• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PERTUKARAN DAN LINGKUNGAN SOSIAL DALAM TRADISI BAJAPUIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PERTUKARAN DAN LINGKUNGAN SOSIAL DALAM TRADISI BAJAPUIK"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

TRADISI BAJAPUIK

Pada hakekatnya pertukaran sosial sebagai suatu transaksi ekonomi karena orang berhubungan didasarkan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu itu untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain pertukaran yang terjadi dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan. Imbalan merupakan segala hal yang diperoleh melalui adanya pengorbanan. Jadi perilaku sosial berdasarkan perhitungan untung-rugi. Menurut terminologi Homans, orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman.

Terkait dengan tradisi bajapuik, pertukaran akan berlangsung bila kedua belah pihak merasa teruntungkan. Jadi perilaku aktor-aktor dimunculkan karena berdasarkan perhitungan, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.

Untuk itu bagaimana pertukaran, lingkungan sosial dan pilihan rasional muncul dalam tradisi bajapuik, tentunya tidak terlepas dari saling hubungan antara nilai-nilai tradisi bajapuik dengan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Terutama antara keluarga pihak perempuan dengan keluarga pihak laki-laki dalam pertukaran yang terjadi dalam tradisi bajapuik.

6.1. Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik

Menurut Lamanna & Riedmann (1991) dan Goode (2007) ada bermacam-macam yang dipertukarkan dalam perkawinan yakni; kelas sosial (kekayaan, berkedudukan tinggi atau berkuasa), umur, kecantikan, dan pendidikan.

Untuk kasus tradisi bajapuik pertukaran didasarkan atas status sosial ekonomi yang terdiri dari pekerjaan dan pendapatan dari calon mempelai laki-laki (marapulai). Pekerjaan dan pendapatan inilah yang menentukan tinggi rendahnya jumlah uang japuik. Semakin tinggi (prestise) pekerjaan dan pendapatan calon pengantin laki-laki, maka semakin tinggi jumlah uang japuik dan begitu sebaliknya. Adapun kisaran jumlah uang japuik dalam tradisi bajapuik dapat dilihat dalam tabel 24 dibawah ini.

(2)

Tabel 24. Jumlah Uang Japuik Berdasarkan Status Sosial Ekonomi Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008

No Uraian Jumlah

1. Seorang sarjana yang bekerjaan sebagai PNS 10-15 juta 2. Seorang sarjana yang tidak mempunyai pekerjaan tetap 5-10 juta 3. Seorang sarjana yang berprofesi sebagai dokter 25-50 juta

Seorang tamatan AKABRI yang berprofesi sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

75-100 juta 4. Seseorang tamatan SMA yang bekerja sebagai PNS 5-10 juta

Seseorang tamatan SMA yang bekerja sebagai Polisi/TNI 20-30 juta 5. Seseorang tamatan SMA yang bekerja sebagai pegawai swasta 5-7 juta 6. Seseorang yang tamatan SMA, SMP, dengan pekerjaannya sebagai

pedagang, buruh tani, sopir, nelayan, peternakan, pengrajn montir, penjahit dan tukang

3-5 juta

Sumber: Data Primer 2008

Tabel di atas menunjukkan kisaran uang japuik dalam tradisi bajapuik antara Rp 3 sampai 100 juta. Artinya pihak keluarga perempuan akan memberi uang japuik paling rendah Rp 3 juta dan paling tinggi Rp 100 juta. Selain itu terdapat pula jumlah uang japuik melebihi kisaran di atas. Ini terjadi bila pihak keluarga perempuan mempunyai kemampuan ekonomi lebih (orang kaya) dan calon marapulai dipandang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi pula, maka tidak segan-segan pihak keluarga perempuan akan memberikan uang japuik yang lebih tinggi. Seorang mantan LKAAM (SM, 72 tahun), menuturkan:

Kejadian itu terjadi 15 tahun yang lalu, di mana ada seorang dokter oleh orang tuanya diminta uang japuik sebanyak 8 juta. Tetapi karena orang tua dari perempuan seorang pengusaha mobil, maka uang japuik itu ditambahnya menjadi Rp 14 juta.

Penjelasan informan di atas menunjukan pekerjaan yang tinggi dari seorang calon mempelai laki-laki (marapulai), maka uang japuik-nya akan tinggi pula. Dengan demikian tinggi-rendahnya uang japuik menunjukan status sosial ekonomi dari seorang calon mempelai laki-laki. Fakta itu mendukung proposisi stimulus, di mana bila kejadian masa lalu menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka makin besar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa (Homans dalam Ritzert dan Goodman, 2004).

6.2. Prilaku dan Proses Pertukaran Sosial Dalam Tradisi Bajapuik

Secara ekstrinsik pertukaran dalam tradisi bajapuik meliputi antara status sosial (gelar keturunan dan status sosial ekonomi) dengan sejumlah benda atau uang--yang disebut dengan uang japuik (uang jemputan atau uang hilang) (lihat

(3)

bab V). Pertukaran itu berlangsung antara dua keluarga yakni keluarga pihak perempuan dengan keluarga pihak laki-laki dan tidak antara dua aktor atau individu yang akan menikah. Kedua belah pihak inilah yang akan melakukan pertukaran dalam tradisi bajapuik.

Pertukaran dalam tradisi bajapuik terpusat pada uang japuik--khususnya bagaimana uang japuik diberikan dari keluarga pihak perempuan kepada keluarga pihak laki-laki. Sebelum uang japuik diberikan secara resmi oleh pihak keluarga perempuan, telah terjadi proses yang panjang di antara pihak keluarga laki-laki mengenai penentuan jumlah uang japuik. Karena uang japuik tidak mutlak ditentukan oleh orang tua saja. Masukan dan pertimbangan dari pihak lain seperti dari calon marapulai (CM) dan mamak harus pula diperhatikan dalam proses penentuan itu. Ada atau tidak pertimbangan dari kedua pihak itu mengenai penentuan jumlah uang japuik yang jelas ruang untuk mereka ada di sana. Oleh sebab itu dalam proses penentuan uang japuik ada tiga pihak yang turut serta di dalamnya seperti yang terlihat pada tabel 21. Kecenderungan yang sama juga diungkapkan oleh informan SM (72 tahun) dimana uang japuik dari pihak laki-laki ditentukan oleh ayah dan ibu. Apalagi, saat ini mamak jarang yang berdomisili di daerah asal, sehingga keikut sertaannya sangat terbatas. Tempat tinggal yang jauh, serta pekerjaaan yang tidak dapat ditinggalkan menjadi alasan utama ketidak ikut sertaannya dalam penentuan jumlah uang japuik. Untuk itu adakalanya mamak menyerahkan sepenuhnya atau memberi usul mengenai jumlah uang japuik kepada orang tua saja. Tujuannya agar peran mamak tetap terlihat meskipun hanya sekedar saran atau usulan dan sekaligus untuk menunjukan kepeduliannya kepada kemenakan. Kondisi itu sudah lazim berlaku dalam tradisi bajapuik saat ini, kalaupun ada mamak ikut menentukan uang japuik, berarti mamak tersebut berdomisili berdekatan atau di daerah yang sama.

Seperti disinggung sebelumnya, penentuan uang japuik bagi pihak keluarga laki-laki melalui proses yang panjang, artinya adanya tahap-tahap yang harus dilalui dalam penentuan uang japuik. Secara umum ada tiga tahap yang dilalui yakni; tahap pertama, penentuan uang japuik pada tingkat keluarga batih (nuclear family) atau yang disebut dengan kamar kecil. Pada tahap ini jumlah uang japuik mulai dibicarakan, setelah keluarga kedua belah pihak (pihak

(4)

keluarga perempuan dan pihak keluarga laki-laki) bertemu dalam proses meresek/merasok dan setuju hubungan antar keluarga dilanjutkan. Pada tahap ini oleh pihak keluarga laki-laki yang terdiri dari orang tua dan saudara kandung (jika ada) telah merancang jumlah uang japuik yang akan dimintakan kepada keluarga pihak perempuan. Setelah itu dilanjutkan ke tahap kedua

Setelah keduanya sepakat, maka disampaikanlah jumlah uang japuik kepada pihak keluarga perempuan, dengan meminta kehadirannya di rumah pihak keluarga laki-laki. Pada waktu yang sama hadir orang tua dan didampingi oleh mamak atau dianggap mamak dari keluarga kedua belah pihak. Dalam tahap ini, sering terjadi penawaran mengenai uang japuik—terutama jika uang japuik yang diminta tidak sesuai dengan harapan atau kemampuan dari pihak keluarga

yakni pada keluarga besar (extended family) atau disebut dengan kamar besar. Pada kamar besar, proses penentuan uang japuik melibatkan mamak. Meskipun pada kamar kecil telah ada kesepakatan mengenai jumlah uang japuik, mamak atau yang dianggap mamak tetap diminta masukan dan pertimbangan. Masukan dan pertimbangan itu terutama mengenai pantas dan tidak pantasnya jumlah uang japuik yang akan dimintakan kepada pihak keluarga perempuan. Mamak dalam kamar besar adakalanya ikutserta dalam menentukan jumlah uang japuik dan adakalanya tidak. Artinya setiba di kamar besar ada kemungkinan jumlah uang japuik akan berubah, tergantung ada atau tidaknya masukan dari mamak, seperti diungkapkan oleh informan TM (66 tahun) berikut ini:

Saat ini penentuan uang japuik lebih banyak ditentukan oleh kedua orang tua, sedangkan mamak hanya menunggu laporan saja. Ini disebabkan oleh mamak sudah banyak yang pergi merantau karena tuntutan pekerjaan untuk mencari penghidupannya. Mamak yang berdomisilinya berdekatan, tetap dikut sertakan dalam penentuan uang japuik. Pertimbangan atau masukan-masukannya tetap dimintakan—apakah itu diberikan atau tidak. Perasaan mamak sekarang lebih sensitif—perasaan takut dilecehkan menghantui perasaan mamak. Oleh sebab itu mamak kadang-kadang untuk penentuan uang japuik mengambil sikap untuk menerima saja, karena mamak menyadari bahwa keterlibatannya untuk kemenakan yang sangat terbatas.

(5)

perempuan. Penawaran itu dapat terjadi 2-3 kali pertemuan, hingga jumlah yang disepakati dapat tercapai.

Penetapan jumlah uang japuik yang diminta kepada pihak keluarga laki-laki, umumnya didasarkan pada status sosial calon pengantin laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Bahkan adakalanya penetapan mengenai jumlah uang japuik yang akan diminta berdasarkan biaya yang akan dikeluarkan untuk penyelenggaraan pesta di rumah pihak keluarga laki-laki. Sementara itu respon pihak keluarga perempuan terhadap jumlah uang japuik yang di minta oleh pihak keluarga laki-laki adalah;

1. Menerima berapapun jumlah uang yang diminta oleh pihak keluarga laki-laki.

2. Melakukan penawaran terhadap jumlah uang yang diminta, karena dipandang tidak sesuai dengan kondisi ekonominya.

Respon pertama artinya keluarga dari pihak perempuan menerima dan bersedia memberikan sejumlah uang yang diminta oleh pihak keluarga laki-laki. Kemudian pada respon kedua, pihak keluarga perempuan tidak atau kurang menerima sejumlah uang yang dimintakan kepadanya, sehingga pihak keluarga perempuan melakukan penawaran. Penawaran yang dilakukan oleh pihak keluarga perempuan dapat secara langsung dan secara tidak langsung. Penawaran langsung dilakukan oleh orang tua, mamak dari pihak perempuan, dengan mengutarakan keberatan-keberatannya. Biasanya keluarga yang melakukan penawaran berasal kalangan ekonomi yang kurang mampu, baik dari kelurga inti (nuclear family) dan keluarga besar (extended family) dan kasus seperti ini jarang terjadi. Penawaran ini dilakukan pada saat kedua belah membicarakan mengenai uang jemputan atau uang hilang. Pada saat itu orang tua atau mamak dari pihak perempuan menyampai pengurangan uang japuik melalui orang tua atau mamak dari pihak keluarga laki-laki. Sementara itu, penawaran tidak langsung dilakukan melalui calon pengantin laki-laki dengan cara; menyampaikan keberatan-keberatan pihak keluarga perempuan itu kepada calon pengantin laki-laki dan untuk selanjutnya disampaikan kepada orang tuanya. Cara seperti ini biasanya calon pengantin perempuan yang lebih pro aktif untuk mendesak calon pengantin laki-laki menyampaikan pengharapan itu.

(6)

Pihak keluarga perempuan yang melakukan penawaran atau menerima uang japuik mempunyai karakteristik seperti yang terdapat dalam tabel 25 berikut.

Tabel 25. Karakteristik Keluarga Dalam Tradisi Bajapuik

Menerima Berapapun Jumlah Uang Yang Diminta Dalam Perkawinan Bajapuik

Melakukan Penawaran Mengenai Jumlah Uang Yang Diminta 1. Pada umumnya berasal dari

Keluarga Mampu.

2. Sigadis sudah cukup umur untuk melaksanakan pernikahan.

3. Mempunyai harapan yang penuh pada calon laki-laki untuk dijadikan menantu.

4. Memahami uang japuik sudah menjadi tradisi

1. Pada umumnya berasal dari Keluarga yang tidak / kurang mampu.

2. Sigadis belum cukup umur dan masih ada kemungkinan untuk mencari alternatif pilihan lain, sehingga

3. kurang berharap pada calon laki- laki itu untuk dijadikan menantu. 4. Tidak memahami tentang uang japuik

Sumber : Data Primer 2008

Unsur-unsur di atas sebagai sebuah karakteristik keluarga tidak menjadi sebuah paket yang utuh mengkategorikan sebuah keluarga yang mempunyai anak perempuan untuk menerima atau melakukan suatu penawaran mengenai jumlah uang japuik yang diminta oleh keluarga dari pihak laki-laki. Artinya ada pula keluarga yang cukup mampu dibidang ekonomi melakukan penawaran pada perkawinan bajapuik dan ini dapat dikatakan sebagai dinamika dari pelaksanaan perkawinan bajapuik. Artinya tidak ada yang statis dalam kehidupan manusia. Seperti yang terjadi pada salah seorang informan penelitian M (70 tahun), di mana salah seorang dari anak laki-lakinya diterima oleh sebuah keluarga yang cukup mampu diakhir tahun 2000. Kemudian di antara kedua keluarga itu masih ada hubungan keluarga dan berdomisili di Jakarta. Melalui komunikasi lewat telpon, maka ditetapkan jumlah uang jemputan atau uang hilang oleh orang tua dari pihak laki-laki sebanyak Rp 10 juta. Setelah mendengar jumlah yang disebutkan oleh orang tua dari pihak laki-laki itu, maka orang tua dari pihak perempuan meminta pengurangan dan akhirnya ditetapkan jumlahnya menjadi Rp 7,5 juta. Jadi, kiat untuk mengurangi jumlah uang japuik adalah secara langsung mengkomunikasikasi kepada orang tua pihak laki-laki, sehingga jumlahnya dapat dikurangi. Tetapi adakalanya juga orang tua dari pihak laki-laki bertahan dan tidak mau mengurangi jumlah uang japuik yang telah ditetapkan itu. Bagi pihak keluarga laki-laki pertimbangan itu didasarkan untuk; biaya transportasi

(7)

pulang-pergi ke Jakarta, membeli kebutuhan dapur untuk menanti pihak keluarga perempuan menjemput marapulai dan membeli seperangkat pakaian untuk paragiah jalang. Tidak termasuk biaya pesta karena pesta dilaksanakan sepihak ditempat mempelai perempuan. Dengan demikian uang yang diterima oleh pihak keluarga laki-laki sebagai uang jemputan atau uang hilang dipergunakan untuk pelaksanaan perkawinan bajapuik.

Dari kasus di atas, sepintas kelihatannya orang tua dari calon pengantin laki-laki terasa sedikit agak memaksa mengenai jumlah uang japuik, namun demikian, mereka (orang tua dari pihak laki-laki) telah mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam penetapan jumlah uang japuik. Selain mempertimbangkan status calon mempelai laki-laki, orang yang datang atau pihak perempuan dipandang cukup mampu, juga disebabkan oleh kebutuhan ekonomi yang cenderung meningkat dan barang-barang yang akan dibeli untuk kebutuhan pesta harganya serba mahal, maka pertimbangan ekonomi dalam proses penentuan jumlah uang japuik akan terjadi. Sistem perekonomian yang tidak menentu dan terjadinya fluktuasi harga barang kebutuhan di pasar, akan menjadi pertimbangan oleh orang tua dari pihak laki-laki dalam menentukan jumlah uang japuik.

Penetapan jumlah uang japuik akan berlangsung alot, ketika orang tua dari pihak laki-laki bersikukuh dengan pendiriannya, misalnya orang tua menetapkan jumlah uang japuik sebanyak Rp 10 juta, sementara dari pihak perempuan sanggupnya Rp 6 juta. Dalam hal ini, pihak perempuan berusaha mendekati calon mempelai laki-laki atau yang disebut dengan penawaran tidak langsung. Langkah pertama yang dilakukan oleh orang tua adalah dengan menanyakan kepada anak perempuannya, sejauhmana hubungannya di antara kedua. Jika jawaban dari si anak didapat gambaran bahwa calon mempelai laki-laki mempunyai keinginan yang kuat untuk mempersunting calon mempelai perempuan, maka orang tua melalui anak perempuannya dapat menekan secara psikologis calon pengantin laki-laki dengan mengatakan, “kalau tidak mau kurang, lebih baik kita bubar atau tidak jadi saja”. Ungkapan kata-kata seperti itu akan menjadi pertimbangan bagi calon pengantin laki-laki dan berusaha untuk mencari solusinya. Untuk itu sikap yang diambil oleh calon pengantin laki-laki adalah mendesak orang tuanya agar uang japuik dapat dikurangi. Cara lain yang diambil oleh calon pengantin laki-laki

(8)

menanggulangi sendiri kekurang uang itu, sehingga keluarga perempuan dapat mencukupi menjadi Rp 10 juta. Setelah uang cukup akan diberikan kepada orang tua pihak laki-laki sebagai uang japuik. Dengan demikian di dalam pemenuhan uang japuik dari pihak perempuan mempunyai aturan main (role of the game) tersendiri pula, sehingga uang japuik yang diminta keluarga dapat terpenuhi.

Calon mempelai laki-laki yang mampu melakukan sikap demikian dalam perkawinan bajapuik di wilayah penelitian adalah calon mempelai laki-laki yang mempunyai kemampuan ekonomi. Artinya calon pengantin laki-laki telah mempunyai pekerjaan tetap dan mempunyai penghasilan yang relatif besar, sehingga calon mempelai laki-laki dapat ikut campur untuk menentukan jumlah uang japuik yang ditetapkan dalam perkawinannya.

Kemudian calon pengantin perempuan yang dapat melakukan penawaran atau pengurangan jumlah uang japuik melalui calon pengantin laki-laki ada kecenderungan calon mempelai perempuan memiliki kelebihan, sehingga usulannya dapat dipertimbangkan di antaranya; karena kecantikannya, keelokannya, dan status sosialnya. Dengan kelebihan itu berimbas pada penyeimbangan dalam pemenuhan uang yang harus dikeluarkan dalam perkawinannya. Uang bantuan dari calon pengantin laki-laki untuk menutupi uang japuik adalah sebagai tembusan yang ada pada diri calon perempuan, agar perkawinan dapat berlangsung. Jika mengacu pada teori pemilihan jodoh, pada hakikatnya orang mencari pasangan mengarah pada ditemukannya pasangan-pasang yang setaraf dengannya dan perkawinan dapat berlangsung sesuai dengan yang diharapkan (Lamanna dan Riedman, 1981; Goode, 2007).

Tahap akhir, penyampaian secara resmi jumlah uang japuik dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan atau yang disebut dengan kamar umum. Pada tahap ini, selain dihadiri oleh keluarga batih (nuclear family) dan keluarga besar (extended family) dari masing-masing pihak, juga dihadiri oleh ninik mamak. Bahkan di antara ketiganya itu, ninik mamak yang lebih berperan pada tahap ini. Urgennya ninik mamak dalam tahap itu, maka tahap itu disebut juga dengan duduk ninik mamak—saat pengukuhan secara adat hubungan antar dua keluarga, atau yang disebut dengan tukar cincin/tando. Pada saat itu ninik mamak mengumumkan uang japuik secara resmi dan sekaligus menentukan

(9)

tanggal dan hari pernikahan yang akan dilangsungkan. Acara itu dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak seperti; orang tua, mamak, kakak atau kerabat lainnya serta tetangga terdekat.

Proses pertukaran seperti dijelaskan di atas dalam setiap pelaksanaan tradisi bajapuik pada umumnya selalu dan penting dilakukan. Meskipun di sisi-sisi tertentu, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan, terutama mengenai keikut sertaan anggota keluarga dan jumlah uang japuik. Khusus, untuk uang japuik, jumlahnya ditentukan berdasarkan status sosial marapulai (calon pengantin laki-laki). Artinya tinggi rendahnya uang japuik ditentukan oleh status sosial marapulai (calon pengantin laki-laki). Semangkin tinggi status sosialnya, semangkin tinggi pula uang japuiknya. Dengan demikian tinggi-rendahnya uang japuik seorang marapulai (calon pengantin laki-laki) menunjukkan status sosial ekonomi atau posisi seseorang dalam suatu masyarakat.

Sementara itu, uang japuik diberikan pada saat akad nikah akan berlangsung. Pemberian itu dilakukan oleh ninik mamak dari pihak keluarga perempuan kepada ninik mamak pihak keluarga laki-laki, karena dalam aturan perkawinan bajapuik pihak keluarga perempuan yang memberikan dan pihak keluarga laki-laki sebagai penerima, sekaligus dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak, seperti orang tua, kakak, mamak dan kerabat lainnya serta tetangga terdekat. Walaupun dalam proses pengumpulannya terdapat ikut campur dari calon pengantin laki-laki agar uang japuik itu cukup jumlahnya sesuai yang di minta oleh pihak keluarga laki-laki (lihat bab VII). Ini biasanya terjadi pada pekawinan yang dilakukan dengan orang di luar Pariaman atau antar budaya yang berbeda, meskipun tidak tertutup pula kemungkinan terjadi antar sesama orang Pariaman sendiri. Karena disatu pihak tidak mungkin membatasi jodoh seseorang dan mengharuskannya untuk mencari pasangan dengan orang yang berasal satu daerah. Terbukanya transportasi dan peluang melanjutkan pendidikan merupakan jalan yang memungkinkan untuk mendapatkan jodoh dari luar Pariaman. Walaupun di sisi lain adat Minangkabau menganjurkan “perkawinan ideal” tetapi dalam prakteknya tidak harus demikian.

Pertukaran yang dilakukan antara sesama orang Pariaman dengan orang di luar Pariaman seringkali mengalami perbedaan. Perbedaan itu terlihat dalam

(10)

proses penentuan uang japuik sebagai persyaratan dalam tradisi bajapuik. Penentuan uang japuik lebih banyak memunculkan pertimbangan-pertimbangan, yang disebabkan oleh adat kebiasaan yang berbeda. Disinilah akan terlihat keterlibatan calon pengantin laki-laki dalam penentuan uang japuik. Sementara itu pertukaran dengan sesama orang Pariaman relatif lebih mudah dilakukan, karena disebabkan oleh adanya kesesuai dari nilai-nilai dan norma-norma (latar belakang budaya yang sama), terutama dalam proses penentuan uang japuik.

Dalam praktek perkawinan yang berlaku umum, pihak laki-laki yang memberikan sesuatu kepada pihak perempuan, sehingga keluarga dari pihak perempuan tidak diberatkan dalam hal ini. Ternyata dalam perkawinan bajapuik tidak tercipta model seperti ini, namun adanya kerjasama sesama anggota keluarga besar (extended family). Meskipun di pihak keluarga laki-laki mempunyai pertimbangan tertentu dalam menentukan jumlah uang japuik--tinggi rendahnya uang japuik ditentukan oleh status sosial seorang laki. Apabila seorang laki-laki mempunyai pendidikan tinggi, mempunyai pekerjaan dan pendapatan yang cukup besar, maka uang japuik (uang hilang atau uang dapur) akan tinggi pula. Tetapi pada dekade terakhir ini ada kecenderungan pendidikan kurang berkorelasi dengan pekerjaan dan pendapatan, sehingga pekerjaan dan pendapatan menjadi pertimbangan bagi keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan dalam tradisi bajapuik. Oleh sebab itu jumlah uang japuik, tidak hanya atas pertimbangan pendidikan saja tetapi lebih diutamakan atas pertimbangan pekerjaan dan pendapatan. Dengan demikian semakin tinggi posisi dan pekerjaan seorang laki-laki di dalam masyarakat, maka uang japuiknya akan semakin tinggi dalam tradisi bajapuik. Adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam perkawinan bajapuik untuk menerima seorang laki-laki untuk dijadikan menantu.

Adanya prioritas utama dalam menjemput seorang laki-laki dalam perkawinan bajapuik, mengakibatkan uang japuiknya semangkin kompetitif. Seorang laki-laki yang mempunyai posisi pekerjaan dan pendapatan yang tinggi maka uang japuik akan tinggi, dan begitu sebaliknya. Bagi pihak keluarga laki-laki yang mempunyai seorang anak laki-laki-laki-laki yang mempunyai posisi yang tinggi, maka ada kecenderungan orang tuanya mempunyai bargaining potition yang kuat kepada orang tua dari pihak perempuan dan akan terjadi

(11)

pertimbangan-pertimbangan ekonomi dalam penentuan jumlah uang japuik. Meskipun di lain pihak calon mempelai perempuan mempunyai keduduk yang sama dengan calon mempelai laki-laki (setara). Artinya tidak ada salah satu di antaranya menempati posisi di atas dan di bawah. Tetapi ada kecenderungan selain posisi yang sama sesama kedua calon mempelai, juga mempunyai status sosial ekonomi yang sama pula dengan keluarga pihak perempuan. Dengan adanya kemampuan atau kesanggupan ekonomi dari pihak keluarga perempuan, maka pelaksanaan perkawinan dengan tradisi bajapuik dapat dilaksanakan.

Model perkawinan seperti tidak hanya berlaku antara sesama orang Pariaman, tetapi juga dengan orang di luar Pariaman. Hanya saja, perkawinan dengan orang luar lebih mengutamakan pertimbangan-pertimbang yang kadangkala melibatkan calon pengantin laki-laki untuk menengahi persoalan uang japuik. Tetapi jika dikaji lebih jauh, sebenarnya pertukaran yang terjadi dalam perkawinan bajapuik mempunyai model pertukaran dengan maksud dan tujuan tertentu dari masing-masing aktor yang terlibat dalam perkawinan bajapuik, baik dari pihak keluarga laki-laki maupun dari pihak keluarga perempuan. Dengan demikian keberadaan perkawinan bajapuik sebenarnya terletak pada kedua belah pihak keluarga atau pada pertukaran itu sendiri.

Uang japuik yang menjadi ciri khas dari perkawinan bajapuik pada hakekatnya memiliki dua bentuk yang dipertukarkan yakni materil dan non materil. Bagi pihak keluarga perempuan, pertukaran dalam bentuk materil adalah untuk mendapatkan menantu, sedangkan pertukaran dalam bentuk non materil adalah untuk menutup malu keluarga dan kaum (orientasi nilai budaya). Menurut adat Minangkabau yang menjadi acuan bagi keluarga pihak perempuan, mendapat suami bagi anak perempuan dapat menutupi malu keluarga dan kaum. Kedua motif tindakan itu di dasarkan pada pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowlegeably), sehingga tindakan yang diambil oleh aktor-aktor yang terlibat, baik dari pihak keluarga laki-laki maupun dari pihak keluarga perempuan menjadi seimbang (homogamy). Masing-masing mempunyai tujuan dan makna tersendiri dan pada akhirnya perkawinan dapat terlaksana. Untuk itu dapat dilihat gambar 8 berikut ini.

(12)

Gambar 8. Uang Japuik dan Orientasi Nilai Pertukaran dalam Tradisi Bajapuik

Dengan demikian perkawinan bajapuik dapat terlaksana, pada hakekatnya terlihat pada besar-kecilnya uang japuik yang diterima oleh pihak laki-laki pada saat penjemputan, karena jumlah yang telah disepakati itu mempunyai simbolisai ganda. Disatu sisi besar-kecilnya uang japuik itu menunjukan status sosial calon pengantin laki-laki. Kemudian sisi yang lain merupakan simbolisasi status keluarga kedua belah pihak. Artinya calon laki-laki akan diberi uang japuik yang tinggi, apabila mempunyai status sosial yang baik dalam masyarakat dan begitu juga sebaliknya bagi pihak perempuan. Keluarga yang mampu memberi uang japui yang cukup tinggi, tentu berasal dari keluarga yang mampu pula.

6.3. Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik

Dari bahasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa kuatnya nilai-nilai dan norma-norma (terinternalisasi) dalam kehidupan masyarakat telah mendorong terlaksananya tradisi bajapuik, antara pihak keluarga perempuan dengan pihak keluarga laki-laki, baik yang terdapat di pedesaan maupun di perkotaan. Dalam

Eksistensi Perkawinan Bajapuik Uang Japuik Orientasi Nilai (Choosing Knowleageably) Orientasi ekonomi Orientasi Nilai Budaya Bentuk Pertukaran Materil Non Materil

(13)

hal ini juga diakui yang menjadi pendorong dalam proses terlaksananya pertukaran dalam tradisi bajapuik adalah kemampuan dari pihak keluarga perempuan dalam mengantisipasi jumlah uang japuik yang diminta oleh pihak keluarga laki-laki. Namun demikian pada dasarnya pertukaran dalam tradisi bajapuik antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak keluarga perempuan, selain dorongan dalam bentuk pertukaran sosial ekonomi, juga terkait dengan faktor lingkungan. Oleh karena masyarakat (pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan baik yang berada di perkotaan dan pedesaan merasakan keuntungan dari tradisi bajapuik, sehingga mendorong masyarakat untuk melaksanakan tradisi bajapuik di dalam setiap pelaksanaan perkawinan, yang pada akhirnya juga dapat mendorong eksisnya tradisi bajapuik. Berkaitan dengan lingkaran sosial Lamanna, (1991), menyatakan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perilaku aktor (individu). Lebih jauh Lamanna menambahkan individu ditekan melalui norma-norma sosial yang disebutnya dengan lingkungan sosial.

Pada bagian ini akan dipaparkan bagaimana lingkungan sosial mendorong aktor untuk melakukan tradisi bajapuik di Di Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah dengan menampilkan riwayat hidup tiga pelaku sebagai contoh kasus. Ketiganya terdorong melakukan tradisi bajapuik, akibat tekanan nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat. Seorang pelaku tradisi bajapuik DA (38 tahun) adalah sosok seorang laki-laki yang meninggalkan kampung halamannya semenjak tamat Perguruan Tinggi, mengadu nasib disebuah kota besar, bertemu jodoh dengan seorang perempuan bernisial Y dan selanjutnya pernikahan dilaksanakan di rantau (luar Pariaman). Dua lainnya yaitu H. Zlm (54 tahun) menikah dengan H.Zln (51 tahun) yang sebelumnya telah saling mengenal satu sama lainnya, dan terakhir AZ (38 tahun) menikah dengan TM (38 tahun), berasal dari status sosial yang sama, seperti pendidikan dan pekerjaan. Ketiga pasangan itu dalam pernikahannya melaksanakan tradisi bajapuik, setelah adanya pertimbangan-pertimbangan dari aktor yang akan menikah dan keluarga yang terlibat dalam tradisi bajapuik.

(14)

6.3.1. Kasus Perkawinan Dengan Sesama Kerabat

Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga

DA (38 tahun) dan Y (32 tahun) adalah sepasang suami-isteri yang menikah di kota Jakarta. Di antara keduanya mempunyai latar belakang yang berbeda meskipun kedua sama-sama berasal dari satu daerah (Pariaman). Bahkan di antara keduanya terikat hubungan kekerabatan yang dekat, di mana bapak DA adalah kakak sepupu dari bapak Y. Hanya saja di antara anak masing-masing tidak saling mengenal karena jarak yang memisahkan, salah satu di antaranya menetap di Padang dan yang lainnya menetap di kota Jakarta.

DA adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, terdiri dari dua orang perempuan dan lima orang laki-laki dari pasangan suami-isteri Bapak M dan ibu A. Di kota Jakarta DA baru bermukim selama 3 tahun, sedangkan sebelumnya di Kota Padang bersama kedua orang tua dan enam saudaranya yang lain. Sebelum menetap di kota Padang, ibu dan saudara DA menetap di daerah Pariaman. Perpindahan ke kota Padang, adalah mengikuti ayah yang bekerja sebagai PNS pada salah satu instansi pemerintah di kota Padang. Semenjak perpindahan itu, DA bersama orang tua dan saudara-saudaranya berkumpul dan berdomisili di kota Padang. Sementara itu Y adalah anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan suami-isteri S dan M. Di kota Jakarta, Y bersama kedua orang tua dan tiga saudara-saudara yang lain. Di Jakarta Y dan keluarganya baru menetap selama 15 tahun, yang sebelumnya mempunyai domisili yang berpindah-pindah. Sebelum menetap di Jakarta, Y dan keluarga berdomisili di Kalimantan. Kondisi ini disebabkan oleh karena ayah dari Y karyawan salah satu perusahaan BUMN yang selalu mengadakan mutasi dalam jangka waktu lima tahun sekali terhadap karyawannya. Akibatnya Y dengan saudara-saudaranya yang lain mempunyai tempat lahir yang berbeda-beda seperti; Kalimantan, Jakarta, dan Yogyakarta.

DA hingga berumur 24 tahun berdomisili di kota P bersama dengan orang tua dan enam saudaranya yang lain. Pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi di tempuhnya di kota yang sama. Berbeda dengan Y, menempuh jenjang pendidikan ditempat yang berbeda-beda, karena harus mengikuti kedua orang tua yang selalu berpindah-pindah tugas. Pendidikan SD hingga SMP ditempuh di daerah

(15)

Kalimantan, pendidikan SMA ditempuh di kota Padang dan Perguruan tinggi di tempuh di kota Jakarta pada Universitas Tri Sakti di kota Jakarta.

Perjalanan DA sampai ke kota Jakarta, disebabkan karena tidak kunjung mendapat pekerjaan di daerah asalnya, setelah dua tahun menamat pendidikan di Perguruan Tinggi di jurusan Manajemen. Melalui dorongan salah seorang mamak yang berdomisili di kota Jakarta, maka DA diajak bersamanya, dengan tujuan mencari pekerjaan. Sesampai di kota Jakarta, DA tidak langsung mendapat pekerjaan. Dari pada menganggur dan berdiam diri di rumah, DA diajak oleh mamak untuk magang di kantornya. Tawaran itu langsung diambil DA, hitung-hitung untuk mencari pengalaman sambil menunggu panggilan kerja yang sesuai. Selama tiga bulan magang, akhirnya DA mendapat panggilan kerja disalah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang Garmen dan pekerjaan itu hingga saat ini masih dijalani.

Berbeda dengan Y, yang telah duluan menetap di kota J bersama dengan kedua orang tua dan saudaranya yang lain, untuk mendapatkan pekerjaan tidaklah sesulit yang ditempuh DA. Dengan dukungan fasilitas lingkungan yang memadai seperti; sarana dan prasana yang lengkap hidup di kota besar seperti Jakarta serta dorongan orang tua yang cukup secara finansial, memungkin Y untuk mempunyai nilai lebih, sehingga pada saat menamatkan pendidikan di Perguruan Tinggi, Y langsung mendapat pekerjaan pada salah satu perusahaan swasta terkemuka. Namun pekerjaan ini hanya dijalani hingga awal perkawinan dan setelah itu membuka usaha sendiri (warung) di rumah sambil menjaga anak dan mencari tambahan pendapatan keluarga.

Perjalanan Hidup Menuju Perkawinan

Pertemuan antara DA dengan A, yang berujung kejenjang pernikahan tidak diperkirakan sebelumnya. Karena pada saat menempuh pendidikan sarjana (S1) di Kota Padang, DA telah mempunyai teman dekat. Hubungan DA dengan teman wanitanya itu telah berlangsung selama 4 tahun, tetapi akhirnya putus karena adanya perbedaan pandangan. Begitu pula dengan teman wanita berikutnya, hanya berlangsung selama dua tahun, juga berakhir dengan kata putus, karena adanya persamaan suku di antara keduanya menyebabkan hubungan tidak berlanjut.

(16)

Perjumpaan antara DA dengan Y di awali dari ajakan perkenalan dari salah seorang kerabat yang telah lama menetap di kota Jakarta. Tepatnya suami dari adik perempuan dari bapak DA dan saudara sepupu pula dari ibu Y. Jadi di antara keduanya terikat hubungan kekerabatan. Pada waktu itu DA diajak ke rumah Y yang berlokasi di daerah Tanggerang, sedangkan DA sendiri berdomisili di rumah mamak di daerah Jakarta Timur.

Pertemuan pertama antara DA dan Y berbuah hasil yakni sampai kepada jenjang perkawinan. Dimata DA, Y adalah seorang wanita yang cantik, baik dan telah mandiri (mempunyai pekerjaan). Begitu juga sebaliknya, DA dipandang Y sebagai orang yang cukup dewasa yang mampu menjadi sandaran hidupnya di masa depan. Dengan pekerjaan yang ditekuni merupakan salah satu ketertarikan Y pada DA, selain keduanya telah mengenal latar belakang keluarga dari orang tua masing-masing. Begitu juga dengan orang tua Y, DA adalah seorang laki-laki yang pantas dengan anaknya, disamping mempunyai latar belakang pendidikan yang sama juga telah mempunyai pekerjaan yang tetap dan latar belakang keluarga yang jelas. Selain itu Y, sendiri di mata orang tua telah cukup umur untuk dicarikan jodoh.

Dengan tidak membuang waktu, orang tua Y langsung mengambil sikap untuk meresmikan hubungan di antara keduanya, setelah keduanya dipandang cocok. Tempat tinggal yang berbeda dan mempunyai jarak yang cukup jauh yakni Jakarta dan Padang, tidak menjadi penghalang bagi orang tua Y untuk mengemukakan maksud dan tujuannya kepada orang tua DA. Namun karena di antara kedua belah pihak terikat hubungan kekerabatan, maka pembicaraan mengenai proses pelaksanaan perkawinan dibicarakan lewat telpon mulai dari peminangkan hingga penentuan hari pernikahan. Bagi orang tua DA tidak menjadi masalah, yang penting rencana baik itu dapat terselenggara sesuai dengan yang direncanakan.

Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik

Pernikahan DA dengan Y berlangsung pada akhir tahun, tepatnya pada bulan Oktober tahun 2000 di Jakarta. Setelah melalui masa perkenalan kurang lebih selama lima bulan. Saat itu usia DA telah memasuki 30 tahun dan Y 24 tahun.

(17)

Perkawinan antara DA dengan Y dilaksanakan dengan tradisi bajapuik yakni memakai uang japuik (uang hilang). Meskipun di antara keduanya mempunyai hubungan kekerabatan dan pesta diselenggarakan di Jakarta yang jauh dari lingkungan sosial budayanya. Bagi DA sendiri, uang japuik dalam pelaksanaan perkawinan merupakan suatu persyaratan yang harus di penuhi oleh orang tua Y, karena sama-sama berasal dari daerah Pariaman. Keharusan untuk memberi uang japuik telah menjadi kewajiban pihak keluarga perempuan. Begitu juga dengan orang tua DA, uang japuik adalah telah menjadi tradisi dalam setiap pelaksanaan perkawinan. Mau tidak mau harus dilaksanakan oleh pihak perempuan. Sementara itu di pihak keluarga Y sendiri uang japuik adalah kewajiban yang harus dipenuhinya, bila bermenantukan orang Pariaman dan menjadi persyaratan untuk mendapatkan seorang menantu atau suami bagi anak perempuannya.

Jumlah uang japuik yang diminta oleh orang tua DA pada waktu itu sebanyak Rp 7,5 juta. Setelah kedua belah pihak antara orang tua DA dengan orang tua Y terlibat negosiasi, dimana pada awalnya berjumlah Rp 10 juta. Jumlah yang disepakati itu merupakan hasil musyawarah antara orang tua DA dengan Pak tuo (seorang ninik mamak) yang berdomisili di daerah Pariaman, karena dipandang sebagai orang yang mengetahui banyak tentang tradisi bajapuik. Bagi orang tua DA, uang japuik adalah untuk bekal biaya menghadiri pesta pernikahan yang akan dilangsungkan di Jakarta. Jadi uang japuik itu akan di gunakannya untuk transportasi, dan biaya-biaya lain untuk menurunkan marapulai. Selain itu memberikan bingkisan kepada mempelai perempuan (anak daro) sebagai paragiah jalang.

Di pihak Y, uang japuik telah dipersiapkan oleh orang tua Y. Meskipun pada saat pesta bantuan dari keluarga luas tetap berdatangan, baik secara langsung maupun tidak langsung yakni dengan berkirim melalui keluarga yang datang, karena keluarga besar Y, pada umumnya berdomisili di daerah Pariaman. Bantuan itu datang dari pihak ibu (nan saparuik) dan pihak bapak Y (bako).

Dengan situasi dan ciri-ciri lingkungan budaya yang berbeda antara keluarga DA dengan keluarga Y, tradisi bajapuik tetap dilaksanakan karena membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Bagi pihak keluarga DA,

(18)

keuntungan yang didapat berupa materil, di mana dapat menghadiri menyelenggaraan pesta anak/adik/kemenakan di daerah rantau. Jauhnya lokasi pesta yang akan dihadiri oleh keluarga DA menjadi alasan untuk meminta uang japuik. Selain sebagai penghargaan (prestise) kepada DA sendiri yang diangkat sebagai menantu dan sekaligus mencirikan identitas, asal-usul dan status sosial ekonomi. Bagi pihak keluarga Y, keuntungan yang diperoleh adalah berwujud non materil, khususnya mendapat menantu yang diinginkan.

Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi bajapuik memberi dorongan untuk terlaksananya tradisi bajapuik adalah bahwa dengan uang japuik dapat menguntung keluarga kedua belah pihak. Oleh karena adanya pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam tradisi bajapuik oleh masing-masing aktor yang terlibat, maka perkawinan dapat berlanjut (terlaksana). Orang tua Y yang telah lama meninggalkan kampung halaman dan menetap di kota besar, tetap mau melaksanakan tradisi bajapuik. Karena bila tidak dipenuhi, maka calon menantu yang diinginkan tidak akan didapat. Begitu juga dengan DA sendiri, tidak merasa malu dengan adanya uang japuik dalam pelaksanaan perkawinannya, karena berdomisili orang tua yang jauh tentu membutuhkan biaya. Dengan demikian masing-masing pihak mendapat keuntung dari pelaksanaan tradisi bajapuik. Meskipun orang tua dari Y, sempat melakukan negosiasi untuk pengurangan jumlah uang japuik, namun pada akhir dapat memenuhi jumlah uang japuik yang diminta oleh orang tua DA.

6.3.2. Kasus Perkawinan Dengan Perkenalan Kedua Calon Sebelum Pernikahan

Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga

Zym (54 tahun) Zln (51 tahun) adalah sepasang suami-isteri yang menikah di daerah Pariaman, karena kedua orang tua terutama dari ibu Zln bermukim di sana. Zym (54 tahun) adalah seorang karyawan pada salah satu anak perusahaan BUMN di kota Padang. Semenjak di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), kedua orang tua bapak Zym telah meninggal dunia dan jadilah ia tinggal bersama lima orang saudaranya yang terdiri satu orang perempuan dan empat orang laki-laki. Semenjak itu kehidupannya dibawah pengawasan seorang mamak yang domisilinya berdekatan. Berbeda dengan Zln adalah seorang

(19)

perawat pada salah satu perusahaan BUMN terkenal di kota Padang. Kedua orang tua ibu Zln, masih hidup. Bapak ibu ibu Zln adalah seorang pensiunan PNS pada salah satu SD Negeri di daerah Pariaman. Mempunyai saudara kandung 6 orang yang terdiri 4 laki-laki dan 2 orang perempuan. Semua saudara-saudara, baik di pihak bapak Zym dan ibu Zln sudah berumah tangga dan berdomisili ditempat yang berbeda.

Dari kecil hingga pendidikan Sekolah Menengah Pertama bapak Zym, menempuh pendidikan di Pariaman. Setelah itu dilanjutkan ke Sekolah Teknik Menengah (STM) di Padang dan tinggal bersama salah seorang kakak di sana. Sambil sekolah bapak Zym bekerja membantu usaha kakak yang bergerak di bidang usaha bangunan. Hitung-hitung dapat menanggulangi biaya hidup dan dapat melanjutkan pendidikan, maka sebagian waktu dicurahkan pada usaha keluarga itu, hingga akhirnya tamat pada tahun 1973. Kondisi yang hampir sama juga dialami oleh ibu Zln, pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) ditamatkan di Pariaman. Setelah itu dilanjutkan ke tingkat Sekolah Lanjut Tingkat Atas (SLTA) pada salah satu sekolah keperawatan di Bukittinggi. Selama menempuh pendidikan di sana ibu Zln menyewa kamar (kost) pada salah seorang rumah penduduk yang berdekatan dengan sekolahnya dan tamat tahun 1976.

Setelah menamatkan pendidikan, baik bapak Zym dan ibu Zln sama-sama mencari pekerjaan di kota Padang. Pekerjaan pertama yang didapatkan oleh ibu H. Zln adalah sebagai pegawai honor pada salah satu BKIA yang berada di kecamatan Nanggalo. Sementara itu bapak Zym, masih pada usaha keluarga, sambil menunggu dan mendapatkan pekerjaan yang tetap. Empat tahun kemudian, barulah mendapat perkerjaan yang tetap dan hingga menjelang pensiun masih tercatat sebagai salah seorang karyawan pada perusahaan itu, sedangkan ibu Zln, setelah dari satu tahun di BKIA, lalu pindah honor di salah satu puskesmas yang berada di Lubuk Buaya. Pekerjaan ini di jalani oleh ibu Zln selama dua tahun. Sambil menjalankan pekerjaan yang sudah ada, ibu Zln tetap memasukan lamaran pekerjaan d tempat lain, hingga akhir diterima sebagai salah tenaga kesehatan di rumah sakit perusahaan PT Semen Padang. Pekerjaan ini berlanjut hingga saat ini.

(20)

Perjalanan Hidup Menuju Perkawinan

Perjumpaan antara bapak Zym dengan ibu Zln berawal dari ajakan salah seorang teman pergi ke pesta perkawinan saudaranya. Sebagai tamu juga pada pesta itu, pada umumnya hadirin yang datang tidak banyak dikenalnya. Meskipun demikian, itu tidak menjadi penghalang bagi ibu Zln untuk mengenal sosok teman yang lain. Dengan duduk yang berdekatan dan saling menyapa antara ibu Zln dengan bapak Zym, dari sinilah hubungan persahabatn pada awalnya terjalin.

Perjumpaan demi perjumpaan yang dilakukan secara rutin, telah menguatkan hubungan di antara ibu Zln dengan bapak Zym dan berkembang menjadi hubungan tali kasih di antara keduanya. Tepatnya 2 tahun sebelum pengangkatan keduanya sebagai pegawai tetap—pada saat itu ibu Zln masih honor pada salah satu puskesmas dan bapak Zym bekerja pada CV Tani Subur milik bersama saudaranya.

Dari perkenalan itu diketahui bahwa di antara keduanya berasal dari daerah yang sama, tetapi lain desa dan kenagarin. Bapak Zym berasal dari di desa Gasan kenagarian Kuranji Hilir dan ibu Zln dari desa Pilubang kenagarian Pilubang. Dengan latar belakang yang sama di antara bapak Zym dengan ibu Zln, maka komunikasi berjalan lancar dan pembicaraan berkembang kepada masalah keluarga, seperti jumlah saudara, pekerjaan orang tua dan serta tempat tinggal masing-masing.

Di Kota Padang, domisili di antara keduanya berdekatan pada awalnya dan itu berlangsung lebih kurang 2 tahun. Kemudian masuk tahun ketiga hubungannya, domisili di antara keduanya mulai berjauhan; ibu Zln di Padang Selatan dan bapak Zym di Padang Utara. Meskipun demikian, jarak tidak menghalangi pertemuan di antara keduanya. Setiap hari sabtu atau libur menjadi pertemuan di antara keduanya. Sampai ke jenjang pernikahan hubungan antara bapak Zym dengan ibu Zln berlangsung hingga 4 tahun lamanya.

Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik

Pada tahun 1980 antara bapak Zym dengan ibu Zln menikah, setelah masing-masing bekerja selama dua tahun di tempat pekerjaannya saat ini. Pada saat itu bapak Zym berumur 26 tahun dan ibu Zln 23 tahun. Dipihak keluarga ibu Zln, dengan usianya itu sudah pantas untuk berumah tangga, begitu juga di pihak

(21)

keluarga bapak Zym. Usia yang cukup dewasa dan telah pula mempunyai pekerjaan telah mendorong keduanya untuk segera menikah.

Pada saat berhubungan dekat (berpacaran), antara bapak Zym dengan ibu Zln telah sepakat untuk tidak melaksanakan tradisi bajapuik dengan uang japuik dan jikapun ada, tetapi jumlahnya tidak terlalu besar. Dukungan itu didapat pula dari saudara laki-laki bapak Zym yang berdomisi di kota Padang. Tetapi ketika waktu pertunangan tiba dan dilaksanakan di kampung (Pariaman), mamak dari bapak Zym meminta uang japuik kepada pihak keluarga ibu Zln sebanyak Rp 3,5 juta. Jumlah itu cukup besar, sehingga mengagetkan orang tua dari ibu H.Zln pada awalnya. Meskipun demikian, orang tua dari ibu Zln tetap bersikap tenang dan menyanggupi permintaan itu karena baginya uang japuik telah menjadi tradisi dan diwariskan turun-temurun. Kewajiban memberikan uang japuik merupakan kewajiban bagi pihak perempuan. Dengan pertimbangan itu orang tua dan keluarga besarnya ibu Zln menyanggupi jumlah uang japuik yang diminta oleh pihak keluarga bapak Zym.

Bagi pihak keluarga bapak Hzn, jumlah yang cukup besar itu diminta kepada pihak keluarga ibu Zln dengan pertimbangan; 1) telah mempunyai pekerjaan yang tetap; 2) prestise atau kehormatan mamak—masyarakat akan memandang tinggi kepada mamak di mana kemenakannya mempunyai status yang tinggi mamak dan akan merasa malu bila kemenakannya tidak dijemput; 3) adanya keingginan mamak mengambil kemenakan (bapak Zym) untuk dijadikan menantu.

Untuk pemenuhan uang japuik, di pihak keluarga ibu Zln tidak menjadi tanggungan orang tua. Keluarga besar (extended family), terutama mamak turun tangan (berpartisipasi) menanggulangi jumlah uang japuik. Selain itu, ternyata bapak Zym turut pula membantu memenuhi uang japuik. Bantuan dari bapak Zym diberikan sebagai bentuk kepedulian terhadap beban yang dipikul oleh pihak keluarga dari ibu Zln, untuk meringan biaya uang japuik. Kedekatan hubungan antara bapak Zym dan ibu Zln, sebelum pernikahan, telah mengetuk perasaannya untuk membantu orang tua dari ibu Zln dengan tanpa diminta. Dimata bapak Zym, ibu Zln merupakan wanita pantas dan cocok dijadikan pendamping hidup. Selain sekampung, punya pekerjaan dan juga mempunyai wajah yang cukup menarik.

(22)

Takut akan kehilangan gadis pujaannya, telah mendorong bapak Zym untuk memberikan sejumlah uang kepada ibu Zln untuk diserahkan kepada orang tuanya.

Ternyata pengenalan yang cukup lama tidak dapat meluluhkan atau menghilang tradisi bajapuik. Oleh sebab itu, oleh aktor yang terlibat seperti bapak Zym melakukan penyesuaian dalam tradisi bajapuik dalam bentuk memberikan bantuan kepada orang tua dari ibu Zln. Pada saat itu pelaksanaan perkawinan antara bapak Zym dengan ibu Zln tetap memakai uang jemputan atau uang hilang. Jumlah uang jemputan atau uang hilang yang diminta oleh pihak laki-laki, terutama mamak dari bapak Zym relatif tinggi, merupakan suatu bentuk peranannya yang dimainkan dalam tradisi bajapuik.

6.3.3. Kasus Perkawinan Dengan Kedudukan Setara

Riwayat Hidup, Latar Belakang Pendidikan dan Keluarga

Umumnya antara TM (39 tahun) dan AZ (39 tahun) mempunyai banyak kesamaan mulai dari umur, pendidikan dan profesi yang ditekuni. Pada saat menikah sama berumur 27 tahun dan mempunyai profesi yang sama yakni sebagai staf pengajar pada salah satu Universitas Negeri terkenal di kota Padang. Saat ini usia keduanya sama-sama 39 tahun, dengan pendidikan terakhir pascasarjana (S2). dan telah mempunyai 3 orang anak terdiri; 2 orang perempuan dan 1 orang laki-laki.

Meskipun demikian perbedaan di antara keduanya terletak pada latar belakang dan perjalanan hidup keduanya. Semenjak pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga pergurunan Tinggi, TM berdomisili di kota Padang bersama kedua orang tua. dan saudara-saudaranya. Hampir semua kehidupannya dilalui di kota Padang dan hanya 6 tahun saja usianya dihabis di daerah kelahirannya di Pariaman. Pekerjaan orang tua TM yang bekerja sebagai salah seorang pegawai pada instansi pemerintah telah membawa TM bersama ibu dan 4 orang saudaranya pada waktu itu pindah ke kota Padang. Tepatnya pada tahun 1975, bahkan 2 orang adik TM lahir di kota Padang. Jadilah semua keluarga TM semuanya berdomisili di kota Padang. Pulang ke kampung hanya ketika waktu tertentu saja seperti lebaran dan melihat bila ada anggota kerabat yang sakit atau melaksanakan pesta.

(23)

Berbeda dengan AZ, dengan orang tua yang berdomisili di kampung Lubuk Alung mewarnai perjalanan pendidikannya. Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) dilalui kampung halamannya. Ambisi dari orang tua dan mamak untuk segera mendapatkan pekerjaan setelah tamat dari sekolah Menengah atas memaksa AZ untuk meninggalkan kampung dan masuk ke Sekolah Analisis Kimia Menengah Atas (SAKMA) di Padang. Setelah tamat dari SAKMA, AZ mempunyai gagasan baru tentang masa depannya dan mengambil inisiatif mengambil ujian persamaan pada salah satu SMA di kota Padang agar dapat melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Jadi setingkat tamat sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA), AZ mempunyai dua buah ijazah yakni ijazah SAKMA dan ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA). Melalui ijazah SMA itulah, AZ hingga saat ini dapat melanjut pendidikan ketingkat yang lebih tinggi (pascasarjana).

TM mempunyai saudara berjumlah 7 orang terdiri dari; 2 orang perempuan dan 5 orang laki-laki. Semua saudara TM telah berhasil menamat pendidikan hingga sampai Perguruan Tinggi dan enam orang di antaranya telah bekerja pada instansi pemerintah dan swasta. Hanya 1 orang yang belum bekerja dan saat ini sedang menempuh pendidikan pasca sarjana (S2) di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sementara itu di pihak AZ mempunyai saudara 4 orang terdiri dari; 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Dua di antaranya bekerja sebagai PNS dan 2 orang lagi masing-masingnya berprofesi sebagai pedagang dan ibu rumah tangga.

Perjalanan Hidup Menuju Perkawinan

Pertemuan TM dengan AZ berlangsung pada bulan Februari 1998. Setelah keduanya diperkenalkan oleh salah seorang anak tetangga dari TM. Secara tidak sengaja, AZ bertemu anak tentangga yang bernama R di salah satu Warung Telkom (Warnet) yang kebetulan sama-sama mempunyai tujuan yang sama untuk menelpon.

Sambil menunggu antrian, antara AZ dan R terlibat pembicaran mengenai pengalaman masing-masing. Tidak hanya sampai disitu, pembicaraan juga merembes ke persoalan lain terutama R menanyakan beberapa orang yang dikenalnya, yang sama bekerja dengan AZ. Karena baru saja menjadi staf

(24)

pengajar di Universitas itu, AZ tidak mengenal orang yang dimaksud oleh R. Namun AZ sendiri menjadi penasaran dengan salah satu yang disebutkan R, sehingga mendorong AZ untuk mengenal lebih jauh. Akhirnya disepakati untuk bertemu dengan orang yang dimaksud R.

Karena hari sudah sore menjelang magrib, maka AZ diajak R untuk sholat magrib di rumah pak eteknya. Keduanya sholat magrib di sana. Menjelang sampai ke rumah TM, AZ diajak mampir ke rumah R yang jaraknya ± 50 meter dari rumah TM. Bagi R tujuan hanya untuk sekedar menukar pakaian dan AZ dengan sabar menunggu aba-aba berikutnya. Setelah semuanya siap, maka berangkatlah AZ dengan R ke rumah TM.

Sampai di tempat yang dituju, ternyata orang yang dimaksud tidak berada di rumah dan sedang berada di luar kota. AZ sebagai orang yang mempunyai maksud hanya terlibat pembicaraan dengan orang tua, dan adik-adik TM. Sementara R sendiri hanya sekedar menimpali pembicaraan-pembicara yang sekali-kali mengarah kepadanya. Sambil mencairkan suasana AZ mengambil dan melihat-lihat album yang ada dietelase meja tamu. R yang duduk berdekatan turut mengarahkan AZ kepada orang yang dimaksudnya. Hampir 2 jam lama mengobrol dengan tuan rumah, akhirnya AZ dan R mohon pamit untuk pulang, sambil menitipkan sebuah kertas kecil yang berisi identitas dirinya kepada tuan rumah agar disampaikan kepada TM.

Sehari setelah kedatangan keduanya, TM pulang ke rumah. Sesampai di rumah TM disambut dengan sebuah guyonan dari salah seorang adik laki-lakinya di mana ada seorang laki-laki yang ingin mengajak berkenalan. Belum sempat menjawabnya, adik laki-laki itu menimpali lagi, terima sajalah karena orang itu satu profesi dan “ganteng” lagi. Ucapan yang dilontarkan dari adik laki-lakinya membuat TM penasaran, meski pada saat itu tidak dilihatkan secara nyata.

Bak seperti pepatah, “pucuk dicinta, ulam tiba”, ternyata yang diharapkan kehadiran menampakan titik terang. Kira-kira jam 5 sore, setelah 2 jam setelah TM sampai di rumah datang telpon dari AZ yang menyampaikan keinginan untuk datang dan bertemu dengan TM setelah sholat magrib. Sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, tidak lama kemudian AZ muncul dan disambut langsung oleh TM dan dipersilahkan masuk dan duduk. Perbicaraan pada pertemuan pertama

(25)

berkisar masalah pekerjaan. Karena keduanya berasal dari bidang sama, maka pembicaran menjadi hangat dan berkembang.

Setelah pertemuan pertama itu berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya. Berbagai alasan yang dapat dijadikan AZ untuk bisa bertemu dengan, termasuk ingin mengetahui tempat pekerjaan TM. Satu bulan berikutnya, barulah AZ menyampaikan maksud dan tujuannya kepada TM bahwa ia ingin berhubungan serius. Sebagai tindak lanjut dari sikapnya itu, besok harinya AZ langsung membawa TM ke rumah orang tua dan saudaranya untuk diperkenalkan. Ternyata respon dari pihak keluarga AZ cukup baik dan menerima TM untuk calon isteri anak atau adiknya. Tidak butuh waktu yang lama, akhirnya orang tua AZ melalui anaknya mempersilahkan orang tua TM untuk datang ke rumahnya dalam rangka melakukan proses perkawinan yang akan dilalui. Kemudian 6 bulan setelah itu, barulah dilakukan pernikahan yakni tepatnya pada bulan November tahun 1997.

Dorongan Lingkungan Sosial dalam Tradisi Bajapuik

Proses perkawinan yang dilalui cukup unik, dan itu merupakan suatu perjalanan hidup yang harus dilalui oleh seseorang. Perjalanan hidup seseorang tidak ada yang persis sama dan inilah yang menjadi karakteristik TM dengan AZ. Perkenalan melalui anak tetangga yang akhirnya berlanjut keperkawinan merupakan suatu perjalanan dan garis hidup yang harus dilaluinya.

Dari latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang dimiliki, keduanya mempunyai banyak kesamaan. Di antara keduanya tidak ada yang lebih satu sama lain, atau dapat dikatakan menempati strata dan level yang sama. Namun pada saat melangsungkan perkawinannya memakai uang japuik sebagai kharakteristik dari tradisi bajapuik tetap dibebankan kepada pihak perempuan. Status yang sama dari TM (calon mempelai perempuan) tidak menjadi pertimbangan bagi keluarga AZ. Dengan aturan yang berlaku (role of the game) dari tradisi bajapuik yang biasa berlaku bahwa pihak perempuan yang akan memberi uang japuik, itu saja yang menjadi pegangan bagi keluarga AZ untuk meminta uang japuik. Artinya bagi keluarga di pihak AZ, permintaan uang japuik kepada keluarga pihak TM dengan pertimbangan uang japuik sudah menjadi tradisi dan harus dilaksanakan oleh pihak perempuan yang dalam hal ini orang tua TM.

(26)

Jumlah uang japuik yang diminta dari pihak AZ berjumlah Rp 5 juta. Jumlah itu merupakan hasil kesepakatan dari orang tua, saudara kandung dan mamak dari AZ sendiri tidak di minta pertimbangannya. Karena masalah penentuan jumlah uang japuik bukan menjadi urusan AZ. Bagi orang tua AZ jumlah itu didasarkan atas status yang dimiliki oleh AZ sebagai seorang staf pengajar pada salah satu Perguruan Tinggi negeri di kota Padang, disamping pada waktu yang sama orang tua AZ juga membutuhkan dana pula untuk menikahkan adik perempuannya.

Sementara itu bagi di pihak keluarga TM, jumlah uang japauik itu dapat diterima, dengan alasan sudah menjadi adat kita. Untuk itu tidak mungkin untuk menolaknya dan telah diwarisi semenjak dahulunya. Oleh sebab itu agar dapat suami/menantu, maka uang japuik harus dipenuhi. Apalagi kita berasal dari daerah yang sama dan telah paham dengan sistem perkawinan yang ada.

Dari ketiga kasus di atas baik perkawinan yang dilakukan dengan sesama kerabat, perkawinan melalui perkenalan (pacaran) dan perkawinan sesama kedudukan yang setara, semua memakai tradisi bajapuik dengan uang japuik. Pertimbangan yang diambil oleh pihak keluarga perempuan adalah nilai budaya yakni bagaimana cara untuk mendapatkan seseorang laki-laki yang akan dijadikan menantu atau suami untuk anak perempuan. Untuk itu cara-cara yang diambil adalah dengan memenuhi persyaratan yang menjadi tradisi di dalam masyarakatnya. Sikap pihak keluarga perempuan yang demikian pada hakekat dibenarkan pula oleh nilai adat yang berlaku khususnya adat Minangkabau. Jika dalam adat Minangkabau membolehkan menjual harta pusaka untuk mendapatkan seorang laki-laki yang akan menjadi suami bagi anak perempuan, maka di dalam masyarakat Pariaman memakai uang japuik. Dengan demikian adanya nilai budaya inilah menjadi eksisnya tradisi bajapuik hingga saat ini. Dengan merujuk kepada proposisi Homans tentang nilai, maka semakin tinggi nilai tindakan seseorang bagi dirinya, maka makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan itu (Homans dalam Ritzert & Goodmann, 2004).

(27)

6.4. Ringkasan Bab

Pertukaran yang terjadi dalam tradisi bajapuik didasarkan atas pertimbangan status sosial ekonomi, khususnya pekerjaan yang dimiliki oleh calon pengantin laki-laki. Pertukaran itu berlangsung antara dua keluarga yakni antara pihak keluarga perempuan sebagai pemberi dan pihak keluarga laki-laki sebagai penerima. Aktor-aktor yang terlibat digolongkan atas keluarga inti (nuclear family) seperti; ayah Ibu dan anak dan keluarga besar (extended family) seperti mamak, etek, apak, mintuo, kakek dan nenek dan pemuka masyarakat seperti; kepalo mudo dan ninik mamak. Keterlibatan masing aktor terdistribusi ke dalam proses dan pelaksanaan pertukaran dalam tradisi bajapuik.

Pertukaran yang terjadi sehubungan dengan tradisi bajapuik yakni antara keluarga kedua belah pihak adalah dengan mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma di dalam masyarakat. Antara keluarga kedua belah pihak terdapat nilai-nilai dan norma yang berbeda dalam melaksanakan tradisi bajapuik. Pihak keluarga laki-laki sebagai penerima dan pihak keluarga perempuan sebagai pemberi. Bagi pihak keluarga laki-laki, pertimbangan pemberian uang japuik kepada seorang laki-laki didasar atas status sosial ekonomi (status pekerjaan) dari seorang calon pengantin laki-laki, sedangkan di pihak keluarga perempuan di dasarkan atas kemampuan keluarga dalam mempersiapkan uang japuik diutamakan, selain calon mempelai perempuan mempunyai status sosial yang sama dengan calon mempelai laki-laki.

Gambar

Tabel 24.  Jumlah Uang Japuik Berdasarkan Status Sosial Ekonomi Di  Kecamatan Sungai Limau dan Pariaman Tengah Tahun 2008
Tabel 25. Karakteristik Keluarga Dalam Tradisi Bajapuik
Gambar 8. Uang Japuik dan Orientasi Nilai Pertukaran dalam   Tradisi Bajapuik

Referensi

Dokumen terkait

Faktor penghambat Guru Pendidikan Agama Islam dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual siswa Beberapa faktor penghambat yang dialami Guru Pendidikan Agama Islam

Hal ini disebabkan oleh karena hubungan orang tua dan anak menunjukkan relasi kehidupan yang saling mengasihi, menyayangi, dan melindungi, sebagaimana Paulus

Desain interior sebagai sebuah lingkungan bentukan merupakan objek yang akan diper sep sikan oleh manusia (sebagai pengguna). Dalam mempersepsikan lingkungan bentukan

Rekomendasi standar iluminasi merupakan acu- an dalam mendesain pencahayaan ruang. Re- komendasi pada ruang kerja yang dikeluarkan oleh beberapa Negara di antaranya:

Pentingnya lingkungan tidak hanya dijadikan sebagai tempat belajar melainkan lingkungan juga dapat dijadikan sebagai sumber belajar yang mereka peroleh dari lingkungan tersebut,

Banyak nama-nama unsur geografi yang berasal dari nama asing yang terucapkan dengan lidah Indonesia atau diterjemahkan secara harafiah dalam bahasa Indonesia atau diganti dengan

Penelitian ini membahas mengenai hubungan menonton drama Korea dengan perilaku mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar. Bagaimana hubungan frekuensi