri yang banya merebak dalam masyarakat. Pemidanaan perlu dilakukan kepada pihak-pihak yang melakukan kekerasan terhadap pemeluk agama yang dianggap menyimpang oleh masyarakat. Hal ini dianggap perlu untuk mencegah terjadinya konflik horizontal antara pemeluk agama yang hal ini dapat mengganggu stabilitas Negara dan berpotensi mengancam integritas bangsa. Negara juga perlu memasukan dalam kurikulum pendidikan tentang ajaran pluralisme untuk memperluas wawasan kebangsaan terutama pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan.

Dari aspek legislasi,“bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan kebebasan beragama dapat dilakukan dengan membuat aturan hukum dan kebijakan untuk menciptakan rasa aman dan tentram bagi masyarakat dalam melaksanakan ibadah, agama dan”keyakinannya.Ini merupakan amanat hukum dan HAM, yaitu bahwa negara mempunyai kewajiban pokok terhadap hak asasi warga negara yaitu: melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dan menghormati (to respect) hak asasi warga negara, dimana hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan turut”di dalamnya. Sebagaimana kita ketahui sampai saat ini Indonesia belum memiliki undang tentang kebebasan beragama, keberadaan undang-undang ini sangat diperlukan untuk mengatur lebih lengkap tentang jaminan kebebasan beragama di Indonesia.

IV. SIMPULAN DAN SARAN

Indonesia sebagai negara hukum telah mengakui dan menghormati kebebasan beragama dalam hukum positifnya seperti dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2), Pasal 18 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu dalam Pasal 22 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(13)

77

Sebagai negara hukum Indonesia memposisikan hak asasi manusia sebagai titik sentral dalam perlindungan dan jaminan terhadap hak kebebasan menjalankan agama dan keyakinan. Negara memberikan kebebasan untuk agama atau kepercayaan dimanifestasikan dalam bentuk ritual dan juga peribadatan. Kebebasan yang diberikan negara juga terbebas dari segala bentuk pemaksaan, Intimidasi dan diskriminasi.. Kebebasan juga diberikan bagi setiap komunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat. Dalam pelaksanaan tanggung jawabnya, negara melakukan pembatasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui peraturan perundang-undangan.

Sebagai saran dalam artikel ini, pemerintah Indonesia perlu segera melahirkan undang-undang tentang Kebebasan beragama. Sehingga pengaturan tentang jaminan kebebasan beragama dapat diatur lebih konprehensif

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Adam muhshi, Teologi Konstitusi: Hukum Hak Asasi Manusia atas Kebebasan Beragama, Jakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2015

Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia, Yayasan HAM, Demokrasi dan Supremasi Hukum, Bandung, 2001

Benny Soesetyo, Kegagalan Negara Menjamin Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Setara Institute, Jakarta, 2010

El Khanif, Hak Asasi Manusia; Dialektika Universalisme vs Relativisme di Indonesia, Lkis Pelangi Aksara, 2017

Goldstein Natalie, Global Issues: Religion ad the State, Facts on File Inc, New York, 2010 Haas Michael, International Human Rights: A Comprehensive Introduction, published,

(London and New York: Routledge, 2008

Jazim Hamidi dan M.Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap Agama: Studi Konvergensi

atas Politik aliran Keagamaan dan reposisi Peradilan Agama di Indonesi, Jakarta: UI

(14)

78

Joseph Partsch karl, Kebebasan Beragama, Berekspresi, dan Kebebasan Berpolitik, Dalam Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik Esai-Esai Pilihan Buku 1, ELSAM, Jakarta, 2001 Kasim Ifdhal, Hak Sipil dan Politik Esai-Esai Pilihan Buku, Jakarta: ELSAM, 2001

K.M. Smith Rhonna, Hukum dan HAM, Pusham UII, Yogyakarta, 2008

Mac Iver M.R, The Modern State, 7th ed., Oxford University Press, London, 1955

Mahendra Ihza Yusril, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah

Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian. Jakarta: Gema Insani Press,

1996

Natalie Goldstein, Global Issues: Religion ad the State, Facts on File Inc, New York, 2010

B. Jurnal dan hasil Penelitian

Faiq Tobroni, “Keterlibatan Negara dalam Mengawal Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan (Komentar Akademis atas Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965)” Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 6, Desember 2010

Frans Sayogie, “Perlindungan Negara Terhadap hak Kebebasan beragama: Perspektif Islam dan Hak Asasi manusia Universal”, Jurnal Hukum Prioris, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013 Fatmawati, Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Negara

Hukum Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011

Karl Joseph Partsch, Kebebasan Beragama, Berekspresi, dan Kebebasan Berpolitik, Dalam Ifdhal Kasim, et-al., Hak Sipil dan Politik Esai-Esai Pilihan Buku 1, cet. 1, ELSAM, Jakarta, 2001

Makau Matua, Limitations Religious Rights: Problematizing Religious Freedom in the

African Context, article. Dalam Henry J. Steiner, et-al., Tanpa judul, Tanpa penerbit,

Tanpa kota penerbit, Tanpa tahun, hal. 485

Sodikin, “Hukum dan Hak Kebebasan Beragama” Jurnal Cita Hukum, Vol. 1 No.2 Desember 2013

C. Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Referensi

Dokumen terkait

DIAGRAM BLOK SISTEM KONTROL KECEPATAN

Analisis kebutuhan ini termasuk di dalamnya; analisis karakteristik mahasiswa; analisis karakteristik dosen, analisis kesiapan institusi (fasilitas, sarana, prasarana),

Tanggal 18 februari seluruh pengurus diwajibkan untuk datang ke sekret UKMP dalam sosialisasi kepengurusan dan persiapan pelantikan. atas perhatiannya saya

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kewajiban sebagai ibu rumah tangga, dan istri yang baik tidak lah bisa menjadi halangan bagi perempuan untuk bisa mengabdi pada masyarakat dan ikut

Dengan disampaikannya Surat Penawaran ini, maka kami menyatakan sanggup dan akan tunduk pada semua ketentuan yang tercantum dalam Dokumen Pengadaan. BENTUK SURAT DUKUNGAN

Dengan perspektif hukum Islam progresif dalam integrasi hukum nasional (positif) inilah akan memulai melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi, dengan modernisasi

Subbagian Tata Usaha pada Fakultas Keperawatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (2) huruf c mempunyai tugas melakukan urusan penyusunan rencana, program, dan

Setelah peneliti mengumpulkan hasil observasi dan hasil evaluasi, maka peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran yang telah dilakukan pada pembelajaran siklus I