• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3. Dari uraian Bab 1, kita telah mengetahui betapa beragamnya bentuk dan. Gaya dan Karakter. 3.1 Bentuk Dasar Topeng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 3. Dari uraian Bab 1, kita telah mengetahui betapa beragamnya bentuk dan. Gaya dan Karakter. 3.1 Bentuk Dasar Topeng"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 3

Gaya dan Karakter

D

ari uraian Bab 1, kita telah mengetahui betapa beragamnya bentuk dan

ukuran topeng. Namun demikan, topeng yang paling dominan adalah topeng yang dekat dengan struktur dan/atau ukuran muka manusia. Kebanyakan cara memakainya pun dengan ditempelkan pada muka: ada yang digigit dari bagian belakang, ada yang diikat pada kepala pemain, dan ada pula yang menjadi satu dengan tutup kepala pemainnya.

3.1 Bentuk Dasar Topeng

Bentuk atau struktur bidang muka topeng tidak harus sama dengan muka manusia (oval). Dalam topeng, kita menemukan berbagai bentuk dasar: ada yang bundar, ada yang menyerupai hati atau hampir segitiga, ada yang persegi, dan ada pula yang lonjong panjang, seperti terlihat pada Gambar 3.1. Selain itu, banyak sekali topeng-topeng yang memiliki bentuk dasar lain, yang sulit untuk dikategorikan. Dengan mengamati gambar-gambar yang ada dalam buku ini, kita akan banyak menemukan topeng-topeng di luar atau di antara kelima bentuk dasar ini.

Karena itu, kelima kelompok bentuk dasar tersebut bukanlah kategori untuk semua topeng yang ada, melainkan persepsi yang dapat membantu kita dalam melihat keragaman topeng. Dalam buku ini terdapat sekitar 500 gambar topeng. Cobalah identifikasi, yang mana yang mendekati kelima bentuk dasar itu, dan yang mana yang sulit dikategorikan. Kemudian perhatikan pula apakah ada ciri-ciri umum, misalnya bentuk dasar yang mana yang secara umum menunjukkan karakter tertentu, seperti halus-kasar, lemah-kuat, akrab-misterius? (Mengenai karakter, akan dibahas dalam bagian selanjutnya).

(2)

Gbr. 3-1c: Bali Gbr. 3-1b: Jawa

Gbr. 3-1e: Batak Gbr. 3-1d: Batak

Gbr. 3-1a: Bali

Gbr. 3-1g: Jawa Gbr. 3-1h: Jawa Gbr. 3-1i:

Gbr. 3-1j: Gbr. 3-1l: Afrika Gbr. 3-1o: Yoruba Gbr. 3-1n: Papua New Gbr. 3-1m: Timor Gbr. 3-1k: Malang Gbr. 3-1s: Gbr. 3-1r: Nepal Gbr. 3-1q: Meksiko Gbr. 3-1p: Tibet Gbr. 3-1f:

(3)

3.2 Gaya, Jenis, dan Idiom

Dalam dunia seni pertunjukan, istilah gaya banyak mengacu pada ciri atau kekhususan suatu wilayah. Kita biasa mendengar, misalnya, tarian gaya Minang, Jawa, Bali, Maluku, dan sebagainya. Adapun istilah jenis, mengacu pada ciri suatu bentuk atau kelompok kesenian, yang berada dalam suatu gaya. Dalam bahasa Inggris/Perancis istilah itu disebut genre. Namun demikian, tidak berarti bahwa perbedaan kesenian itu hierarkis, yang bisa dipetakan dari gayanya dahulu baru kemudian genrenya. Sebuah jenis seni dari suatu gaya sering memiliki persamaan dengan jenis yang sama dari gaya yang berbeda. Misalnya, jenis wayang wong (teater dengan cerita wayang) gaya Cirebon lebih memiliki kesamaan dengan wayang wong gaya Bali, dibandingkan dengan jenis sandiwara (teater dengan cerita legenda atau cerita keseharian) dari Cirebon sendiri. Atau yang lebih jelas lagi, karakter tertentu dari suatu jenis bisa memiliki lebih banyak kesamaan dengan karakter yang sama dari genre dan gaya yang lain, dibanding dengan karakter yang berbeda dari jenis yang sama. Perhatikan Gambar 3.1, topeng Pamindo Cirebon lebih mirip topeng Gunungsari Surakarta daripada topeng Patih Cirebon.

Keberagaman gaya sangat menarik untuk diperhatikan. Meskipun yang digambarkan sama—misalnya profil manusia (halus, kasar, tua, muda), binatang (burung, kuda, ikan), atau makhluk ajaib sekalipun—namun gayanya berbeda-beda. Perhatikan gambar-gambar di bawah ini, yang menunjukkan karakter yang kurang lebih sama dari empat wilayah: Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, dan Jepang. Keempatnya menunjukkan tokoh “halus” (lembut, tidak kasar), namun gayanya berlainan. Untuk bisa mengenali gaya itu, kita bisa melihat bentuk dari masing-masing unsur muka, seperti mata, alis, hidung, dan mulut.

Pada gambar di bawah ini, topeng-topeng deretan pertama (Gambar 3-2 sampai 3-5) memiliki karakter halus, muda, tampan, dan mungkin bangsawan. Adapun topeng-topeng di deretan kedua (Gambar 3-6 sampai Gambar 3-9) menunjukkan karakter orang tua. Keempat topeng orang tua ini memiliki bentuk yang berbeda-beda berdasarkan gaya masing-masing. Namun, kekhasan bentuk-bentuknya tidak sejelas topeng halusan. Pada topeng-topeng tua, kekhasan masing-masing gaya sulit ditangkap karena lebih memiliki kebebasan atau variasinya lebih tinggi, dibandingkan topeng-topeng halus yang mengikuti aturan (norma) yang lebih ketat.

(4)

Adanya kelenturan (fleksibilitas) gaya (tradisi) dalam mewujudkan topeng tua mungkin disebabkan oleh karena semua kultur lebih memiliki gambaran yang sama tentang bagaimana ekspresi muka tua, seperti kulit keriput, gigi ompong, rambut putih, dan sebagainya. Hal yang sama kita temukan dalam topeng-topeng lucu, yang standardisasinya lebih fleksibel. Singkatnya, norma tradisi pada topeng jenis dan gaya tertentu berbeda dengan norma pada topeng jenis dan gaya lainnya.

Meskipun gagasan yang akan diwujudkan dan gambaran umum tentang sesuatu itu relatif sama (seperti burung berparuh dan bersayap), tetapi “bahasa” (idiom) untuk mewujudkannya belum tentu sama. Itulah yang dimaksud dengan gaya, yakni bahasa ungkap, style, atau idiom. Bahasa atau idiom dalam dunia topeng bukan melalui kata-kata, melainkan melalui bentuk visual.

Perhatikan bentuk alis dari ketiga topeng Jawa, Bali, dan Jepang. Pada topeng Jawa dan Bali, alis dilukiskan dengan garis yang tegas, tetapi dengan bentuk yang berbeda. Adapun dalam topeng Jepang, garis alis memiliki kontur yang kabur. Ini tidak berarti bahwa alis orang Jawa, Bali, dan Jepang berbeda-beda, melainkan idiom (bahasa ungkap) atau estetikanya yang berbeda-beda dalam membuat topeng.

Topeng-topeng Tokoh Bangsawan

Gbr. 3-4: Bali Gbr. 3-3: Jawa Tengah

Gbr. 3-2: Jawa Barat Gbr. 3-5:

Topeng-topeng Orang tua

Gbr. 3-7: Bali Gbr. 3-8: India

(5)

Dengan demikian, kita dapat melihat keberagaman topeng berdasarkan dua hal utama, yaitu gagasan (seni) yang digambarkan, dan idiom penggambarannya. Gagasan adalah “isi” yang berbeda-beda sesuai dengan lingkungan, mitologi, cerita, dan sebagainya yang bersumber dari budaya masing-masing. Idiomnya pun berbeda-beda sesuai dengan nilai dan teknik seni masing-masing. Keduanya berkembang dengan proses yang panjang dalam sejarah sosial budaya setempat.

Sebagai analogi bahwa persepsi dan interpretasi kultural terhadap suatu fenomena itu berbeda-beda, kita bandingkan dengan ungkapan masyarakat terhadap bunyi ayam jantan berkokok. Bunyi yang relatif sama itu ternyata ditangkap telinga, dan diterjemahkan oleh suara manusia dengan cara berbeda-beda. Orang Melayu menerjemahkannya dengan ku-ku-ru-yuk, orang Sunda dengan kong-ko-ro-ngok, orang Inggris bilang cock-a-doodle-doo, dan sebagainya. Dalam kasus seperti ini, tidaklah relevan untuk mempertanyakan mana yang lebih benar atau logis. Semua benar menurut logika kultural masing-masing.

Perbedaan idiom kesenian tentu lebih kompleks daripada perbedaan persepsi terhadap bunyi ayam tersebut. Kadar interpretasi personal sangat kuat dan lebih berbeda-beda lagi. Namun kasus itu cukup menunjukkan bahwa ide dan suara fisik yang sama, secara artistik dan kultural bisa diterjemahkan menjadi bentuk yang berbeda-beda.

3.3 Topeng Binatang

Terlepas apakah gaya merupakan identitas kultural atau bukan, namun budaya telah melahirkan berbagai bentuk seni yang memperkaya khazanah. Hal ini juga menunjukkan ketakterhinggaan atau ketakterhentian tumbuhnya imajinasi manusia dalam dunia kesenian. Berikutnya, kita bisa melihat perbedaan perwujudan gagasan yang dituangkan ke dalam beberapa jenis topeng binatang. Yang terpenting untuk diperhatikan dalam bagian berikut ini, bukan saja terhadap keberagamannya, melainkan juga pada idiom-idiomnya.

Gbr. 3-10: Perbandingan gaya lukisan alis mata

Jawa Barat (Cirebon) Jawa Tengah (Surakarta)

Bali Jepang

(6)

3.3.1 Burung

Paruh merupakan simbol utama gambaran burung, selain sayap dan kaki. Namun, penggambarannya (baik berbentuk lukisan, maupun ukiran) bermacam-macam. Salah satu penggambaran yang paling realistis adalah topeng dari Yogyakarta (I). Akan tetapi, jika kita memperhatikan ukiran pada bagian mata, dahi, dan rambut topeng itu tidak mirip wujud asli. Pada topeng itu terdapat goresan-goresan yang sesuai dengan ukiran gaya setempat. Salah satu contoh lagi dari topeng yang mengikuti gaya atau ragam hias budaya setempat adalah topeng burung dari Cirebon dan Tibet. Topeng burung itu menunjukkan tingkat stilasi yang lebih jauh daripada yang realistis. Bentuk mata, ukiran di belakang mata, dan hiasan dekoratif yang melingkar pada pipi dalam topeng Cirebon itu tidaklah realistis.

Topeng burung berikutnya yang berasal dari Jawa adalah topeng burung berparuh panjang (ukuran seluruhnya sekitar satu meter) dan berkepala kecil, bentuknya lebih mendekati bebek daripada burung. Memang, topeng ini bukan dilekatkan pada muka, melainkan dipegang seperti jenis

barongan (akan dibicarakan selanjutnya), di

mana kedua paruh itu bisa digerakkan dan ditepukkan sehingga dapat menimbulkan bunyi.

Gbr. 3-11: Yogyakarta (I)

Gbr. 3-12: Yogyakarta (II)

Gbr. 3-13: Cirebon, Jawa Barat

Gbr. 3-14: Tibet Gbr. 3-15: Jawa (desa)

(7)

Topeng-topeng dari Indian-Amerika (dan Meksiko) dalam gambar, tampak memiliki paruh, namun strukturnya tetap mengikuti muka manusia, baik dari bentuknya yang lonjong (oval), maupun posisi mata dan alisnya. Topeng tersebut memang dimaksudkan untuk dikenakan pada muka. Akan tetapi, terdapat perbedaan antara topeng Meksiko dan Amerika Utara. Paruh burung pada topeng Meksiko menggantikan hidung dan mulut, sedangkan topeng dari Amerika Utara, paruhnya merupakan perpanjangan bibir.

Simbolisasi burung pada hiasan topi perang the Viking terlihat dari gambaran kaki dan ekornya, meskipun sayapnya terlalu kecil dibanding kakinya, dan arahnya pun terbalik jika dibandingkan dengan wujud sebenarnya. Adapun kepala atau paruhnya lebih abstrak lagi. Kasus sebaliknya bisa dilihat dalam topeng perang dari Nias (Gambar 2.90), kepala dan paruhnya sangat jelas penggambarannya, sedangkan kakinya tidak ditampakkan. Hiasan atap rumah masyarakat Kajang, Sulawesi Selatan, memberikan gambaran yang lain. Bentuk keseluruhannya seperti ayam jago dengan jenggernya. Akan tetapi, kepala dan mukanya, berbentuk ular, dan di atasnya bertengger seekor burung. Bandingkan pula dua topeng dari Afrika dengan burung dan ayam bertengger di atasnya.

Gambaran ini semua menunjukkan perbedaan dalam tiga hal: pertama,

gaya atau bentuk representasinya; kedua, adalah tingkat abstraksinya (kejelasan

dan ketidakjelasannya), dan ketiga adalah unsur yang direpresentasikan atau disimbolkannya (kaki dalam Viking, kepala dalam Nias).

3.3.2 Binatang Bertanduk

Gbr. 3-17: Afrika Gbr. 3-16: Indian -

(8)

Gbr. 3-22: Topeng burung karya baru, terbuat dari

Gbr. 3-25: Topeng burung dari kertas dengan kacamata, “Mariushka,” yang berdasar pada

Gbr. 3-26: Topeng gelede dari Yoruba, Gbr. 3-18: Ornamen topi

perang (armor) Viking. Ayam, Jawa Tengah.Gbr. 3-20: Topeng

Gbr. 3-21: Kondobuleng Makassar, Sulawesi

Gbr. 3-19: Hiasan di atap rumah, masyarakat Kajang,

Gbr. 3-23: Topeng berbentuk burung dari

Gbr. 3-27: Topeng burung dari Afrika.

Gbr. 3-29: Garuda Wisnu Gbr. 3-24: Hudoq Dayak,

Kalimantan.

Gbr. 3-28: Topeng dengan burung di atasnya, dari Pulau Mabuiag, Selat

(9)

Gbr. 3-30: Topeng burung dari Karo, Sumatera Utara, bagian dari

Gbr. 3-31: Buta Manuk (“Raksasa Burung”) dalam wayang kulit.

Gbr. 3-32: Kaligrafi Arab berbentuk burung dari Teheran, Iran, tahun 1872: basmallah dengan

frasa-Gambaran kepala bertanduk banyak ditemukan dalam topeng, patung, dan hiasan tradisional. Tanduk merupakan identitas dari suatu jenis binatang. Selain itu terkadang tanduk juga terdapat pada makhluk yang mirip manusia, raksasa, atau dewa. Jika paruh adalah simbol dari jenis binatang yang bisa terbang, tanduk adalah bagian badaniah yang berfungsi sebagai “senjata.” Mungkin karena itulah, dalam beberapa tradisi tanduk menjadi simbol kekuatan, ketangguhan, atau kegagahan, baik secara fisik, ekonomi (harta), maupun spiritual.

Di Indonesia banyak masyarakat yang memiliki tanduk kerbau sebagai simbol budayanya, seperti Toraja, Batak, Minang, Sunda, Flores, dan sebagainya. Simbol ini bisa ditemukan dalam hiasan-hiasan atap, dan/atau ukiran-ukiran rumah dan lumbung padi. Ada yang dilukiskan secara abstrak, ada juga yang sangat realistis. Ada yang menggambarkan seluruh kepala, ada pula yang hanya mengambil bagian tanduknya saja. Di Toraja ada sebuah upacara dan tarian yang menggunakan hiasan kepala tanduk kerbau. Begitu pula rumah-rumah tradisional Toraja milik tokoh kampung atau keluarga mampu, terdapat susunan tanduk-tanduk dari kerbau yang telah dipotong oleh keluarga bersangkutan, dalam upacara-upacara besar selama beberapa generasi.

3.3.3 Binatang Buas

(10)

Gbr. 3-34: Kepala Rusa (hiasan rumah), dari Gbr. 3-33: Kepala Rusa

hiasan rumah dari Nias.

Gbr. 3-35: Kepala Kerbau, dipasang di tiang rumah masyarakat Mamasa,

Gbr. 3-38: Wayang kulit Batara Kala yang bertanduk dari daerah Indramayu, Jabar.

Gbr. 3-37: Rusa dari Indian Amerika. Gbr. 3-36: Patung Nias

(11)

Gbr. 3-40: Mikichioni, topeng raksasa (oni) bertanduk dari Jepang, Gbr. 3-39: Salah satu

topeng lengger yang bertanduk, Wonosobo,

Gbr. 3-41: Patung bambu domba, karya modern Sanggar Bambu,

(12)

Gbr. 3-47: Pakaian gadis-gadis Tanjungkarang, Lampung, pada tahun 1893. Gbr. 3-43: Penari topeng (hudoq) yang dipenuhi ornamen

dari masyarakat Dayak, yang kini belum ditemukan lagi

Gbr. 3-44: Penari topeng dengan tanduk dari Toraja, Sulsel, yang kini belum ditemukan lagi (foto sekitar tahun 1950,

Gbr. 3-45: Pakaian “prajurit” yang mungkin juga dari kalangan bangsawan dari pulau Timor, NTT (Doku mentasi

Gbr. 3-46: Para penari putri dari Sumba Barat, NTT, dengan hiasan kepala

(13)

Gbr. 3-48: Kepala kerbau yang biasa dipasang pada rumah adat besar di Minangkabau, Sumbar.

Gbr. 3-49: Atap rumah ijuk yang dibentuk kepala kerbau, di daerah Kefa, Timor, NTT.

Gbr. 3-53: Topeng makhluk bertanduk abstrak dari Papua; dokumentasi Belanda sekitar Gbr. 3-52: Kereta dengan patung kepala kerbau

untuk perayaan hajatan anak sunat dari Indramayu,

Gbr. 3-51: Pola ukiran kepala kerbau (simbolik, abstrak) pada masyarakat Batak Toba, Gbr. 3-50: Patung kepala kerbau yang dipasang pada

(14)

Gbr. 3-54: Kepala kerbau pada rumah-rumah di Toraja, Sulsel.

Gbr. 3-55: Tanduk Kerbau dihiasi sebelum dijadikan korban atau sajian upacara kematian di Toraja, Sulsel.

Gbr. 3-56: Hiasan kepala untuk menari, terbuat dari tanduk kerbau, bulu ayam, dan uang logam, dari Toraja, Sulsel.

Gbr. 3-57: Penari upacara kebo-keboan (“kerbau-kerbauan”) yang memakai

hiasan-kepala bertanduk, di Banyuwangi, Jatim.

Gbr. 3-58: Patung kepala kerbau yang dipasang sebagai bagian dari sesaji pada waktu upacara kebo-keboan, di

Gbr. 3-59: Penonton sepakbola Piala Dunia, World Cup, yang memakai topeng bertanduk.

(15)

Gbr. 3-61: Tanduk kerbau disusun menjadi hiasan atau simbol sosial (adat) pada rumah-rumah di Toraja, Gbr. 3-60: Rumah gadang (“rumah besar”) di komplek

Rumah Budaya, Padang Panjang, Sumatera Barat, dengan atap menjulang menyerupai tanduk kerbau.

Gbr. 3-62: Tingkuluak tanduak, hiasan kepala menyerupai tanduk kerbau, sebagai bagian dari pakaian adat kaum perempuan di

Gbr. 3-63: Tingkuluak tanduak, (tampak belakang), ketika ibu-ibu memasuki rumah gadang.

(16)

dan hiasan, adalah ular (naga), buaya, singa, harimau, dan babi hutan. Yang lebih ditonjolkan adalah unsur kekuatan sebagai simbol dari kebuasannya tersebut, seperti gigi dan taring yang besar dan tajam sehingga ekspresinya pun seram, perkasa, atau ganas.

Naga adalah salah satu jenis binatang buas (nyata atau hayal) yang banyak perwujudan bentuknya. Mungkin karena makhluk ini memiliki keterkaitan dengan simbol air dan bumi, sehingga maknanya bukan saja keperkasaan, melainkan juga kesucian dan kesuburan. Di Bali, representasi naga umumnya berbentuk patung batu. Patung itu bukan hanya terdapat di tempat pemandian, taman sari, atau kompleks air suci, tetapi juga di perempatan jalan, pintu gerbang pura, dan di dinding-dinding rumah. Di Kalimantan Timur, ada kepala naga yang terpampang di muka perahu. Di Jawa, selain pada candi-candi dan gerbang istana, wujud naga juga terdapat dalam ukiran rancak gamelan. Beberapa jenis gong dari Kalimantan juga berisi ukiran yang menggambarkan naga. Demikian pula dengan wayang kulit dan wayang golek, stilasi atau gayanya mirip dengan topeng. Di NTT terdapat topeng yang berlukiskan ular di bagian atasnya, seperti halnya topeng dari Srilangka, yang berhiaskan ular kobra.

Kemungkinan besar gambaran naga seperti ini asalnya dari Cina. Dalam budaya tersebut, gambaran naga ditemukan di berbagai tempat, seperti pada atap rumah atau kuil, pertunjukan (liong), sampai ke hiasan lilin. Sejarah menunjukkan bahwa hubungan budaya Cina dengan Nusantara sudah terjadi sekitar satu setengah milenium yang lalu. Di samping karena komunitas Tionghoa yang tersebar di hampir semua penjuru itu mendukung kebudayaannya sendiri, pengaruhnya terhadap kebudayaan setempat pun sangat mendalam. Kita bisa melihat adanya kemiripan antara lukisan bentuk naga pada gong Kalimantan dan ukiran Cina. Artefak kebudayaan dan seni pertunjukan di Bali, misalnya, banyak mengandung unsur budaya Cina.

Singa dan harimau, juga merupakan simbol yang paling sering ditemui. Singa dijuluki Si Raja Hutan

Gbr. 3-64: Hiasan depan perahu berbentuk naga dari Banjarmasin, KalSel.

Gbr. 3-65: Kepala Buta Naga wayang golek

Gbr. 3-66: Kepala naga pada rancak gong

Gbr. 3-67: Topeng dari Timor, dengan hiasan

(17)

Gbr. 3-68: Kepala naga hiasan depan perahu, dari masyarakat Viking, Skandinavia, sekitar 1000 tahun yang

Gbr. 3-69: Kepala naga hiasan-depan perahu, dari Kutai Kartanagara,

Gbr. 3-70: Kepala naga, hiasan depan perahu, model (duplikasi) kapal Cheng Ho, pahlawan-pelaut Cina

Gbr. 3-71: Patung naga di Bali biasa dibuat sebagai tempat keluar mata air, sehingga

air memancur dari mulutnya. Gambar ini diambil dari bagian ruang yang terdapat

(18)

Gbr. 3-72: Dua patung naga di depan kelenteng Cina, di Padang, Sumbar.

Gbr. 3-73: Patung naga di depan kuil Shinto di Jepang: air keluar dari bagian mulutnya ke tempat

Gbr. 3-74: Patung naga bertanduk di atas kuburan,

(19)

Gbr. 3-75: Sesako, sandaran kursi berukir

naga dari Lampung. Gbr. 3-76: Lukisan gambar naga yang terdapat di

Gbr. 3-76: Ukiran rancak (“rak”) gamelan Jawa, baik dari kayu maupun logam, banyak berbentuk naga.

Gbr. 3-78: Topeng Naga dan Garuda, dalam drama-tari wayang wong Cirebon (kini sudah

punah), sebagai perwujudan dari kekuatan

Gbr. 3-79: Naga dalam wayang kulit Bali (atas) dan Jawa-Cirebon (bawah).

(20)

karena ia dianggap binatang yang paling kuat dan ditakuti. Harimau, selain kekuatan gigi dan taring, kulit dan bulunya menjadi simbol kehebatan, serta keindahan yang khas, seperti halnya bulu merak. Selain itu, buaya dan babi hutan pun banyak terdapat dalam seni tiga dimensi, seperti topeng, wayang, dan patung.

3.3.4 Binatang Tidak-Buas

Gbr. 3-80: Topeng harimau

dari Jawa Tengah. Gbr. 3-81: Topeng harimau dari Jawa Barat. macan-tutul (leopard) Gbr. 3-82: Topeng

Gbr. 3-83: Topeng berwajah singa dari Bhutan, topeng ini biasa ditarikan sambil

Gbr. 3-84: Muka harimau pada hiasan tempayan di museum NTT, Kupang.

(21)

Gbr. 3-85: Patung singa di Seoul, Korea. Gbr. 3-86: Patung kucing di suatu kuil daerah Sanur,

Gbr. 3-87: Patung singa yang dijual di toko-toko Gbr. 3-88: Kaligrafi “Macan Ali” dari Keraton

(22)

Gbr. 3-90. “Macan” dan “Banteng” dalam araka-arakan ritus pertanian

kebo-keboan di Banyuwangi, Jatim. topeng hudoq, Dayak Kayan, Gbr. 3-91: Babi dalam

Gbr. 3-92: Babi dalam

topeng Jawa, Yogyakarta. Gbr. 3-93: Babi dalam topeng Gbr. 3-94: Babi dalam topeng Bali (Barong

Gbr. 3-95: Buta Wijung (“Rasasa Babi”) dalam wayang kulit.

Gbr. 3-96: Topeng Serigala dari Jateng.

Gbr. 3-97: Patung seperti serigala tetapi berbulu loreng seperti harimau, dari Nias, biasa

(23)

Gbr. 3-98: “Anjing,” tarian berdua, karya koreografer terkenal Sardono W. Kusumo, Hutan Plastik, Oktober 2003 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Gbr. 3-99: Patung-patung serigala di sebuah kompleks kuil Toyokawa Inari, di Toyohashi, Jepang, yang menyimpan ribuan patung serigala, persembahan dari

(24)

Binatang-binatang yang tidak-buas (yang umumnya biasa dijinakkan) banyak pula digunakan sebagai simbol yang berhubungan dengan kepercayaan setempat, seperti lambang-lambang kesuburan, harmoni lingkungan, atau keseimbangan sosial dan sebagainya. Beberapa budaya memandang ayam sebagai bagian dari falsafah hidup: memelihara ayam merupakan kelengkapan kehidupan, bukan untuk tujuan ekonomi semata. Sehubungan dengan itu, figur ayam biasa terpancang menghiasi atap rumah atau ukiran-ukiran dinding kayu, seperti misalnya dalam masyarakat Kajang, Toraja, dan Sunda.

Benda-benda keramik (gerabah) dari Lombok banyak dihiasi dengan gambaran binatang melata. Simbol jenis binatang melata ini, yang berhubungan dengan air dan bumi, merupakan sejarah lama. Hiasan nekara perunggu dari zaman Dongson (sekitar abad 5 sebelum masehi) adalah contoh yang jelas mengenai binatang jenis ini.

Topeng-topeng binatang jinak banyak terdapat dalam tradisi pertunjukan

wayang orang di Yogyakarta, yang bentuknya hampir realistis. Dalam tradisi

topeng Malang, terdapat tokoh sapi. Dalam pertunjukan di Bali, topeng kera dan katak sering dijumpai.

3.3.5 Binatang Khayal

Jenis binatang lain yang juga digunakan sebagai penggambaran topeng adalah

Gbr. 3-100: Topeng Buta

Gajah dari Jawa Tengah. Gbr. 3-101: Topeng Batara Gana (dewa bermuka gajah) dari

Gbr. 3-102: Topeng Gajah dari topeng dalang Malang,

Gbr. 3-103: Gajah dalam wayang

Gbr. 3-104: Patung kuda dari Lombok, NTB, yang bisa dinaiki

(25)

jauh dari bentuk manusia pada umumnya. Banyak contoh-contoh yang dapat dilihat dari bab-bab sebelum dan sesudah ini, misalnya saja gundala-gundala dari Karo dalam Bab 1 (Gambar 1-16), jipae dari Asmat, dan topeng-kain dari Jepang.

Topeng Rangda Bali pada Gambar 3-159 termasuk wujud “manusia abstrak”. Perhatikan bentuk muka, mata, taring, lidah, dan lain-lain. Bentuk seperti itu tidak kita jumpai dalam realita, sehingga penampakkannya menjadi misterius, aneh dan hebat sekaligus. Dalam adegan pertunjukannya, ketika Rangda (mewakili pihak “buruk”) berperang dengan Barong (pihak “baik”), kita diajak menyaksikan pertarungan yang hebat dari kedua sifat. Hal itu mungkin berupa refleksi dari pertentangan sifat buruk dan baik dari diri manusia sendiri, yang memang hebat, dan tak pernah selesai selama hayat. Setiap saat sifat buruk hadir, kepercayaan dan moral mengajarkan bahwa manusia harus berusaha keras memeranginya. Itu tidak mudah, tapi berlangsung terus. Itu “aneh,” berat, dan mengerikan. Tapi itu adalah kenyataan. Mungkin karena itu pula topeng-topeng banyak yang tampak aneh dan menyeramkan.

Gbr. 3-159, 3-160: Rangda dan Barong sebagai lambang kekuatan jahat dan baik, dalam tradisi Bali. Gbr. 3-159 Gbr. 3-160

Referensi

Dokumen terkait

Sistem Informasi Perencanaan Pembangunan Daerah (SIPPD) adalah aplikasi perencanaan daerah yang memfasilitasi dan mengintegrasikan seluruh proses perencanaan pembangunan,

Selanjutnya tekan tombol “Simpan” dan akan muncul pop up pernyataan bahwa anda setuju dan bertanggung jawab penuh dengan data yang anda masukan, setelah

Penelitian ini bertujuan menentukan persamaan yang dapat digunakan untuk mendekati pertumbuhan, kecepatan konsumsi glukosa, kecepatan produksi asam sitrat oleh

Pembuatan suspensi konidia dilakukan dengan mengambil daun jagung yang terinfeksi penyakit bulai dilapangan, kemudian dibersihkan dengan air mengalir, lalu

Kendala-kendala Yang ditemukan Penyidik Keimigrasian klas I Padang dalam penegakan hukum terhadap penyalahgunaan Izin tinggal tidak terlepas dari pengaruh jumlah

Baja amutit ukuran penampang 17 mm x 17 mm dengan panjang ± 120 mm dibentuk menggunakan mesin potong, mesin milling dan mesin surface grinding menjadi menjadi balok

RANCANG BANGUN APLIKASI PELAYANAN CUSTOMER PADA SENGKALING FOOD

Karena hampir tidak mungkin membuat diameter konduktor mengikuti besarnya arus dan mengganti konduktor setiap ada pertumbuhan arus tertentu, maka untuk perhitungan ditentukanlah