• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rowley (2002) kompetensi komunikasi adalah kemampuan untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rowley (2002) kompetensi komunikasi adalah kemampuan untuk"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Uraian Teoritis

2.1.1. Kompetensi Komunikasi

2.1.1.1.Pengertian Kompetensi Komunikasi

Menurut Rowley (2002) kompetensi komunikasi adalah kemampuan untuk mengirim pesan-pesan yang mendukung pencapaian tujuan dimana tetap menjaga penerimaan sosial. Definisi kompetensi komunikasi dalam perspektif perilaku dirumuskan oleh Wiemann dan Backlund (dalam Jubaedah, 2009:375) ialah kemampuan seorang individu untuk mendemonstrasikan pengetahuan dari perilaku berkomunikasi yang tepat dalam suatu situasi tertentu.

Sedanglan Payne (dalam Jubaedah, 2009:375) mendefinisikan kompetensi komunikasi yang dirumuskan oleh Jablin dan Sias yaitu The set of abilities,

henceforth, termed resources, which a communicator has available for use in the communication process. Kompetensi komunikasi diartikan sebagai seperangkat

kemampuan seorang komunikator untuk menggunakan berbagai sumber daya yang ada di dalam proses komunikasi. Dengan kata lain, kompetensi komunikasi adalah pengetahuan yang dimiliki pegawai untuk berkomunikasi dengan baik dimana menggunakan pesan-pesan yang dianggap tepat dan efektif.

(2)

Alo Liliweri (2004:101-102) menyatakan bahwa ada empat kompetensi yang diperlukan pegawai demi terciptanya komunikasi yang efektif yaitu:

a. Kompetensi pegawai untuk menyampaikan semua maksud atau isi hatinya secara professional sesuai dengan kemampuan yang ia tampilkan secara prima.

b. Kompentensi pegawai untuk berinteraksi secara baik, mampu mengalihbahasakan semua maksud dan isi hatinya secara tepat dan jelas dalam suasana hati yang bersahabat.

c. Kompentensi pegawai untuk menyesuaikan budaya pribadinya dengan budaya yang sedang dihadapinya.

d. Kompentensi pegawai untuk memberikan fasilitas atau jaminan bahwa dia bisa menyesuiakan diri atau bisa mengelola berbagai tekanan orang ataupun lingkungan lain terhadap dirinya.

Keempat aspek tersebut menunjukkan bahwa efektivitas komunikasi tidak hanya ditentukan karena setiap pegawai sudah melakukan interaksi, relasi dan komunikasi sesuai dengan peranan (profesi). Kata kunci efektivitas komunikasi adalah kemampuan seorang komunikator (pemberi informasi) untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan interaksi, relasi dan komunikasi diantara dua budaya organisasi.

(3)

Payne (dalam Edwardin, 2006:15) menjelaskan bahwa indikator pengkuran kompetensi komunikasi antara lain sebagai berikut:

1. Motivasi komunikasi

Motivasi komunikasi sering kali terkait dengan kesediaan seseorang untuk mendekati atau menghindari interaksi dengan yang lain.

2. Pengetahuan komunikasi

Untuk membuat rencana tindakan, seringkali disebut sebagai skenario komunikasi. Para komunikator yang kompeten memiliki pengetahuan prosedural untuk menyusun dan menjalankan skenario ini didalam situasi sosial yang berbeda dan harus memiliki kemampuan perseptif untuk membaca situasi sosial. Pengetahuan prosedural adalah mengetahui bagaimana, bukan isi dari mengetahui bahwa atau mengetahui apa. Pengetahuan ini diraih melalui pendidikan, pengalaman, dan dengan pengamatan apa yang disebut prototipe dari kompetensi interpersonal, sebuah role model sekaligus mengetahui standar organisasi untuk komunikasi.

3. Keterampilan komunikasi

Mencakup kinerja aktual dari perilaku. Hal ini sering kali merupakan bagian yang sulit bagi komunikator mengubah motivasi dan rencana menjadi tindakan. Individu sering kali termotivasi untuk berkomunikasi dan memiliki pengetahuan. Namun, kurang keterampilan dalam pengkomunikasiannya secara aktual. Pendekatan-pendekatan ketrampilan lain fokus pada kemampuan psikomotor kemampuan seseorang untuk

(4)

Gaya pribadi dan pengetahuan tentang budaya 1. Sistem kepribadian 2. Sistem antarpribadi 3. Sistem sosial 4. Sistem budaya organisasi

5. Sistem budaya makro

1. Efisiensi tugas

2. Relasi antar pribadi

berbicara, mendengar, melihat dan mengungkapkan pesan secara non-verbal dalam situasi tertentu. Ketrampilan yang dibutuhkan oleh organisasi termasuk pembinaan hubungan, menyimak dan mengikuti instruksi, memberikan umpan balik, bertukar informasi, mencari umpan balik, dan penyelesaian masalah.

2.1.1.2.Hubungan Kompetensi Komunikasi dan Kinerja Pegawai

Pendapat yang dikemukakan Liliweri Alo (2004:102-103) tentang hubungan antara kompetensi komunikasi dan kinerja pegawai dapat dijelaskan model kompetensi komunikasi sebagai berikut:

Kondisi Pendahulu Ditengahi Oleh Efektivitas Iklim Komunikasi yang Dihasilkan

Gambar 2.1 Model Kompetensi Komunikasi Sumber: Liliweri Alo (2004:104)

Model kompetensi komunikasi menunjukkan bahwa efektivitas hasil kerja yang dihasilkan dalam suatu tugas dalam organisasi ditentukan oleh penciptaan efisiensi tugas dan relasi antarpribadi pegawai yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Namun, hasil akhirnya harus didukung oleh iklim komunikasi (communication sphere) seperti sistem kepribadian (struktur kepribadian peserta komunikasi), kebiasaan hubungan antarpribadi, sistem budaya organisasi maupun sistem budaya makro yang mengelilingi

(5)

komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan. Iklim komunikasi tersebut dipengaruhi oleh faktor pendahulu yaitu gaya pribadi (individual style) yang terwujud dalam pengetahuan antarbudaya.

2.1.2. Kecerdasan Emosional

2.1.2.1.Pengertian Kecerdasan Emosional

Menurut Ary Ginanjar Agustian (2002:199) kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh manusia. Kecerdasan emosional menurut Goleman (2002:512) adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our

emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan

pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

Sedangkan menurut Imam Kam (2009:102) kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk memotivasi dirinya sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati (kegembiraan, kesedihan, kemarahan dan lain-lain) tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan mampu mengendalikan stres. Kecerdasan emosional berdasarkan teori yang telah dijelaskan adalah kemampuan diri seorang individu untuk mengenali perasaannya secara optimal sehingga dapat mengatur dirinya sendiri, menimbulkan motivasi dalam dirinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan

(6)

dapat membina hubungan baik terhadap orang lain dan juga mampu menimbulkan rasa empati di lingkungan sosial.

Goleman (2002:58-59) mengutip Salovey menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima indikator kemampuan utama, yaitu:

a. Mengenali emosi diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.

b. Mengelola emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

c. Memotivasi diri sendiri

Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan

(7)

dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

d. Mengenali emosi orang lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

e. Membina Hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan.

2.1.2.2.Hubungan Kecerdasan Emosional dan Kinerja Pegawai

Berdasarkan hasil penelitian Goleman (2002: 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.

(8)

Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan kecerdasan emosional adalah pendorong kinerja puncak. Tetapi ketika dibandingkan antara kemampuan teknikal, IQ dan kecerdasan emosional sebagai penentu kinerja yang cemerlang tersebut, maka kecerdasan emosional menduduki porsi lebih penting dua kali dibandingkan dengan yang lain pada seluruh tingkatan jabatan.

Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf (dalam Kosim, 2007:20) menyatakan bahwa kecerdasan emosinal yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi unik kita dan mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai yang paling dalam, mengubahnya dari apa yang kita fikirkan menjadi apa yang kita jalani. Kecerdasan emosional sangat mempengaruhi kehidupan seseorang secara keseluruhan mulai dari kehidupan dalam keluarga, pekerjaan, sampai interaksi dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu kecerdasan emosional berpengaruh juga pada cara seseorang menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga, pekerjaan maupun interaksi dengan lingkungan sosial. Orang yang pandai atau berhasil dalam prestasi akademik sewaktu pendidikan formal ternyata banyak yang gagal mencapai puncak prestasi sewaktu menempuh karier profesional. Mencapai prestasi kerja yang baik bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence.

(9)

2.1.3. Budaya Organisasi

2.1.3.1.Pengertian Budaya Organisasi

Chuck Williams (2001:84) menjelaskan budaya organisasi sebagai seperangkat nilai-nilai, keyakinan dan sikap utama yang dilakukan diantara anggota organisasi. Menurut Taliziduhu Ndraha (2005:74) Budaya organisasi adalah budaya yang terbentuk sebagai produksi interaksi anatara manusia jaringan organisasi terkait. Sedangkan Tampubolon (2008:230) mengartikan budaya organisasi sebagai kesepakatan perilaku pegawai di dalam organisasi yang digambarkan dengan selalu berusaha menciptakan efisiensi, bebas dari kesalahan, perhatian terfokus pada hasil dan kepentingan pegawai, kreatif, dan akurat menjalankan tugas.

Budaya organisasi dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang diangap benar dan diwariskan kepada pegawai baru sebagai cara yang tepat untuk berfikir dan bertindak dalam menjalankan tugas. Budaya organisasi seringkali diciptakan oleh pendiri organisasi, kemudian dipertahankan dengan cara memberitahukan riwayat organisasi dan merayakan kepahlawanan organisasi. Budaya yang dapat menyesuaikan dan mendorong keterlibatan pegawai, dapat memperjelas tujuan dan arah strategis organisasi, serta yang senantiasa menguraikan dan mengajarkan nilai-nilai dan keyakinan organisasi.

Pemikiran tentang keragaman dan perbedaan budaya serta program pendidikan pegawai adalah suatu budaya yang terbentuk dalam suatu organisasi terdiri atas pembentukan dimensi-dimensi kepentingan budaya individu sehinga

(10)

untuk mengembangkan budaya organisasi kearah positif, diperlukan sistem pengelolaan manajemen agar arah pembentukan budaya itu terkendali dan menjadi modal utama bagi organisasi dan anggota-anggotanya dalam berperilaku dan bertindak, dimana budaya yang telah terbentuk secara naluri akan dapat menjalar mengikuti tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh setiap anggota organisasi. Kondisi seperti demkianlah yang menggambarkan suatu budaya organisasi, baik itu organisasi bisnis, produksi atau jasa, yang kemudian disebut sebagai budaya organisasi.

Demikian juga dalam organisasi sosial dan organisasi yang menyangkut kemasyarakatan serta organisasi kenegaraan, yang umumnya dikatakan sebagai kebudayaan (Tampubolon, 2008:210). Menurut Tampubolon (2008:230) ada enam indikator pengukuran budaya organisasi, namun ada lima indikator yang relevan dengan penelitian ini yaitu memberi perhatian pada masalah secara detil, berorientasi terhadap hasil yang akan dicapai, berorientasi kepada semua kepentingan pegawai, agresif dalam bekerja, serta menjaga dan mempertahankan stabilitas kerja.

2.1.3.2.Fungsi Budaya Organisasi

Fungsi budaya organisasi dapat membantu mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal organisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Jhon R. Schermerhorn dan James G. Hunt (dalam Mangkunegara 2008:123) “The culture

of an organization can help it ideal with problems of both external adaptation dan internal integration”.

(11)

Permasalahan yang berhubungan dengan dapatasi eksternal dapat dilakukan melalui pengembangan pemahaman tentang strategi dan misi organisasi, tujuan utama organisasi dan pengukuran kinerja. Sedangkan permasalahan yang berhubungan dengan integrasi internal dapat dilakukan dengan antara lain komunikasi, kinerja pegawai, penentuan standar bagi insetif (reward) dan sanksi (punishment) serta melakukan pengawasan (pengendalian) internal.

Suatu organisasi memerlukan satu budaya, yang merupakan kumpulan persepsi secara umum dari seluruh pegawai sebagai anggota organisasi, yang dijadikan sebagai suatu sistem yang menggabungkan beberapa pengertian yang secara eksplisit diangggap sebagai budaya organisasi. Pada umumnya di dalam suatu organisasi yang menjadi budaya penentu atau yang memberi nilai utama (core value) budaya yang dominan dari seluruh budaya yang dimilki pegawai, yang diserap dari mayoritas anggota organisasi (Tampubolon, 2008:216).

2.1.3.3.Hubungan Budaya Perusahaan dan Kinerja Pegawai

Jennifer dan Gareth (dalam Tampubolon, 2008:226) menyatakan tentang konsep dari suatu budaya organisasi adalah informalisasi dari satuan nilai dan norma, sebagai alat kontrol bagi bagi langkah-langkah pegawai dan kelompoknya didalam organisasi untuk bertindak secara agresif, cepat, dan mudah dengan yang lainnya serta dengan orang di luar organisasi. Budaya organisasi dimaksudkan sebagai keterkaitan antara organisasi dan lingkungan, teknologi, tugas serta strategi dengan menenrtukan desain struktur organisasi termasuk koordinasi antara aktivitas dan motivasinya. Namun, di sisi lain juga menentukan nilai

(12)

budaya dan norma yang baik dalam membantu pegawai dalam organisasi dan pengelompokan prilaku pegawai. Penggabungan struktur dan nilai serta norma ini secara bersama-sama akan mempengaruhi tingkat kinerja dari organisasi dan kelompok serta individu yang ada dalam organisasi.

Dalam buku Corporate Culture and Performance, Kotter dan Heskett (1992) telah mengemukakan pengaruh budaya organisasi dengan kinerja pegawai. Mereka melakukan penelitian terhadap 207 perusahaan di dunia yang aktifitasnya berada di Amerika Serikat. Ada empat kesimpulan berdasarkan penelitian tersabut (dalam Tika, 2006:139), yaitu:

a. Budaya organisasi dapat mempunyai dampak yang berarti dalam kinerja organisasi jangka panjang.

b. Budaya organisasi mungkin akan menjadi suatu faktor yang bahkan lebih penting lagi dalam menentukan keberhasilan organisasi dalam dasawarsa yang akan datang. Budaya yang menomorsatukan kinerja mengakibatkan dampak kinerja negatif dengan berbagai alasan. Alasan utama adalah kecenderungan menghambat organisasi-organisasi dalam menerima perubahan-perubahan taktik dan strategi yang dibutuhkan.

c. Budaya organisasi yang menghambat peningkatan kinerja jangka panjang cukup banyak, budaya-budaya mudah berkembang bahkan dalam organisasi-organisasi yang penuh dengan orang-orang pandai dan berakal sehat. Budaya-budaya yang mendorong perilaku yang tidak tepat dan menghambat perubahan ke arah strategi yang lebih tepat, cenderung

(13)

muncul perlahan-lahan dan tanpa disadari dalam waktu bertahun-tahun, biasanya sewaktu organisasi berkinerja baik.

d. Walaupun sulit untuk diubah, budaya organisasi dapat dibuat agar bersifat lebih meningkatkan kinerja.

2.1.4 Kinerja Pegawai

2.1.4.1.Pengertian Kinerja Pegawai

Menurut Richard Williams (dalam Wungu, 2003:49) Performance atau kinerja adalah keluaran, output, atau result yang berasal dari adanya perilaku kerja serta lingkungan kerja tertentu yang kondusif. Dan defenisisi kinerja pegawai menurut Mangkunegara (2009:9) kinerja pegawai adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.

Kinerja merupakan hasil kerja baik secara kualitas maupun kuantitas yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan. Kesediaan dan ketrampilan seorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaiamana mengerjakannya.

John Bernadin (dalam Edwardin 2006:12-13) menyatakan ada enam indikator kinerja pegawai secara individu, namun dalam penelitian ini digunakan lima indikator yang relevan antara lain sebagai berikut:

(14)

a. Kualitas

Tingkat dimana hasil akivitas yang dilakukan mendekati sempurna dalam arti menyesuaikan beberapa cara ideal dari penampilan aktivitas ataupun memenuhi tujuan yang diharapkan dari suatu aktivitas.

b. Ketepatan Waktu

Tingkat suatu aktivitas diselesaikan pada waktu awal yang diinginkan dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tesedia untuk aktivitas yang lain.

c. Efektivitas

Tingkat penggunan sumber daya organisasi dengan maksud menaikkan keuntungan atau mengurangi kerugian dari setiap unit dalam pengguna sumber daya.

d. Kemandirian

Tingkat dimana seorang pegawai dapat melaksanakan fungsi kerjanya tanpa meminta bantuan, bimbingan dari pengawas atau meminta turut campurnya pengawas guna menghindari hasil yang merugikan.

e. Komitmen Kerja

Tingkat dimana pegawai mempunyai komitmen kerja dengan perusahaan dan tanggung jawab kerja dengan perusahaan.

Dalam pencapaian kinerja pegawai, faktor sumber daya manusia sangat dominan pegaruhnya. Sumber daya manusia berkualitas dapat dilihat dari hasil kerjanya, dalam kerangka profesionalisme kinerja yang baik adalah bagaimana seorang pegawai mampu memperlihatkan perilaku kerja yang mengarah pada

(15)

tercapainya maksud dan tujuan organisasi, misalnya bagaimana mengelola sumber daya manusia agar mengarah pada hasil kerja yang baik.

Perkembangan kinerja organisasi sangat ditentukan efektif tidaknya kepemipinan pimpinan dan manajer dalam mengelola kegiatan usaha, produktivitas kerja pegawai, serta partisipasi aktif setiap individu organisasi. Organisasi dengan kinerja pegawai yang baik, mempunyai efektifitas dalam menangani sumber daya manusia dan menentukan sasaran yang harus dicapai baik secara individual maupun organisasional.

2.2.Penelitian Terdahulu

Dalimunthe (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Pada Dinas Informasi Komunikasi dan Pengolahan Data Elektronik Kota Medan”. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan dilanjutkan dengan menganalisa data, maka terdapat hubungan yang cukup kuat antara budaya organisasi dengan kinerja pegawai sebesar 0,578. hal ini berarti koefesien bersifat positif, sehingga hipotesa yang menyatakan bahwa ada hubungan antara budaya organisasi dengan kinerja pegawai dapat diterima.

Penelitian yang dilakukan oleh Nanang Kosim (2007) yang berjudul “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Kinerja Guru SDIT Nur Fatahillah Pondok Benda Buaran Serpong”. Berdasarkan analisis data dan hasil penelitian serta pengujian hipotesis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan

(16)

emosional dengan kinerja guru SDIT Nur Fatahillah yang ditunjukkan oleh hasil perhitungan dari koefisien korelasi yaitu rxy = 0,675 > 0,361. Dan kontribusi kecerdasan emosional terhadap kinerja guru ditunjukkan oleh hasil dari perhitungan koefisien determinan, dengan perolehan nilai sebesar 45,5 % dengan demikian 50,5 % kinerja guru dipengaruhi oleh variabel lainnya.

Edwardin (2006) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Kompetensi Komunikasi, Kecerdasan Emosional, dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai (Studi Pada PT. Pos Indonesia (Persero) Se-Kota Semarang)”. Penelitian ini menemukan beberapa kesimpulan penting yaitu pertama bahwa seluruh hipotesis dalam penelitian ini telah terbukti secara signifikan. Kedua, variabel kompetensi komunikasi, kecerdasan emosional dan budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Ketiga, variabel budaya organisasi mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap kinerja pegawai dibandingkan dengan variabel lainnya. Implikasi dari penelitian ini adalah kompetensi komunikasi, kecerdasan emosional dan budaya organisasi mempunyai peran yang sama penting dalam meningkatkan kinerja pegawai.

2.3.Kerangka Konseptual

Kinerja pegawai mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi, kontribusi itu dapat diukur dari kualitas hasil kerja, ketepatan waktu, efektivitas kinerja, kemandirian dan komitmen kerja. Efektivitas kinerja yang dihasilkan dalam suatu tugas dalam organisasi ditentukan oleh

(17)

penciptaan efisiensi tugas dan relasi antarpribadi, hal inilah yang menjadi dasar terbentuknya kompetensi dalam berkomunikasi. Kompetensi komunikasi merupakan kemampuan seorang individu untuk mendemonstrasikan pengetahuan dari perilaku berkomunikasi yang tepat dalam suatu situasi tertentu (Wiemann dan Backlund dalam Jubaedah, 2009:375). Meningkatnya kompetensi khususnya kompetensi komunikasi diharapkan pegawai dapat meningkatkan penegetahuan dan keterampilan dalam mengkomunikasikan ide-ide atau gagasannya kepada atasan, rekan sekerja maupun bawahannya dengan lebih baik dan mampu memotivasi pegawai untuk bekerja lebih baik.

Menurut Goleman (2002:512) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our

emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan

pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Dengan meningkatnya kecerdasan emosional diharapkan pegawai mampu mengelola emosinya dengan lebih baik, menunjukkan kerja yang baik terutama saat menghadapi situasi atau permasalahan yang sulit, mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, yang berdampak pada kinerja pegawai.

Budaya organisasi dimaksudkan sebagai keterkaitan antara organisasi dan lingkungan, teknologi, tugas serta strategi dengan menenrtukan desain struktur organisasi termasuk koordinasi antara aktivitas dan motivasinya. Namun, di sisi

(18)

lain juga menentukan nilai budaya dan norma yang baik dalam membantu pegawai dalam organisasi dan pengelompokan prilaku pegawai. Penggabungan struktur dan nilai serta norma ini secara bersama-sama akan mempengaruhi tingkat kinerja dari organisasi dan kelompok serta individu yang ada dalam organisasi (Tampubolon, 2008:226).

Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan, maka model kerangka konseptual dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual

Sumber: Wiemann dan Backlund (dalam Jubaedah, 2009:375),Goleman (2002:512), dan Tampubolon (2008:226).

2.4.Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan kerangka konseptual yang telah peneliti kemukakan, maka hipotesis penelitian ini adalah: “Kompetensi komunikasi, kecerdasan emosional dan budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sumatera Utara”.

Kompetensi Komunikasi (X1)

Kecerdasan Emosional (X2)

Budaya Organisasi (X3)

Gambar

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Nilai rata-rata kelas dan skor angket yang lebih tinggi pada kelas eksperimen dibandingkan kelas kontrol menunjukan bahwa pembelajaran blended learning lebih baik dibandingkan

Berdasarkan informasi tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penanganan pascapanen buah tomat untuk memperpanjang lama simpan dan

menggunakan metode penelitian regresi linear berganda dan menghasilkan beberapa kesimpulan yaitu, Cash Ratio dan Loan Deposit ratio tidak memiliki pengaruh

Pada tahap konseling yang pertama, konselor melakukan pembentukan hubungan kepada kelima peserta didik yang memiliki kategori tinggi dalam perilaku menyontek saat

Indeks Williamson dengan angka diatas 0,4 menunjukkan bahwa Kabupaten Magelang masuk dalam wilayah dengan ketimpangan pendapatan yang tinggi, tingginya ketimpangan ini salah

Program Magister Teknik Sipil akan menjamin, bahwa sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung proses bisnis dalam penyediaan jasa layanan di bidang Teknik Sipil tersedia

Penulisan dalam penelitian ini mengkaji tentang Pelaksanaan Perjanjian Studi Lanjut Antara Yayasan Slamet Rijadi Dengan Dosen, yang mengkaji akibat hukum antara Yayasan Slamet

Untuk mengetahui sejauh mana BMT Amanah Umah memanfaatkan dana Baitul Mal (zakat, infak, sedekah) yang telah diberikan muzakki untuk didistribusikan secara tepat