• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI PENDERITA SKIZOFRENIA PARANOID DENGAN GEJALA DEPRESI DI RSJ Dr. SOEHARTO HEERDJAN JAKARTA TAHUN 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREVALENSI PENDERITA SKIZOFRENIA PARANOID DENGAN GEJALA DEPRESI DI RSJ Dr. SOEHARTO HEERDJAN JAKARTA TAHUN 2010"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI PENDERITA SKIZOFRENIA PARANOID DENGAN GEJALA DEPRESI DI RSJ Dr. SOEHARTO HEERDJAN JAKARTA

TAHUN 2010

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

Oleh : Ahmad Muhyi

108103000051

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011 M

(2)

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 20 September 2011

(3)

iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PREVALENSI PENDERITA SKIZOFRENIA PARANOID DENGAN GEJALA DEPRESI DI RUMAH SAKIT JIWA Dr. SOEHARTO

HEERDJAN JAKARTA TAHUN 2010

Laporan Penelitian

Diajukan Kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

Oleh : Ahmad Muhyi NIM: 108103000051

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. Prianto Djatmiko, SpKJ drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011 M

(4)

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Laporan Penelitian berjudul PREVALENSI PENDERITA SKIZOFRENIA PARANOID DENGAN GEJALA DEPRESI DI RUMAH SAKIT JIWA Dr. SOEHARTO HEERDJAN JAKARTA TAHUN 2010 yang diajukan oleh Ahmad Muhyi (NIM: 108103000051), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 20 September 2011. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S. Ked) pada Program Studi Pendidikan Dokter.

Ciputat, 20 September 2011

DEWAN PENGUJI Ketua Sidang

Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie, SpKFR

Pembimbing I

dr. Prianto Djatmiko, SpKJ

Pembimbing II

drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD

Penguji I

dr. Isa Multazam Noor, SpKJ

Penguji II

dr. Poppy Candra Dewi, SpS. MSc

Penguji III

Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie, SpKFR

PIMPINAN FAKULTAS Dekan FKIK UIN

Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, SpAnd

Kaprodi PSPD FKIK UIN

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah Swt, karena berkat taufik dan hidayah-Nya, penelitian ini dapat terselesaikan dengan judul “Prevalensi Penderita Skizofrenia Paranoid Dengan Gejala Depresi di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta Tahun 2010”.

Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini saya ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tadjudin, SpAnd, dan Drs. H. Achmad Gholib, MA dan Dra. Farida Hamid,M.Pd selaku Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie, SpKFR selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter.

3. drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD dan dr. Prianto Djatmiko SpKJ selaku dosen pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan penelitian ini.

4. Staf Litbang dan semua petugas rekam medis RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta yang telah mengizinkan penggunaan dan membantu mempermudah penggunaan rekam medis pasien skizofrenia untuk penelitian ini.

5. Kemenag RI yang telah memberikan beasiswa sehingga penulis diberikan kesempatan untuk menyelesaikan studi di FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Bapak dan Ibu serta keluarga yang telah memberikan kasih sayang, doa dan dorongan baik moril maupun materiil.

7. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

Ciputat, 20 September 2011 Ahmad Muhyi

(6)

vi ABSTRAK

Ahmad Muhyi, Program Studi Pendidikan Dokter. Prevalensi Penderita Skizofrenia Paranoid Dengan Gejala Depresi di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta Tahun 2010.

Skizofrenia paranoid merupakan bentuk gangguan psikosis yang sering terjadi baik di Indonesia maupun di negara lain. Pada penderita skizofrenia paranoid yang disertai dengan gejala depresi dapat memperburuk kualitas hidupnya seperti perawatannya yang lebih lama dan yang paling sering adalah terjadinya bunuh diri. Gejala depresi pada penderita skizofrenia paranoid bisa muncul pada fase prodromal, pada fase akut dan pada fase pasca skizofrenia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan jenis cross sectional untuk mengetahui prevalensi penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010. Populasi terjangkau sebanyak 782 penderita. Pada penelitian ini didapatkan prevalensi gejala depresi sebanyak 22 % yang dapat terjadi pada semua fase skizofrenia dan gejala depresi yang timbul meliputi semua episode depresi. Distribusi penderita berjenis kelamin laki-laki 70 % dan perempuan 30 % dengan rentang umur terbanyak adalah umur 25-44 tahun sebesar 65 %. Selanjutnya, sebagian besar penderita berstatus tidak kawin yaitu sebesar 59 %.

Kata kunci : prevalensi, skizofrenia paranoid, depresi

Abstract, Prevalence Patient of Paranoid Schizophrenia with a Depression Symptom at Mental Hospital Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta in Year of 2010. Paranoid schizophrenia is psychosis mental disorders that most frequent occurred in Indonesia and in other countries. A patient of paranoid schizophrenia with depression symptom may get a worse life quality, such as, long hospitalization and the most often is suicide. The depression symptom for paranoid schizophrenia can emerge on a prodromal phase, an acute phase, and the post-schizophrenia phases. This research is used descriptive method with cross sectional type to know the prevalence patient of paranoid schizophrenia with a depression symptom at Mental Hospital Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta in year of 2010. Seven hundred and eighty two ( 782) patients are counted as the sample population. We found that the prevalence of depression symptom is 22 % which occurred for all phases of schizophrenia. Mostly, the male patients (70 %) suffer for the depression. Moreover, the highest distribution is occurred in patients within 25-44 years old (65 %). Lastly, the unmarried patients are the most frequent found to have depression (59 %).

(7)

vii DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL... i

LEMBAR PERNYATAAN... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR... v

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL... x

DAFTAR LAMPIRAN...xi BAB 1 PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 2 1.3. Tujuan Penelitian ... 2 1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1. Definisi Skizofrenia ... . 5 2.2. Epidemiologi Skizofrenia ... . 5 2.3. Etiologi Skizofrenia... . 6 2.3.1. Organobiologik... 6 2.3.2. Psikodinamik... 7 2.3.2.1. Teori homeostatik-deskriptif... 7 2.3.2.2. Teori fasilitatif-etiologik... 7 2.3.3. Psikoreligius... 8 2.3.4. Psikososial... 8 2.4. Klasifikasi Skizofrenia... 9 2.4.1. Tipe Katatonik... 9

2.4.2. Tipe Hebefrenik (disorganized)... 9

2.4.3. Tipe Paranoid... 10

2.4.4. Tipe Tak terinci (undifferentiated)... 10

2.4.5. Tipe Residual... ..10 2.5. Gejala Skizofrenia... 10 2.5.1. Gejala Positif... 10 2.5.2. Gejala Negatif... 11 2.6. Fase Skizofrenia... 11 2.7. Diagnosis Skizofrenia... 12 2.8. Skizofrenia Paranoid... 14

2.9. Diagnostik Skizofrenia Paranoid... 14

2.10. Pengobatan Skizofrenia... 15

2.10.1. Terapi Psikofarmaka... 15

2.10.2. Psikoterapi... 16

(8)

viii 2.10.4. Terapi Psikoreligius... 17 2.11. Definisi Depresi... 17 2.12. Etiologi Depresi ... 17 2.12.1. Faktor Biologi ... 17 2.12.2. Faktor Genetik ... 18 2.12.3. Faktor Psikososial... 18

2.13. Depresi pada Skizofrenia... 19

2.14. Gejala Depresi... 20 2.15. Episode Depresi... 21 2.16. Kerangka Konsep... 23 2.17. Definisi Operasional... 23 2.17.1. Rekam Medis...;... 23 2.17.2. Prevalensi... 23 2.17.3. Skizofrenia ... 24 2.17.4. Skizofrenia Paranoid... 24 2.17.5. Depresi... 24 2.17.6. Umur ... 24 2.17.7. Jenis Kelamin... 24 2.17.8. Status Perkawinan... 24

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 25

3.1. Desain Penelitian... 25

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

3.3. Sumber Data... 25

3.4. Populasi dan Sampel ...25

3.5. Kriteria Penelitian ... .25 3.5.1. Kriteria Inklusi ... 25 3.5.2. Kriteria Eklusi ... .26 3.6. Besar Sampel...26 3.7. Cara Kerja ... 26 3.7.1. Pengumpulan Data... 26 3.7.2. Pengolahan Data ... 27 3.7.3. Penyajian Data... 27 3.7.4. Analisis Data... 27 3.7.5. Interpretasi Data ... 27

3.7.6. Pelaporan Hasil Penelitian... 27

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1. Keterbatasan Penelitian... 28

4.2. Prevalensi Penderita Skizofrenia Paranoid dengan Gejala Depresi. 29 4.3. Pola Distribusi Penderita Skizofrenia Paranoid dengan Gejala Depresi... 30

4.3.1 Berdasarkan Jenis Kelamin... 30

4.3.2 Berdasarkan Kelompok Umur ... 31

(9)

ix

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 35

5.1. Simpulan ... 35

5.2. Saran... 35

DAFTAR PUSTAKA... 37

LAMPIRAN... 40

(10)

x

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 2.16.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian ... 23 Tabel 4.1. Distribusi Penderita Skizofrenia Paranoid dengan Gejala Depresi Berdasarkan Jenis Kelamin di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Tahun 2010...30 Tabel 4.2. Distribusi Penderita Skizofrenia Paranoid dengan Gejala Depresi Berdasarkan Kelompok Umur di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Tahun

2010...31 Tabel 4.3 Distribusi Penderita Skizofrenia Paranoid dengan Gejala Depresi Berdasarkan Status Perkawinan di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan

(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Judul lampiran :

1. Pola distribusi penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan tahun 2010 berdasarkan jenis kelamin...40 2. Pola distribusi penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan tahun 2010 berdasarkan umur...41 3. Pola distribusi penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan tahun 2010 berdasarkan status perkawinan...42

(12)

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Skizofrenia merupakan suatu bentuk gangguan psikosis fungsional dengan prevalensi 1-1,5% dari total penduduk dunia. Menurut Kraepelin penyakit ini dikenal dengan istilah demensia prekoks yaitu terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya.1

Menurut Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revised (DSM-IV-TR) tipe skizofrenia dibagi menjadi lima yaitu : tipe paranoid, tipe katatonik, tipe hebefrenik (disorganized), tipe tidak terinci (undifferentiated), tipe residual. Dari kelima tipe tersebut yang paling sering terjadi adalah tipe paranoid.2

Skizofrenia paranoid terjadi karena melemahnya neurologis dan kognitif tetapi individu tersebut mempunyai prognosis yang baik. Namun bagaimanapun juga, pada fase aktif dari kelainan ini, penderita mengalami gangguan jiwa berat, dan gejala-gejala tersebut dapat membahayakan dirinya atau orang lain.2

Berdasarkan Riskesdas Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 disebutkan, rata-rata nasional gangguan mental emosional ringan, seperti cemas dan depresi pada penduduk berusia 15 tahun ke atas mencapai 11,6%, dengan angka tertinggi terjadi di Jawa Barat, sebesar 20%. Sedangkan yang mengalami gangguan mental berat, seperti psikotis, skizofrenia, dan gangguan depresi berat sebesar 0,46%.3

Pada RSJ Dr. Soeharto Herdjaan Jakarta, berdasarkan hasil rekapan tahun 2009, tercatat bahwa presentase pasien dengan gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan sebesar 33% adalah skizofrenia paranoid, 27% adalah skizofrenia residual, dan sisanya adalah gangguan jiwa jenis lainnya. Sedangkan yang menjalani rawat inap sebesar 41% adalah skizofrenia paranoid, 19% adalah skizofrenia yang tak terinci, 16% gangguan psikotik akut, dan sementara yang tak

(13)

2

terinci, dan sisanya adalah gangguan jiwa jenis lainnya. Berdasarkan angka tersebut presentase skizofrenia paranoid tercatat yang paling tinggi dibandingkan gangguan jiwa yang lain.4

Beberapa penelitian menemukan bahwa 80% semua pasien skizofrenia menderita penyakit fisik dan 50%-nya tidak terdiagnosis. Bunuh diri adalah penyebab umum kematian diantara penderita skizofrenia, 50% penderita skizofrenia pernah mencoba bunuh diri satu kali seumur hidupnya, dan 10% dari populasi tersebut berhasil melakukannya. Faktor risiko bunuh diri adalah adanya gejala depresi dan usia muda.5, 6

Berdasarkan data diatas bahwa penderita skizofrenia cukup tinggi dan tipe skizofrenia paranoid adalah yang sering terjadi. Tindakan bunuh diri sering terjadi pada penderita skizofrenia dan salah satu faktor resikonya adalah adanya gejala depresi pada pasien. Oleh karena hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan, dimana merupakan rumah sakit jiwa utama di Jakarta, pada satu tahun terakhir ini (2010).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Berapa prevalensi penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010?

2. Bagaimana karakteristik penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi berdasarkan jenis kelamin, umur, status perkawinan di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010?

1.3. Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan umum

1. Untuk mengetahui prevalensi penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010.

(14)

3 1.3. 2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi berdasarkan jenis kelamin di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010.

2. Untuk mengetahui karakteristik penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi berdasarkan umur di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010.

3. Untuk mengetahui karakteristik penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi berdasarkan status perkawinan di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010.

1.4. Manfaat penelitian 1.4.1. Manfaat bagi Peneliti

1. Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam melakukan penelitian.

2. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapat selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.4.2. Manfaat bagi Perguruan Tinggi

1. Mewujudkan tridarma perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi dan tugas perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

2. Mewujudkan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah sebagai universitas riset dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan.

3. Meningkatkan kerjasama dan komunikasi antara mahasiswa dan staf pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

4. Mendapatkan data awal tentang prevalensi dan karakteristik penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi berdasarkan jenis kelamin, umur, status perkawinan di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010 yang dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya.

(15)

4 1.4.3. Manfaat bagi masyarakat

1. Memberikan gambaran mengenai prevalensi dan karakteristik penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi berdasarkan jenis kelamin, umur, status perkawinan di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta Tahun ` 2010.

(16)

5 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah pola penyakit bidang psikiatri, merupakan sindroma klinis dari berbagai keadaan psikopatologis yang sangat mengganggu serta melibatkan proses pikir, persepsi, emosi, gerakan dan tingkah laku.7

Skizofrenia merupakan sindrom yang heterogen yang mana diagnosisnya belum dapat ditegakkan memakai suatu uji laboratorium tertentu, diagnosisnya ditegakkan berdasarkan sekumpulan gejala yang dinyatakan karakteristik untuk skizofrenia.8

2.2. Epidemiologi Skizofrenia

Data WHO menunjukkan bahwa di tahun 2002 saja diketahui tidak kurang dari 154 juta penduduk dunia yang depresi, 25 juta skizofrenia, 91 juta mengalami gangguan mental akibat alkohol, 15 juta gangguan mental karena penyalahgunaan obat, 50 juta epilepsi, dan 24 juta alzheimer dan demensia lainnya. Hal yang lebih mencengangkan lagi bahwa terdapat rata-rata 877.000 orang bunuh diri setiap tahun.5

Onset untuk laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35 tahun. Skizofrenia tipe paranoid terjadinya lebih awal pada laki-laki dibandingkan perempuan. Prognosis sizofrenia paranoid lebih baik dibandingkan tipe-tipe yang lain karena mempunyai respon yang baik dalam pengobatan.2

Berdasarkan laporan RISKESDAS Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2007 prevalensi gangguan jiwa berat (Skizofrenia) di Indonesia adalah sebesar 4,6‰. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (20,3‰) yang kemudian secara berturut turut diikuti oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (18,5‰), Sumatera Barat (16,7‰), Nusa Tenggara Barat (9,9‰), Sumatera Selatan (9,2‰). Prevalensi terendah terdapat di Maluku (0,9‰).3

(17)

6

Pada tahun 2009 di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta jumlah penderita skizofrenia paranoid yang rawat jalan sebanyak 33% dan yang rawat jalan sebanyak 41%. Angka ini menunjukkan bahwa skizofrenia paranoid tercatat paling tinggi dibandingkan gangguan jiwa lainnya.4

2.3. Etiologi Skizofrenia

Untuk mengetahui dan memahami perjalanan penyakit skizofrenia diperlukan pendekatan yang sifatnya holistik, yaitu dari sudut organobiologik, psikodinamik, psikoreligius, dan psikososial.9

2.3.1. Organobiologik

Ada banyak faktor yang berperan serta bagi muculnya gejala-gejala skizofrenia. Hingga sekarang banyak teori yang dikembangkan untuk mengetahui penyebab skizofrenia, antara lain : faktor genetik, virus, auto-antibody, malnutrisi (kekurangan gizi).9

Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa meskipun ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut faktor epigenetik. Kesimpulannya adalah bahwa gejala skizofrenia baru muncul bila terjadi interaksi antara gen abnormal dengan : 9

1. Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat mengganggu perkembangan otak janin.

2. Menurunnya auto-immune yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan.

3. Berbagai macam komplikasi kandungan.

4. Kekurangan gizi yang cukup berat terutama pada trimester pertama kehamilan.

Dari penelitian yang telah dilakukan pada penderita skizofrenia ditemukan perubahan-perubahan atau gangguan pada sistem transmisi sinyal penghantar saraf (neuro-transmitter) dan reseptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neuro-kimia seperti dopamin dan serotonin yang ternyata mempengaruhi fungsi-fungsi kognitif (alam pikir), afektif (alam perasaan) dan psikomotor (perilaku) yang terlihat dalam bentuk gejala positif dan negatif skizofrenia.13

Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neuro-kimiawi dalam penelitian dengan CT Scan otak ternyata ditemukan pula perubahan anatomi otak penderita

(18)

7

skizofrenia terutama pada penderita yang kronis. Perubahan-perubahan anatomi otak tersebut antara lain pelebaran ventrikel lateral, atrofi korteks bagian depan. Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).13

Dengan diketahuinya perubahan-perubahan pada sistem transmisi saraf di sel-sel susunan saraf pusat yang menyebabkan gangguan skizofrenia maka para ahli telah menemukan jenis obat yang dapat memperbaiki gangguan fungsi neuro-transmitter sehingga mampu mengobati gejala-gejala negatif maupun positif skizofrenia.

2.3.2. Psikodinamik

Mekanisme terjadinya skizofrenia pada diri seseorang dari sudut psikodinamik dapat diterangkan dengan dua buah teori yaitu :

2.3.2.1. Teori homeostatik-deskriptif

Dalam teori ini diuraikan gambaran gejala-gejala (deskripsi) dari suatu gangguan jiwa yang menjelaskan terjadinya gangguan keseimbangan (balance) atau homeostatik pada diri seseorang, sebelum dan sesudah terjadinya gangguan jiwa tersebut.9

2.3.2.2. Teori fasilitatif-etiologik

Dalam teori ini diuraikan faktor-faktor yang memudahkan (fasilitasi) penyebab (etiologi) suatu penyakit itu muncul, bagaimana perjalanan penyakitnya dan penjelasan mekanisme psikologis dari penyakit yang bersangkutan.9

Selanjutnya menurut teori Freud suatu gangguan jiwa muncul akibat terjadinya konflik internal pada diri seseorang yang tidak dapat beradaptasi dengan dunia luar. Sebagaimana diketahui bahwa pada setiap diri terdapat tiga unsur psikologik yang dinamakan dengan istilah Id, Ego dan Super-Ego.9

Menurut teori freud ini Id adalah bagian dari jiwa seseorang berupa dorongan atau nafsu yang sudah ada sejak manusia dilahirkan yang memerlukan pemenuhan dan pemuasan segera. Unsur Id ini sifatnya vital sebagai suatu mekanisme pertahanan diri, sebagai contohnya misalnya dorongan atau nafsu makan, minum, seksual, agresivitas dan sejenisnya.

Unsur Super-Ego sifatnya sebagai badan penyensor yang memiliki nilai-nilai moral etika yang membedakan mana yang boleh mana yang tidak, mana yang baik mana yang buruk, mana yang halal mana yang haram dan sejenisnya,

(19)

8

atau dengan kata lain merupakan hati nurani manusia. Sedangkan unsur Ego merupakan badan pelaksana yang menjalankan kebutuhan Id setelah disensor dahulu oleh Super-Ego.9

2.3.3. Psikoreligius

Dari sudut pandanga agama islam teori Freud tersebut sebenarnya sudah ada hanya peristilahannya yang berbeda. Dalam islam Id dikenal denga istilah nafsu yang berfungsi sebagai dorongan atau daya tarik. Untuk melaksanakan kebutuhan nafsu manusia dibekali dengan iman yang berfungsi sebagai self control. Dengan adanya iman ini manusia dapat menbedakan mana yang baik mana yang buruk dan mana yang halal mana yang haram. Dalam teori freud istilah iman sama dengan Super-Ego.

Manusia melaksanakan kebutuhan-kebutuhan nafsu tadi dalam bentuk perbuatan, perilaku atau amal yang kesemuanya itu disebut sebagai akhlak. Akhlak sesorang akan menjadi baik atau buruk tergantung dari hasil tarik menarik antara nafsu dan iman. Dalam konsep freud akhlak ini disebut Ego.9

2.3.4. Psikososial

Situasi atau kondisi yang tidak kondusif pada diri seseorang dapat merupakan stresor psikososial.stressor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa mengadakan penyesuaian diri untuk menanggulangi stresor (tekanan mental) yang timbul. Kegagalan dari adaptasi ini yang menyebabkan timbulnya berbagai jenis gangguan jiwa yang salah satunya adalah skizofrenia.9

Pada umumnya jenis stresor psikososial yang dimaksud meliputi permasalahan rumah tangga, problem orang tua, hubungan interpersonal, pekerjaan, kondisi lingkungan, masalah ekonomi, keterlibatan masalah hukum, adanya penyakit fisik yang kronis.

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat mengalami konflik kejiwaan yang bersumber dari konflik internal dan konflik eksternal. Tidak semua orang mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya sehingga orang tersebut jatuh dalam keadaan frustasi yang mendalam. Sebagai kelanjutannya yang bersangkutan menarik diri (withdrawn), melamun (day dreaming), hidup dalam dunianya sendiri yang lama-kelamaan timbullah

(20)

gejala-9

gejala berupa kelainan jiwa misalnya halusinasi, waham dan lain sebagainya. Yang bersangkutan tidak lagi mampu menilai realitas (reality testing ability-RTA, terganggu) dan pemahaman diri (insight) buruk, yang merupakan perjalanan awal skizofrenia.9

2.4. Klasifikasi Skizofrenia

Menurut Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revised (DSM-IV-TR) membagi skizofrenia atas subtipe secara klinik yaitu : 2

2.4.1. Tipe katatonik

Gejala-gejala yang terdapat pada skizofrenia katatonik adalah sebagai berikut : 1. Stupor katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam reaktivitas

terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakan atau aktivitas spontan sehingga nampak sepreti patung atau diam membisu (mute). 2. Negativisme katatonik, yaitu suatu perlawanan yang nampaknya tanpa

motif terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan dirinya. 3. Kekakuan (rigidity) katatonik, yaitu mempertahankan suatu sikap kaku

terhadap semua upaya untuk menggerakkan dirinya.

4. Kegaduhan katatonik, yaitu kegaduhan aktivitas motorik, yang nampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsang luar.

5. Sikap tubuh katatonik, yaitu sikap yang tidak wajar dan aneh. 2.4.2. Tipe hebefrenik (disorganized)

Gejala-gejala yang terdapat pada skizofrenia hebefrenik adalah sebagai berikut : 1. Inkoherensi, yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa

maksudnya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan tidak ada hubunganya satu dengan yang lain.

2. Alam perasaan (mood, affect) yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi. 3. Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan, senyum yang menunjukkan rasa

puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.

4. Waham tidak jelas dan tidak sistematis sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menonjol.

5. Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisir sebagai satu kesatuan dan biasanya tidak menonjol.

(21)

10

6. Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri,menunjukkan gerakan-gerakan yang aneh, pengucapan kalimat yang diulang-ulang dan kecenderungan untuk menarik diri secara ekstirm dari hubungan sosial. 2.4.3. Tipe paranoid

Gejala-gejala yang terdapat pada skizofrenia paranoid adalah sebagai berikut : 1. Waham (delusion) yang menonjol misalnya waham kejar, waham

kebesaran dan lain sebagainya.

2. Halusinasi yang menonjol misalnya halusinasi auditorik, halusinasi visual dan lain sebagainya.

3. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol

2.4.4. Tipe tak terinci (undifferentiated)

Adanya gambaran simtom fase aktif, tetapi tidak sesuai dengan kriteria untuk skizofreniaia katatonik, disorganized, atau paranoid. Atau semua kriteria untuk skizofreniaia katatonik, disorganized, dan paranoid terpenuhi.

2.4.5. Tipe residual

Merupakan kelanjutan dari skizofrenia, akan tetapi gejala fase aktif tidak lagi dijumpai.

2.5. Gejala skizofrenia

Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu gejala positif dan gejala negatif.13

2.5.1. Gejala positif

Gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada penderita skizofrenia adalah sebagai berikut :

1. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional yang tidak sejalan dengan intelegensia pasien dan latar belakang budaya. Meskipun telah dibutikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.

2. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada. Misalnya penderita mendengar suara-suara/bisikan-bisikan ditelinganya padahal tidak ada sumber dari suara/bisikan itu.

(22)

11

3. Kekecauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya. 4. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan

semangat dan gembira berlebihan. 2.5.2. Gejala negatif

Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita skizofrenia adalah sebagai berikut :

1. Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.

2. Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn) tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).

3. Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam. 4. Pola pikir stereotip

2.6. Fase Skizofrenia

Skizofrenia dapat dilihat sebagai suatu gangguan yang berkembang melalui fase-fase : 11

1. Fase premorbid

Pada fase ini, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan normatif. 2. Fase prodromal

Adanya perubahan dari fungsi-fungsi pada fase premorbid menuju saat muncul gejala psikotik yang nyata. Fase ini dapat berlangsung dalam beberapa minggu atau bulan, akan tetapi lamanya fase prodromal ini rerata antara 2 sampai 5 tahun. Pada fase ini, individu mengalami kemunduran dalam fungsi-fungsi yang mendasar (pekerjaan sosial dan rekreasi) dan muncul gejala yang nonspesifik, misal gangguan tidur, ansietas, iritabilitas, mood depresi, konsentrasi berkurang, mudah lelah, dan adanya defisit perilaku misalnya kemunduran fungsi peran dan penarikan sosial. Gejala positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan berarti sudah mendekati mulai menjadi psikosis.

3. Fase psikotik

Berlangsung mulai dengan fase akut, lalu adanya perbaikan memasuki fase stabilisasi dan kemudian fase stabil.

(23)

12

a. Pada fase akut dijumpai gambaran psikotik yang jelas, misalnya dijumpai adanya waham, halusinasi, gangguan proses pikir, dan pikiran yang kacau. Gejala negatif sering menjadi lebih parah dan individu biasanya tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri secara pantas.

b. Fase stabilisasi berlangsung selama 6-18 bulan, setelah dilakukan acute treatment.

c. Pada fase stabil terlihat gejala negatif dan residual dari gejala positif. Di mana gejala positif bisa masih ada, dan biasanya sudah kurang parah dibandingkan pada fase akut. Pada beberapa individu bisa dijumpai asimtomatis, sedangkan individu lain mengalami gejala nonpsikotik misalnya, merasa tegang (tension), ansietas, depresi, atau insomnia.

2.7. Diagnosis Skizofrenia

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ketiga (PPDGJ III) membagi gejala skizofrenia dalam kelompok-kelompok penting, dan yang sering terdapat secara bersama-sama untuk diagnosis.

Kelompok gejala tersebut : 14

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :

(a) - “thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda ; atau,

- “thought insertion or withdrawal” : isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan,

- “thought broadcasting” : isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.

(b) - “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau,

- “delusion of passivitiy” : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus).

(24)

13

- “delusional perception” : pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifat mistik atau mukjizat. (c) Halusinasi auditorik :

- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien atau,

- mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.

(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa, misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain.

2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas : (a) Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh

waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus.

(b) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.

(c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.

(d) Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

(25)

14

3. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal).

4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

2.8. Skizofrenia Paranoid

Skizofrenia paranoid adalah jenis skizofrenia yang sering dijumpai di negara manapun.menurut DSM-IV-TR kriteria diagnostik pada skizofrenia paranoid harus ditemukan 2 gejala yaitu adanya delusi (waham) dan halusinasi. Adapun kriteria diagnostik lainnya adalah kekacauan ucapan, tingkah laku dan gejala-gejala negatif namun ini tidak dominan.2

Skizofrenia tipe paranoid terjadinya lebih awal pada laki-laki dibandingkan perempuan. Prognosis sizofrenia paranoid lebih baik dibandingkan tipe-tipe yang lain karena mempunyai respon yang baik dalam pengobatan.2

2.9. Diagnostik skizofrenia paranoid

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ -111) : 14

1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia 2. Sebagai tambahan berupa :

 Halusinasi dan/atau waham harus menonjol :

(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing).

(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.

(26)

15

(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau passivity (delusion of passivity),dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam adalah yang paling khas.

 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.

2.10. Pengobatan skizofrenia

Ganguan jiwa skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut (kronis, menahun). Oleh karenanya terapi pada skizofrenia memerlukan watu relatif lama berbulan bahkan bertahun, hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambukan (relaps). Terapi pada skozofrenia bersifat komprehensif yaitu meliputi terapi psikofarmaka, psikoterapi, terapi psikososial dan terapi psikoreligius.9

2.10.1 Terapi psikofarmaka

Skizofrenia diobati dengan obat antipsikotik yang tipikal dan atipikal.10 Obat yang golongan tipikal meliputi : Klorpromazin,Flufenazin, Tioridazin, Haloperidol dan lain-lain, sedangkan obat golongan atipikal meliputi : Klozapin, Olanzapin, Risperidon, Quetapin, Aripiprazol dan lain-lain.

Pemakaian antipsikotik dalam menanggulangi skizofrenia telah mengalami pergeseran. Bila mulanya menggunakan antipsikotik tipikal, kini pilihan beralih ke antipsikotik atipikal, yang dinyatakan lebih superior dalam menanggulangi gejala negatif dan kemunduran kognitif.12

Adanya perbedaan efek samping yang nyata antara antipsikotik atipikal dan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal:

 Menimbulkan lebih sedikit efek samping neurologis.

 Lebih besar kemungkinan dalam menimbulkan efek samping metabolik, misalnya pertambahan berat badan, diabetes mellitus, atau sindroma metabolik.12

Penanggulangan memakai antipsikotik diusahakan sesegera mungkin, bila memungkinkan secara klinik, karena eksaserbasi psikotik akut melibatkan distres

(27)

16

emosional, perilaku individu membahayakan diri sendiri, orang lain,dan merusak sekitar.11

Individu terlebih dahulu menjalani pemeriksaan kondisi fisik, vital signs, dan pemeriksaan laboratorium dasar, sebelum memperoleh antipsikotik.12

2.10.2. Psikoterapi

Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas (reality testing ability/RTA) sudah kembali pulih dan pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.9

Psikoterapi ini banyak macamnya tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita sebelum sakit (pramorbid), sebagai contoh mislanya : psikoterapi suportif, psikoterapi Re-edukatif, psikoterapi Re-konstruktif, psikoterapi kognitif, psikoterapi psikodinamik, psikoterapi perilaku, psikoterapi keluarga.

Secara umum tujuan dari psikoterapi adalah untuk memperkuat struktur kepribadian, mematangkan kepribadian (maturing personality), memperkuat ego (ego strength), meningkatkan citra diri (self esteem), memulihkan kepercayaan diri (self confidence), yang kesemuanya untuk mencapai kehidupan yang berarti dan bermanfaat (meaningfulness of life).9

2.10.3. Terapi psikososial

Salah satu dampak dari gangguan jiwa skozofrenia adalah terganggunya fungsi sosial penderita atau hendaya (impairment). Dengan terapi psikososial ini dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat.

Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap menjalani terapi psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi. Kepada penderita skizofrenia diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul (silaturrahmi/sosialisasi).9

(28)

17 2.10.4. Terapi psikoreligius

Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat. Larson, dkk (1982) dalam penelitiannya membandingkan keberhasilan terapi terhadap dua kelompok penderita skizofrenia. Dari kelompok yang mendapat terapi keagamaan menpunyai respon gejala klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih cepat hilang, lamanya perawatan lebih pendek, hendaya (impairment) lebih cepat teratasi, kemapuan adaptasi lebih cepat dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi keagamaan.9

Terapi keagamaan yang dimaksudkan dalam penelitian diatas adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sholat, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada tuhan, ceramah keagamaan, kajian kitab suci dan lain sebagianya. Pemahaman dan penafsiran yang salah terhadap agama dapat mencetuskan terjadinya gangguan jiwa skizofrenia, yang dapat diamati dengan adanya gejala-gejala waham (delusi) keagamaan atau jalan pikiran yang patologis dengan pola sentral keagamaan.9

Dengan terapi psikoreligius ini gejala patologis dengan pola sentral keagamaan tadi dapat diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat dipulihkan kembali ke jalan yang benar.

2.11. Definisi depresi

Depresi merupakan suatu keadaan terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri.1

2.12. Etiologi Depresi

Faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.1

2.12.1. Faktor biologi

Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi.1

(29)

18

Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi.1

2.12.2. Faktor Genetik

Penelitian Lesler (2001), Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik.1

2.12.3. Faktor psikososial

Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial.1

Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan.1

Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai resiko yang rendah.1

Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi.1

(30)

19

Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi.1

2.13. Depresi pada skizofrenia

Timbulnya gejala depresi pada penderita skizofrenia akan menimbulkan kualitas hidup penderita lebih buruk seperti perawatannya lebih lama, meningkatnya angka kematian akibat bunuh diri serta memperburuk respon terapi. Prevalensi penderita skizofrenia dengan gejala depresi cukup besar sekitar 7-75%.6 Gejala depresi pada penderita skizofrenia susah dibedakan dengan gejala negatif, untuk membedakannya dapat digunakan alat ukur menggunakan skala CDSS (Calgary Depression Scale for Schizophrenia).6

Gejala depresi pada penderita skizofrenia dapat muncul pada saat gejala prodromal, pada saat fase akut dan post-skizofrenia. Sekitar 50% gejala depresi bisa muncul pada fase prodromal. Gejala depresi yang timbul pada fase prodromal merupakan faktor yang bisa mempercepat terjadinya skizofrenia.15

Orang yang depresi akan mengalami konflik kejiwaanya yang bisa bersumber dari konflik internal maupun eksternal. Orang yang tidak mampu menyelesaikan konflik ini akan jatuh pada frustasi yang mendalam, sebagai kelanjutannya yang bersangkutan menarik diri (withdrawn), melamun (day dreaming), hidup dalam dunianya sendiri yang lama-kelamaan timbullah gejala-gejala berupa kelainan jiwa misalnya halusinasi, waham dan lain sebagainya. Yang bersangkutan tidak lagi mampu menilai realitas (reality testing ability-RTA, terganggu) dan pemahaman diri (insight) buruk, yang merupakan perjalanan awal skizofrenia.9

Gejala depresi yang timbul pada fase akut bisa berhubungan dengan perjalanan penyakit itu sendiri atau karena efek samping dari obat anti psikosis. Sekitar 22-80 % penderita skizofrenia mengalami gejala depresi pada fase akut. Gejala depresi yang muncul pada fase akut dibutuhkan perawatan yang baik karena mempunyai resiko terjadinya bunuh diri pada pasien.15

(31)

20

Gejala depresi yang terjadi setelah skizofrenia bisa muncul akibat adanya gangguan psikis pada pasien misalnya karena adanya rasa kekhawatiran terjadinya relaps, adanya gangguan masalah pekerjaan, meningkatnya angka mortalitas akibat bunuh diri dan lain sebagainya. Sekitar 25% gejala depresi bisa muncul setelah skizofrenia. Jika gejala depresi lebih dominan dan gejala skizofrenia sudah tidak muncul maka diagnosisnya menjadi depresi pasca skizofrenia.15

2.14. Gejala depresi

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ 111), Gejala utama depresi (gejala ini muncul pada derajat ringan, sedang dan berat) meliputi : 14

1. Afek depresi.

2. Kehilangan minat dan kegembiraan.

3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.

Gejala lainnya :

1. Konsentrasi dan perhatian kurang.

2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang. 3. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna. 4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimitis.

5. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri. 6. Tidur terganggu.

7. Nafsu makan berkurang. 2.15. Episode depresi

(32)

21

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ 111) episode depresi dibagi atas :12

a. Episode depresi ringan :

1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi. 2. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya.

3. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.

4. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.

5. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya.

b. Episode depresi sedang :

1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dai 3 gejala utama depresi.

2. Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya. 3. Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2 minggu. 4. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga.

c. Episode depresi berat tanpa gejala psikotik : 1. Semua 3 gejala utama depresi harus ada.

2. Sitambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat.

3. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok maka pasien mungkin tidak mau atau tidak ampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat dibenarkan.

(33)

22

4. Episode depresi biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.

5. Sangat tidak ungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

d. Episode depresif berat dengan gejala psikotik :

1. Semua kriteria episode depresif berat tanpa gejala psikotik terpenuhi 2. Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya

melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan waham atau halusinasi dapat sitentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

(34)

23 2.16. Kerangka konsep

Keterangan :

= Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.16.1. Skema kerangka konsep penelitian 2.17. Definisi operasional

2.17.1. Rekam Medis adalah berkas yang berisi catatan dalam bentuk dokumen mengenai identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lainnya yang diterima pasien pada sarana kesehatan, baik rawat jalan maupun rawat inap pasien skizofrenia paranoid pada tahun 2010. 2.17.2. Prevalensi adalah jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada

suatu waktu tertentu di suatu wilayah ( jumlah kasus lama dan kasus baru dibagi jumlah keseluruhan kasus saat itu ).

(35)

24

2.17.3. Skizofrenia adalah pola penyakit bidang psikiatri, merupakan sindroma klinis dari berbagai keadaan psikopatologis yang sangat mengganggu serta melibatkan proses pikir, persepsi, emosi, gerakan dan tingkah laku.

2.17.4. Skizofrenia paranoid adalah salah satu tipe skizofrenia yang gejalanya predominan delusi ( waham ) dan halusinasi.

2.17.5. Depresi adalah suatu keadaan terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri

2.17.6. Umur, berdasarkan data yang tertera dalam rekam medis pasien berdasarkan tanggal kelahirannya atau momen penting yang diingatnya berdasarkan informasi keluarga, hitung dalam tahun saat dirawat di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010.

2.17.7. Jenis Kelamin, dikategorikan menjadi laki – laki dan perempuan.

2.17.8. Status Perkawinan, dikategorikan menjadi kawin, tidak kawin, cerai dan tidak ada keterangan. Kriteria tidak kawin meliputi penderita yang belum kawin, sedangkan kriteria tidak ada keterangan adalah yang tidak disebutkan status perkawinannya.

(36)

25 BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian studi cross-sectional.

3.2. Lokasi dan waktu penelitian

Lokasi penelitian di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta dan dilakukan pada bulan Januari sampai April 2011.

3.3. Sumber Data

Data yang dipakai adalah data sekunder yang didapat dari rekam medis penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi Di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010.

3.4. Populasi dan sampel 1. Populasi penelitian

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010. 2. Sampel penelitian

Seluruh populasi menjadi sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.5. Kriteria inklusi dan eksklusi 3.5.1. Kriteria Inklusi

Penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010.

(37)

26 3.5.2. Kriteria Eksklusi

Penderita skizofrenia paranoid yang rekam medisnya tidak lengkap, yaitu yang tidak disebutkan gejala depresinya.

3.6. Besar sampel

Rumus perhitungan besar sampel untuk desain deskriptif kategorik adalah sebagai berikut : 29

n : Jumlah sampel

Zα : Ditentukan oleh tingkat kepercayaan pada α = 0,05; Zα = 1,96 P : Proporsi outcome of interest = 50% = 0,5

q : 1 – p = 1 – 0,5 = 0,5 d : 10% = 0,1

Berdasarkan rumus besar sampel di atas, maka jumlah sampel minimum yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 96 penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta pada bulan Januari - Desember 2010. Peneliti mengambil sampel sebanyak 170 penderita dengan harapan dapat mewakili populasi sampel.

3.7. Cara kerja

3.7.1. Pengumpulan Data

Data diambil dengan melihat rekam medis penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010.

n = (Zα)2 .p . q (d)2

n = (1, 96)2 .0, 5 . 0, 5 = 96 (0, 1)2

(38)

27 3.7.2. Pengolahan Data

Data dimasukkan ke dalam komputer melalui data entry pada program SPSS versi 16.0 untuk windows yang kemudian diverifikasi.

3.7.3. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dalam bentuk narasi, teks, dan tabel. 3.7.4. Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan menggunakan distribusi frekuensi, prevalensi.

3.7.5. Interpretasi Data

Data diinterpretasikan secara deskriptif. 3.7.6. Pelaporan Hasil Penelitian

Hasil penelitian dibuat dalam bentuk makalah laporan penelitian yang dipresentasikan di hadapan staf pengajar program studi pendidikan dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(39)

28 BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di instalasi rekam medik RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta pada bulan Februari 2011. Pada penelitian ini, data yang didapat adalah rekam medik pasien skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta pada tahun 2010.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi gejala depresi pada pasien skizofrenia paranoid di RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta pada tahun 2010 berdasarkan umur, jenis kelamin, dan status pernikahan.

Studi Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1995 di beberapa negara menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted Life Years (DALY's) sebesar 8,1% dari Global Burden of Disease, disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Status jiwa yang buruk akan menurunkan produktifitas sehingga menurunkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Jenis psikosis yang tersering secara epidemiologi baik di dunia maupun di Indonesia adalah skizofrenia paranoid.

Penderita skizofrenia paranoid yang disertai dengan gejala depresi akan menimbulkan kualitas hidup penderita tersebut lebih buruk seperti perawatannya lebih lama, meningkatnya angka kematian akibat bunuh diri serta memperburuk respon terapi.

4.1. Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan kali ini mempunyai keterbatasan dan kekurangan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Diantaranya yaitu:

1. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional atau potong lintang sehingga tidak bisa melihat adanya hubungan sebab akibat.

2. Dalam penelitian ini tidak diketahui jenis instrumen yang digunakan dalam menilai adanya depresi, sehingga gejala depresi yang didapat hanya berdasarkan data pada rekam medis.

(40)

29

3. Dalam penelitian ini data mengenai usia pasti dan status perkawinan untuk masing-masing penderita tidak dapat didapatkan secara pasti karena adanya keterbatasan informasi pada rekam medis pasien jiwa.

4.2. Prevalensi penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi

Dari hasil pengumpulan data di instalasi rekam medik RSJ Soeharto Heerdjan, didapatkan jumlah keseluruhan pasien skizofrenia paranoid pada tahun 2010 adalah 782 orang, kemudian didapatkan jumlah pasien dengan diagnosis skizofrenia paranoid dengan gejala depresi adalah sebanyak 170 penderita. Sedangkan rumus prevalensi adalah :

Keterangan : Σ = jumlah; konstanta = 100%.

Dari rumus tersebut, maka prevalensi skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ Soeharto Heerdjan tahun 2010 sebesar 22 %, sedangkan menurut penelitian terdahulu didapatkan prevalensi gejala depresi pada penderita skizofrenia sebesar 7-75 %.6

Gejala depresi pada penderita skizofrenia paranoid dapat timbul pada semua fase skizofrenia dan gejala depresi yang muncul dapat meliputi semua episode depresi.21 James dan Martin dalam penelitiannya menjelaskan bahwa hampir sepertiga dari penderita skizofrenia menunjukkan gejala depresi.22 Hal ini bersesuaian dengan hasil yang didapatkan pada penelitian ini, dimana prevalensi jumlah dari pasien skizofrenia paranoid dengan gejala depresi mencapai hampir sepertiga dari jumlah pasien skizofrenia paranoid secara keseluruhan yaitu sebesar 22 %. Gejala-gejala depresi yang ditemukan pada penelitian ini meliputi : perasaan sedih, berkurangnya minat, cenderung diam, menarik diri, gagasan mau melakukan bunuh diri.

Penyebab munculnya gejala depresi pada skizofrenia sangat multifaktorial dan masih kontroversial, Galdi (1983) berhipotesa bahwa faktor genetik dan riwayat keluarga merupakan faktor presdiposisi munculnya gejala depresi pada skizofrenia,23 sementara Becker dan Siris (1991) menjelaskan bahwa karakteristik seseorang juga merupakan faktor presdiposisi.24 Selain dua pendapat tersebut juga

(41)

30

masih banyak pendapat lain yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui berbagai faktor yang menyebabkan gejala depresi pada penderita skizofrenia.

4.3. Pola Distribusi penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi 4.3.1. Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Distribusi Skizofrenia Paranoid Dengan Gejala Depresi Berdasarkan Jenis Kelamin di RSJ Soeharto Herdjaan Tahun 2010

Jenis kelamin Jumlah (Orang) Persentase (%)

Laki-laki 119 70

Perempuan 51 30

Total 170 100

Dari hasil yang didapat ( Tabel 4.1 ), penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi lebih banyak terjadi pada pasien laki-laki dibandingkan dengan pasien perempuan, hampir dua pertiga dari populasi.

Hal ini bisa terjadi karena onset terjadinya skizofrenia pada laki-laki lebih awal dibandingkan pada perempuan. Bersesuaian dengan studi yang dilakukan Bresnahan et al, (2000), bahwa angka kejadian skizofrenia pada pria dua kali lipat dibandingkan pada wanita yaitu 0.93 : 0.35 dan rata-rata resiko terjadinya skizofrenia pada usia 38 tahun.1 Beberapa studi menyatakan bahwa meningkatkanya kejadian depresi terjadi pada kelompok usia muda, terutama pada laki-laki. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan meningkatnya angka kejadian bunuh diri pada kelompok usia tersebut.17

Gejala depresi yang muncul pada laki-laki dapat dipengaruhi oleh kondisi penyakitnya sehingga peningkatan kejadian skizofrenia dapat mempengaruhi timbulnya gejala depresi sering pada laki-laki. Dalam beberapa studi dijelaskan bahwa hormon estrogen berhubungan dengan timbulnya gejala depresi pada perempuan. Timbulnya depresi pada perempuan terlihat dari perubahan kadar estrogen pada siklus hidup wanita. Perubahan kadar estrogen yang besar pada siklus hidup perempuan mempunyai resiko besar terjadinya depresi khususnya setelah peningkatan estrogen selama usia pubertas (10-14 tahun), setelah

(42)

31

penurunan kadar estrogen pada postpartum dan kadar estrogen yang fluktuatif selama usia perimenopause (37-55 tahun).25 Pada perempuan setelah usia pubertas mempunyai kecenderungan depresi yang konstan/menetap.26 Estrogen mempunyai efek protektif pada perempuan terhadap timbulnya gejala depresi.27 Pada orang yang depresi kadar serotonin dalam otak mengalami penurunan dan estrogen mempunyai peran dalam mengembalikan kadar serotonin dalam keadaan seimbang.27 Beberapa studi menyatakan bahwa laki – laki memiliki kemungkinan besar mudah mengalami gangguan akibat gejala negatif daripada perempuan, dan bahwa perempuan mempunyai fungsi sosial yang lebih baik dari laki – laki. Umumnya, outcome pasien skizofrenia perempuan lebih baik dari pasien skizofrenia laki – laki.1 Faktor – faktor di atas, kemungkinan merupakan penyebab banyaknya penderita laki – laki pada skizofrenia paranoid yang mengalami gejala depresi. Hal ini sesuai dengan penelitian ini.

4.3.2. Berdasarkan Kelompok Umur

Tabel 4.2 Distribusi Skizofrenia Paranoid Dengan Gejala Depresi Berdasarkan Kelompok Umur di RSJ Soeharto Herdjaan Tahun 2010

Kelompok umur Jumlah (Orang) Persentase (%)

15-24 tahun 40 24

25-44 tahun 111 65

45-64 tahun 19 11

>64 tahun 0 0

Total 170 100

Data penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi berdasarkan kelompok umur pada penelitian ini menunjukkan bahwa gejala depresi muncul paling tinggi pada kelompok umur 25-44 tahun yaitu sebanyak 65 %.

Gejala depresi sering muncul pada seseorang dengan umur dibawah 45 tahun dan rata-rata gangguan terjadinya depresi terjadi pada rentang umur 30-35 tahun. Gejala depresi yang muncul pada usia muda dapat dicetuskan oleh faktor lingkungan sedangkan gejala depresi yang muncul pada usia tua lebih dipengaruhi oleh faktor biologik.20 Penelitian yang dilakukan oleh Fombonne et al; bahwasanya angka kejadian depresi pada dewasa muda (20-40 tahun) lebih besar dibandingkan pada remaja, dimana rata-rata perbandinganya 3-4 %.18

(43)

32

Menurut Hurlock (1995), masa dewasa muda adalah periode dimana terjadi penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan dan harapan-harapan sosial yang baru. Pada tahapan usia ini, manusia mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat pada tuntutan yang diharapkan dari dewasa muda tersebut untuk memiliki peran-peran baru, seperti peran suami atau istri, pekerja, orang tua, dan juga perkembangan diri yang menuntut individu untuk mampu mengambil sikap, keinginan, dan nilai sesuai dengan tujuan individu tersebut.28 Beban tanggung jawab yang besar dapat menjadi sumber stresor bagi individu yang tidak bisa beradaptasi sehingga individu tersebut akan mudah sakit misalnya gangguan psikologis seperti depresi.

Menurut Hawari (2006), bahwasanya stresor psikososial dapat menjadi faktor yang mempengaruhi tingginya angka usia produktif menjadi skizofrenia paranoid. Diantaranya; perubahan – perubahan sosial yang serba cepat (rapid social changes) sebagai konsekuensi modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi, yang telah mempengaruhi tata nilai kehidupan keluarga. Tidak semua orang mampu beradaptasi dengan perubahan -perubahan sosial tersebut yang pada gilirannya yang bersangkutan dapat jatuh sakit.9 Meskipun sebaliknya pada kondisi terkena penyakit medis yang kronis, keterbatasan kemampuan dalam bersosial, kehilangan kontak personal gejala depresi sering muncul pada usia tua ( > 45 tahun).1

4.3.3. Berdasarkan Status Perkawinan

Tabel 4.3 Distribusi Skizofrenia Paranoid Dengan Gejala Depresi Berdasarkan Status Perkawinan di RSJ Soeharto Herdjaan Tahun 2010

Status perkawinan Jumlah (Orang) Persentase (%)

Kawin 43 25

Tidak kawin 101 59

Cerai 8 5

Tidak ada keterangan 18 11

Total 170 100

Data penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi berdasarkan status perkawinan menunjukkan bahwa gejala depresi muncul paling tinggi pada kelompok penderita yang tidak kawin sebanyak 59 %. Pada penelitian ini juga didapatkan kelompok penderita dengan kategori tidak ada keterangan/Dinas

(44)

33

Sosial (Dinso) yang pada rekam medis tidak disebutkan status perkawinannya yaitu sebanyak 11 %.

Status perkawinan mempunyai hubungan dengan gangguan mood depresi. Misalnya orang yang belum kawin, cerai mempunyai resiko menjadi depresi. Resiko terjadinya depresi paling tinggi adalah pada orang-orang yang berpisah atau cerai. Wanita yang belum menikah mempunyai resiko lebih rendah terjadinya depresi dibandingkan dengan wanita yang sudah menikah, sebaliknya terjadi pada pria yang belum menikah mempunyai resiko lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang sudah menikah.1

Menurut Hawari, orang yang hidup dalam perkawinan dapat memiliki resiko yang lebih rendah untuk mengalami gangguan jiwa dibandingkan mereka yang hidup tanpa perkawinan. Karena dengan perkawinan dapat terbentuk faktor kejiwaan yang lebih mendasar seperti rasa kasih sayang, mencintai dan dicintai, rasa aman dan terlindung.9 Rasa tidak aman dan terlindung membuat jiwa seseorang tercekam sehingga mengganggu ketenangan hidup yang lama kelamaan daya tahan seseorang menurun sehingga jatuh sakit.

Dalam agama Islam, perkawinan adalah suatu yang dianjurkan bagi pemuda yang telah mampu berkeluarga. Manfaat dari perkawinan dipertegas dalam al-Qur’an surat al-Furqaan ayat 74 “Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”19

Namun begitu, menurut Hawari, perkawinan pun dapat merupakan sumber stres yang dialami seseorang; misalnya dalam kondisi pertengkaran, perpisahan, perceraian, kematian salah satu pasangan, ketidaksetiaan dan lain sebagainya.9 Oleh karena itu, dapat dikatakan pula bahwa stresor perkawinan ini dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit.

Studi yang dilakukan oleh Nyer et al. (2010) bersesuaian dengan hasil penelitian ini, dimana ditemukan adanya hubungan antara status perkawinan dengan gejala depresi, kualitas hidup penderita, dan ide untuk melakukan bunuh diri pada penderita skizofrenia. Hasil studi menjelaskan bahwa perkawinan

(45)

34

mempunyai peran penting untuk mencegah terjadinya bunuh diri dan mempunyai pengaruh yang baik pada kualitas hidup penderita. Pada penderita yang sudah kawin mempunyai kualitas hidup yang lebih baik dan pada penderita yang tidak kawin mempunyai kualitas hidup yang paling buruk. Apabila dilihat dari adanya ide untuk melakukan bunuh diri, penderita yang mengalami perceraiann dalam rumah tangganya mempunyai resiko besar melakukan bunuh diri sedangkan yang mempunyai resiko terendah adalah penderita yang berstatus menikah.16 .

Gambar

Gambar 2.16.1 Skema Kerangka Konsep Penelitian ........................................
Gambar 2.16.1. Skema kerangka konsep penelitian  2.17.  Definisi operasional
Tabel 4.1 Distribusi Skizofrenia Paranoid Dengan Gejala Depresi Berdasarkan  Jenis Kelamin di RSJ Soeharto Herdjaan Tahun 2010
Tabel 4.2 Distribusi Skizofrenia Paranoid Dengan Gejala Depresi Berdasarkan  Kelompok Umur di RSJ Soeharto Herdjaan Tahun 2010
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pola Distribusi Pasien HIV Positif dengan Riwayat Pecandu NAPZA Berdasarkan Jenis Pekerjaan di RSKO Jakarta Tahun

22 Menurut penelitian yang dilakukan di Inggris tahun 2011, rasio jenis kelamin pada pasien anak dengan autisme adalah 7 : 1, akan tetapi dalam penelitian tersebut disebutkan

Laporan Penelitian berjudul PREVALENSI KETIADAAN OTOT PALMARIS LONGUS PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FKIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2010