• Tidak ada hasil yang ditemukan

V h. y^-tcs*- ( ' - ± j u ^ 9 t. u m

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V h. y^-tcs*- ( ' - ± j u ^ 9 t. u m"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

y^-tcs*-( ' - ±

j

u ^ 9 t

u

m

(3)

F A B E L

FENG

SUfi - FENG

Z Q B . Z

t

f V

frio

p u s t a k a b a h a s a a s i n g

(4)
(5)

I S I

Mega P a g i ... IJlar dan M u s ik ... Burung, Mega dan Gunung ^... Petani, Burung Geredja dan Burung Juntjue Rubah, Serigala dan K a m b in g ... Tukang Kaju, Rimba dan P o h o n ... Pagi H a r i ... Tjorong R u b a h ... Singa dan Matahari S ila m ... Ajam Djantan dan Kelabang Ketjil . . . . Pemburu dan Iste rin ja ... Perigi dan S u n g a i... ■Garuda dan Padang P a sir... Katak Penggenderang... Rubah jang Djatuh kedalam Rawa . . . . K e l i n t j i ... Ular dan Lebah... Kera dan Papan... Pangeran Pelarian... Gadis Nelajan dan L a u t... Babi Hutan jang Memusuhi Hutan Rimba Siasat Perang Seekor U lar. . . f . ' • . . . Serigala Menjangkal... !... Ular dan Kelintji...c . Kutjing dan Kaleng K osong... Serigala, Rubah, Kera dan Wanita Desa . . Burung Gagak jang A n eh ... ...

(6)

Dokter Kera dan Keledai jang Sakit K era s...49

Lembu dan Tali Penam batnja... 50

Induk Sapi dan A n a k n ja ... 53

Orang Tua dengan Tiga Orang Anaknja... 54

Rubah dan Kepiting . ... 56

Beruang dan Margasatwa2 Lain... 57

Singa dan Anak D om ba...58

Rubah dan Kebun Kelintji...59

Rubah dan A j a m ... 60

Burung Ketjil jang Tjantik dan Bunga Mawar jang Indah . . . . 63

Rubah dan Kelintji H utan... 64

Tiga Orang Pemburu Beruang...65

Dua Ekor Kera Saling Mengawasi dan Bertengkar... 67

Kera dan M a ja t...68

Perahu dan Air Pasang...69

Hudjan Angin dan Laba2 ... 70

Kera dan B a d a i...73

Kerbau Mengamuk dan Anak Penggembala...74

Kid jang dan P e m b u r u ... 75

Pikiran jang Bukan2 ... 76

Tiga Orang jang Kehantjuran Barang2 Tembikarnja...79

Burung dan Apel M agang... 80

Serigala dan Penebang Kaju ...83

Induk Radjawali dan A n a k n ja ...84

(7)

85-KATA PENERBIT

h* ABEL, mula bukanja bersumber pada dongeng2 rakjat jang ber- pindah dari mulut kemulut be-ribu2 tahun lamanja, dan lama-kelamaan mendjelma djadi tjeritera2 jang mengandung nasihat. Tradisi ini ke- mudian diteruskan oleh fabel modern.

Tjeritera2 fabel Feng Sue-feng sebagian besar digubah pada djaman kekuasaan reaksioner Kuomintang. Seperti djuga Lu Sin almarhum, pudjangga besar kesusasteraan Tiongkok modern, Feng Sue-fengpun terpaksa memakai perumpamaan2 serta kata2 jang samar untuk menjing- kap tabir kegelapan daripada kekuasaan dimasa itu. Berhubung dengan adanja sensor Kuomintang atas segala penerbitan, maka kesusasteraan jang berbentuk fabel ini memadai sekali untuk djaman Teror Putih, sebab pada masa itu pengarang hanja dapat menggunakan perumpamaan ser­ ta kata2 jang samar untuk menjindir keburukan2 pemerintahan diwaktu itu dan tindakan2 agresif kaum imperialis.

Feng Sue-feng sangat mentjintai rakjat, dan bentji sekali kepada se­ gala penindas jang duduk diatas kepala rakjat. Karena tjintanja jang besar kepada rakjat itu, maka ia tidak bersikap membiarkan terhadap ketidak-adilan daripada masjarakat lama.

Tjeritera2 fabel jang terpilih dalam buku ini dapat dibagi mendjadi dua golongan: Golongan jang pertama ialah untuk membangkitkan semangat dan membimbing rakjat dalam memperdjuangkan kemerdeka- an, kebebasan dan masjarakat baru; dan jang kedua ialah untuk mem- buka kedok musuh. Dalam golongan jang kedua itu, terdapat tjeritera2 jang ditudjukan kepada kedjahatan2 daripada kekuasaan jang bobrok pada dewasa itu, serta tjeritera2 jang mengandung sindiran terhadap keserakahan, kebodohan dan keganasan imperialisme. Pendek kata, di- dalam tjeritera2 fabel ini, musuh rakjat, baik amtenar jang korup dan

(8)

pengarang2 reaksioner, maupun kaum imperialis asing, semua mengalami penelandjangan jang tak mengenal ampun.

Umpamanja, “Kera dan Majat” . Tjeritera itu membuka tabir ke- palsuan kaum reaksioner Kuomintang jang mentjoba menutupi kelapuk- an pemerintahannja dengan setjara omong kosong me-nondjol2kan ke- moralan serta Gerakan Penghidupan Baru dan sebagainja. Namun daja upajanja untuk menjelubungi kenjataan itu pada hakekatnja menjebab- kan keburukannja itu bahkan lebih mentjolok mata.

Demikian djuga, setelah membatja “Tjorong Rubah” , orang2 jang- tahu akan keadaan Tiongkok sewaktu dibawah kekuasaan Kuomintang tentu teringat kepada suatu hal, bahwa adanja sensor warta berita di- waktu itu, pembatja2 hanja dapat menemukan kabar2 jang benar dari sela2 antara ladjur2 dalam harian; dan salah satu sumber kabar2 jang benar pada dewasa itu datang dari sangkalan2 jang disiarkan oleh kaum reaksioner sendiri.

Dalam buku ini hanja terdapat sebuah tjeritera jang digubah se- sudah pembebasan, jakni “Siasat Perang Seekor Ular” . Tjeritera ini meramalkan pasti gagalnja kaum imperialis dalam usahanja memblokir Tiongkok.

Dari tjeritera2 fabel ini semoga sidang pembatja bisa menikmati pengalaman rakjat Tiongkok selama berketjimpung dalam perdjuangan- nja. Dan disamping peladjaran2 revolusi Tiongkok, dalam tjeritera2 ini nampak pula insani, perasaan tjinta kepada dunia alam dan humor. Ke- semua ini bukanlah hanja mentjerminkan djiwa rakjat Tiongkok, tetapi djuga membuat tjeritera2 ini mendjadi puitis.

(9)

MEGA PAGI

K a t a sahibu’lhikajat, maka pada djaman dahulu ada seorang

puteri dujung jang hidup didalam laut. Tiap pagi sebelum fad jar me- njingsing, ia sudah naik pada sebuah pulau dan duduk diatas karang akan menanti terbitnja matahari. Tetapi kakaknja menganggap keper- gian adiknja itu terlalu pagi, karena itu memboroskan waktu. Maka setiap hari kakak puteri dujung itu menampakkan kepalanja dipermukaan laut dan dari djauh memarahi adiknja: “ Huh, pemalas! Tempo itu amat berharga! Tidak bisakah sambil menanti mengatasnja matahari itu eng- kau mengerdjakan sesuatu? Djangan kau senantiasa bertopang dagu---”

Puteri dujung lalu mengumpulkan awan dan halimun jang ada di- sekitarnja dan jang berdjauhan, lalu ditenunnja dengan radjin seperti ia bertenun dirumahnja. Kemudian segera terbitlah matahari jang per- tama2 mengirim sinarnja akan memeriksa permukaan laut. Tatkala sinar itu menembus mega tenunan puteri dujung itu, maka tampaklah pelangi jang kemilau dengan warnanja jang ber-bagai2.

Semua tenaga dan pekerdjaan untuk usaha gemilang itu, sama in- dahnja.

(10)

ULAR DAN MUSIK

S eEKOR ular mencljulurkan kepalanja dari liang dan berhasil

membinasakan seekor burung pujuh jang tengah mentjari umpan. Jang betina, setelah mendengar jang djantan mengalami pembunuhan se- wenang2 itu, mendjadi sangat marah bertjampur sedih. Siang dan malam tak henti2nja ia menangis. Tangisnja jang mengandung rasa dendam dan pilu itu menimbulkan suasana sunji dan duka dalam hutan pada musim semi.

Seorang pemusik kenamaan jang kebetulan melalui hutan itu, sete­ lah mendengarkan tangis itu sedjenak, mendjadi sangat terharu. “ Duh!

Betapa menjedihkan suasana ini!” katanja. “ Hanja suara beriramalah jang bisa melukis keadaan ini.”

Oleh pemusik itu segera digubahnja sebuah lagu jang mengandung djeritan daripada suatu penderitaan dan tuntutan akan pembalasan den­ dam. Barang siapa jang mendengarnja, walaupun pada pagi hari jang sedjuk, pada malam jang sunji atau pada siang hari jang meriah, lagu itu selalu mendidihkan darah dan mendeburkan djantung. Karena itulah setiap orang jang pergi mentjari ular, dan pabila ia mendjumpai seekor ular, nistjaja dibunuhnja tanpa mempedulikan apakah ular itu pernah membunuh burung pujuh atau tidak.

Kesenian itu untuk keadilan, maka ia harus mengandjurkan mem- basmi segala kedjahatan.

(11)

BURUNG, MEGA DAN GUNUNG

SEEKOR burung jang sedang me-lajang2 diangkasa, dengan penuh kejakinan berkata dalam hati: “ Gumpalan mega itu sebaiknja kudja-dikan sasaran terbangku, dan sekarang djuga aku hendak mengedjar- n ja !”

Dengan segenap tenaga burung itu mengipas sajapnja membubung ladju keatas. Tetapi betapapun dikedjarnja, mega putih itu berarak ke- sana sini tak keruan arahnja, adakalanja berhenti se-konjong2, dan ka- dang2 ber-pusar2 bagaikan seekor kutjing jang mandja dan bangga mentjari kutu diatas badannja. Kemudian dengan tiba2 ia per-lahan2 membentang laksana seorang puteri jang tjongkak dan malas tengah merentangkan tubuhnja jang gemulai didalam selimut sutera. Dan jang lebih tjelaka lagi ialah mega itu se-konjong2 berserak ter-tjerai2 menghilang.

Achirnja burung itu dengan teguh berkata: “ Tidak! Tidak bisa! Aku harus mengambil puntjak gunung jang megah itu sebagai tudjuan terbangku. Betapa tegap, kokoh, megah dan indah gunung2 tinggi ini. Djika aku memandangnja, aku mendjadi lebih bertenaga dan berani. Dan tatkala aku terbang dari satu puntjak kepuntjak lain, aku merasa sangat gembira, karena se-akan2 aku ber-lompat2an diatas kepala2 rak- sasa.”

Ajunlah langkahmu menurut djalan sedjarah jang tegas dan djaja untuk melaksanakan usaha rakjat jang njata.

(12)

PETANI, BURUNG GEREDJA DAN

BURUNG JUNTJUE*

P A D A suatu hari seorang petani jang tengah menuai gandumnja diladang, tiba2 didatangi oleh sekelompok burung geredja jang terbang menggelungsur turun hinggap di-bulir2 gandum seraja berkata: “Duh pak taniku jang budiman, kami tak akan lupa se-lama2nja akan budimu jang memberi kehidupan kepada kami dengan djerih pajahmu. Pada permulaan musim panas jang permai seperti sekarang ini, dimana panen sedang sibuk2nja, kami sengadja be-ramai2 datang membalas budimu de­ ngan menghidangkan lagu2 jang merdu. Pertjajalah, kami adalah sa- habatmu jang sedjati.” Demikianlah burung2 geredja itu segera me- njanji sambil mematuki butir gandum dengan amat tjepatnja.

Pak tani sangat marah dan mengusir burung2 tadi dengan melem- parkan gumpalan2 tanah, seraja udjarnja dengan meradang: “ Huh!

Gerombolan bangsat pemeras manusia jang tak tahu malu, berani bilang kami suka mendjamin hidupnja! Apakah engkau kira aku ini terlalu gemar akan kebudajaan, sehingga aku rela melepaskan segantang gan­ dum untuk selembar kartjis konser burung geredja? Aku tak memer- lukan sahabat sematjam ini, dan penjair2 sematjam ini akan kuusir!”

Tatkala burung2 geredja itu pergi terbang, datanglah sekawanan burung juntjae, mematuki serangga sebagai makanan siang. Burung2 itu hilir mudik mentjari gendon dan belalang, dan diuntalnja satu demi satu. Kemudian terbanglah mereka keangkasa seraja menjanjikan lagunja jang merdu. Semakin tinggi terbangnja, semakin merdu dan menggembirakan lagu jang dinjanjikannja itu, sehingga pak tani ber- henti bekerdja sedjenak bertegak diri menengadah menatap kelangit.

(13)
(14)
(15)

Sesudah itu pak tani lalu membungkuk kembali dan memotong gandum seraja berkata kepada diri sendiri:

“Memang benar kata orang bahwa juntjue itu adalah unggas jang herguna. Bukan sadja kita tidak usah mengeluarkan uang buat me- meliharanja, malahan mereka membantu membunuh musuh kita, dan ini memberi keuntungan jang besar bagi kita. Selandjutnja burung2 itu segera terbang amat tinggi, lintjah, gesit dan gembira. Tetapi mes- kipun demikian burung2 ini tidak ber-megah2 diri, maka itu sangat_ inenarik dan menjenangkan hati kami. Burung2 tadi menjanji begitu

merdu dan djelas, se-akan2 langit jang terang dan biru itu terdjadi karena lagu njanjiannja! Ja, penjair jang beginilah baru sungguh2 sahabat rakjat jang sedjati.”

RUBAH, SERIGALA DAN KAMBING

SE E K O R rubah menjergap sekelompok kambing, dan berhasil menggondol seekor anaknja. Dalam keadaan ketakutan dan gugup, kambing2 itu salah mengira bahwa penjamun itu seekor serigala, maka berteriaklah mereka dengan se-kuat2nja: “ Serigala merampok lagi! Serigala menjerang lagi!”

Ketika rubah itu berdjumpa dengan seekor serigala, ia lalu berkata: “ Sekali lagi kambing memburukkan namamu, dengan tidak beralasan sama sekali.”

“ Tidak,” kata serigala, “mereka mempunjai alasan tjukup, karena aku lebih terkenal daripada engkau; maka itu, apabila orang2 membi- tjarakan tentang agresi, namaku selalu disinggung.”

(16)

TUKANG KAJU, RIMBA DAN POHON

S eORANG tukang kaju masuk kedalam hutan rimba mentjari se- batang pohon jang istimewa tinggi dan besar untuk keperluan membuat rumah. Akan tetapi meskipun ia telah mendjeladjah seluruh hutan itu,. namun ia tidak bisa menentukan mana jang harus dipilihnja. “ Pohon21 dalam hutan ini semua sama tingginja, tiada sebatangpun jang nampak istimewa.” Demikian katanja dengan perasaan ketjewa seraja ber- djalan hendak meninggalkan hutan itu. Setelah ia mentjapai udjung hutan, tiba2 dilihatnja sebatang pohon jang memadai keinginannja. Oleh girang itu berteriaklah ia: “ Nah, ini dia pohon jang kutjari! Dalam seluruh hutan ini tiada jang dapat membandinginja!”

Pohon itu lalu mendjawab: “ Tidak, penglihatanmu ini salah. Mungkin kau pernah djuga banjak membatja buku2 karangan orang

vulgar jang mengatakan, bahwa kami ini semua tidak mempunjai ke~ pribadian. Walaupun aku ini berdiri ditempat jang paling belakang dalam barisan kami, namun aku tetap masih termasuk salah satu anggota daripada barisan itu. Dalam barisan itu, aku selamanja bersatu dengan anggota2 lain, dan bila aku tersendiri, aku hendak berusaha se-kuat2nja menopang sebuah gedung. Djika dikatakan tidak luar biasa, kami semua memang tidak ada jang luar biasa; dan bila dikatakan luar biasa, kami semua memang sama2 luar biasa.”

Kami setudju akan pendapat pohon ini mengenai soal rakjat peker- dja serta bakatnja.

(17)

t

PAGI HARI

T I A P 2 hari, tatkala fad jar baru bertachta, maka didalam hutan su­ dah mulai ramai oleh kitjau burung2 ketjil, ada jang ber-lontjat2 dari

pohon kepohon sambil menjanji ber-sahut2an, ada pula jang terbang mengawang. Unggas2 itu saling mengutarakan, bahwa matahari akan terbit dan pagi segera tiba. Alangkah indahnja pemandangan diwaktu pagi!

Akan tetapi ada seekor tupai jang masih tidur njenjak, sebab sema- lam suntuk ia berdjudi melawan seekor ular belang. Karena tengah tidur itu ia terbangun oleh kitjau burung2 tadi, maka dengan sangat marah ia me-maki2nja:

“ Tjuh! Binatang kerdil! Pulanglah kesarangmu! Pagi, pagi — bu- kankah tiap hari ada pagi? Tidakkah engkau djemu mengagumi dan menjebutnja ber-ulang2?”

Gerutu itu tidak terdengar oleh burung2 jang asjik berkitjau, tetapi sebatang pohon jang mendengarnja dengan perasaan tak senang segera mendjawab:

“ Sahabat! Soal2lainnja aku ta’kan ambil pusing, tetapi mengenai um- patanmu terhadap pagi itu, se-kali2 aku tidak setudju. Mustahil pagi bisa mendjemukan orang!”

“ Benar katamu itu,” sela sebuah batu. “Menurut tafsiran para sar- djana, aku ini sudah berusia setengah djuta tahun, namun belum pernah aku merasa bosan akan pagi.”

“ Adalah suatu kenjataan, bahwa pagi itu selalu segar dan baru.” Demikian kata seekor katak dalam empang.

Seekor tjatjing bergegas merajap keatas bumi seraja menjela: “ Siapa bilang pagi sudah basi? Si djahanam tupai tjilik itu? Sungguh menggelikan! Belum pernah aku berpikir demikian.”

(18)

Dalam pada itu, warna tjakerawala berubah mendjadi merah mawar, dan bumi raja tampak menghidjau djamrud. Suara jang ber-bagai2pun serentak bangun, dan sang mentari per-lahan2 mengatas laksana sebuah tjakram terbakar merah berselimutkan awan kemawan tipis bagai kain kasa. Semua mata menatap matahari jang tengah menjingkap selimut- nja dan memperlihatkan wadjahnja jang gembira ber-seri2 itu, se-olah2 seperti anak nakal jang hendak mendjaili orang, dan se-akan2 ingin menangkap burung2 jang sedang beterbangan. Semesta alam lalu ketawa ter-bahak2, dan burung2 itupun semakin ramai berkitjau, sambil terbang membubung menudju kelangit biru.

Maka bangsat tjilik si tupai itupun sadarlah dari tidurnja. Seraja meng-usap2 mata ia berkata: “ Pagi ini tjuatjanja baik djuga!”

TJORONG RUBAH

/-VTJAP kali djalan pikiran rubah diluar dugaan manusia, dan per- buatannjapun sering2 mentaadjubkan. Pada suatu hari ada seekor rubah mengikatkan sebuah tjorong pada montjongnja dan memautkan obor pada ekornja. Sesudah selesai diikatnja, ia lalu lari kian kemari di- padang luas, dan dengan tjorongnja itu berserulah ia dengan lantang- nja: “Awas api! Djagalah pembakaran dari kaum pengatjau!” Te-tapi berbareng dengan itu, api obornja membakar mendjalar ke-mana2.

Perbuatannja itu menarik perhatian penduduk dari pelbagai desa. Mereka be-ramai2 datang melihat, dan semua merasa kagum. Rubah itu merasa puas serta gembira akan siasatnja jang telah berhasil itu, lalu ia berdiri dan mendjelaskan buah pikirannja itu kepada chalajak.

“ Saudara2 sekalian,” udjarnja, “permainanku ini disebut: Dimana terdengar teriakan ‘Djagalah kebakaran’,

(19)

SINGA DAN MATAHARI SILAM

P A D A suatu sendja ditepi gurun, matahari jang minta diri hendak meninggalkan tjakerawala, sedjenak menoleh dan memantjarkan sinar- nja kesamudera pasir, sehingga gurun itu mendjadi merah laksana laut- an darah. Tatkala itu seekor singa dengan tenang dan tenteram ber- djalan hilir mudik, pikirannja terpikat oleh pemandangan jang sangat indah dan gemilang itu. Dengan perasaan duka ia mengudjar: “Ah, lihatlah! Itu dia sinar jang memegahkan keradjaanku. Akan tetapi, se- bentar lagi ia akan lenjap apabila aku sebagai radja gurun ini tidak segera menangkap dan membawanja kemari!”

Dengan semangat berkobar sang radja gurun itu segera berlari se- tjepat angin menudju kebarat, dan dibelakangnja diikuti oleh olakan. debu jang memerah mendjulang keangkasa. Akan tetapi, semakin djauh ia berlari, sang surja semakin turun djuga kebarat, dan warna gurun jang merah tjerah itupun segera berubah mendjadi suram dan kabur.

Achirnja singa itu tiba pada sebuah danau — jang lazimnja disebut mutiara dalam gurun oleh airnja jang djernih dan menawan. Sekelom- pok awan-kemawan merah kesumba jang terachir berarak dilangit dan memantjarkan bajangannja diatas danau jang biru. Singa menahan langkah sedjenak dan mengudjar: “ Duhai, disinilah mangsaku!” Maka segera lontjatlah ia kedalam danau, dan disitulah ia menemui mautnja.

Sebelum mengembuskan napasnja jang penghabisan bisiknja: “ Da- patkah aku memilih kesudahan riwajatku jang lebih baik daripada me- ngorbankan diri dalam mengedjar m aja?”

Dalam sedjarah, ketika klas2 jang pernah mengalami kebesaran itu mendekati keruntuhannja, atjap ka!i muntjul manusia jang bermimpi, bahwa dirinja adalah pahlawan jang mampu memulihkan djamannja jang silam itu. Tetapi pada hakekatnja, ada jang mati konjol kesunjian

(20)

di-tepi djalan, ada djuga jang menganggap dirinja pembela tjita2 dan me- nguburkan dirinja dalam tjahaja maja jang indah, jang sebentar sadja sudah akan lenjap.

AJAM DJANTAN DAN KELABANG KETJIL

S E E K O R ajam djantan melihat seekor kelabang jang sangat ketjil sedang merajap ditanah. Ajam djantan itu segera mengembangkan bulu suaknja serta menampakkan semangatnja berdjuang, dan dengan tjepat madju menjerang kelabang ketjil itu, dipatuk dan ditelannja.

Serta melihat kelakuan ajam djantan jang ber-lebih2an dan se-olah2 sedang menjerbu dimedan pertempuran besar itu, seekor gangsa jang tak djauh dari tempat itu merasa geli sekali. Ia lalu berkata menjindir:

“Wah, itulah jang dinamakan semangat jang dapat memindahkan gunung”

“Apa boleh buat,” djawab ajam djantan itu. “Walaupun musuh jang paling lemah, mesti harus kita pandang sebagai musuh djuga.”

(21)
(22)
(23)

PEMBURU DAN ISTERINJA

A d a seorang pemburu jang sangat gagah berani, baik budi dan

ramah-tamah. Isterinja atjap kali mem-bangga2kannja dihadapan orang: “Suamiku itu seorang jang baik sekali! Kami berdua hidup manis seperti santan dengan tengguli. Tiap kali pada waktu hendak pergi, ia selalu menjatakan tjinta kasihnja kepadaku, dan setiap tiba dirumah iapun tak lupa menjatakan tjinta kasihnja kembali. Ia sungguh patut kutjintai!”

Tetapi pada suatu hari suaminja pergi berburu dan sampai djauh malam barulah ia pulang. Kepada isterinja ia bungkam tidak bitjara. Adalah mudjur sekali baginja bisa pulang dengan selamat, karena pada hari itu ia berdjumpa dengan seekor binatang buas, dan setelah bergulat mati2an, barulah ia dapat meloloskan diri dari bahaja maut. Sedjak itu, sifatnja segera berubah mendjadi sangat dingin, tidak lagi suka ber- senda gurau atau ber-kasih2an dengan isterinja, bahkan dingin sadja ter- hadap isterinja itu! Walaupun isterinja ber-ulang2 menundjukkan sikap- nja jang lemah lembut dan tjinta kasihnja, serta sangat mengharapkan balas, tapi usaha itu sia2. Achirnja isteri itu menangis sedih. Kadang2 ia sengadja membuat ingar dengan suaminja, tetapi inipun tidak ber- faedah. Tak lama kemudian, isteri itupun berubah djuga mendjadi pen- diam, murung dan dingin.

Pada suatu hari pemburu itu pergi lagi seperti sediakala dan baru kembali pada larut malam. Tetapi, kali ini ia bergegas masuk kerumah, isterinja segera dipeluknja kentjang2 dan dibawanja menari ber-putar2 sehingga isterinja ter-hujung2 hampir pingsan! Walaupun demikian, namun ia masih terus menari sambil berseru gembira: “ Hai, isteriku! Marilah kita bergembira, bergembira! . . . . ” Teriakannja jang keras itu menggeletarkan bilik sehingga sekalian tetangga ramai2 datang

(24)

men-djenguk. Setibanja dihalaman rumah, tetangga itu melihat bangkai seekor binatang buas jang baru sadja dibawa pulang oleh pemburu tadi.

Kebahagiaan adalah tudjuan hidup kita. Hal ini tak perlu disang- sikan lagi. Bukankah kehidupan rakjat pekerdja itu lebih memerlukan kebahagiaan dan tjinta kasih daripada machluk2 lain? Bukankah sikap dingin daripada rakjat itu akibat kelaliman dan keganasan kaum jang berkuasa? Akan tetapi rakjat jang bersifat dingin itu tidak sadja ber- sikap dingin terhadap penghidupannja, melainkan perlu mengadakan perdjuangan jang sengit, sehingga kemenangan2 jang mereka tjapai itu dapat membuktikan, bahwa kebahagiaan dan tjinta kasih tidak terpisah- kan dari penghidupan dan tidak terpisahkan dari rakjat.

PERIGI DAN SUNGAI

D j a m a n perigi tidak turut tjampur tangan dengan urusan

sungai itu sudah lampau. Sebuah perigi jang letaknja tidak djauh dan tepi sungai melantjarkan ketjaman kepada sungai itu.

“ Sekudjur badanmu bergelumang, tiada lain sepandjang hari kau hanja berteriak meng-empas2 diseling lagamu jang menderu. Peng­ hidupan apakah ini? Mestinja engkau harus sedalam dan setenang se- perti aku, djernih bersih dan tak berdebu. Sehari suntuk dari djendela ketjilku aku menengadah kelangit biru dan menjelidiki rahasia jang ter- sembunji dibalik semesta alam — inilah baru bisa disebut penghidupan!

Djaman sungai tidak turut tjampur tangan dengan urusan peiigi itu djuga sudah lampau. Air sungai jang keruh itu pasang terus-menerus, dan achirnja meluap membedah tanggul menggenangi empat pendjuru. Mulut perigi berbingkai kaju itu hanjut didampar arus. Maka perigi itu terbenamlah dan kehidupannja jang mendalam dan tenang itupun lenjap binasa.

(25)

GARUDA DAN PADANG PASIR

D l-T E N G A H 2 padang pasir jang gersang dan tak berhutan hi^ duplah seekor burung garuda. Garuda itu terbang tinggi me-lajang2 diangkasa, hendak melepaskan keinginannja me-lihat2 pemandangan di- sekitarnja. Pada djurusan timur dilihatnja samudera jang membentang luas menepung ufuk; diutara membudjur hutan lebat jang ribuan kilo­ meter pandjangnja; dibarat berarak awan-kemawan jang beraneka warna dengan bentuk ragamnja jang ber-bagai2, sebentar meng-apung2 dan sebentar me-nari2; dan diselatan lapangan rumput terhampar meng- hidjau sepantun beledu.

Apabila garuda itu hendak minum, ia harus terbang kearah timur. Dan untuk ini perlu ditempuhnja djarak sedjauh lima ribu li*, dan pada malam hari ia harus kembali pula kesarangnja melalui djarak jang sama. Djika ia hendak mentjari dahan2 kaju dihutan utara, iapun harus terbang sepuluh ribu li, karena pada malam harinja ia harus kembali tidur dipadang pasir. Begitupun bila garuda hendak mendjeladjah kebarat atau selatan harus ditempuhnja djarak sepuluh ribu li pulang pergi, ka­ rena ia mesti kembali tidur dipadang pasir pada malam harinja.

Ini sungguh sangat menjibukkan dan meletihkan garuda itu. Maka berkatalah Laut Timur kepadanja: “ Apakah perlu saudara demikian penat dan sibuk? Silakan terbang sebentar diatasku me-lihat2 wilajahku dengan pemandangannja jang indah2. Daerahku tidak terhitung ketjil, penuh dengan gugusan2 pulau dan ada pula ber-djenis2 ikan, naga dan binatang laut jang aneh2 dan beraneka. Sukakah saudara akan badai? Tunggulah, sebentar lagi ia akan datang — dan aku pertjaja ia tentu akan

(26)

tjukup memuaskan saudara. Dan pada waktu malam, kusilakan saudara memilih salah satu gua dipantai sebagai tempat bermalam.”

Tetapi garuda itu mendjawab: “ Sampai bertemu lagi! Esok hari aku akan kembali.” Setelah minum air dan sedjenak terbang melajang diatas laut, segera kembalilah ia kepadang pasir.

Hutan utarapun mengadjaknja: “ Singgahlah agak lama, saudara. Hari sudah hampir gelap, baik bermalam sadja disini. Sukakah saudara akan tempat saja ini? Andai kata tempatku ini dikatakan ada kebaikan- nja, maka kebaikan itu ialah: Sedjak purbakala hingga sekarang belum pernah ada orang jang bisa mendjeladjahi seluruh wilajahku. Negeriku boleh dibilang negeri jang besar djuga. Rakjat disini djudjur dan seder- hana, lagi mudah bergaul. Hanja mereka itu mempunjai suatu adat jang aneh: Kaum prija suka akan tari2an dan kaum wanita gemar akan musik. Djika saudara ingin bertemu dengan mereka, saja bersedia mem- perkenalkan saudara dengan beruang dan burung bulbul. Saja meng- harap saudara suka tinggal beberapa hari disini. Disini saudara akan menikmati malam jang njaman. Demikian saudara memedjamkan mata, maka saudara akan segera terbawa kealam impian hutan jang tak beru- djung, dimana saudara bisa melihat menghidjaunja pohon2 dimusim panas dan memutihnja saldju dimusim dingin, suatu pemandangan jang tak kundjung habis . . . . ”

Tetapi garuda itu memberi djawaban jang sama: “ Sampai ber- djumpa lagi! Esok hari aku akan kembali.” Setelah mematah sebatang dahan kering dan berkisar beberapa kali diatas rimba, garuda itu lalu

terbang kembali mengarah padang pasir.

Mega jang mengelompok tjantik laksana bunga, dengan liuk leng- gangnja jang elok gemulai hendak memikat hati sang garuda. Katanja: “ Marilah kita menari agak lama! Dan marilah kita terus menari seperti sekarang ini mentjapai ufuk barat, dan tak turun lagi. Alangkah gem- biraku bisa berdampingan dengan dikau!”

Tetapi, seperti petualang jang digesa waktu, garuda itu terbang se­ djenak ber-sama2 dengan mega barat lalu berkatalah ia: “ Sampai ber­ temu lagi! Betapa tjantik engkau ini!”

Tanah hidjau diselatan jang bersolek laksana dewi Musim Semi, menegur garuda itu: “ Mengapa terbangmu selajang sadja lalu ter-gesa2

(27)

berangkat? Marilah singgah dan berbitjara tentang tjahaja matahari, kerdja dan tjinta, dan apa sangkut pautnja ini semua dengan hidup . . .

“Ja, saja sudah mengerti akan Musim Semi,” mendjawab sang garuda. “ Tapi, sampai berdjumpa; aku akan kembali lagi.”

Malam harinja, garuda itu tidur dalam sarangnja digurun. At jap kali, karena terpengaruh oleh rasa girang pada siang harinja, lama ia tak bisa tidur. Pada waktu2 itulah ia berkata dalam hati: “Aku ini sungguh mendjadi seorang jang selalu sibuk akan pekerdjaan jang bukan2. Tetapi, aku ini mentjintai timur, barat, selatan dan utara. Be- tapa elok empat tepas dunia itu. Tapi aku masih merasa berat mele- paskan kenikmatan tidur digurun dan kesenanganku me-lajang2 diatas- nja pada waktu pagi. Sesungguhnja aku ingin sekali membawa air laut, dahan dan daun2 dari hutan rimba, mega dari barat dan musim semi dari selatan kegurunku. Maka aku akan mendjadi lebih sibuk lagi. Te­ tapi, betapapun djua, aku mesti berbuat demikian, dan aku pertjaja maksudku itu tentu berhasil. Saat dimana gurun jang kukasihi ini mempunjai mata air dan hutan rimba pasti akan tiba. Se-olah2 tjita2 ini hanja merupakan suatu chajal belaka, namun ia mesti bisa diwudjudkan dan aku mendjadi sangat gembira bila aku memikirkan hal itu.”

Sjahdan, garuda itu meneruskan terbang hilir mudik seperti sedia- kala, dan sedikitpun tiada dirasanja lelah.

(28)

KATAK PENGGENDERANG

S eEKOR ular hendak merintangi sebuah pedati jang sedang me-

lalui djalan raja. Oleh karena perbuatan ini bukan suatu pembegalan biasa, maka diadjaknja seekor katak bekerdja sama. “ Ini adalah suatu pertempuran besar, se-kali2 tidak boleh dilaksanakan setjara diam2, maka sangat kuperlukan tukang pukul genderang jang kenamaan seperti eng- kau.” Demikian berkata ular itu kepada katak.

Katak itu djadi sangat girang. Tatkala pedati itu makin mendekat, segeralah ia mengembungkan perutnja dan memukul genderang dengan sekuat tenaga. Ular itu mendjadi bersemangat sekali oleh bunji gen­ derang, maka dengan meradang merajaplah ia melintangkan tubuhnja di-tengah2 djalan akan mengalangi pedati itu. Tetapi ular tadi segera mati tergilas oleh roda pedati, sedangkan katak masih djuga belum menge- tahuinja, terus memukul genderang dengan se-kuat2nja.

Hingga pada saat sekelompok burung datang membersihkan gelang- gang pertempuran itu dengan mematuki bangkai ular, sang katak masih sadja terus ber-talu2. Burung2 itu makin mendengar makin merasa djemu, dan achirnja berkata: “ Marilah kita mangsa djuga katak itu, sebab teriaknja amat membisingkan telinga!” Demikianlah katak itu

segera ditelannja hidup2, sekalipun ia bukan dihukum oleh burung2 itu sebagai pendjahat perang, tetapi hanja menurut alasan2 jang sewadjar- nja sebagai berikut:

Segala lagu dan sjair jang berdjiwa djahat harus dimusnakan ber- sama2 dengan gembong2 pendjahat jang mengganas.

(29)
(30)
(31)

RUBAH JANG DJATUH KEDALAM

RAWA

SE E K O R rubah mengembara dipadang luas dan pada suatu hari sampailah ia pada sebuah rawa jang boleh dibilang besar djuga. Rubah itu hendak mengukur ketjakapan tenaganja, maka ia mentjoba melom- pati rawa itu. Tetapi kemampuannja hanja separuh daripada kehendak- nja itu, maka djatuhlah ia di-tengah2 rawa dan terdjerumus kedalam lum- pur. Meski ia me-ronta2, tetapi sia2. Ia berteriak se-keras2nja, setengah sungguh2 dan setengah pura2. Pikirnja, dengan berteriak pada bukit, hutan rimba dan lain2 jang ada disekelilingnja itu, dirinja akan tertolong. Tetapi, nasibnja tetap seperti semula. Bukit dan hutan rimba itu me* mandangnja dingin, dan bahkan mungkin dengan senjum simpul. Oleh kegagalan itu, rubah tadi berdiam sedjenak dan memutuskan untuk mengalah sedikit. Ia berkata: “ Biarlah aku berteriak agak perlahan, tetapi tindakan apakah jang hendak kauambil nanti?” Pertanjaannja itu tidak terdjawab. Achirnja rubah itu berhenti meronta, dan udjar- nja dalam hati: “Tidak apa, aku toh bisa menghibur diri, sebab aku sanggup menanggung kerugian.”

Bahwasanja orang jang semakin gagal usahanja itu semakin keras pula teriakannja. Tetapi djanganlah kita pedulikan, sebab ia nanti toh akan diam djuga, dan achirnja tinggal menggumamkan radjukan.

(32)

KELINTJI

P

ADA suatu hari, sekawanan kelintji jang hidup bermukim dise- buah bukit me-nari2 kegirangan tatkala mendengar, bahwa radja serigala dari bukit hendak turun mengundjungi mereka. Ini sungguh merupakan suatu kehormatan besar bagi sekawanan kelintji tadi.

Kelintji2 itu be-ramai2 keluar dari lubangnja, memberitahukan satu sama lain tentang kabar baik tadi. Mereka mempersiapkan penjam- butan atas kedatangan radja serigala itu dengan perajaan jang amat meriah jang belum pernah terdjadi pada waktu jang sudah2. Kata ke­ lintji2 itu: “ Ini adalah suatu lembaran baru dalam sedjarah kita jang akan membawa kebahagiaan langgeng bagi anak tjutju kita!”

Sjahdan, maka radja serigala itu benar2 tiba. Semua machluk ke­ lintji itu dengan memimpin jang tua dan menuntun jang ketjil, berdesak siku memenuhi tepi djalan. Sambil bersorak-sorai mengutjapkan sela- mat kepada radja serigala, mereka memandang paras radja jang ber- seri2 itu, dan hampir mentjutjurkan air mata oleh terharu. Radja seri- galapun meng-angguk2 selaku memberi salam kepada mereka, lalu mengeluarkan sebuah maklumat untuk menenteramkan hati rakjat.

Tetapi setelah segala perajaan berachir, radja serigala itu lalu me- njatakan, bahwa bukit ini adalah tempat jang baik, dan disini ia hendak mendirikan sebuah istana pasanggerahan. Kelintji2 itu mau atau tidak diharuskan segera membongkar rumah mereka, dan mendjalankan pe- kerdjaan rodi untuk berbakti kepada radja serigala. Karena radja seri­ gala itu tidak membawa selimut serta pakaian pengganti, maka kelintji2 harus menjerahkan sedjumlah besar kulit kelintji, dan merekapun minta kepada radja serigala supaja sudi menerimanja. Sudah barang tentu radja serigala itu tidak membawa bekal makanan, tapi untunglah daging kelintji jang dihasilkan didaerah ini ber-limpah2 tiap2 tahun, maka

(33)

da-gingpun dapat dibelinja ditempat ini djuga, dengan tidak perlu membajar tunai, dan menghemat pula biaja pengangkutan.

Keadaan berubah demikian pesatnja: Sorak-sorai kelintji jang penuh dengan kebanggaan itu berubah djadi keluh kesah jang menjedihkan, dan kemakmuran dalam masjarakat kelintjipun berganti dengan mala- petaka dan kemunduran tjatjah djiwa serta krisis kemusnaan bangsa. Achirnja, wakil2 kelintjipun tidak terhindar dari malapetaka itu. Tetapi bagaimanapun djua, mereka itu terhitung golongan jang terkemuka dan berpengetahuan, maka sambil meng-gerak2kan telinganja jang pandjang itu berkatalah mereka dengan sangat menjesal:

“ Mengapa kita sebagai kaum tjerdas tidak bisa berpikir lebih djauh?”

Aku amat menaruh simpati kepada apa jang disesalkan oleh wakil2 kelintji itu. Sungguh kasihan mereka itu tidak mengetahui lebih dulu akan suatu prinsip jang sudah tua tapi sederhana seperti dibawah ini:

Kehormatan jang diberikan oleh radja lalim dan kaum agresor tidak bisa lain daripada membawa bentjana kepada rakjat.

(34)

+ ULAR DAN LEBAH

SsPUAK

lebah hutan sibuk membuat sarang pada sebatang pohon

kaju. Lebah2 itu terbang berkeliaran di-tengah2 dahan dan daun2an, dan bunjinja jang bersering riuh itu memetjah kesunjian dalam rimba. Seekor ular jang meronda melalui tempat itu sangat tidak senang meli- hat keadaan demikian, maka lalu berkatalah ia:1 »

“ Pertama, ini adalah satu hal jang sangat tidak pantas, karena seorang negarawan jang pandai pernah berkata: Suatu negeri jang selalu ingar-bingar pasti tak akan bisa aman dan sentosa; djika bukan mengalami serangan dari luar, tentu ada kekatjauan didalamnja, atau se-tidak2nja kebisingan itu ditimbulkan oleh orang2 bodoh didalam ne­ geri sendiri! Kesemuanja ini adalah kebodohan jang mutlak.

“ Kedua, betapa buruk kebiasaan bertindak setjara kolektif itu ! Ke- hidtipan sematjam itu menjimpang dari kebiasaan, sama sekali tidak ada ketertiban lagi, rakjat seluruh negeri telah mendjadi pengatjau, dan

seorangpun tak ada jang mewakili seluruh rakjat!”

Ular itu menganggap dirinja sebagai polisi internasional merangkap pendeta, maka ia tjepat2 merajap naik keatas pohon hendak merusak sarang lebah itu terlebih dahulu, dan kemudian barulah soalnja diper- bintjangkan dibelakang. Akan tetapi se-konjong2 ia tergelingsir dari atas pohon ketanah, dan oleh karena rombongan lebah itu terus menge- riap menjengatinja, ular itu terpaksa menjelinap sembunji kedalam

rumpun berduri.

Djaman sekarang adalah djaman intervensi imperialis dengan sekehendak hatinja, tetapi djuga djaman dimana kaum imperialis men- djumpai pukulan dari segala djurusan.

(35)

KERA DAN PAPAN

P a d a suatu tempat ditepi sungai ada tertimbun papan jang hen­

dak diangkut kekota dengan rakit untuk didjual. Seekor kera ingin sekali memiliki sebilah papan itu buat ber-matjam2 keperluan. Ia ber- pikir2 entah dengan djalan apa ia baru bisa mendapatkannja. Pikirnja dalam hati: “ Mentjuri? Tidak sudi, dan djuga tidak sumbut! Meram- pas? Tjara ini bukan tidak boleh, tetapi oleh itu aku akan ditjap sebagai perampok, dan inipun kurang baik didengarnja. Lebih baik aku me- nunggu sepinja orang, lalu kularutkan sebilah papan itu kedalam sungai, sesudah itu aku lalu terdjun kesungai mengangkatnja kembali. Djadi papan itu akan merupakan suatu benda jang kupungut sendiri dari sungai, dan seorangpun tidak akan bisa mengatakan apa2 tentang hal ini. Ichtiar inilah jang paling tepat!”

Maka, ketika dilihatnja tiada orang, kera itu lalu menghanjutkan sebilah papan dan ia sendiripun terdjunlah kedalam air. Akan tetapi ia tidak pandai berenang, lagi pula sungai itu amat dalam dan mengalir sangat deras, maka ia terpaksa memeluk papan itu, terombang-ambing ditengah sungai. Ia me-ronta2 dengan sekuat tenaga, kadang2 ia ada diatas papan, dan adakalanja papan itu ada diatasnja. Demikianlah kera dan papan itu timbul tenggelam silih berganti hanjut kehilir. Kera itu tidak berdaja lagi mentjapai tepi, dan oleh karena terlalu banjak minum air, achirnja ia mati tenggelam.

Oleh tjerita ini saja terkenang akan suatu hal: Kaum imperialis sangat jakin akan kepandaian tipu muslihatnja. Mereka sering kali mendjerumuskan negeri jang akan didjadjahnja kedalam air, kemudian lalu pura2 menolongnja. Mereka mengira bahwa dengan djalan ini dalam sekedjap mata sadja negeri itu akan dapat dimilikinja. Akan tetapi ke- sudahannja hampir gagal sama sekali. Sesudah ber-kali2 mengadakan perdjuangan jang dahsat dan susah pajah, achirnja mereka terpaksa melepaskan tangan, dan terdjerumus sendiri kedalam sungai itu.

(36)

PANGERAN PELARIAN

D i t a n a h rumput ada seekor anak itik jang ter-sedu2 menangis.

karena diusir oleh saudara2nja setelah saling bertengkar. Dalam pada itu, kebetulan datanglah seekor luwak jang berkata kepadanja:

“ Duhai, anak muda, mengapa tuan menangis begitu sedih? Wadjah tuan ini persis wadjah pangeran; agaknja tuan ini diusir karena pere- butan tachta keradjaan?”

Anak itik itu merasa bahwa perkataan luwak itu masuk akal djuga, maka lalu mendjawab: “ Benar apa jang tuan katakan tadi, saja ini memang pangeran sedjati, dan saudara2ku itu pangeran palsu, tetapi

mereka memperalat rakjat memberontak. . . .”

“ Benar djuga dugaanku! Djadi tuan ini pangeran pelarian. Ah, ini sungguh tidak adil. Baiklah, sekarang tuan tundjukkan djalan, dan tuan akan saja bantu memadamkan pemberontakan itu, supaja tuan bisa naik tachta sebagai seorang radja jang sah.”

Anak itik itu sangat girangnja sehingga terasa olehnja sebagai sudah mendjadi pangeran benar2, maka ber-tatih2 ia — agaknja ia masih belum mampu berdjalan tegap — menundjukkan djalan kepada luwak. Ia bersedia naik tachta apabila saudara2nja itu sudah ditundukkan.

Tetapi, baru sadja mengajunkan langkah, ia segera disergap oleh luwak tadi. Anak itik itu berteriak keras “kwek, kwek” , seperti menga- takan:

“ Ah, kau imperialis, kau luwak!”

“ Sungguh bodoh kau ini! Sudah lama aku bergaul dengan dikau, belum djuga kau ketahui siapa aku!” Suara luwak itu agak kurang djelas sebab mulutnja menggondol anak itik.

(37)
(38)
(39)

GADIS NELAJAN DAN LAUT

S eORANG gadis tinggal dipantai laut. Ia sangat mentjintai laut,

dan setiap hari pergilah ia ketepi laut itu merenunginja. Beberapa hari ber-turut2, tatkala sang fadjar tengah merekah, ia sudah ada didermaga. Pada waktu itu laut mulai bergolak seraja mengembangkan matanja tersenjum dibawah sinar matahari pagi. Ia sangat suka akan senjum itu — senjuman jang mirip dengan senjum seorang anak orok jang segar bugar jang baru sadja sadar dalam buaiannja. Pada hari2 sendja, di- kala sang laut sedang mabuk akan keindahan gelombangnja jang kemi- lau ke-emas2an, seperti djuga sawah pada musim rontok jang memabuki bulir majangnja jang kuning menggelombang, dengan suara rendah ia mendajukan lagu jang menawan. Gadis itu terpesona oleh lagu sedjenis ini, sebab ia senantiasa menggugah perasaan tjinta dan kebebasan, serta memberi padanja sukatjita dan hiburan. Apabila tjuatja gemilang dan laut amat permai ber-seri2, terbajanglah pada pandangan gadis itu paras jang bersenjum gembira, dan ia sendiripun berubah mendjadi lebih tjan- tik dan gembira. Dikaia tofan bertiup mengganas, iapun takkan undur karenanja, se-olah2 ini djuga jang di-nanti2kannja, sama seperti gadis2 umumnja menunggu datangnja tjinta jang menggelora.

Pendek kata, tiap2 hari dan detik, laut itu senantiasa djadi sumber kegembiraan bagi gadis tadi.

Akan tetapi, adalah djelas dan wadjar djika masih ada sebab-musa- bab jang lain. Laut itu lebih mengetahui daripada siapapun, bahwa gadis itu mempunjai suatu rahasia: Ia mempunjai kekasih seorang pemuda nelajan. Seorang pemuda jang tampan, berlengan badja dan berdada lebar, wadjah mukanja hitam manis, bibirnja merah ungu, ba- dannja selalu berbau anjir dan asin air laut, pendek kata seorang pelaut sedjati. Ia tjinta akan pemuda ini.

(40)

Maka setiap hari ia bikin pertemuan empat mata dengan pemuda nelajan ini pada sebuah dermaga. Mereka membitjarakan dan me-mudji2 akan laut, seperti djuga membitjarakan dan me-mudji2 akan pertjintaan- nja sendiri. Mereka saling berbisik: “Lihatlah, laut itu ber-senjum2, ber- njanji2 dan ber-gulung2. Betapa indahnja!”

Pendeknja, mereka mentjintai laut dan antara mereka djuga saling mentjintai.

Gadis itu gembira, pemuda nelajan itu gembira dan lautpun gembira djuga.

Tetapi entah mengapa pemberi bahagia itu at jap kali djadi peram- pas bahagia itu sendiri. Tak lama lagi, kebahagiaan gadis jang djudjur jang mentjintai laut dan ditjintai laut itu, dibinasakan oleh laut itu sen­ diri. Pada suatu hari setelah bertemu dengan kekasihnja, gadis itu de­ ngan senjum bahagia jang keluar dari lubuk hatinja menatap kekasihnja jang mengajuh perahu ke-tengah2 laut, namun se-konjong2 gelombang melontjat tinggi dan menelan djantung hatinja.

Demikianlah dalam sekedjap mata sadja gadis tadi sudah menderita kehilangan bahagia. Baginja laut kini tidak lagi merupakan sumber ba­ hagia, melainkan pembawa murung. Dalam pandangannja, laut itu kini sudah kehilangan ketjemerlangan dan kepermaiannja, ja, bahkan sama sekali suram dan penuh dukatjita!

Akan tetapi jang mengherankan ialah, gadis tadi setiap hari masih te- tap pergi me-lihat2 laut. Sekalipun ia pernah mengutuk dan membentji laut karena hati disajat olehnja, namun ia tak dapat berpisahan daripada- nja. Katanja, ia tetap mentjintai laut, bahkan djusteru karena pukulan laut itu ia lebih mentiintainja lagi. Achirnja ia berkata sambil mere- nungi laut: “Duhai, raksasa! Marilah kita berperang dan lihatlah siapa jang menang!” Maka segera terdjunlah ia kelaut, dan kemudian men- djadilah ia seorang nelajan jang kuat dan ke-hitam2an.

Dikaia ia menggantikan pekerdjaan kekasihnja dan berhasil menak- lukkan ombak jang mengganas di-tengah2 angin jang mengandung garam, maka tjintanja kepada laut itu lebih bertambah lagi. Tjinta kasih- nja kepada temannja — pemuda nelajan jang gugur itupun lebih daripada jang sudah2.

(41)

BABI HUTAN JANG MEMUSUHI

HUTAN RIMBA

S eEKOR babi hutan jang dirinja merasa kuat ingin menaklukkan

segala machluk jang dilihatnja. Maka larilah babi itu susup-sasap di- dalam hutan rimba. Tetapi betapa sial babi hutan itu ! Baru sadja lari, ia sudah tertumbuk pada sebatang pohon jang me&gakibatkan kulitnja luka2. Selandjutnja ia tertumbuk lagi pada pohon jang lain dan tang- gal gigi taringnja. Dalam keadaan itu, selain marah ia tak bisa berbuat apa2! Babi hutan jang terlandjur meradang itu lalu menganggap, bah- wa seluruh hutan rimba itu musuhnja. Ia menjerang setiap pohon, me- njerodong dengan kepalanja, mentjampakkan tubuhnja kepada pohon2 itu, menggigit dan mentjakar. Matanja ber-njala2, dan gunung2 ber- gempa menggeletar oleh teriaknja, se-akan2 terdjadi suatu peperangan jang dahsat. Tetapi tidak terduga, bahwa badannja itu telah luka babak belur, dan achirnja ia mengalami kekalahan. Tetapi, iapun tidak undur begitu sadja, sebab paling tidak ia mesti harus mematahkan batang leher pohon, barulah kemarahannja itu djadi agak reda. Ia melontjat tinggi, tetapi diluar keinsafannja sebatang pohon disampingnja jang suka bergurau mendjulurkan dahannja dan menusuk perutnja. Demikianlah babi hutan itu tergantung ter-apung2 seperti lampion. Rupanja babi hutan jang gagah perkasa itu tidak pernah turun2 lagi.

Sjahdan, seekor kelintji jang menganggap dirinja berpengetahuan luas, dalam perdjalanannja melewati tempat itu berkata: “ Karena ia suka perang, maka ia mendjumpai musuh di-mana2, tapi karena gagal, maka ia melompat begitu tingginja.”

(42)

SIASAT PERANG SEEKOR ULAR

OEEKOR ular hendak mematikan sebatang pohon. Sesudah diseli- dikinja dengan saksama, ular itu lalu mengambil siasat baru jang paling hebat. Pengetahuannja jang luas itu memberi faedah bagi dirinja, sebab ia pernah menjaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa pohon2 tidak akan berdaja apabila terlilit oleh rotan.

“Tubuhku ini lebih besar daripada rotan dan tenagakupun djauh lebih kuat,” berkata ular itu dalam hati. “ Djika badanku kulilitkan de­ ngan sekuat tenaga pada pohon itu, kalau ia bukan mati tertjekik seke- tika itu djuga, se-tidak2nja pasti akan mati laju!”

Ular itu lalu melata sepandjang pohon tadi, dan dengan tubuhnja dililitnja batang pohon itu se-kentjang2nja, makin lama makin keras, maksudnja hendak dengan sekali gus mengachiri djiwa pohon tadi. Akan tetapi serta dilihatnja, pohon tadi tetap tidak berubah. Ular itu, agak marah. Ia lalu memutuskan hendak memperhebat tindak- annja dengan melilitkan tubuhnja lebih kentjang lagi. Tetapi setelah dilihatnja pohon itu masih seperti sediakala, ular itupun lalu geram me- maki2: “ Engkau kira menguntungkan dengan mempertahankan dirimu begini?”

Ia memutuskan hendak berdjuang sampai penghabisan, maka sema- kin lama semakin keraslah batang pohon itu dililitnja. Tetapi pergulatan jang setanding itu berlangsung tidak lama. Entah karena ular itu tidak suka lagi terus berdjuang dan lebih suka mengachiri djiwanja dengan mematahkan tulang punggungnja sendiri, entah karena batang pohon itu tiba2 membesar dan memutus tubuh ular itu, tetapi tak lama kemudian ular itupun putus mendjadi beberapa potong seperti tali jang lapuk djatuh ketanah.

(43)

SERIGALA MENJANGKAL

P A D A sebuah bukit jang diselimuti saldju tebal, adalah seekor serigala jang kehabisan makanan. Serigala itu tak suka menderita lapar, maka meskipun belum lupa akan pentung pak tani serta matjam2 pengalamannja jang pahit getir, ia memberanikan diri turun dari bukit, dan berhasillah menggondol seekor a jam dari sebuah desa. Berkat ke- tangkasannja, kali ini ia terhindar dari pentungan, maka sepandjang djalan ia merasa puas sekali dan berkata pada diri sendiri: “ Tak perlu takut2! Tidak ada orang jang akan mengedjar! Huh, siapa gerangan berani mengedjar? Memang benar aku jang merampok disiang hari! Inilah pekerdjaanku selamanja!” Serigala itu merasa bahwa kebenaran ada pada dirinja, maka itu ia mendjadi lebih berani lagi, dan ajam mang- sanja tadi digonggong kesarangnja, lalu dimakannja sedikit demi sedikit.

Tetapi, setelah ajam itu habis dimakannja, se-konjong2 datanglah .padanja perasaan waswas. Demi dilihatnja bahwa disepandjang djalan jang tertutup saldju itu terdapat titik2 darah ajam dan denai2nja sendiri, maka ia mendjadi terkedjut dan kuatir kalau sadja ini akan membawa

akibat tjelaka bagi dirinja.

“ Bukti dosaku djelas sekali,” pikirnja bimbang. “Andai kata ke- betulan ada orang jang mengedjar, nistjaja aku tak bisa memungkiri- nja. Lebih baik aku menjangkal terlebih dulu!”

Maka berteriaklah serigala itu dengan se-keras2nja: “ Lihatlah, ka­ lian ! Ini adalah kabar bohong jang se-mata2 disiarkan dengan maksud merusak namaku.”

Sambil ber-teriak2 ia meng-usap2 dengan montjongnja titik2 darah ajam serta denai2nja disepandjang djalan. Akan tetapi, bekas darah ajam itu makin disapu makin kelihatan njata, sebab montjong serigala itu masih berlumuran darah.

(44)

ULAR DAN KELINTJI

U N T U K menghargai kedaulatan rumah tangga kelintji, seekor ular menjusun sebuah undang2 dan pergi mengumumkannja kepada tuan rumah.

“ Dengarkanlah!” katanja. “ Mulai dari sekarang, djika aku masuk kerumahmu tanpa mengetuk pintu dan tidak mendapat idjinmu terlebih * dulu, engkau berhak menggugat aku!”

Walaupun ular itu telah mengumumkan undang2nja, tetapi ia masih sangsi akan sikap sang kelintji itu. Pada hematnja, kelintji itu kurang taat kepada undang2nja dan keraguan terhadap dirinja itupun tak mung- kin dapat diubah dalam waktu jang singkat. Maka ia mengambil kepu-

tusan untuk mengudji kelintji tadi.

Pada suatu hari meneroboslah ular itu kerumah kelintji, tanpa me­ ngetuk pintu dan tidak minta idjin terlebih dahulu. Seekor anak kelintji lalu digigitnja sampai mati, dan setelah itu, iapun tjepat2 keluar dan du- duk diluar pintu sambil menunggu tuan rumah datang mendakwa.

Lama sekali ia menanti, akan tetapi kelintji itu tidak djuga kelihatan keluar. Kemurkaan ular kian lama kian men-djadi2, dan achirnja ia masuk lagi kerumah kelintji dan menangkapnja. Kepada mangsanja ia menghardik:

“ Mengapa engkau tidak mentaati undang2?”

“ Undang2 apa jang harus saja taati dan terhadap siapa, tuan?” “ Berani benar engkau tidak mendakwa padaku!”

“ Tadi jang mendjadi perampok tuan, sekarang jang mendjadi ha- kimpun tuan djuga. Beritahulah, perampok mana jang harus saja tang-

kap dan kepada hakim mana saja harus mengadu?”

“ Ssst!” Sang ular itu tak dapat menahan amarahnja lagi, maka kelintji itu lalu ditelannja sekali gus.

(45)
(46)
(47)

Setelah kelintji itu dimakannja, ular tadi membuat pengumuman lagi: “ Kali ini tjaraku membunuh kelintji berlainan sekali dengan jang sudah2. Pembunuhan ini semuanja berdasarkan undang2, dan mulai dari penangkapan sampai diadili semua berdjalan menurut hukum.”

KUTJING DAN KALENG KOSONG

S e k a l i peristiwa, seekor kutjing memandjat rak mentjari makan-

an. Jang per-tama2 terlihat oleh kutjing itu ialah sebuah kaleng jang tak bertutup. Demi dilihatnja kaleng itu kosong, ia berkata: “ Sesung- guhnja ini tak perlu kulihat lagi, sebab sudah terang bahwa itu adalah kaleng kosong.” Maka pandangannja lalu dialihkan kepada sebuah ka­ leng lainnja jang ada tutupnja. Lama nian kaleng itu ditatapnja, de­ ngan tidak mengerdipkan mata. Semakin lama kaleng itu dipandangnja, semakin tak dapatlah ia menahan seleranja, maka ia lalu memberanikan diri membuka tutup kaleng itu, akan tetapi tidak disangkanja kaleng itupun kosong djuga.

Kutjing itu teramat ketjewa, dan mengeluh sedih: “Semuanja ko­ song! Hanja ada setengah orang jang berterus terang mengaku tidak mempunjai apa2, apabila ia benar2 tidak mempunjai barang sesuatu. Akan tetapi, ada djuga setengah orang jang sengadja mem-bikin2 se-akan2 ia seorang jang mistik dan tak dapat diukur lahir dan djiwa nuraninja, se­ hingga menjebabkan orang lain membuang banjak waktu mempeladjari- nja ber-ulang2, tetapi pada hakekatnja tak memperoleh hasil apapun djua!”

(48)

SERIGALA, RUBAH, KERA DAN

WANiTA DESA

OEEKOR serigala dan seekor rubah menjamar sebagai pendjabat tinggi, sedang seekor kera sebagai pengikutnja. Mereka bertiga bertolak ke-tengah2 rakjat untuk mengetahui apakah adat-istiadat rakjat masih tetap seperti sediakala.

Baru sadja keluar dari hutan, mereka bertemu dengan seorang wanita desa. “ Marilah kita memulai pemeriksaan kita,” kata serigala. “ Aku tanggung ia adalah seorang wanita jang djudjur, dan pasti tidak akan membohongi kita.”

“ Kedjudjuran adalah budi pekerti jang baik,” kata si rubah. “Dalam karangan2ku aku selalu menjarankan, bahwa kedjudjuran adalah unsur jang harus dimiliki oleh segenap rakjat djelata.”

“Itu sudah sewadjarnja,” kata kera.

Serigala dan rubah mendekati wanita desa itu dan menegur: “ Hai, wanita jang beradat, adakah engkau simpan ajam dirumah? Kami tidak minta banjak, seorang seekor sadja sudah tjukup.”

“Aku tidak makan daging,” kata kera. “ Bagiku segantang katjang sadja sudah tjukup.”

“Selamat datang,” kata wanita itu. “Silakan singgah dirumahku. Sungguh amat djarang sekali tuan2 besar melalui desa ini. Biasanja diundangpun tidak gampang datang!”

Setelah mereka sampai dirumah wanita itu, serigala dan rubah masing2 didjamu seekor ajam. Kerapun makan sepenampan katjang. Akan tetapi mereka belum djuga merasa ken jang.

“Adakah engkau piara domba?” tanja serigala dan rubah. “Seekor domba sama dengan empat ekor ajam.”

(49)

“Adakah engkau punja katjang tanah?” tanja kera. “Aku suka se­ kali makan barang jang semurah itu.”

“ Saja ada seekor domba,” djawab wanita itu. “ Katjang tanahpun ada. Silakanlah tuan2 makan!”

Seekor domba telah habis dimakan oleh serigala dan rubah, dan se- tengah bakul katjang tanah telah habis pula dimakan kera, sedangkan jang setengah bakul lagi dimasukkan kedalam karungnja. Akan tetapi serigala dan rubah masih djuga belum merasa kenjang dan bertanja pula:

“ Adakah kaupiara babi? Kami ingin berganti rasa.”

“ Ambilkanlah beberapa bidji sarangan untukku,” kata kera.

“ Babi ada seekor, dan gemuk sekali!” djawab wanita itu. “ Buah sarangan akupun ada djuga.”

Babi itu dibagi mendjadi dua dan habis dimakan serigala dan rubah. Setengah kerandjang sarangan telah ditumplak oleh kera kedalam ka­ rungnja, dan sisanja habis dimakannja. Ia merasa sarangan itu enak benar rasanja. Akan tetapi serigala dan rubah masih djuga belum ke­ njang, dan oleh karena itulah mereka mendjadi gusar.

“ Bawalah sapimu kemari untuk kami!” perintah mereka. “Ambillah buah2an untukku!” perintah kera.

Wanita itu pergi, dan sedjurus kemudian kembali menuntun seekor sapi serta mendjindjing sekerandjang buah2an.

Akan tetapi serigala dan rubah masih belum djuga merasa kenjang, sekalipun sapi itu telah habis dimakannja. Kerapun masih ingin makan lainnja lagi.

“ Kau masih punja apa lagi?” tanja mereka.

“ Saja punja satu barang lagi!” djawab wanita itu. Ditangannja digenggamnja sebilah kapak pembelah kaju dan dengan tidak banjak bi- tjara benda itu lalu disadjikannja kepada mereka. Sjahdan serigala, ru­ bah dan kera itu tidak tampak keluar dari rumah wanita desa itu.

(50)

BURUNG GAGAK JANG ANEH

OURUNG gagak adalah burung jang aneh. Ia berkata: “ Dengar- kanlah, seluruh daerah jang dapat kuterbangi sekali gus adalah wilajah- ku, dan dinegeri itulah aku mendjadi radja!

“ Undang2ku adalah sebagai berikut: Dilangit tidak boleh ada burung beterbangan, didaratan tidak boleh ada burung berdjalan, dan diatas po- honpun tidak boleh ada burung bersarang.”

Akan tetapi undang2 itu masih ada retaknja, sebab dengan adanja. radja jang sedemikian itu, semua burung terpaksa mendjadi anasir jang melanggar undang2, karena mereka tetap beterbangan dilangit, berdjalan diatas bumi dan bersarang diatas pohon seperti sediakala. Ini merupa- kan tamparan jang hebat bagi martabat seorang radja.

Akan tetapi burung gagak adalah burung jang aneh. Sambil mem- beliakkan matanja ia berkata: “ Untuk sementara waktu ini, teristime-wa kuidjinkan kamu semua beterbangan, berdjalan dan bersarang. Aku ini seorang radja jang budiman!”

Akan tetapi keadaannja tetap mengetjewakan, sebab burung2 tadi bukannja berterima kasih, bahkan se-olah2 mendengarkanpun tidak. Mereka tetap beterbangan, berdjalan dan bersarang sesuka hatinja. Ini sungguh merupakan tamparan jangdahsat bagi martabat seorang radja.

Akan tetapi burung gagak adalah burung jang aneh. Ia meng- ulangi lagi perkataannja jang dulu itu: “ Tetap kuidjinkan padamu semua beterbangan, berdjalan dan bersarang. Aku ini adalah seorang radja jang budiman!”

Burung gagak adalah burung jang aneh. Ia memberi peladjaran kepada kita, bahwa pada suatu negeri dimana radjanja lalim dan ber- kuasa, disamping keganasannja, kata2 pengampunan tidak terlepas dari bibirnja. Keganasannja itu dipakai untuk merampas hak2 rakjat, dan

(51)

pengampunannja dipakai untuk merampas martabat rakjat. Sedangkan radja2 jang lalim, bodoh serta besar kepala, karena sangat tolol dan sangat tidak mampu, maka keganasannjapun makin hebat, dan kata2 murah hati itupun tak kundjung henti di-sebut2nja.

DOKTER KERA DAN KELEDAI

JANG SAKIT KERAS

S e e k o r keledai jang berbaring ditempat tidur karena sakit keras

bertanja kepada seorang dokter: “Aku ini sakit apa, dokter? . . . Aku ingin darahku beredar, tetapi ia berhenti. Aku berusaha meng- gerakkan kakiku, tetapi kakiku tidak patuh akan perintahku. Aku masih ingin hidup, tetapi adjalku telah mendekat . . . duh, dokter!”

Dokter itu adalah seekor kera jang termashur. Ia meng-angguk2kan kepalanja sambil mendjawab: “Ja, engkau ingin darahmu beredar, te­ tapi ia berhenti. Engkau berusaha menggerakkan kakimu, tetapi kaki- mu tidak patuh akan perintahmu. Engkau masih ingin hidup, tetapi

“ Lalu bagaimana? . . . Ja Allah!” “Lalu bagaimana? . . . Ja. . .

Kera itu tidak mau memberi resep, dan membiarkan keledai itu menutup matanja dengan tenang.

Bahwasanja, dokter jang tidak mau memberikan resep kepada orang sakit jang tidak dapat ditolong itu, adalah dokter jang paling pandai dan paling susila didunia ini.

(52)

LEMBU DAN TALI PENAMBATNJA

S eEKOR lembu dengan seekor andjing berdjandji hendak melari- kan diri ber-sama2 kesebuah bukit pada malam hari. Mereka ingin hi- dup merdeka.

Tatkala sudah malam, andjing itu menepati djandjinja datang ke- tempat lembu. Ia segera menggunakan giginja jang tad jam menggigit. keluan lembu jang tertambat pada sebuah tonggak. Akan tetapi, lembu itu mentjegahnja: “ Djangan! Lebih baik tali itu kaubuka dari tong- gaknja sadja. Tali ini tali baik. Aku tak mempunjai harta benda apapun, maka tali ini hendak kubawa.” Andjing itu terpaksa menurut permintaan lembu itu, lalu ia berusaha membuka ikatan tali dari tong­ gak, dan membiarkan tali itu terikat pada hidung lembu, agar dapat di- bawanja lari. Setelah itu, mereka lalu menerobos pintu dan melarikan diri ber-sama2.

Tatkala andjing itu telah lari djauh, lembu masih terhambat di- tengah djalan, sebab talinja terkait pada sebuah batu besar. Oleh karena itu, maka ia terkedjar dan digiring pulang oleh madjikannja.

“ Satu2nja kesalahanku,” kata lembu pada diri sendiri, “ialah aku masih ingin memiliki taliku. Djusteru keinginan akan harta benda ini- lah jang mentjelakakan diriku.”

(53)
(54)
(55)

INDUK SAPI DAN ANAKNJA

P A D A suatu hari dimusim semi dengan pemandangannja jang in- . dah permai, seorang petani menuntun seekor induk sapi hendak mem- hadjak sawahnja. Anak sapi itu ber-londjak2 mengikuti induknja. Ke- tika induk sapi itu hendak menghela badjak, ia berkata kepada anak- nja: “ Nak, kasihku, pergilah engkau kepadang rumput dan ber-main2 sendiri disana.”

Akan tetapi anak sapi itu kasih amat akan induknja, maka sambil menggelengkan kepala ia mendjawab: “Tidak, mak, saja tidak mau pisah dari emak. Emak kini sedang bekerdja keras, biarlah saja mengikuti emak, supaja emak mendapat hiburan dan merasa tidak lelah.”

Induk pentjinta anak itu merasa senang sekali5 maka permintaan anaknja itu lalu diluluskannja. Akan tetapi, ia harus mengawasi anak- nja setiap waktu, karena ia kuatir anaknja djatuh, berdjalan terlalu tje- pat atau ketinggalan dibelakang, dan oleh sebab itu, maka hasil peker- djaannja mendjadi banjak kurang daripada biasanja. Pak tani merasa sangat tidak senang, lalu ditjambuknja sapi itu ber-ulang2, sehingga sapi itu menerima kutukan dan tjambukan berlipat ganda. Achirnja induk sapi itu berkata kepada anaknja: “Nak, kasihku, djika engkau sung­ guh2 menjajangi aku, pergilah dari sini, supaja penderitaanku agak men­ djadi kurang!”

Berbagai matjam sentimen jang tidak berguna itu, sekalipun amat kita sukai, akan tetapi lebih baik kita buang sadja.

(56)

ORANG TUA DENGAN TIGA ORANG

ANAKNJA

S eORANG tua mempunjai tiga orang anak laki2. Anak jang su­

iting mendjadi seorang pelaut jang amat tjakap: sifatnja teguh, be- rani, dan bertanggung djawab terhadap kewadjibannja. Orang tua itu sangat sajang dan bangga akan anaknja jang sulung itu. Akan tetapi anak sulung jang gagah berani itu mati ditelan gelombang tatkala ada angin tofan jang amat besar.

Anak jang kedua adalah seorang buruh tambang jang tak kenal pe- nat. Ia lebih kuat dan tahan daripada teman2nja. Anak ini djudjur dan suka membantu teman2 sekerdjanja, sehingga semua pekerdja tambang, terutama jang muda, amat sajang kepadanja. Mereka merasa gembira berteman dengan dia. Orang tuanja sajang djuga kepadanja, terutama sesudah anaknja jang sulung itu meninggal, maka anak jang kedua itu dianggapnja sebagai pelipur lara jang diberikannja oleh Tuhan. Tetapi tidak lama kemudian anaknja jang kedua itupun mati djuga karena ke- beranian dan sifatnja jang tidak mementingkan diri sendiri. Pada suatu hari ketika ia sedang bekerdja didalam tambang, se-konjong2 balok2 pe- nahan lubang tambang jang sudah lapuk itu runtuh. Dengan gagah ia menahan salah satu balok itu untuk menjelamatkan teman2nja. Achir- nja djiwa teman2nja itu tertolong, tetapi ia sendiri menemui adjalnja.

Alangkah sedihnja orang tua itu, maka dalam waktu satu malam sa- dja ia berubah mendjadi seorang jang tua renta dan lemah sekali. Tetapi ia masih mempunjai seorang anak lagi, dan inilah satu2nja jang dapat menghibur hatinja. Pikiran orang tua itu sekarang berubah. Ia tidak mengehendaki anaknja bungsu itu mendjadi seorang pahlawan, karena ia tidak dapat menanggung kesedihan kehilangan anak lagi. '

(57)

“Aku lebih suka ia mendjadi orang jang tak berguna,” keluhnja, “ daripada ia mati karena ketjakapannja.”

Maka orang tua itu mendidik sendiri anak jang satu2nja itu, setjara seorang nenek mendidik tjutjunja perempuan jang masih kanak2. Dan anak itu sungguh tidak mengetjewakan ajahnja: ia terdidik mendjadi se­ orang anak jang setia dan patuh pada orang tuanja, atau dengan perka- taan lain, ia membiarkan dirinja terdidik mendjadi seorang anak jang pengetjut, hanja mementingkan diri sendiri dan benar2 mendjadi seorang jang tidak berguna sama sekali. Tetapi sama sekali tidak terduga, bahwa orang tua itu kini bersedih hati. Ia belum pernah sesusah sekarang ini. Sambil menjesali perbuatannja dan merasa bentji serta kasihan kepada anaknja itu, ia berkata:

“Aku selalu bentji akan anak jang tidak berguna, anak jang sudah rusak. Tetapi, lantaran aku mementingkan diri sendiri, maka anakku te- lah kudidik mendjadi demikian rupa. Untuk apa ia hidup, seorang anak sematjam ini, lautpun tak hendak menelannja dan gunungpun tak mengu- ruknja?”

Orang tua itu sungguh2 tidak bisa mentjintai anaknja itu, karena ia hanja dapat mentjintai laut dengan ombaknja jang men-deru2, gunung2 jang megah dan teguh, atau orang2 serupa kedua orang anaknja jang sudah meninggal itu. Demikianlah orang tua itu djadi seorang ajah jang selalu dirundung sedih, dan inilah hukumannja karena pikiran jang sa- lah dulu dan merusak sendiri anaknja jang bungsu itu.

(58)

OEEKOR rubah menangkap beberapa ekor kepiting, lalu dikumpul- kannja mendjadi satu. Katanja: “Semua ini adalah negeri sekutuku, mereka dengan sukarela ingin bersekutu dengan daku. Sekarang baik-

lah kuhitung, entah berapa banjak djumlahnja!” Maka dengan djari ia menundjuk kelompok kepiting itu sambil menjanji:

“ Satu, dua, tiga . . . sembilan ekor. Semuanja sembilan ekor!” Tetapi kepiting2 itu pada merangkak kesana sini menghilang. Baru sadja selesai dihitungnja, dan tatkala dibidiknja kembali, rupanja telah kurang beberapa ekor. Segera dihitungnja sekali lagi:

“ Satu, dua . . . tudjuh ekor. Huh, mengapa tinggal tudjuh ekor sadja?” Ia merasa heran, lalu dihitungnja ketiga kali, keempat, kelima kali, dan pada achirnja hanja tinggal seekor. Kepiting itu segera di- indjaknja dengan kakinja seraja berkata:

“ Tidak, tidak! Bagaimanapun djuga jang terachir ini tidak akan kulepaskan lagi!” Kepiting itu segera dimasukkanlah kedalam mulut- nja.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan informasi diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk menentukan waktu yang tepat memulai weaning pada larva betok pada umur 15, 20 dan 25 hari setelah

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksana Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – keten Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 60,

Hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglass diperoleh bahwa faktor produksi yang paling berpengaruh terhadap output industri minyak goreng sawit adalah bahan baku, yakni

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) Pada Mata Kuliah Blok 10 Lbm

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat, hikmat, bimbingan dan kasih anugerah-Nya yang selalu menyertai mulai dari awal

memproduksi  komoditi  perkebunan  yang  diusahakan  oleh  perusahaan  perkebunan  besar  seperti  karet,  teh,  kopi,  coklat,  minyak  sawit,  tebu.  Nilai 

Komisi III DPR RI datang ke Kupang meminta penjelasan dari Kapolda NTT, Brigjen Polisi Endang Sunjaya, terkait penyidikan laporan Brigpol Rudy Soik mengenai kasus mafia perdagangan

Untuk merubah gambar RGB ke gambar grayscale di MATLAB disediakan fungsi khusus yaitu rgb2gray(matrik_gambar), tetapi kadangkala diinginkan untuk perubahan bentuk