• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DIRI WARIA DEWASA MADYA YANG SUKSES MENCAPAI TUGAS PERKEMBANGAN (STUDI KASUS) Disusun Oleh : : Retno Rahayuningsih NPM :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP DIRI WARIA DEWASA MADYA YANG SUKSES MENCAPAI TUGAS PERKEMBANGAN (STUDI KASUS) Disusun Oleh : : Retno Rahayuningsih NPM :"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP DIRI WARIA DEWASA MADYA YANG SUKSES

MENCAPAI TUGAS PERKEMBANGAN

(STUDI KASUS)

Disusun Oleh

:

Nama

: Retno Rahayuningsih

NPM

: 10599253

Jurusan

: Psikologi

Pembimbing

: Dra. M.M. Nilam Widyarini, M. Si

ABSTRAKSI

Sebagai individu maupun anggota masyarakat, waria tidak terlepas dari masalah-masalah hidupnya. Melihat kelainan yang dialaminya dan hambatan-hambatan yang dihadapinya, menyebabkan waria tidak mudah memenuhi tugas perkembangannya. Namun dalam kenyataan ada waria yang nampak berhasil (sukses) memenuhi tugas-tugas perkembangan dewasa madya dan menunjukkan fenomena yaang sangat menarik untuk diteliti. Oleh sebab itu penelitian ini bermaksud mempelajari bagaimana gambaraan pencapaian tugas perkembangan waria yang nampak berhasil memenuhi tugas-tugas perkembangan dewasa madya dan bagaimana konsep diri yang dimiliki

Adapun Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana gambaran kesuksesan subjek dalam mencapai tugas perkembangan dewasa madya, bagaimana konsep diri subjek berdasarkan ciri-ciri konsep diri positif dan negatif, dan bagaimana perkembangan konsep diri subjek berdasarkan faktor-faktor yang melatarbelakanginya.

Metode yang digunakan dalam penelitan ini adalah pendekatan kualitatif. Subjek dalam penelitian ini berjumlah satu orang waria dewasa madya yang berusia 41 tahun. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seorang waria dewasa madya dapat mencapai keenam tugas perkembangan yang dikemikakan oleh Havighurst (Monks dkk,1999) yaitu dapat menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik dan fisiologis, menyatu dengan pasangan hidup sebagai individu, membantu anak-anak remaja belajar menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan berbahagia, mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir atau pekerjaan, mengembangkan kegiatan sebagai waktu luang, mencapai tanggung jawab sosial dan warga negara secara penuh.

Sedangkan konsep diri subjek yang sukses mencapai tugas perkembangan cenderung positif.

Perkembangan konsep diri waria dewasa madya yaitu: masa kanak-kanak konsep dirinya cenderung negatif, masa remaja pada awalnya cenderung

(2)

memiliki konsep diri negatif tetapi pada masa ini mengalami perkembangan konsep diri menjadi lebih positif, pada masa dewasa konsep diri cenderung positif dimana konsep diri tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain peran orang tua, peranan faktor sosial dan proses belajar yaitu pengalaman yang dialaminya dan faktor sosial ekonomi

Selain faktor-faktor tersebut sesuai dengan teori, subjek mengalami pencapaian tugas-tugas perkembangan. Hal tersebut telah mendukung perasan positif terhadap dirinya, sehingga subjek mengembangkan konsep diri menjadi lebih positif.

Kata kunci : konsep diri, waria, tugas perkembangan dewasa madya PENDAHULUAN

Situasi masyarakat saat ini sangat memungkinkan waria (wanita pria) untuk makin terbuka dan menonjolkan identitasnya di kalangan masyarakat. Walaupun demikian masyarakat masih memandang waria sebagai fenomena ganjil, sehingga mereka cenderung sulit untuk diterima secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini membuat kehidupan waria sangat terbatas. Biasanya mereka hidup dalam kehidupan hiburan seperti ngamen, waria yang bekerja pada bidang kecantikan dan kosmetik, misalnya salon dan perawatan tubuh. Tujuan waria hanya ingin menunjukkan jati dirinya. Mereka berontak terhadap gender yang diberikan masyarakat, yaitu laki-laki dan perempuan saja sehingga mereka

berharap, bisa diterima dan tidak didiskriminasi (Oetomo 2000).

Menurut Atmojo (1986) waria adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perasaan tidak senang dengan alat kelaminnya. Perasaan tidak suka pada alat kelamin ini bukan karena alat kelaminnya terlalu kecil atau tidak aktif, sehingga sang empunya tidak mendapat kepuasan, tetapi karena ia merasa bahwa alat kelamin itu tidak pada tempatnya dan perasaan itu terus mengganggunya. Ia ingin menghilangkan ciri kelaki-lakiannya kalau ia merasa perempuan, atau ciri kewanitaannya kalau ia merasa laki-laki.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi waria ada dua faktor, yaitu: faktor bawaan dan faktor lingkungan. Pertama faktor bawaan. Menurut Atmojo (1986) mengatakan

(3)

terjadinya waria karena tendensinya sudah ada. Maksudnya kecenderungan tersebut sudah ada sejak orang tersebut dilahirkan. Faktor bawaan ini termasuk faktor genetis dan predisposisi hormonal. Dan yang kedua faktor lingkungan. Stolen (dalam Atmojo 1986) berpendapat lingkungan dapat menyebabkan seseorang menjadi waria maksudnya adalah laki-laki kewanita-wanitaan bisa terjadi karena si ibu lebih dominan dalam diri si anak, ketimbang si ayah yang pasif. Atmojo (1986) menambahkan keluarga atau lingkungan ikut menyumbang terbentuknya kelainan seksual, khususnya yang bersifat psikologis.

Sebagai manusia maupun anggota masyarakat, waria tidak terlepas dari masalah-masalah hidupnya. Permasalahan tersebut pada umumnya timbul berkaitan dengan kondisi dirinya yang dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama, masalah yang berasal dari pribadi (yang berasal dari waria sendiri), antara lain: keinginan untuk memanifestasikan perasaan dan sikap kewanitaannya dengan

berpakaian dan bersolek seperti wanita, timbulnya rasa rendah diri dan sikap antipati dari masyarakat, menyalurkan dorongan atau libido seksualnya melalui cara-cara yang mengarah pada prostitusi dan penyimpangan seksual. Kedua, masalah yang berasal dari keluarga dan masyarakat, antara lain sikap mengejek, jijik, dan dikucilkan, tidak memberikan penuh untuk ikut kegiatan sosial misalnya, dalam bergaul, olah raga, rekreasi dan kegiatan seni budaya. Adanya diskriminasi dalam menggunakan dan memanfaatkan berbagai pelayanan umum dan sosial, misalnya: WC umum dan berbagai status hukum (KTP, Pasport, Kartu Keluarga dan sebagainya), tidak memberikan kemudahan untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan pada waria yang melakukan prostitusi, dan memperoleh perlakuan yang cenderung kurang manusiawi yaitu penanganan yang berbeda dengan prostitusi oleh wanita (Depsos RI, 1993).

Konsep diri yang dimiliki manusia tidak terbentuk secara instan

(4)

melainkan dengan proses belajar sepanjang hidup manusia. Konsep diri berasal dan berkembang sejalan pertumbuhannya, Havighurst (Monks dkk, 1999) mengemukakan bahwa perjalanan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas yang harus dapat dipenuhi. Tugas ini dalam batas tertentu bersifat khas untuk setiap masa hidup seseorang. Havighurst (Monks dkk, 1999) menyebutnya sebagai tugas perkembangan (Developmental Task) yaitu tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa hidup tertentu sesuai dengan norma masyarakat dan norma kebudayaan. Santrock (2004) menguraikan periode perkembangan dewasa madya dari usia 40 sampai 60 tahun tahap ini adalah masanya mengembangkan diri dan keterlibatan sosial dan tanggung jawab, membantu generasi mendatang untuk menjadi lebih kompeten, matang secara individu, dan memperoleh serta mengelola kepuasan dalam karier.

Konsep diri (self-concept) dan harga diri (self-esteem) akan turun bila seseorang tidak dapat

melaksanakan tugas perkembangan dengan baik, karena orang tersebut akan mendapat kecaman dan celaan masyarakat sekeliling. Orang merasa sedih dan tidak bahagia sebaliknya keberhasilan dalam melaksanakan tugas perkembangan memberikan perasaan berhasil dan akhirnya perasaan bahagia (Monks, 1999). Lebih lanjut Burn (1993) mengemukakan bahwa suatu konsep diri yang positif dapat disamakan dengan evaluasi yang positif, penghargaan diri yang positif, penerimaan diri yang positif, sebaliknya konsep diri yang negatif menjadi sinonim dengan mengevaluasi diri yang negatif, membenci diri, merasa rendah diri, tiadanya perasaan menghargai dan penerimaan diri.

Melihat kelainan yang dialaminya dan hambatan-hambatan yang dihadapinya, menyebabkan waria tidak mudah memenuhi tugas perkembangannya. Seperti telah dijelaskan di muka, bahwa banyak masalah yang dihadapi namun dalam kenyataan ada waria yang nampak berhasil (sukses) memenuhi

(5)

tugas-tugas perkembangan dewasa madya dan menunjukkan fenomena yang sangat menarik untuk diteliti. Oleh sebab itu penelitian ini bermaksud mempelajari bagaimana gambaraan pencapaian tugas perkembangan waria yang nampak berhasil

memenuhi tugas-tugas perkembangan dewasa madya dan

bagaimana konsep diri yang dimiliki

TINJAUAN PUSTAKA Definisi Waria

Poerwadarminta (1989) mengartikan waria adalah laki-laki yang bertingkah laku dan berpakaian sebagai perempuan atau sebaliknya. Atmojo (1986) berpendapat bahwa waria (wanita pria) adalah laki-laki yang berdandan dan berperilaku sebagai wanita. Istilah waria diberikan bagi penderita transeksual yaitu seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan jiwanya.

Transeksual adalah individu yang secara genetik dan anatomis adalah pria atau wanita, tetapi mengekspresikan dirinya dengan pikiran dan perasaan dari jenis kelamin yang berlawanan dan berusaha mengubah jenis kelaminnya

secara legal melalui pengobatan hormonal atau pembedahan (Stuart dan Sundeen, 1998). Kartono (1989) mengatakan transeksual adalah gejala pada seseorang yang merasa dirinya memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Dan biasamya ia meminta perubahan genitalianya (alat kelaminnya) dioperasi, agar dirinya dirubah menjadi jenis kelamin yang berlawanan. Menurut Atmojo (1986) waria adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perasaan tidak senang dengan alat kelaminnya. Perasaan tidak suka pada alat kelamin ini bukan karena alat kelaminnya terlalu kecil atau tidak aktif, sehingga sang empunya tidak mendapat kepuasan, tetapi karena ia merasa bahwa alat kelamin itu tidak pada tempatnya dan Perasaan itu terus mengganggunya. Ia ingin menghilangkan ciri kelaki-lakiannya kalau ia merasa perempuan, atau ciri kewanitaannya kalau ia merasa laki-laki.

Berdasarkan pendapat tokoh-tokoh di atas, nampak bahwa ada kelompok yang mengartikan bahwa waria adalah individu yang memiliki fisik berbeda dengan jiwa atau

(6)

perilakunya (Poerwadarminta 1989; Atmojo 1986; Kartono 1985; Stuart dan Sundeen 1998) dan ada pendapat yang mengatakan bahwa waria adalah pria yang berjiwa atau berperilaku sebagai wanita (Budiman 1976; Latuihamallo 1998; Oetomo 1990). Menurut penulis pendapat yang kedua berpandangan bahwa waria secara fisik adalah pria, ini terlalu sempit. Mungkin dilandasi kenyataan bahwa sebagian memang secara fisik adalah pria namun berjiwa atau berperilaku seperti wanita. Jadi dalam penelitian ini penulis mendefinisikan waria adalah seperti yang dimaksud oleh pendapat pertama definisi yang paling komprehensif adalah individu yang secara genetik dan anatomis adalah pria atau wanita, tetapi mengekspresikan dirinya dengan pikiran dan perasaan dari jenis kelamin yang berlawanan dan berusaha mengubah jenis kelaminnya secara legal melalui pengobatan hormonal dan pembedahan.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Seseorang Menjadi Waria

Menurut Kartono (1989) sebab-sebab menjadi waria adalah

multifaktoral, mencakup gejala-gejala di dalam dan di luar pribadi (kelompok gejala yang intrinsik dan ekstrinsik) yang saling mengait. 1) Faktor Intrinsik.

2) Faktor Ekstrinsik.

Permasalahan-Permasalahan yang Dihadapi pada Waria

Sebagai manusia maupun anggota masyarakat, waria tidak terlepas dari masalah-masalah hidupnya. Permasalahan tersebut pada umumnya timbul berkaitan dengan kondisi dirinya yang dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu: masalah pribadi, masalah keluarga dan masalah sosial (Depsos RI, 1993)

Konsep Diri

Definisi Konsep Diri

Konsep diri menurut Hurlock (1978) adalah gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya. Sedangkan Pudjijogyanti (1991) mengatakan bahwa konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor

(7)

yang dipelajari dan dibentuk dari pengalaman individu dalam pengalamannya berhubungan dengan individu lain.

Konsep diri seseorang merupakan gambaran dirinya sendiri dari sudut pandangnya sendiri, artinya setiap saat individu selalu

melakukan persepsi-persepsi terhadap kejadian-kejadian yang ada

di lingkungannya. Dan kemudian menjadi penentu penting dari respon terhadap lingkungannya dengan kata lain konsep diri menentukan bagaimana memandang dan merasakan dirinya sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Rogers (Burns, 1993). Pendapat lain diungkapkan Brook (dalam Berdasar pengertian yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah gambaran seseorang tentang diri sendiri baik yang bersifat fisik, sosial maupun psikologis yang diperoleh melalui interaksinya dengan orang lain serta mencakup pandangan individu akan motivasi, kelemahan, kepandaian dan kegagalannya juga harapan-harapannya di masa akan datang.

Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Konsep Diri

Mead (dalam Ritandiyono dan Retnaningsih, 1996) menyebutkan bahwa konsep diri merupakan produk sosial, yang dibentuk melalui proses internalasasi dan organasasi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan eksplorasi individu terhadap lingkungan fisik dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang penting di sekitarnya. Oleh karena itu banyak faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang, diantaranya yaitu : a. Peran Orang Tua

b. Peranan Faktor Sosial c. Belajar

Komponen Konsep Diri

Hurlock, 1974 (dalam Ritandiyono dan Retnaningsih, 1996) mengatakan bahwa konsep diri memiliki tiga komponen utama yaitu:

a. Komponen perceptual b. Komponen konseptual c. Komponen Sikap

(8)

Jenis-Jenis Konsep Diri

James (dalam Bracken, 1996) adalah orang pertama yang mengungkapkan bahwa dalam diri seseorang terdapat banyak diri (self) yaitu social self, ideal self, dan real self. Untuk memperjelas ketiga konsep diri tersebut akan diuraikan tersebut.

a. Konsep Diri Sosial (social self) b. Konsep Diri Real (real self) c. Konsep Diri Ideal (ideal self)

Ciri-Ciri Konsep Diri

Brook dan Emmert (dalam Rakhmat, 1996) membagi konsep diri dalam ciri, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif

a. Konsep Diri Positif

1) Yakin akan kemampuan untuk mengatasi suatu masalah

2) Merasa setara dengan orang lain

3) Menerima pujian tanpa dengan rasa malu

4) Menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak

seluruhnya disetujui oleh masyarakat.

5) Mampu memperbaiki diri, karma ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha untuk mengubahnya.

b. Konsep Diri Negatif

1) Peka terhadap kritik serta tidak tahan akan kritik yang diterimanya.

2) Reponsif terhadap pujian, meskipun mungkin ia berpura-pura

menghindarinya

3) Cenderung hiperkritis terhadap orang lain. Tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. 4) Merasa tidak disenangi oleh

orang lain, sehingga sulit menciptakan kehangatan dan keakraban dengan orang lain. 5) Pesimis terhadap kompetisi

serta enggan dalam bersaing membuat kompetisi dengan orang lain.

(9)

Kesuksesan dalam Mencapai Tugas Perkembangan Dewasa Madya

Masa Dewasa Madya

Menurut Levinson (dalam Monks 1999), masa dewasa madya adalah pada usia 40 sampai 60 tahun. Dalam masa ini individu menghadapi tiga kehidupan, yaitu : pertama, penilaian kembali masa lalu. Kedua, merubah struktur kehidupan. Ketiga, proses individuasi.

Sedangkan menurut Papalia dan Olds (1998), masa dewasa madya adalah individu yang menginjak usia 40 sampai 60 tahun. Usia dewasa madya biasanya dideskripsikan sebagai usia di mana individu berasa di tengah-tengah antara anak-anak yang memasuki dewasa muda, dan orang tua yang lanjut usia (Papalia & Olds 1998).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa masa dewasa madya adalah individu yang berusia 40 sampai 60 tahun yang dalam masa tersebut menghadapi tiga kehidupan, yaitu: penilaian pada masa lalu, merubah struktur kehidupan, proses individuasi.

Tugas Perkembangan Masa Dewasa Madya

Menurut Havighurst (Monks dkk, 1999) tugas-tugas perkembangan masa dewasa madya adalah :

1) Menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik dan fisiologis.

2) Menyatu dengan pasangan hidup sebagai individu.

3) Membantu anak-anak remaja belajar menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan berbahagia.

4) Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karier atau pekerjaan.

5) Mengembangkan kegiatan sebagai waktu luang.

6) Mencapai tanggung jawab sosial dan warga Negara secara penuh.

Definisi Kesuksesan dalam Mencapai Tugas Perkembangan Dewasa Madya

Kesuksesan memiliki kata dasar sukses, Purwadarminta (1991) Dalam kamus bahasa Indonesia menjelaskan bahwa sukses berarti

(10)

berhasil. Berdasarkan definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan kesuksesan dalam mencapai tugas perkembangan dewasa madya dalam penelitian ini berarti keberhasilan mencapai ke enam tugas perkembangan yaitu: menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik dan fisiologis, menyatu dengan pasangan hidup sebagai individu, membantu anak-anak remaja belajar menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan berbahagia, mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karier atau pekerjaan, mengembangkan kegiatan sebagai waktu luang, dan mencapai tanggung jawab sosial dan warga negara secara penuh

Konsep Diri Waria Dewasa Madya yang Sukses dalam Mencapai Tugas Perkembangan Dewasa Madya

Waria merupakan orang yang mengalami perkembangan yang berbeda dengan perkembangan normal. Dengan keadaan demikian tentu mengalami hambatan yang besar untuk memenuhi tugas perkembangan sebagai orang

dewasa. Namun demikian bila hal ini dapat dicapai, tentu saja menjadi hal yang sangat menarik, terutama disisi konsep dirinya. Seperti yang diuraikan Monks (1999) Konsep diri concept) dan harga diri (self-esteem) akan turun bila seseorang tidak dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik, karena orang tersebut akan mendapat kecaman dan celaan masyarakat sekeliling. Orang merasa sedih dan tidak bahagia sebaliknya keberhasilan dalam melaksanakan tugas perkembangan memberikan perasaan berhasil dan akhirnya perasaan bahagia.

Seorang waria dewasa madya yang memiliki konsep diri negatif akan menghadapi berbagai kesulitan, baik psikologis ataupun sosial. Hurlock (1993) menguraikan bahwa individu dengan konsep diri negatif akan mengembangkan perasaan tidak mampu, rendah diri, merasa ragu dan kurang percaya diri sehingga menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk. Namun sebaliknya seorang waria dewasa madya yang memiliki konsep diri positif akan mengembangkan

(11)

sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri dan kemampuan untuk melihat dirinya secara realitis sehingga dapat menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik.

METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konsep diri pada waria dan bagaimana perkembangan konsep dirinya. Pendekatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang berbentuk studi kasus. Studi kasus menurut Stake (dalam Heru Basuki, 2006) adalah suatu bentuk penelitian (Inquiry) atau studi tentang suatu masalah yang memiliki sifat kekhususan (Partycularity), dapat dilakukan baik dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, dengan sasaran perorangan (individual) maupun kelompok, bahkan masyarakat luas.

Subjek Penelitian

Menurut Poerwandari (1998), fokus penelitian kualitatif pada kedalaman dan proses, maka penelitian kualitatif cenderung

dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Berdasarkan pendapat di atas, maka dalam penelitian ini subjek adalah seorang waria dewasa madya berusia 41 tahun

Tahap-Tahap Penelitian

Adapun tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi beberapa tahapan, yaitu :

1. Tahap Persiapan Penelitian 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Teknik Pengumpulan Data

Definisi Wawancara. Menurut Banister (dalam Poerwandari, 1998) wawancara merupakan percakapan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isi tersebut.

Observasi. Menurut Kartono (dalam Heru Basuki, 2006) observasi adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan

(12)

gejala-gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan.

Alat Bantu Pengumpul Data

Menurut Poerwandari (1998) penulis sangat berperan dalam seluruh proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendekati topik tersebut, mengumpulkan data, hingga menganalisis, menginterpretasikan dan menyimpulkan hasil penelitian (instrumen pokok). Dalam mengumpulkan data-data penulis membutuhkan alat bantu (instrumen tambahan) yaitu :

1. Pedoman wawancara 2. Pedoman Observasi 3. Alat Perekam 4. Alat tulis

Keakuratan dalam Penelitian

Kredibilitas (validitas) merupakan istilah yang pertama yang

paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif (Jorgensen dkk dalam Poerwandari, 1995). Kredibilitas menjadi istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas, dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas

penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsi setting, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang kompleks.

Hal yang dapat meningkatkan generabilitas penelitian kualitatif adalah melakukan triangulasi. Triangulasi mengacu pada upaya pengambilan sumber-sumber data berbeda untuk menjelaskan suatu hal tertentu.

Dalam Moleong (1995), triangulasi merupakan suatu bentuk teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998) triangulasi dapat dibedakan dalam empat macam yaitu:

a. Triangulasi Data b. Triangulasi Pengamat c. Triangulasi Teori d. Triangulasi Metode

Teknik Analisis Data

Menurut Marshall dan Rossman (dalam Poerwandari 1998) dalam menganalisa penelitian

(13)

kualitatif terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan. Tahapan-tahapan tersebut adalah :

1. Mengorganisasikan Data

2. Pengelompokan Berdasarkan Kategori, Tema, dan Pola Jawaban

3. Menguji Asumsi atau Permasalahan yang Ada terhadap Data

4. Mencari Alternatif Penjelasan Bagi Data

5. Menulis Hasil Penelitian

HASIL DAN ANALISIS

Hasil Wawancara dan Observasi Pelaksanaan Observasi

Wawancara pertama dilakukan pada hari Rabu, 24 Januari 2007, pukul : 15.11-14.15 bertempat di rumah Subjek. Wawancara kedua dilakukan pada hari Sabtu, 4 Maret 2007, pukul: 15.30-16.40 bertempat di salon milik subjek.

Hasil Observasi Pertama (1) Setting

Observasi pertama dilakukan di rumah subjek yang berlokasi di daerah Pondok Labu Jakarta Selatan. Subjek tinggal bersama seorang

laki-laki yang ia sebut sebagai suaminya. Rumah subjek tidak terlalu besar namun sangat nyaman karena barang-barang yang ada tersusun dengan rapi. Di rumah subjek terdapat satu kamar tidur, ruang tamu, ruang TV, satu kamar mandi, dan dapur. Disudut ruang tamu subjek terdapat perlengkapan salon. Di ruang tamu tersebut digunakan subjek untuk menerima pelanggan salonnya. Suasana di rumah tersebut sangat nyaman dan sejuk dengan cat dinding hijau muda yang lembut, susunan bantal-bantal di atas karpet yang terhampar di ruang tamu, lemari pajangan yang tertata rapi dengan koleksi kristalnya, dan ruangan yang ber AC. Terpajang pula di dinding foto subjek dengan seorang laki-laki yang ia sebut sebagai “suami” serta terdapat pot-pot tanaman yang ditaruh di teras depan rumah subjek

(2) Subjek

Pada saat observasi pertama dilakukakan subjek mengenakan kaos berwarna oranye dan celana jeans sebetis warna hitam. Subjek memiliki bentuk wajah bulat telur, dengan tinggi badan sekitar 170cm

(14)

dengan berat 75kg sehingga subjek terlihat tinggi besar. Rambut subjek ikal dan berwarna pirang dengan panjang sebahu yang dibiarkannya tergerai. Subjek memiliki warna kulit putih, dan mempunyai mata yang coklat serta alis yang tebal. Subjek terlihat ramah dan senang atas kedatangan peneliti. Secara keseluruhan penampilan subjek baik dan rapih. Saat wawancara dan diobservasi subjek merespon pertanyaan dengan baik, cermat, cepat tanggap dan sungguh-sungguh dalam menjawab seluruh pertanyaan. Subjek menjawab seluruh pertanyaan dengan suara yang jelas didengar dengan intonasi yang stabil walaupun sesekali diselingi gurauan tetapi tidak ada perubahan ekspresi wajah yang mencolok pada subjek. Sikap tubuh subjek duduk dengan santai dan terkadang tangan subjek memegang atau mengelus dengkulnya. Setelah wawancara selesai datang dua orang tetangga subjek yang bertujuan hanya ingin sekedar berbincang-bincang dengan subjek dan mereka mengatakan kalau mereka sering berinteraksi dengan subjek. Bagi mereka subjek tempat

berbagi cerita di saat senang maupun saat mereka mempunyai masalah bahkan mereka mengatakan bahwa subjek sering membantu mereka dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

Hasil Observasi Kedua (1) Setting

Observasi yang kedua dilakukan di salon cabang milik subjek yang berlokasi di daerah Cipete Jakarta Selatan. Salon subjek berukuran 3x10m yang terdiri dari dua lantai. Lantai bawah digunakan subjek untuk usaha salonnya, sedangkan lantai atas digunakan untuk tempat tinggal dua pegawainya. Tempat di mana subjek diwawancarai, yaitu di lantai bawah yang terdapat tiga ruangan dengan cat dinding berwarna putih. Ruangan depan digunakan untuk menerima pelanggan dan memotong rambut sehingga di ruangan tersebut pun terdapat perlengkapan salon seperrti kaca yang besar, gunting, sisir, dan alat-alat solon yang lainnya. Ruang tengah digunakan untuk ruang perawatan seperti facial, lulur tubuh, menicure, pedicure, creambath, dan lain-lain. Di ruangan tersebut

(15)

terdapat dua tempat untuk mencuci rambut dan satu untuk facial satu matras untuk mencuci rambut, TV, dispenser dan satu lemari es. Sedangkan ruang belakang di gunakan untuk kamar mandi.

(2) Subjek

Pada observasi kedua dilakukan di salon cabang milik subjek, subjek mengenakan celana jeans berwarna putih dan kaos warna ungu bermotif bunga dan rambut diikat dengan ikat rambut berwarna senada dengan kaos yang dikenakan subjek. Pada observasi yang kedua ini pun subjek menyambut kedatangan peneliti dengan ramah dan mempersilahkan peneliti untuk masuk serta memperkenalkan peneliti dengan pegawai di salonnya. Saat observasi berlangsung di salon subjek ada para pelanggan salonnya, dan tetangga yang hanya sekedar main tetapi hanya sebentar lalu pergi.

Bila dilihat dari hasil observasi pertama dan kedua subjek terlihat memiliki konsep diri yang positif. Yang dapat terlihat dari subjek mampu mengatasi masalah. Saat observasi berlangsung ada tetangganya yang berbagi cerita

untuk meminta solusi untuk masalah yang sedang dihadapinya, subjek merasa setara dengan orang lain. Hal ini terlihat subjek mampu cepat bersosialisai pada saat pertama kali berkenalan dengan observer. Dan observer melihat subjek tidak merasa canggung menjalin komunikasi pada para pelanggannya, subjek tidak merasa malu saat menerima pujian. Hal ini terlihat saat observer memuji ia menunjukkan sikap yang wajar yaitu dengan tersenyum dan mengucapkan terimakasih, subjek mampu memperbaiki dirinya dan mengakui kesalahan yang ia buat. Hal ini terlihat saat salah satu orang tetangganya merasa ada hal dalam dirinya yang harus dirubah ke arah lebih baik dan subjek menjawab “iyaa deh, maapin kalo gue salah tar lagi ga gitu dah gue”, subjek termasuk individu yang tidak terlalu peka terhadap kritikan. Terlihat dari dari sikap subjek saat dikritik oleh salah satu pelanggannya. Sikap subjek tidak berlebihan, terlihat wajar dengan mengatakan “kritik dan saran ditampung”, subjek tergolong individu yang kurang responsif terhadap pujian terlihat dari sikap

(16)

subjek yang wajar dan mengucapkan terimakasih saat Observer memberikan pujian saat observasi berlangsung, subjek mampu memperbaiki dirinya dan mengakui kesalahan yang ia buat. Hal ini terlihat saat salah satu orang tetangganya merasa ada hal dalam dirinya yang harus dirubah ke arah lebih baik, namun subjek cenderung hiperkritis kepada orang lain. Hal ini terlihat saat observasi berlangsung ada dua orang tetangganya berkunjung dan mereka terlibat perbincangan yang isinya mengomentari kondisi orang lain walaupun demikian Dengan kondisi subjek seorang waria tetapi subjek dapat diterima dengan baik di lingkungan serta dapat berinteraksi secara wajar. Hal ini terlihat dari interaksi subjek dengan tetangganya yang terjalin dengan baik.

Wawancara

- Rabu, tanggal 24 Januari 2007 di rumah subjek, Pondok Labu Jakarta Selatan, pukul 15.10 WIB sampai dengan pukul 14.15 WIB - Sabtu, tanggal 3 Januari 2007 di

salon cabang milik subjek, Cipete

Jakarta Selatan, pukul 15.30 WIB sampai dengan pukul 16.40 WIB

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis, selanjutnya hasil tersebut dapat dibahas sebagai berikut :

1. Gambaran kesuksesan Subjek dalam mencapai tugas perkembangan dewasa madya

Di usia subjek yang ke 41 tahun subjek menyadari dan dapat menerima adanya perubahan fisik di dalam dirinya. Subjek dapat menyatu dengan pasangannya sebagai individu. Hubungan subjek dengan pasangannya berjalan baik yang sudah terbina selama 13 tahun hingga saat ini. Subjek berperan serta dalam membantu remaja. agar dapat memiliki keterampilan sebagai bekal untuk bekerja., menyalurkan remaja yang berbakat untuk bekerja di salonnya atau salon milik temannya. Subjek telah mencapai dan mempertahankan karier dengan cara tetap menjaga kualitas, ulet, memberi pelayanan yang memuaskan, mengikuti seminar kecantikan, dan berani membuka salon cabang. Subjek mengisi waktu luangnya

(17)

dengan mengikuti kegiatan yang ada di RT-nya, atau sekadar saling berbincang-bincang dengan tetangga sekitar yang dalam hal ini subjek diposisikan sebagai tempat berbagi cerita. Subjek merasa perlu menggali potensi dirinya dan menambah pengetahuan seperti misalnya dengan membaca buku dan majalah, guna mengimbangi orang yang berbagi cerita dengannya. Dalam Mencapai tanggungjawab sosial dan warga negara secara penuh yang subjek lakukan dengan memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara seperti membayar pajak, membayar iuran-iuran, dan bersikap baik di lingkungan tempat tinggal

Dari penjelasan di atas subjek terlihat dapat melampaui tugas-tugas perkembangan dewasa madya yang diuraikan oleh Havighurst (Monk dkk,1999) yaitu menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik dan fisiologis, menyatu dengan pasangan hidup sebagai individu, membantu anak-anak remaja belajar menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan berbahagia, mencapai dan

mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karier atau pekerjaan, mengembangkan kegiatan sebagai waktu luang, mencapai tanggung jawab sosial dan warga negara secara penuh. Monks (1999) menjelaskan lebih lanjut Konsep diri concept) dan harga diri (self-esteem) akan turun bila seseorang tidak dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik, karena orang tersebut akan mendapat kecaman dan celaan masyarakat sekeliling. Orang merasa sedih dan tidak bahagia sebaliknya keberhasilan dalam melaksanakan tugas perkembangan memberikan perasaan berhasil dan akhirnya perasaan bahagia.

Seorang waria dewasa madya yang memiliki konsep diri negatif akan menghadapi berbagai kesulitan, baik psikologis ataupun sosial. Hurlock (1993) menguraikan bahwa individu dengan konsep diri negatif akan mengembangkan perasaan tidak mampu, rendah diri, merasa ragu dan kurang percaya diri sehingga menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk. Namun sebaliknya seorang waria

(18)

dewasa madya yang memiliki konsep diri positif akan mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri dan kemampuan untuk melihat dirinya secara realitis sehingga dapat menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik.

2. Gambaran Konsep diri Subjek Subjek memiliki konsep diri yang positif yaitu subjek merasa mampu mengatasi masalah karena subjek orang yang kuat dan tidak mudah putus asa. Masalah bagi subjek harus dihadapi untuk dijadikan pengalaman. Cara mengatasinya dengan merenung dan introspeksi diri terlebih dahulu baru setelah itu mengambil langkah apa yang harus dilakukan guna terselesaikannya masalah tersebut. Di lingkungannya subjekpun dianggap mampu untuk menyelesaikan masalah. Yang terlihat dari peran subjek yang dijadikan tempat berbagi cerita dan tempat bertanya jalan keluar untuk suatu masalah. Subjek merasa setara dengan orang lain, tidak merasa kesulitan saat berinteraksi dengan orang lain, subjek orang yang mudah

bergaul, pandai membawa diri, ramah dan punya banyak teman. Hal ini terlihat dari subjek mampu dengan cepat bersosialisasi pada saat pertama kali berkenalan dengan observer, dan subjek tidak merasa canggung menjalin komunikasi pada para pelanggannya yang berasal dari berbagai kalangan. Cara subjek berinteraksi dengan orang lain yaitu dengan sering berkumpul dengan tetangganya dan ikut serta dalam organisasi masyarakat yang ada di lingkungannya. Subjek tidak mengalami kesulitan saat bekerjasama dengan orang lain. Dapat menerima pujian tanpa dengan rasa malu karena subjek merasa percaya diri Dan subjek akan mengucapkan terimakasih untuk pujian yang diberikan pada dirinya. Hal ini terlihat saat observer memuji subjek, dan ia menunjukkan sikap yang wajar yaitu dengan tersenyum dan mengucapkan terimakasih Menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat Ketidak setujuan dari orang lain itu adalah hak setiap orang, tetapi hal

(19)

tersebut tidak berpengaruh pada hidup subjek karena menurut Significant others subjek tidak mengganggu dan merugikan orang lain. Menyadari adanya aspek kepribadian di dalam dirinya yang kurang disenanginya Dan merasa mampu memperbaikinya yaitu sifat egoisnya dan subjek mempunyai keinginan untuk mengubahnya. Dengan cara belajar untuk lebih mengerti keadaan orang lain Dan hal ini pernah diutarakan pada Significant others.

Subjek pun tidak terlalu peka terhadap kritik. Subjek menanggapi kritikan yang ditujukan padanya sebagai hal yang wajar. Jika kritikan tersebut bersifat membangun ia akan menerapkan dalam kehidupannya, tetapi jika kritikan tersebut hanya untuk merugikan dirinya subjek memilih untuk mengabaikannya. Manfaat kritik bagi subjek menjadi lebih baik dan sebagai pengingat disaat dia lupa. Hal ini terlihat dari sikap subjek saat dikritik oleh salah satu pelanggan di salonnya, sikap subjek tidak berlebihan, terlihat wajar dengan mengatakan “kritik dan saran ditampung”. Subjek responsif

terhadap pujian dan ia tidak berpura-pura menghindarinya. Saat menerima pujian dari orang lain, subjek merasa senang dan bersikap wajar dalam menanggapinya. Hal tersebut pula yang dikatakan Significant others bahwa subjek memperlihatkan kalau ia senang saat dipuji namun tetap bersikap wajar dan tidak berlebihan. Begitu juga saat observer memuji subjek, ia terlihat tidak berlebihan dalam menanggapinya yaitu dengan mengucapkan “terimakasih”. Subjek tidak hiperkritis terhadap orang lain, tetapi justru cenderung asertif. Saat mengkritik cenderung berkata apa adanya. Subjek sering mengomentari kelebihan dan kekurangan orang lain Numun demikian subjek tetap dapat mengakui kelebihan orang lain.

Hal tersebut terlihat saat subjek berkumpul dengan dua orang tetangganya dan mereka terlibat perbincangan yang isinya mengomentari kondisi orang lain sekaligus mengakui akan kelebihan orang tersebut. subjek Merasa disenangi dan diterima di lingkungannya dan dihargai sebagai manusia walaupun ia seorang waria. Hal ini terlihat subjek begitu santai

(20)

dan menikmati saat berinteraksi dengan tetangganya. Begitu juga sebaliknya, bahkan merekapun sudah tidak perduli kalo subjek seorang waria. Subjek orang yang optimis terhadap kompetisi. Subjek tidak gampang putus asa, pekerja keras, dan tidak takut dengan kegagalan karena menurutnya, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Hal tersebut juga dikatakan oleh Significant others bahwa subjek orang yang pantang menyerah dalam mewujudkan cita-citanya.

Dari penjelasan di atas dapat terlihat subjek memiliki konsep diri positif yang sesuai dengan ciri-ciri konsep diri positif yang diuraikan oleh Brook dan Emmert (dalam Rakhmat, 1996) yaitu: yakin akan kemampuannya untuk mengatasi suatu masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa dengan rasa malu, menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan keinginan serta perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, dan mampu memperbaiki diri karena ia sanggup

mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya

dan berusaha untuk mengubahnya. Calhoun dan Acocella (1990) mengatakan individu yang memiliki konsep diri yang positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bernacam-macam tentang dirinya sendiri, evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memilki keemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan. Sedangkan pada ciri-ciri konsep diri negatif yang diuraikan oleh Brook dan Emmert (dalam Rakhmat, 1996) subjek tidak memiliki ciri-ciri tersebut. seperti peka terhadap kritik serta tidak tahan akan kritik yang diterimanya, responsif terhadap pujian, meskipun mungkin berpura-pura menghindarinya, tidak hiperkritis terhadap orang lain, cenderung merasa tidak disenangi oleh orang lain dan merasa tidak diperhatikan sehingga sulit

(21)

menciptakan kehangatan dan keakraban dengan orang lain, pesimis terhadap kompetisi serta enggan dalam bersaing membuat prestasi dengan orang lain, tidak hiperkritis terhadap orang lain

(sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada

kelebihan orang lain). Subjek bahkan cenderung asertif, perilaku yang dibutuhkan dalam membangun konsep diri positif. Hal tersebut sesuai dengan yang di kemukakan oleh Lazarus (Higgins 1982), istilah asertif bisa di artikan ”tegas”, jika orang terbiasa tidak asertif berakibat terhadap konsep dirinya. Secara pelan tetapi pasti, hambatan dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan ini akan mengikis konsep diri orang yang bersangkutan. Di sisi lain jika seseorang memiliki perilaku asertif maka harga dirinya meningkat dan konsep diri didukung. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dengan kemampuan asertifnya subjek memiliki konsep diri yang positif.

3. Perkembangan Konsep Diri subjek Berdasarkan

Faktor-faktor yang Melatar belakanginya

Perkembangan konsep diri subjek saat masih kanak-kanak cenderung negatif. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhi di antaranya peran orang tua yaitu ayah. Dalam pemenuham kebutuhan fisik subjek merasa cukup, tetapi Pemenuhan kebutuhan psikologis subjek merasa kurang tercukupi. Menurutnya ayahnya tidak bisa menerima keadaan dirinya dan menentang keras kelainan yang ada pada dirinya, karena ayahnya tetap menginginkan ia menjadi laki-laki seutuhnya dan subjek merasa tertekan. Ayahnya juga kurang menghargai subjek sehingga subjek jarang dimintai pendapat. Meskipun begitu ayah subjek tetap mencintai dan mendukung subjek sebagai anak yaitu dengan tetap memberikan haknya sebagai anak tetapi tidak berikut dengan kelainannya. Sedangkan peran ibu, lebih bisa menerima dan mencintai subjek apa adanya dan dapat menjadi pelindung yang baik bagi subjek

(22)

Dengan kondisi keluarga seperti yang telah dijelaskan di atas maka hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coopersmit (Pudjijogyanti, 1991) bahwa ketika masih kecil, orang penting bagi seorang anak adalah orang tua dan saudara-saudaranya yang tinggal serumah. Merekalah yang pertama kali menanggapi perilaku anak, sehingga secara perlahan-lahan terbentuklah konsep diri anak. kondisi keluarga yang buruk dapat menyebabkan konsep diri yang rendah pada anak. Yang dimaksud kondisi keluarga yang buruk yaitu tidak adanya pengertian antara orang tua dan anak, tidak adanya keserasian antara ayah dan ibu. Di samping itu, konsep diri yang rendah dapat pula disebabkan tuntutan orang tua terhadap perilaku anak.

Peran sosial dalam pembentukan konsep dirinya sebagai berikut: Interaksi subjek dengan temannya saat subjek kanak-kanak biasa saja, tetapi subjek cenderung lebih suka berteman dengan wanita atau subjek memilih bermain sendiri karena teman-temannya memberi label “banci” pada subjek sehingga

subjek merasa rendah diri. Status sosial ekonomi subjek tergolong cukup .

Kondisi tersebut sesuai dengan yang diuraikan Hurlock (1993) yang mengatakan hampir semua anak memperoleh nama julukan tatkala mereka mulai bergaul dengan teman sebaya. Julukan seringkali mencerminkan penilaian dari anak lain, yang mungkin positif, mungkin negatif, tergantung pada bagaimana anggota kelompok sosial menilai anak tersebut. Jika positif akan

mempunyai pengaruh menguntungkan pada konsep diri

anak. Tetapi jika negatif atau suatu bentuk ejekan pengaruhnya pada konsep diri anak akan sangat merugikan

Konsep diri subjek saat Remaja pada awalnya, cenderung negatif. Hal ini disebabkan kondisi yang tidak jauh berbeda saat subjek kanak-kanak yaitu Ayahnya tetap bersikap keras menentang kelainan subjek. Namun subjek tetap dicintai dan diterima sebagai anak. Sedangkan peran ibu di masa remaja tidak ada, karena Ibunya meninggal dunia. Sejak saat itu Ia tinggal

(23)

bersama kakak perempuannya yaang berperan sebagai pengganti figur ibu bagi subjek. Perlakuan sang kakakpun menentang kelainan yang ada pada subjek

Peran sosial Saat Remaja Saat subjek duduk di bangku SMP, subjek kurang suka bergaul karena teman-temannya memberi label “banci” pada subjek sehingga subjek merasa rendah diri. Sedangkan saat subjek duduk di bangku SMA subjek merasa mulai berani menunjukkan keadaan dirinya apa adanya. Dengan demikian dalam berinteraksi dengan teman-temannya pun mulai dapat berjalan dengan baik. Didukung dengan Status sosial ekonomi yang tergolong cukup, subjek pada masa remaja ini mengalami perkembangan konsep diri menjadi lebih positif.

Konsep diri subjek masa Dewasa cenderung positif. Hal ini disebabkan seiring berjalannya waktu subjek berhasil mandiri secara sosial ekonomi. Selain memiliki salon subjek juga membuka usaha lain yaitu sebuah cafe di kawasan semanggi, rental mobil, dan wartel. Subjekpun berperan membantu ekonomi keluarganya. Dengan

keadaan tersebut Ayahnya mulai dapat menerima keadaan subjek apa adanya. Menghargai subjek walaupun subjek seorang waria. Demikian pula kakak perempuan subjek dan seluruh keluarga besar sudah mulai mengerti, menerima keputusan subjek menjadi waria dan menghargainya. Salah satu bentuk kecil penghargaan terhadap subjek yaitu semua keponakan subjek mengganti panggilan dari “Om” menjadi “tante”

Peran Sosial Pada masa dewasa ini yaitu subjek memiliki banyak teman dan pandai bergaul hingga saat ini. Interaksi subjek dengan lingkungan sekitar berjalan baik, di manapun subjek tinggal sejauh ini subjek dapat menjaga hubungan baik dengan para tetangganya. Subjek mulai bekerja sejak usia 21 tahun hingga kini. Interaksi subjek di lingkungan pekerjaannya berjalan dengan baik. Hingga dewasa ini status sosial ekonomi subjek tergolong cukup

Kondisi tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Pudjijogyanti (1991) yang mengatakan Konsep diri terbentuk karena adanya interaksi

(24)

seseorang dengan orang-orang di sekitarnya. Apa yang dipersepsikan seseorang tentang dirinya, tidak terlepas dari struktur, peran dan status sosial yang di sandang orang tersebut. Adanya struktur, peran dan status sosial yang menyertai seluruh perilaku individu oleh faktor sosial. Adanya pengaruh faktor sosial terhadap perkembangan konsep diri individu telah dibuktikan oleh Rosenberg (dalam Pudjijogyanti, 1991), dijelaskan bahwa perkembangan konsep diri tidak terlepas dari pengaruh status sosial, agama,dan ras. Dijelaskan bahwa individu yang berstatus sosial tinggi akan mempunyai konsep diri yang lebih positif dibandingkan individu yang berstatus sosial yang rendah.

Hurlock (1993) menambahkan bahwa individu yang

memiliki konsep diri positif akan mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri. Harga diri dan kemampuan untuk melihat dirinya secara realistis sehingga dapat menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik. Calhoun dan Acocella (1990) mengatakan individu yang memiliki konsep diri yang positif

adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memilki keemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan.

Faktor belajar yang mempengaruhi konsep diri subjek adalah Pengalaman masa lalu yang membekas yang memberikan kesan positif bagi hidup subjek Saat subjek mengenal secara dekat seorang laki-laki yang berperan sebagai penolong hidupnya, mendukung subjek secara moril dan materiil. Sehingga subjek bisa seperti sekarang ini. Sedangkan pengalaman masa lalu yang membekas yang berkesan negatif bagi hidup subjek Saat subjek dikecewakan dan dibohongi oleh keluarganya sendiri yang sudah ia tolong. Pandangan subjek terhadap masa lalunya dijadikan subjek

(25)

sebagai pengalaman yang dapat diambil hikmahnya. Masa lalu berpengaruh pada kehidupan subjek di kehidupan sekarang yang menjadikan subjek untuk bisa lebih belajar hati-hati.

Subjek dapat menerima dan memahami berbagai kenyataan tentang dirinya, menerima pengalaman yang telah dialami oleh subjek. Subjek dapat menampung seluruh pengalaman tentang dirinya, sehingga hasil evaluasi subjek mengarah ke arah yang lebih positif. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Pudjijogyanti (1991) bahwa konsep diri bukan merupakan faktor yang

dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan dibentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan orang lain. Lebih lanjut Burn (1993) mengemukakan bahwa suatu konsep diri yang positif dapat disamakan dengan evaluasi yang positif, penghargaan diri yang positif, penerimaan diri yang positif, sebaliknya konsep diri yang negatif menjadi sinonim dengan mengevaluasi diri yang negatif, membenci diri, merasa rendah diri, tiadanya perasaan menghargai dan penerimaan diri

DAFTAR PUSTAKA

Atmojo, K. (1986). Kami bukan lelaki-sebuah sketsa kehidupan kaum waria. Jakarta: PT. Temprin.

Burns, R.B. Edi (Alih Bahasa). (1993). Konsep diri teori pengukuran, perkembangan dan perilaku. Jakarta: Arcan.

Calhoun, F. & Acocella, Joan Ross. (1990). Psikologi tentang penyesuaian dan hubungan kemanusiaan (edisi ketiga). Semarang: IKIP Semarang Press Departement Sosial RI. (1993). “Permasalahan waria” Risalah Diskusi

Pane-Jakarta. Depsos RI.

(26)

Higgins, J.M. (1982). Human relations concept and skills. New York: Random House, Inc.

Monks, F.J. Knoers, A.M..P & Haditono, S.R. (1999). Psikologi perkembangan Yogyakarta: Gajah Mada University Perss.

Pudjijoygyanti, C.R. (1991). Konsep diri dalam pendidikan. Jakarta: Arcan.

Rahmat, J. (1996). Psikologi komunikasi (Edisi Revisi). Bandung: PT. Remaja Rogdakarya.

Ritandiyono dan Retnaningsih. (1996). Aktualisasi diri (Seri Dikat Kuliah). Jakarta: Gunadarma.

Referensi

Dokumen terkait

Bagi kelompok ternak yang mendapatkan bantuan ternak sapi, lebih baik diberi latihan yang lebih intensif serta serius dalam melaksanakan, jadi tidak ada perkataan

This use case looks at the suitability of WaterML 2.0 encoding, delivered using SOS, for incremental feeds of hydrological (time series) data, in real time, from known data sources,

pada saat bekerja, subjek mudah lelah untuk menyelesaikan tugas pekerjaan yang.

mahasiswa UMM sebagai media menuangkan kreatifitas dalam bidang tulis menulis... Mendaftar

Data Flow Diagram atau yang sering disebut Bubble Chart atau diagram menurut Budiharto (2006:1), model proses, digram alur kerja atau model fungsi adalah alat pembuatan model

Hasil menunjukkan bahwa sikap terhadap perubahan, uang, daya saing, kewirausahaan, dukungan lingkungan, hambatan lingkungan dan lingkungan sekolah memiliki hubungan

The error and change of error are multiplied by gains that are set according to the distance between adjacent peak values of the fuzzy subsets (i.e. Ej and Ej+1), and the

Berdasarkan surat nomor 02/S.PNT.2/PJL-LU/P2BJ-BPKAD/VIII/2012 tentang Penetapan Pemenang Pelelangan Umum Paket Pekerjaan Pengadaan Jasa Asuransi Pada Penutupan