• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjuangan Kelas dan Kesehatan Mental: Hidup untuk Terus Berjuang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perjuangan Kelas dan Kesehatan Mental: Hidup untuk Terus Berjuang"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Edisi bahasa Indonesia (2020):

Perjuangan Kelas dan Kesehatan Mental: Hidup untuk Terus Berjuang

Untuk perluasan kandungan topik sekaligus pembaca berbahasa Indonesia, zine ini diterjemahkan dan dipublikasikan ulang secara sukarela oleh jaringan pertemanan dengan mengikuti lisensi copyleft.

Pengalih bahasa : @40559_

Penyunting : @almukhlishiddin Penggambar sampul : @urabaru

Penata letak : @bachrulbach

Pendistribusi : @upunknownpeopleup Edisi pertama (2014):

Class Struggle and Mental Health: Live to Fight Another Day

Diterbitkan dalam format digital oleh beragam kontributor yang tidak saling terikat untuk Libcom.org (UK) & Edmonton Small Press Association (ESPA) (Canada)

Isi zine ini telah dipilih dan disatukan oleh dua orang yang aktif di situs web Libcom.org (dan yang bersama dengan sebagian besar penulis kontributor lainnya, yang lebih suka tetap anonim). Lihat kredit para penulis/ilustrator lain di halaman 61-62.

Pemberitahuan Copyleft: para aktivis & seniman dipersilakan & dianjurkan untuk mencetak dan mendistribusikan seluruh isi zine ini untuk tujuan non-komersil, termasuk penjualan ulang untuk sebatas menutup biaya produksi, tetapi karena ini adalah usaha sukarela semua pihak, tolong tetap cantumkan kredit seniman di bagian belakang zine ini. Semua penulis & seniman memegang hak cipta esai & karya seni mereka sendiri. Pengusaha komersil dilarang keras mencetak ulang zine ini untuk mendapatkan laba tanpa lisensi atau persetujuan tertulis untuk membayar royalti pada para penulis & seniman. Untuk informasi lebih lanjut tentang zine ini silakan hubungi:

Edmonton Small Press Association (ESPA) c/o ESPA ArtHaus 11336 101 St., Edmonton, Alberta T5G 2A7 CANADA 780-434-9236 • contact@edmontonsmallpress.org Temukan Libcom & ESPA di facebook:

www.facebook.com/libcom.org

www.facebook.com/groups/EdmontonSmallPress

Perjuangan Kelas dan Kesehatan Mental:

Hidup untuk Terus Berjuang

Daftar Isi

Intro

Terminologi

Bagian 1: Saran Umum

Bagian 2: Beragam Strategi Menjaga Kesehatan Mental Bagian 3: Catatan-catatan Pribadi

● Kuncinya bagiku adalah ngebolehin orang nolongin aku… ● Menolak perasaan kalo aku cuma layak dapet kesuraman… ● Berbaik-hatilah pada Dirimu Sendiri

● Hatiku yang sensitifan…

● Aku gak bisa nunggu sampe kapitalisme dihapus dulu, baru aku bisa jadi bahagia, dan aku juga ragu kamu bisa nunggu

● Inget aja kalo nanti semangatnya bakal menyala lagi… ● Persoalan Pribadi itu Persoalan Politis

● Revolusi akan menunggumu

● Kita harus bikin pesan-pesan kita sendiri soal harga diri & kebanggaan pada kemanusiaan kita. “Apa yang udah the spectacle renggut dari kenyataan, sekarang harus direbut lagi dari the spectacle.”

Bagian 4: Tautan-tautan

Bagian 5: Saran dari Profesional Kesehatan Mental Radikal ● Terapi untuk para anarkis, pejuang kelas & kita semua

● Berjuang & Berkembang: Kesehatan Mental pada Kalangan Kiri Radikal

● Berurusan dengan pelayanan kesehatan mental: saran dari seorang pekerja kesehatan mental anarkis

Bagian 6: Esai-esai tentang Kebiasaan di Lingkaran Pergerakan dan

Kesehatan Mental

● Bersikaplah Baik pada Kawan-kawanmu: Mengapa Bersikap Brengsek itu Kontra-revolusioner

● Sebuah Usulan untuk Akomodasi Kolektif

Bagian 7: Tip-tip & Topik-topik Diskusi untuk Berbagai Kelompok & Organisasi Kredit: Tentang Para Kontributor Kami 4 6 7 10 12 12 15 18 22 24 27 28 31 37 40 41 41 45 49 51 51 54 59 61

(3)

Perjuangan Kelas dan Kesehatan Mental:

Hidup untuk Terus Berjuang

Karya tulis ini berasal dari serangkaian diskusi yang muncul pada forum libcom. org. Telah berukali-kali dikemukakan bahwa depresi, penyakit mental, dan tekanan emosi sangat lazim terjadi di kalangan aktivis politik libertarian. Terlebih lagi, menderita sakit mental sebagai seseorang yang aktif dalam kegiatan politik seringkali menimbulkan komplikasinya sendiri. Adakalanya komunitas anarkis/ aktivis umum mendukung dan membantu. Tapi, di waktu lain, kita hanya bisa merasa terasing di antara sesama anarkis seperti kita merasa terasing dari masyarakat kapitalis yang ada.

Dengan mengingat hal itu, tujuan dari pamflet ini adalah untuk menawarkan beberapa saran tentang apa yang umumnya berguna dalam menjaga kesehatan mental secara keseluruhan. Kami memiliki berbagai bagian yang melihat masalah-masalah ini dari beragam sudut pandang, kira-kira beginilah bagian-bagian itu:

1) Saran umum

2) Beragam Strategi Menjaga Kesehatan Mental 3) Catatan-catatan pribadi

4) Tautan-tautan

5) Saran dari para pekerja kesehatan mental anarkis/radikal

6) Esai-esai tentang kebiasaan di lingkaran pergerakan (organisational culture) dan kesehatan mental

7) Tip-tip & topik-topik diskusi untuk berbagai kelompok & organisasi Namun begitu, kami tidak ingin sok-sokan mengatakan bahwa pamflet ini adalah sebuah pengganti bagi saran medis professional. Meskipun kami tetap kritis terhadap aspek-aspek tertentu dalam perawatan kesehatan mental, jika kamu sedang menderita depresi berat atau sedang berpikir untuk melukai diri sendiri, segeralah mencari bantuan seseorang/medis profesional.

Hidup mengidap depresi itu tidaklah mudah. Seringkali baik dalam lingkup masyarakat luas maupun lingkungan dekat, masalah kesehatan mental diabaikan— atau lebih buruk lagi, dianggap tidak ada dan penderitanya dicap lemah atau lebay.

Di samping dari rasa terasing yang sering menyertai penyakit mental yang dirasakan sendiri oleh penderitanya, lembaga-lembaga masyarakat kapitalis memberikan sedikit sekali kuasa kepada penderita dalam proses penanganannya. Perawatan sakit mental dilakukan hanya setengah-setengah dan dijadikan bisnis belaka, lengkap dengan diskriminasi penanganan berdasarkan hierarki, pemaksaan, tekanan biaya, kepentingan untuk mendapatkan laba, dan proses administratif yang berbelit-belit. Fasilitas kesehatan mental yang ada di sekolah keterlaluan tidak memadai, dan sementara tidak ada masalah cuti kerja kalau badanmu

sakit, sangat sedikit pengusaha yang memiliki ketentuan untuk cuti karena alasan kesehatan mental jangka pendek maupun jangka panjang. Berbagai rumah sakit dan lembaga kesehatan mental seringkali menjadi perwujudan terburuk lembaga yang memiliki kuasa*.

Maka, sangat penting bagi komunitas perjuangan kelas menanggapi masalah-masalah kesehatan mental dengan serius. Kesehatan mental harus didiskusikan dan harus ada jaringan yang dapat didatangi para penderita ketika mereka membutuhkan bantuan. Kami berharap pamflet ini bisa menyediakan sebuah awal agar hal semacam itu bisa terwujud. Akan tetapi, kami ingin tekankan lagi, bahwa ini bukan pengganti untuk bantuan dan saran dari para profesional medis yang terlatih. •

*

Kami harus tambahkan, ini bukanlah serangan pada para pekerja di industri kesehatan. Banyak dari mereka yang sangat berdedikasi melakukan beragam aspek pekerjaan ini yang berguna untuk masyarakat—memang, seringkali justru inilah yang pertama-tama membuat mereka tertarik untuk terjun ke bidang ini. Namun, ini masih tidak mengatasi kendala struktural dalam industri ini, atau fakta bahwa, sebagai pekerja, mereka masih bekerja dalam kerangka hubungan sosial yang bersifat kapitalis.

(4)

Terminologi

Sedikit catatan tentang terminologi: para editor pamflet ini cenderung untuk tidak menggunakan kata “aktivis” atau “aktivisme” untuk menyebut aktivitas perjuangan kelas kita. Ini disebabkan oleh berbagai alasan semantik dan politis. Tetapi, kami memutuskan untuk menggunakan istilah-istilah itu dalam pamflet ini karena (1) kami tahu banyak pejuang kelas yang sungguh-sungguh memang menggunakan istilah-istilah seperti itu dan (2) berdasarkan pertimbangan gaya bahasa, penggunaan istilah itu lebih masuk akal daripada menggunakan berulang-ulang istilah “militan”, “kamerad”, “revolusioner”, dll. (sekelompok kata yang memang sudah memiliki konotasi rumit tersendiri).

Untuk diskusi lebih mendalam tentang terminologi semacam itu (yang mana diskusi itu sendiri mungkin menimbulkan masalah kesehatan mental tersendiri bagi mereka yang secara aktif terlibat dalam perjuangan kelas), baca “Give Up Activism” (tersedia online di libcom.org/library/give-up-activism).

Demikian pula, kami menggunakan kata libertarian berdasarkan arti historisnya: istilah yang merujuk pada salah satu sayap gerakan sosialis yang anti-negara. Jelas, adalah salah kaprah yang keterlaluan ketika golongan kanan mencoba mengklaim bahwa istilah itu adalah seperti milik mereka. Tak perlu dijelaskan lebih jauh bahwa kami bertentangan dengan ‘libertarianisme’ Partai Libertarian, gerakan Tea Party, dan ideologi-ideologi pasar bebas lainnya.

Tentang tata bahasa, pengejaan kata dibiarkan dalam bentuk aslinya sebagaimana yang dikirimkan para kontributor. Ini berarti kadang-kadang akan ada ‘ou’ dalam kata labour (kerja) dan kadang hanya ‘o’ (dalam labor)*. Ini akan membantu memberi kesan yang lebih otentik pada catatan-catatan tersebut dan mencerminkan bahwa proyek ini berlingkup internasional. •

*

Tidak ada perbedaan makna antara “labor” dan “labour”. Labor lebih digunakan dalam bahasa Inggris-Amerika, dan labour lebih digunakan di seluruh dunia berbahasa In-ggris-British (https://www.grammar.com/labour_vs._labor#:~:text=There%20is%20no%20 difference%20in,to%20the%20Australian%20Labor%20Party)—penerjemah.

Bagian 1: Saran Umum

Saat menderita depresi, hal pertama yang harus diingat adalah bahwa kamu tidaklah sendirian. Depresi adalah sesuatu yang dialami oleh banyak, banyak orang yang terlibat dalam politik kelas. Memang secara umum hidup itu membuat tertekan. Terlibat dalam politik itu memusingkan (baik ketika kamu ikut dalam suatu kelompok aktif maupun menjadi seorang militan yang berjuang mandiri). Jadi tidaklah mengherankan bahwa banyak dari kita menderita depresi.

Kalau kamu merasa murung, saran utama yang kami tawarkan adalah berbicaralah dengan seseorang. Meskipun kami berharap membaca ini membantu, jauh lebih penting menemukan seseorang untuk diajak bicara. Dalam pengalaman kolektif kami, berbicara dengan orang lain langsung memberikan pilihan terbaik. Tapi, kalau kamu tak bisa berbicara pada seseorang secara tatap muka, bicaralah dengan seseorang lewat telepon. Forum-forum online bisa memberi beragam bantuan, cuman kalau kamu berpikir untuk melukai dirimu sendiri dan tak ada seorang pun di sekitarmu yang kamu cukup merasa nyaman bercerita padanya, hubungi nomor layanan kesehatan mental.

Poin kedua yang juga berhubungan dengan ini adalah politik kelas itu tentang solidaritas dan saling bantu. Tak ada yang salah dengan menghubungi seseorang ketika kamu membutuhkannya. Apakah kita menderita depresi atau tidak, kita semua perlu mendiskusikan perasaan dan emosi kita. Itu tidak hanya membantu kita sebagai individu, tetapi juga memperkuat kita sebagai sebuah gerakan manakala kita mengembangkan budaya diskusi dan saling mendukung yang sehat. Jadi kalau kamu perlu bicara dengan seseorang, itu oke. Sebagian alasan kita terlibat dalam politik adalah karena kita ingin menjadikan dunia tempat yang lebih baik. Itu berarti sebagian besar aktivis akan seneng banget kalau bisa berbicara dengan seorang kawan yang membutuhkan dukungan emosional, jadi jangan takut untuk meminta.

Kadang-kadang terlibat dalam politik kelas menimbulkan suatu rasa solidaritas dan rasa memiliki tujuan. Untuk banyak orang, merasa seperti mereka membantu komunitas-komunitasnya atau membuat dunia jadi tempat yang lebih baik memberikan kepuasan pribadi yang luar biasa. Tapi, kalau politik membawa lebih banyak stres daripada kesenangan, mundurlah dulu. Kalau kamu perlu menjaga jarak beberapa bulan dari suatu proyek politik atau kelompok yang kamu ikuti, tidak masalah.

Demikian pula, jangan terlalu memberatkan kerja dirimu. Itu bukan praktik anarkis yang baik ketika satu orang memikul terlalu banyak tanggung jawab dalam sebuah kelompok dan itu tentu saja bukan praktik yang baik dalam hal kesehatan mental. Bersikaplah realistis tentang berapa banyak waktu yang bisa kamu dedikasikan pada suatu proyek dan bersikaplah terbuka dengan orang lain ketika kamu membutuhkan bantuan. Kalau kamu tidak mendapatkan

(5)

bantuan yang dibutuhkan, bicarakan dengan orang lain yang terlibat, beri tahu mereka, dan beri mereka kesempatan untuk memikul tanggung jawab. Tetapi, pada akhirnya, jangan merasa kamu harus menanggung beban untuk membuat semuanya berjalan lancar.

Terlepas dari komitmen revolusioner kita, penting untuk memiliki minat lainnya di luar itu. Ada manfaatnya kamu memiliki bagian-bagian hidup yang tidak politis secara gamblang dan berhubungan dengan orang-orang yang mungkin dianggap bukan anak-anak politis. Hobi-hobi dan olahraga, misalnya, adalah cara lain untuk menemukan orang-orang yang memiliki minat yang sama dan yang dapat diandalkan untuk mendengar kalau kamu merasa muram. Kegiatan itu juga merupakan cara yang baik untuk menghilangkan stres dan rehat dari merenung-renungkan penyakit kapitalisme global, suatu tindakan yang seringkali sebenarnya dibutuhkan. Kalau kamu merasa kewalahan dengan urusan-urusan politis, ada baiknya mencari klub-klub, perkumpulan-perkumpulan, kelas-kelas, dan kelompok-kelompok pertemuan macam apa yang tersedia di daerahmu. Hal-hal seperti musik dan seni juga sering bisa menjadi saluran-saluran untuk melepaskan emosimu dan membuatmu tetap positif. Seperti yang ditulis oleh salah satu kontributor kami:

“Yang buatku berguna banget adalah ngelakuin sesuatu yang kreatif dalem idupku. Kamu lagi depresi ato engga, kalo ngomongin soal pencapaian yang keliatan, idup sehari-hari kadang bisa bikin lumayan murung. Aku ngerasa bener-bener ngebantu kalau aku punya sesuatu yang udah aku kerjain, trus aku bisa bilang, ‘Hei, gue ngelakuin itu tuh!’”

“enggak musti kegiatan yang ribet. Manggang kue itu aja bisa, sesuatu yang bisa kamu banggain sendiri. Itu bisa jadi ngalihin perhatian dari segala kebisingan dunia, sesuatu yang bisa buat fokus. Aku biasa maen gitar, anteng sendiri pas ngulik lagu sampe aku akhirnya bisa. Gak masalah apa pun itu, cuman gabungan dari ngerasa hanyut dalem suatu proses dan bisa ngerasain kalo kamu udah nyampe sesuatu ato melajarin hal baru itu bener-bener bikin ngerasa positif dan makin nguatin.”

Dalam arti yang lebih luas, penting untuk menyadari naik turunnya mentalmu. Depresi seringkali terjadi seperti siklus dan, sebisa mungkin, penting untuk mencari cara untuk mengelola siklus tersebut. Menyadari hal dalam hidupmu (dan dunia di sekitarmu) yang bisa memicu depresimu adalah bagian penting dalam menemukan strategi untuk menghadapinya. Kalau kamu mulai merasa tertekan, lakukan strategi apapun yang menurutmu manjur. Bicaralah dengan teman yang terpercaya. Jika memungkinkan, ambil cuti beberapa hari kerja atau sekolah. Memohon izin dari janji pertemuan-pertemuan. Kalau mendebat orang sayap kanan di internet membuatmu tidak bisa tidur, matikan komputermu. Ambil tidur lebih lama kalau perlu. Tetapi kalau kamu merasa tiduran di tempat tidur seharian memperburuk suasana hatimu, berusahalah lebih keras untuk keluar

dan menikmati udara segar. Luangkan sebagian waktu untuk dirimu sendiri dan fokuslah untuk tetap sehat dan positif.

Akhirnya, penting memahami depresi sebagai sebuah penyakit. Masyarakat sering mengabaikan fakta bahwa sakit mental adalah sebuah penyakit. (Tidak masalah cuti karena flu dan butuh satu hari untuk penyembuhan. Tapi berapa banyak para majikan yang memberi pengertian kalau seorang pekerja cuti karena mereka merasa tertekan dan perlu satu hari untuk pulih?). Salah satu aspek terburuk dari depresi adalah penderita merasa bersalah karena mengalami depresi, yang justru menyebabkan makin depresi. Menderita depresi adalah suatu sakit yang wajar dan penyakit itu diperparah oleh dunia tempat kita hidup. Kita tidak perlu merasa bersalah kalau merasa depresi. Dan, lagi-lagi, kita perlu membicarakannya dengan orang lain untuk mengelola betapa depresi itu memengaruhi kita tidak hanya pada masa-masa tergelap, tetapi juga pada seluruh masa kehidupan kita secara umum.•

(6)

Bagian 2: Beragam Strategi Menjaga

Kesehatan Mental

Terlibat dalam komunitas: banyak orang menyadari bahwa membantu orang lain menolongnya mengatasi depresinya. Sebuah contoh yang sering dibahas adalah berbagi makanan kepada para tunawisma. Walaupun ini adalah saran yang bagus, cobalah untuk terlibat dalam proyek yang sudah ada dan jangan terlibat melampaui kapasitas emosionalmu. Juga, cobalah untuk tidak membuatnya politis secara eksplisit. Tujuannya adalah untuk membantu orang lain, bukan mengubahnya menjadi sebuah proyek politik.

Sementara membagikan makanan untuk gereja evangelis terdekat mungkin bukan rencana yang bagus, ada banyak kelompok komunitas liberal yang bisa kamu ikuti. Ada banyak pilihan lain juga: kegiatan ekstrakurikuler di luar sekolah, perpustakaan, kegiatan bantuan dan advokasi, pengelolaan sampah, bersukarela di rumah yatim/duafa atau rumah sakit, kegiatan bersama mantan narapidana, dll. Seperti biasa, kalau kamu merasa pekerjaan komunitas menyebabkan lebih banyak stres daripada meringankan beban, kurangilah keterlibatanmu.

Olahraga: penelitian lucu-lucuan maupun klinis sering mengklaim bahwa olahraga sama efektifnya dengan, bahkan tidak jarang lebih efektif dari, anti-depresan. Masalahnya, bagaimanapun, adalah melakukan langkah pertama untuk memulainya. Kadang-kadang cukup manjur kalau kamu menemukan teman untuk mendaftar ke klub bersama. Atau, buatlah jadwalmu sendiri, pilih waktu tertentu untuk pergi berjalan-jalan, bersepeda, angkat beban, atau bermain basket.

Meskipun kami pikir selalu penting untuk mempunyai kegiatan di luar politik, ada banyak kemungkinan untuk menyatukan latihan/olahraga ke dalam kehidupan politikmu. Banyak organisasi menawarkan kursus bela diri, misalnya. Kalau itu bukan keahlian khususmu, kamu bisa mulai sesi olah raga rutin dalam kelompok politik atau serikat pekerjamu. Dan itu tidak harus formal banget juga—permainan basket atau futsal/sepakbola mingguan seadanya di taman juga tidak masalah. Akhirnya, kamu bisa mempertimbangkan untuk menyelenggarakan acara lari untuk menggalang dana. Mungkin terasa terlalu liberal, tapi setidaknya ada beberapa wacana yang cukup layak dilibati yang mungkin membantu untuk memotivasimu keluar dan berolahraga.

Terakhir, ingatlah bahwa tak perlu melakukan olahraga terlalu berat. Seperti yang dikatakan oleh salah satu kontributor kami, “Jalan kaki manjur banget, ini tuh olahraga, tapi juga bikin kamu balik lagi ke dunia fisik yang nyata... ditambah masih mungkin buat ngobrol-ngobrol sambil terus jalan!”

Obat-obatan/alkohol: walaupun secara inheren tidak ada yang salah dengan obat-obatan dan alkohol dalam arti luas, memahami bagaimana mereka memengaruhimu dan kesehatan mentalmu adalah bagian yang sangat penting dalam mengatur keadaan emosimu. Kalau alkohol cenderung membuatmu depresi atau kesal (baik saat meminum atau sesudahnya), hindari. Begitu pula, obat-obatan psiko-aktif seperti ekstasi atau acid bisa membuat efek negatif pada kondisi mentalmu. Dan obat penenang (tentu saja candu) mungkin bukan ide yang baik.

Tapi, tentu saja, ini punya efek buruk dan efek bagus. Semua orang bereaksi berbeda-beda terhadap obat-obatan. Setiap orang menemukan cara mereka yang berbeda untuk mengatasi sakit mental. Kuncinya adalah ketahui dan sadari efek obat-obatan pada tubuh dan kondisi mentalmu. Banyak orang melaporkan bahwa, ketika digunakan sesuai takaran, alkohol atau ganja bisa membantunya bersantai diujung rutinitas. Namun begitu, kalau kamu menemukan bahwa kamu tidak bisa melewati hari tanpa itu atau penggunaan obat rekreasionalmu memperburuk depresimu, mungkin sebaiknya dihindari.

Akhirnya, kami sekali lagi ingin menekankan bahwa pamflet ini bukan pengganti untuk pertolongan medis profesional. Meski para pekerja kesehatan mental telah berkontribusi dalam proses penulisan pamflet ini, kami tidak mengklaim memiliki kepakaran untuk berbicara secara pasti tentang masalah-masalah di atas. Seperti biasa, kalau depresimu parah atau kamu berpikir untuk melukai dirimu sendiri, berbicaralah dengan seseorang secepat mungkin. •

(7)

Bagian 3: Catatan-catatan Pribadi

“Kuncinya bagiku adalah ngebolehin orang

nolongin aku…”

Dulu aku terlalu banyak menganalisis sampe ke poin detil kenapa aku depresi. Aku udah ngalamin banyak masa depresi selama yang aku bisa ingat dan terkadang masa-masa itu bener-bener bikin ngga bisa ngapa-ngapain. Aku akhirnya sampe pada kesimpulan bahwa ngga ada jawaban yang paling bener; kupikir waktu itu aku lagi nyari sebab pasti supaya aku bisa berhentiin itu. Aku menduga ada banyak kombinasi faktor penyebabnya, mungkin senyawa otak termasuk ke dalamnya, trauma emosional—aku memiliki masa kecil yang penuh kekerasan, yang kutau punya pengaruh besar ke proses pemikiranku pas tumbuh dewasa, yang kemudian kebawa sampe dewasa.

Aku gak pernah yakin apakah memegang politik radikal itu membantu ato justru penghalang; kadang pas aku ngalemin masa yang buruk, keadaan umum dunia yang menyedihkan malah nambah makin buruk. Aku nyebutnya masa-masa “semuanya terlalu gede untuk kutanggung”, masa-masa ketika aku gak bisa ngadepin apa yang lagi terjadi di dunia. Di sisi lain, di waktu lain aku ngerasa itu sebagai suatu daya positif, tau kalo aku bukan satu-satunya orang yang mikir kita harus berlaku secara beda, agak optimistik rasanya. Aku yakin kalo tekanan sosial juga ikut berperan, hidup ini sangat menegangkan, gak aneh kalo itu bakal berdampak buruk ke kesehatan mentalku. Aku juga mikir kalo depresi kadang-kadang ialah reaksi yang sepenuhnya normal sama kejadian traumatis; aku malah gak ngerasa wajar kalo orang harus ngejalanin aja seperti gak ada apa-apa padahal hal-hal mengerikan nimpa mereka. Ngomong-ngomong, aku berhenti berusaha nyari solusi cepet dan mulai ngeliat itu sebagai kondisi yang setidaknya mampu dikendaliin. Salah satu aspek yang pengen aku singgung adalah sifat depresi yang sangat mengisolasi. Sebagian besar aku udah bisa ngatasin ini, tapi butuh waktu lama. Pas aku masih agak lebih mudaan, aku ngerasa kesepian banget di kepalaku sediri. Aku ngerasa gak mungkin banget buat ngomongin hal ini ama siapapun. Sekarang aku ngerasa agak mendingan. Orang-orang mulai mau nerima buat ngomong soal kesehatan mental akhir-akhir ini, cuman waktu itu kok kayak ada stigma besar soal itu yang jadinya aku gak berani ngungkapin gimana perasaanku.

Karena cara aku dididik, aku jadi punya permasalahan kepercayaan yang sangat besar dan aku gak pengen ngebiarin diriku terlalu terbuka sehingga orang jadi terlalu deket sama aku secara emosional. Aku ngerasa agak sulit sekarang buat mahamin semua yang terjadi di kepalaku waktu itu, tapi aku mikir karena lagi berusaha buat ngelindungin diriku supaya gak terluka, aku gak ngasih diriku kesempatan buat ngebolehin siapapun nolongin aku. Bukannya aku gak punya banyak temen, cuman pas mereka terlalu deket aku malah langsung lari ngejauh.

Nginget lagi ke belakang aku bisa ngeliat kalo ada banyak orang yang nawarin tangan mereka buat nolongin aku, tapi aku gak mau ngambil resiko dengan ngebiarin mereka ngelakuin itu. Aku juga punya rasa was-was yang bikin gak bisa ngapa-ngapain, jadi kalo kubiarin orang-orang ngertiin semuanya yang bikin aku terganggu, mereka gak bakal suka dan bakal ngelabelin aku ato ngehindarin aku. Aku gak tau apa yang dulu kupikir aku seharusnya bersikap gimana namun aku punya prasangka kalo orang bakal nganggap aku lemah.

Satu-satunya cara aku bisa keluar dari ini ternyata adalah ngebiarin seseorang ngedeket. Aku sebenarnya nyari bantuan medis pada satu titik, tapi karena aku nyoba ngelakuinnya sendirian tanpa dukungan orang lain, ato bahkan ngebiarin ada yang tahu aku lagi dalam pengobatan, itu apes gagal. Pada kasusku, yang diperlukan untuk ngatasin ini adalah seorang teman yang sangat keras kepala untuk nahan aku pas mau kabur gara-gara waktu itu kupikir itulah pilihan terbaik yang kupunya, seseorang yang tau depresiku, yang pernah ngalamin juga, dan dengan penuh pengertian merobohkan dinding yang telah kubangun, sebuah dinding yang kupikir sedang melindungiku. Trus aku ngerasain kalo sekali udah kubiarin seseorang ngebantuku, aku lebih gampang buat ngebolehin orang lain ngebantuku lagi.

Jadi kuncinya bagiku adalah ngebolehin orang nolongin aku. Itu artinya ngakuin kalo aku bisa terluka juga, yang mana ngakuin itu nakutin banget, tapi ternyata ada orang yang peduli padaku dan ingin ngebantu. Sekarang kalo ngeliat lagi aku pas masih jadi wanita muda itu, aku ngerasa sedih. Kupasang muka manis di depan orang-orang, tapi aku kesepian banget dan rasa kesepian dan rasa was-wasku justru saling bikin tambah parah. Dan aku ngerasa gak nyangka banget kalo aku bakal ngelakuin ini buat diriku sendiri karena itu gak kayak aku sekarang banget.

Begitulah tiap orang itu berbeda dan pengalamanku gak harus mirip persis dengan pengalaman orang lain, tapi kupikir vital banget buat orang-orang supaya gak nyoba ngatasin depresinya sendirian. Kadang sulit banget buat minta bantuan, dan walopun gak semua orang bisa ngasih bantuan, tindakan itu patut dicoba. Beberapa renungan soal pencarian bantuan medis profesional: aku ngerasa dalam pengalamanku dan berdasarkan pembicaraan sama orang lain kalo pencarian penanganan kesehatan mental itu cocok-cocokan. Itu bisa tergantung ama punya seseorang dokter yang simpatik (dulu aku kenal seorang dokter umum yang intinya ngomong ke aku buat berhenti ngerengek dan cari kerjalah) dan apa yang ada di daerahmu. Juga, ini bukan masalah satu cara yang cocok untuk semua masalah, beberapa cara penanganan ato program-program pengobatan lebih manjur untuk sebagian orang daripada orang lainnya. Pas aku 19 taun aku ikut terapi kelompok yang ngasih pengalaman gak enak. Gak mungkin aku duduk di satu ruangan yang penuh dengan orang asing, yang sebagian besar kayaknya dalam keadaan yang lebih buruk dari aku dan ngungkapin informasi yang pribadi banget. Dulu aku suka

(8)

tiba-tiba cemas cuma gara-gara mikirkin itu.

Sepengalamanku, kalo satu cara emang gak berhasil, coba yang lain. Aku tahu saran ini bermasalah karena apa yang bisa dilakuin sangat bergantung ama layanan kesehatan yang tersedia di daerahmu dan yang paling engga kamu butuhin pas kamu depresi adalah repot nyari-nyari dulu dan harus sikut-sikutan buat dapetin penanganan yang kamu butuhin (pada titik inilah punya orang yang mendukung itu bermanfaat). Bisa bener-bener ngeselin pas nyari pertolongan medis tapi ternyata itu gak manjur. Coba cari apa ada grup advokasi di wilayahmu yang mau ngebantumu ngurusin masalah birokrasinya dan jujur nunjukin ke kamu perawatan apa aja yang tersedia. •

“Menolak perasaan kalo aku cuma layak

dapet kesuraman…”

Depresi itu gak selalu ngerasain sedih. Seringnya malah gak ngerasain apa-apa. Kalo aku ngediemin terus emosiku maka itu malah jadi beban yang neken seluruh idupku tapi itu adalah beban yang aku bisa nyaris pura-pura anggep nggak ada pas aku ogah-ogahan ngeliatin layar, gak sabar banget buat sampe ke akhir halaman web yang sedang aku ‘baca.’ Aku bolak-balik buka situs-situs web dan main game gak jelas sambil muter video. Pas kamu gak merhatiin apapun kamu biasa aja nontonin video yang sama lima ato enam kali untuk beberapa hari. Aku gak nelpon temenku; aku tau nggak ada yang aku mau ucapin buat siapapun. Aku gak pengen mereka tau gimana blangsaknya idupku. Aku selalu susah tidur. Satu-satunya yang bikin aku bisa maksain diri untuk kerja adalah cuma rasa takut keilangan kerjaan dan digusur.

Lalu abis seminggu susah tidur, tereak-tereak di kamar mandi karena kerasa panas ato dingin di pagi hari, aku akhirnya sampe akhir pekan. Aku minum, tapi aku bahkan gak sempet ngabisin sekaleng bir karena ketiduran pas Jumat malemnya. Aku gak tidur selama seminggu dan ngerapel tidurku, kalo bisa. Aku males-malesan di flatku.

Aku liat ke kardus-kardus yang belum kubongkar, aku udah di sini selama berbulan-bulan. Aku juga gak sempet ngebongkarnya pas di flat sebelumnya. Flatku berantakan, gak ada yang rapi dan semuanya debuan. Aku sebel idup kotor, tapi kayaknya aku gak bisa nemuin energi buat gerak ngakalin itu. Setiap berapa hari sekali aku nyuci piring dan kalo ada yang kotor di wc aku kasih pemutih dikit. Selain itu aku gak bersih-bersih ato ngurus flatku. Aku sendiri gak begitu ngejaga kebersihan diriku sendiri. Aku mandi tiap hari sebelum kerja. Aku udah numbuhin jenggot soalnya aku gak kuat kalo lihat alat cukur dan rambutku udah gondrong karena aku gak sanggup nyari pangkas rambut dan harus ngejelasin mau dimodel gimanain. Temen-temenku kadang bilang kalo aku agak murung, tapi seringnya kami semua cuek aja. Lagian aku jarang ketemu mereka juga, jadinya kalopun ketemu aku biasanya bisa nyoba bersikap semirip mungkin dengan aku yang dulu. Aku selalu punya selera humor yang gelap jadinya aku ngerasa kalo humor-humor gelap gak akan begitu bikin kesel orang.

Aku gak ngeliat ada masa depan. Tiap harinya cuma nahan beban yang gak ada abisnya. Segala hal yang aku lakuin itu nggak cukup baik. Rasa takut bikin aku bekerja dan kegelisahan bikin aku terus ngejalanin hari, nyaris gitu aja. Aku gak bikin rencana-rencana, aku gak pengen nemuin siapa pun, gak ada yang bener-bener ngehiburku dan aku gak pengen orang yang peduliin aku ikut murung. Pas seseorang bilang mau berkunjung ato ngajak ke suatu tempat aku ngerasa gak sanggup ngadepin itu, aku gak bisa ngebayangin punya tenaga buat beli tiket kereta, pergi ke stasiun, ato ngerapiin flatku. Seringnya susah banget buat nelpon

(9)

seorang kawan yang paling sering, apalagi nemuin orang, kayaknya uda hampir mustahil.

Selama kamu nyatain ke orang lain kalo kamu baik-baik aja itu bagus. Bahkan pas aku buka-bukaan bilang ke bosku kalo semuanya berantakan, dia malah ngasih kata-kata penyemangat basi dan bukannya nyoba ngebantuku; jadinya dia bisa denger suaranya sendiri pas dia bercanda gak nyambung. Aku bisa dibilang udah brenti usaha dapetin bantuan dan aku bahkan gak bisa ngeluapin kemarahan soal itu.

Depresi bikin kamu ngerasa sendirian, bikin kamu ngerasa kayak kamu gak akan pernah membaik, bikin kamu mikir kalo inilah satu-satunya jalan buatmu, itu bikin kamu marah sama diri sendiri, matiin kemampuanmu buat ngelawannya. Hidupku udah gak ada sisanya. Kehampaan ini ada di mana-mana. Aku ngerasa ancur dan abis. Aku ngerasa kayak harus tetep terus berjalan, tapi aku gak tahu harus ke mana, aku gak bisa ngebayangin akan ada yang berubah ato membaik. Aku peminum berat beberapa taun sebelumnya, tapi aku capek banget jadinya aku brenti minum karena aku capek ngebuang-buangin. Satu gelas anggur dibuang setelah tiga malam coba diminum. Ada berapa botol anggur lumayan di lemariku yang nunggu aku ngerasa bisa minum lagi. Ada buku-buku di rak yang aku rasa gak akan pernah kubaca, mengingat nilai satu halaman aja gak beres-beres aku baca selama berminggu-minggu ato berbulan-bulan. Aku punya film-film yang belum ditonton, aku tau kalo aku gak akan bisa konsentrasi cukup lama buat nikmatinnya.

Tiga kali hari Minggu berturut-turut aku hampir aja nangis, sambil teriak, “idup gak harusnya gini-gini amat.” Aku ada di ujung batasku, didorong seorang teman, aku cuti sakit ketika sakit, aku pergi ke dokter mencari antidepresan di hari yang sama. Aku ngabisin ampir semua minggu pertama buat tidur, aku capek parah dalam segala hal, tapi ada rasa kepuasan. Setelah lebih dari setaun hampir gak ngerasa hidup, akhirnya aku bisa nolak perasaan kalo aku cuma layak dapet kesuraman, aku bisa ngetawain betapa konyolnya kesadaran ini; tapi aku bisa mulai ngeliatnya sebagai salah satu momen terpenting dalam idupku.

Sekarang udah cukup lama dari waktu itu, banyak hal keliatan jauh lebih baik. Aku belum dapetin sebagian besar yang aku mau dan depresi itu masih muncul, namun aku tau apa itu, aku tau kalo itu bukan aku. Aku ada di bawah bayang-bayang depresi untuk waktu yang sangat lama, begitu lama sampe-sampe aku gak tau siapa aku tanpanya, kalopun memang ada hal selain itu. Selama bertaun-taun depresi itu nyabut banyak hal dariku sampe gak tau siapa aku tanpanya, kalopun memang ada hal selain itu. Selama bertaun-taun kemaren; yang di luar beberapa momen nyenengin, rasanya kosong; tanpa kegembiraan dan itu aku, cuma bersama depresiku, kesusahan untuk sadar bahwa ada hal lain di dunia. •

(10)

“Berbaik-hatilah pada Dirimu Sendiri”

Aku didiagnosa menderita distimia (jenis gangguan depresi yang bersifat kronis dan persisten) ketika aku berumur tiga belas taun, di taun yang sama aku baru tau siapa itu Emma Goldman. Aku pernah nyoba bunuh diri dengan kabel PlayStationku. Ibuku mergokin aku di kloset dan aku cuma bisa ngasih penjelasan payah banget soal kabel yang ngelilit leherku.

Kelas sembilan: wakasek lebay pas ngeliat aku ada di perpus pas jam-jam kosongku. Aku nyaris loncat ke tangga di sekolah. Karena gak jadi, aku nemuin pekerja sosial, yang nelpon ibuku, empat jam kemudian, aku didiagnosa mengidap si depresi itu. Taun awal kuliah, bulan pertama: aku ngerasa ditolak ama temen-temen sebayaku, ngejejelin sebanyak-banyaknya boti Prozac ke dalem mulutku, nonton lima menit serial Glee, jalan ke halaman rumput deket women’s center, ngumpet di balik semak-semak dan manggil-manggilin orang. Aku sebenernya gak bisa inget siapa dia. Dibawa ke rumah sakit reyot, dikasih larutan arang jadinya aku bisa muntahin lagi pilnya, aku mikirnya “bangsat juga nih nyeremin, aku ampe muntah item semuanya.” Selanjutnya dirawat di bangsal jiwa sialan yang ternyata lebih parah dari rumah sakit yang nyebelin itu hampir dua setengah hari yang jadi hari paling nyakitin dalem idupku. Coba kalo waktu itu aku gak pengen bunuh diri, aku pasti pengen ada di dalem bangsal jiwa itu. “Harusnya kamu dirawat di rumah sakit anak-anak,” kata seorang psikolog di kampus padaku, “kamu akan merasa lebih nyaman.” Lebih banyak lagi penolakan dari temen-temen sebayaku waktu aku balik ke kampus seminggu kemudian. Gak tahan nonton Glee. Didiagnosa depresi berat.

Taun kedua kuliah, sepanjang taun ajaran ampe sekitar Maret: aku diperkosa pada musim panas antara taun pertama dan taun kedua. Sejak Agustus, minumin obat apa pun yang bisa aku dapetin, minum apa pun yang dikasihin ke aku, kerusakanku lebih intens daripada lagu hardcore manapun. Akhirnya putus secara gak baik-baik dengan pasanganku yang waktu itu tinggal bareng, aku nelen Tylenol sebanyak-banyaknya, nyalain TV dan rebahan di sofa. Bangun tidur berjam-jam kemudian sambil kerasa parah banget sakit, baru nyadar kalo mamiku mau dateng nengok, gak ngasih tau dia ato orang lain soal percobaan bunuh diri ini sampe sekitar seminggu kemudian, pas aku pergi ke psikolog di kampus lagi. Akhirnya mulai pergi ke terapis yang luar biasa di daerah kota yang lebih makmur, didiagnosa gangguan depresi mayor dan gangguan stres pascatrauma.

Sekarang aku mahasiswa taun keempat, aku belum terdorong untuk ngelakuinnya pas ada pikiran bunuh diri sejak Februari 2011. Itu bukan berarti aku gak punya dorongan buat itu, aku punya, tapi aku udah ngelatih diri buat gak ngikutin dorongan itu. Depresiku bakal selalu ada menyertaiku, sampai hari kematianku. Aku udah nerimain ini. Aku gak ngerasa malu soal itu. Itu penyakit keluarga,

papiku juga mamiku. Semuanya udah terkutuk sejak masa kecilku yang berantakan walopun bahagia.

Bangsat gimana aku bisa idup ampe usia 22?

Sadari kalo sakit/gangguan/apapun soal mentalmu mungkin gak sama ama orang lain. Harusnya juga gak begitu. Gak ada penanda jelas soal bakal kayak apa nantinya penyakit mental pribadimu. Ini lebih soal “patokan longgar”. Sama kayak keracunan makanan, kamu tau kamu ngalamin itu pas lagi kejadian. Tapi, gak kayak keracunan makanan, berak ato muntah di otakmu gak bikin ngilangin itu. Kayaknya.

Gak ada satu cara pasti buat nanganin sakit mentalmu. Sebagian orang minum macem-macem obat-obatan, beberapa meditasi, nyari vitamin, ngisep ganja, beberapa lainnya gak ngelakuin apa-apa ato apapun.

(11)

Eh, kuya, jangan jelek-jelekin orang soal gimana mereka ngatasin sakit mentalnya, itu soalnya kasar banget pe’a. Gua tau kalo duit gua (lebih tepatnya, asuransi gokil mami tercinta) cuma nebelin dompet-dompet ngentotnya si borju ngehe, tapi duit itu dipake baek-baek njing buat gua tetep idup di lobang kencing bengkok yang disebut planet bumi ini. Gua ini orang bangsat yang beruntung aja punya privilese buat ngurus nih penyakit mental. Gua tau gua minum ribuan obat-obatan aneh supaya tetap bisa berfungsi, tapi sejujurnya, itu berhasil gilak. Taktik yang beragam.

Lepaskanlah pikiranmu tetep kebuka sama ide-ide laen soal penanganan dan pengelolaan depresi, tapi ati-ati aja selalu. Kalo instingmu bilang, “hei ini kayaknya aman” ya terus lakuin. Walo gitu, harus tetep cari informasi yang banyak.

Kalo terkait ama obat-obatan terlarang, tetep jeli. Aku tau kalo aku bisa mentoleransi ganja dan miras, dan aku harus ngindarin yang laen-laennya. Nyebelin emang aku gak bisa bikin trip lampu-lampu fantastik, tapi ya uda la yaa. Kalo kamu kuatir soal kebiasaan pemakaian obatmu, ungkapin ama psikiatrismu, dokter, teman, siapa aja yang dirasa aman.Kalo berkaitan sama sakit mentalmu, kasih tau orang-orang yang kamu bisa nyaman cerita. Kalo ada orang yang justru ngasih reaksi nyesekin, jauhin-jauhin orangnya. Dan kalo ada yang make masalah itu buat nyerang kamu, kritiklah doski. Kelakuan si tokai itu gak bener. Caraku biasanya gini: ngeganti bilang ‘depresi’ sama ‘lupus’. Kalo reaksi orang itu ngaco, ya berarti emang dia uda kacau dari awal. Diri sendiri. Perhatiin. Makanlah sebungkus keripik tortilla. Masturbasiin. Ditato. Apapunlah yang bikin kamu seneng, bikin buku kliping dalam kepalamu (ato bikin buku kliping sungguhan!), lakuin pas keadaan jadi berat. Manjain dirimu.

Menyadari kalo hal-hal yang mungkin kamu rasa sebenernya konyol ato tolol mungkin bakal bikin kamu ngerasa lebih baikan. Kupikir meditasi itu enggak banget, tapi ternyata itu lumayan manjur buatku. Kadang aku posting soal keadaan terendahku di forum internet yang sering kukunjungin (sebenarnya memang ada bagian yang dikhususin buat itu). Malu-maluin dan aku benci itu, cuman saran yang aku dapet bener-bener ngebantuku keluar dari keadaan-keadaan ngeri. Bersolidaritas. Kamu bukan satu-satunya yang ngalamin kayak gini. Bahkan secara statistik, sekarang ini, seseorang ngerasain sesuatu yang bangsat deket banget

ama yang kamu rasain. Sorry Morrissey, Somebody Can Possibly Know How You Feel.

Di lingkungan organisasi-organisasimu, kalo kamu ngerasa butuh cerita kalo kamu lagi ngalemin masalah berat, ceritain aja. Tapi cerita secukupnya dan kalo bisa jangan pas lagi rame. Biasanya itu cara yang paling pas. Kalo kamu gak ngerasa aman, jangan dilakuin.

Kamu gak bisa pergi ke setiap demo. Kamu gak bisa selalu bakar mobil polisi. Kamu gak bisa datengin setiap pertemuan. Ini beneran gak apa-apa. Kadang-kadang kamu harus diem di kasur. Kamu mungkin bukan radikal yang paling sempurna, tapi kamu gak harus menjadi radikal paling sempurna.

Akan tetapi bersosialisasi bisa jadi ada manfaatnya. Aku terkadang harus memaksa diriku buat anjing pokoknya harus datang ke satu acara aksi. Bahkan kalo pas di sana aku cuma bisa ngumpet dalem keramaian, dikelilingi sama orang-orang kadang ada manfaatnya.

Kadang-kadang sesama para radikal ngatain hal yang jelek banget soal penyakit mental. Kalo dia itu orang yang deket banget, kasih tau mereka aja langsung (ato lewat pihak ketiga yang aman). Mungkin diem-diem ngepost sesuatu di FB soal stigma sakit mental. Ato teriakin keparat itu kalo mereka emang gak ngerti apa-apa (lakuin ini hanya kalo udah gak ada cara lain).

Penyakit mental kadang terjadi gitu aja. Mungkin gak ada penjelasan yang pasti. Ini bukan salahmu. Bisa jadi genetika, bisa jadi takdir, bisa jadi karena beragam penyebab lainnya.

(12)

“Hatiku yang sensitifan…”

Aku berjuang ngelawan depresi, kecemasan, konsekuensi dari penyalahgunaan obat-obatan dan ketergantungan bahan kimia, dan akhirnya didiagnosa NOS bipolar (“not other specified”, maksudnya gejala bipolarku yang gak cocok masuk ke dalem kategori bipolar I ato II). Tapi, aku gak cuman didefinisikan sama didiagnosa itu. Aku seorang perempuan dengan kulit berwarna yang juga queer dan anarkis. Aku pejuang dan juga penyintas. Anarki adalah dalam jiwa dan karangan-karanganku. Aku seorang aktivis politik sakit-sakitan yang udah terlibat dalam protes-protes dan beberapa demonstrasi buat dunia yang lebih baik. Cuman aku, sebagaimana tikus di kandang percobaan yang berkali-kali neken tuas buat dapetin cairan manis ato obat-obatan, taulah kayak apa rasanya jadi pecandu dan berjuang ngelawan depresi. Aku besar jadi putri sulung dari keluarga Tionghoa imigran. Teralienasi ama kehidupan pinggir kota, sikap orang yang keterlaluan apatis sama politik, dan konservatisme serta kecemasan sosial dan depresiku sendiri, aku lari ke obat-obatan, politik, dan musik. Aku ingat masa-masa aku nyari-nyari buru-buru di lemari rumah buat dapetin apa aja yang bikin enakan, pil apa pun—obat rileksan otot kuning, obat tidur putih, botolan obat halusinogen, apa pun pokoknya yang bikin giting, buat ngejauhin kehidupan pinggiran kota yang asing ini. Tentu saja ini semua dimulai sebagai ketidaksengajaan yang bahagia.

Waktu umur 16 taun, aku yang sedih nyoba ngabisin idupku sendiri sama beberapa pil. Bukannya jadi harus dibawa ke rumah sakit ato bikin orang tuaku nyadarin apa yang udah kejadian, aku malah jadi kena efek alergi yang bikin orang tuaku kuatir karena sayang dan jadi giting banget yang bikin gak nyaman. Sejak itulah aku berkesperimen ama banyak zat selama 7 taun sebelum akhirnya dirawat di rumah sakit karena mengalami suatu kejadian manik/psikotik.

Jadi memangnya apa yang bisa diomongin anak terasing dari kelas berprivilese soal kelas pekerja dan depresi? Saat ini bahkan aku bukan bagian dari organisasi formal ato perjuangan kelas mana pun, tapi malah ikutan protes tapi pake masker bareng kawan-kawanku. Hatiku yang sensitifan pengen ngebantu orang lain yang kelelahan sama depresi dan kecemasannya. Entah kamu ngerasa deg-degan banget pas ada di dekat orang lain ato kamu gak bisa tidur di malam hari dan mantengin angka-angka jam yang berdetak, aku pernah ngalamin itu. Aku gak di sana waktu kamu nangis karena kecemasan di kamar mandi, ketakutan kalo orang lain bakal ngegepin kamu. Aku belum pernah megangin rambutmu pas kamu muntah malem-malem setelah nyoba berbaur. Aku gak di sana waktu kamu berjuang beranjak dari tempat tidur dan berharap buat bunuh diri pagi-paginya. Tapi kuharap aku ada di sana untukmu, kawan.

Aku harap aku ada di sana buat ngasih tau kamu buat ngeluangin waktu buat dirimu sendiri. Santai-santai ajalah dulu dan berlatihlah konsentrasi, meditasi,

yoga. Buatkan dirimu secangkir teh. Gak apa-apa kalo kamu ngedenger suara-suara ato takut banget sama beberapa situasi yang kamu pikir kamu gak bisa ngadepinnya. Apa yang gak baik adalah ngebiarin keadaan itu mencegahmu dari menjadi seorang radikal cantik yang penuh semangat padahal kamu aslinya begitu. Dunia pantas menerimamu karena kamu itu orang yang hebat. Kamu layak tidur 6, 7, 8 ato berapa jam pun yang kamu butuhin supaya berfungsi. Kamu layak makan makanan lezat bareng temen dan keluarga yang oke, baik itu keluarga biologis ato keluarga yang kamu pilih sendiri. Kamu pantes dapet jauh lebih banyak dari kehidupn ini daripada sistem kapitalis patriarkal jelek ancur bangsat anjing tai babi ini. •

(13)

“Aku gak bisa nunggu sampe kapitalisme

dihapus dulu, baru aku bisa jadi bahagia,

dan aku juga ragu kamu bisa nunggu.”

Perjuangan kelas dan depresi: kedua konsep ini bagaikan kata-kata jargonik mental buatku karena keduanya berperan besar dalam ngedefinisiin siapakah aku, sebagaimanapun aku benci ngakuinnya. Aku gak pernah bener-bener pake keduanya dalam kalimat yang sama karena aku gak pernah ngerasa keduanya punya hubungan yang berarti—perjuangan kelas bersifat politis, depresi bersifat pribadi. Tapi pas aku ngeliat pengumuman pencarian kontributor untuk tulisan ini, aku tau bahwa mungkin ada hubungan yang berakar mendalam yang penting banget buat dipahamin kalo kita mau ngelawan secara efektif dalam perjuangan kelas. Sayangnya, walaupun bukan kebetulan, banyak dari kita yang terlibat dalam gerakan ini ngederita depresi dan/ato sejumlah masalah-masalah emosional/ psikologis lain. Lebih buruk lagi, ini biasanya jadi faktor-faktor yang berkontribusi pada sejumlah masalah internal dalam kerja pengorganisiran kita, dan seringkali bisa nyebabin kemuakan.

Lalu, gimana kita mulai ngehubungin depresi dan perjuangan kelas, dan buat apa? Aku bisa mulai dari nyeritain kisah personalku padamu, soal pertarungan seumur hidupku ngelawan depresi dan banyak banget permasalahan lain yang terkait, tetapi, walopun mungkin cerita ini bakal memberikan kelegaan, cerita ini bakal ngebikin masalah itu kayak masalah individu padahal sebenernya adalah masalah sosial.

Ato aku bisa mulai dari nyatain apa yang udah jelas-jelas aja, kalo masalah emosional dan psikologis kita adalah konsekuensi dari stratifikasi sosial, patriarki, dan elemen-elemen masyarakat yang gak berfungsi dengan benar lainnya, dan terusin kalimat ini sama kutipan Marx. Tapi banyak dari kita udah nyadarin alasan sosial kenapa kita gak bahagia. Cuman mahamin hal ini gak cukup ngebantu dalam nemuin cara ngatasin pergulatan yang kita hadepin tiap hari, seenggaknya buat aku sih gak cukup. Aku pribadi gak bisa nunggu sampe kapitalisme dihapus dulu, baru aku bisa jadi bahagia, dan aku juga ragu kamu bisa nunggu.

Buat gantinya, aku pengen ngebentuk pemahaman yang lebih baik bukan cuma soal gimana caranya mahamin masalah kita apaan dan apa yang nyebabin itu, tapi juga gimana kita bisa gunain kemarahan kita buat jadi bensin perjuangan kita. Ato, buat ngeparafrasein band anarko-punk Crass, ngubah penindasan mereka jadi landasan estetika kemarahan kita.

Sepengalamanku, aku nyadar kalo banyak dari kita udah mahamin masalahnya dan bertindak sebisa mungkin buat bikin segalanya jadi lebih asik buat diri kita sendiri—ngebuat idup jadi nyaman, seenggaknya—namun kadang-kadang itu gak pernah cukup. Kita nyobain pengobatan paling umum dan pengobatan alternatif

dan terapi murah serta terapi terbaik yang ada kota kita, kadang-kadang kita juga baca zine ato buku-buku self-help, cuman gak ada yang kayaknya ngasih solusi jangka panjang yang memuaskan.

Aku udah belajar gimana kalo walopun gak ada “obat” buat masalah emosional dan psikologis yang harus aku atasin sehari-hari, aku bisa gunain pemahamanku soal akar penyebabnya buat ikutan dalam aktivitas yang bikin urusan pribadi jadi politis, dan itu ngedorongku buat beraksi, utamanya pas hari-hari buruk. Punya pemahaman ini gak bikin aku ngerasa lebih baik, itu cuma bikin aku makin marah, tapi sebagai anarko-sindikalis pejuang kelas aku tentu udah belajar apa yang harus dilakuin sama kemarahanku. Mungkin ini kedenger klise, tapi terlibat dalam perjuangan kelas itu hal yang bikin aku tetep bersemangat, ini ngebantuku keluar dari rasan bosen pas aku lagi kerja, itu ngasih aku koneksi solid yang nyediain tempat buat tidur pas aku bepergian, dan itu ngasih aku rasa senasib sama orang-orang sepemikiran yang kalo gak gitu masyarakat terasa ngasingin. Kerja pengorganisiran kita bukan hanya bertarung ngelawan bos-bos, tapi juga termasuk ngebangun komunitas orang-orang yang berjuang bareng kita. Kalo kita saling dukung pas kita berjuang bersama, itu artinya kita selangkah lebih dekat buat nyembuhin depresi. •

(14)

“Inget aja kalo nanti semangatnya bakal

menyala lagi…”

Masalah yang aku rasain sama depresi itu … yah, itu masalah seumur idup kan, dan kayak nyelinep masuk dan ngerenggut banyak hal dari hidupmu. Aku gak ikutan sama kelompok apa pun, aku gak ngedatengin kumpul-kumpulan apa pun… Aku sadar politik, cuman gak punya keterlibatan langsung sama kampanye apa pun. Perlahan-lahan, seiring berjalannya hidupku, aku makin narik diri dari banyak hal. Depresi itu ngisolasi kamu. Depresi itu bukan sekadar sedih; depresi itu berarti gak punya harapan ato keinginan sama sekali, biasanya diikutin ama kecemasan yang gak masuk akal dan gak bisa dijelaskan. Gimana kamu bisa ikut dalam perjuangan sedangkan kamu bahkan gak bisa ngeliat gunanya ganti baju-bajumu? Gimana kamu bisa dateng rapat ato protes, sedangkan pas cuma mikir buat masuk ke ruangan yang penuh orang—ato bahkan sekadar keluar rumahmu—aja bikin kamu takut sampe keringet dingin? Bahkan sekalipun ini tuh orang-orang yang kamu kenal sejak lama, itu bisa nimbulin rasa malu dan ketakutan yang gak keliatan dalam dirimu. Aku udah ngusirin orang, orang-orang yang kucintai, karena aku gak tahan ngadepin diriku saat aku depresi.

Kalo depresinya bersifat klinis, kayak yang aku alamin, kamu berulang-ulang dikasih tau kalo kamu gak mampu kerja, cita-citamumu harus diturunin sesuai dengan kemampuanmu yang sebenernya (versus kemampuan yang kamu pengenin). Jagi gimana kamu bisa ikutan dalam perjuangan buat pekerja ketika di lubuk hatimu yang paling dalem kamu ngerasa kalo kamu bukan seorang pekerja, kalo kamu itu adalah seorang gagal? Gimana kamu bisa nentuin posisimu dalam perjuangan kelas sedangkan kamu dinyatain ‘gak masuk kelas mana pun’ dengan cara paling menyakitkan—kamu gak termasuk di manapun, kecuali dalam pengobatan… bagaimana bisa kamu berdiri di depan sekelompok temen dan nyatain kamu ngedukung penuh cita-cita itu, sedangkan baru seminggu kemaren kamu neriakin semua orang kalo semua ini omong kosong dan gak berguna—rasanya malu-maluin banget, bikin kamu ngerasa tolol dan gak konsisten. Tapi itu bukan kamu, itu tuh syaraf-syaraf di otakmu sedang ngacauin perilakumu. Kelompok kayak libcom.org bagus banget buat orang-orang kayak aku. Aku gak besar di sekitar orang yang sadar ato aktif secara politik. Orang tuaku pendukung partai konservatif (Britania Raya) Tory. Untungnya kakek-nenekku itu sosialis, dan walopun mereka meninggal waktu aku masih kecil, mereka nunjukin aku ke arah yang mereka tau aku harus tuju. Tetapi depresi udah ngisolasiku, dan sebagai akibatnya aku bahkan gak tau harus mulai dari mana…

Saranku kalo kamu ngalamin depresi? Perhatiin baik-baik aja. Bicarain, bukan untuk ngemis belas kasihan, yang tentu kamu gak mau kan, tapi cuman sebagai fakta yang seharusnya diomongin. Anggap kembali depresimu sebagai bagian

(15)

sistem syarafmu—itulah salah satu alasan kamu bisa ngeliat kebenaran di dunia. Depresi adalah bagian dari kita, kalo bukan, maka proses evolusi pasti udah ngebuang itu! Ini ngasih kita perspektif baru pas kita ngatasin persoalan ini, tapi bahayanya adalah pas sepanjang prosesnya kamu mundur dan ngusir semua orang, jadi waktu kamu akhirnya ngelewatin persoalan ini, gak ada orang yang bisa kamu ceritain, yang bikin kamu keisolasi, menarik diri—dan lebih rentan sama depresi. Lebih penting lagi buat mereka yang ada dalem kelompok yang pengen dukung para penderita depresi… awasi mereka. Waspadain tanda-tanda kalo depresi sedang nguasain dia dan kalo ngerasa gak berguna nguasain dia—gak ikutan rapat, ngasih alesan buat gak bersosialisasi (kebanyakan temenku gak tau aku depresi—mereka mikirnya aku punya jadwal penuh buat urusan-urusan lain, yang sebenarnya cuma dibuat-buat), menarik diri…

Gimana sih caranya bantu? Inget aja kalo nanti semangatnya bakal menyala lagi, biarin aja orang itu terlibat sedikit-sedikit, supaya pas waktu semangatnya balik lagi dia gak ngerasa malu buat muncul lagi (aku udah ngerasa kalo itu adalah masalah terbesarnya—balik ikutan lagi kerasa gak enak karena sebelumnya kamu cabut-cabutan). Bawain mereka bahan bacaan, kasih semangat. Musik selalu manjur, yang ringan-ringan dan sederhana selalu manjur. Secangkir teh dan beberapa musik baru, barengan ama sedikit retorika penuh gairah bisa nyalain lagi semangat. Inget aja kalo orang sepert kami masih bisa nyadarin kalo ada yang ‘ngeguruin’; perlakuin aja kami sama kayak orang yang kamu kenal dulu, inget kalo rasa was-was sementara kami bakal bikin kami rewel dan payah. Buat kami ngerasa berguna (secara pribadi, kalo pas aku ngalemin depresi, tugas sepele yang berulang-ulang cukup manjur karena bikin aku gak asyik sendiri di kepalaku!). •

“Persoalan Pribadi itu Persoalan Politis”

Sejak jadi yakin perlunya ngegulingin kapitalisme dan negara dan digantiin sama sistem yang lebih adil, egaliter, dan bisa panjang umur, aku udah bikin perjuangan itu jadi fokus utama idupku selama lebih satu dekade.

Pas kawan-kawan ngingetin aku buat agak santai supaya gak jadi kelelahan, aku nolak saran mereka. Pas seorang lainnya bilang kalo mereka lelah, ato perlu waktu buat mulihin diri dan nenangin diri, dan agak mundur dari kecimpung langsung ama gerakan, dalem hati aku mikir kalo mereka gak punya komitmen, ato udah keilangan keyakinan mereka. Kelelahan, kupikir, adalah kemewahan borjuis. Beberapa taun terakhir sebelum nulis artikel ini mungkin adalah yang paling susah dalem idupku—dari depresi yang disebabin oleh kisah cinta yang gagal, kematian anggota keluarga dan penyakit mematikan yang diidap orang lain, sampe masalah kesehatan raga dan/ato jiwa—pastinya tiga bulan terakhir ato lebih sebelum aku

pergi ke luar negeri aku jatoh ke di titik terendah seumur idupku. Biasanya, dalam keadaan kaya gitu aku bakal curahin lebih banyak lagi waktu, energi, dan fokus ke kerja politik buat ngalihin diriku. Tapi karena organisasi politikku sendiri sedang ngalemin sedikit krisis, ini kok kayak gak manjur; yang justru nimbulin persoalan yang bahkan lebih sulit yang aku rasa harus aku hadepin. Gak tau gimana caranya, dan kadang-kadang gak ngerasa seolah aku punya suatu tempat ato seseorang buat minta pertolongan ato saran, ato bahkan buat nenangin aku, aku sering jadi beralih ke alkohol sebagai cara buat lari dari kenyataan, buat numpulin kepekaan ato buat ngelewatin hari. Di lain waktu aku cuman nyoba buat tidur sepanjang hari, seolah apa yang aku alemin adalah mimpi buruk yang, kuharap, aku bisa cepet kebangun lagi.

Ngerasa gak mampu dan gak mau berurusan ama tekanan eksternal, aku kadang-kadang mutusin komunikasi ama orang lain dan kawan-kawan, ato seenggaknya gak bisa ngusahain buat ngerespon upaya-upaya—segimanapun mendesaknya— buat ngehubungin aku. Aku bahas ini tuh karena aku udah ngliat kelakuan begini di kawan-kawan yang lain dan nyimpulin kalo pola kelakuan kayak gitu aneh gak cuman buat aku ato orang-orang yang didiagnosa kesehatan mental, tapi ternyata bisa dialemin dan diekspresiin, pada tingkatan yang beda-beda, ama siapa pun. Walhasil, selama beberapa minggu ato bulan terakhir sebelum cabut dari Afrika Selatan, aku gak bisa ngelakuin tugas-tugasku ato menuhin harapan orang-orang. Aku nunda-nuda tugas dan terus-terusan ngerasa kalo aku ngecewain diriku, kawan-kawanku dan, pada akhirnya, kelas dan perjuangannya. Semua ini nimbulin siklus benci diri sendiri, depresi, dan keenggakmampuan buat berfungsi baik-baik pada level pribadi maupun politis.

Andai aja aku ngadepin krisis-krisis pribadi aja, ato ngadepin krisis-krisis politis aja, aku mungkin bisa ngatasinnya. Gimanapun, aku udah dihajar oleh dan nanganin keduanya sebelumnya. Tapi, pas aku ada masalah di keduanya dalam waktu yang sama, aku kesulitan nyari jalan keluar. Layaknya diktum feminis lama, “persoalan pribadi itu persoalan politis”.

Aku beruntung bisa pergi ke Brasil waktu itu, walopun kepergian itu sendiri ngebawa tantangan, ketidakpastian, dan rasa was-was baru—baik yang pribadi maupun politis. Tetapi andai aja enggak pergi, aku gak yakin gimana aku bisa ngatasinnya. Kupikir dulu itu aku cuma ngehindarin kelelahan aja yang, kusadari sekarang, ngebutuhin waktu bertaun-taun buat sembuh.

Pas aku lagi di luar negeri, aku punya kesempatan ngobrol-ngobrol sama beberapa militan sosialis anarkis yang bener-bener berpengetahuan dan inspiratif yang nyeritain pengalaman yang mirip—keilangan orang-orang brilian dan militan karena lelah, depresi dan kecanduan—ngingetinku kalo aku gak sendirian dan, kayak orang-orang lain, kalo kita sosialis juga manusia. Kita ngalemin naik-turun, ngalemin peristiwa menyenangkan dan menyedihkan. Kadang-kadang kita berhasil ngatasin itu, kadang enggak.

(16)

Ini mungkin bahkan lebih berlaku lagi buat para militan sosialis, karena gak cuman idup di bawah cekikan masyarakat kelas yang menjijikkan—dengan semua konsekuensinya—tapi kami juga secara aktif berusaha ngubah itu, ngelawan rintangan yang nakutin. Mungkin bahkan lebih daripada para sosialis umumnya, bisakah ini berlaku buat kaum sosialis anarkis, yang gagasan dan visinya bahkan lebih teralienasi dan terisolasi—kalo berdasarkan keadaan masa kini—gak cuman dari kelas populer yang berusaha buat kami yakinin tadi, tapi dari sebagian besar orang-orang kiri lainnya juga. Pada kasus para anarkis di Afrika Selatan, salah satu penyebab yang bisa ngejelasin keterpencilan politik dari kaum kiri lainnya ini adalah keterpencilan geografis kami dari sebagian besar gerakan anarkis internasional lainnya—kebanyakan terkonsentrasi di Eropa dan Amerika. Keterpencilan politis dan geografis ini masih bisa diperparah waktu para militan ngerasain keterasingan pribadi yang nyata ato yang dirasa-rasain aja, kadang ada yang bahkan jadi ngasingin diri.

Kayak halnya masyarakat kelas secara keseluruhan, yang berfluktuasi di antara masa-masa sangat sadar kelas dan perjuangan kelas yang agresif, dan masa-masa penurunan keduanya; begitu juga mungkin individu yang ngelewatin masa-masa naik-turunnya tingkat militansi ato keaktifan.

Ketika kesadaran dan perjuangan kelas lagi surut, masyarat kelas secara umum jadi lebih rentan sama anceman oportunis ketika mereka berusaha mati-matian buat bangkit dari penderitaan dan kesengsaraan mereka sendiri—dari politisi yang haus kekuasaan sampe agama terlembaga yang kayak parasit dan ideologi-ideologi reaksioner. Gitu juga mungkin para militan individual jadi lebih rentan ama bahaya yang ditimbulin oleh kesepian dan depresi, kecanduan dan kekecewaan yang bisa dipicu oleh ningkatnya alienasi dan isolasi diri mereka sendiri maupun gagasan-gagasannya dalam konteks penurunan level kesadaran, politisasi, dan perjuangan. Dalam konteks penurunan kesadaran kelas inilah kita berada hari ini, dan anceman yang menyertai keadaan tadi yang dihadepin oleh para militan individuallah yang harus kita hadapi.

Penting banget sebagai individu dan organisasi kita mahamin masalah-masalah ini dan bahwa kita secara aktif berusaha ngeringanin itu sebisa mungkin. Aku gak ngeklaim punya jawaban yang gampang, tapi sekedar ngadain obrolan-obrolan ini tentu aja langkah ke arah yang positif. Dari sana kita bisa mulai ngebangun struktur dukungan dan ngembangin kemampuan kita sendiri, sebagai individu maupun sebagai gerakan, buat nyiptain strategi ngalahin kelelahan dan tetap jaga semangat perlawanan anarkis-sosialis. •

“Revolusi akan menunggumu.”

Terakhir kali aku masuk rumah sakit adalah karena goncangan mental yang terjadi pas aku kerja di sebuah sekolah di kota miskin Prancis di mana aku tinggal bersama istri dan putra kami. Waktu itu aku berdedikasi sekali buat kerjaan dan serikatku. Pada taun itu aku berkali-kali mogok kerja, ngelawan seorang direktur yang mau mecat seluruh staf supervisor, yang mana aku adalah seorang karyawan. Aku belain rekan-rekanku tiap hari dan berada di bawah tekanan tiap menit di tempat kerja.

Sayangnya, aku juga juga harus berjuang ngelawan murid-murid. Sekolah itu waktu itu (dan masih sampai sekarang) memiliki yang lingkungannya keras banget dan konfrontatif. Sebagai seorang anarkis, gak gampang teriak ke murid-murid. Tapi pas kejadian berantem, kamu gak ngebujuk-bujuk halus. Kamu ngatain sesuatu kayak, “kuperintahin kamu buat jatuhin pisau itu sekarang!” Itu contoh ekstrem, tapi itu artinya kamu akhirnya berbuat kayak polisi, kadang-kadang terpaksa ngambil jalan tindakan fisik. Aku bisa jamin kalo itu bikin kamu ngerasa gak enak.

(17)

Stres ini ngikutin aku sampe rumah dan aku selalu bad mood. Sewaktu aku gak marah, aku ngalamin depresi sampe titik aku pengen ngilang dari planet ini. Aku sering ke dokter dan ambil cuti. Pergi jalan-jalan bukanlah ide yang bagus karena teriakan dan pertengkaran jalanan yang gak bisa dihindarin cuman ningkatin stresku. Sampe pada titik kalo aku harus ngambil cuti sebulan, diem di kamarku, ngerasa bener-bener gila.

Dokterku lalu ngirim aku ke pusat kesehatan mental masyarakat. Aku dapet masa tinggal dua minggu. Itu sulitlah. Yang bikin aku ngerasa baikan itu adalah ngebantu pasien lain. Aku ngasih makan seorang perempuan yang udah nolak buat makan selama tiga hari, berbagi rokok, nyobain nenangin seorang laki-laki yang lagi krisis, dan ngedengerin cerita-cerita sedih pasien lainnya. Staf medis gak keberatan soal itu. Aku gak nyoba ikut campur, cuman nyobain buat berbaik hati di tempat yang terlalu sedih dan gak enak.

Beberapa kawan-kawan nyoba ngehubungin aku soal pertanyaan terkait serikat kerja. Aku paparin ke kawan-kawan yang kupercaya tentang situasi itu, jelasin kalo prioritas utamaku adalah kondisi mental yang sehat, dan nyerahin semua tanggung jawab. Aku berusaha buat gak ngerasa bersalah karenanya.

Kesehatan mental udah jadi masalah seumur idup buatku. Aku pertama kali dikirim ke psikolog pada usia 9 taun dan lagi masa remaja. Bahkan dengan ini, aku di-DO sekolah. Itu agak berubah setaun kemudian pas aku masuk kerjaan pertamaku dan ningkatnya minatku ke politik. Tapi depresi selalu ada aja: perasaan kesepian, kesan kalo idupku gak ada artinya, kalo aku gak bakal pernah dapet ketenangan, dan sentimen terlalu nyata yang sering kurasain kalo aku keilangan kontak sama kenyataan.

Ini bikin aku takut ampe mati kadang-kadang. Paradoksnya, satu-satunya momen yang kurasa enak banget adalah pas aku make obat-obatan. Aku mulai ngisep gele pas umur 12. Aku udah minum semua obat yang bisa kucoba sejak itu. Bisakah aku bilang, hari ini, kalo masalah mentalku erat hubungannya sama konsumsi obat dan juga sebaliknya? Ya tentu aja. Tapi aku butuh waktu lama buat ngakuin itu. Ketika keluar dari pusat kesehatan mental, keadaan gak jalan mulus-mulus aja. Aku kembali kerja, cuti banyak banget dan akhirnya dipecat. Aku lalu mutusin buat ninggalin serikat. Gaweannya sulit tapi aku suka itu dan susah buat nerimain kalo aku gak akan sanggup jadi militan di tempat kerja. Jadi aku butuh waktu setaun buat ngerawat kesehatan mentalku dan nemuin profesi yang sesuai ama kepribadianku. Aku masih punya seorang psikolog dan psikiater yang ngebantuku dalam tiap langkah.

Setelah satu taun perawatan, aku udah nemuin kerjaan lain. Ini bukan jenis gawean yang bakal dinikmatin kebanyakan orang, tapi aku seneng banget dengannya. Keluargaku adalah alasan utama aku berjuang sangat keras buat perbaikin

situasiku. Nyakitin banget buatku gak bisa ngurus dan ngedukung mereka pas ngalemin masalah. Aku harus ngaku kalo kami gak ngasih tau anak kami soal masalahku pas aku lagi dirawat. Aku gak pengen nakutin ato bikin dia sedih. Aku bakal nunggu buat ngasih tau dia sampe hari dia bakal bisa paham. Aku berusaha jadi orang yang kuat buat anakku, seseorang yang bisa dia andelin. Terkadang itu sulit banget.

Kalo aku nulisin ceritaku, itu karena aku pengen ngasih tau orang-orang yang punya masalah kesehatan mental kalo kamu harus nerima kelemahanmu sendiri dan nyari bantuan yang kamu perluin. Tetaplah yakin sama dirimu dan orang yang kamu cintai. Kamu mestinya gak ngerasa bersalah kalo kamu berhenti ikut kerja pengorganisiran.

Beberapa orang mikir mereka bisa ngelupain masalah mereka dengan ngasihin seluruh waktunya buat aktivisme. Itu gak realistis. Kamu gak bisa ngarepin dapet stabilitas mental dari aktivisme. Kalo kamu ada di dalem organisasi yang baik yang orang-orangnya juga baik, mereka harusnya mahamin kalo kadang-kadang seorang kawan perlu berhenti dari kegiatan berserikat ato politik. Kalo gak mahamin, mereka gak layak buatmu.

Aku masih ngalemin naik turun. Tapi aku udah ngidentifikasi fase-fase itu dan aku tau kalo pas aku ngerasa gak enak gitu perasaan itu gak akan tahan lama. Sekarang aku punya lebih banyak momen baik daripada yang buruk. Aku orang yang sakit mental; aku harus idup sama kenyataan itu dan baiklah. Rasa sakitnya gak sekuat dulu dan sekarang aku tau dari mana asalnya. Sekarang aku bisa bikin rencana jangka panjang buat idupku dan aku bahkan udah mulai menulis buku! Waktu aku ada di pusat kesehatan mental, aku nyiptain semacam kode etik dan itu banyak ngebantu. Ini dia:

Psikolog dan psikiater: ngasih nama sakitnya

Kamu harus punya satu orang buat diajak bicara dan satu dokter buat ngasih kamu perawatan yang tepat. Kamu harus jadi orang yang milih itu. Cobain aja dulu selama sebulan. Kalo kamu ngerasa gak nyaman ngobrol ama mereka, cobain seseorang yang beda lagi.

Kamu harus nyobain buat mikirin percakapanmu sama psikologmu sesekali (jangan terlalu sering) dan bersiaplah sama ide-ide yang muncul di pikiran di antara sesi konsultasi itu. Kalo kamu gak punya sesuatu buat disampein, itu gak masalah kok. Itu adalah bagian dari proses. Ga usah ngerasa malu ato frustasi, keheningan itu berarti banget.

Butuh waktu buat nemuin perawatan medis yang baik. Kamu harus sabar sebelum kamu ngerasa lebih baik. Kalo suatu cara perawatan bikin kamu ngerasa gak enak, ya gantilah. Kita semua bereaksi dalam cara yang beda-beda terhadap

(18)

obat-obatan. Yang paling penting adalah ngerasa stabil. Pil yang kamu minum gak akan bikin kamu jadi orang yang berbahagia. Stabilitas adalah kuncinya. Kamu perlu stabilitas mental buat mikir dan berbuat rasional. Stabilitas mental bakal ngebantumu mengidentifikasi sumber rasa sakitmu. Doktermu harus ngasih tau kamu apakah itu dan kamu bakal ngebahasnya. Kamu bakal punya nama buat itu. Ini akan banyak ngebantumu buat langkah selanjutnya.

Hindari rasa bersalah: lakuin sesuatu, berbanggalah akan itu.

Kalo kamu ngerasa gak enak banget sampe kamu gak punya energi buat ngelakuin apa pun, terimain aja. Kamu harus akuin kalo kamu gak bisa bertingkah kayak orang stabil. Nggak masalah. Tapi kalo kamu gak ngebersihin tempat tinggalmu, gak mandi dan gak ngelakuin apa-apaan sama sekali, kamu bakal mulai ngerasa lebih gak enak.

Kamu seenggaknya harus ngelakuin satu hal sehari. Gak harus sesuatu yang bermanfaat. Nemuin satu riff gitar yang keren, nulis berapa kata dalam buku harian pribadimu, mandi, bersihin kamar tidurmu, nonton film yang bagus, cabut rasa sakitmu… luangkan waktu lima ampe sepuluh menit buat ngelakuin satu hal dan istirahatkanlah dirimu. Ingat: kamu ngelakuin sesuatu hari ini dan kamu bakal ngelakuin satu hal lagi besok… berbanggalah.

Kalo kamu punya hal-hal penting buat dilakuin, catet aja. Cobain buat nyampe salah satu dari tugas-tugas ini per minggu. Cukup satu per minggu. Kalo kamu gak bisa ngelakuinnya, gak apa-apa. Itu artinya kalo kamu belum siap. Siapa tau minggu depan, ato mungkin bulan depan. Sesantainya kamu aja.

Intinya ialah buat ngehindarin perasaan bersalah dan untuk berbangga sama dirimu sendiri. Kalo kamu nyoba dan masih gak bisa ngelakuin apa-apa, toh kamu tetep nyobain, kamu adalah pejuang. Banggalah.

Aktivisme: hanya kalo kamu rasa sehat.

Mungkin depresi terkait erat sama sistem kapitalis, patriarki, lingkungan yang buruk. Mungkin juga enggak. Kita gak tau kapan kita bakal ngakhirin sistem dominasi dan penghancuran ini. Depresi kita gak akan nunggu.

Kamu bisa ngabisin selama idupmu dalam demonstrasi, pertemuan publik, ikut mogok ato bagi-bagiin selembaran. Itu gak bakal nyembuhin kamu. Seringnya kamu bakal frustasi karena apa pun yang kamu lakuin, umumnya gak bakal berjalan kayak yang kamu pengenin. Itu gak akan berjalan sejauh yang kamu harepin. Kadang kamu bahkan bakal berantem ngelawan kawan-kawanmu sendiri. Kadang juga sesuatu yang baik bakal kejadian. Gimanapun, itu bakal butuh waktu dan energi. Depresi ato enggak, kegiatan itu bisa terlalu banyak nyedot waktu dan energimu pada masa tertentu dalam idupmu.

Pastinya, bakal ngebantu banget kalo punya temen yang mahamin politikmu. Mereka bisa ngasih kamu kekuatan buat ngelakuin hal-hal menakjubkan, persahabatan sejati dan komunitas yang berbagi rasa solidaritasmu. Itulah kenapa kamu gak perlu ragu: kalo kamu ngerasa perlu istirahat, beristirahatlah.

Politik anti-otoritarian ialah soal kebebasan dan kamu mesti merasa bebas atas keikutsertaanmu. Ada perbedaan besar di antara mereka yang gak mampu ngelakuin sesuatu karena kamu emang gak serius dan gak mampu ngelakuin sesuatu karena memang enggak bisa. Seorang aktivis revolusioner harus tau kalo kita mesti stabil dan rasional buat bikin keputusan yang baik. Tapi hal yang terpentingnya adalah kamu, kesehatanmu dan kesejahteraanmu. Kalo kesehatan mentalmu menderita, lupakanlah yang lain, dan fokus aja pada masalahmu sendiri. Revolusi akan menunggumu. •

(19)

Kita harus bikin pesan-pesan kita sendiri

soal harga diri dan kebanggaan pada

kemanusiaan kita. “Apa yang udah the

spectacle renggut dari kenyataan, sekarang

harus direbut lagi dari the spectacle.”

*

Aku sedang dalam masa penyembuhan dari permasalahan mental. Aku gak yakin apa namanya. Itu disebutkan dalam buku David Foster Wallace. Aku denger dia ngederita sesuatu yang mirip. Dia punya masalah di mana dia bakal keringetan walopun dipicu oleh rangsangan mental dikit aja. Dan kalo dia khawatir soal keringetan, itu cuma bakal bikin dia lebih keringetan lagi. Dan ini mungkin gak keliatan kayak masalah besar bagi orang-orang. Kita semua berkeringet; keringetan bukan masalah gawat kan? Tapi keringetannya itu bukan kayak cuman keringet dikit yang bakal keluar dan dia cuman sedikit basah, tapi dia bakalan keringetan sampe kuyup. Bayangin kalo tiap kali kamu ada di ruangan bareng seseorang dan dia bisa ngeliat kamu, kamu bakalan mulai keringetan gak kekontrol. Dan pas kamu mikir soal kamu keringetan, kamu bakalan malah makin keringetan lagi. Dan selanjutnya kamu mulai khawatir soal gimana orang bakal mandang kamu karena keringetan parah terus-terusan. Parah banget sampe susah buat komunikasi. Kamu mulai khawatir soal itu sepanjang hari, setiap hari. Saking parahnya sampe kamu mendasarkan idupmu di sekitar masalah tadi. Kamu ngindarin setiap dan semua situasi di mana kamu mungkin jadi keringetan. Kelas. Kelas jadi tekanan mental yang sulit kamu tanggung. Kejebak di sebuah ruangan selama tiga jam dan mesti deketan ama temen sekelasmu. Gak ada tempat buat ngumpet, keringet ngucur, pandangan jijik sekilas dari temen sekelas. Tiap hari. Dan lupakanlah soal bercinta. Gak cuman kamu aja seorang yang cacat mental, tapi coba bayangin misalnya ternyata entah gimana kamu berhasil bercinta. Apa yang bakal kamu lakuin pas tiba saatnya buat pelukan bareng pasanganmu? Apakah mereka bakal nanyain soal keringet itu? Kalo iya, apa yang bakal kamu jelasin? Apakah kamu bakal mulai nangis ke orang yang nyaris gak kamu kenal ini dan ngasih tau dia semua soal mimpi buruk seumur idupmu yang gak beres-beres? Wah, itu bakalan bener-bener bikin sange. Gak. Gak. Mustail.

Pertanyaannya adalah gimana cara ngatasinnya. Nah satu hal yang bisa ngebantu adalah musik dan buku-buku. Musik dan buku bisa banget ngobatin. Itu gak ngebikin

*

Kutipan ini berasal dari Guy Debord dalam bukunya The Society of the Spectacle (1967). Istilah “the spectacle” tidak diterjemahkan karena itu merupakan konsep yang tidak ditemukan padanan artinya dalam Bahasa Indonesia sebagaimana yang didefinisikan oleh Debord. Sederhananya, the spectacle adalah perwujudan nyata yang kita jumpai sehari-hari dari segala fenomena kapitalis, seperti iklan, TV, film, selebritas, dan sebagain-ya—penerjemah.

Gambar

Ilustrasi Lauren Purje yang	manis	sekali	(hlm	2,	43,	47,	60),	yang	sering	menusuk	 dunia seni elit, bisa dilihat setiap Senin di majalah seni online yang sangat bagus  Hyperallergic.com	dan di situs lamannya sendiri di laurenpurje.com

Referensi

Dokumen terkait

Itjen SKPD: Kepala SKPD Pejabat Eselon IV yg mempunyai Tusi di bidang evaluasi dan pelaporan Hambatan/Kendala dalam melaksanakan Capaian Kinerja 4. Laporan capaian

H 1 : Bagi kelompok n1 (nasabah muslim yang hanya menabung di bank syariah) suku bunga bank konvensional tidak berpengaruh positif mau- pun negatif terhadap probabilitas menabung

Dalam jurnal ini membahas tentang bagaimana memodelkan pada klaim keberapa perusahaan asuransi mengalami kebangkrutan untuk pertama kalinya, dengan frekuensi klaim

R-Square Adjusted -0,011 Nilai koefisien regresi atas pengaruh langsung antara variabel struktur modal dan variabel penghindaran pajak sebesar -0,172 menunjukkan

a) Dalam penulisan ini penulis menyarankan, bahwa perlu mempercepat terbitnya Peraturan Walikota (PERWALI) mengenai pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kompentesi kewirausahaan dan kinerja UMKM

Penerapan teknologi jalan perkotaan yang berwawasan lingkungan diaplikasikan dalam uji coba skala penuh pada jalan Cihampelas dengan meningkatkan kualitas dan

- Siswa bersama guru saling mengucapkan salam dan berdoa bersama sebelum memulai pelajaran. - Siswa diabsen oleh guru dengan berpedoman pada presensi yang tersedia.