• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM MENAGIH KREDIT BERMASALAH. (Jurnal) Oleh. JanuaryPrakoso

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM MENAGIH KREDIT BERMASALAH. (Jurnal) Oleh. JanuaryPrakoso"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM

MENAGIH KREDIT BERMASALAH

(Jurnal) Oleh JanuaryPrakoso 1212011156 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG 2017

(2)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM

MENAGIH KREDIT BERMASALAH Oleh

January Prakoso, Firganefi, S.H., M.H., Diah Gustiniati M, S.H., M.H. Email : januaryprakoso119@gmail.com

No. HP : 081215987143

PT Mandiri Tunas Finance bergerak dibidang usaha pembiayaan konsumen, membutuhkan jasa penagih utang dalam hal penagihan konsumen yang melakukan wanprestasi (gagal bayar). Jasa penagih utang lahir karena perjanjian kerjasama, untuk itu dapat mewakili PT Mandiri Tunas Finance menarik barang milik konsumen. Apabila konsumen merasa tidak puas atas tindakan jasa penagih utang, maka dapat melakukan upaya hukum. Tujuan penelitian ini adalah agar dapat mengetahui pertanggungjawaban pidana oleh jasa penagih utang dan mengetahui tindakan tindakan pidana apasajakah yamg biasanya dilakukan oleh debt collector serta upaya hukum yang dapat dilakukan apabila debt collector tersebut melakukan tindak pidana terhadap konsumen.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe penelitian analisis deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer data sekunder serta pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan, studi dokumen dan wawancara. Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan cara analisis deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana oleh debt collector baik sebelum atau sesudah melakukan tindak pidana berupa pengancaman, dan atau kekerasan tersebut di atas terhadap debitur adalah tanggung jawab secara individu. Tanpa ada kaitannya terhadap perusahaan yang menggunakan jasanya dalam melakukan penagihan. Tindak Pidana yang sering dilakukan oleh Preman Debt Collector adalah tindak pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu seperti : memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, pemerasan dengan kekerasan (afpersing), dan penganiayaan. Upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen yang menjadi korban tindak pidana yang dilakukan oleh debtcollector dapat langsung melakukan gugatan ke pengadilan negeri.

(3)

I. PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara hukum dimana hukum di tegakan demi keadilan setiap warga negara indonesia, peraturan-peraturan dan sanksi yang berlaku sesuai dengan undang-undang dan pasal dalam kitab undang-undang, dan setiap warga negara wajib mematuhinya dan tidak boleh melanggarnya, namun sebagaimana mestinya jika dilanggar maka sanksi, denda, dan ancaman hukuman dijatuhkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Setiap manusia tidak pernah luput dari kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja namun apa yang telah dilakukannya adalah suatu kesalahan yang harus diberikan sanksi, hukuman yang telah diberikan bertujuan agar tiap warga negara terancam untuk tidak melakukan kejahatan atau perlakuan yang melawan hukum, setiap hukuman yang diberikan sesuai dengan kesalahan yang dilanggar oleh warga negara Indonesia.

Tujuan utama hukum adalah guna menciptakan keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat, pada pergaulan sehari-hari banyak kepentingan yang beraneka ragam sehingga kita menyadari bahwa kadang kala timbul benturan-benturan antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain seperti halnya dalam upaya manusia memenuhi kebutuhan hidup, salah satunya adalah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi.

Sejak zaman dahulu manusia

menggunakan barang sebagai media pembayaran yang kita kenal sebagai sistem barter dimana untuk mendapatkan suatu barang harus ditukarkan dengan barang lain, seiring dengan perkembangan zaman cara ini mulai ditinggalkan setelah ditemukannya suatu alat pembayaran yang lebih praktis yang kita kenal saat ini dengan nama uang. Uang kita bisa membeli semua kebutuhan yang kita inginkan, sehingga tak heran jika setiap

orang berusaha untuk mendapatkan uang. Masalah yang timbul saat ini adalah bagaimana jika kita tidak memiliki uang sedangkan harus memenuhi kebutuhan kita yang terdesak.

Hal ini dapat diatasi dengan kehadiran suatu sistem pembayaran yang mana kita dapat membeli barang tanpa harus membayar pada saat itu juga yang dalam kehidupan sehari-hari biasa kita sebut kredit. Dengan kredit, kita dapat membayar barang sesuai dengan waktu dan kemampuan yang dapat kita sesuaikan, sehingga memudahkan kita untuk dapat memiliki sesuatu yang diinginkan tanpa harus mempersiapkan uang tunai dalam jumlah besar.

Hadirnya sistem kredit sangat membantu

kehidupan masyarakat bahkan

pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara, namun keterbatasan saat ini adalah tidak semua barang yang dijual di pasar atau toko menawarkan system kredit terhadap barang yang mereka jual. Kerena disamping faktor kepercayaan, faktor-faktor lain dijadikan pedagang sebagai petimbangan untuk lebih nyaman jika menjual dengan cara tunai daripada kredit. Namun dibalik kemudahan tersebut, jika kita tidak bertanggung jawab untuk melunasi kredit tersebut tentu akan membawa masalah bagi kita, karena akhirnya kita akan dihadapkan kepada debt

collector untuk menagih sejumlah hutang.

Belakangan ini perekonomian inter-nasional memburuk. Untuk mengatasi hal ini pemerintah menjalankan kebijakan uang ketat yang mengakibatkan bank-bank menaiki suku bunga yang lebih tinggi dan mengakibatkan debitur dalam hal ini penerima kredit kesulitan untuk membayar tagihan kredit yang sudah diterimanya yang kemudian dikenal dengan istilah kredit bermasalah.

Berbagai upaya ditempuh oleh kreditur dalam hal ini bank untuk mengatasi

(4)

tagihan bermasalah mulai dengan menggunakan cara yang resmi dan formal yaitu dengan melalui lembaga peradilan. Namun dirasakan cara tersebut kurang efektif dan sangat lambat bahkan tidak memberikan jaminan terlaksananya kewajiban pembayaran hutang sampai akhirnya menggunakan biro jasa swasta yang sekarang ini dikenal dengan istilah “debt collector” atau penagih hutang,1 yang diharapkan untuk menagih hutang secara berdaya guna dan berhasil guna dalam waktu relative singkat dan melalui prosedur yang tidak birokratif. Pertimbangan untuk menggunakan jasa organisasi tersebut lebih diorientasikan pada perhitungan yang bersifat ekonomis praktis sehingga keuntungan yang diharapkan dapat diselesaikan atau setidak-tidaknya kerugian dapat ditekan seminimal mungkin.

Keberadaan debt collector berkembang tidak hanya dalam lingkungan perbankan saja, tetapi badan usaha lain yang mempunyai tagihan-tagihan seperti halnya adalah lissing yang memberikan kredit kepada konsumen yang ingin memiliki kendaraan atau benda bergerak lain namun pembayaran dilakukan secara kredit. Namun kecenderungan yang terjadi didalam praktek nya jarang sekali para

debt collector bertindak sesuai dengan

norma yang berlaku tetapi justru melanggar ketentuan hukum seperti melakukan intimidasi, ancaman, dan kekerasan nyata baik fisik maupun psikis.2 Tindakan debt collector yang menyita paksa barang, misalnya menyita sepeda motor yang menunggak kredit atau menyita barang-barang di dalam rumah karena belum dapat melunasi hutang pada bank, merupakan perbuatan melanggar hukum. Tindakan menyita secara paksa itu ibaratnya menutup lubang masalah dengan

1Polri Dukung Pemberantasan Biro Jasa Penagih

Hutang, Suara Pembaruan, 6 Agustus 2010, hlm 4.

2M. Khoidin, Debt collector dan Kekerasan,

Republik, 17 September 2010, hlm 6

masalah menyelesaikan pelanggaran hukum dengan melanggar hukum yang lebih berat.

Seorang debitur yang belum mampu membayar lunas hutangnya (misalnya cicilan kredit sepeda motor yang sudah jatuh tempo) adalah suatu pelanggaran hukum, yaitu melanggar perjanjian. Dalam hal demikian kreditur (dealer sepeda motor) mempunyai hak untuk menyita barang yang telah diserahkan kepada debitur (pembeli sepeda motor) dengan alasan wanprestasi. Atas alasan tersebut biasanya kreditur mengutus debt collector-nya untuk menyita barang jika tidak berhasil menagih hutang. Karena tindakan menyita paksa barang oleh kreditur dan

debt collector-nya adalah pelanggaran

hukum maka tindakan itu dapat berindikasi tindak pidana pencurian mengambil barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain secara melawan hukum.3 Atas pelanggaran hukum tersebut, pembeli sepeda motor berhak melaporkannya kepada polisi.

Selain pencurian kreditur dan debt collector-nya juga dapat diancam tindak

pidana perbuatan tidak menyenangkan kalau sudah emosional dan menggebrak-gebrak meja dan tentunya kita sudah dapat membayangkan tindak pidana yang yang lebih kejam lagi jika sang debt collector telah berlagak menjadi jagoan yang gampang main pukul.

Tidak ada satupun di dalam perundang-undangan yang melarang seseorang menjadi penagih hutang. Bahkan di dalam ketentuan perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1792-1819 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dinyatakan bahwa dengan suatu surat kuasa, jasa penagih hutang (debt collector) dapat mewakili kreditur untuk menagih hutang kepada debitur. Namun kecenderungan yang terjadi sekarang adalah bahwa dalam

3Pasal 362 KUHP

(5)

prakteknya sering terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang memaksa penyelesaiannya di meja persidangan. Seperti melakukan ancaman, tekanan, dan kekerasan baik fisik maupun psikis yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana.

Saat ini dalam masyarakat sering terdengar adanya kasus penagihan hutang terhadap debitur oleh kreditur dengan memakai penagih hutang (debt collector) dalam menagih hutang dengan cara dan memakai kekerasan. Penunggak yang tidak mampu melunasi tagihannya, penagih hutang (debt

collector) yang diperintah oleh bank

terhadap kredit yang bermasalah akan mengambil sejumlah barang baik bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan. Apabila penunggak telah melunasinya, maka jaminan itu akan dikembalikan, Namun bila tidak dilunasi tentu saja barang itu akan lenyap. Selain itu juga tidak jarang penagih hutang (debt collector)

melakukannya dengan menggunakan ancaman dan kekerasan.

Perbuatan debt collector yang dapat dikategorikan tindak pidana (jika telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ada dalam KUHP), seperti diantaranya : 1) Jika penagih hutang (debt collector)

tersebut melakukan pengrusakan terhadap barang-barang milik nasabah;4

2) Jika penagih hutang (debt collector) tersebut menggunakan kata-kata kasar dan dilakukan di depan umum, maka ia bisa dipidana dengan pasal penghinaan;5

3) Selain itu, bisa juga digunakan pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.

Penggunaan jasa pihak ketiga (debt

collector) pada dasarnya merupakan pihak

yang berpotensi untuk menimbulkan kerugian pada konsumen. Adakalanya pula

4Pasal 406 KUHP

5Pasal 310 KUHP

debt collector tidak bekerja dengan

profesional seperti yang diharapkan oleh bank. Terkadang untuk mendapatkan hutang yang ditagihnya mereka melakukan tindakan melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi nasabah yang ditagih hutangnya tersebut.

Masyarakat sebagai nasabah tidak pernah tahu hubungan kerja antara bank dan perusahaan debt collector yang mereka pekerjakan apakah itu hubungan pengalihan hutang atau hubungan pemberian kuasa. Salah satu alasan mengapa pihak bank meminta jasa debt

collector adalah tingginya biaya berperkara. Biaya berperkara ini meliputi biaya pengacara, biaya transportasi dan biaya calo perkara.

Gejala kredit bermasalah adalah :

1. Adanya penyimpangan dari ketentuan dan syarat-syarat perjanjian kredit/ perjanjian pinjaman biasa dilakukan oleh kreditur atau debitur;

2. Adanya penurunan kondisi keuangan debitur yang kelihatan dari keterlambatan pembayarannya;

3. Adanya perbuatan dari debitur yang mulai kurang kooperatif dengan mulai menunggak dan membayar tidak tepat waktu

Kasus-kasus yang ada menunjukkan betapa

mendesaknya kebutuhan untuk

memperkuat landasan hukum yang terkait dengan perlindungan nasabah di bidang keuangan atau perbankan. Sudah saatnya Indonesia memiliki Undang-undang yang mengatur mengenai penagihan hutang termasuk hutang kartu kredit. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi nasabah pemegang kartu kredit dari perbuatan sewenang-wenang. Ini diperlukan mengingat UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang ada saat ini tidak mengatur sama sekali mengenai kegiatan penagihan hutang tersebut.

(6)

Saat ini sudah ada peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pihak bank untuk menggunakan jasa pihak ketiga untuk menagih hutang. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu PBI (Peraturan Bank Indonesia) SE BI (Surat Edaran Bank Indonesia) No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu tanggal 13 April 2009.

Dalam PBI dan SE BI ini dalam Bab VII huruf D angka 4, diatur bahwa:

a) Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kolektibilitas;

b) Penerbit harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut, selain harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pada huruf a, juga harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum.6 c) Dalam perjanjian kerjasama antara

Penerbit dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausula tentang tanggungjawab Penerbit terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.

Pada praktiknya aturan tersebut belum ada batasan dan aturan pelaksana yang jelas tentang tata cara penagihan oleh seorang

debt collector. Saat ini yang ada hanya

sebatas pada aturan bank masing-masing. Tetapi yang terjadi di lapangan, mereka itu

6 Surat Edaran Bank Indonesia. SEBI NO.

14/17DASP/2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, Ketentuan Butir VII.D Angka 4

(debt collector) melakukan hal-hal di luar kesepakatan antara bank dan agen.

Beberapa tindakan debt collector bahkan sudah mengarah pada tindakan pidana. Misalnya, seperti yang terjadi pada Selasa 8 January 2016 : Saidan (37), warga Korpri Jaya, Sukarame, Bandarlampung, babak belur dikeroyok 18 penagih hutang atau

debt collector di depan kantor perusahaan

pembiayaan Mandiri Tunas Finance di Jalan Pangeran Antasari, Bandarlampung. “Sekujur badan saya memar dan tulang hidung patah. Rencananya akan dioperasi besok, “kata Saidan saat di temui di ruang Paviliun Cendana No. 112, Rumah Sakit Umum Rumah Sakit Urip Sumoharjo, Bandarlampung.7

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian judul : “Pertanggungjawaban Pidana oleh

Debt collector yang Melakukan Tindak

Pidana dalam Menagih Kredit

Bermasalah”

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pada debt collector yang melakukan tindak pidana dalam menagih kredit bermasalah ?

2. Bagaimanakah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh debt collector yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana ?

Pendekatan masalah dalam penelitian yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan langsung dengan penelitian ini. Pendekatan yuridis empiris adalah dengan mengadakan penelitian langsung ke lapangan, yaitu dengan

(7)

melihat fakta-fakta yang ada dalam praktek mengenai pelaksanaannya.

Sumber dan Jenis Data dalam Penelitian ini menggunkan dua jenis data yaitu, data primer dan skunder. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan.

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.8

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pertanggungjawaban Pidana pada

debt collector yang melakukan tindak

pidana dalam menagih kredit bermasalah

Korporasi paling dominan yang menggunakan jasa debt collector adalah perusahaan leasing. Saat ini sangat mudah untuk membeli motor, misalnya, baik dengan cara kredit maupun secara cash. Tetapi pada saat ini semua leasing pasti akan menggiring konsumennya untuk membeli kendaraan secara kredit. Disamping keuntungan akan bertambah, tentu dengan strategi ini leasing tidak akan menemui banyak masalah.

Hukum fidusia cukup asing didengar oleh orang umum padahal hukum ini harus diketahui oleh setiap orang yang akan membeli motor ke sebuah dealer lewat leasing. Hukum fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda yang dapat difidusiakan tersebut berdasarkan kepercayaan yang penguasaannya tetap dilakukan oleh si pemilik benda tersebut.

8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,

Jakarta: Rineka Cipta, 1983, Hlm 112.

Biasanya hal ituterjadi karena pemilik benda tersebut (debitur) membutuhkan sejumlah uang dan sebagai jaminan atas pelunasan utangnya tersebut si debitor menyerahkan secara kepercayaan hak kepemilikannya atas suatu benda bergerak atau benda yang tidak termasuk dalam lingkup Undang-undang No 4 tahun 1996 kepada krediturnya dan hak tersebut juga dapat dialihkan kepada pihak lain.

Pemberian jaminan fidusia ini merupakan perjanjian yang bersifat accesoir dari suatu peminjaman pokok dan harus dibuat dengan suatu akta notaris yang disebut sebagai akta Jaminan Fidusia.9 Untuk melalui proses ini pihak leasing dikenakan biaya antara Rp500.000 hingga kisaran Rp5.000.000 tiap unit motor. Karena untuk menuruti hukum fidusia ini memerlukan biaya yang tidak sedikit maka biasanya pihak leasing hanya mencantumkan saja dalam perjanjian sewa beli secara fidusia. Jadi leasing tidak menjalankan proses ini secara resmi tetapi hanya embel-embel di surat perjanjian bahwa seakan-akan leasing sudah melakukan hukum fidusia.

Berdasarkan analisis bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Hal ini juga berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana apabila ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Secara Teoritik berdasarkan teori pertanggungjawaban pidana, maka pertanggungjawaban pidana bagi jasa penagih hutang (debt collector) berupa perorangan (natuurlijke person), di dalamnya harus terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaaheid) si pembuat atas perbuatannya. Prinsip ini di dalam hukum pidana dikenal dengan prinsip “liability based on fault”, atau dikenal juga dengan

9 Pasal 6 huruf B UU No 42 tahun 1999

(8)

“tiada pidana tanpa kesalahan” (azasculpabilitas). Khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.10

Berdasarkan Analisis bahwa subjek hukum tindak pidana adalah orang dalam konotasi biologis yang dialami (natuurlijke person). Disamping itu, KUHP juga masih menganut asas sociatas delinguere non potest yang artinya badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana, maka pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum tidak berlaku dalam bidang hukum pidana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa formulasi pertanggungjawaban pelaku dalam KUHP hanya berorientasi terhadap pelaku tindak pidana perseorangan atau orang dalam konteks konotasi biologis yang dialami (natuurlijke person). Menurut Try Wahyu apabila kemudian terjadi hal demikian (tindak pidana), maka tanggung jawab pidana ada pada debt collector itu sendiri, bukan tanggung jawab perusahaan.11

Tindakan yang dialami oleh Saidan (37) seorang nasabah Mandiri Tunas Finance, merupakan salah satu daftar hitam para

Debt collector dalam melakukan penagihan. Kekerasan memberikan tekanan langsung kepada debitur baik fisik maupun mental akibat tidak diindahkannya keinginan mereka (debt collector).

Menurut Nirmala Dewita, ketika tindakan yang memiliki ancaman pidana tersebut dilakukan oleh debt collector, maka tidak ada kata penghapusan pidana bagi mereka,kecuali dengan alasan-alasan tertentu.12 Seharusnya pihak pertama menggunakan jalur hukum yaitu melalui pengadilan dalam menyelesaikan masalah wanprestasi oleh pihak kedua, sehingga

10 Masrudi Muchtar, 2013, Debt Collector dalam

optik kebijakan hukum pidana,Aswaja Pressindo, yogyakarta, h. 142

11 Hasil Wawancara dengan Kejaksaan Negeri

Bandar Lampung pada tanggal 30 Oktober 2016

12 Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan

Negeri Tanjung Karang pada tanggal 3 November 2016

ada kekuatan tetap dalam melakukan penyitaan barang terhadap debitur apabila terjadi kredit macet.

Hal tersebut juga telah diatur dalam hukum perdata bahwasanya, setiap perjanjian akan menimbulkan suatu perikatan. Suatu perikatan pada hakikatnya mempunyai hubungan hukum antara dua (2) orang atau lebih. Perikatan adalah sebuah hubungan hukum antara dua orang/dua pihak berdasarkan sebagaimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, pihak lainnya juga berkewajiban memenuhi tuntutan itu.

Berdasarkan analisis untuk dapat dicelanya perbuatan, seorang pelaku tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur kesalahan sebagai berikut :

1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat. Artinya keadaan jiwa si pembuat tindak pidana harus normal. 2) Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini di sebut bentuk-bentuk kesalahan.

Berdasarkan analisis teori pertanggung-jawaban pidana tersebut dan beberapa masukan pendapat berdasakan hasil wawancara yang dilakukan, maka penulis berpendapat bahwa pertanggungjawaban pidana oleh debt collector baik sebelum atau sesudah melakukan tindak pidana berupa pengancaman, dan atau kekerasan tersebut di atas terhadap debitur adalah tanggung jawab secara individu. Tanpa ada kaitannya terhadap perusahaan yang menggunakan jasanya dalam melakukan penagihan. Untuk itu perlunya peraturan yang jelas mengenai keberadaan debt

collector akan memberikan batasan-batasan yang jelas pula bagi mereka para penagih hutang, tetapi apabila pihak perusahaan yang memberikan kuasa kepada debtcollector tersebut untuk memakai cara kekerasan dalam menagih kredit tersebut maka pihak perusahaan pun

(9)

dapat di pertanggungjawabkan sesuai dengan Pasal 55 dan 56 KUHP yang berbunyi :

Pasal 55 KUHP berbunyi :

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang

menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana

atau keterangan, sengaja

menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya . Pasal 56 KUHP berbunyi:

Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:

(1) Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu; (2) Barangsiapa dengan sengaja

memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

B. Tindakan-Tindakan Yang Dilakukan Oleh Debt collector Yang Dapat Dikualifikasikan Sebagai Tindak Pidana

Berdasarkan Analisis bahwa debt collector yang akan penulis bahas disini ada dua, yang pertama yaitu debt collector yang bekerja atau dipekerjakan oleh instansi perbankan seperti bank, perusahaan pembiayaan, dan koperasi, yang kedua adalah debt collector yang dipekerjakan oleh perseorangan, seperti hutang piutang pribadi dan lintah darat. Maraknya penggunaan jasa debt collector oleh bank, mengindikasikan bahwa jasa ini cukup efektif dan efisien dalam menjalankan tugas penagihan piutang bank. Sebab jika

tidak, mustahil bank akan

menggunakannya. Dengan menyewa jasa penagih hutang, Bank tak perlu repot-repot untuk membentuk unit sendiri yang khusus untuk mengamat-ngamati dan membujuk para debitur bermasalah membayar tunggakannya, selain karena tak cukup tenaga, juga karena keterbatasan dana mengingat bahwa bank harus secara hati-hati dalam menggunakan dana para nasabahnya sesuai dengan prinsip fiduciari.

Menurut Bayu Kurniawan penggunaan

debt collector oleh perseorangan biasanya

digunakan setelah kreditur telah mencoba untuk menagih dengan cara baik-baik kepada debitur secara langsung tapi tidak mendapatkan itikad baik dari debitur atau belum mampu melunasi hutangnya.13 Tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai penagih utang atau debt collector di Indonesia. Debt collector pada prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur untuk menagih utang kepada debiturnya.14

Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya,untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dengan adanya pengerian pemberian kuasa tersebut, hal ini telah menggariskan dasar hukum sahnya pemberian kuasa penagihan hutang baik perseorangan maupun perusahaan.

Berdasarkan analisis bahwa Bank Indonesia pada dasarnya memperbolehkan adanya penggunaan jasa debt collector oleh bank dalam menagih hutang.15 Hal ini

13 Hasil Wawancara dengan debtcollector Bayu

Kurniawan di salah satu perusahaan finance Bandar Lampung pada tanggal 10 November 2016

14 Hasil Wawancara dengan debtcollector Bayu

Kurniawan di salah satu perusahaan finance Bandar Lampung pada tanggal 10 November 2016

(10)

dapat dilihat dari tidak adanya larangan secara tegas mengenai penggunaan pihak ketiga dalam penagihan hutang dalam peraturan-peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia. Dalam peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, tidak pernah terdapat peraturan yang melarang penggunaan pihak ketiga (debt collector), oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penggunaan jasa pihak ketiga dalam penagihan hutang diperbolehkan oleh Bank Indonesia. Meskipun diperbolehkan, Bank Indonesia tetap memberikan pengaturan mengenai penggunaan jasa pihak ketiga ini dalam penagihan tunggakan hutang kartu kredit. Walaupun hal ini telah diatur sedemikian rupa di dalam PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan SEBI No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu akan tetapi saat ini masih banyak pula pihak bank yang masih kurang memperhatikan atau tidak menerapkan hal itu sehingga secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada debt

collector untuk melakukan segala macam

upaya, baik itu melawan hukum untuk memastikan kreditur membayar hutangnya. Secara teoritis dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.16

Tindak Pidana yang sering dilakukan oleh Debt Colektor adalah tindak pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu:

16 Mahrus Ali , Dasar Dasar Hukum Pidana, Sinar

Grafika, Jakarta, 2012, hlm 156.

1. Pasal 368 KUHP

(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Ketentuan Pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini. Penjelasan Pasal 368 adalah sebagai berikut :

a. Kejadian ini dinamakan “pemerasan dengan kekerasan” (afpersing).

Pemeras itu pekerjaannya: 1) memaksa orang lain;

2) untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang

3) dengan maksud hendak

menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak.

b. Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan; 1) Memaksa adalah melakukan

tekanan kepada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sendiri. Memaksa orang lain untuk menyerahkan barangnya sendiri itu masuk pula pemerasan;

2) Melawan hak adalah sama dengan melawan hukum, tidak berhak atau bertentangan dengan hukum; 3) Kekerasan berdasarkan catatan

pada Pasal 89, yaitu jika memaksanya itu dengan akan menista, membuka rahasia maka hal ini dikenakan Pasal 369.

(11)

c. Pemerasan dalam kalangan keluarga adalah delik aduan (Pasal 370), tetapi apabila kekerasan itu demikian rupa sehingga menimbulkan penganiayaan, maka tentang penganiayaannya ini senantiasa dapat dituntut (tidak perlu ada pangaduan);

d. Tindak pidana pemerasan sangat mirip dengan pencurian dengan kekerasan pada Pasal 365 KUHP. Bedanya adalah bahwa dalam hal pencurian si pelaku sendiri yang mengambil barang yang dicuri, sedangkan dalam hal pemerasan si korban setelah dipaksa dengan kekerasan menyerahkan barangnya kepada si pemeras.

2. Pasal 369 KUHP

(I) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain. atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(II) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena kejahatan.

3. Pasal 378 KUHP

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

4. Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP

Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan atau memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.

Bahwa bila kita melihat rumusan bagian inti delik tersebut maka kita dapat melihat bahwa tindak pidana tersebut berupa : a. Pelaku adalah barang siapa, artinya

setiap orang (person) yang melakukan perbuatan tersebut yang mampu bertanggung jawab menurut hukum. b. Bentuk perbuatan adalah memaksa,

dimana yang dimaksud dengan “memaksa” adalah menyuruh orang untuk melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) sehingga orang itu melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) berlawanan dengan kehendak sendiri .

c. Objeknya adalah : orang, bahwa perbuatan memaksa tersebut ditujukan kepada orang.

d. Dilakukan dengan Secara melawan hukum, singkatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum baik dalm arti obyektif maupun hukum dalam arti subyektif dan baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis (lihat Arrest HR 6 Januari 1905 dan Arrest HR 31 Januari 1919).

e. Cara melakukan perbuatan (bersifat alternatif), yaitu dilakukan baik : a) dengan kekerasan; untuk unsur

kekerasan, lihat Pasal 89 KUHP,

dimana disamakan dengan

melakukan kekerasan adalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi.. dimana menurut R. Soesilo, “tidak berdaya” artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan

(12)

perlawanan sedikitpun. atau dengan perbuatan lain; maupun dengan

perbuatan yang tidak

menyenangkan.

b) dengan ancaman kekerasan; atau dengan ancaman perbuatan lain; maupun dengan ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan.

f. Tujuan pembuat melakukan perbuatan (bersifat alternatif) :

a) orang itu atau orang lain supaya melakukan sesuatu.

b) orang itu atau orang lain supaya tidak melakukan sesuatu.

c) orang itu atau orang lain membiarkan sesuatu.

III. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Pertanggungjawaban pidana oleh debt

collector baik sebelum atau sesudah

melakukan tindak pidana berupa pengancaman, dan atau kekerasan tersebut di atas terhadap debitur adalah tanggung jawab secara individu. Tanpa ada kaitannya terhadap perusahaan yang menggunakan jasanya dalam melakukan penagihan. Untuk itu perlunya peraturan yang jelas mengenai keberadaan debt collector yang akan memberikan batasan-batasan yang jelas pula bagi mereka para penagih hutang.

2. Tindak Pidana yang sering dilakukan oleh Preman Debt collector adalah tindak pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu:

a. Memaksa seorang dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu . b. Pemerasan dengan kekerasan

(afpersing) . c. Penganiayaan

Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh debt

collector ada empat, antara lain

kurangnya kesadaran debitur, kurangnya tanggung jawab dan pengawasan, tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai tata cara penagihan hutang oleh pihak ketiga, dan kurangnya pengetahuan hukum

debt collector dan debitur itu sendiri. B. Saran

Adapun saran yang diberikan penulis berkaitan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan polisi sebagai berikut :

1. Untuk menjamin agar tidak ada lagi tindak pidana yang di lakukan oleh

debt collector maka pelaku harus

diproses sampai ke tingkat pengadilan dan memaksimalkan vonis pidana penjara dan pidana denda agar mempunyai efek jera terhadap pelaku.

Pihak Bank/Finance yang

menggunakan jasa debt collector juga harus mempunyai sanksi yang tegas apabila debt collector tersebut tertangkap basah telah melakukan kekerasan terhadap para nasabahnya .Dan juga pihak Bank/Finance tersebut harus lebih teliti lagi dalam memilih

debt collector yang tentunya patuh

terhadap semua peraturan yang telah dibuat oleh pihak Bank/Finance agar tidak melakukan perbuatan tindak pidana .

Penggunaan debt collector sudah seharusnya ditinjau kembali dengan peraturan yang lebih jelas sehingga kasus seperti kekerasan yang dialami Saidan nasabah Mandiri Tunas Finance tidak terulang kembali, sejumlah pendapat menyatakan jika debt collector dibubarkan saja, namun

menurut saya hal itu sangat sulit untuk dilakukan saat ini, cara yang lebih baik yaitu melakukan pembenahan dibidang hukum terkait profesi ini, karena saat ini sejumlah Negara lain telah memiliki

(13)

peraturan khusus profesi ini, selama belum ada ketentuan yang jelas sejumlah masalah-maslah masih mungkin bisa terjadi. dan tak kalah penting dari itu adalah ditingkatkannya fungsi pengawasan Bank terhadap pihak ketiga yang diberikan kuasa, dengan adanya control yang baik kasus-kasus serupa dapat dihindari. 2. Perlu adanya kerja sama antara aparat

penegak hukum dengan masyarakat dalam memberantas tindak pidana yang dilakukan debt collector, masyarakat harus berperan aktif dalam hal ini. Masyarakat harus segera melaporkan jika melihat ada tindak pidana yang dilakukan debt collector. Langkah yang selanjutnya adalah Bank Indonesia harus melarang pemakaian jasa debt collector agar tidak terjadi lagi kasus tindak pidana nya .

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mahrus. 2012. Dasar Dasar Hukum

Pidana. Jakarta. Sinar Grafika

M. Khoidin, Debt collector dan Kekerasan, Republik, 17 September

2010

Muchtar, Masrudi. 2013. Debt Collector

dalam optik kebijakan hukum pidana. Yogyakarta. Aswaja Pressindo.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar

Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka

Cipta.

Surat Edaran Bank Indonesia. SEBI NO.

14/17DASP/2012 perihal

Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, Ketentuan Butir VII.D Angka 4

Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009

Polri Dukung Pemberantasan Biro Jasa Penagih Hutang, Suara Pembaruan, 6 Agustus 2010, hlm 4.

Pasal 6 huruf B UU No 42 tahun 1999 Hasil Wawancara dengan debtcollector

Bayu Kurniawan di salah satu perusahaan finance Bandar Lampung pada tanggal 10 November 2016 Hasil Wawancara dengan Hakim

Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada tanggal 3 November 2016 Hasil Wawancara dengan Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung pada tanggal 30 Oktober 2016

Referensi

Dokumen terkait

Selulosa dapat dikonversi menjadi produk- produk bernilai ekonomi yang lebih tinggi seperti glukosa, etanol dan pakan ternak dengan jalan menghidrolisis selulosa

Materi pelajaran dalam penelitian ini yaitu pada pokok materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV), untuk mengetahui efektivitas terhadap kelas eksperimen yaitu

Dengan adanya komposit EPDM dengan karet alam dan bahan proses lainnya (Tabel 1) maka terjadi ikatan sambung silang yang membentuk struktur jaringan tiga dimensi

Pengecekan teman sejawat yang dimaksudkan disini adalah mendiskusikan proses dan hasil penelitian dengan teman mahasiswa yang sedang atau telah mengadakan

Wajib pajak akan berprilaku patuh dalam melaksanakan kewajiban peprajakan apabila wajib pajak dapat memperoleh banyak manfaat atas kepemilikan NPWP, wajib pajak

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Pada unsur latar, diidentifikasi tiga jenis latar yaitu latar tempat, waktu, dan sosial.Latar yang dilukiskan dalam kumpulan cerpen Sepotong Hati yang Baru dapat

Tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis hubungan pengetahuan dengan minat ibu nifas tentang postnatal massage di Puskesmas Jelakombo, Kecamatan Jombang, Kabupaten