• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGGINYA TINGKAT PERCERAIAN DI INDONESIA (TINJAUAN TERHADAP HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGGINYA TINGKAT PERCERAIAN DI INDONESIA (TINJAUAN TERHADAP HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

TINGGINYA TINGKAT PERCERAIAN

DI INDONESIA (TINJAUAN TERHADAP

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA)

Ramlah

Dosen Peradilan Agama Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jl. Lintas Jambi-Ma. Bulian KM. 16 Simpang Sei Duren

Jambi Luar Kota, 36361, Muaro Jambi

Abstract: Religious courts law is the law applicable in the event of the Public, un-less the Court has specifically arranged according to Islamic law, such as divorce, divorce, divorce reason through adultery and so on. For Muslims the divorce set-tlement process of Indonesia submitted to the Court of religions as a law enforce-ment agency that is run in accordance with the provisions of the legislation. In the case of divorce proceedings are always held with the objective of peace media-tion or to prevent the occurrence of divorce. But it is sometimes not successfully conciliated, so divorce. From year-to-year divorce is always increasing, in terms of the Religious Courts have been trying to minimize it, but in fact continued to increase. This is due to several factors, namely the economic factor, factor's hus-band is not able to give a living, factor in domestic violence, third party interven-tion factor, and transparent communicainterven-tion media technology, so divorce became a widespread tradition in the middle of the community. And not least there is the influence of not accomplishing the objective law (BILL-PA) as the law is written, in which during this material refers to the legal compilation of the legal status of Islamic law is less binding.

Keywords: divorce, Religious Courts Law, dispute resolution.

(2)

Indo-nesia proses penyelesaian perceraian diajukan ke Pengadilan Agama sebagai lem-baga penegak hukum yang dijalankan sesuai dengan ketentuan peraturan perun-dang-undangan. Dalam proses persidangan perkara perceraian selalu diadakan mediasi atau perdamaian dengan tujuan agar tidak terjadinya perceraian. Tapi hal ini kadangkala tidak berhasil didamaikan, sehingga terjadi perceraian. Dari tahun-ke tahun perceraian selalu meningkat, pada hal pihak Pengadilan Agama telah berusaha untuk menguranginya, namun kenyataannya terus meningkat. Hal ini disebabkan beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, faktor suami tidak mampu memberi nafkah, faktor kekerasan dalam rumah tangga, faktor intervensi pihak ke tiga, dan faktor teknologi media komunikasi yang transparan, sehingga perceraian menjadi tradisi yang membudaya di tengah masyarakat. Dan tidak kalah penting-nya terdapatpenting-nya pengaruh dari belum terwujudpenting-nya hukum materiil (RUU-PA) sebagai hukum yang tertulis, dimana selama ini hukum materil merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam yang status hukumnya kurang mengikat.

Kata Kunci: perceraian, Hukum Acara Peradilan Agama, penyelesaian seng-keta.

Pendahuluan

Indonesia termasuk salah satu negara yang tingkat perceraiannya cukup ting-gi yang dapat mengakibatkan tingting-ginya tingkat kenakalan remaja di tengah masyarakat. Pada umunya perceraian ini berbentuk cerai gugat dimana pihak isteri melakukan tuntutan cerai ke Pengadilan Agama untuk dikabulkan per-ceraiannya. Dalam konsep Hukum Islam dikenal dengan istilah “Khulu’”, dan terdapat juga adanya syiqaq1. Walaupun dibolehkan cerai di dalam Islam tapi dibenci oleh Allah Swt. Dalam sebuah Hadits dikatakan: ﻕﻼﻄﻟﺍﷲﺍﻰﻟﺍﻝﻼﳊﺍﺾﻐﺑﺍ (“Perkara yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak”).2 Selanjut-nya juga terdapat sabda Rasulullah Saw yang artiSelanjut-nya: “Perempuan mana saja

1 Khulu’ adalah. Putusnya perkawinan atas kehendak si isteri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak berkehendak un-tuk itu, kendak unun-tuk putusnya perkawinan yang disampaikan si isteri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk

memutuskan perkawinan itu. Sedang syiqaq adalah pertengkaran, antara suami

isteri secara terus menerus. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di

Indo-nesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 197.

2 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ath, Sunan Abi Dawud, Juz 6, (Damsyiq: Dar

(3)

yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga”.3 Kedua Hadits ini menunjukkan bila hendak melak-sanakan perceraian harus benar-benar memperhatikan berbagai faktor sebagai alasan yang logis untuk dapat diterima sebagai alasan perceraian dan sampai ke tingkat dharurat.

Namun kadangkala suatu perceraian dilaksanakan dengan emosional yang tinggi dan kurang memperhatikan akibat-akibat yang akan ditimbulkan di kemu-dian hari, terutama pemeliharaan anak. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, faktor kekerasan dalam rumah tangga, faktor intervensi fi -hak ke tiga, dan faktor ketidakmampuan suami memberi nafkah terhadap isteri dan anak-anaknya, ataukah penyebab lainnya dikarenakan adanya imbas dari lajunya perkembangan IPTEK terutama teknologi media massa yang transparan menyebabkan isu-isu perceraian sehingga perceraian tidak lagi dipandang asing di tengah masyarakat tetapi merupakan suatu budaya yang dianggap tren dan biasa saja menlanda bangasa Indonesia, sehingga dapat menggambarkan hipo-tesis dimana semakin kompleknya tuntutan ekonomi, maka semakin tinggi pula faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan rumah tangga seseorang.

Untuk mengatasi dan mencari solusi, di Indonesia terdapat lembaga pen-egak hukum yaitu Peradilan Agama yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara dalam bidang hukum perda-ta Islam yang meliputi perkawinan (termasuk perceraian), kewarisan, hibbah, wakaf, shadaqah, infaq, zakat, wasiat, dan ekonomi syari’ah.4 Dalam penyele-saian tugas-tugas ini pihak Pengadilan Agama mengacu kepada hukum acara Peradilan Agama atau disebut juga hukum materil. Hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum, kecuali yang menyangkut hukum acara peradilan Islam seperti cerai talak, cerai alasan zina.5

Bila diperhatikan hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama pada garis besarnya adalah yang menyangkut tentang tata cara beracara sama dengan Peradilan Umum, tetapi yang menyangkut substansi dari hukum materil pen-erapannya sesuai dengan hukum Islam. Terkait dengan ini, apakah tingginya

3 Imam Muhammad bin Hibban, Shahih Ibn Hibban, Jilid 5, (Jakarta: Pustaka

Az-zam, 2001), hlm. 721.

4 Departemen Agama, Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama (UU RI Nomor

(4)

tingkat perceraian di Indonesia disebabkan dari pengaruh belum dibukukan-nya hukum materiil berupa undang-undang di Indonesia yang dikenal dengan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA) yang sudah diajukan pada tahun 2004 ke DPR namun sampai sekarang belum juga disahkan, atau-kah perceraian sudah menjadi tren dan telah menjadi budaya di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia saat ini, inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perceraian dan Akibatnya

Dalam menjalani kehidupan berumahtangga tidak selamanya mulus dijalani disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhinya, pada awal pernikahan-nya tentu sudah membulatkan niat dan tekadpernikahan-nya untuk membina rumahtangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, namun cita-cita ini kandal di tengah jalan bak kata pepatah “Ku sangka cerah sampai petang rupanya mendung di tenga hari”,

ini menunjukkan pembinaan rumahtangganya tidak sampai ke akhir hayatnya, tapi sirna sebelum waktunya. Ini semuanya disebabaka beberapa faktor antara lain:

1. Faktor Ekonomi

Kemajuan IPTEK di era globalisasi tidak dapat dihindarkan, kebutuhan rumahtangga semakin komplek yang kadang kala tidak terpenuhi dapat membuat seseorang menjadi stres. Kemewahan dunia ditayangkan secara transparan di berbagai media massa sehingga dapat ditiru oleh pemirsa yang menginginkannya. Bagi pemerhati yang kurang mampu memahami apa artinya kehidupan yang sebenarnya, dapat tergilas oleh arus dampak globalisasi yang mendunia, bagi pasangan suami yang ingin mencapai ke-mewahan kehidupan dunia yang serba lux, tentu tidak semuanya tercapai, satu sisi bisa saja mengganti pasangan yang baru yang dipandangnya lebih mapan sehingga ia mengajukan cerai ke Pengadilan Agama.

2. Faktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(5)

atau dengan lingkungan sosial di masa kanak-kanak. Kekerasan yang di-lakukan oleh orangnya bisa saja menjadi turun-temurun didi-lakukan oleh anak-anak mereka setelah menikah nanti dan ini dianggapnya sebagai hal yang wajar. Kedua, faktor eksternal yaitu faktor-faktor di luar diri si pelaku kekerasan. Mereka yang tidak tergolong melakukan tingkah laku agresif dapat melakukan tindak kekerasan bila berhadapan dengan situasi yang menimbulkan frustasi, misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, penyelewengan suami-isteri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja dan sebagainya. Selain dua faktor ini juga terdapat faktor lain yang mendorong seseorang melakukan tindak kekerasan yaitu masalah keuangan, cemburu, masalah anak, masalah orang tua, masalah saudara, masalah sopan santun, masalah masa lalu, masalah salah faham, tidak bisa memasak dan suami mau menang sendiri.6 Faktor-faktor ini menjadi pemicu oleh seseorang un-tuk melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang akhirnya beru-jung kepada perceraian.

3. Faktor Intervensi Pihak Ketiga

Faktor intervensi pihak ketiga tidak jarang terjadi sebagai pemicu han-curnya sebauh rumah tangga, yang berujung kepada perceraian, mungkin disebabkan adanya pihak keluarga yang ingin mengatur rumah tangga sau-daranya atau karena tingkah laku dari masing-masing suami-isteri yang kurang berkenan dalam sebuah keluarga, seperti salah satu suami –isteri melakukan poligami liar, atau perselingkuhan.

4. Faktor Ketidakmampuan Suami Memberi Nafkah

Islam menjadikan laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga, yang memberi nafkah terhadap keluarganya. Tapi terdapat juga laki-laki yang tidak sanggup membiayai keluarganya lantaran penyebab sakit, malas men-cari rizki, sementara pihak perempuan di era globalisasi ini bekerja dalam berbagai sektor perekonomian, yang kadangkala perempuan lebih tinggi pendapatan ekonominya dibandingkan pendapat suaminya, dan akhirnya bisa saja terjadi si isteri yang merasa sanggup membiayai anak-anaknya menuntut cerai kepada suaminya.

5. Faktor Perselingkuhan

Istilah perselingkuhan muncul di era modern ini disebabkan transpar-annya media komunikasi seperti handphone, internet yang mempermudah

6 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif

(6)

hubungan, tempat kerja yang nyaman dan dibarengi kesempatan waktu yang luas. Perselingkuhan bagi pasangan orang-orang populer sering di-hembus dan digembor-gembor di media masa, mungkin sebagaian orang memandang perselingkuhan merupakan hal yang biasa dan dapat ditiru oleh orang yang kurang memahi apa artinya sebuah rumah tangga.

Faktor-faktor di atas banyak dijumpai di tengah masyarakat dewasa ini, yang dijadikan sebab sebagai terjadinya perceraian. Sebahagian orang meman-dang perceraian bukan hal yang asing lagi terjadi di tengah masyarakat, seh-ingga banyak perempuan-perempuan yang mengajukan gugatan cerainya ke Pengadilan Agama mintak dibubarkan perkawinan mereka.

Adapun akibat hukum dari terjadinya perceraian yaitu tentang pemeli-haraan anak, hak dan kewajiban suami isteri dan pembagian harta bersama. Da-lam hal pemeliharaan anak sebagaimana dijelaskan daDa-lam Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memuat bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban terse-but berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Tentang hal pengasuhan anak ini apabila terjadi perceraian kedua orang tuanya, bagi anak yang belum baligh hak asuhnya dibebankan kepada ibu selama ibu masih dalam kedaan layak untuk mengasuh, bagi anak yang sudah dewasa boleh ikut ibu atau ikut ayah. Kadangkala terjadinya kenakalan remaja dari anak yang orang tuanya telah bercerai disebabkan adanya keadaan yang terombang –ambingnya sang anak dalam mengadu nasibnya, apa lagi masing-masing kedua orang tu-anya menikah lagi dengan orang lain.

Pasal 41 huruf c Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan apabila ter-jadi perceraian antara suami dan isteri menurut hukum Islam, maka akibat hu-kumnya ialah dibebankannya kewajiban mantan suami terhadap mantan ister-inya untuk memberi mut’ah yang pantas berupa uang atau barang dan memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama mantan isteri dalam masa

iddah, serta melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan perjanjian lain.7 Masalah harta bersama terdapat dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Ta-hun 1974, dan Pasal 85 Komfilasi Hukum Islam (KHI). Harta bersama adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan akan jatuh menjadi harta ber-sama, harus dikecualikan harta yang diperoleh salah satu pihak sebagai warisan

7 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Pustaka

(7)

dan hibah, ini menjadi harta hak milik. Bila terjadi perceraia natara suami-isteri, maka harta bersama ini dibagi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia

Hukum acara perdata Peradilan Agama adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum materil.8 Hukum acara perdata umum menurut Wirjono Prodjodikoro hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-per-aturan hukum perdata (materil).9

Ketentuan mengenai hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Per-adilan Agama diatur dalam Pasal 54 s/d 91 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang bunyinya:

“Hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah

diatur khusus dalam undang-undang ini”.10

Hukum acara khusus yang diatur oleh undang-undang ini meliputi pem-bebanan biaya perkara yang harus dibayar oleh pemohon, pembuktian dengan alasan syiqaq, gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan zina, aturan cerai talak dan sebagainya.

Hukum Acara Peradilan Agama bersumber kepada: 1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; 2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; 3) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; 4) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; 5) Undang-Undang No. 1 Ta-hun 1974 tentang Perkawinan; 6) Undang-Undang No. 41 tentang wakaf; 7) Un-dang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai; 8) UnUn-dang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; 9) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; 10) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

8 R. Abdoel Djamil, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 1999),

hlm. 175.

9 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1980),

hlm. 13.

(8)

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; 11) Undang-Undang No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun; 12) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah; 13) HIR Stabl. 1941 No. 44; 14) Rbg Satbl. 1927 No. 227; 15) Rv Stabl. No. 52 jo. 1849 No. 63 apabila tidak terdapat dalam HIR dan R.bg; 16) Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III tentang Pembuktian dan Daluarsa; 17) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai Pelaksana dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 18) Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik; 19) Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perusahan Perasuransian; 20) Peraturan Bank Indo-nesia dan Surat Edaran Gubernur Bank IndoIndo-nesia; 21) Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam; 21) Doktrin dalam berbagai kitab figh; 22) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional; 23) Peraturan Mahkamah Agung RI; 24) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional; 25) Surat Edaran Mahkamah Agung RI.11

Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara juga, hakim dapat menggali Hukum Acara Per-data. Doktrin itu bukan hukum, melainkan sumber hukum. Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak dipergunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang terdapat dalam kitab fiqh. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Depag No. B/I/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa-Madura dikemukakan bahwa untuk mendapat kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka para hakim Peradilan Agama di-anjurkan agar mempergunakan kitab figh sebagai hukum acara, kitab tersebut:

al-Bajuri, Fathul Mu’in, Syarqawi ‘ala al-Tahrir, Qalyubi/Mahalli, Fathul Wahhab dan Syarahnya, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawaaninus Syari’ah li as-Sayyid bin Yahya, Qawaninus Syari’ah li as-Sayyid Sadaqah dachlan, Syamsuri fi faraid’ Bughyatu al-Mustarsyidin, Al-fiqhu ‘alaa Mazahib al-Arba’ah, Mughni al-Muhtaj.12

11 Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam TEori dan Praktik Pada

Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm. 55-56.

12 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,

(9)

Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama

Di Pengadilan Agama terdapat dua bentuk perceraian pertama cerai talak dan kedua cerai gugat atau gugat cerai sebagaimana terlihat tat cata penyelesaiannya berikut ini:

1. Cerai Talak

Cerai talak adalah diamana suami mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama untuk mentalakkan isterinya. Dalam pembahasan figh banyak dijumpai tentang talak yang hukumnya dibolehkan oleh Islam walaun dibenci oleh Al-lah tapi harus berhati-hati melaksanakannya. Menurut aturan tata hukum di In-donesia talak harus diucapakan di depan sidang Pengadilan Agama. Tata cara pemberian izin ikrar talak di Pengadilan Agama berpedoman kepada BAB IV bagian kedua, pragraf 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 ditentukan dalam Pasal 65 sampai dengan 72. Dalam hal ini dapat diketahui melalui: 13

a. Pemohon Suami, Termohon Isteri. Pasal 66 ayat 1 jo. Pasal 67 huruf a, dalam perkara cerai talak tidak bisa dilakukan secara sepihak, tapi harus bersifat dua belah pihak dalam kedudukan suami sebagai pihak pemohon dan isteri sebagai pihak termohon, walaupun perkara cerai talak termasuk permohon tapi isteri harus hadir, dan boleh serta mempunyai hak mengajukan duplik dan alat bukti. Oleh karena itu, walaupun proses cerai talak berupa permo-honan yang identik dengan gugatan volunter, tapi dalam prosesnya berbeda dengan permohonan murni, karena sesuai dengan bunyi Pasal 70 ayat 2, isteri diberi hak untuk mengajukan banding, berarti hampir sama dengan gugatan contentiosa (gugatan sengketa).

b. Formulasi Gugatan Permohonan. Formulasi gugatan permohonan dalam perkara cerai talak diatur dalam Pasal 66 ayat 5. Namun pelaksanaannya di pengadilan walaupun gugatan cerai talak termasuk permohonan, tapi dibolehkan dalam pengajuannya berbarengan dengan pengajuan gugatan lainnya seperti pengajuan harta bersama, tapi gugatan permohonan talak yang didahulukan baru yang lainnya. Jika ini Yang dilakukan, maka permo-honan formulasi berisi :

1) Identitas pemohon (suami) dan termohon (isteri) berupa nama, umur, alamat.

13 Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama

(10)

2) Posita gugatan yakni alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menajdi pemabuk, pemadat, pejudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alsan yang sah atau karena hal lain di luar kemaunnya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap yang lain. e.Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri. f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan.14 Dalam Pasal 116 KHI, alasan tersebut di atas ditambah lagi dengan suami melanggar taklik talak dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan rumah tangga.15 c. Petitum gugat, yang meminta perkawinan diputuskan serta memberi izin

kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di sidang pengadilan. Menge-nai alasan-alasan terjadinya perceraianya di atas, ia bersifat alternatif, dima-na pemohon dapat memilih salah satu cerai talak terdapat dua alasan seperti isteri berbuat zina dan isteri murtad. Dalam pembuktiannnya tidak harus kedua alasan ini bukti, satu bukti saja sudah cukup. Dari alasan-alasan cerai yang tersebut dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 diatur dalam Pasal 116 KHI ditambah dua poin, poin pertama tercantum dalam hu-ruf 9 berupa alasan suami melanggar taklik talak, kedua pada huhu-ruf h dican-tumkan alasan peralihan murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakru-kunan dalam rumah tangga. Penambahan ini sesuai dengan konsep Islam dan tidak mengurangi tuntutan Pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Jika permakna gugatan cerai talak digabungkan dengan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan pembagian harta bersama, maka formulasinyadiurutkan secara

14 Harun al-Rasyid, (ed), Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik

Indone-sia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 842.

15 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan

(11)

sistematis, dan harus didahulukan permohonan cerai talak beru yang lain menyusul. Dan mengenai perumusan petitum gugatan, harus dimulai dari petitum cerai yang meminta perkawinan putus, dan memberi izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di sidang pengadilan. Kemudian baru menyusul petitum tentang penguasaan anak, nafkah dan sebagainya. d. Kompetensi Mengadili Cerai Talak. Gugatan cerai talak diajukan ke

pen-gadilan Agama tempat kediaman termohon (isteri), sebagaimana terdapat dalam Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 129 KHI. Aturan pokok ini sejalan den-gan aturan pokok yang ditentukan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR atau Pasal 142 ayat (1) RBG. Hal ini sesuai dengan asas: “ Suatu gugatan perkara tidak boleh menyulitkan pihak tergugat dalam melaksanakan upaya membela dan mempertahankan kepentingannya”.

e. Asas Pemeriksaan Cerai Talak. Asas-asas Peradilan yang berkenaan dengan cerai thlak, antara lain asas pemerikasaan oleh Majelis Hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (1) yang menegaskan: “ Pemeriksaan permo-honan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim..”. Dan asas pemeriksaan sidang tertutup, ini terdapat dalam Pasal 68 ayat (2), Pasal 80 ayat (2) yang sama bunyinya dengan ketentuan Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 9 Ta-hun 1975 dan Pasal 145 KHI. Di situ dijelaskan apabila perdamaian tidak tercapai, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Hal ini merupakan pengecualian apabila dalam pemeriksaan terdapat raha-sia antara-suami isteri yang tidak layak diketahui oleh umum.

f. Termohon Berhak Mengajukan Gugatan Rekovensi. Alasan kebolehan mengajukan gugat rekovensi dalam acara cerai talak didasarkan kepada kenyataan-kenyataan, yaitu perkara gugat cerai sama persis dengan gugat contentiosa, kepada isteri sebagai termohon diberi hak mengajukan upaya hukum banding, gugat cerai talak dimungkinkan untuk menggabungnya dengan gugat pembagian harta bersama. Keputusan Cerai Talak berbentu “penetapan” sesuai dengan gugatan yaitu permohonan. Dan amar putusan-nya harus dicantumkan dalam penetapan apabila permohonan gugat cerai talak dikabulkan, dan sesuai dengan petitum gugatan. Kemudian mengenai pengucapan Ikrar Talak dihadiri oleh pemohon dan termohon. Dan amar yang dicantumkan dalam penetapan harus berbunyi: “Menyatakan perkaw-inan putus terhitung sejak hari dan ikrar talak diucapkan.16

(12)

2. Cerai Gugat

Cerai gugat diatur dalam Pasal 73 ayat (1) bahwa dalam perkara cerai gugat yang bertindak dan berkehendak sebagai penggugat adalah “isteri “, pada pihak lain suami ditempatkan sebagai pihak tergugat. Cerai gugat murni bersifat con-tentiosa, dimana dua subjek yang saling berhadapan dalam kedudukan hukum yang sama derajat. Sedangkan amar putusan dalam aacarai cerai gugat men-gandung comdemnatoir, sesuai denga bunyi Pasal 86 ayat (1) putusan cerai gu-gat boleh digabungkan dengan gugu-gatan lain seperti penguasaan anak, nafkah, pembagian harta bersama.

Dan tidak menutup kemungkinan, cerai gugat yang berbentuk khuluk, pe-nyelesaian hukumnya akan diakhiri dengan aturan cerai talak. Dalam hukum Islam khuluk adalah hak isteri untuk mengajukan tuntutan perceraian kepada suami dengan cara suami bersedia menalak isteri untuk mengajukan tuntutan perceraian kepada suami dengan cara suami bersedia menalak isteri dengan suatu imbalan”penggantian” atau iwadl, misalnya isteri tidak senang kepada suami karena suaminya pemabuk. Dalam hal ini isteri dapat menuntut cerai dari suami dengan membayar sejumlah uang atau barang sebagai penebus dirinya.

Kompetensi relatif tempat pengajuan cerai gugat dilakukan di tempat ke-diaman penggugat (isteri) berada, sebagaimana terdapat dalam Pasal 73 ayat (1) yang bunyinya: “Berbeda dari ketentuan sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 66 ayat (2), maka untuk melindungi pihak isteri gugatan perceraian diaju-kan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat’. Pasal ini bertujuan untuk memberi kemudahan kepada isteri. Tapi tidak menutup kemungkinan cerai gugat boleh diajukan ke Pengadilan Agama tempat kediaman suami/isteri, dalam hal apabila isteri pergi meninggalkan tempat kediaman bersama tampa izin suami, atau isteri bertempat tinggal di luar negeri, atau suami-isteri keduanya bertempat tinggal di luar negeri.

(13)

di-laksanakan dalam sidang terbuka untuk umum.17

Analisis Tingginya Tingkat Perceraian di Indonesia

Di negara-negara Barat alasan-alasan perceraian hanya satu yaitu ‘broken home” tanpa melihat siapa yang bersalah yang penting rumah tangga tidak bisa dibina lagi dan sulit untuk mencapai kerunanan. Sebenarnya konsep “broken home” yang berkembang di negara Barat ini adalah konsep Islam yaitu “Syiqaq”, yakni perselisihan yang terus-menerus yang sulit untuk dirukunkan lagi, dan dikha-watirkan akan mendapat bahaya apabila diteruskan. Memang sangat ironis, Is-lam yang punya konsep tapi orang lain yang menerapkannya. Sebaiknya konsep syiqaq ini diterapkan di Indonesia sebagai pembaharuan hukum keluarga di bi-dang perkawinan di Indonesia.18

Ketika terjadi pertengkaran antara suami-isteri, Islam tidak langsung men-ganjurkan suami untuk mengakhiri perkawinannya yang disebut perceraian, tetapi terlebih dahulu dilakukan musyawarah. Di dalamnya, bisa saja suami-isteri membahas tentang bagaimana nusuz yang telah dilakukan oleh kedua be-lah pihak atau perkara syiqaq, sehingga sebab-sebab terjadinya perceraian bisa diatasi.19 Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirim-lah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedau orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan

niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah

Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.20

Banyak terdapat pendapat para ahli dalam menafsirkan ayat ini diantaran-ya Imam Jalaluddin al-Mahalliy berpendapat:

“Dan jika kamu khawatir timbul persengketaan di antara keduanya maksud-nya diantara suami-isteri terjadi pertengkaran, maka kirim kepada mereka se-orang penengah (hakam) dari masing-masing pihak sebagai penengah yaitu

seorang laki-laki yang adil”. 21

17 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 235-239.

18 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2006), hlm. xvii.

19 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),

hlm. 229.

20 An-Nisaa’ (4): 35.

(14)

Ter-Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa hakam diangkat atas kerelaan kedua belah pihak yang terdiri dari seorang laki-laki yang adil, berasala dari keluarga yang fungsinya sebagai penengah yang berusaha untuk mendamaikan. Menurut Ali as-Shabuni, maksud ayat: ﺎﻬﻠﻫﺍﻦﻣﺎﻤﻜﺣﻭﻪﻠﻫﺍﻦﻣﺎﻤﻜﺣﺍﻮﺜﻌﺒﻓ , adalah lembaga yang mempunyai kekuasaan peradilan (al-Hukkam). Lembaga ini di-anggap mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan yang sulit diselesaikan oleh suami-isteri.22

Dalam memahami ayat ini juga terdapat perbedaan para ahli dalam meru-muskan pengertian syiqaq. Menurut Rasyid Ridha syiqaq adalah perselisihan antara suami-isteri, perselisihan ini mungkin disebabkan suami nusuz, atau juga suami berbuat kejam dan aniaya kepada isterinya.23 Menurut Sayid Sabiq, mengkategorikan perceraian sebagai syiqaq ini sebagai perceraian karena mem-bahayakan, lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad berpendapat sekiranya isteri mendapat perlakuan kasar dari suaminya, maka ia dapat mengajukan gugatan cerai ke hadapan hakim agar perkawinannya putus karena perceraian. Adapaun bentuk darurat menurut Imam Malik dan Ahmad adalah suami suka memukul, mencaci, menyakiti jasad isterinya, dan memaksa isterinya untuk berbuat mungkar. Di kalangan Mazhab Syafi’iyah seperti yang dikemukakan oleh Zakaria al-Anshari, as-Syarbaini bahwa syiqaq adalah tidak lain adalah perselisihan antara suami-isteri, dan perselisihan ini sangat memun-cak serta dikhawatirkan terjadi bahaya apabila perkawinan itu diteruskan.24 Dari beberapa redaksi pengertian syiqaq di atas adalah keadaan perselisihan yang terus-menerus anatara suami-isteri yang dikhawatirkan akan menimbulkan ke-hancuran rumah tangga, dan membahayakan sehingga terjadi perceraian.

Kemudian terdapat juga pendapar para ahli dalam menafsirkan kata “hakam”. Menurut Imam Syafi’i diartikan sebagai kewajiban dalam lapangan kekeluargaan saja, yaitu penyelesaian secara kekeluargaan saja, jika secara keke-luargaan tidak berhasil, barulah ke hakim/pengadilan. Menurut Sayyid Sabiq berpendapat disyaratkan hakam itu dari pihak kelurga, jika keduanya bukan

jemahan Mahyuddin Syaf dan Behrem Abu Bakar, Cet. I, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hlm. 343-345.

22 Ali ash-shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Aayati al-Ahkam min al-Qur’an, Edisi

In-donesia, Terjemahan Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), hlm. 317.

23 Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 385.

(15)

dari keluarga masing-masing pihak juga boleh, karena perintah dalam ayat di atas hukumnya sunnah.25

Penerapan syiqaq di Pengadilan Agama terkait dengan Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa yang berwenang mengangkat hakam adalah pengadilan yakni ketua majelis ha-kim yang memeriksa. Pengangkatan ini atas usulan para pihak yang berperkara, tetapi tidak mengikat hakim. Yahya Harahap berpendapat bahwa jika usulan para pihak tidak sesuai dengan pendapat hakim, hakim dapat mengangkat orang lain sebagai hakam. Pengangkatan orang lain selain usulan para pihak hendaknya mendapat persetjuan para pihak agar tidak terjadi hambatan psikol-ogis anatar hakam dengan para pihak dalam melaksnakan pendekatan penye-lesaian perselisihan. Dalam realitanya di tengah bangsa Indonesia, hakam tidak ubahnya sebagai ditektif, maka pengangkatan dari pihak manapun tidak men-jadi masalah yang terpenting bisa melaksanakan tugas dengan baik .26

Dalam praktek Peradilan Agama, alasan perceraian sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tidak selalu disebut syiqaq. Dikatakan syiqaq kalau gugatan perceraian itu dengan alasan telah terjadi pertengkaran yang mengandung unsur-unsur yang membahaya-kan kehidupan suami-isteri dan sudah terjadi pecahnya perkawinan (broken home) berakhirnya perkawinan mereka dengan putusan pengadilan. Perkara syiqaq diajukan ke pengadila Agama memang dari awal sudah merupakan ka-sus syiqaq sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 ten-tang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa syiqaq merupakan alasan cerai ayang diajukan ke Pengadilan Agama sejak awal merupakan perkara syiqaq dan tersendiri. Lain halnya dengan perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan bukan dengan alasan pertengkaran tapi tidak membahayakan ini tidak termasuk syiqaq. Jadi bukan perkara lain yang disyiqaqkan setelah berlangsungnya pe-meriksaan perkara dalam persidangan. Perkara syiqaq juga harus mendatang-kan keluarga dekat sebagai hakam dan tidak hany sekedar mendamaimendatang-kan kedua belah pihak tapi juga merangkap sebagai saksi. Bila orang tersebut tidak mau hadir, maka keua majelis dapat memanggilnya dengan cara ex officio melalui juru sita. Kehadiran mereka ini diharapkan agar ada solusi terbaik adanya haparan

25 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VIII, Terjemahan Moh. Thalib, (Bandung:

al-Ma’arif, 1993), hlm. 115.

(16)

rujuk kembali.27

Alasan syiqaq yang diatur dalam Pasal 76 ayat (10) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 beserta penjelasannya sudah memenuhi pengertian yang terkand-ung dalam QS. an-Nisa’ ayat 35. Juga sama makna dan hakekatnya dengan apa yang dirumuskan pada penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 ayat (2) huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.28

Dari paparan di atas tentang syiqaq, dapat difahami, kebanyakan kasus yang masuk ke Pengadilan Agama tentang alasan perceraian tidak mengand-ung syiqaq. Karena alasan perceraian selaian syiqaq banyak, sabagaimana ditu-angkan dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan: “bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan penga-dilan”. Kemudian dalam Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pen-gadilan setelah majelis hakim tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, serta cukup alasan bagi mereka untuk bercerai karena tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun dalam suatu rumah tangga, perkawinan mereka betul-betul sudah pecah.

Selanjutnya melihat dari aspek hukum materil yang berlaku di Peradilan Agama secara hukum Islam sudah diterapakan sesuai dengan ketentuan nash yang berlaku, namun keuatannya sebagai hukum poitif masih kurang karena belum tertuang secara tertulis berbentu undang-undang, sementara menunggu disahkannya oleh pemerintah tentang RUU-PA pihak pengadilan (hakim) tetap menggunakan KHI yang berbentuk INPRES yang kekuatan hukumnya tidak mengukat. Walau belum terbentuk hukum acara materil Peradilan Agama di In-donesia secara tertulis, namun prakteknya tetap dijalankan di tengah masyarakat, karena menyangkut hukum Islam dan hukum Islam tidak bisa dipisahkan da-lam kehidupan umat Isda-lam.

Para ulama sepakat bahwa talak hukumnya boleh. Hak dan kewenangan mentalak dapat dipergunakan oleh suami tanpa mengenal tempat dan waktu, dan apa yang menjadi alasan bagi suami untuk mentalak isteri tergantung kepa-da penilaian subjektif suami karena tikepa-dak akepa-da suatu bakepa-dan resmipun yang ber-fungsi menilai objektivitasnya. Hal inilah yang berlangsung selama ini dalam ke-hidupam masyarakat Islam Indonesia, terutama di kalangan masyarakat awam,

27 Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 387.

(17)

seolah-olah telah tumbuh suatu budaya yang bertamengkan hukum Islam yang diselewengkan dari hakekat makna yang sebenarnya, kebolehan mentalak isteri bukan untuk menghamburkan, tapi dipergunakan secara proporsional dan hati-hati sekali secara terbatas dan eksepsional.29

Menurut Hammudah Abd. Al Alti, talak adalah semacam perceraian seder-hana yang bisa dirujuk atau Simle revocable divorce, pada dasarnya hanya sekedar menyatakan ketidaksenangan dan kekesalan suami semata, bukan untuk men-gakhiri perkawinan. Tapi dalam kehidupan masyarakat, talak telah dijadikan secara efektif untuk memecahkan perkawinan, sudah barang tentu penyelewen-gan tersebut tidak bisa dibiarkan berlanjut demi untuk menertibkan dan mense-jahterakan keluarga masyarakat Islam Indonesia, oleh karena itulah lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 untuk menertibkan talak dengan melibatkan Pengadilan Agama dan tidak dibenarkan adanya talak liar.30 Menurut Abd. Wa-hab abd. Muhaimin menyebutkan bahwa kelemahan dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimasukkan kedalam undang-undang ini dimana perempuan boleh mengajukan gugatan perceraian (cerai gugat) ke pengadilan Agama berdampak kepada NTCR yang menjdi tingginya tingkat perceraian di Indonesia.31

Menurut Iffan Ainur Rochmah menyatakan lembaga perkawinan sebagai basis membangun keluarga telah mengalami disfungsi dan disorrientasi. Pan-dangan yang mengutamakan pembangunan keluarga dipengaruhi oleh sistem kapitalisme yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga Indonesia yang berakibat meningkatnya perceraian.32 Pengaruh dari teknologi di bidang komu-nikasi dapat mempermudah menjalin ruang lingkup hubungan dan rentan un-tuk melakukan kejahatan. Dengan demikian, walaupun sudah ada upaya unun-tuk mengatasi perceraian seperti mediasi yang tertuang dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi, namun belum juga mampu untuk mengurangi angka per-ceraian di Indonesia.

29 Ibid., hlm. 215.

30 Dalam M. Yahya Harahap, Ibid.

31 Abd. Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Hukum Nasional (Studi

tang Undanng-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku 1 Ten-tang Perkawinan), Disertasi UIN Syarif Hadayatullah, Jakarta, (2010), hlm. 257.

32 Abdullah Gofar, “Mengkaji Ulang Hukum Acara Perceraian di Pengadilan

Agama”, Jurnal, Amanagappa, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

(18)

Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab tinggin-ya tingkat perceraian disebabkan oleh faktor ekonomi, faktor kekerasan dalam rumah tangga, faktor intervensi pihak ketiga, faktor tidak mampunya suami memberi nafkah, faktor adanya gender atau emansipasi wanita di mana wanita penghasilannya lebih besar dari suaminya, faktor teknologi canggih di bidang komunikasi yang transparan sehingga masalah perceraian dianggap biasaya dan menjadi budaya di tengah masyarakat sebagaimana terlihat di berbagai me-dia massa.

Selanjutnya juga berkemungkinan belum disahkannya RUU-PA tentang hukum materil, sekarang masih memakai KHI yang sifatnya kekuatan hukum kurang mengikat. Sementara hukum acara perdata yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum yang berisi nilai-nilai tradisi di negara Eropa Kontinental yang bersifat sekuler. Pemberlakuan hukum acara secara mutatis mutandis hukum acara perdata Barat yang orienta-sinya bersifat mekanistik sebagai hukum acara Peradilan Agama dapat menim-bulkan persoalan termasuk masalah perceraian.

Bibliogra

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Edisi Revisi, Semarang: Kumudasmoro Grafindo

Semarang, 1994.

Abd. Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Hukum Nasional (Studi Tentang Undanng-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Buku 1 Tentang Perkawinan), Disertasi UIN Syarif Hadayatullah, Jakarta,

(2010).

Abdullah Gofar, “Mengkaji Ulang Hukum Acara Perceraian di Pengadilan Agama”, Jurnal, Amanagappa, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar, (13 Nopember 2012).

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,

Jakarta: Kencana, 2005.

______, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ath, Sunan Abi Dawud, Juz 6, Damsyiq: Dar

al-Risalah, 2009.

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan

(19)

Ali ash-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Aayati al-Ahkam min al-Qur’an, Edisi In-donesia, Terjemahan Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Surabaya: Bina Ilmu, 1985.

Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam TEori dan Praktik Pada Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009.

Departemen Agama, Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama (UU RI Nomor 3 Tahun 2006), Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006.

Harun al-Rasyid, (ed), Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indone-sia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Imam Jalaluddin al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin al-Suyuti, Tafsir Jalalain, Ter-jemahan Mahyuddin Syaf dan Behrem Abu Bakar, Cet. I, Bandung: Sinar Baru, 1990.

Imam Muhammad bin Hibban,

Shahih Ibn Hibban

, Jilid 5, Jakarta: Pustaka

Azzam, 2001.

Mahmud Yunus,

Hukum Perkawinan dalam Islam,

Jakarta: Pustaka

Mahmu-diah, 1968.

Moerti Hadiati Soeroso,

Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif

Yuridis-Viktimologis,

Jakarta: Sinar Gra

ka, 2010.

Muhammad Amin Suma,

Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan

Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia,

Jakarta.

Ra-jawali Pers, 2008.

R. Abdoel Djamil,

Pengantar Hukum Indonesia,

Jakarta: Gra

ndo Persada,

1999.

Sayyid Sabiq,

Fikih Sunnah,

Jilid VIII, Terjemahan Moh. Thalib, Bandung:

al-Ma’arif, 1993.

Yahya Harahap,

Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama

(Un-dang-Undang No. 7 Tahun 1989)

, Jakarta: Pustaka Kartini, 1993.

Referensi

Dokumen terkait

salina yang dihasilkan pada media penambahan limbah cair tahu dan media pupuk teknis tidak dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein karena kadar protein tertinggi yang

Penilaian keterampilan dilakukan guru dengan melihat kemampuan peserta didik dalam mengkomunikasikan hasil analisis sistem pemerintahan demokrasi berdasarkan

Zat uji direaksikan dengan 2 mL H2SO4 pekat kemudian dikocok, maka akan terbentuk: — Warna kuning: Streptomisin, Eritromisin, Oksitetrasiklin, Klortetrasiklin, Kloramfenikol —

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

[r]

intervensi (B) dengan mean level 86, kondisi estimasi kecenderungan arahnya yang meningkat, estimasi jejak datanya mengalami kenaikkan karena skor-skor yang didapat

Implementasi Pendekatan Saintifik dalam Langkah-Langkah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti dalam Jurnal Safina.. Mahnun, Nunu Media

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Pneumonia pada balita