BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Struktur Perekonomian di Provinsi Gorontalo
Seperti umumnya provinsi di Indonesia, Gorontalo merupakan daerah dengan kontribusi sektor pertanian yang terbesar. Lebih dari 30% PDRB Gorontalo selama menjadi provinsi dibentuk dari aktivitas pertanian. Sektor jasa serta sektor perdagangan hotel dan restoran merupakan penyumbang terbesar lainnya dengan kontribusi rata-rata 17.59% dan 14.74% per tahun.
Meskipun pertanian merupakan penyumbang terbesar, namun memiliki laju pertumbuhan ekonomi sektoral relatif rendah, hanya rata-rata 4.85% per tahun. Pertumbuhan ini relatif kecil dibandingkan dengan laju sektor listrik yang memiliki kontribusi tidak cukup 1% namun dengan laju pertumbuhan 11.04%. Laju pertumbuhan sektor pertanian terbesar adalah pada tahun 2002 (6.90%) dan terendah di tahun 2008 (3.25%). Sektor yang memiliki rata-rata pertumbuhan terbesar adalah sektor perdagangan (15.25%), listrik (11.04%) dan pertambangan (8.59%). Seluruh sektor pertumbuhannya fluktuatif.
Sumber: BPS Provinsi Gorontalo, 2009
Gambar 5.1
Proporsi dan Laju Pertumbuhan PDRB Sektoral Riil Provinsi Gorontalo 2001-2008
Terdapat kesenjangan dalam struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo jika antara kontribusi dan pertumbuhan PDRB (pertumbuhan ekonomi sektoral) ini dikaitkan dengan kontribusi dan pertumbuhan tenaga kerja sektoral. Misalnya untuk sektor pertanian dari tahun 2003 ke tahun 2006 memiliki kontribusi PDRB sektor di atas 30%, relatif terbesar dibanding kontribusi sektor lainnya. Demikian halnya dengan kontribusi tenaga kerja sektoralnya yang mencapai separuh dari total penggunaan tenaga kerja yang ada di Gorontalo. Namun kontribusi PDRB sektor pertanian yang relatif besar ini hanya diikuti dengan laju pertumbuhan ekonomi (laju pertumbuhan PDRB) yang relatif rendah dibanding sektor lainnya (dari 3.48% di tahun 2003 menjadi 5.5% di tahun 2006). Bandingkan dengan sektor listrik yang hanya memiliki kontribusi PDRB 0.93% di tahun 2003 menjadi 0.96 di tahun 2006 tetapi memiliki peningkatan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari sektor pertanian, yaitu dari 6.25% di tahun 2003 menjadi 6.59% di tahun 2006.
Ketimpangan ini didukung pula oleh perbedaan pada kontribusi dan laju pertumbuhan pada tenaga kerja sektoral. Sektor pertanian bukan hanya memiliki kontribusi PDRB yang terbesar, tetapi juga kontribusi tenaga kerja sektoral yang terbesar (49.44% di tahun 2003 menjadi 50.63% di tahun 2006). Berbeda dengan kontribusi PDRB terbesar yang diikuti dengan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah, kontribusi tenaga kerja sektoral pertanian justru diikuti oleh laju pertumbuhan tenaga kerja yang relatif tinggi. Di tahun 2003 proporsi tenaga kerjanya sebesar 49.44%, menjadi 50.63% di tahun 2006. Capaian ini searah dengan laju pertumbuhan tenaga kerja yang juga relatif tinggi dibanding daerah lainnya (1.19% di tahun 2003 menjadi 13.24% di tahun 2006).
Disatu sisi, sektor-sektor yang memiliki kontribusi PDRB yang relatif kecil justru memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dengan kontribusi tenaga kerja sektoral yang relatif rendah dan laju pertumbuhan tenaga kerja sektoral yang jumlahnya cenderung menurun. Seperti halnya yang terjadi pada sektor listrik yang memiliki kontribusi PDRB yang relatif kecil dan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian, sektor listrik juga memiliki kontribusi tenaga kerja sektoral yang relatif rendah dibanding sektor pertanian (0.12% di tahun 2003 turun menjadi 0.11% di tahun
2006). Selain itu, terjadi penurunan yang sangat signifikan pada laju pertumbuhan tenaga kerjanya, dari 8.79% di tahun 2003 menjadi -2.58% di tahun 2006. Keadaan ini menyebabkan tenaga kerja di sektor pertanian akan menerima PDRB perkapita yang lebih rendah dibanding sektor listrik dan sektor lainnya yang lebih kompetitif dari aspek tenaga kerja sektoral. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, maka gap antara sektor akan semakin melebar sehingga ketimpangan pembangunan berpeluang semakin melebar pula.
Sumber: BPS Provinsi Gorontalo, 2009 Tahun 2008: Data sementara
Gambar 5.2
Nilai PDRB Riil dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Riil Kab/Kota di Provinsi Gorontalo tahun 2001-2008
Dari aspek wilayah, ketimpangan dalam struktur ekonomi masih diakibatkan oleh perbedaan dalam proporsi kepemilikan PDRB dan dinamika pertumbuhan PDRB pada setiap wilayah seperti yang ditunjukkan dalam gambar 5.2. Kabupaten Gorontalo merupakan daerah dengan kontribusi nilai PDRB riil terbesar, rata-rata 38% terhadap PDRB Provinsi Gorontalo. Dari 2.369 milyar rupiah nilai PDRB riil provinsi di tahun 2008, 38% (899 milyar) merupakan kontribusi dari Kabupaten Gorontalo, 21% dari Kota Gorontalo, 19% Pohuwato, 12% Boalemo dan 10% dari Bone Bolango.
Besarnya kontribusi PDRB setiap wilayah ini tidak diikuti dengan pertumbuhan yang proporsional. Artinya, daerah yang memiliki PDRB terbesar
justru memiliki laju pertumbuhan PDRB yang relatif rendah dibandingkan dengan daerah yang memiliki kontribusi PDRB yang kecil. Sampai dengan tahun 2007, rata-rata pertumbuhan ekonomi terbesar dimiliki Kabupaten Pohuwato (7,16%), lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan provinsi (6,45%). Kota Gorontalo, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango masing-masing dengan pertumbuhan sebesar 6,93%; 6,46%; 6,21% dan 5,18% pertahun. Ketimpangan dalam proporsi dan laju pertumbuhan ini jika dianalisis lebih lanjut bersama dengan analisis jumlah penduduk, maka ketimpangan selanjutnya yang akan terjadi adalah ketimpangan dalam PDRB perkapita (pembahasan lebih lanjut terdapat dalam Sumber Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Gorontalo.
Pada gambar 5.2 juga menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi riil kabupaten/kota yang ada di Provinsi Gorontalo juga cenderung mengalami penurunan. Hal ini terutama disebabkan karena faktor alam dimana sepanjang tahun 2008 terjadi beberapa kali bencana banjir yang hampir merata di seluruh wilayah provinsi. Selain merusak infrastruktur seperti jalan, jembatan, bangunan-bangunan publik seperti sekolah, perkantoran, pasar tradisional dan pemukiman penduduk, banjir juga mengakibatkan lahan-lahan pertanian rusak, kemudian mengganggu kegiatan produksi dan ekspor. Akibat akhirnya adalah menurunnya kemampuan berkonsumsi masyarakat.
5.1.1 Analisis Shift Share
Shift-share analysis merupakan salah satu dari teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Atau dengan kata lain melakukan dekomposisi terhadap pertumbuhan ekonomi yang terjadi dalam suatu wilayah. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis shift-share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas. Dalam penelitian ini, wilayah referensi adalah Provinsi Gorontalo dan unit analisisnya adalah empat wilayah kabupaten (Gorontalo, Boalemo, Pohuwato dan Bone Bolango) serta Kota Gorontalo. Hasil analisis ini akan menjelaskan kinerja (performance) kabupaten/kota dan membandingkannya dengan kinerjanya dalam wilayah
Provinsi Gorontalo. Hasil dekomposisi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo seperti dalam tabel berikut:
Tabel 5.1
Nilai Analisis Shift-Share di Provinsi Gorontalo rata-rata tahun 2001-2007 Uraian Pertanian Pertamban gan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air
Minum Bangunan/ Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keu,Perush & Jasa Perusah Jasa-Jasa Regional Share 0.0615 Proportional Shift -0.0113 -0.0051 -0.0140 0.0097 -0.0286 0.0118 0.0080 0.0576 -0.0046 Differential Shift Kab.Gorontalo 0.0060 0.0152 -0.0226 0.0075 0.0034 -0.0384 0.0129 0.0205 -0.0025 Kota Gorontalo -0.0331 -0.0018 0.0340 -0.0192 0.0052 0.0014 0.0067 -0.0499 0.0051 Boalemo 0.0213 -0.0523 -0.0084 0.1140 -0.0310 0.0175 -0.0397 0.0079 -0.0132 Pohuwato -0.0120 -0.0226 0.0380 0.0182 0.0136 0.0802 -0.0238 0.0017 0.0392 Bonbol -0.0064 -0.0014 -0.0097 -0.0034 0.0059 -0.0417 -0.0141 0.0890 -0.0217 SSA Kab.Gorontalo 0.0563 0.0715 0.0249 0.0787 0.0363 0.0348 0.0824 0.1395 0.0544 Kota Gorontalo 0.0172 0.0546 0.0816 0.0521 0.0381 0.0747 0.0763 0.0692 0.0620 Boalemo 0.0715 0.0041 0.0391 0.1852 0.0019 0.0908 0.0298 0.1270 0.0438 Pohuwato 0.0382 0.0338 0.0856 0.0894 0.0465 0.1535 0.0457 0.1208 0.0961 Bonbol 0.0438 0.0549 0.0378 0.0678 0.0387 0.0316 0.0554 0.2080 0.0352
Sumber: Hasil Perhitungan
Ket: cetak tebal adalah sektor yang memiliki nilai tertinggi dalam wilayah; cetak garis bawah adalah nilai tertinggi dalam setiap sektor.
5.1.1.1 Komponen Regional Share
Nilai regional share tak lain menunjukan besarnya pertumbuhan ekonomi provinsi. Selama kurun waktu 2001-2007, pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo rata-rata meningkat sebesar 0.0615 atau 6,15% per tahun. Nilai ini juga menunjukan kontribusi rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi terhadap kabupaten dan kotanya.
Sumber: Hasil Perhitungan
Gambar 5.3
Nilai Regional Share Provinsi Gorontalo
Penurunan pertumbuhan yang cukup drastis di tahun 2008 seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya terutama disebabkan oleh faktor alam. Selama tahun tersebut, Gorontalo mengalami beberapa kali bencana banjir yang terjadi hampir di seluruh wilayah kabupaten dan kota yang menyebabkan kerusakan pada berbagai fasilitas yang dimiliki dan akhirnya berpengaruh pada proses produksi. Banyak lahan sawah yang mengalami gagal panen akibat terendam banjir. Selain itu, orientasi investasi yang lebih ditujukan pada sektor non industri menyebabkan efek pengganda pembangunan juga lebih menurun di tahun 2008.
5.1.1.2 Komponen Proportionality Shift
Komponen kedua dalam analisis shift share adalah proportionality shift. Dari komponen ini diperoleh hasil secara rata-rata terdapat lima sektor yang memiliki pertumbuhan di bawah pertumbuhan provinsi, yaitu sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, bangunan dan jasa. Dengan kata lain, kelima sektor tersebut aktivitas ekonominya tumbuh lebih lambat dibanding aktivitas ekonomi provinsi.
Sektor pertanian sebagai sektor yang memiliki proporsi PDRB terbesar memiliki dinamika yang relatif konstan pada semua wilayah. Hal ini juga diperkuat dengan terspesialisasinya sektor ini hanya pada tahun 2002 saja. Penggunaan teknologi yang belum merata tidak hanya berpengaruh pada sektor pertanian itu sendiri, tetapi juga pada sektor industri pengolahan yang sumber
bahan bakunya berasal dari sektor pertanian. Aktivitas hotel dan restoran juga relatif tidak terspesialisasi karena aspek pariwisata belum signifikan meningkatkan pendapatan bagi daerah. Sektor jasa yang berkembang di Gorontalo umumnya masih didominasi oleh jasa pemerintah dan masih minimnya kontribusi jasa dari sektor swasta/masyarakat secara umum sehingga sektor ini pun tidak terspesialisasi.
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.4
Nilai Proportionality Shift Provinsi Gorontalo
Dari gambar perkembangan nilai proportionality shift di atas, seluruh sektor pertumbuhannya fluktuatif. Sektor yang rata-rata memiliki nilai proportionality shift yang positifadalah sektor listrik, perdagangan, pengangkutan dan keuangan.
Meski rata-rata memiliki nilai yang positif, sektor listrik, gas dan air minum mengalami penurunan signifikan di tahun 2006 dan 2008. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas kelistrikan yang berdampak pada pemadaman listrik bergilir diseluruh wilayah Gorontalo selama 8 tahun terakhir. Kinerja pelayanan air bersih didaerah oleh PDAM yang relatif rendah juga masih dikeluhkan para pelanggan. Untuk itu dilakukan pembenahan dengan melakukan penambahan daya pembangkit listrik. Meskipun secara rata-rata selama tahun 2002-2008 sektor ini terspesialisasi (diatas pertumbuhan ekonomi provinsi), tetapi krisis listrik di
Gorontalo makin memprihatinkan dengan meningkatnya intensitas pemadaman bergilir pada semua wilayah kabupaten kota dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Sektor perdagangan, hotel dan restoran juga berfluktuasi tetapi pertumbuhannya relatif lebih baik dibanding sektor perdagangan dan pengangkutan. Meskipun sempat berkontraksi di tahun 2006-2007 namun di tahun 2008 kembali meningkat dan lebih tinggi dibanding tahun 2002.
Pembukaan berbagai akses sarana transportasi baik darat, perairan maupun udara merupakan tuntutan untuk dapat menarik para investor, sehingga mendorong sektor ini rata-rata tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi provinsi. Namun perkembangan yang terjadi cenderung mengalami penurunan. Kondisi geografi yang kebanyakan masih sulit terjangkau menyebabkan akses pembukaan maupun perawatan dan perbaikan sarana transportasi dan komunikasi mengalami kendala. Aktivitas banjir yang rutin melanda wilayah Gorontalo juga memperparah kondisi sektor ini, khususnya untuk transportasi darat. Meski demikian, sektor ini memiliki pertumbuhan rata-rata di atas pertumbuhan ekonomi provinsi.
Penurunan pada sektor pertambangan disebabkan penutupan beberapa areal penambangan liar, khususnya untuk bahan galian di wilayah Kota Gorontalo serta pertambangan emas di wilayah Boalemo dan Pohuwato di tahun 2004 dan 2005. Peningkatan yang signifikan kembali terjadi di tahun 2006 dengan adanya penemuan areal tambang baru di wilayah Bone Bolango. Namun dalam perkembangannya pemanfaatan areal tambang ini masih menimbulkan pro kontra sehubungan dengan ancaman kerusakan lingkungan. Hal ini menyebabkan beberapa areal terpaksa ditutup dan masih menunggu kemungkinan untuk dapat dilakukan eksploitasi kembali.
Pertumbuhan negatif sektor bangunan terjadi sampai tahun 2005 dan kembali negatif di tahun 2007 sampai 2008 disebabkan bencana alam seperti banjir dan gempa bumi yang acap kali menimpa Gorontalo. Hal ini menyebabkan selama tahun 2002 sampai 2008 sektor bangunan mengalami pertumbuhan yang negatif. Perkembangan usaha real estate guna menjawab pemenuhan kebutuhan perumahan sebenarnya sejak awal sudah ada. Namun perkembangan yang signifikan terjadi di tahun 2006. Hal yang hampir sama terjadi pada sektor
keuangan. Progres yang cukup baik di awal terbentuknya provinsi selanjutnya mengalami penurunan hingga tahun 2005. Selanjutnya terjadi peningkatan hingga tahun 2008 di atas sektor lainya karena aktivitas sebagai daerah dalam pengembangan merupakan rangsangan bagi setiap individu untuk eksis dalam sektor ini.
Setiap sektor dalam proportionalty shift pada masing-masing kabupaten/kota dapat dihitung besarnya nilai peningkatan/penurunan dengan mengalikan setiap nilainya dengan nilai PDRB sektor pada masing-masing kabupaten dan kota (hasilnya adalah nilai magnitude yang ada dalam lampiran). Total hasil penjumlahannya untuk setiap kabupaten/kota menunjukkan dampak dari bauran industri (industrial mix). Jika positif, berarti bauran industri berdampak positif terhadap perekonomian kabupaten kota yang bersangkutan, demikian sebaliknya. Berdasarkan perhitungan pada setiap kabupaten dan kota (lampiran 2) diperoleh hasil bahwa daerah yang memiliki dampak positif dengan adanya bauran industri selama tahun 2002–2008 adalah Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo dengan kontribusi pertumbuhan rata-rata sebesar 2,029.91 juta rupiah dan 174.81 juta rupiah. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan aktivitas ekonomi rata-rata selama tahun 2002–2008 yang positif pada sektor listrik, perdagangan, pengangkutan dan keuangan bagi Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo telah mampu menciptakan aktivitas perekonomian secara agregat yang tumbuh lebih cepat dan terspesialisasi dibanding aktivitas provinsi dan daerah lainnya di Gorontalo.
5.1.1.3 Komponen Differential Shift
Bagian terakhir dari analisis shift share adalah differential shift yaitu komponen yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi daerah pada setiap sektor karena kondisi spesifik daerah yang kompetitif. Hasil dekomposisi pertumbuhan pada komponen ini juga dapat menggambarkan perbedaan struktur ekonomi dalam setiap wilayah pada masing-masing sektor.
A. Kabupaten Gorontalo.
Selama tahun 2001-2008, Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo merupakan wilayah yang kompetitif di sektor pengangkutan dan komunikasi. Hal ini disebabkan keberadaan sarana transportasi udara Provinsi Gorontalo
dan transportasi laut antarpulau sebagian besar menggunakan fasiltas pelabuhan pada wilayah ini. Tetapi khusus untuk pelabuhan laut, saat ini telah menjadi aset Kabupaten Gorontalo Utara sebagai daerah mekarannya.
Aspek kompetitif daerah ini pada sektor pertanian ternyata masih lebih rendah dibanding Kabupaten Boalemo, padahal kepemilikan potensi pertanian di daerah ini lebih besar dibanding Boalemo. Misalnya luas areal sawah Kabupaten Gorontalo mencakup 65% dari total sawah di Provinsi Gorontalo sementara Kabupaten Boalemo hanya 14% saja, areal bukan sawah Kabupaten Gorontalo sebesar 25% dan Kabupaten Boalemo hanya 23%.
Dengan mengalikan nilai setiap koefisen sektor dengan nilai PDRB sektor yang bersangkutan maka akan diperoleh besarnya pertumbuhan PDRB sektor dalam rupiah, dan hasil penjumlahan dari seluruh sektor akan menggambarkan tingkat kompetitif daerah/wilayah secara agregat. Dari hasil perhitungan pada Lampiran 2 diperoleh hasil bahwa pertumbuhan Kabupaten Gorontalo turun sebesar 1,641.79 juta rupiah atau secara agregat perekonomian Kabupaten Gorontalo tidak kompetitif. Jadi, sangat wajar Kabupaten Gorontalo perekonomianya secara rata-rata tidak kompetitif meskipun sektor pertanian sebagai kontributor PDRB terbesar termasuk sektor yang kompetitif. Hal ini disebabkan akumulasi pertumbuhan PDRB dari sektor pertanian dan pengangkutan tidak dapat mengimbangi besarnya nilai sektor yang tidak kompetitif. Rendahnya koefisen differential shift (tingkat kompetitif) dapat disebabkan oleh belum maksimalnya penerapan teknologi pada sektor pertanian. Selain itu, pembukaan areal pertanian pada daerah-daerah yang rawan atau pembukaan hutan yang tidak tepat telah menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor yang justru menyebabkan penurunan produksi pertanian.
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.5
Nilai Differential Shift Kabupaten Gorontalo
Dari analisis tahunan seperti dalam gambar di atas terdapat penurunan signifikan maupun nilai negatif di tahun 2002 yang selanjutnya diikuti peningkatan signifikan di tahun berikutnya pada sektor industri pengolahan, bangunan, perdagangan, pengangkutan dan keuangan. Faktor penyebab kelima sektor tersebut adalah adanya perubahan dinamika ekonomi secara keseluruhan karena adanya pemekaran wilayah. Disaat tahun pertama, terjadi penurunan yang sangat signifikan, selanjutnya meningkat lagi.
Sektor pertambangan, terdapat pembukaan areal pertambangan baru seperti di Kecamatan Mootilango, Sumalata dan Kecamatan Kwandang. Euforia sebagai daerah baru menyebabkan pembukaan areal tambang yang tidak terkontrol, sehingga dilakukan penertiban yang berefek pada ketidakstabilan pertumbuhan di tahun selanjutnya bahkan cenderung menurun. Sektor listrik yang rendah di tahun awal selanjutnya mengalami peningkatan yang signifkan juga merupakan respon atas pembangunan sebagai daerah baru yang terpisah dengan Sulut. Selanjutnya kinerja sektor listrik Kabupaten Gorontalo kembali menurun sebagai akibat krisis listrik yang terjadi hingga saat ini. Demikian halnya dengan sektor bangunan dan keuangan. Keduanya mengalami peningkatan yang cukup signifikan, lalu berfluktuasi. Meskipun ketiga sektor ini sangat fluktuatif, tetapi akumulasinya
memberikan pertumbuhan ekonomi sektor di atas pertumbuhan ekonomi provinsi.
Sektor pengangkutan mengalami pertumbuhan negatif di tahun 2002 karena realisasi terhadap pengangkutan dan komunikasi tidak secepat sektor lainnya. Di satu sisi sarana pengangkutan dan komunikasi banyak yang mengalami kerusakan baik faktor usia maupun faktor alam.memasuki tahun 2003 dan 2004, banyak proyek di sektor ini yang direalisasikan, terutama untuk membuka areal terisolir yang masih mendominasi beberapa kecamatan di daerah ini. Penurunan kembali setelah tahun 2004 tidak berarti bahwa tidak terdapat peningkatan pada sektor ini. Jumlah absolute PDRB sektor tetap meningkat, tetapi peningkatan ini mengalami penurunan.
B. Kota Gorontalo
Kota Gorontalo sebagai pusat pemerintahan, aspek pengangkutan merupakan hal yang menjadi fokus perhatian. Selain itu, sarana pelabuhan laut yang melayani perdagangan antarpulau dan ke luar negeri mendukung sektor ini menjadi sektor yang kompetitif.
Hasil analisis differential shift menunjukkan rata-rata wilayah Kota Gorontalo selama tahun 2002-2008 memiliki keunggulan pada sektor industri pengolahan, bangunan, perdagangan, pengangkutan dan jasa. Sektor industri pengolahan tumbuh sebagai sektor yang kompetitif karena adanya dukungan sarana dan prasarana yang memadai. Selain itu sebagai ibu kota provinsi, Kota Gorontalo memiliki akses yang mudah terhadap bahan baku karena pada umumnya hasil-hasil dari daerah dibawa untuk diperdagangkan pada wilayah ini. Peningkatan pada sektor ini yang terbesar terjadi di tahun 2005 karena disebabkan dukungan program pemerintah berupa Usaha Ekonomi Produktif yang intens diberdayakan pada tahun 2004. Program ini banyak direspon oleh usaha kecil, namun proses pendampingan yang tidak kontinyu menyebabkan program ini mengalami kegagalan pada tahun-tahun berikutnya.
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.6
Nilai Differential Shift Kota Gorontalo
Sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan signifikan sebelum tahun 2004, tetapi setelah itu mengalami pertumbuhan negatif. Fluktuasi sektor ini disebabkan aktivitas keuangan yang terjadi di Gorontalo umumnya masih didominasi oleh belanja pemerintah beserta aparatnya (PNS).
C. Kabupaten Boalemo
Sektor yang kompetitif meliputi pertanian, perdagangan, keuangan dan sektor listrik dengan nilai competitiveness yang terbesar. Sektor pertanian dan listrik merupakan sektor dengan nilai tertinggi dibandingkan dengan daerah lainnya pada masing-masing sektor tersebut.
Dekomposisi pertumbuhan dari komponen ini memberikan nilai positif karena sektor yang kompetitif memiliki kontribusi PDRB terbesar (sektor pertanian memiliki kontribusi PDRB 41% dan sektor perdagangan 13%) dan juga memiliki nilai relatif besar dibanding sektor lainnya pada daerah tersebut ataupun daerah lainnya. Selain itu, sektor listrik yang hanya memiliki kontribusi PDRB sebesar 0.6% memiliki nilai yang relatif besar (0.1093) lebih besar dibanding nilai sektor lain pada daerahnya dan juga relatif lebih besar jika dibandingkan nilai daerah lainnya.
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.7
Nilai Differential Shift Kabupaten Boalemo
Dalam analisis tahunan, sektor listrik meningkat tajam di tahun 2003. Hal ini disebabkan adanya upaya dalam menangani krisis listrik yang terjadi di Gorontalo. Selain berusaha meningkatkan kapasitas pelayanan listrik yang dilakukan terpusat dengan pembangkit induk, pemerintah bersama-sama masyarakat setempat juga melakukan upaya pengadaan pembangkit listrik lokal. Selain itu dari aspek air minum, keberadaan PDAM mengalami permintaan seiring dengan perkembangan Kota Tilamuta sebagai pusat kabupaten.
Perkembangan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang sangat fluktuatif tidak terlepas dari perkembangan ekonomi Kabupaten Pohuwato sebagai daerah mekarannya. Tarik menarik antara kedua daerah ini disebabkan selain memiliki potensi alam dan sumber daya lainnya yang relatif sama, juga memiliki kedekatan dalam aspek geografis. Dalam gambar 5.7 dan 5.8 dapat dibandingkan perkembangan sektor perdagangan,hotel dan restoran. Di saat sektor ini naik di daerah Boalemo, maka di Pohuwato mengalami penurunan, demikian sebaliknya jika di Pohuwato mengalami peningkatan maka di Boalemo justru mengalami penurunan.
D. Kabupaten Pohuwato
Jumlah sektor yang kompetitif Kabupaten Pohuwato lebih banyak dibandingkan yang dimiliki oleh Kabupaten Boalemo sebagai daerah induk sebelum daerah ini menjadi kabupaten tersendiri. Daerah ini juga secara umum menghasilkan kontribusi competitiveness bagi perekonomiannya. Sektor yang kompetitif adalah sektor industri pengolahan, listrik, bangunan, keuangan, jasa dan perdagangan sebagai sektor yang memiliki nilai competitiveness tertinggi dibanding sektor lainnya pada daerah tersebut. Dari enam sektor tersebut, sektor perdagangan dan jasa merupakan sektor yang memiliki nilai terbesar dibanding daerah lainnya pada masing-masing sektor yang bersangkutan.
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.8
Nilai Differential Shift Kabupaten Pohuwato
Sektor industri pengolahan di Kabupaten Pohuwato perkembangannya lebih bagus dibanding Kota Gorontalo. Hal ini antara lain disebabkan kelompok masyarakat khususnya binaan dari dinas sosial lebih banyak dan kegiatannya lebih kontinyu di daerah ini. Sehingga meskipun tingkat teknologi dan sumber daya manusia yang digunakan mungkin lebih baik di Kota Gorontalo, tetapi Kabupaten Pohuwato masih lebih unggul. Kabupaten Pohuwato juga unggul dari ketersediaan bahan baku yang digunakan dalam
kegiatan industri khususnya dari sektor pertanian (hasil perkebunan, kebun, hutan, peternakan, maupun perikanan).
Sama halnya dengan industri pengolahan, sektor jasa yang kompetitif hanya dimiliki oleh daerah Kota Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato. Meski sebagai daerah yang relatif muda, tetapi perkembangan sektor jasa di wilayah ini lebih baik dibanding Kota Gorontalo (pertumbuhan sektor jasa Pohuwato 3.92% dan Kota Gorontalo 0.51%). Hal ini didukung oleh posisi wilayahnya sebagai daerah penghubung antara Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Tengah sehingga kegiatan sektor jasa yang berkembang bukan hanya dari pemerintah tetapi juga dari sektor swasta.
Seperti penjelasan sebelumnya bahwa fluktuasi sektor perdagangan antara Kabupaten Boalemo memiliki keterkaitan yang negatif. Terlepas dari hal tersebut, kompetitif dari sektor ini disebabkan oleh posisi kedua daerah sebagai penghubung Gorontalo dengan Sulawesi Tengah dan daerah lainnya di Sulawesi melalui angkutan darat.
E. Kabupaten Bone Bolango
Sektor kompetitif yang dimiliki hanya pada sektor bangunan dan keuangan. Meskipun sektor keuangan juga merupakan sektor dengan nilai competitiveness tertinggi dibanding sektor keuangan yang dimiliki daerah lainnya, tetapi dukungan hanya dari dua sektor saja tidak mampu memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerahnya.
Banyaknya sektor yang tidak kompetitif dimungkinkan oleh kondisi daerah yang umumnya memiliki potensi yang relatif dibawah jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Misalnya untuk daya dukung sektor pertanian dari aspek pemilikan lahan, daerah ini hanya memiliki 6% areal persawahan dan 15% areal non sawah dari total provinsi, serta rata-rata produksi hasil pertanian yang relatif rendah dibanding kabupaten lainnya di Gorontalo. Selain itu juga aspek infrastruktur pendukung pembangunan yang relatif masih kurang mengingat daerah ini secara yuridis pada tahun 2003 merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo.
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.9
Nilai Differential Shift Kabupaten Bone Bolango
Sektor keuangan mengalami pertumbuhan yang cukup ekstrim dari tahun 2002 yang dalam posisi -0.123 dan menjadi 0.3970 di tahun 2003 sebagai posisi pertumbuhan tertinggi. Hal ini juga disebabkan oleh respon terhadap pemekaran provinsi dan dilanjutkan dengan respon terhadap berdirinya daerah ini secara yuridis di tahun 2003. Setelah itu pertumbuhan mengalami penurunan yang disebabkan berbagai konflik politik yang melanda daerah ini setelah selama 3 tahun resmi sebagai wilayah sendiri. Dengan demikian dari komponen analisis proportionality shift dan differential shift diperoleh hasil bahwa ekonomi Kabupaten Bone Bolango tumbuh sebagai perekonomian yang tidak terspesialisasi dan tidak kompetitif.
Dari hasil Shift-Share Analysis (SSA) ternyata sektor yang potensial dan pertumbuhan ekonomi yang terbesar di masing-masing kabupaten kota di Gorontalo rata-rata terjadi pada sektor non pertanian (sektor tersier dan sekunder). Artinya telah terjadi transformasi struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo selama kurun waktu 2002-2008. Hasil ini dapat dilihat dari perbandingan hasil SSA dalam interval tahun 2002–2008 seperti dalam lampiran 3. Pada masing-masing wilayah diambil 3 sektor yang memiliki pertumbuhan terbesar pada komponen proportionality shift dan differential shift. Diperoleh hasil bahwa sektor sekunder dan tersier memiliki dekomposisi pertumbuhan yang lebih baik dari sektor primer karena memiliki sektor yang memiliki koefisien terbesar. Hal ini sejalan dengan
pemikiran Kuznet bahwa perubahan struktur (transformasi struktural) merupakn rangkaian perubahan yang saling terkait. Perubahan yang terjadi pada sektor sekunder dan tersier disebabkan perubahan yang terjadi pada sektor primer, demikian sebaliknya. Kegiatan perekonomian perlahan beralih ke sektor sekunder dan tersier sehingga menyebabkan sektor primer semakin konstan.
Rata–rata hasil SSA selama periode tahun 2001–2007 menunjukkan:
 Kabupaten Gorontalo: memiliki nilai SSA sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan (0,1395) lebih besar dibanding Diferential Shift (0,0205), Proportionality Shift (0,0576) dan Regional Share (0,0615). Ini berarti bahwa sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang paling kompetitif di daerah ini.
 Kota Gorontalo: memiliki nilai SSA sektor industri pengolahan (0,0816) lebih besar dibanding Diferential Shift (0,0340), Proportionality Shift (-0,0140) dan Regional Share (0,0615). Ini berarti bahwa sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling kompetitif di daerah ini.
 Kabupaten Boalemo: memiliki nilai SSA sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan (0,1395) lebih besar dibanding Diferential Shift (0,0205), Proportionality Shift (0,0576) dan Regional Share (0,0615). Ini berarti bahwa sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang paling kompetitif di daerah ini.
 Kabupaten Pohuwato: memiliki nilai SSA sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan (0,1395) lebih besar dibanding Diferential Shift (0,0205), Proportionality Shift (0,0576) dan Regional Share (0,0615). Ini berarti bahwa sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang paling kompetitif di daerah ini.
 Kabupaten Bone Bolango: memiliki nilai SSA sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan (0,2080) lebih besar dibanding Diferential Shift (0,0890), Proportionality Shift (0,0576) dan Regional Share (0,0615). Ini berarti bahwa sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang paling kompetitif di daerah ini.
5.1.2 Tipologi Klassen
Dengan menggunakan data tentang pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita, maka kita dapat menjelaskan tentang struktur ekonomi suatu wilayah berdasarkan daerah referensinya. Demikian halnya struktur ekonomi di Gorontalo, pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita masing-masing kabupaten/kota dibandingkan dengan capaian tingkat provinsi sebagai daerah referensi. Keadaan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat dalam Tabel 5.2 dan 5.3, berikut ini:
Tabel 5.2
Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo, 2001-2008
Wilayah 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata Kab. Gorontalo 5.39 5.05 6.07 6.66 5.88 7.00 7.40 4.21 5.96 Kota Gorontalo 7.50 5.86 5.88 6.71 6.76 7.02 8.77 3.19 6.46 Boalemo 5.87 6.58 6.62 6.18 6.28 6.65 7.09 4.04 6.16 Pohuwato 7.68 7.79 6.90 7.00 7.24 7.25 6.30 5.04 6.90 Bonbol 4.27 4.86 5.89 4.99 5.09 5.28 5.88 6.34 5.33 Provinsi 6.16 5.87 6.23 6.49 6.28 6.82 7.29 4.34 6.19 Sumber: Hasil Perhitungan
Tabel 5.3
PDRB Perkapita di Provinsi Gorontalo, 2001-2008
Wilayah 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata Kab. Gorontalo 1,482,412 1,447,672 1,599,418 1,718,975 1,747,791 1,861,963 1,991,544 2,054,033 1,737,976 Kota Gorontalo 2,387,500 2,508,785 2,481,450 2,634,912 2,659,994 2,795,600 2,987,132 3,029,157 2,685,566 Boalemo 1,970,588 2,121,537 2,027,257 2,117,558 2,080,356 2,140,758 2,212,564 2,222,744 2,111,670 Pohuwato 2,815,379 3,065,452 3,021,580 3,194,552 3,376,004 3,553,874 3,708,841 3,826,252 3,320,242 Bonbol 1,431,413 1,907,331 1,539,048 1,601,364 1,642,039 1,714,336 1,800,424 1,899,786 1,691,968 Provinsi 1,828,951 1,926,703 1,953,758 2,076,726 2,115,371 2,231,114 2,363,747 2,436,246 2,116,577
Sumber: Hasil Perhitungan
Dari tabel di atas secara umum, daerah/wilayah yang memiliki struktur ekonomi yang relatif baik adalah Kota Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato. Kedua daerah ini memiliki nilai pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita diatas nilai provinsi (high growth and high income). Atau dapat dikatakan termasuk dalam kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Sementara Kabupaten Gorontalo, Boalemo dan Bone Bolango termasuk dalam kategori
daerah relatif tertinggal (low growth and low income). Dengan membandingkan nilai pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita setiap kabupaten/kota dengan nilai provinsi, daerah-daerah tersebut dapat diklasifikasi dalam 4 kategori, yaitu: 1) Kuadran I: High growth and high income (daerah cepat maju dan cepat
tumbuh)
2) Kuadran II: High growth but low income (daerah berkembang cepat) 3) Kuadran III: Low growth and low income (daerah relatif tertinggal) 4) Kuadran IV: High income but low growth (daerah maju tapi tertekan)
Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat dalam Matriks Tipologi Klassen, sebagai berikut:
Tabel 5.4
Matriks Tipologi Klassen Provinsi Gorontalo, 2001-2008
PDRB perkapita (y) Laju Pertum.(r) (yi < y) (yi > y) (ri > r) 1. Kab.Gorontalo: 2004, 2006 & 2007. 2. Kab. Boelamo : 2005. 3. Kab.Bone Bolango: 2008.
1. Kab.Boalemo:2002,2003 & mean 2007
2. Kota Gorontalo: 2001, 2004-2007, mean 2007 & mean 2008.
3. Kab.Pohuwato: 2001-2006, 2008 & mean 2007, mean 2008
(ri < r)
1. Kab.Gorontalo: 2001-2003, 2005, 2008, mean 2007 & mean 2008. 2. Kab. Boalemo: 2006-2008 &
mean 2008.
3. Kab.Bonbol:2001-2007, mean 2007 & mean 2008.
1. Kota Gorontalo: 2002,2003, & 2008. 2. Kab.Boalemo: 2001, 2004.
3. Kab. Pohuwato: 2007
Sumber: Hasil Perhitungan
Keterangan : r : Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota. y : Rata-rata PDRB perkapita kabupaten/kota.
ri : Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang diamati.
yi : PDRB perkapita kabupaten/kota yang diamati
Selama tahun 2001-2008, daerah yang paling sering sebagai daerah relatif tertinggal adalah Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango. Perekonomian Bone Bolango relatif lebih tertinggal selama 2001-2007 karena potensi daerah yang relative minim dibanding daerah lainnya, namun tahun 2008 sudah menunjukan peningkatan menjadi daerah berkembang cepat (high growth but low income). Jika perhitungan pada tahun 2008 dihilangkan karena rata-rata memiliki penurunan yang drastis, maka secara rata-rata selama tahun 2001-2007 Kota Gorontalo, Pohuwato dan Boalemo merupakan daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Berdasarkan Matriks Tipologi Klassen dapat dibuat mapping karakteristik wilayah
untuk tahun 2001, 2008, rata-rata selama 2008, rata-rata selama tahun 2007, pergerakan dari tahun 2001 ke tahun 2008 dan pergerakan dari tahun 2001-2007, sebagai berikut:
Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Berdasarkan Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita Tahun 2001 Kab.Gorontalo Kota Gorontalo Kab.Boalemo Kab.Pohuwato Kab.Bonbol 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 2.2 2.4 2.6 2.8 3.0
PDRB Perkapita (Jutaan Rupiah) 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 7.0 7.5 8.0 L aj u P e rt u m b u ha n E ko n omi ( %) Kab.Gorontalo Kota Gorontalo Kab.Boalemo Kab.Pohuwato Kab.Bonbol Gambar 5.10a
Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Tahun 2001
Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Berdasarkan Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita Tahun 2008 Kab.Gorontalo Kota Gorontalo Kab.Boalemo Kab.Pohuwato Kab.Bonbol 1.8 2.0 2.2 2.4 2.6 2.8 3.0 3.2 3.4 3.6 3.8 4.0
PDRB Perkapita (Jutaan Rupiah) 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 L a ju P e rt u mbu h a n E k o n o mi ( % ) Kab.Gorontalo Kota Gorontalo Kab.Boalemo Kab.Pohuwato Kab.Bonbol Gambar 5.10b
Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Tahun 2008
HGLI
(III) HGHI (I)
HILG (IV)
HGLI (II) HGHI (I)
LGLI (III)
HILG (IV) HGLI (II)
HGHI (I)
Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Berdasarkan Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita Rata-rata Tahun 2001-2008
Kab.Gorontalo Kota Gorontalo Kab.Boalemo Kab.Pohuwato Kab.Bonbol 1.6 1.8 2.0 2.2 2.4 2.6 2.8 3.0 3.2 3.4 PDRB Perkapita (Jutaan Rupiah)
5.2 5.4 5.6 5.8 6.0 6.2 6.4 6.6 6.8 7.0 L aj u P e rt u m b u ha n E ko no mi ( %) Kab.Gorontalo Kota Gorontalo Kab.Boalemo Kab.Pohuwato Kab.Bonbol Gambar 5.10c
Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Rata-rata Tahun 2001-2008
Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Bardasarkan Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita Rata-rata Tahun 2001-2007
Kab.Gorontalo Kota Gorontalo Kab.Boalemo Kab.Pohuwato Kab.Bonbol 1.4 1.6 1.8 2.0 2.2 2.4 2.6 2.8 3.0 3.2 3.4 PDRB Perkapita (Jutaan Rupiah)
5.0 5.2 5.4 5.6 5.8 6.0 6.2 6.4 6.6 6.8 7.0 7.2 7.4 L a ju Pe rtu m bu h a n E k o n o m i (% ) Kab.Gorontalo Kota Gorontalo Kab.Boalemo Kab.Pohuwato Kab.Bonbol Gambar 5.10d
Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Rata-rata Tahun 2001-2007 HILG (IV)
HGLI (II) HGHI (I)
LGLI (III)
HILG (IV) LGLI (III)
Gambar 5.10e
Pergerakan Posisi Kabupaten/Kota dalam Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo dari Tahun 2001 ke Tahun 2008
Secara agregat, dari tahun 2001 ke tahun 2008, Kabupaten Pohuwato merupakan daerah yang memiliki struktur ekonomi yang lebih baik ditinjau dari aspek pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita. Pada interval tersebut, Kabupaten Pohuwato berada pada kuadaran sebagai daerah cepat maju dan cepat tumbuh, demikian pula dengan nilai rata-rata tipologi Klassennya. Kota Gorontalo mengalami penurunan dari kuadran cepat maju dan cepat tumbuh pada tahun 2001 menjadi daerah maju tapi tertekan pada tahun 2008, namun nilai rata-ratanya tetap di kuadran I. Kabupaten Boalemo mengalami penurunan yang cukup signifikan, dari daerah maju tapi tertekan di tahun 2001 menjadi daerah relatif tertinggal di tahun 2008, demikian pula nilai rata-rata selama tahun 2001-2008. Tetapi rata-rata selama 2001-2007 daerah ini berada di Kuadran I. Kabupaten Bone Bolango di tahun 2001 sebagai daerah relatif terbelakang, selanjutnya meningkat menjadi daerah berkembang cepat meskipun secara rata-rata masih sebagai daerah relatif terbelakang. Kabupaten Gorontalo merupakan daerah relatif terbelakang pada tahun 2001, tahun 2008 dan nilai rata-ratanya.
Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Perkapita Pendapatan Perkapita
HGLI (II) HGHI (I)
LGLI (III) Kota Gorontalo Kab.Pohuwato Kab.Boalemo HILG (IV) Kab.Gorontalo Kab.Bonbol
Sumber: Hasil perhitungan
Gambar 5.10f
Pergerakan Posisi Kabupaten/Kota dalam Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo dari Tahun 2001 ke Tahun 2007
Dari hasil analisis ini dapat dijelaskan bahwa struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo juga mengalami ketimpangan. Terdapat tiga daerah (Kota Gorontalo, Pohuwato dan Bone Bolango) sebagai daerah cepat maju dan cepat tumbuh, serta dua daerah lainnya (Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango) sebagai daerah relatif tertinggal.
Kabupaten Gorontalo sebagai penyumbang terbesar PDRB bagi provinsi, secara keseluruhan masih tergolong sebagai daerah relatif terbelakang. Meskipun perekonomian secara rata-rata terspesialisasi, tetapi tidak kompetitifnya perekonomian juga menyebabkan ketimpangan dan keterbelakangan di wilayah ini. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi masih didominasi oleh kontribusi pertumbuhan ekonomi provinsi. Dukungan konsentrasi penduduk terbesar yang berada di daerah ini (46,37% dari total penduduk Provinsi Gorontalo) menyebabkan PDRB perkapita menjadi lebih rendah, sehingga berpengaruh terhadap posisi dalam Matriks Klassen. Di satu sisi, Pohuwato (daerah mekaran dari Boalemo) yang memiliki proporsi PDRB ketiga setelah Kota Gorontalo justru termasuk sebagai kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Perkapita Pendapatan Perkapita
HGLI (II) HGHI (I)
LGLI (III) Kota Gorontalo Kab.Pohuwato Kab.Boalemo HILG (IV) Kab.Gorontalo Kab.Bonbol
Pohuwato yang mekar dari Boalemo pada tahun 2003, jika analisisnya disatukan sebelum pemekaran, maka selama tahun 2001 dan 2002 Boalemo termasuk dalam kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Hal ini menyebabkan Boalemo secara kumulatif termasuk pada daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Jika Pohuwato dihitung terpisah sejak 2001 hingga 2008, maka pada akhirnya Boalemo termasuk pada daerah relatif tertinggal. Artinya Pohuwato memiliki potensi dan struktur ekonomi yang lebih baik karena mampu meningkatkan posisi perekonomian daerah induknya. Meskipun secara umum akumulasi sektornya tidak terspesialisasi, namun dari 9 sembilan sektor, Pohuwato memiliki 4 sektor yang kompetitif, yaitu sektor industri pengolahan, listrik, perdagangan dan jasa, yang memberikan kontribusi rata-rata pertahun sebesar 13% (2.914,99 juta rupiah) bagi peningkatan pertumbuhan ekonominya. Selain itu jumlah penduduknya yang paling sedikit (hanya 11,68% dari total penduduk Provinsi Gorontalo) menyebabkan PDRB perkapita menjadi lebih besar. Hal ini menjadi pendukung sehingga Pohuwato menjadi daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh.
Sedangkan bagi Boalemo yang secara umum perekonomiannya juga tidak terspesialisasi dan kompetitif, tetapi tidak dapat menggeser posisinya dari daerah relatif terbelakang (untuk analisis sepanjang 2001-2008). Hal ini disebabkan sektor yang kompetitif lebih sedikit dengan koefisien juga yang relatif kecil sehingga kontribusi terhadap laju pertumbuhan ekonomi relatif kecil, rata-rata sebesar 2.2% (295,05 juta rupiah). Sektor yang kompetitif adalah pertanian, listrik dan perdagangan. Jika analisis hanya sampai tahun 2007 maka Boalemo termasuk dalam kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Ini berarti bahwa penurunan tahun 2008 cukup berpengaruh terhadap rata-rata kondisi perekonomian secara keseluruhan.
Pemisahan bagi Bone Bolango tidak terlalu berpengaruh, baik untuk daerahnya sendiri maupun Kabupaten Gorontalo sebagai daerah induknya. Hasil analisis Klassen untuk tahun 2001 dan 2002 daerah Pohuwato dan Bone Bolango masih gabung dengan daerah induknya dapat dilihat dalam lampiran 4. Kabupaten Bone Bolango sebagai daerah relative terbelakang, juga disebabkan karena secara agregat memiliki sektor yang tidak terspesialisasi dan tidak kompetitif.
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya karena kontribusi dari pertumbuhan ekonomi provinsi.
Kota Gorontalo sebagai pusat pemerintahan wajar berada dalam kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai pusat pertumbuhan juga sangat memungkinkan wilayah ini untuk mencapai laju pertumbuhan dan pendapatan yang lebih tinggi. Apalagi didukung oleh perekonomian yang meski tidak kompetitif tapi terspesialisasi (hasil SSA). Artinya sektor pertambangan, listrik, perdagangan, pengangkutan, dan keuangan yang merupakan sektor terspesialisasi telah mampu menjadikan bauran industri sebagai pendorong bagi pertumbuhan ekonomi daerah Kota Gorontalo.
5.2. Ketimpangan Pembangunan dan Sumber Ketimpangan
Pembangunan di Provinsi Gorontalo
5.2.1. Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Gorontalo
Dengan menggunakan nilai PDRB perkapita dan total pengeluaran/pendapatan masyarakat dapat diketahui kondisi ketimpangan dalam suatu wilayah. Dengan nilai PDRB perkapita dapat digunakan untuk mendeskripsikan ketimpangan wilayah melalui alat analisis Indeks Williamson. Besarnya pengeluaran/pendapatan masyarakat digunakan dalam menjelaskan ketimpangan melalui Indeks Gini. Dalam penelitian ini, Indeks Gini (Gini Ratio) tidak dilakukan penghitungan karena nilainya sudah diperoleh dari pemerintah setempat.
Dengan menggunakan rumus berikut diperoleh nilai Indeks Williamson seperti dalam gambar 5.5.
, 0 < Iw < 1
Dimana :
Iw = Indeks Wllilamson
yi = PDRB perkapita di kabupaten/kota i.
y = rata-rata PDRB perkapita di Provinsi Gorontalo. fi = jumlah penduduk di kabupaten/kota i.
n = jumlah penduduk di Provinsi Gorontalo y /n) (f ) y (y I i 2 i n 1 i W  
Sumber: Hasil Perhitungan
Gambar 5.11
Nilai Indeks Williamson Provinsi Gorontalo, 2001-2008
Dari hasil perhitungan Indeks Williamson menunjukan bahwa ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo sampai dengan tahun 2008 relatif besar dibandingkan saat pertama menjadi provinsi, dengan nilai tertinggi sebesar 0,27 yang terjadi pada tahun 2005. Grafik yang semula naik lalu menurun mengindikasikan bahwa Hipotesis Neo-Klasik tentang ketimpangan dengan menggunakan Indeks Williamson berlaku di Gorontalo. Saat awal pembangunan, ketimpangan terus berlanjut hingga titik puncak (divergence), selanjutnya berangsur menurun (convergence).
Sumber : BPS, Bappeda, Hasil Perhitungan, 2009
Gambar 5.12
Indeks Williamson, Persentase Pengangguran dan Persentase Kemiskinan Provinsi Gorontalo
Jika dihubungkan dengan kondisi kemiskinan (persentase penduduk miskin) dan pengangguran (persentase pengangguran), naik turunnya indeks ketimpangan, seiring dengan pola perubahan persentase kemiskinan dan pengangguran. Artinya, ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo berkorelasi dengan kedua aspek tersebut.
Berbeda dengan Indeks Williamson, Indeks Gini menunjukkan fenomena yang terbalik dengan Hipotesa Neo-Klasik. Data yang diperoleh dari pemerintah setempat menunjukkan bahwa kondisi ketimpangan di Provinsi Gorontalo berdasarkan Indeks Gini, sejak tahun 2001-2008 semakin meningkat. Artinya bahwa distribusi pendapatan dalam masyarakat sebagai indikator dari ketimpangan semakin tidak merata.
Sumber: Bappeda Provinsi Gorontalo, 2009 Gambar 5.13
Nilai Indeks Gini Provinsi Gorontalo, 2001-2008
Perbedaan kondisi ketimpangan yang dihasilkan Indeks Gini dimungkinkan terjadi karena aspek yang digunakan dalam indeks ini adalah pengeluaran/pendapatan masyarakat. Jadi yang dilihat adalah kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara Indeks Williamson menggunakan data PDRB perkapita. PDRB ataupun PDRB perkapita bisa saja menunjukan nilai yang tinggi, karena yang dihitung adalah nilai produksi.
Sumber : BPS, Bappeda, Hasil Perhitungan, 2009
Gambar 5.14
Indeks Gini, Persentase Pengangguran dan Persentase Kemiskinan Provinsi Gorontalo
Antara Indeks Gini dengan aspek kemiskinan dan pengangguran memiliki hubungan yang agak berbeda dengan Indeks Williamson. Sampai dengan tahun 2006, peningkatan pengangguran searah dengan peningkatan Indeks Gini (ketimpangan) dan setelah itu ketimpangan terus meningkat meskipun persentase pengangguran menurun. Demikian halnya dengan persentase kemiskinan, meskipun mengalami penurunan sejak tahun 2003 tapi ketimpangan yang diwakili oleh Indeks Gini tetap mengalami peningkatan. Hal ini berarti bahwa keberhasilan dalam kedua aspek tersebut belum mampu mengurangi perbedaan pendapatan dalam masyarakat.
Tabel 5.5
PDRB Perkapita dan Indeks Ketimpangan di Provinsi Gorontalo
Daerah 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1. Kab.Gorontalo 1,482,412 1,447,672 1,599,418 1,718,975 1,747,791 1,861,963 1,991,544 2,054,033 2. Kota Gorontalo 2,387,500 2,508,785 2,481,450 2,634,912 2,659,994 2,795,600 2,987,132 3,029,157 3. Boalemo 1,970,588 2,121,537 2,027,257 2,117,558 2,080,356 2,140,758 2,212,564 2,222,744 4. Pohuwato 2,815,379 3,065,452 3,021,580 3,194,552 3,376,004 3,553,874 3,708,841 3,826,252 5. Bone Bolango 1,431,413 1,907,331 1,539,048 1,601,364 1,642,039 1,714,336 1,800,424 1,899,786 Provinsi 1,828,951 1,926,703 1,953,758 2,076,726 2,115,371 2,231,114 2,363,747 2,436,246 Indeks Williamson 0.2463 0.2615 0.2623 0.2595 0.2700 0.2676 0.2628 0.2593 Indeks Gini 0.30 0.32 0.33 0.35 0.36 0.38 0.39 0.41
Sumber: Hasil Perhitungan dan Bappeda Provinsi Gorontalo, 2009 Yg dicetak tebal adalah nilai maksimum dan digaris bawah nilai minimum
Kedua nilai indeks tersebut diatas menggambarkan bahwa ketimpangan di Gorontalo masih cukup besar. Dari nilai PDRB perkapita juga terjadi ketimpangan yang cukup signifikan. Kabupaten Pohuwato sebagai daerah dengan PDRB perkapita tertinggi memiliki nilai PDRB perkapita dua kali lebih besar dibanding daerah yang memiliki PDRB perkapita terrendah yakni Bone Bolango. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketimpangan di Gorontalo baik dari sisi pendapatan maupun PDRB masih relatif cukup besar. Meskipun dari aspek PDRB ketimpangan menunjukan penurunan (berlakunya Hipotesa Neo-Klasik), tetapi dari sisi pendapatan justru menunjukkan peningkatan.
Tabel 5.6
Perbandingan PDRB perkapita, IPM, Jumlah Penduduk Miskin, DAU dan DAK kabupaten kota di Provinsi Gorontalo Tahun 2006-2007
Variabel Tahun Kab.Gorontalo Kota Gorontalo Boalemo Pohuwato Bone Bolango PDRB perkapita (Rp) 2006 1.861.963 2.795.600 2.140.758 3.553.874 1.714.336 2007 1.991.544 2.987.132 2.212.564 3.708.841 1.800.424 IPM 2006 67,25 71,29 66,40 67,42 68,61 2007 67,77 71,64 67,24 68,81 69,97 Penduduk Miskin (jiwa) 2006 146.891 15.981 37.021 35.145 39.094 2007 129.738 11.965 32.727 31.338 36.132 DAU (Juta Rp) 2006 309,588 208,305 153,134 166,968 177,002 2007 335,122 230,813 174,613 192,720 196,016 DAK (Juta Rp) 2006 31,830 17,740 30,720 25,660 29,210 2007 55,544 34,546 45,121 44,211 42,676
Sumber: BPS dan Bappeda Provinsi Gorontalo, 2009
Ket: Bercetak tebal; angka tertinggi, bergaris bawah; angka terrendah Data DAU & DAK tahun 2008 beberapa kabupaten belum tersedia
Jika melihat perbandingan PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia dan jumlah penduduk miskin dengan Dana Perimbangan dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus masing-masing kabupaten kota di Provinsi Gorontalo pada tahun 2007 (tabel 5.6) dan perbandingan pada beberapa tahun lainnya (Lampiran 5) maka dapat dijelaskan bahwa :
PDRB perkapita Bone Bolango tahun 2006 dan 2007 paling kecil dibanding kabupaten kota lainnya tetapi menerima DAU lebih kecil dibanding Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo. Selain itu, pada waktu yang sama Bone Bolango juga menerima DAK yang lebih kecil dibanding Kabupaten Gorontalo dan Boalemo. IPM Boalemo tahun 2006-2007 paling kecil dibanding kabupaten kota lainnya tetapi menerima DAU paling kecil serta DAK yang lebih kecil dibanding Kabupaten Gorontalo. Kabupaten Gorontalo memiliki jumlah penduduk miskin terbesar tahun 2006-2007 dan menerima DAU dan DAK paling besar pada
periode waktu yang sama. Kota Gorontalo juga menerima DAK paling kecil karena memiliki jumlah penduduk miskin paling kecil di tahun yang sama.
Secara umum dapat dikatakan bahwa terjadi hold harmless policy yakni kebijakan alokasi anggaran dalam otonomi daerah yang bukan/tidak mengikuti formulasi DAU murni (daerah kaya justru menerima DAU dan DAK yang relatif besar). Hal ini terjadi karena pemerintah mengantisipasi kemungkinan daerah kaya ingin merdeka dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5.2.2. Sumber Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Gorontalo 5.2.2.1. Ketimpangan proporsional pada PDRB per kapita
Kabupaten Pohuwato tidak hanya memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Meskipun hanya sebagai penyumbang ketiga dalam pembentukan PDRB provinsi, dengan total kontribusi 19%, tetapi Kabupaten Pohuwato memiliki jumlah PDRB perkapita tertinggi dibanding daerah lainnya maupun rata-rata Provinsi Gorontalo. Kabupaten Gorontalo yang memiliki kontribusi PDRB sebesar 38% tetapi jumlah PDRB perkapita yang relatif lebih rendah. Hal ini disebabkan perbedaan konsentrasi penduduk pada setiap wilayah.
Dari aspek jumlah absolut PDRB perkapita ini nampak adanya ketimpangan pada kelima daerah. Antara daerah yang memiliki jumlah tertinggi dan terrendah memiliki celah (gap) yang cukup besar. Kabupaten Pohuwato sebagai daerah yang memiliki jumlah tertinggi, nilai PDRB perkapitanya 2 kali lipat dari Kabupaten Bone Bolango sebagai daerah dengan PDRB perkapita terendah.
Berbeda dengan trend jumlah pendapatan perkapita yang mengalami peningkatan selama tahun 2001-2008, dari aspek pertumbuhan, PDRB perkapita semua daerah sangat fluktuatif. Bahkan dalam beberapa kurun waktu terdapat daerah yang mengalami pertumbuhan negatif. Secara rata-rata, laju pertumbuhan PDRB perkapita tertinggi dimiliki Kabupaten Gorontalo dengan rata-rata 4,66%, lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi (4,12%). Selanjutnya berturut-turut adalah Kabupaten Bone Bolango 4,01%; Kabupaten Pohuwato 3,90%; Kota Gorontalo 3,83% dan Kabupaten Boalemo 2,08%. Struktur dan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Gorontalo yang diproksi dengan laju pertumbuhan PDRB perkapita menghasilkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih baik
dibanding daerah lainnya. Hal ini disebabkan laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Gorontalo lebih fluktuatif dibanding laju pertumbuhan penduduknya.
Sumber: BPS, sudah diolah
Gambar 5.15
PDRB Perkapita dan Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita Riil di Gorontalo
5.2.2.2. Indeks Pembangunan Manusia
Pembangunan manusia didefinisikan sebagai "suatu proses untuk perluasan pilihan yang lebih banyak kepada penduduk" melalui upaya-upaya pemberdayaan yang mengutamakan peningkatan kemampuan dasar manusia agar dapat sepenuhnya berpartisipasi di segala bidang pembangunan. Elemen-elemen pembangunan manusia secara tegas menggaris-bawahi sasaran yang ingin dicapai, yaitu hidup sehat dan panjang umur, berpendidikan dan dapat menikmati hidup layak. Ini berarti pembangunan manusia merupakan manifestasi dari aspirasi dan tujuan suatu bangsa yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan secara struktural melalui upaya yang sistematis. Sasaran dasar pembangunan pada akhirnya adalah peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat), meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan) serta penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk hidup layak) untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
United Nations Development Programme (UNDP) dalam model pembangunannya, menempatkan manusia sebagai titik sentral dalam semua proses dan kegiatan pembangunan. Sejak tahun 1990, UNDP mengeluarkan laporan
tahunan perkembangan pembangunan manusia untuk negara-negara di dunia. Salah satu alat ukur untuk melihat aspek-aspek yang relevan dengan pembangunan manusian adalah melaui Human Development Index (HDI) yang dikenal dengan istilah Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
IPM ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa hal sebagai berikut:
 Untuk mengalihkan fokus perhatian para pengambil keputusan, media, dan organisasi non pemerintah dari penggunaan statistik ekonomi biasa, agar lebih menekankan pada pencapaian manusia. IPM diciptakan untuk menegaskan bahwa manusia dan segenap kemampuannya seharusnya menjadi kriteria utama untuk menilai pembangunan sebuah negara, bukannya pertumbuhan ekonomi.
 Untuk mempertanyakan pilihan-pilihan kebijakan suatu negara: bagaimana dua negara yang tingkat pendapatan perkapitanya sama dapat memiliki IPM yang berbeda. Contohnya, tingkat pendapatan perkapita antara Pakistan dan Vietnam hampir sama, namun harapan hidup dan angka melek huruf antara keduanya sangat berbedaa, sehingga Vietnam memperoleh nilai IPM yang jauh lebih tinggi daripada Pakistan. Perbedaan yang kontras ini memicu perdebatan mengenai kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan dan kesehatan, dan mempertanyakan mengapa yang dicapai oleh satu negara tidak dapat dikejar oleh negara lainnya.
 Untuk memperlihatkan perbedaan di antara negara-negara, di antara provinsi-provinsi (atau negara bagian), di antara gender, kesukuan dan kelompok sosial-ekonomi lainnya. Dengan memperlihatkan disparitas atau kesenjangan di antara kelompok-kelompok tersebut, maka akan lahir berbagai debat dan diskusi di berbagai negara untuk mencari sumber masalah dan solusinya.
IPM merupakan indeks komposit yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu kesehatan, pendidikan dan pendapatan yang diracik menjadi satu secara proporsional. Berdasarkan ketiga indikator tersebut, ditetapkan tiga kelompok negara/wilayah, yaitu:
1. Negara/wilayah dengan tingkat pembangunan manusia yang rendah bila IPM-nya berkisar antara 0 sampai 50. Negara yang masuk kategori ini sama sekali atau kurang memperhatikan pembangunan manusia.
2. Negara/wilayah dengan tingkat pembangunan manusia sedang jika IPM-nya berkisar antara 51 sampai 79. Negara yang masuk dalam kategori ini mulai memperhatikan pembangunan sumber daya manusianya.
3. Negara/wilayah dengan tingkat pembangunan manusia tinggi jika IPM-nya berkisar antara 80 sampai 100. Negara yang masuk dalam kategori ini sangat memperhatikan pembangunan sumber daya manusianya.
Dari indikator tersebut, selama tahun 2001-2008, Provinsi Gorontalo maupun kabupaten dan kota di dalamnya termasuk pada level sedang dalam pembangunan manusia. Artinya daerah Gorontalo mulai memperhatikan pembangunan sumber daya manusianya. Daerah dengan nilai indeks tertinggi adalah Kota Gorontalo. Hal ini sangat wajar terjadi karena sebagai pusat pemerintahan, Kota Gorontalo memiliki peluang untuk mencapai kualitas kesehatan, pendidikan dan pendapatan yang lebih baik dibanding daerah lainnya. Capaian IPM di Gorontalo disajikan dalam gambar berikut:
Sumber: Bappeda Provinsi Gorontalo & Kab/Kota, 2009
Gambar 5.16
Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Gorontalo, 2001-2008
Jarak antara line Kota Gorontalo sebagai daerah dengan nilai indeks tertinggi dengan daerah lainnya termasuk nilai indeks provinsi menunjukan ketimpangan pembangunan sumber daya manusia di Provinsi Gorontalo. semakin lebar jaraknya, maka semakin menunjukan adanya ketimpangan dalam pembangunan.
Sumber: BPS & Bappeda Provinsi Gorontalo, 2009
Gambar 5.17
Nilai IPM Kecamatan di Provinsi Gorontalo Tahun 2006
Catatan : Terdapat 17 Kecamatan di Kabupaten Gorontalo, 5 di Kota Gorontalo, 7 di Boalemo, 7 di Pohuwato dan 4 di Bone Bolango. Sehingga semuanya berjumlah 40 Kecamatan di Provinsi Gorontalo berikut angka IPMnya pada tahun 2006. Kecamatan Lemito ke bawah berada di dibawah rata-rata IPM Nasional.
Pada tahun 2006, pemerintah Provinsi Gorontalo melakukan perhitungan IPM sampai dengan tingkat kecamatan, seperti dalam gambar 5.17. Dari perhitungan tersebut diperoleh indeks terrendah sebesar 58,03 yang dimiliki Kecamatan Patilanggio Kabupaten Pohuwato dan indeks tertinggi dicapai oleh Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo dengan nilai 73,02. Nilai ini lebih tinggi dibanding capaian nasional sebesar 68,19. Kecamatan Patilanggio adalah
satunya daerah yang memiliki IPM dalam interval terendah (58–63) di Provinsi Gorontalo. Seluruh wilayah di Kota Gorontalo (5 kecamatan) termasuk dalam interval tertinggi (68.1-73.02). Selain itu 7 dari 17 kecamatan di Kabupaten Gorontalo, 3 dari 7 kecamatan di Kabupaten Pohuwato, 2 dari 7 kecamatan di Kabupaten Boalemo dan 1 dari 4 kecamatan di Kabupaten Bone Bolango termasuk dalam interval tertinggi. Selebihnya termasuk dalam interval menengah dengan kisaran indeks 63.1–68. Jadi, dari 40 kecamatan di tahun 2006, 54% (22 kecamatan) masih memiliki IPM dibawah nilai nasional.
5.2.2.3. Rasio Belanja Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur adalah bagian integral dari pembangunan daerah. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik, yang dalam penelitian ini adalah prasarana/sarana yang mempermudah akses masyarakat dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, sarana air bersih.
Infrastruktur jalan provinsi di Provinsi Gorontalo mengalami penurunan dari 468,26 Km di tahun 2001 menjadi 436,63 Km di tahun 2007 (turun 6,75%). Perawatan jalan provinsi relatif terbengkalai yang ditunjukkan oleh proporsi kondisi jalan dalam kategori baik hanya 26%, sisanya 51% rusak berat dan 23% rusak ringan. Kondisi jalan yang sebagian besar dalam keadaan rusak dapat memicu ketimpangan antardaerah / antarwilayah.
Untuk jalan nasional meningkat dari 553,61 Km di tahun 2001 menjadi 616,24 Km di tahun 2008 (naik 11,31%). Perawatannya lebih baik dibanding dengan jalan provinsi. yang masuk kategori baik sebesar 79%, dan sisanya 14% rusak berat serta 8% rusak ringan.
Tabel 5.7
Kondisi Jalan pada Kab/Kota di Provinsi Gorontalo Tahun
Kondisi Jalan Provinsi Kondisi Jalan Nasional Baik Rusak
Berat
Rusak
Ringan Total Baik
Rusak Berat Rusak Ringan Total 2001 157.38 212.73 98.15 468.26 324.66 85.43 143.52 553.61 2002 157.38 212.73 98.15 468.26 32.18 80.43 149.72 262.33 2003 136.46 222.95 108.85 468.26 273.35 57.25 221.31 551.91 2004 107.28 323.95 37.03 468.26 402.63 66.05 83.24 551.92 2005 111.45 207.95 88.86 408.26 442.51 54.55 119.18 616.24 2006 119.25 198.11 90.90 408.26 537.85 53.25 25.14 616.24 2007 114.32 223.19 99.12 436.63 485.17 84.43 46.64 616.24 Sumber: Dinas PU Kimpraswil Prov Gorontalo, 2009
Untuk irigasi, juga terdapat peningkatan yang signifikan selang tahun 2002-2007. Peningkatan ini diharapkan dapat menunjang laju pertumbuhan sektor pertanian yang hingga tahun 2008 paling kecil dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor lainnya padahal memiliki kontribusi terbesar (lebih dari 30%/tahun) bagi pembentukan PDRB.
Sumber : Sewindu Gorontalo (PU Kimpraswil) 2009
Gambar 5.18
Kondisi Daerah Irigasi di Provinsi Gorontalo
Untuk sarana pendidikan, dapat dilihat dari jumlah sekolah dan kondisi ruang kelas pada setiap tingkatan sekolah. Selain untuk tingkat SMP yang berada
di atas Provinsi Sulawesi Barat, umumnya gedung untuk semua tingkat sekolah berada dibawah provinsi lainnya di Sulawesi.
Tabel 5.8
Jumlah Gedung Sekolah di Provinsi Gorontalo Tahun 2007
Daerah SD / MI SMP / MTs SMA/ MA Kab.Gorontalo 422 139 30 Kota Gorontalo 121 28 21 Boalemo 130 43 13 Pohuwato 106 39 12 Bone Bolango 131 35 15 Prov. Gorontalo 910 284 91 Sulawesi Utara 2212 592 268 Sulawesi Tengah 2832 483 224 Sulawesi Selatan 6720 1449 806 Sulawesi Tenggara 2088 342 175 Sulawesi Barat 1138 141 96
Sumber : Sewindu Gorontalo (Diknas Prov.Gorontalo) 2009
Selain jumlah gedung sekolah yang relatif sedikit, ruang kelas itu sendiri khususnya untuk SD hanya 62% berada dalam kondisi baik. Hal ini disebabkan keberadaan SD yang terpencar sampai dipelosok sehingga kondisi bangunannya banyak yang tidak terawat dengan baik. Ruang kelas untuk SMP lebih baik dibandingkan SD, dengan kondisi ruangan yang baik sebesar 75%. Dengan kondisi lebih dari 85% ruang kelas SMA dan SMK yang berada dalam kondisi baik menunjukkan prasarana untuk tingkatan ini relatif lebih reperesentatif untuk kegiatan belajar mengajar.
Tabel 5.9
Kondisi Ruang Kelas di Provinsi Gorontalo Tahun 2007
Ruang Kelas Jumlah Kondisi
Baik Rusak Ringan Rusak Berat
SD / MI 5,773 3,584 1,239 950
SLTP / MTs 1,639 1,224 155 260
SLTA / MA 570 490 67 13
SMK 201 201 - -
Sumber : Sewindu Gorontalo (Diknas Prov. Gorontalo), 2009
Keadaan sarana dan prasarana kesehatan juga masih sangat minim. Hanya ada satu rumah sakit umum pemerintah di setiap daerah kabupaten/kota dan satu rumah sakit swasta di Kota Gorontalo. Jumlah yang belum layak jika
dibandingkan dengan kondisi geografis dan banyaknya penduduk yang harus dilayani. Demikian halnya dengan jumlah Puskemas, Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling yang paling sedikit bila dibandingkan provinsi lain di Sulawesi. Sebagai penyokong atas minimnya pelayanan rumah sakit bagi masyarakat pelosok, Gorontalo hanya memiliki 57 Puskesmas, 252 Pustu, dan 58 Pusling.
Tabel 5.10
Jumlah Rumah Sakit di Provinsi Gorontalo & Provinsi Se-Sulawesi, Tahun 2007
Kab/Kota/Provinsi
Jenis Rumah Sakit RS Umum RS Khusus RS Swasta RS ABRI RS Lainnya Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 01. Kab. Boalemo 1 - - - - 1 02. Kab. Gorontalo 1 - - - - 1 03. Kab. Pohuwato 1 - - - - 1
04. Kab. Bone Bolango 1 1 - - - 2
05. Kab. Gorontalo Utara - - - -
71. Kota Gorontalo 1 - 1 - - 2 Provinsi Gorontalo 5 1 1 0 1 7 Sulawesi Utara 10 - 14 5 29 29 Sulawesi Tengah 13 1 6 3 8 31 Sulawesi Selatan - - - - Sulawesi Tenggara 12 2 5 2 21 21 Sulawesi Barat 5 - 1 1 7 7
Sumber : Indikator Sosial Budaya (Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo ), 2009 Keterangan: - data tidak tersedia
Untuk penyediaan infrastruktur diatas, dibutuhkan pengeluaran rutin pemerintah dalam jumlah besar pada setiap APBD-nya. Perkembangan belanja infrastruktur yang sangat besar terjadi di Kabupaten Gorontalo pada tahun 2006-2008. Belanja infrastruktur dalam 3 tahun terakhir meningkat lebih tinggi dibanding peningkatan PDRB, dengan peningkatan rata-rata lebih dari 300%.
Tabel 5.11
Jumlah Puskemas di Provinsi Gorontalo dan Provinsi Se-Sulawesi, Tahun 2007
Kab/Kota/Provinsi Puskesmas (PKM) Puskemas Pembantu (Pustu) Puskesmas
Keliling (Pusling) Puskesmas Lainnya Darat Laut (1) (2) (3) (4) (5) (6) 01. Kab. Boalemo 8 33 9 3 0 02. Kab. Gorontalo 16 88 16 0 0 03. Kab. Pohuwato 9 30 9 1 0
04. Kab. Bone Bolango 11 40 11 0 0
05. Kab. Gorontalo Utara 6 28 6 0 0
71. Kota Gorontalo 7 33 7 0 0 Prov. Gorontalo 57 252 58 4 0 Sulawesi Utara 148 530 66 9 0 Sulawesi Tengah 161 715 165 18 0 Sulawesi Selatan - - - - - Sulawesi Tenggara 124 512 0 0 48 Sulawesi Barat 73 273 0 0 0
Sumber : Indikator Sosial Budaya (Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo ), 2009 Keterangan: - data tidak tersedia
Sumber : BPS & Badan Keuangan Prov.Gorontalo, 2009 Gambar 5.19
Belanja Infrastruktur & PDRB Kab/Kota di Provinsi Gorontalo Peningkatan belanja infrastruktur di atas peningkatan PDRB dalam kurun waktu 3 tahun terakhir pada daerah selain Kota Gorontalo menyebabkan rasio belanja infrastruktur dalam waktu tersebut mengalami peningkatan. Semakin