4.1 Komponen Kimia Tempurung Kemiri
Hasil analisa komponen kimia tempurung kemiri yang digunakan sebagai bahan baku dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Komponen kimia tempurung kemiri
No. Komponen Kadar (% dari berat kayu)
1. 2. 3. 4. Holoselulosa (Polisakarida) Pentosan Lignin
Ekstraktif : - Larut air dingin - Larut air panas
- Larut alkohol-benzena (1:2) - Larut NaOH 1% 49,22 14,55 54,46 1,96 6,18 2,69 17,14 5. Abu 8,73
Pada Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa tempurung kemiri mengandung holoselulosa sebesar 49,22 %. Kadar holoselulosa (polisakarida) tempurung kemiri ini lebih rendah dari polisakarida kayu yang besarnya antara 65 – 75 % (Fengel dan Wegener, 1995), akan tetapi sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kadar holoselulosa pada tempurung Brazil nut yang besarnya 48,5 % (Bonelli
et al. 2001). Hemiselulosa kayu tersusun dari lima jenis gula : 3 heksosa (glukosa,
manosa dan galaktosa), dan 2 pentosa (xilosa dan arabinosa) (Achmadi, 1990). Pada penetapan pentosa yang dilakukan dengan cara gravimetri didapatkan kadar pentosa tempurung kemiri sebesar 14,55 %.
Lignin merupakan komponen kimia dalam bagian pohon yang selalu bergabung dengan selulosa dan bukan merupakan karbohidrat, melainkan didominasi oleh gugus aromatis berupa fenilpropana. Di dalam struktur jaringan kayu lignin terutama terdapat di dalam lamela tengah dan dinding sel primer (Fengel dan Wegener, 1995). Kandungan lignin dalam tempurung kemiri sebesar 54,68 %. Kadar lignin tempurung kemiri ini relatif sama dengan kadar lignin tempurung Brazil nut yang besarnya 54,9 % (Bonelli et al. 2001), akan tetapi lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar lignin kayu pada umumnya yang
berkisar antara 20 – 40% (Fengel dan Wegener. 1995) dan hampir dua kali lebih tinggi dari lignin kayu kemiri itu sendiri yang besarnya 24,9% (Martawijaya et al. 2005). Achmadi (1990) menyatakan bahwa dari viskositasnya yang rendah, diketahui bahwa molekul lignin bersifat kompak. Selanjutnya dikemukakan bahwa komponen lignin lebih berperan dalam pembentukan arang dibandingkan dengan selulosa, dan lapisan arang membantu mengisolasi polimer dinding sel terhadap degradasi termal selanjutnya.
Zat ekstraktif merupakan komponen kimia non struktural di dalam sel organ tumbuhan. Jumlah bahan ekstraktif yang terdapat dalam tumbuhan tergantung pada letaknya dan jenis tumbuhan. Zat ekstraktif pada tempurung kemiri yang larut dalam air dingin sebesar 1,96 %. Komponen utama yang larut air terdiri dari karbohidrat, protein dan garam-garam anorganik (Achmadi, 1990). Ekstraktif tempurung kemiri yang larut dalam air panas sebesar 6,18 %. Dalam proses ekstraksi dengan air panas, maka yang akan terlarut antara lain tanin, getah, gula, bahan pewarna dan pati (Fengel dan Wegener, 1995; ASTM, 1996). Zat ekstraktif tempurung kemiri yang larut dalam alkohol benzena sebesar 2,69 %. Zat ekstraktif yang dapat terlarut dalam pelarut organik seperti larutan alkohol-benzena antara lain lilin, lemak, resin, minyak dan tanin serta komponen tertentu yang tidak larut dalam eter (ASTM, 1996). Kelarutan ekstraktif tempurung kemiri dalam NaOH 1 % sebesar 17,14 %. Besarnya bahan yang larut dalam NaOH dapat digunakan sebagai indikator tingkat kerusakan pada bahan akibat pelapuk (decay), panas, cahaya dan oksidasi (Wardhani et al. 2005).
Abu merupakan komponen penyusun sel tumbuhan yang tidak dapat larut dalam air atau pelarut organik. Kandungan abu tempurung kemiri sangat tinggi, yaitu sebesar 8,73 %. Kulit pada umumnya lebih kaya akan mineral daripada kayu. Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa hasil analisa unsur dalam kulit dan kayu pohon daun lebar menunjukkan kandungan abu dalam kulit biasanya lebih dari 10% dan sepuluh kali lebih tinggi daripada dalam kayu. Selanjutnya dikemukakan bahwa kommponen abu utama kayu adalah kalsium, kalium dan magnesium. Dalam banyak kayu jumlah Ca hingga 50% dan lebih dari unsur total dalam abu kayu. K dan Mg menduduki tempat kedua dan ketiga, diikuti Mn, Na, P dan Cl.
4.2 Rendemen Arang dan Arang Aktif
Dari proses karbonisasi tempurung kemiri dalam tungku drum dihasilkan arang dengan rendemen rata-rata 39,49 % (38,50 - 41,30 %). Rendemen arang ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan rendemen arang tempurung kelapa hibrida yang besarnya 36,04 % (Nurhayati et al. 1997), akan tetapi lebih rendah daripada rendemen arang tempurung kemiri (50,00 %) yang berasal dari Mataram NTB yang dikarbonisasi menggunakan reaktor pirolisis (Darmawan, 2008). Rendemen arang yang diproses dengan retort berkisar 25 – 30 %, sedang dengan tungku sekitar 20 – 25 % (Sudrajat dan Soleh, 1994). Rendemen arang yang dihasilkan sangat bergantung pada jenis bahan baku, kadar air bahan baku serta teknologi pengolahan.
Aktivasi arang tempurung kemiri dengan menggunakan berbagai perlakuan di dalam retort listrik menghasilkan arang aktif dengan rendemen seperti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Rendemen arang aktif tempurung kemiri
No. Perlakuan Rendemen (%) No. Perlakuan Rendemen (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. A1W1S1 A1W1S2 A1S1S3 A1W2S1 A1W2S2 A1W2S3 77,33 75,33 74,33 76,00 74,67 73,67 7. 8. 9. 10. 11. 12. A2W1S1 A2W1S2 A2W1S3 A2W2S1 A2W2S2 A2W2S3 77,00 72,67 63,00 75,67 69,33 56,67 Jumlah 865,67 Rata-rata 72,14
Keterangan : A1 = aktivator panas S1 = suhu aktivasi 550 0C
A2 = aktivator uap H2O S2 = suhu aktivasi 650 0C
W1 = waktu aktivasi 90 menit S3 = suhu aktivasi 750 0C W2 = waktu aktivasi 120 menit
Pada Tabel 3 ditunjukkan bahwa aktivasi arang tempurung kemiri menjadi arang aktif diperoleh rendemen antara 56,67 – 77,33 % dengan rata-rata 72,14 %.
Rendemen arang aktif dari hasil penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan rendemen arang aktif tempurung kemiri (47,30 – 70,80 %) yang diaktivasi dengan bahan kimia (H3PO4) dan uap air pada suhu 750 – 800 0C selama 60 dan 90 menit (Hendra dan Darmawan, 2007). Juga lebih tinggi dibanding rendemen arang aktif tempururung kelapa (36,7 – 51,5 %) yang diaktivasi menggunakan uap pada suhu 900-1000 0C selama 105 menit (Hartoyo dan Pari, 1993) maupun rendemen arang aktif kelapa hibrida (65, 82 %) yang diaktivasi dengan uap air pada suhu 700 – 900 0C (Rumidatul, 2006). Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa peningkatan suhu aktivasi cenderung menurunkan rendemen arang aktif. Peningkatan suhu aktivasi akan menyebabkan reaksi dalam
retort semakin cepat dan berakibat pada peningkatan degradasi pada arang. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan Paris et al. (2005) bahwa peningkatan suhu pada proses pembakaran akan mengakibatkan sebagian arang dapat berubah menjadi abu, gas CO, H2 dan gas-gas hidrokarbon. Peningkatan waktu aktivasi juga mengakibatkan berkurangnya rendemen arang aktif. Semakin lama waktu aktivasi semakin banyak bagian arang yang terdegradasi. Di samping itu, aktivasi dengan uap H2O juga berpengaruh terhadap berkurangnya rendemen arang aktif dibanding tanpa menggunakan uap. Penggunaan uap H2O dalam proses aktivasi menyebabkan pencucian hidrokarbon yang terdapat pada permukaan arang sehingga menyebabkan berkurangnya berat arang aktif yang dihasilkan.
4.3 Struktur Tempurung Kemiri, Arang dan Arang Aktif
4.3.1 Gugus Fungsi
Analisa dengan FTIR (Fourier Transform Infrared) bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi dari bahan yang diamati dimana gugus fungsi tersebut dipakai untuk menduga sifat permukaan tempurung kemiri, arang dan arang aktif. Hasil analisa spektrum serapan IR (infra red) dapat memberikan petunjuk tentang perubahan gugus fungsi senyawa akibat karbonisasi dan aktivasi. Gugus fungsi dari bahan yang berbeda karena perbedaan suhu dan lama aktivasi diperlihatkan pada Gambar 2, sedangkan serapan terhadap radiasi IR ditunjukkan oleh bilangan gelombang yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Bilangan gelombang tempurung kemiri, arang dan arang aktif
No. Bahan Bilangan gelombang (cm-1) 1. 2. Tempurung Arang 3402 3406 2928 2924 1736 2854 1624 2527 1508 1581 1427 1427 1269 1061 1038 876 876 Arang aktif 3. 4. 5. 6. 7. A1W2S1 A1W2S2 A1W2S3 A2W1S3 A2W2S3 3429 3425 3429 3352 3402 2924 2924 2924 2924 2924 2854 2854 2854 2854 2519 2002 1423 1431 2175 2279 1632 1034 1034 1427 1427 1423 876 876 1038 1068 1068 876 876 876
Keterangan : A1 = aktivator panas S1 = suhu aktivasi 550 0C
A2 = aktivator uap H2O S2 = suhu aktivasi 650 0C
W1 = waktu aktivasi 90 menit S3 = suhu aktivasi 750 0C
W2 = waktu aktivasi 120 menit
Pola spektrum serapan IR dari bahan baku dan arang hasil karbonisasi mengalami perubahan oleh karena pengaruh suhu. Selama proses karbonisasi terjadi penguraian struktur kimia yang diperlihatkan oleh adanya perubahan spektrum, yaitu dengan menurunnya intensitas serapan di daerah bilangan gelombang 3402, 2928, 1427, dan 1038 cm-1. Serapan yang hilang ditunjukkan di daerah bilangan gelombang 1736, 1624, 1508, 1269 dan 1038 cm-1. Serapan yang bergeser terjadi di bilangan gelombang 2928 cm-1 ke 2924 cm-1 dan 1508 cm-1 ke 1581 cm-1. Pada arang yang dihasilkan terdapat serapan baru di daerah bilangan gelombang 2854 cm-1 dan 2527 cm-1. Proses karbonisasi pada pembuatan arang mengakibatkan perubahan gugus fungsi pada tempurung kemiri, yang diikuti terbentuknya senyawa baru pada hasil arang melalui mekanisme radikal. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Demibras (2005) bahwa makin tinggi suhu karbonisasi makin banyak gugus fungsi yang teroksidasi atau terurai sehingga menjadi hilang atau tingkat serapannya berkurang atau menyebabkan pergeseran bilangan gelombang serapan.
Gugus-gugus fungsi yang teridentifikasi pada bahan baku tempurung kemiri antara lain adanya vibrasi OH regangan dengan serapan kuat di daerah bilangan gelombang 3402 cm-1, vibrasi C-H regangan alifatik (dari CH3 dan CH2)
dengan serapan di bilangan gelombang 2928 cm-1, vibrasi C-H asimetri di
(berbagai subtitusi cincin benzena) pada bilangan gelombang 876, ikatan C=O (karbonil) di bilangan gelombang 1735 dan 1624 cm-1, Vibrasi cincin guasil
(C=C) dengan serapan tajam di bilangan gelombang 1508 cm-1, gugus eter
teridentifikasi dengan adanya vibrasi C-O di bilangan gelombang 1038 cm-1 dan
vibrasi C-C di bilangan gelombang 1038 cm-1. Berdasarkan hasil analisa
komponen kimia tempurung kemiri didapatkan kadar lignin sebesar 54,68 % dan holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) sebesar 49,22%. Menurut Achmadi (1990) lebih dari 2/3 unit fenilfropana dalam lignin dihubungkan melalui ikatan eter (C-O), sedangkan sisanya (1/3) melalui ikatan karbon-karbon (C-C), selulosa mempunyai gugus fungsi OH, sementara hemiselulosa mempunyai ikatan ester dan gugus asetil (CH3CO-). Selanjutnya dikemukakan bahwa ekstraktif yang memiliki gugus fungsi karboksil (-COOH) diantaranya asam karboksilat, asam resin dan asam lemak, alkohol dan sterol (triterpen) yang dijumpai dalam ekstraktif memiliki gugus hidroksil (-OH) sedangkan terpenoid dapat mengandung gugus fungsi hidroksil, karbonil, karboksil dan ester. Besarnya gugus hidroksil merupakan cerminan dari banyaknya senyawa kimia pada tempurung kemiri yang mengandung gugus OH seperti senyawa alkohol (dikoniferil alkohol dan furanmetanol), fenol (benzena, benzenadiol dan etanon) dan asam (asam asetat, asam hexana dan benzena asam asetat) dan dimana selengkapnya dapat dilihat pada hasil analisa Pyr-GCMS yang disajikan pada Lampiran 1. Gugus-gugus fungsi yang teridentifikasi pada arang hasil karbonisasi tempurung kemiri antara lain adanya pita serapan yang melebar dari vibrasi OH
di bilangan gelombang 3406 cm-1 dari senyawa yang mengandung alkohol,
vibrasi C-H regangan dari gugus metil (CH3) dan metilen (CH2) dengan serapan
di bilangan gelombang 2924, 2854 dan 2527 cm-1, Vibrasi C-H asimetri
dibilangan gelombang 1427 cm-1, vibrasi C-H regangan dari struktur aromatik
ditunjukkan di bilangan gelombang 876 cm-1 dan vibrasi C-O di bilangan
gelombang 1061 cm-1. Pola serapan IR pada arang dan arang aktif menunjukkan penurunan intensitas serapan pada bilangan gelombang 2700-3500 cm-1. Pada bilangan gelombang tersebut merupakan daerah serapan gugus OH, dimana tempurung kemiri memiliki intensitas paling tinggi kemudian menurun setelah melalui proses karbonisasi dan aktivasi. Menurunnya intensitas serapan pada bilangan gelombang 2700 - 3500 cm-1 merupakan petunjuk mulai terbentuknya
senyawa aromatik (Kimura dan Kaito, 2004). Senyawa tersebut merupakan penyusun struktur kristalit heksagonal arang dan arang aktif.
Aktivasi dengan menggunakan uap air nampaknya tidak meningkatkan gugus OH pada arang aktif. Arang aktif tempurung kemiri yang dihasilkan dari semua perlakuan dalam penelitian ini secara umum memiliki gugus fungsi (jenis ikatan) dengan pola spektrum serapan IR yang relatif sama, dan hanya berbeda dalam intensitas serapannya. Gugus fungsi dan jenis ikatan yang terdapat pada
Keterangan : ___ Tempurung kemiri ___ Arang
___ Arang aktif (Panas/120 mnt/550 0C) ___ Arang aktif (Panas/120 mnt/650 0C) ___ Arang aktif (Panas/120 mnt/750 0C)
___ Arang aktif (Uap/90 mnt/750 0C) ___ Arang aktif (Uap/120 mnt/750 0C)
Gambar 2 Spektogram FTIR pada tempurung kemiri, arang dan arang aktif.
O-H O-H O-H C-H C-H C=O C=C C=O C=O C=O C-H C-H C-H C-H C-H C-H C-H C=O C-C C=O C-O C-H C=C
arang aktif antara lain OH, C-H dan C=O. Berdasarkan jenis ikatan tersebut dan terdapatnya senyawa Carbamic acid dan senyawa Ditertbutyl dimethoxy
cyclohexa dienone dan Pyranone yang mengandung gugus karbonil dengan ikatan
C=O dan hidroksil (OH) dari hasil analisa Pyr-GCMS (Lampiran 1). Gugus karbonil (C=O) memiliki sifat kepolaran yang tinggi sedangkan C-H bersifat bipolar (Hendayana, 1994), sedangkan gugus hidroksil OH) relatif cenderung bersifat polar (Houghton dan Raman, 1998). Berdasarkan gugus fungsi yang dimiliki, arang aktif tempurung kemiri yang dihasilkan relatif bersifat polar sehingga diharapkan dapat berperan sebagai penyerap larutan atau gas yang juga bersifat polar.
4.3.2 Kristalinitas
Pengujian dengan difraktometer sinar-x (XRD) bertujuan untuk mengetahui derajat kristalinitas (X), jarak antar lapisan (d), tinggi lapisan aromatik (Lc) dan lebar lapisan aromatik (La) serta jumlah lapisan aromatiknya (N). Pada penelitian ini karakterisasi struktur kristalin dilakukan terhadap bahan tempurung kemiri, arang dan arang aktif yang hasilnya sebagaimana disajikan pada Tabel 5 dan spektogram XRD pada bahan yang dianalisa seperti pada Gambar 3.
Tabel 5 Struktur kristalin dan lapisan aromatik pada tempurung kemiri, arang dan arang aktif
No. Bahan baku X θ (002) d Θ (100) D Lc N La
(%) (o) (nm) (o) (nm) (nm) (nm) (nm) 1. Tempurung 18,86 22,30 0,3983 - - - - - 2. Arang 18,65 23,36 0,3763 43,35 0,2085 1,3263 6,36 8,1272 3. A1W2S1 16,40 23,10 0,3763 43,8 0,2085 1,6385 7,84 7,9389 4. A1W2S2 20,89 22,75 0,3701 43,65 0,2096 1,6557 7,90 7,1263 5. A1W2S3 23,60 23,35 0,3716 43,90 0,2091 1,7634 8,43 6,7171 6. A2W1S3 20,53 22,95 0,3769 44,00 0,2092 1,5911 7,58 7,5895 7. A2W2S3 24,99 23,93 0,3667 43,83 0,2097 2,0759 9,90 6,2913
Keterangan : A1 = aktivator panas S1 = suhu aktivasi 550 0C
A2 = aktivator uap H2O S2 = suhu aktivasi 650 0C
W1 = waktu aktivasi 90 menit S3 = suhu aktivasi 750 0C
Hasil analisa komponen kimia menunjukkan bahwa komponen struktural tempurung kemiri terdiri dari lignin dengan kadar sebesar 54,68 % yang lebih tinggi dari kadar holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) yang besarnya 49,22%. Pada umumnya lignin dan hemiselulosa memiliki struktur amorf, sedangkan selulosa sendiri hanya memiliki sebagian struktur yang kristalin. Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa selulosa kayu memiliki kristalinitas antara 60 – 70%. Selanjutnya dikemukakan bahwa kulit mempunyai kisi kristal yang sama seperti yang dikenal dari selulosa kayu, tetapi derajat kristalinitasnya lebih rendah. Dengan rendahnya kadar selulosa pada tempurung kemiri menyebabkan bahan ini memiliki derajat kristalinitas yang cukup rendah yaitu 18,86 %. Derajat kristalinitas tempurung kemiri sedikit lebih tinggi dibanding dengan derajat kristalinitas arangnya (18,65 %). Perubahan ini terjadi karena adanya pergeseran intensitas pada sudut difraksi dari θ 22,30 menjadi θ 23,36 dan terbentuknya sudut baru di θ 43,35. Pergeseran dan terbentuknya sudut difraksi baru tersebut menunjukkan bahwa antara struktur kristalin tempurung kemiri dan arangnnya berbeda. Pada tempurung kemiri struktur kristalin berada pada struktur selulosa, sedangkan pada arang struktur kristalin terbentuk dari senyawa karbon yang membentuk lapisan heksagonal (Pari, 2004).
Kristalinitas suatu bahan terinduksi dengan sejumlah cara, antara lain pendinginan leburan polimer, evaporasi larutan polimer atau pemanasan suatu polimer dalam kondisi hampa udara atau suatu atmosfer yang lembam (untuk mencegah oksidasi) pada suhu tertentu (Stevens, 2007). Pada proses aktivasi menggunakan aktivator panas, peningkatan suhu aktivasi dari 550 – 750 °C menyebakkan derajat kristalinitas arang aktif juga meningkat. Peningkatan derajat kristalinitas ini terjadi melalui induksi pemanasan yang semakin meningkat. Peningkatan kristalinitas tersebut terjadi karena jarak antar lapisan aromatik (d) semakin berkurang disertai penyempitan lebar lapisan aromatik (La). Perubahan ini menyebabkan tingkat keteraturan yang semula rendah (amorf) berubah menjadi lebih teratur. Hal ini didukung oleh pernyataan Stevens (2007) bahwa kecendrungan terbentuknya kekristalan makin bertambah dengan naiknya
stereoregularitas (keteraturan stereo). Keteraturan tersebut terjadi karena adanya
terjadi pada penambahan tinggi lapisan aromatik (Lc) yang diikuti dengan penyempitan lapisan aromatik (La) serta terjadinya peningkatan jumlah lapisan aromatik (Kercher dan Nagle, 2003).
Peningkatan kristalinitas arang aktif tempurung kemiri akibat bertambahnya suhu aktivasi didukung oleh hasil penelitian Schukin et al. (2002) dan Pari et al. (2006) yang menunjukkan bahwa kristalinitas arang aktif meningkat dengan semakin meningkatnya suhu aktivasi. Aktivasi menggunakan aktivator uap H2O juga menunjukkan peningkatan kristalinitas bila dibanding dengan aktivasi yang hanya menggunakan aktivator panas. Waktu aktivasi juga berpengaruh pada pembentukan struktur kristalin arang aktif yang diaktivasi
menggunakan aktivator uap H2O, dimana semakin meningkat waktu aktivasi derajat kristalinitas arang aktif juga meningkat. Peningkatan tersebut disebabkan pertambahan tinggi lapisan maupun jumlah lapisan aromatik dan sebaliknya lebar lapisan aromatik semakin berkurang.
4.3.3 Porositas
Pengamatan porositas tempurung kemiri, arang dan arang aktif pada penampang atas (transversal) secara visual dilakukan dengan menggunakan
Scanning Electron Microscope (SEM) berkekuatan 20 kV. Pengambilan gambar
pada penampang atas menggunakan perbesaran 5000 kali. Diameter pori tempurung, arang dan arang aktif disajikan pada Tabel 6 dan hasil scanning menggunakan SEM ditunjukkan pada Gambar 4.
Tabel 6 Diameter pori pada permukaan tempurung kemiri, arang dan arang aktif
No. Bahan baku Diameter Pori (µm) Presentasi Diameter Por Minimal Maksimal < 5 µm 5 - 25 µm > 25 µm 1. Tempurung kemiri Tidak
tampak tampak Tidak - - -
2. Arang Tidak
tampak tampak Tidak - - -
Arang Aktif 3. A1W2S1 0,4 3,3 100,00 - - 4. A1W2S2 1,2 6,2 79,13 20,83 - 5. A1W2S3 1,5 8,7 66,72 33,28 - 6. A2W1S3 1,4 6,7 71,67 28,33 - 7. A2W2S3 1,6 8,3 64,84 35,16 -
Keterangan : A1 = aktivator panas S1 = suhu aktivasi 550 0C
A2 = aktivator uap H2O S2 = suhu aktivasi 650 0C
W1 = waktu aktivasi 90 menit S3 = suhu aktivasi 750 0C
W1 = waktu aktivasi 120 menit
Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa pada penampang atas tempurung kemiri tidak terlihat adanya pori-pori yang terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa tempurung kemiri merupakan bahan masif yang memiliki ukuran pori yang sangat kecil. Bentuk pori pada tempurung kemiri yang dimaksudkan dalam penelitian ini
secara anatomi sama dengan bentuk pori pada kayu, sedangkan pori pada arang dan arang aktif menggambarkan rongga-rongga kecil yang terdapat di dalam suatu bahan padat yang tersusun dari karbon.
Setelah tempurung kemiri dikarbonisasi pada suhu 500 °C untuk menghasilkan arang, pori-pori pada penampang atas arang hasil karbonisasi juga belum terlihat karena keseleluruhan permukaan arang masih tertutup dengan senyawa hidrokarbon dan abu. Pemanasan sampai dengan suhu 500°C telah menyebabkan terdegradasinya komponen holoselulosa dan lignin yang Gambar 4 Mikrofotogram SEM pada permukaan tempurung kemiri, arang dan arang aktif (Pembesaran 5000x)
menghasilkan produk gas (antara lain CO2, H2, CO, CH4 dan benzena), produk cair (tar, hidrokarbon dengan berat molekul tinggi dan air) dan produk padatan berupa arang (Vigouroux, 2001). Pada karbonisasi akan dihasilkan lebih banyak karbon, sedikat hidrogen dan oksigen, namun demikian pada arang masih terdapat cukup banyak senyawa hidrokarbon sebagaimana disajikan pada Lampiran 1. Senyawa tersebut menutupi pori dan permukaan arang yang menyebabkan kemampuan daya serap.
Aktivasi menyebabkan semakin banyaknya bahan mudah terbang (volatile) terlepas dari arang sehingga menyebabkan terbukanya struktur seluler yang tersisa yang berakibat pada pembentukan pori. Aktivasi arang menjadi arang aktif pada suhu 550 °C selama 120 menit ternyata telah mampu membuka pori-pori kecil dan mengurangi penutupan hidrokarbon pada permukaan arang, walaupun demikian pori-pori yang terbentuk keseluruhannya tergolong mikro pori (< 5 µ) dengan ukuran 0,4 - 3,3 µ. Pembentukan meso pori (5 – 25 μ) sebanyak 20,83 % mulai terbentuk pada suhu 650 0C. Jumlah meso pori semakin bertambah banyaknya
(33,28 %) sejalan dengan peningkatan suhu aktivasi yaitu pada 750 0C.
Peningkatan suhu aktivasi menyebabkan penyusutan pada arang karena semakin banyak bahan volatil yang terlepas. Hal tersebut dapat dilihat pada rendemen (Tabel 3) yang semakin rendah dan kadar zat terbang pada arang aktif yang semakin berkurang (Tabel 6). Peningkatan suhu akan menyebabkan terbentuknya mikro pori baru dan kerusakan dinding mikro pori sehingga diameternya bertambah besar. Terbentuknya meso pori ini dapat berasal dari mikropori yang semakin membesar akibat meningkatnya suhu aktivasi atau bergabungnya mikro pori yang berdekatan membentuk meso pori. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Bonelli et.al. (2001) bahwa pembentukan dan pembesaran pori disebabkan oleh penguapan komponen yang terdegradasi dan lepasnya zat terbang. Dengan berkurangnya senyawa hidrokarbon maka permukaan arang aktif semakin jelas terlihat (Gambar 4). Penghilangan komponen yang heterogen dan menyatukan karbon alifatik ke dalam lapisan aromatik dan menghilangkan penyumbat pada struktur akan mengakibatkan peningkatan pembukaan mikro pori (Byrne dan Nagle, 1997). Komponen kimia yang masih tertinggal dalam arang aktif pada suhu aktivasi yang lebih tinggi jumlahnya semakin berkurang. Hal ini dapat
dilihat dari semakin berkurangnya senyawa kimia arang aktif dari hasil analisa Pyr-GCMS (Lampiran 5). Secara keseluruhan diameter pori pada permukaan arang aktif tempurung kemiri hasil analisa SEM termasuk ke dalam struktur mikro pori (< 5 µ ) yang lebih dominan, sampai meso pori (5 - 25 µ) dengan diameter 0,2 – 11,3 µ .
4.3.4 Komponen Penyusun
Pemisahan komponen dengan kromatografi didasarkan pada perbedaan kesetimbangan komponen-komponen campuran diantara fasa gerak (fasa mobil) dan fasa diam. Analisa komponen tempurung kemiri, arang dan arang aktif di dalam penelitian ini menggunakan kromatografi Pyr-GCMS dengan gas helium (He) sebagai fasa gerak. Kromatogram Pyr-GCMS dari tempurung kemiri, arang dan arang aktif ditunjukkan pada Gambar 5, sedangkan senyawa-senyawa yang teridentifikasi disajikan pada Lampiran 1.
Gambar 5 memperlihatkan sejumlah puncak muncul pada kromatogram dimana puncak-puncak tersebut merupakan komponen yang dipisahkan dari sampel yang dianalisa. Di dalam analisa tempurung kemiri, puncak-puncak seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5(a), mulai muncul pada waktu retensi 3,04 hingga 36,79 menit dan senyawa yang dapat teridentifikasi jumlahnya sebanyak 43 (Lampiran 1). Di antara komponen yang teridentifikasi senyawa golongan alkohol, keton, fenolik, aldehida, asam karboksilat, hidrokarbon, organik ikatan rangkap, ester, eter dan karbohidrat. Tempurung kemiri yang disusun oleh 43 senyawa mengalami perubahan setelah dikarbonisasi menjadi arang. Pada pembuatan arang, bahan baku tempurung kemiri mengalami degradasi termal yang menyebabkan penguraian hemiselulosa, selulosa dan lignin. Penguraian tersebut menghasilkan larutan pirolignat (asam asetat, asam format dan metanol), gas kayu (CO, CO2, CH4) dan ter (Byrne dan Nagle, 1997), dimana komponen-komponen tersebut sebagian besar terpisah dari arang. Perubahan ini ditunjukkan oleh banyaknya puncak-puncak yang hilang pada kromatogram analisa arang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5(b). Di dalam analisa arang, puncak-puncak dari senyawa penyusun muncul dengan waktu retensi 3,72 hingga 32,49 menit dan jumlah senyawa yang teridentifikasi sebanyak 21
(Lampiran 1). Di antara senyawa-senyawa yang teridentifikasi terdapat senyawa golongan alkohol, karbonil (keton), fenol, fenil, aldehida, asam karboksilat, dan ester.
Gambar 5 Kromatogram Pyr-GCMS pada (a) tempurung kemiri, (b) arang dan (c) arang aktif (A2W2S3).
Aktivasi arang dengan aktivator uap H2O dengan waktu 120 menit pada
suhu 750 0C menghasilkan arang aktif yang mengalami peruhahan senyawa
penyusunnya yang cukup besar bila dibanding dengan senyawa penyusun arangnya. Kromatogram Pyr-GCMS arang aktif (A2W2S3) ditunjukkan pada Gambar 5(c), sedangkan senyawa-senyawa penyusun arang aktif tersebut disajikan pada Lampiran 1. Aktivasi arang pada suhu 500 – 1000 0C merupakan tahap pemurnian arang atau peningkatan kadar karbon (Sudrajat dan Soleh, 1994). Pada proses aktivasi, heterogenitas senyawa penyusun arang seperti asam karboksilat, alkohol, keton, fenol, aldehida, hidrokarbon dan beberapa senyawa organik lainnya mengalami pemurnian sehingga arang aktif yang dihasilkan hanya disusun oleh beberapa 5 komponen saja. Puncak-puncak dari komponen penyusun arang aktif, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5(c), muncul dengan waktu retensi 3,72 hingga 55,81 menit dan jumlah komponen yang teridentifikasi sebanyak 5 (Lampiran 1).Komponen tersebut terdiri senyawa golongan asam karboksilat, keton dan hidrokarbon ikatan rangkap. Jika diperhatikan pada kromatogram Pyr-GCMS yang ditunjukkan pada Gambar 5(a), 5(b) dan 5(c), maka waktu rentensi senyawa-senyawa yang dianalisa pada tempurung kemiri (36,79 menit) lebih lama dari waktu retensi senyawa-senyawa pada analisa arang (32,49 menit) dan lebih singkat dari waktu retensi senyawa-senyawa pada analisa arang aktif (55,81 menit). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa arang aktif lebih tahan terhadap degradasi panas dibanding tempurung kemiri maupun arang. Hal tersebut mendukung pernyataan Stevens (2007) bahwa ketika zat-zat organik dipanaskan sampai suhu tinggi mereka memiliki kecenderungan untuk membentuk senyawa-senyawa aromatik yang lebih tahan terhadap suhu tinggi.
4.4 Sifat-sifat dan Mutu Arang dan Arang Aktif
Mutu arang dan arang aktif yang dihasilkan pada suatu proses, antara lain dapat diketahui melalui analisa sifat-sifatnya yang meliputi parameter kadar air, kadar abu, zat terbang, karbon terikat dan daya serap terhadap iodium dan benzena. Arang dan arang aktif yang dihasilkan masing-masing dihaluskan dan diayak dengan menggunakan ayakan 100 mesh. Serbuk yang lolos ayakan tersebut digunakan sebagai sampel untuk analisa sifat-sifat arang dan arang aktif.
4.4.1 Sifat-sifat dan mutu arang
Karbonisasi tempurung kemiri dalam tungku drum menghasilkan arang yang umumnya memiliki penampilan fisik yang cukup seragam dan bersih dari benda asing, akan tetapi warnanya belum merata hitam. Arang tempurung kemiri ini mengandung air dengan kadar sebesar 4,90 %, abu 2,07%, zat terbang 22,14% dan karbon terikat 75,79%. Tinggi rendahnya kadar air arang banyak dipengaruhi oleh sifat higroskopis dan porositas dari arang tersebut, juga dipengaruhi oleh waktu penayangan arang pada tempat terbuka selama proses pendinginan. Kadar abu arang yang dihasilkan ini jauh lebih rendah bila dibanding dengan kadar abu tempurung kemiri (12,85 %) yang digunakan sebagai bahan bakunya.
Kadar abu arang tempurung kemiri yang didapatkan dalam penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan JICA (1997) bahwa arang pada umumnya mengandung abu sebesar 2 – 3 %. Besarnya kadar abu sangat dipengaruhi oleh garam-garam karbonat dari kalium, kalsium, magnesium dan kadar silikat dalam tempurung.
Kadar zat terbang pada arang tergolong tinggi yaitu 22,14 %. Masih tingginya zat terbang ini mungkin disebabkan oleh belum sempurnanya proses karbonisasi yang dilakukan. Oleh karena itu masih banyak senyawa seperti CO, CO2, H2 dan CH4 yang tidak sempat menguap pada waktu proses karbonisasi, sehingga senyawa tersebut masih menempel pada arang.
Kuantitas karbon terikat pada arang dipengaruhi oleh kadar abu dan zat terbang serta senyawa hidrokarbon yang masih menempel pada permukaan arang. Kadar karbon terikat pada arang selalu berbanding terbalik dengan kadar abu dan zat terbang, dimana semakin tinggi kadar abu dan zat terbang semakin rendah kadar karbon terikat. Kadar karbon terikat pada arang tempurung kemiri sebesar 65,01%.
Secara umum ukuran daya serap terhadap iodium sering dijadikan sebagai dasar untuk menilai kualitas suatu bahan dalam hal kemampuan serapnya, terutama dalam menyerap larutan yang berwarna. Nilai daya serap arang terhadap iodium yang didapatkan pada penelitian ini sebesar 156,90 mg/g. Nilai ini lebih rendah dari nilai daya serap iodium arang tempurung kelapa hibrida yang besarnya 193,90 mg/g (Nurhayati dan Syahri, 1997), akan tetapi lebih tinggi dari daya serap iodium tempurung kelapa (Cocos nucifera) yang besarnya 120,90 –
121,40 mg/g (Rumidatul, 2006). Masih rendahnya daya serap arang terhadap iodium dipengaruhi oleh masih tingginya abu dan hidrokarbon yang menyumbat pori dan menutupi permukaan arang. Kedaan tersebut dapat dilihat pada mikrofotogram hasil analisa SEM permukaan arang (Gambar 4) dimana pori-pori belum kelihatan karena permukaan arang tertutup oleh hidrokarbon, abu dan senyawa lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Agustina (2004) bahwa rendahnya daya serap arang terhadap suatu bahan bisa bisebabkan karena masih banyaknya senyawa hidrokarbon dan komponen lain seperti ter, abu, air, nitrogen dan sulfur yang terdapat pada permukaan arang.
Penetapan daya serap arang terhadap uap benzena bertujuan untuk mengetahui kemampuan arang menyerap berbagai macam gas yang bersifat nonpolar. Nilai daya serap arang terhadap benzena dalam waktu 24 jam yaitu 7,56 %. Rendahnya daya serap benzena ini disebabkan oleh karena benzena bersifat nonpolar, sementara arang masih mengandung banyak senyawa golongan asam karboksilat, alkohol, fenol, karbonil (keton) dan aldehida sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 1. Senyawa golongan tersebut bersifat polar, dan terutama golongan korbonil yang menurut Hendayana (1994) memiliki sifat kepolaran yang tinggi.
Untuk menilai mutu arang tempurung kemiri yang dihasilkan, maka sifat-sifatnya dibandingkan dengan standar SNI 01-1682-1996 tentang persyaratan mutu arang tempurung kelapa. Hasil penilaian mutu arang tempurung kemiri yang dihasilkan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Penilaian mutu arang tempurung kemiri berdasarkan SNI 01-1682-1996
No. Jenis uji Satuan Persyaratan SNI 01-1682-1996 Arang tempurung kemiri 1. 2. 3. 4. 5. Air Abu Zat terbang Warna Benda asing % % % - - Maks. 6 Maks. 3 Maks. 15 Hitam merata Tidak boleh ada
4,90 2,07 22,14 Hitam tidak merata Tidak ada
Tabel 7 menunjukkan bahwa jenis uji kadar air, kadar abu dan benda asing pada arang tempurung kemiri memenuhi standar SNI 01-1682-1996,
sedangkan kadar zat terbang dan warna tidak memenuhi standar. Oleh karena terdapat dua jenis uji yang tidak memenuhi syarat, maka arang tempurung kemiri yang dihasilkan tidak memenuhi standar SNI 01-1682-1996, atau dengan kata lain memiliki mutu yang masih rendah sehingga perlu diaktivasi untuk menghasilkan arang aktif dengan mutu yang lebih tinggi.
4.4.2 Sifat-sifat dan mutu arang aktif
Arang aktif yang diperoleh dari proses aktivasi arang hasil karbonisasi tempurung kemiri secara umum memiliki penampakan fisik dan ukuran yang relatif sama dengan arang sebagai bahan bakunya, akan tetapi memiliki warna hitam yang lebih merata dan lebih mengkilap. Mutu arang aktif yang dihasilkan dari suatu proses, antara lain dapat diketahui melalui analisa sifat-sifatnya yang meliputi variabel kadar air, abu, zat terbang, karbon terikat, daya serap benzena dan iodium. Data hasil analisa sifat-sifat arang aktif disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Penilaian mutu arang aktif berdasarkan SNI 06-3730-1995
Perlakuan Kadar Daya serap
Air Abu terbang Zat karbon terikat Iodium Benzena
(%) (%) (%) (%) (mg/g) (%) A1W1S1 0,44 1,76 7,19 91,05 229,20 10,64 A1W1S2 0,39 1,82 6,26 91,91 283,60 11,01 A1W1S3 1,94 1,74 6,28 91,99 303,25 11,19 A1W2S1 0,39 1,57 6,86 91,57 280,50 11,01 A1W2S2 0,34 1,47 5,15 93,38 301,55 11,23 A1W2S3 1,33 1,62 6,39 91,99 313,25 11,42 A2W1S1 0,59 1,76 7,04 91,20 361,95 11,24 A2W1S2 1,77 1,48 7,73 90,79 527,05 14,10 A2W1S3 1,83 1,09 6,50 92,41 683,05 17,12 A2W2S1 0,74 1,94 5,51 92,55 479,85 11,95 A2W2S2 1,66 1,27 8,25 90,48 612,20 14,63 A2W2S3 1,56 1,25 7,29 91,45 758,70 17,88
SNI 06-3703-95 maks. 15 maks. 10 maks. 25 min. 65 min. 750 _
Keterangan : Aktivator : panas (A1) dan uap H2O (A2)
Waktu aktivasi : 90 menit (W1) dan 120 menit (W2) Suhu aktivasi : 550 0C (S1), 650 0C (S2) dan 750 0C (S3).
1. Kadar air
Kadar air arang sebelum diaktivasi untuk menghasilkan arang aktif sebesar 4,90 %. Setelah diaktivasi kadar air arang aktif yang dihasilkan berkisar antara 0,34 – 1,94 % atau rata-rata 1,08 %. Kadar air arang aktif ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar air arang aktif tempurung kemiri asal Mataram NTB (4,19 %) hasil penelitian Darmawan (2008). Kadar air arang aktif yang dikehendaki harus bernilai sekecil-kecilnya karena akan mempengaruhi daya serapnya terhadap gas maupun cairan (Pari, 1996). Kadar air yang terkandung dalam arang aktif dipengaruhi oleh jumlah uap air di udara, lama proses pendinginan, penggilingan dan pengayakan (Hendaway, 2003). Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 4) dapat diketahui bahwa baik faktor aktivator, waktu, suhu, maupun interaksi aktivator-suhu dan waktu-suhu memberi pengaruh nyata terhadap kadar air arang aktif. Selanjutnya hasil uji Duncan (Lampiran 13) menunjukkan bahwa penggunaan aktivator uap H2O menghasilkan arang aktif dengan kadar air yang lebih tinggi dibanding perlakuan Panas. Semakin lama waktu aktivasi semakin rendah kadar air arang aktif yang dihasilkan. Demikian juga dengan pengaruh suhu terhadap kadar air, semakin tinggi suhu aktivasi semakin rendah kadar air arang aktif. Pada interaksi faktor aktivator-suhu menunjukkan bahwa ada kecenderungan faktor aktivator lebih besar pengaruhnya dari pada faktor suhu, dimana pada umumnya arang aktif yang diaktivasi dengan uap menghasilkan kadar air yang lebih tinggi. Sedangkan pada interaksi faktor waktu-suhu menunjukkan pengaruh yang tidak menentu terhadap kadar air arang aktif. Kadar air terendah (0,34 %) didapatkan pada arang aktif yang diaktivasi
dengan menggunakan aktivator panas selama 120 menit pada suhu 750 0C,
sedangkan yang tertinggi (1,94 %) didapatkan pada arang aktif yang diaktivasi dengan aktivator panas selama 90 menit pada suhu 750 0C.
2. Kadar abu
Kadar abu dari arang sebelum diaktivasi rata-rata 2,07 %. Kadar abu arang aktif yang dihasilkan berkisar 1,09 – 1,94 % atau rata-rata 1,57 %. Kadar abu arang aktif yang dihasilkan pada berbagai perlakuan cenderung fluktuatif secara tidak menentu. Tingginya kadar abu yang terdapat pada arang aktif disebabkan oleh terjadinya reaksi oksidasi selama proses aktivasi berlangsung. Menurut Pari
(2004) kadar abu yang besar dapat mengurangi daya serap arang aktif baik terhadap larutan maupun gas, karena kandungan mineral yang terdapat dalam abu seperti kalium, kalsium, natrium dan magnesium akan menyebar dalam kisi-kisi arang aktif, sehingga mangakibatkan kinerja arang aktif berkurang.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 5) dapat diketahui bahwa faktor aktivator, suhu, interaksi aktivator-waktu dan interaksi aktivator-suhu berpengaruh nyata pada kadar abu arang aktif. Sedangkan faktor waktu dan interaksi faktor waktu-suhu berpengaruh tidak nyata terhadap kadar abu arang aktif. Selanjutnya hasil uji Duncan (Lampiran 14) menunjukkan bahwa aktivasi menggunakan aktivator uap H2O menghasilkan arang aktif yang kadar abunya lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kadar abu arang aktif yang diaktivasi dengan aktivator panas. Semakin tinggi waktu aktivasi semakin rendah kadar abu. Walaupun demikian aktivasi pada suhu 650 0C dan 750 0C menghasilkan arang aktif dengan kadar abu yang berbeda tidak nyata. Aktivasi menggunakan panas selama 90 menit dan menggunakan uap H2O selama 120 menit menghasilkan arang aktif dengan kadar abu yang berbeda nyata. Sedangkan aktivasi menggunakan panas selama 90 menit, panas selama 120 menit dan uap H2O selama 90 menit menghasilkan arang aktif dengan kadar abu yang berbeda tidak nyata. Aktivasi menggunakan uap H2O pada suhu 550 0C, panas pada suhu 550 0C, panas pada suhu 650 0C dan panas pada suhu 750 0C menghasilkan arang aktif dengan kadar abu yang berbeda tidak nyata, akan tetapi masing-masing berbeda nyata dengan kadar abu arang aktif yang diaktivasi dengan menggunakan uap H2O
pada suhu 650 0C dan uap H2O pada suhu 750 0C. Sedangkan aktivasi
menggunakan uap H2O pada suhu 650 0C dan uap H2O pada suhu 750 0C
menghasilkan arang aktif dengan kadar abu yang berbeda tidak nyata. Kadar abu tertinggi (1,94%) didapatkan pada arang aktif yang diaktivasi menggunakan aktivator uap H2O dengan waktu 120 menit pada suhu 550 0C, sedangkan kadar abu terendah (1,09 %) didapatkan pada arang aktif yang diaktivasi menggunakan aktivator panas dengan waktu 90 menit pada suhu 750 0C.
3. Kadar zat terbang
Kadar zat terbang arang aktif pada berbagai kondisi aktivasi berkisar antara 5,15 – 8,25 % atau rata-rata 6,70 % (Tabel 8). Hasil analisis sidik ragam
(Lampiran 6) menunjukkan bahwa faktor aktivator berpengaruh nyata terhadap zat terbang arang aktif, sedangkan suhu dan waktu aktivasi berpengaruh tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh tunggal faktor suhu dan waktu aktivasi kurang mendorong terlepasnya zat terbang dari arang aktif. Interaksi faktor aktivator-waktu-suhu juga menunjukkan pengaruh nyata pada kadar zat terbang arang aktif. Selanjutnya hasil uji Duncan (Lampiran 15) menunjukkan bahwa aktivasi menggunakan aktivator uap H2O menghasilkan arang aktif dengan kadar zat terbang yang lebih tinggi (7,05 %) dan berbeda nyata dengan kadar zat terbang arang aktif yang diaktivasi dengan menggunakan aktivator panas (6,35 %). Kadar zat terbang tertinggi (8,25%) didapatkan pada arang aktif yang diaktivasi dengan menggunakan aktivator uap H2O dengan waktu aktivasi 120 menit pada suhu 650 0C, sedangkan kadar zat terbang terendah (5,15 %) didapatkan pada arang aktif yang diaktivasi menggunakan aktivator panas dengan waktu 120 menit pada suhu 650 0C. Kadar zat terbang arang aktif tempurung kemiri yang diperoleh dalam penelitian ini (5,15 – 8,25 %) relatif sama dengan kadar zat terbang arang aktif tempurung kemiri (5,34 – 8,21 %) asal Mataram NTB (Darmawan, 2008), akan tetapi lebih rendah bila dibandingkan dengan zat terbang baik arang aktif kelapa hibrida (7,62 – 10,50 %) hasil penelitian Nurhayati dan Syahri (1997) maupun aktif tempurung kelapa Cocos nucifera (6,77 – 11,44 %) hasil penelitian Rumidatul (2006). Kadar zat terbang yang tinggi pada arang aktif tidak diinginkan, karena senyawa yang menempel pada permukaan arang aktif dapat mengurangi daya serapnya baik terhadap larutan maupun gas.
4. Kadar karbon terikat
Kadar karbon terikat arang aktif tempurung kemiri berkisar antara 90,48 – 93,38% atau rata-rata 91,73 %. Kadar karbon mempunyai hubungan yang tidak searah dengan kadar abu dan zat terbang. Pada perlakuan aktivasi menggunakan aktivator panas selama 120 menit pada suhu 650 0C menghasilkan arang aktif dengan kadar zat terbang yang paling rendah (5,15 %) dan kadar abu yang relatif cukup rendah (1,47 %) dibandingkan dengan perlakuan lainnya sehingga menghasilkan kadar karbon terikat yang paling tinggi (93,38 %). Keadaan sebaliknya terjadi pada perlakuan aktivasi menggunakan aktivator uap H2O selama 120 menit pada suhu 650 0C. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7)
menunjukkan bahwa faktor tunggal aktivator dan interaksi aktivator-waktu-suhu berpengaruh nyata pada kadar karbon terikat arang aktif. Selanjutnya dari hasil uji Duncan (Lampiran 16) menunjukkan bahwa kadar karbon arang aktif yang diaktivasi menggunakan aktivator panas (91,98%) lebih tinggi dan berbeda nyata dengan yang diaktivasi menggunakan aktivator uap H2O (91,48%). Kadar karbon terikat yang tertinggi (93,38 %) dihasilkan dari perlakuan aktivasi menggunakan aktivator panas selama 120 menit pada suhu 650 0C, sedangkan yang terendah (90,48 %) diperoleh dari perlakuan aktivasi menggunakan aktivator uap H2O dengan waktu 120 menit pada suhu 650 0C. Secara umum kadar karbon terikat yang diperoleh dari hasil penelitian ini (90,48 – 93,38 %) sama dengan kadar karbon terikat arang aktif tempurung kemiri (89,78 – 93,95 %) asal Mataram NTB (Darmawan, 2008), akan tetapi lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar karbon terikat baik pada arang aktif kelapa hibrida (85,59 – 90,14 %) hasil penelitian Nurhayati dan Syahri (1997) maupun arang aktif tempurung kelapa
Cocos nucifera (86,33 – 91,04 %) hasil penelitian Rumidatul (2006). Kadirvelu et al. (2001) telah membuktikan kemampuan arang aktif sebagai adsorben terhadap
logam Hg, Pb, Cd, Ni, Cu dalam limbah cair industri radiator, pelapisan nikel dan pelapisan tembaga. Pada hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa kemampuan arang aktif sebagai penghilang logam dipengaruhi oleh pH dan konsentrasi karbon. Kenaikan kadar karbon menaikkan persen penyerapan ion logam.
5. Daya serap benzena
Daya serap arang aktif terhadap benzena berkisar antara 10,64 – 17,88 % (Tabel 8). Benzena digunakan untuk menguji sifat ke non-polaran dari arang aktif. Hasil sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan aktivator, waktu dan suhu aktivasi masing-masing memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya serap arang aktif terhadap benzena. Di samping itu, interaksi aktivator-waktu dan aktivator-suhu juga berpengaruh nyata terhadap daya serap arang aktif terhadap benzena. Aktivator uap H2O dapat meningkatkan daya serap arang aktif terhadap benzena dan ini sebabkan oleh terjadinya pencucian uap H2O terhadap senyawa-senyawa yang bersifat non polar pada permukaan arang aktif. Daya serap terhadap benzena cenderung meningkat dengan bertambahnya waktu dan suhu aktivasi.
menghasilkan arang aktif dengan daya serap tertinggi terhadap benzena (17,88%), sedangkan daya serap yang terendah (10,64 %) didapatkan pada perlakuan aktivator panas dengan waktu 90 menit pada suhu 550 0C. Daya serap benzena yang diperoleh dari hasil penelitian ini sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan daya serap benzena arang aktif tempurung kemiri (10,83 – 24,09 %) asal Mataram NTB (Darmawan, 2008), akan tetapi jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan daya serap benzena arang aktif tempurung kelapa Cocos nucifera (4,00 – 7,49 %) hasil penelitian Rumidatul (2006).
Molekul benzena berukuran kecil dan mudah menguap. Berdasarkan sifatnya tersebut, maka benzena digunakan untuk menguji kemampuan arang aktif dalam menyerap gas (Hendra dan Darmawan, 2007). Salah satu faktor yang mempengaruhi daya serap arang aktif yaitu sifat polaritas dari permukaannya. Sifat ini sangat bervariasi untuk setiap jenis arang aktif, karena hal ini sangat bergantung pada bahan baku, cara pembuatan arang dan bahan pengaktif yang digunakan (Lee dan Radovic, 2003). Rendahnya daya serap terhadap benzena mengindikasikan bahwa arang aktif tempurung kemiri yang dihasilkan bersifat polar. Gugus fungsi pada permukaan arang aktif yang diaktivasi dengan uap H2O membentuk arang aktif yang bersifat polar. Dari hasil analisa Pyr-GCMS (Lampiran 1) arang aktif tempurung kemiri antara lain tersusun dari senyawa
Carbamic acid dan senyawa Ditertbutyl dimethoxy cyclohexa dienone dan Pyranone yang mengandung gugus karbonil dengan ikatan C=O dan gugus
hidroksil (OH) seperti hasil spektogram FTIR (Gambar 2). Gugus karbonil (C=O) memiliki sifat polar yang tinggi dan gugus C-H bersifat bipolar (Hendayana, 1994), sedangkan gugus hidroksil (OH) relatif cenderung bersifat polar (Houghton dan Raman, 1998). Berdasarkan gugus fungsi yang dimiliki, arang aktif tempurung kemiri yang dihasilkan relatif bersifat polar sehingga diharapkan dapat berperan sebagai penyerap larutan atau gas yang juga bersifat polar.
6. Daya serap iodium
Daya serap arang aktif tempurung kemiri terhadap iodium berkisar antara 229,20 -758,70 mg/g (Tabel 8) atau rata-rata 427,85 mg/g. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa aktivator, waktu dan suhu aktivasi masing-masing memberikan pengaruh sangat nyata pada daya serap arang aktif
terhadap iodium. Selain itu, interaksi aktivator-waktu dan interaksi aktivator-suhu juga berpengaruh sangat nyata pada daya serap arang aktif terhadap iodium. Selanjutnya dari hasil uji Duncan (Lampiran 18) secara umum dapat dijelaskan bahwa aktivasi menggunakan aktivator uap H2O dapat meningkatkan daya serap arang aktif terhadap iodium. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa semakin meningkat waktu dan suhu aktivasi, daya serap arang aktif terhadap iodium juga semakin meningkat.
Aktivasi dengan uap H2O dengan waktu 120 menit pada suhu 750 0C
menghasilkan arang aktif dengan daya serap terhadap iodium yang tertinggi (758,70 mg/g), sedangkan daya serap iodium yang terendah (229,20 mg/g) didapatkan pada arang aktif yang diaktivasi menggunakan aktivator panas dengan waktu 90 menit pada suhu 550 0C. Kemampuan penyerapan arang aktif terhadap beberapa bahan tidak sama, dimana penyerapan yang baik terhadap suatu bahan belum tentu baik terhadap bahan lainnya. Perbedaan ukuran partikel pori dan tingkat aktivasi dapat mempengaruhi optimalisasi penggunaan arang aktif (Bikerman, 1958 dalam Pari, 2004). Besarnya daya serap arang aktif terhadap iodium menggambarkan semakin banyaknya struktur mikropori yang terbentuk dan memberikan gambaran terhadap besarnya diameter pori yang dapat dimasuki oleh molekul yang ukurannya tidak lebih besar dari 10
Å
(Smisek dan Cerny, 2002 dalam Hendra dan Darmawan, 2007). Hal ini juga mengindikasikan bahwa luas permukaan arang aktif akan semakin besar.7. Mutu arang aktif
Untuk menilai mutu arang aktif tempurung kemiri yang dihasilkan, maka sifat-sifatnya dibandingkan dengan standar SNI 06-3730-1995 (BSN, 1995) tentang syarat mutu arang aktif teknis. Penilaian mutu untuk arang aktif dalam bentuk serbuk dengan menggunakan standar tersebut menggunakan jenis uji kadar air, abu, zat terbang, karbon terikat dan daya serap iodium. Pada Tabel 8 ditunjukkan bahwa kadar air, abu, zat terbang dan karbon terikat arang aktif tempurung kemiri yang dihasilkan pada semua perlakuan aktivasi memenuhi standar SNI 06-3730-1995, sedangkan daya serap iodium yang memenuhi standar SNI tersebut hanya didapatkan pada arang aktif yang diaktivasi menggunakan aktivator uap H2O dengan waktu 120 menit pada suhu 750 0C. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa arang aktif tempurung kemiri dari hasil penelitian ini yang mutunya memenuhi standar SNI 06-3730-1995 adalah arang aktif yang diaktivasi dengan menggunakan perlakuan aktivator uap H2O dengan waktu 120 menit pada suhu 750 0C (A2W2S3), dimana dengan perlakuan tersebut didapatkan arang aktif dengan rendemen sebesar 56,67 %.
4.5 Aplikasi Arang Aktif pada Tanaman Melina
Aplikasi arang aktif tempurung kemiri pada tanaman sangat penting dilakukan untuk mendapatkan bukti secara nyata akan fungsi atau manfaat produk tersebut. Penelitian aplikasi arang aktif sebagai komponen media tumbuh tanaman merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk diversifikasi pemanfaatan arang aktif tempurung kemiri. Di samping itu, juga untuk kebutuhan informasi tentang tingkat pertumbuhan dan biomassa tanaman yang ditumbuhkan pada media yang diberi arang aktif. Penambahan suatu bahan ke dalam tanah yang bertujuan untuk meningkatkan hara tanaman disebut pupuk, sedangkan jika penambahan bahan tersebut bertujuan hanya untuk memperbaiki sifat tanah disebut amelioran (Hanafiah, 2007). Manfaat penambahan arang aktif ke dalam tanah antara lain dapat meningkatkan total organik karbon dan mengurangi biomassa mikroba, respirasi, dan agregasi serta pengaruh pembekuan cahaya pada tanah, karena arang aktif dapat menyerap dan menyimpan panas (Weil et al. 2003). Selanjutnya Gusmailina et al. (2002) menyebutkan bahwa keuntungan pemberian arang pada tanah, antara lain memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar dan memberikan habitat untuk pertumbuhan semai tanaman.
4.5.1 Pertumbuhan dan mutu bibit tanaman melina 1. Pertumbuhan tinggi dan diameter batang
Pertambahan ukuran tanaman melina ditentukan dengan cara mengukur tinggi dan diameter batang tanaman tersebut. Data hasil pengukuran pertumbuhan tinggi dan diameter batang tanaman melina disajikan pada Lampiran 2. Rataan pertumbuhan tinggi dan diameter batang tanaman melina dalam waktu 60 hari disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Rataan pertumbuhan tinggi dan diameter batang melina
Pertumbuhan
Tinggi Peningkatan Diameter Peningkatan Perlakuan tinggi terhadap batang diameter batang
Control terhadap control
(cm) (%) (mm) (%) P0 86,6 - 7,4 - P1 87,9 1,50 8,0 8,11 P2 89,5 3,35 8,4 13,51 P3 79,2 - 8,54 8,6 16,22 P4 99,6 15,01 8,6 16,22 P5 103,0 18,94 9,4 27,03 P6 93,7 8,20 10,8 45,95
Keterangan : P0 = kontrol P4 = 5% arang aktif P1 = 5% arang P5 = 10% arang aktif P2 = 10% arang P6 = 15% arang aktif P3 = 15% arang
Berdasarkan data pada Lampiran 2 diketahui bahwa secara umum tinggi tanaman melina mengalami peningkatan seiring bertambahnya umur tanaman. Dalam waktu 60 hari bibit tanaman melina mengalami peningkatan pertumbuhan tinggi antara 79,2 – 103,0 cm atau rata-rata 91,4 cm. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa perlakuan media tumbuh (campuran media) berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Selanjutnya hasil uji Duncan (Lampiran 19) menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman berbeda tidak nyata pada media tumbuh yang diberi arang aktif 5 %, 10 % maupun 15 %. Pertumbuhan tinggi tanaman pada media yang diberi 5% dan 10% arang aktif berbeda nyata dengan pertumbuhan tinggi tanaman baik pada media kontrol maupun pada media yang diberi 5%, 10% dan 15% arang. Pertumbuhan tinggi tanaman melina umur 70 hari pada tiga perlakuan media tumbuh ditunjukkan pada Gambar 6.
Pertumbuhan tinggi melina yang tertinggi (103,0 cm) ditunjukkan oleh tanaman pada media yang diberi 10% arang aktif (P5), dan yang terendah (79,2 cm) adalah tanaman pada media yang diberi 15% arang (P3). Pada Tabel 9 ditunjukkan bahwa pemberian 5 – 10% arang pada media hanya dapat meningkatkan peningkatan pertumbuhan tinggi sebesar 1,50 – 3,35% dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman pada media kontrol (P0), selanjutnya pemberian 15% arang pada media tidak dapat lagi meningkatkan pertumbuhan tinggi. Peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman melina (3,35%) pada media yang diberi 10% arang tempurung kemiri lebih rendah bila dibandingkan dengan peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman cabai merah (11%) pada media yang diberi 5% arang bambu dan 10% arang sekam (Gusmailina dan Pari, 2002). Penambahan arang aktif dengan kadar 5 – 10% pada media dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman sebesar 15,01 – 18,94%, akan tetapi jika pemberian arang aktif pada media ditingkatkan menjadi 15%, pertumbuhan tinggi tanaman justru menurun menjadi hanya 8,20 %. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Gusmailina et al.(2001) yang menemukan bahwa penambahan arang dan arang aktif bambu pada media tumbuh dapat meningkatkan pertumbuhan Gambar 6 Pertumbuhan tinggi tanaman melina umur 70 hari : media kontrol (P0), media arang 10 % (P2) dan media arang aktif 10 % (P5).
tinggi anakan Eucalyptus urophylla lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan data pada Lampiran 2 dapat diketahui bahwa secara umum diameter batang tanaman melina mengalami peningkatan seiring bertambahnya umur tanaman. Pertumbuhan diameter batang melina umur 70 hari pada tiga perlakuan media tumbuh seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
Dalam waktu 60 hari tanaman melina mengalami peningkatan pertumbuhan diameter batang antara 7,4 – 10,8 mm atau rata-rata 8,7 mm. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan media tumbuh (campuran media) berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan diameter batang tanaman melina. Selanjutnya hasil uji Duncan (Lampiran 20) menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter batang yang tertinggi (10,8 mm) dimiliki oleh tanaman pada media tumbuh yang diberi 15% arang aktif dan berbeda nyata dengan diameter batang tanaman pada semua perlakuan (media tumbuh) lainnya. Pertumbuhan diameter batang tanaman pada media tumbuh yang diberi 5% dan 10% arang aktif serta media yang diberi 10% dan 15% arang masing-masing berbeda tidak nyata, akan tetapi berbeda nyata dengan pertumbuhan diameter tanaman pada media kontrol maupun media yang diberi 5% arang. Pertumbuhan diameter batang yang tertinggi (10,8 mm) dimiliki oleh tanaman melina pada media tumbuh yang diberi 15% arang aktif, sedangkan yang terendah (7,4 mm) adalah tanaman pada media kontrol. Pada Tabel 9 ditunjukkan bahwa pada media Gambar 7. Pertumbuhan diameter batang tanaman melina umur 70 hari : media kontrol (P0); media arang 10% (P2); media arang aktif 10% (P5).
tumbuh yang diberi 5 – 15% arang hanya dapat meningkatkan pertumbuhan diameter batang sebesar 8,11 – 16,22% dibandingkan dengan diameter tanaman pada media kontrol, sedangkan media yang diberi 5 – 15% arang aktif dapat meningkatkan pertumbuhan diameter tanaman melina sebesar 16,22 – 45,95 %. 2. Bobot biomassa
Pertambahan bobot biomassa tanaman melina diukur dengan cara memanen seluruh tanaman dengan memisahkan bagian pucuk dengan akarnya, kemudian dikeringkan dan ditimbang untuk mendapatkan bobot biomassa kering masing-masing bagian. Rataan bobot biomassa kering melina umur 70 hari disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Rataan bobot biomassa kering melina umur 70 hari
Bobot biomassa kering
Peningkatan
Perlakuan Tajuk Akar Tajuk + akar (tajuk + akar)
Terhadap control (gr) (gr) (gr) (%) P0 15,5 3,2 18,7 - P1 17,8 3,6 21,4 14,44 P2 20,3 3,7 24,0 28,34 P3 17,0 5,1 22,1 18,18 P4 24,5 4,7 29,2 56,15 P5 27,0 5,0 32,0 71,12 P6 23,8 5,9 29,7 58,82
Keterangan : P0 = kontrol P4 = 5% arang aktif P1 = 5% arang P5 = 10% arang aktif P2 = 10% arang P6 = 15% arang aktif P3 = 15% arang
Dari data pada Tabel 10 dapat dijelaskan bahwa hasil aplikasi arang aktif tempurung kemiri sebagai komponen media tumbuh menunjukkan respon positif baik terhadap pertumbuhan biomassa tajuk maupun akar tanaman melina. Sidik ragam bobot biomassa tanaman melina (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan media tumbuh (campuran media) berpengaruh sangat nyata terhadap
bobot biomassa. Selanjutnya dari hasil uji Duncan (Lampiran 21) dapat dijelaskan bahwa media tumbuh yang diberi 10% arang aktif menghasilkan tanaman dengan bobot biomassa yang tertinggi (32,0 g) dan berbeda tidak nyata dengan bobot biomassa tanaman pada media tumbuh yang diberi 5% dan 15% arang aktif, akan tetapi berbeda nyata dengan bobot biomassa tanaman baik pada media kontrol maupun media yang diberi 5 – 15% arang. Tanaman melina yang ditanam pada media tumbuh yang diberi 5 – 15% arang aktif dapat meningkatkan bobot biomassa sebesar 56,15 - 71,12%, sedangkan yang ditanam pada media yang diberi 5 – 15% arang dapat meningkatkan bobot biomassa hanya sebesar 14,44 – 28,34 %. Hasil penelitian ini menguatkan pernyataan Ciner & Tipirdamaz (2002) yang mengemukakan bahwa arang aktif memberikan pengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan akar dan bobot biomassa tanaman pule landak, serta pengembangan stek tanaman Capsicum omnium. Lebih tingginya bobot biomassa tanaman pada media tumbuh yang diberi arang atau arang aktif daripada bobot biomassa tanaman pada media kontrol, tidak hanya merupakan sumbangan dari pertumbuhan tinggi dan diameter batang tanaman, tetapi juga merupakan sumbangan dari pertumbuhan akar.
Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa tanaman melina pada media yang diberi 10% arang (P2) atau 10% arang aktif (P5) menghasilkan rambut akar yang lebih banyak dibanding tanaman pada media kontrol (P0). Pembentukan rambut Gambar 8 Pertumbuhan akar tanaman melina umur 70 hari : media kontrol (P0); media arang 10 % (P2); media arang aktif 10 % (P5).
akar yang lebih banyak tersebut diantaranya dapat disebabkan oleh pengaruh suhu tanah. Arang aktif dan arang adalah bahan yang berwarna hitam, sehingga
menyerap panas matahari. JICA (1997) melaporkan bahwa jika 1 m2 permukaan
tanah ditaburi dengan 200 g arang, suhu permukaan tanah akan meningkat sebesar 7 0C. Jumlah dan laju pembentukan rambut akar lebih tinggi pada tanah yang bersuhu 26 0C daripada yang bersuhu 15 0C (Gardner et al. 1991). Akar halus dan muda, terutama pada zona rambut akar merupakan bagian yang paling efektif dalam fungsi pengambila hara. Selanjutnya Rao (2007) menjelaskan bahwa pertumbuhan suatu tanaman tidak hanya tergantung pada kapasitas tanah untuk membebaskan haranya tetapi juga tergantung pada kapasitas sitem perakaran untuk menyerap hara-hara tersebut secara efisien.
3. Mutu bibit tanaman melina
Untuk menilai apakah suatu bibit tanaman memiliki kemampuan bertahan hidup pada kondisi lapang, maka perlu dilakukan penilaian mutu bibit tersebut. Mutu suatu bibit dapat dinilai dengan menghitung indeks mutu (Q) bibit tersebut menggunakan parameter tinggi tanaman, diameter batang, bobot tajuk dan bobot akar. Hasil perhitungan Indeks mutu bibit tanaman melina umur 70 hari disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Indeks mutu bibit melina
kering Bobot kering Bobot Tinggi Diameter Indeks mutu bibit Perlakuan Tajuk Akar batang Nilai Q Klasifikasi
(g) (g) (cm) (cm) P0 15,5 3,2 95,9 0,95 0,18 √ P1 17,8 3,6 97,3 0,99 0,21 √ P2 20,3 3,7 98,2 1,05 0,24 √ P3 17,0 5,1 87,3 1,06 0,26 √ P4 24,5 4,7 109,4 1,09 0,28 √ P5 27,0 5,0 112,1 1,14 0,31 √ P6 23,8 5,9 102,1 1,28 0,35 √
Keterangan : P0 = kontrol P4 = 5% arang aktif P1 = 5% arang P5 = 10% arang aktif P2 = 10% arang P6 = 15% arang aktif P3 = 15% arang
Pada Tabel 11 ditunjukkan bahwa indeks mutu bibit (Q) dari tanaman melina berkisar 0,18 – 0,35. Hal ini berarti bahwa melina yang ditanam baik pada media yang diberi arang aktif atau arang, maupun pada media kontrol semuanya menghasilkan bibit dengan klasifikasi bermutu baik (Q > 0,09) atau mampu betahan hidup dengan baik apabila ditanam di lapang. Bibit dengan indeks mutu (Q) lebih dari 0,09 bisa bertahan hidup dengan baik di lapang (Bickelhaupt, 1980). Walaupun demikian pemberian arang dan terutama arang aktif pada media tumbuh dapat menghasilkan bibit melina dengan indeks mutu yang lebih tinggi. Semakin tinggi kadar arang atau arang aktif yang diberikan pada media tumbuh semakin tinggi pula indeks mutu bibit.
Dengan memperhatikan data pertumbuhan, biomassa dan indeks mutu bibit, maka secara keseluruhan dapat dijelaskan bahwa pemberian arang aktif tempurung kemiri pada media tumbuh dapat menghasilkan bibit tanaman melina dengan pertumbuhan tinggi dan diameter batang, bobot biomassa dan indeks mutu bibit yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman pada media kontrol maupun media yang diberi arang. Selanjutnya pertumbuhan tinggi dan diameter batang melina pada media tumbuh yang diberi 5%, 10% dan 15% arang aktif berbeda tidak nyata, akan tetapi bobot biomassa melina pada media yang diberi 15% arang aktif lebih tinggi dan berbeda nyata dengan bobot biomassa melina pada media yang diberi 5% dan 10% arang aktif. Disamping itu, indeks mutu bibit tertinggi (Q = 0,35) dimiliki oleh melina yang ditanam pada media yang diberi 15% arang aktif, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian 15% arang aktif pada media merupakan kadar yang optimal bagi pertumbuhan melina. Pada kondisi tersebut melina mengalami peningkatan pertumbuhan tinggi 8,20%, diameter batang 45,95% dan bobot biomassa 58,82% dengan indeks mutu bibit 0,35.
4.5.2 Serapan hara tanaman melina
Nilai konsentrasi unsur esensial dalam jaringan tanaman menjadi pedoman yang berguna dan lebih dapat dipercaya dari pada analisa tanah untuk menunjukkan apakah tanaman akan tumbuh lebih cepat jika unsur tertentu diberikan lebih banyak. Hasil analisa serapan hara tanaman melina pada beberapa perlakuan media tumbuh disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Kadar serapan hara tanaman melina pada berbagai perlakuan
No. Unsur Satuan Perlakuan
P0 P2 P4 P5 P6 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. N K Ca Mg P Na Fe Mn B % % % % % mg/100g mg/kg mg/kg mg/kg 2,87 2,86 1,20 0,40 0,26 411,56 278,39 82,19 574,65 3,21 2,90 1,36 0,40 0,30 398,62 204,94 76,18 622,90 3,40 2,38 1,47 0,37 0,29 545,40 359,69 65,54 664,49 2,97 3,02 1,92 0,40 0,34 440,30 231,13 67,44 707,27 2,95 3,18 1,71 0,42 0,37 478,20 235,16 67,16 718,55
Keterangan : P0 = kontrol P4 = 5% arang aktif P2 = 10% arang P5 = 10% arang aktif P6 = 15% arang aktif
Penyerapan hara oleh tanaman dipengaruhi oleh jumlah dan ketersediaan hara dalam tanah (Hanafiah, 2007). Arang aktif merupakan bahan yang mengandung mineral yang dibutuhkan tanaman, sehingga penambahan arang aktif pada media tumbuh tanaman melina akan meningkatkan jumlah hara pada media tersebut. Mineral yang terkandung di dalam arang aktif adalah mineral alkali seperti Ca, K dan Mg sehingga dapat meningkatkan pH media. Pada Tabel 12 ditunjukkan bahwa penambahan arang aktif dengan kadar 5% pada media meningkatkan pH dari 5,80 menjadi 6,00. Semakin tinggi kadar arang aktif yang ditambahkan, pH media juga semakin tinggi. Kelarutan unsur tertentu di dalam tanah dan laju penyerapan oleh tumbuhan sangat dipengaruhi oleh pH (Salisbury & Ross, 1992). Penyerapan makrohara (N, K, Ca, Mg dan P) oleh tanaman melina secara umum meningkat dengan meningkatnya kadar arang aktif yang ditambahkan pada media. Arang aktif juga merupakan bahan yang memiliki banyak pori yang terbuka yang dihubungkan secara vertikal dan horizontal, dengan demikian memilliki sifat retensi yang baik dan tingkat permiabelitas yang tinggi, sehingga sirkulasi udara dan air dalam tanah menjadi baik. Beberapa gas seperti CO2, N2 , NH3, H2 dan gas-gas lainnya yang berasal baik dari proses dekomposisi bahan organik maupun respirasi akar apabila berkadar relatif tinggi dapat menjadi
racun bagi akar tumbuhan dan mikroba tanah (Hanafiah, 2007). Adanya sirkulasi udara yang baik akan memungkinkan pertukaran gas-gas ini dengan O2 dari atmosfer, sehingga aktivitas mikroba autotrofik yang berperan penting dalam penyediaan unsur-unsur hara menjadi terjamin dan toksisitas gas-gas tersebut ternetralisir. Arang aktif melalui bentuk partikel-partikelnya merupakan penyusun sebagian ruang pori media tumbuh yang tidak saja berfungsi sebagai gudang udara dan air, tetapi juga sebagai ruang untuk akar berpenetrasi. Makin sedikit ruang pori tanah akan makin tidak berkembang sistem perakaran (Hanafiah, 2007). Di samping itu, arang aktif sama seperti arang adalah bahan yang berwarna hitam, sehingga menyerap panas matahari. Jika 1 m2 permukaan tanah ditaburi dengan 200 g arang, temperatur permukaan tanah akan meningkat sebesar 7 0C (JICA. 1997). Jumlah dan laju pembentukan rambut akar lebih tinggi pada temperatur 26 0C dibandingkan dengan temperatur 15 0C (Gardner et al. 1991). Hal ini juga terbukti pada pertumbuhan akar tanaman melina, dimana rambut akarnya lebih tinggi pada media yang diberi arang dan arang aktif dibandingkan media kontrol (Gambar 8). Akar halus dan muda, terutama pada zona rambut akar merupakan bagian yang paling efektif dalam fungsi pengambila hara (Gardner et al. 1991).
Variasi dalam kuantitas macam-macam hara esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman itu sangat besar. Kebutuhan kuantitatif tergantung pada jenis tanaman, tingkat hasil panen, dan hara tertentu tersebut. Status hara dalam jaringan tanaman dan pertumbuhan tanaman dapat dideskripsikan sebagai (1) defisiensi, (2) peralihan, (3) cukup, dan (4) beracun (Gardner et al, 1985). Apabila penambahan unsur hara menyebabkan penurunan pertumbuhan, maka status hara berada pada zona beracun atau menghambat (Salisbury & Ross, 1992). Di zona defisiensi (kekahatan) penambahan riap (increment) hara berakibat meningkatnya produksi berat kering, di zona peralihan penambahan riap hara meningkatkan hasil panen dan konsentrasi hara, sedangkan di zona cukup, penambahan riap hara berakibat meningkatnya kandungan unsur tadi di dalam jaringan tanaman, tetapi sedikit atau tidak ada peningkatan hasil panen (Gardner et
al, 1985). Perbandingan serapan unsur hara tanaman melina dengan konsentrasi
unsur hara dalam materi tanaman pada tingkat yang dianggap cukup (Borner dan Varner, 1965 dalam Gardner et al. 1991) ditunjukkan pada Tabel 13, sedangkan
gejala kekahatan dan fungsi unsur hara pada tanaman (Salisbury & Ross, 1992) disajikan pada Lampiran 3.
Tabel 13 Perbandingan serapan unsur hara melina dengan konsentrasi unsur hara dalam materi tumbuhan pada tingkat yang dianggap cukup
No. Unsur Satuan Serapan unsur
hara melina Konsentrasi unsur hara dalam tumbuhan pada tingkat yang dianggap cukup *) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. N K Ca Mg P Fe Mn B % % % % % ppm ppm ppm 2,87 – 3,40 2,38 – 3,18 1,20 – 1,92 0,37 – 0,42 0,26 – 0,37 204,94 – 359,69 65,54 – 67,16 57,46 – 71,85 1,5 1,0 0,5 0,2 0,2 100 50 20
Keterangan : *) Sumber Borner dan Varner. 1965 dalam Gardner et al. 1985
Secara umum dari Tabel 13 dapat dijelaskan bahwa kadar serapan unsur hara tanaman melina pada semua media tumbuh memenuhi konsentrasi unsur hara dalam materi tumbuhan pada tingkat yang dianggap cukup. Penyerapan yang tinggi baik terhadap unsur makrohara (N, Ka, Ca, Mg dan P) maupun mikrohara (Fe, Mn dan Bo) menyebabkan pertumbuhan tanaman melina tergolong cepat.
4.5.3 Kandungan unsur hara media tumbuh melina
Ketika tanaman berkecambah dan mulai membentuk perakaran, semua hara yang dibutuhkan untuk aktivitasnya diperoleh dari biji, kemudian begitu akar mulai berpenetrasi ke dalam tanah, maka sebagian hara tersedia diserap dari tanah sekeliling akar (rhizofer), yang persentasenya semakin meningkat selaras dengan habisnya cadangan hara biji, yang berarti ketergantungan tanaman terhadap hara tanah/udara juga semakin meningkat dan mutlak begitu habisnya cadangan hara tersebut (Hanafiah, 2007). Data hasil analisa kandungan unsur hara media bekas tumbuh melina disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Data hasil analisa kandungan unsur hara media tumbuh melina
No. Analisis Satuan Perlakuan
P0 P2 P4 P5 P6 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. C-organik N K Ca Mg Na P Fe Mn Cu Zn pH KTK % % me/100g me/100g me/100g me/100g ppm ppm ppm ppm ppm - me/100g 3,76 0,39 2,00 12,05 8,50 1,87 770,60 0,92 19,20 2,88 1,40 5,80 27,93 4,07 0,38 2,72 16,36 11,33 2,09 856,20 0,76 6,64 1,64 0,32 6,00 31,73 3,92 0,41 2,41 13,37 9,83 1,74 813,40 0,76 11,28 1,40 0,76 6,10 29,69 4,20 0,37 2,67 15,90 11,17 2,43 941,80 0,62 7,92 0,68 0,56 6,30 31,16 4,63 0,33 3,00 16,43 12,17 2,61 984,60 0,48 8,16 0,88 0,60 6,50 34,39
Keterangan : P0 = kontrol P4 = 5% arang aktif P2 = 10% arang P5 = 10% arang aktif P6 = 15% arang aktif
Pada Tabel 14 ditunjukkan bahwa peningkatan kadar penambahan arang aktif pada media secara umum diikuti dengan peningkatan unsur K, Ca, Mg, Na, P yang tersedia, C-organik, pH dan KTK media, dan sebaliknya terjadi dengan unsur Fe, Mn, Cu dan Zn yang tersedia. Tersedianya unsur hara sangat erat hubungannya dengan pH media. Nilai pH dapat dijadikan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. Hanafiah (2007) menyebutkan bahwa nilai pH yang ideal untuk tanaman secara umum adalah 6,5 – 7,0, karena pada pH ini semua unsur makrohara tersedia secara maksimum sedangkan unsur mikrohara tidak maksimum kecuali Mo, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas unsur mikrohara tertekan. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada pH di bawah 6,5 dapat terjadi defisiensi P, Ca dan Mg serta toksisitas B, Mn, Cu, Zn dan Fe; sedangkan pada pH di atas 7,5 dapat terjadi defisiensi P, B, Fe, Mn, Cu, Zn, Ca dan Mg, juga keracunan B dan Mo. Karena mineral-mineral yang terkandung dalam arang aktif dan arang adalah mineral alkali seperti Ca, Mg dan K, sehingga penambahan
arang aktif atau arang pada media dapat meningkatkan pH media. Jika 5 % arang ditambahkan ke tanah akan meningkatkan pH tanah antara 0,4 – 0,8 (JICA, 1997). Dari hasil pengukuran pH media tumbuh tanaman melina (Tabel 13) dapat dijelaskan bahwa pH dapat meningkat dengan penambahan arang atau arang aktif pada media. Penambahan arang dengan kadar 10% pada media meningkatkan pH dari 5,80 menjadi 6,00, sedangkan penambahan arang aktif dengan kadar 10% meningkatkan pH dari 5,80 menjadi 6,30. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi kadar arang aktif yang ditambahkan semakin tinggi pula pH media. Secara keseluruhan dapat dijelaskan bahwa penambahan arang aktif pada media tumbuh dapat memperbaiki kondisi fisik dan kimia media, meningkatkan aktivitas mikroba dalam penyediaan hara dan zat perangsang tumbuh, sehingga secara akumulatif menghasilkan pertumbuhan tanaman yang optimum.
4.5.4 Kandungan total mikrobia dan fungi media tumbuh melina
Kesuburan tanah tidak hanya bergantung pada komposisi kimiawinya melainkan juga pada ciri alami mikroba yang menghuninya.Tanah dihuni oleh bermacam-macam mikrobia. Jumlah tiap mikrobia sangat bervariasi, ada yang hanya terdiri atas beberapa individu, akan tetapi ada pula yang jumlahnya mencapai jutaan per gram tanah. Mikrobia yang menghuni tanah terdiri dari kelompok bakteri, fungi, aktinomisetes, alga dan protozoa (Rao, 2007). Data hasil analisa kandungan jumlah total mikroba dan fungi media bekas tumbuh tanaman melina disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Data hasil analisa kandungan jumlah total mikroba dan fungi media tumbuh melina
No. Perlakuan Total Mikroba
( SPK/g 106 ) Total Fungi ( SPK/g 105 ) 1. 2. 3. 4. 5 P0 P2 P4 P5 P6 50,10 79,75 60,75 65,20 76,65 9,50 2,10 3,70 5,90 6,05
Keterangan : P0 = kontrol P4 = 5% arang aktif P2 = 10% arang P5 = 10% arang aktif P6 = 15% arang aktif