• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN

1. Penentuan Suhu Pengeringan

Gambar 6. menampilkan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, 180°C, 190°C, dan 200°C dengan suhu outlet pengering dijaga konstan sebesar 82°C yang dibandingkan dengan susu susu skimbubuk awal. Berdasarkan hasil pengeringan susu skim rekonstitusi pada kelima suhu inlet pengering tersebut, diperoleh susu skim rekonstitusi bubuk dengan penampakan yang relatif sama. Warna susu skim rekonstitusi bubuk pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, 180°C dan warna susu skim bubuk awal satu sama lain tidak dapat dibedakan dengan jelas secara visual. Perbedaan warna susu skim rekonstitusi bubuk mulai dapat diamati dengan jelas pada susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan dengan percobaan suhu inlet pengering sebesar 190°C dan 200°C, yaitu warna susu skim rekonstitusi bubuk yang dihasilkan relatif lebih cokelat dan jumlah susu bubuk yang diperoleh pun berturut–turut semakin kecil. Menurut Wiratakusumah et al. (1992), warna produk yang lebih cokelat pada suhu pengeringan yang lebih tinggi disebabkan oleh reaksi pencokelatan non–enzimatis yang lebih cepat terjadi. Jumlah susu skim bubuk yang semakin rendah pada percobaan suhu inlet pengering 190°C dan 200°C disebabkan oleh terbentuknya partikel susu bubuk yang terlalu besar pada saat pengeringan berlangsung sehingga tidak terbawa oleh aliran udara pembawa dan terkumpul di dasar chamber pengering. Selain itu pada pengeringan susu skim rekonstitusi dengan suhu inlet pengering 190°C dan 200°C juga dihasilkan partikel susu bubuk yang sebagian besar masih dalam

Gambar 6. Penampakan susu skim rekonstitusi bubuk pada percobaan lima suhu inlet pengering dan susu skim bubuk awal.

(2)

keadaan basah sehingga menempel pada dinding chamber pengering. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, maka tiga suhu inlet pengeringan yang dipilih dan akan digunakan pada penelitian utama adalah 160°C, 170°C dan 180°C. Hasil analisis mutu susu skim bubuk rekonstitusi (kadar air, tingkat kelarutan dan warna) pada suhu pengeringan terpilih dan susu skim bubuk awal dijelaskan di bawah ini.

a. Kelarutan

Gambar 7. Kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C serta kelarutan susu skim awal. Error bar adalah standard error of mean (SEM) dari 3 ulangan perlakuan.

Kelarutan merupakan parameter fisik utama yang dijadikan penentu kualitas susu bubuk. Semakin tinggi kelarutan maka semakin baik kualitasnya karena jumlah protein yang rusak akibat proses pengolahan semakin kecil. Protein akan menyumbangkan ketidaklarutan jika suhu pengeringan terlalu tinggi pada kadar air yang rendah (Walstra,1999) yaitu terjadi pada saat rentang kadar air 10% hingga 30% (Chandan, 2006). Menurut Chandan (2006) material tidak larut yang terbentuk selama pengeringan semprot berasal dari kompleks whey protein ( –lactoglobulin), kasein dan laktosa dalam berbagai perbandingan, sedangkan menurut Robinson (1999b), material tidak larut selama pengeringan semprot hanya terbentuk dari kasein yang terkogulasi akibat denaturasi dan sejumlah kecil lemak dan kompleks dari mineral akibat pemanasan berlebih, sedangkan denaturasi whey protein tidak mempengaruhi kelarutan susu bubuk. Batas maksimal fraksi susu bubuk yang tidak terlarut pada susu bubuk yang berkualitas baik adalah sebesar 0,5% atau memiliki kelarutan minimal sebesar 99,5% (Widodo, 2003 dan American Dry Milk Institute (ADMI), 1971).

Gambar 7. menampilkan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk pada tiga suhu pengeringan terpilih beserta kelarutan susu skim awal. Berdasarkan hasil analisis kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, diperoleh nilai kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk sebesar 97,1%. Kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk menurun pada suhu inlet pengering 170°C menjadi 96,4%. Pada suhu inlet pengering 180°C kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk yang dihasilkan turun lagi menjadi 95,8%. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat diketahui bahwa terjadi tren penurunan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk dengan semakin tingginya suhu inlet pengering yang digunakan. Hasil tersebut sejalan dengan hasil yang diperoleh Robinson (1999b), yaitu kelarutan susu skim bubuk akan

85.0 90.0 95.0 100.0 160 170 180 Awal Kelarutan  (%) Suhu Inlet Pengering (°C)

(3)

menurun dari 99,5% pada suhu inlet pengering 187°C menjadi 99,0% pada suhu inlet pengering 195°C dan turun lagi menjadi 98,5% pada suhu inlet pengering 205°C dengan suhu outlet pengering dijaga konstan sebesar 90°C. Pada penelitian ini, kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil percobaan suhu inlet pengering 160°C tidak berbeda nyata dengan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil perlcobaan suhu inlet pengering 170°C karena error bar dari kedua percobaan tersebut saling bersinggungan namun berbeda nyata dengan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan 180°C karena error bar dari kedua percobaan tersebut tidak saling bersinggungan. Selanjutnya dengan cara yang sama, dapat diketahui bahwa kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan 180°C berbeda nyata dengan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pecobaan suhu inlet pengering 160°C namun tidak berbeda nyata dengan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan 170°C. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui penggunaan suhu inlet pengering yang semakin tinggi akan menurunkan tingkat kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk yang dihasilkan. Perbedaan tingkat kelarutan susu bubuk yang signifikan terjadi ketika perbedaan suhu inlet mencapai 20°C.

Pengeringan ulang susu skim bubuk hasil rekonstitusi dengan mengunakan metode pengeringan semprot dapat menurunkan tingkat kelarutannya. Pada penelitian ini, percobaan pengeringan ulang susu skim bubuk dengan rentang suhu inlet pengering 160°C–180°C dapat menurunkan kelarutannya hingga 4% dengan kelarutan susu skim bubuk awal sebesar 99,8%. Kelarutan susu skim bubuk yang diperoleh pada percobaan pengeringan dengan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C berbeda nyata dengan kelarutan susu skim bubuk awal. Hal tersebut terjadi karena susu skim tersebut menerima perlakuan panas kembali selama proses pengeringan semprot berlangsung sehingga material tidak larut yang terbentuk akibat panas menjadi lebih banyak.

Selain proses pengeringan semprot ulang, perlakuan pasteurisasi yang dilakukan pada penelitian ini mungkin turut mempengaruhi penurunan kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk pada masing–masing percobaan pengeringan karena kombinasi waktu dan suhu yang lebih tinggi yaitu 100°C selama 15 menit. Suhu pasteurisasi yang lebih tinggi dari 80°C dan residence time yang lebih lama (Spreer, 1995), atau pada suhu 85°C hingga 100°C (Walstra, 1999) menyebabkan terbentuknya senyawa tidak terlarut yang berasal dari fraksi protein yang sama dengan yang dihasilkan pada pengeringan semprot. Akan tetapi menurut Fox (1992), misel kasein yang membentuk kompleks dengan whey protein tersebut tidak mengalami kehilangan integritas strukturalnya sehingga tidak terjadi koagulasi kasein yang selanjutnya dapat membentuk endapan jika suhu proses tidak melebihi 110°C. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kompleks whey protein–kasein yang terjadi pada suhu pemanasan hingga 100°C termasuk pengeringan semprot ulang sebenarnya tidak banyak mempengaruhi kelarutan susu bubuk atau dengan kata lain hanya sebagian kecil senyawa tidak terlarut yang terbentuk akibat pembentukan kompleks tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk yang masih tinggi (lebih dari 95% kelarutan) meskipun telah mengalami perlakuan pasteurisasi dan pengeringan ulang.

b. Kadar Air

Gambar 8. Menampilkan kadar air susu skim rekostitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada percobaan suhu inlet pengering sebesar 160°C, 170°C, dan 180°C. Berdasarkan hasil analisis kadar air susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot diperoleh nilai kadar air susu skim rekonstitusi bubuk pada percobaan suhu inlet pengering sebesar 160°C, 170°C, dan 180°C berturut– turut sebesar 4,8%; 5,6%; dan 5,6% sedangkan kadar air susu skim awal yang diperoleh adalah

(4)

sebesar 5,4%. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa kadar air yang paling rendah dimilliki oleh susu skim rekonstitusi bubuk hasil percobaan suhu inlet pengering 160°C. Kadar air

Gambar 8. Kadar air susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C. Error bar adalah standard error of mean (SEM) dari 3 ulangan perlakuan.

susu skim bubuk hasil percobaan suhu inlet pengering 160°C berbeda nyata dengan kadar air susu skim bubuk hasil percobaan suhu inlet pengering 170°C, 180°C maupun dengan kadar air susu skim bubuk awal karena error bar kadar air dari tidak bersinggungan sedangkan kadar air susu skim bubuk hasil percobaan suhu inlet pengeringan 170°C, 180°C, dan kadar air susu skim awal satu sama lain tidak berbeda secara nyata. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui perubahan kadar air terjadi secara signifikan antara perlakuan suhu inlet pengering 160°C dengan perlakuan suhu inlet pengering 170°C namun perubahan kadar air tidak signifikan antara perlakuan suhu inlet pengering 170°C dengan perlakuan suhu inlet pengering 180°C. Kadar air produk yang meningkat pada suhu pengeringan yang lebih tinggi disebabkan oleh permukaan lebih cepat kering dan bersifat tidak melewatkan air (permeabel) sehingga air lebih sulit untuk keluar dari bahan (Wiratakusumah, 1992).

Kadar air susu skim bubuk yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Shrestha (2008), yaitu sebesar 1,5% pada kombinasi suhu inlet–outlet pengering berturut–turut sebesar 180°C dan 80°C. Kadar air yang diperoleh pada percobaan suhu inlet pengering 170°C, 180°C, dan kadar air susu skim bubuk awal bahkan lebih besar dari kadar air yang disyaratkan SNI yaitu maksimum sebesar 5% (BSN, 2010). Kadar air yang lebih tinggi pada susu skim awal mungkin disebabkan oleh penyerapan kelembaban yang terjadi selama penyimpanan sedangkan kadar air yang lebih tinggi pada ketiga perlakuan dibandingkan dengan hasil penelitian Shrestha (2008) mungkin disebabkan oleh tingginya kelembaban udara ambien di dalam laboratorium percobaan (96%–98%). Kelembaban ambien yang tinggi akan mempengaruhi kadar air susu skim bubuk yang dihasilkan karena humiditas atau kelembaban udara ambien berhubungan langsung dengan kapasitas pengeringan. Kelembaban udara hingga 100% mencerminkan udara jenuh uap air sehingga tidak akan terjadi pengeringan, sedangkan kelembaban udara yang semakin kecil akan memperbesar potensial pengeringan (Wiratakusumah et al., 1992).

0.0 2.0 4.0 6.0 160 170 180 Awal Kadar  Air  (%) Suhu inlet Pengering (°C)

(5)

G Kelemb setelah penge 1955) sehing sekitarnya te kemasan. Pen air susu bubu dengan melak menempatkan mendapatkan

c. Warna

Gambar 9. Nila 170°C, dan 180° Hasil a tertinggi dimi 160°C yaitu s pengeringan d pada susu ski Nilai paramet nyata dengan namun berbe pengering 18 pengering 170 suhu inlet pen bubuk cender Perbedaan nil Akan tetapi n berbeda nyata Nilai k penelitian Lic 40 50 60 Pa ra met e L baban ambien eringan. Susu gga kondisi ter rutama saat d nyerapan kelem uk meningkat. kukan proses n bahan pada s kadar air susu

a

ai parameter (l) h °C. Error bar ad

analisis warna y iliki oleh susu sebesar 62,02. dengan suhu in im bubuk hasi ter (L) yang d n nilai paramet da nyata deng 0°C. Akan tet 0°C tidak berb ngering 180°C. rung menurun lai parameter ( nilai parameter a dibandingkan kecerahan yang cari dan Potter

160 yang tinggi di bubuk hasil p rsebut menyeb dilakukan pem mbaban oleh su Akan tetapi k pengeringan l suatu papan be u bubuk sebesar hasil analisis wa dalah standard er yang ditampilk u skim rekonst Selanjutnya ke nlet pengering il pengeringan diperoleh dari h ter (L) yang d gan nilai param

tapi nilai para beda nyata deng

. Berdasarkan h seiring denga (L) mulai sign (L) dari ketiga n dengan nilai p g diperoleh pa (1970b) yaitu S

i dalam lab jug pengeringan se babkan susu b mindahan susu usu bubuk terse kadar air susu b lanjut (afterdry ergerak yang d r 2,5–3% (Wid

arna susu skim b

rror of mean (SE

kan oleh Gamb titusi bubuk ha ecerahan susu 170°C yaitu se n dengan suhu hasil percobaa diperoleh dari h meter (L) yan ameter (L) yan gan nilai param hasil tersebut d an meningkatn nifikan pada pe a percobaan ter parameter (L) s ada penelitian sebesar 75,5 p 170 uhu Inlet Peng ga mempengar emprot bersifa bubuk menyer bubuk dari c ebut pada akhi bubuk sebenar yer), yaitu pro dibawahnya di dodo, 2003).

ubuk pada perco EM) dari 2 ulang

bar 9. menunju asil pengeringa skim rekonstit ebesar 60,72 d inlet pengerin an suhu inlet p hasil percobaa g diperoleh da ng diperoleh d meter (L) yang dapat diketahui nya suhu inlet erbedaan suhu rsebut masih le susu skim awa

ini lebih rend pada susu skim

180

gering (°C)

ruhi kadar air s at sangat higro

rap kelembaba chamber peng irnya akan men rnya dapat ditu oses pengering ihembuskan ud

obaan suhu inlet gan perlakuan.

ukan bahwa nil an pada suhu tusi bubuk men dan kecerahann

ng 180°C yaitu pengering 160°

an suhu inlet p ari hasil perco dari hasil perco diperoleh dari i bahwa tingka pengeringan y inlet pengerin ebih tinggi dan al, yaitu sebesar dah dibandingk m rekonstitusi h Aw

susu skim bubu oskopis (Coulte an dari udara gering ke dala nyebabkan kad urunkan kemb gan dengan ca dara panas untu

t pengering 160° lai parameter ( inlet pengerin nurun pada ha nya menurun la u sebesar 60,5 °C tidak berbe pengering 170° obaan suhu in obaan suhu in i hasil percoba at kecerahan su yang digunaka ng sebesar 20° n masing–masin r 5,60. kan dengan ha hasil pengering wal uk er, di am dar ali ara uk °C, (L) ng asil agi 59. eda °C let let aan usu an. °C. ng asil gan

(6)

semprot ulang yaitu diperole dan 80°C. H standar kualit Gambar 10. N 160°C, 170°C, Berdas bubuk hasil p yaitu sebesar sedangkan pa parameter (a) 160°C, 170°C Tanda (+) me merah, yaitu s diperoleh dar yang diperole diperoleh dar diperoleh dar parameter (a) parameter (a dibandingkan dapat disimpu meningkatkan Nilai p LiCari dan Po pengeringan d –2,8 pada sus pengering 80 pengeringan s bahan baku k positif. 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 Pa ram e te a g dengan suhu eh nilai (L) seb Hal tersebut m

tas susu skim b

ilai parameter ( , dan 180°C. Err

sarkan hasil an pengeringan de +0,70. Nilai p ada suhu inle hasil analisis w C, dan 180°C m enunjukan bah semakin tinggi i hasil percoba eh dari hasil ri hasil percob ri hasil perco ) yang diperol a) yang dipero n dengan nilai ulkan pengerin n intensitas wa parameter (a) y otter (1970b) y dengan suhu ou su skim bubuk 0°C. Hasil ke semprot lebih karena susu skim

160

u outlet penge besar 98,4 pada mungkin lebih

bubuk yang dig

a) hasil analisis

ror bar adalah s

nalisis warna s engan suhu inl parameter (a) m et pengering 1 warna pada su masing–masing hwa warna susu i nilainya sema aan suhu inlet

percobaan suh baan suhu inl obaan suhu in leh dari hasil oleh dari keti parameter (a) ngan ulang sus arna merah dari yang diperoleh yang mempero utlet pengering k hasil pengeri edua penelitia cenderung ber m awal pada p ering sebesar 7 a kombinasi su disebabkan ol gunakan. s warna susu sk tandard error of

susu skim bubu let pengering 1 meningkat pad 180°C tidak m usu skim bubuk

g menunjukkan u skim bubuk akin mengarah pengering 160 uhu inlet peng et pengering nlet pengering percobaan suh iga percobaan susu skim bub su skim bubuk i susu skim aw h pada peneliti oleh nilai param

g 79,4°C dan h ingan dengan an tersebut m rwarna hijau. H penelitian ini pu 170 Suhu inlet Pen 79,4°C dan ha uhu inlet–outle leh perbedaan

kim bubuk pad

f mean (SEM) d uk untuk param 160°C memilik a suhu inlet pe mengalami pe k hasil pengerin n nilai paramet yang dihasilka h pada warna m 0°C berbeda ny gering 170°C 180°C sedang g 170°C tidak hu inlet penge n tersebut leb buk awal, yaitu k dengan meto wal.

an ini berbeda meter (a) sebes hasil penelitian suhu inlet pen menunjukan ba Hal ini mungk un memiliki ni 180 ngering (°C) sil penelitian ( et berturut–turu sumber baha da percobaan suh ari 2 ulangan pe

meter (a), dike ki nilai parame engering 170°C eningkatan lag

ngan pada suhu ter (a) positif (+ an lebih meng merah. Nilai pa yata dengan ni dan nilai para gkan nilai para k berbeda nya ering 180°C. A bih tinggi dan

u sebesar +0,3 ode pengeringa a tanda dengan sar –1.15 pada n (Shrestha, 200 ngering 180°C ahwa susu sk kin disebabkan ilai parameter Aw (Shrestha, 200 ut sebesar 180° an baku maupu hu inlet pengeri erlakuan.

etahui susu ski eter (a) terend C menjadi +0, gi (+0,77). Ni u inlet pengerin +) (Gambar 10 arah pada war arameter (a) yan

lai parameter ( ameter (a) yan ameter (a) yan ata dengan ni Akan tetapi ni n berbeda nya 1. Maka dari i an semprot dap n hasil peneliti a susu skim ha 08) yaitu sebes dan suhu out im bubuk ha n oleh perbeda (a) yang betan wal 08) °C un ing im dah 77 lai ng 0.). rna ng (a) ng ng lai lai ata itu pat ian asil sar let asil aan nda

(7)

Nilai p suhu inlet pe (Gambar 11.) dengan suhu warna susu s parameter (b) intensitas war Gambar 11. N 160°c, 170°c, d 160°C ke sus bubuk hasil p ketiga percob parameter (b) pengeringan u awal. Nilai p penelitian (Sh inlet pengerin dengan hasil pengering 79 mengandung Berdas 160°C, 170°C pengeringan pengerigan. P sebesar 20°C pada perbeda ulang susu sk Susu s meskipun nil Parameter L a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Param e te b parameter (b) engering 160°C ). Parameter (b inlet pengering kim bubuk ya ) warna susu b rna kuning men

Nilai parameter ( dan 180°c. Erro su skim bubuk pengeringan den baan tersebut m ) susu skim b ulang susu sk parameter (b) y hrestha, 2008), ng 180°C dan penelitian Li ,4°C. Menurut karoten sehing sarkan hasil an C, dan 180°C ulang susu s Perubahan nilai , sedangkan pe aan suhu inlet kim bubuk hany skim bubuk ha ai parameter ( adalah parame 160 yang diperoleh C, 170°C, dan b) hasil analisi g 160°C, 170° ang dihasilkan bubuk semakin ningkat dari su (b) hasil analisi

or bar adalah sta

k hasil penger ngan suhu inle masing–masing bubuk awal, ya im bubuk tida yang diperoleh yaitu sebesar n suhu outlet cari dan Potte t (Ohiokpehai, gga nilai param nalisis warna C yang diwak kim rekonstitu i parameter (L) erubahan nilai hingga 20°C. ya berpengaruh asil pengeringa (L)–nya lebih eter yang meng 17 Suhu h pada susu s n 180°C bertu is warna pada C, dan 180°C lebih mengara n mengarah p usu skim bubuk

s warna susu sk ndard error of m ringan 170°C, et pengering 18 g tidak berbeda aitu sebesar + ak mempengar pada penelitia +7,8 pada susu pengering 80 er (1970b) ya , 2003), susu meter (b) seharu susu bubuk h kili oleh param

usi telah men ) dan (a) terjad parameter (a) . Hasil tersebu h signifikan ter an semprot ula tinggi diband ggambarkan tin 0 u inlet Penger skim bubuk ha urut–turut sebe susu skim bub masing–masin ah pada warna ada warna kun k hasil pengeri

kim bubuk pada

mean (SEM) dar

akan tetapi k 80°C. Nilai par a nyata antar p +5,04. Maka d ruhi intensitas an ini sedikit le u skim bubuk h °C, akan tetap itu sebesar –4 sapi pada dasa usnya bertanda asil pengering meter L, a, d nurunkan kual di secara signif tidak mengala ut menunjukan rhadap paramet ang memiliki ingkan denga ngkat keceraha 180 ing (°C) asil pengeringa esar +5,49; +6 buk hasil peng ng bernilai pos a kuning. Sem ning sehingga ingan suhu inl

a percobaan suh i 2 ulangan perla

kembali turun rameter (b) yan perlakuan maup dari itu dapat d warna kuning ebih rendah dib hasil pengering pi berkebalika 4,25 pada den arnya berwarn a (+). gan pada suhu

an b, dapat d litas warna su fikan pada perb ami perbedaan n bahwa peng ter (L) dan (a). penampakan y penampakan an dari warna s Awal an semprot pa 6,40; dan +5, geringan sempr sitif (+) sehing makin tinggi ni dapat diketah let pengering hu inlet pengeri akuan.

pada susu ski ng diperoleh da pun dengan ni diketahui bahw g dari susu ski

bandingkan ha gan dengan suh an tanda deng ngan suhu out na kuning kare u inlet pengerin diketahui bahw usu bubuk ha bedaan suhu in n yang signifik geringan sempr .

yang lebih gel susu skim aw susu bubuk yan

ada 98 rot gga lai hui ing im ari lai wa im asil hu gan let ena ng wa asil let kan rot lap wal. ng

(8)

disebut denga benda. Berbe tersebut diseb susu skim ha hasil pengerin Karena perbe pengeringan lebih kuning a Selain mempengaruh dapat menyeb dapat menuru

2. Pemilih

spp.)

Gambar 12. Re selama 32 men adalah jumlah of mean (SEM) Hasil (Cronobacter ketahanan pa (Cronobacter 3,47 siklus lo isolat DES c1 log, dan isola jumlah yang dapat diketah pada perlakua 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 Lo g  (N 0 /N) an warna akro eda parameter babkan oleh ad sil pengeringan ngan ulang te edaaan intensi dari ketiga su atau lebih gela tahapan pe hi kualitas wa babkan reaksi unkan kualitas p

han Cepat

eduksi jumlah E nit. N0 adalah j Enterobacter sa ) dari 2 ulangan pemilihan ce r spp.) ditunjuk anas diantara k r spp.) asal pat og. Reduksi jum

3 sebesar 1,87 at DES b7a m semakin kecil hui isolat yang an pemanasan a 0 0 0 0 0 DES b7a omatis. Warna (L), paramete anya pengaruh n ulang. Nilai erlihat lebih g itas warna ku uhu inlet penge ap.

engeringan ul arna susu bubu browning non– produk susu (F

Ketahanan

Enterobacter sak jumlah Enterob akazakii (Cronob perlakuan. epat ketahanan kan oleh Gam keenam isolat y ti (DES c7) m mlah semakin 7 siklus log, DE mengalami redu mencerminka memiliki keta adalah isolat D DES b7b akromatis han r (a) dan (b) h warna kromat parameter (a) elap karena a uning yang ti ering tidak ba lang, tahapan uk hasil penge –enzimatis ata Fox, 1992; Wal

n Panas En

kazakii (Cronoba bacter sakazakii bacter spp.) sete n panas terh mbar 12. Berda yang diuji cuk mengalami redu mengecil mula ES b7b sebesar uksi jumlah ter an ketahanan te ahanan panas p DES b7a. DES b10 Jen nya berperan merupakan wa tis, yaitu param yang lebih tin danya peningk dak berbeda nyak mempen n pasteurisasi eringan ulang. au yang dikena lsta, 1999; dan

nterobacter

acter spp.) pada (Cronobacter elah pemanasan adap enam i asarkan hasil te kup bervariasi. uksi jumlah ya ai dari isolat D r 1,70 siklus lo rkecil yaitu seb erhadap panas paling tinggi d DES c7 is Isolat pada derajat w arna kromatis meter (a) yang nggi menyebab katan intensita nyata dari su ngaruhi warna pada penel Suhu pemana al dengan reak n Spreer 1995).

sakazakii

a perlakuan suhu spp.) sebelum p

. Error bar adal

isolat Enterob ersebut dapat

Isolat Entero ang paling bes DES d3 sebesar g, DES b10 se besar 1,42 sik yang semakin diantara keenam DES c13 warna putih da dari benda. H lebih tinggi pa bkan susu bubu as warna mera usu bubuk ha

produk menja litian ini tur asan diatas 90° si Maillard yan

(Cronobact

u pemanasan 54 pemanasan dan lah standard err

bacter sakazak diketahui bahw obacter sakazak ar, yaitu sebes r 3,10 siklus lo besar 1,53 sikl lus log. Reduk n tinggi sehing m isolat terseb DES d3 ari Hal ada uk ah. asil adi rut °C ng

ter

°C N ror kii wa kii sar og, lus ksi gga but

(9)

Reduksi jumlah sel isolat b7a lebih tinggi dibandingkan reduksi jumlah sel Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang telah ditemukan sebelumnya oleh sejumlah peneliti. Nilai D54

isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) asal makanan yang diperoleh Nazarowec–White dan Farber (1997) adalah 18,57 menit sehingga akan mengalami reduksi sebesar 1.72 siklus log pada pemanasan suhu 54°C selama 32 menit. Hasil penelitian Arroyo et al., (2009) menunjukan ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) asal sumber klinis (D58=1,95) dengan nilai Z 4,09

sehingga nilai D54–nya adalah 19,07 menit atau akan mengalami reduksi jumlah sebesar 1,68 siklus

log jika dipanaskan 54°C selama 32 menit. Reduksi jumlah isolat b7a pun masih lebih tinggi dibandingkan reduksi jumlah isolat asal makanan bayi dan susu formula yang diuji dengan perlakuan yang sama oleh Ardelino (2011), yaitu berturut-turut sebesar 1,62 dan 1,66 siklus log. Maka dari itu dapat disimpulkan pada suhu pemanasan sebesar 54°C, isolat DES b7a merupakan isolat yang paling tahan panas.

Variasi ketahanan bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dipengaruhi faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor genetik yang membedakan ketahanan panas dari masing-masing isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Meskipun menurut Gitapratiwi (2011) keenam isolat yang diujikan pada tahapan ini merupakan spesies Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) karena ditempatkan dalam subklaster yang sama berdasarkan sekuen parsial gen 16S rRNA segmen 1 dan 2, akan tetapi belum tentu semua isolat memiliki ketahanan panas yang relatif sama karena sekuen parsial gen 16S rRNA segmen 1 dan 2 bukan merupakan gen penyandi ketahanan panas bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.).

Faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi variasi ketahanan antar isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) adalah perbedaan sumber ditemukannya isolat tersebut. Beberapa isolat yang diisolasi oleh Gitapratiwi (2011) berasal dari makanan bayi yang proses pembuatannya banyak menggunakan proses pemanasan dibandingkan dengan proses pengolahan pati. Menurut Yousef dan Juneja (2003), sel mikroba yang sering terpapar stres ringan seperti perlakuan pemanasan menjadikan sel tersebut terbiasa dam kondisi stres dan akan menjadi lebih resisten terhadap stres yang lebih tinggi.

Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) adalah fase pertumbuhan atau umur sel. Sel mikroba yang berada pada kondisi fase eksponensial lebih sensitif terhadap panas dibandingkan sel pada kondisi fase stasioner. Menurut Arroyo (2009), transisi fase eksponensial menuju fase stasioner menyebabkan peningkatan ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lebih dari 17 kali lipat.

Selain itu, variasi ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) berhubungan dengan kemampuan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) memproduksi subtansi pelindung berupa heteropolisakarida (Iversen, 2004) yang akan melindungi sel terhadap kondisi eksternal dari sel bakteri. Akan tetapi menurut Harris dan Oriel (1989), heteropolisakarida hanya dihasilkan oleh galur tertentu sehingga tidak senua isolat dapat memproduksi heteropolisakarida tersebut.

Selain heteropolisakarida, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga diketahui dapat menghasilkan trehalose, yaitu senyawa disakarida yang dapat menstabilkan membran sel dan protein. Menurut Jay (2000), pembentukan substansi pelindung tersebut akan semakin besar pada jumlah inokulum yang semakin besar sehingga akan meningkatkan ketahanan panasnya.

Berdasarkan beberapa kemungkinan tersebut, variasi ketahanan padas antar isolat pada tahapan ini lebih disebabkan oleh sumber isolat dan faktor genetik dari masing-masing isolat. Hal tersebut dapat diamati dari jumlah yang lebih kecil dan tidak berbeda nyata antarisolat asal makanan bayi (DES b7b, DES b10, dan DES b7a) dibandingkan dengan isolat asal bubuk cokelat dan isolat asal pati, sedangkan tingginya reduksi jumlah isolat DES c7 dan DES c13 yang keduanya masih

(10)

B

G d s E dalam satu su sakazakii (Cr Berdas memiliki keta kedua. Maka dan isolat b10 isolasi Meutia serta isolat ba pembanding.

B. PENEL

1. Penger

Berdas tahapan pene metode penge yang terdapat semprot dapat terjadi di dal pengeringan. komponen–ko (2005), priod pengeringan s Gambar 13. Red dengan suhu inle

spp.) sebelum pe Error bar adalah

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 Log  (N 0 /N) umber isolasi ronobacter spp sarkan hasil pe ahanan panas y dari itu isolat 0. Selain kedua a (2008) dan d akteri Cronoba

ITIAN UTA

ingan Semp

sarkan hasil an litian utama, d eringan sempr t dalam susu t mereduksi m lam atomizer Kematian sel omponen sel te de pengeringan semprot menye

duksi jumlah Ent et pengering 160 engeringan dan N h standard error DES b7 menunjukan b .) memiliki ket emilihan cepat yang paling tin yang dipilih u a isolat tersebu dilaporkan me acter mutyjensi

AMA

prot

nalisis jumlah m dapat diketahu rot dapat mere

skim rekonstit mikroba karena sehingga men mikroba pada ermasuk dindin n yang singkat ebabkan mikro terobacter sakaz 0°C, 170°C dan N adalah jumlah r of mean (SEM) 7a bahwa secara tahanan panas t ketahanan pa nggi dan isolat untuk diujikan p ut, diujikan jug emiliki ketahan i ATCC 51329 mikroba pada i bahwa penge eduksi jumlah tusi tersebut. terjadi proses d nyebabkan terj a pengeringan ng sel dan DNA

dengan pening oba tidak dapat

zakii (Cronobact 180°C. N0 adal h Enterobacter sa ) dari 3 ulangan DES b10 Jenis Iso genetik masin yang berbeda. anas, dapat dik

DES b10 mem pada penelitian a satu isolat as nan panas yang 9 (keluarga Ent susu bubuk ha eringan ulang Enterobacter Menurut Fu d dehidrasi dan p adinya kerusa semprot berhu A (Teixeira et gkatan temper beradaptasi de ter spp.) (log N0/

lah jumlah Enter

akazakii (Crono perlakuan. YRc3 olat 160 ng–masing iso ketahui bahwa miliki ketahanan n utama adalah sal susu formul g tinggi oleh ( terobacterecea

asil pengeringa susu skim rek

sakazakii (Cr dan Etzel (199 paparan tempe akan dan kema ubungan denga al., 1995). Me ratur yang sang engan kondisi t /N) pada perlaku robacter sakazak obacter spp.) sete 3a 0 170 lat Enterobact isolat DES b n panas terting h isolat DES b la (YR c3a) ha (Ardelino, 201 ae) sebagai iso

an semprot pa konstitusi deng ronobacter spp 95), pengering

ratur tinggi yan atian sel selam an penghancur enurut Polo et a

gat cepat selam tersebut. uan pengeringan kii (Cronobacter elah pengeringan ATCC51329 180 ter 7a ggi b7a asil 11) lat ada gan p.) gan ng ma ran al. ma n r n.

(11)

Gambar 13. menampilkan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dan C. muytjensii ATCC 51329 pada susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, dan 180°C. Reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C berkisar antara 2,54 hingga 3,07 siklus log. Pada perlakuan ini isolat DES b10 mengalami jumlah penurunan yang paling besar, yaitu sebesar 3,07 siklus log. Selanjutnya reduksi jumlah semakin mengecil berturut–turut isolat isolat DES b7a sebesar 3,01 siklus log, ATCC 51329 sebesar 3,00 siklus log, dan isolat YR c3a mengalami penurunan jumlah terkecil yaitu sebesar 2,54 siklus log. Akan tetapi reduksi jumlah isolat ATCC 51329 yang diperoleh tersebut lebih tinggi satu siklus log dibandingkan hasil penelitian (Arku et al., 2006) pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C yaitu sebesar 1,98 siklus log. Reduksi jumlah yang semakin kecil antar isolat menunjukan bahwa isolat tersebut semakin besar ketahanannya terhadap proses pengeringan semprot. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang memiliki ketahanan paling tinggi terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C adalah isolat YR c3a.

Berdasarkan reduksi jumlah dari masing–masing isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang diperoleh pada pelakuan suhu inlet pengering 160°C (Gambar 13.), dapat diamati bahwa error bar antara isolat DES b10, ATCC 51329, dan DES b7a ketiganya satu sama lain saling bersinggungan. Hal tersebut menunjukan bahwa ketiga isolat tersebut mengalami reduksi jumlah yang tidak berbeda nyata. Berbeda dengan ketiga isolat tersebut, error bar reduksi jumlah isolat YR c3a yang tidak beringgungan dengan error bar dari ketiga isolat lainnya mencerminkan reduksi jumlah isolat YR c3a berbeda nyata dengan ketiga isolat lainnya. Maka dari itu dapat diketahui bahwa isolat YR c3a memiliki ketahanan yang paling tinggi terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet pengering 160°C dan berbeda nyata dengan ketiga isolat lainnya, sedangkan ketahanan dua isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) DES b10, DES b7a, serta isolat ATCC 51329 terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet 160°C tidak berbeda nyata.

Perlakuan suhu inlet pengeringan yang lebih tinggi pada penelitian ini ternyata meningkatkan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada perlakuan suhu inlet pengeringan 170°C berkisar antara 2,77 hingga 3,25 siklus log. Berbeda dengan perlakuan suhu inlet pengering 160°C, isolat yang mengalami penurunan jumlah yang paling besar pada perlakuan suhu inlet pengering 170°C adalah isolat DES b7a. Isolat DES b7a mengalami reduksi jumlah sebesar 3,25 siklus log. Selanjutnya reduksi jumlah menurun yaitu isolat DES b10 sebesar 3,21 siklus log, isolat ATCC 51329 sebesar 3,16 siklus log, dan isolat YR c3a mengalami penurunan jumlah terkecil yaitu sebesar 2,77 siklus log. Peningkatkan reduksi jumlah sel mikroba pada perlakuan suhu inlet pengeringan yang lebih tinggi juga terjadi pada bakteri patogen lainnya. Hasil penelitian yang diperoleh Licari dan Potter (1970) menunjukan bahwa suhu pengeringan semprot yang lebih tinggi (inlet = 176.7°C dan outlet = 93,3°C) mereduksi jumlah bakteri patogen (Salmonella typhimurium) sebesar 4,383 siklus log dibandingkan dengan suhu (inlet = 132,2°C dan outlet 65,6°C) yang hanya mereduksi jumlah Salmonella typhimurium sebesar 2.73 siklus log. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa isolat YR c3a masih merupakan isolat yang memiliki ketahanan paling tinggi pada perlakuan ini dibandingkan dengan ketiga isolat lainnya.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa reduksi jumlah isolat DES b10, ATCC 51329, dan DES b7a pada pelakuan suhu 170°C satu sama lain tidak berbeda nyata karena error bar jumlah reduksi dari ketiga isolat tersebut saling bersinggungan, sedangkan isolat YR c3a mengalami reduksi jumlah berbeda nyata. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa isolat YR c3a juga memiliki ketahanan yang paling tinggi terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet

(12)

pengering 170°C dan berbeda nyata dibandingkan dengan tiga isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) lainnya.

Perlakuan suhu inlet pengeringan yang lebih tinggi (180°C) kembali meningkatkan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.). Pada perlakuan ini isolat ATCC 51329 mengalami jumlah penurunan yang paling besar, yaitu sebesar 3,55 siklus log. Selanjutnya penurunan jumlah semakin mengecil secara berturut yaitu isolat DES b7a sebesar 3,51 siklus log, isolat DES b10 sebesar 3,31 siklus log, dan isolat YR c3a sebesar 3,24 siklus log. Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa isolat yang memiliki ketahanan paling tinggi terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet pengering 180°C adalah isolat YR c3a. Ketahanan terhadap perlakuan suhu inlet 180°C kemudian menurun berturut–turut mulai dari isolat DES b7a, DES b10, dan ATCC 51329.

Berdasarkan error bar antar masing–masing jumlah reduksi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada pelakuan suhu 180°C, dapat diketahui bahwa isolat YR c3a mengalami reduksi jumlah berbeda nyata dibandingkan dengan reduksi jumlah isolat ATCC 51329 dan DES b7a namun tidak berbeda nyata dengan reduksi jumlah isolat DES b10, sedangkan isolat ATCC 51329 dan DES b7a satu sama lain tidak mengalami reduksi jumlah yang berbeda nyata. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, dapat disimpulkan bahwa isolat YR c3a dan DES b10 memiliki ketahanan yang relatif sama terhadap pengeringan semprot pada perlakuan suhu inlet pengering 180°C. Kedua isolat tersebut memiliki ketahanan terhadap pengeringan semprot yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan isolat ATCC 51329 dan DES b7a.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa isolat YR c3a memiliki ketahanan yang paling tinggi terhadap perlakuan pengeringan semprot pada suhu inlet 160°C, 170°C, dan 180°C dibandingkan dengan ketiga isolat lainnya yang diujikan pada penelitian ini. Terkait dengan ketahanan panasnya isolat ini dilaporkan memiliki nilai inaktivasi termal yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) asal susu formula lainnya pada pemanasan pada suhu 54 selama 32 menit (Ardelino, 2011). Selain itu isolat YR c3a juga memiliki nilai D54 dan nilai Z yang lebih tinggi yaitu berturut–turut sebesar 9,13 menit dan 5.75°C

dibandingkan nilai D54 dan Z bakteri Cronobacter muytjensii ATCC 51329 yang diujikan juga pada

penelitian ini, yaitu berturut–turut sebesar 8,66 dan 5,56°C (Ardelino, 2011). Menurut Meutia (2008) pada suhu rekonstitusi 70°C YR c3a mengalami reduksi jumlah sebesar 4,3 log CFU/ml dengan jumlah kontaminasi awal sebesar 7,05 log CFU/ml. Bahkan hasil penelitian Fitriyah (2010) menunjukan bahwa isolat YR c3a hanya mengalami reduksi jumlah sebesar 2,48 log dengan jumlah kontaminasi awal sekitar 3 log CFU/ml serta mengalami recovery setelah 6 jam ketika dibiarkan dalam suhu ruang.

Isolat YR c3a sebenarnya tidak lebih tahan panas jika dibandingkan dengan isolat DES b7a dan DES b10 ketika diberi perlakuan pemanasan pada menstruum pemanas yang berupa cairan. Hasil penelitian Ardelino (2011) menunjukan isolar YR c3a mengalami reduksi jumlah sebesar 1,66 log yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan reduksi jumlah isolat DES b7a dan DES b10 yang berturut-turut hanya sebesar 1,42 log dan 1,53 log pada perlakuan pemanasan dan menstruum pemanas yang sama (54°C selama 32 menit dalam kaldu TSB). Menurut Breeuwer et al., (2003) bakteri Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) sebenarnya tidak toleran terhadap panas, namun kemampuannya untuk bertahan pada kondisi pengeringan dan tekanan osmotik yang tinggi menjadikannya mampu bertahan pada proses dehidrasi. Kemampuan untuk bertahan dalam kondisi tersebut dipengaruhi oleh kemampuan Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) membentuk subtansi pelindung berupa polisakarida (Iversen, 2004). Oleh karena itu kemampuan yang berbeda antar isolat Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dalam menghasilkan subtansi pelindung akan

(13)

menghasilkan ketahanan panas yang berbeda. Berdasarkan hasil pengeringan yang diperoleh tersebut, dapat diketahui bahwa ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada media cair berbeda dengan ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada pengeringan semprot.

Selain heteropolisakarida, Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) juga diketahui dapat menghasilkan trehalose. Trehalose adalah senyawa disakarida yang dapat menstabilkan membran sel dan protein sehingga akan melindungi sel dari kerusakan ketika berada dalam kondisi kering (Breuwer, 2003). Menurut Jay (2000), pembentukan substansi pelindung tersebut akan semakin besar pada jumlah inokulum yang semakin besar sehingga akan meningkatkan ketahanan panasnya.

Berdasarkan Gambar 13. dapat diamati terjadinya tren peningkatan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang bervariasi antar isolat pada perlakuan suhu inlet pengering yang semakin tinggi. Selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) galur DES b7a antara perlakuan suhu inlet 160°C dengan perlakuan suhu inlet 170°C dan antara perlakuan suhu inlet 170°C dengan perlakuan suhu inlet 180°C berturut–turut adalah 0,24 log dan 0,26 log. Selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) galur DES b10 antara perlakuan suhu inlet 160°C dengan perlakuan suhu inlet 170°C dan antara perlakuan suhu inlet 170°C dengan perlakuan suhu inlet 180°C berturut–turut adalah 0,14 log dan 0,10 log. Selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) galur YR c3a antara perlakuan suhu inlet 160°C dengan perlakuan suhu inlet 170°C dan antara perlakuan suhu inlet 170°C dengan perlakuan suhu inlet 180°C berturut–turut adalah 0,23 log dan 0,47 log. Selisih reduksi jumlah isolat ATCC 51329 antara perlakuan suhu inlet 160°C dengan perlakuan suhu inlet 170°C dan antara perlakuan suhu inlet 170°C dengan perlakuan suhu inlet 180°C berturut–turut adalah 0,16 log dan 0,39 log. Maka dari itu selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) berada pada rentang perlakuan suhu inlet pengering 160°C hingga 180°C dapat menyebabkan reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) hingga 0,71 siklus log.

Pada penelitian ini selisih reduksi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) tidak lebih dari 1 siklus log pada kenaikan suhu inlet sebesar 10°C. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah bahan baku yang masuk kedalam chamber pengering. Pada pengeringan susu skim rekonstitusi dengan perlakuan suhu inlet 160°C, kecepatan pompa peristaltik yang digunakan untuk mengalirkan bahan masukan berkisar antara 3,5 hingga 4 RPM (rotation per minute). Akan tetapi pada pengeringan susu skim rekonstitusi pada perlakuan suhu inlet 170°C, kecepatan pompa peristaltik meningkat menjadi 5,0 hingga 5,5 RPM. Pada pengeringan susu skim rekonstitusi dengan perlakuan suhu inlet 180°C pun kembali meningkatkan kecepatan pompa peristaltik menjadi 6,0 hingga 6,5 RPM. Peningkatan jumlah bahan baku yang masuk pada suhu inlet pengering yang lebih tinggi berfungsi untuk menyerap kelebihan energi kalor akibat peningkatan suhu inlet pengering. Secara teknis hal tersebut dapat diamati dari peningkatan suhu outlet ketika suhu inlet pengering dinaikkan sedangkan debit bahan baku yang masuk ke dalam pengering dipertahankan konstan. Maka dari itu dapat diketahui bahwa peningkatan suhu inlet pengering sebesar 10°C tidak meningkatkan inaktivasi mikroba lebih dari 1 siklus log dikarenakan energi kalor pada suhu inlet pengering yang lebih tinggi tersebut digunakan untuk mengeringkan bahan baku yang masuk lebih banyak. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan suhu inlet pengering tidak akan meningkatkan inaktivasi mikroba secara signifikan ketika debit bahan masukan diperbesar atau suhu outlet dipertahankan konstan.

Pengaruh lainnya dari peningkatan debit bahan baku yang masuk kedalam pengering adalah residence time yang lebih singkat. Konsentrasi bahan yang lebih tinggi dalam chamber pengerng

(14)

menyebabkan panas lebih cepat diserap persatuan volum chamber sehingga waktu kontak antara bahan dan panas menjadi lebih singkat.

Ketahanan panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut To dan Etzel (1997) dan Teixeira et al. (1995), ketahanan mikroba terhadap proses pengeringan semprot yang disebabkan oleh kemampuan mikroba itu sendiri untuk bertahan pada suhu yang tinggi dan pengeringan yang ekstrim merupakan faktor intrinsik mikroba tersebut.

Selain faktor intrinsik, terdapat faktor ekstrinsik yang mempengaruhi ketahanan panas suatu mikroba. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi ketahanan mikroba pada pengeringan semprot antara lain adalah desain alat pengering yang digunakan, temperatur pengeringan, dan kondisi fisiologis mikroba itu sendiri. Desain pengering semprot diketahui mempengaruhi tingkat inaktivasi mikroba. Menurut Simpson et al. (2005), peluang mikroba untuk bertahan hidup meningkat dengan menggunakan pengering skala industri dibandingkan pengering skala laboratorium. Menurut Chandan (2006), pengering semprot komersial dapat meminimalkan kerusakan bahan akibat panas karena memiliki chamber pendingin yang akan mendinginkan produk dengan cepat setelah pengeringan.

Selain desain alat, humiditas atau kelembaban dari udara ambien akan mempengaruhi kapasitas pengeringan karena menggambarkan keberadaan uap air dalam udara. Menurut Anonim (2010), kelembaban udara ideal yang biasa diaplikasikan pada pengeringan semprot adalah sebesar 66%. Kelembaban udara ambien yang tinggi di dalam lab percobaan (96% – 98%) menurunkan kapasitas pengeringan sehingga air yang bersuhu tinggi dalam bahan tidak segera terevaporasi. Keberadaan air bersuhu tinggi dalam susu skim bubuk dapat meningkatkan tingkat inaktivasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) dan mikroba karena berhubungan dengan kecepatan pindah panas lebih besar pada bahan yang basah atau lebih banyak mengandung air dibandingkan pindah panas dalam udara atau bahan pangan itu sendiri (Wiratakusumah et al., 1992). Kelembaban udara ambien sangat dipengaruhi oleh iklim setempat. Menurut Robinson (1999b), negara tropis memiliki kelembaban udara yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara subtropis sehingga kapasitas pengeringannya pun akan lebih rendah.

Perlakuan preheating bahan pada suhu tertentu dapat memicu peningkatan ketahanan panas mikroba. Perlakuan heat shock memberikan efek penguatan toleransi termal Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang meningkat pada rentang suhu heat shock 42°C–47°C (Chang, 2009), sedangkan hasil penelitian Arroyo et al., (2009) menunjukkan perlakuan heat shock yang memberikan peningkatan resistansi terhadap panas Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) adalah pada suhu 47°C selama 15 menit. Terkait dengan reduksi jumlah isolat ATCC 51329 yang lebih besar dibandingkan hasil penelitian Arku et al. (2006), tahapan preheating susu skim rekonstitusi yang telah diinokulasi Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) pada suhu 40°C sebelum dikeringkan dengan pengering semprot dimungkinkan turut meningkatkan ketahanan panas isolat ATCC 51329 yang diuji oleh (Arku et al., 2006).

Penggunaan metode analisis jumlah mikroba yang berbeda akan mempengaruhi jumlah Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) yang masih bertahan setelah pengeringan semprot. Pengeringan semprot menyebabkan sel mikroba yang secara simultan mengalami tekanan termal dan dehidrasi secara bersamaan menyebabkan bagian sel mikroba menjadi rusak seperti membran sitoplasma yang akan mati jika tidak mengalami penyembuhan (To dan Etzel, 1997). Menurut Arku et al. (2006) metode APM (angka paling mungkin) dan ISO enrichment akan meningkatkan jumlah mikroba yang tumbuh karena metode tersebut mendukung terjadinya penyembuhan sel mikroba, sedangkan metode ALT (angka lempeng total) tidak mendukung terjadinya penyembuhan sel mikroba.  

Gambar

Gambar 6. menampilkan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada  percobaan suhu inlet pengering 160°C, 170°C, 180°C, 190°C, dan 200°C dengan suhu outlet  pengering dijaga konstan sebesar 82°C yang dibandingkan dengan susu susu skimbubuk a
Gambar 7. Kelarutan susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada percobaan suhu inlet  pengering 160 ° C, 170 ° C, dan 180 ° C serta kelarutan susu skim awal
Gambar 8. Kadar air susu skim rekonstitusi bubuk hasil pengeringan semprot pada percobaan suhu inlet  pengering 160 °C , 170 °C , dan 180 ° C

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum guru IPS di SMP Muhammadiyah 1 dan SMP Muhammadiyah 2 Kota Ternate sudah mengimplementasikan pembelajaran pendidikan karakter pada siswa di sekolah. Hasil

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui apakah pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa; (2) Untuk

Pada perhitungan beban kerja yaitu pengamatan total selama 3 hari sebesar 90 kali, jumlah kegiatan produktif pekerja selama 3 hari sebesar 75, jumlah menit pengamatan

Hasil penelitian menunjukkan terdapat korelasi positif yang bemakna antara abdominal, suprailiac, dan tricep skinfold thickness terhadap kadar trigliserida dengan

Faktor-faktor penyebab peserta didik kelas XI Madrasah Aliyah Futuhiyyah-2 Mranggen-Demak yang melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal hukum Hooke

Untuk meningkatkan kembali penyelesaian produk H-Beam ini maka diperlukan adanya analisis optimalisasi durasi pengerjaan yang berfungsi untuk mengetahui berapa lama

Saran di dalam penelitian ini diantaranya adalah; Pertama, Perlu dilakukukan reformasi peraturan perundang-undangan anti korupsi, terutama berkaitan dengan telah

Peningkatan akurasi bisa dilakukan dengan menggunakan metode peramalan yang lebih baik, mencari data yang lebih komprehensif, melakukan kolaborasi dengan pihak-pihak lain pada