• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDIDIK ATAS KEKERASAN YANG DILAKUKAN TERHADAP PESERTA DIDIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDIDIK ATAS KEKERASAN YANG DILAKUKAN TERHADAP PESERTA DIDIK"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDIDIK ATAS KEKERASAN YANG DILAKUKAN TERHADAP PESERTA DIDIK

Oleh:

SURIANI, S.H., M.H.

Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Asahan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ASAHAN

(2)

ABSTRAK

Kekerasan dengan alasan sebuah kedisiplinan di sekolah yang mulai mewarnai pendidikan, sebenarnya mencerminkan kurangnya kasih sayang dalam setiap proses pembelajaran di dalam kelas.Media massa maupun media online sering sekali mempublikasikan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di dunia pendidikan, seperti yang diberitakan melalui video online dimana kekerasan di dunia pendidikan kembali terjadi beberapa bulan yang lalu di sebuah Sekolah Dasar di Sawah Lama, Bandar Lampung dimana dalam video tersebut terlihat seorang oknum guru mencubit dan menampar muridnya. Kekerasan yang dilakukan oknum guru terhadap murid juga terjadi di Siduarjo yang mengakibatkan korban mengalami luka serius di kepala dan telinga.

Dalam Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selanjutnya masih dalam undang-undang yang sama dijelaskan bahwa

kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Pertanggungjawaban pidana dari seorang pendidik (guru) yang melakukan kekerasan terhadap peserta didik (siswa/murid) adalah sesuai dengan yang diatur di dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 atas Perubahan undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa bagi siapa saja yang melakukan kekerasan terhadap anak, yang dalam hal ini termasuk peserta didikyang usianya dibawah 18 (delapan belas) tahun maka dapat dikenakan pidana penjara sampai paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pertanggungjawaban pidana tersebut dapat dimintakan selama keadaan batin si pendidik normal atau akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban pidana, Kekerasan, Pendidik, Peserta Didik.

(3)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakatbangsa

dan negara.1Pendidikan dan kualitas hidup merupakan dua variabel dengan jalinan

interdependensi yang cukup kuat dalam pencapaian tujuan hidup manusia. Hubungan

keduanya tidak hanya dapat dimaknai sebagai hubungan sebab akibat belaka, namun

lebih tepat disebut sebagai hubungan yang saling menentukan. Artinya, untuk mencapai

tujuan hidup yang diinginkan, manusia harus memperbaiki dan meningkatkan kualitas

hidupnya. Kualitas hidup tersebut umumnya sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan

yang dimilikinya.

Faktor pencapaian prestasi, yang menentukan suatu eksistensi pendidikan dewasa

ini tidak lagi dianggap sebagai pelengkap kebutuhan manusia saja, namun telah

diposisikan sebagai instrumen pokok dengan tingkat urgensi yang hampir sama dengan

tiga kebutuhan pokok manusia, yaitu makanan, pakaian dan tempat tinggal.Dengan

pendidikan, manusia dapat memperkuat identitas, aktualitas dan integritas dirinya

sehingga terbentuk pribadi-pribadi yang berkualitas, kritis, inovatif, humanis, bermoral

dan bermartabat. Pribadi-pribadi yang berkualitas dan bermoral ini nantinya akan

membawa perubahan kearah kemajuan bangsa dan negara di berbagai sektor kehidupan.

Mengingat pentingnya peranan pendidikan bagi kemajuan suatu negara,

masyarakat dan individu, maka tanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan yang

(4)

berkualitas pada hakekatnya tidak hanya menjadi urusan negara saja, tetapi juga tanggung

jawab semua pihak sebagai komponen dari pembangunan. Tidak hanya pendidik dan

pemerintah, masyarakat juga diharapkan dapat berperan serta dalam mengelola

pendidikan itu sendiri.

Berdasarkan konsep dasar pendidikan, tujuan pendidikan, fungsi pendidikan, visi,

misi dan strategi pembangunan nasional Indonesia serta sasaran dan arah kebijakan

pembangunan di bidang pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah dapat ditegaskan

bahwa melalui pendidikan diupayakan terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya yakni

manusia yang modern, manusia yang berbudi pekerti/berakhlak yang luhur, manusia yang

menjunjung tinggi supremasi hukum serta manusia Indonesia yang selalu siap untuk

menjadi agent of changes dan agent of development.

Tujuan untuk menghasilkan generasi bangsa yang dapat menjadi ujung tombak

pembangunan diperlukannya mental kuat serta kemauan tinggi oleh peserta didik,

disamping fasilitas modren dengan mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman, demi

tercapainya persaingan di kanca internasional. Disamping kemauan peserta didik,

diperlukan kebulatan tekat pedalaman-pendalaman materi pengetahuan lebih dari

pendidik agar menambah kokohnya misi dari suatu bangsa dalam meningkatkan

pembangunan nasional.

Tahun demi tahun, dunia pendidikan banyak mengalami goncangan hebat,

banyaknya berbagai fenomena terjadi dalam dunia pendidikan, yang menimbulkan

keresahan dalam masyarakat. Maraknya pelanggaran dan kejahatan di dunia pendidikan

menimbulkan keprihatinan bagi para pelaku pendidikan. Pelanggaran dan kejahatan yang

terjadi di dunia pendidikan sangat heterogen sifatnya dan dilakukan secara langsung

(5)

dunia pendidikan dilakukan secara kelembagaan maupun secara personal yang semuanya

mencoreng citra dunia pendidikan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2006) di beberapa

daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada siswa

dilakukan oleh guru. Belakangan ini masyarakat dikejutkan dengan berita mengenai

seorang guru yang menganiaya salah satu siswanya akibatnya siswa tersebut harus

dirawat di rumah sakit. Di televisi juga pernah marak diberitakan mengenai siswa yang

melakukan kekerasan pada siswa lainnya, contohnya kasus di Institut Pemerintahan

Dalam Negeri (IPDN). Hal ini, tentunya cukup mengejutkan mengingat sekolah

merupakan tempat siswa menimba ilmu pengetahuan dan seharusnya menjadi tempat

yang aman bagi siswa. Namun ternyata di beberapa sekolah terjadi kasus kekerasan pada

siswa yang dilakukan oleh sesama siswa, guru atau pihak lain di dalam lingkungan

sekolah.2

Mediamassa maupun media online sering sekali mempublikasikan pelanggaran

dan kejahatan yang terjadi di dunia pendidikan, seperti yang diberitakan melalui video

online dimana kekerasan di dunia pendidikan kembali terjadi beberapa bulan yang lalu di

sebuah Sekolah Dasar di Sawah Lama, Bandar Lampung dimana dalam video tersebut

terlihat seorang oknum guru mencubit dan menampar muridnya.3Kekerasan yang

dilakukan oknum guru terhadap murid juga terjadi di Siduarjo yang mengakibatkan

2https://spa2daily.wordpress.com/2008/06/02/kekerasan-pada-siswa-di-sekolah/ diakses pada tanggal 30 Mei 2017, pukul 14.00 Wib.

3https://video.search.yahoo.com/search/video;_ylt=A0SO8wWSrytZJHUA_RFXNyoA;_ylu=X3o

(6)

korban mengalami luka serius di kepala dan telinga.4

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional tidak mengatur secara khusus sanksi bagi pendidik yang melakukan kekerasan

terhadap peserta didiknya. Namun dapat dipahami bahwa sebuah kekerasan dilakukan

dalam ruang lingkup pendidikan adalah sebuah kejahatan yang dapat menimbulkan

sanksi hukum bagi pelaku kekerasan. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis

tertarik untuk mengangkat judul tentang “Pertanggungjawaban Pidana Pendidik Atas

Kekerasan Yang Dilakukan Terhadap Peserta Didik”

B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana pertanggungjawaban

pidana dari seorang pendidik (guru) yang melakukan kekerasan terhadap peserta didik

(siswa/murid)?

C. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahuipertanggungjawaban pidana dari seorang pendidik (guru) yang

melakukan kekerasan terhadap peserta didik (siswa/murid).

BAB II

4https://video.search.yahoo.com/search/video;_ylt=A0SO8wWSrytZJHUA_RFXNyoA;_ylu=X3o

(7)

PEMBAHASAN

A. Pendidik dan Peserta Didik.

Pendidik dan peserta didik dalam pendidikan merupakan satu dan kesatuan yang

tidak dapat dipisahkan sebab pendidikan akan berfungsi baik jika terwujudnya pendidik

dan peserta didik yang aktif dalam kegiatan pembelajaran. Keberhasilan peserta didik

tidak akan terlepas dari perjuangan, bimbingan dan tuntunan dari para pendidik dan

begitu juga sebaliknya, para pendidik akan dikatakan berhasil jika mampu membimbing,

membina dan mengajarkan peserta didik dengan baik dan profesional.

Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,

konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain

yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan

pendidikan. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan

potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan tertentu.5

Dalam pengertian yang sederhana, guru atau pendidik adalah orang yang

memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Guru sebagai pelaku utama dalam

implementasi atau penerapan program pendidikan di sekolah memiliki peran yang

strategis dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Guru dipandang sebagai

faktor determinan terhadap pencapaian mutu belajar peserta didik.6

B. Tindak Pidana di Bidang Pendidikan.

5Pasal 1 butir 4 dan butir 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidkan Nasional.

(8)

Istilah tindak pidana di bidang pendidikan memang belum begitu populer

dibandingkan istilah tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang (money

laudering). Istilah Tindak Pidana Pendidikan dapat dikatakan sangat jarang

dimunculkan baik di kalangan teoritis maupun praktisi. Pada dasarnya, istilah tindak

pidana di bidang pendidikan tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana pada

umumnya. Sedangkan kekhususannya terletak pada bidang yang menjadi objek korban

yakni berkaitan dengan dunia pendidikan. Disamping itu, ciri, corak atau pola dan wujud

tindak pidana beserta efek dan pengaruh yang ditimbulkannya sedemikian khusus

keadaannya.7

Kekhasan dari tindak pidana pendidikan ini terletak pada bidang yang disimpangi/

dirugikan yakni bidang pendidikan. Tindak pidana di bidang pendidikan merupakan

tindak pidana yang terjadi dalam bidang pendidikan, yang tidak hanya menimbulkan

kerugian nyata pada pelaksaaan pendidikan itu sendiri melainkan juga pada pihak-pihak

yang terkait dalam bidang tersebut terutama peserta didik, sehingga dapat mengganggu

tercapainya tujuan dari pendidikan itu sendiri.8

Pembedaan dan Penggolongan Tindak Pidana Pendidikan menurut Ridwan Halim

dapat digolongkan menjadi:

a. Tindak pidana pendidikan dalam arti sempityang penjabaran macamnya secara fundamental dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Tindak pidana pendidikan yang dilakukan oleh seorang pendidik dalam arti seorang pengajar di lembaga-lembaga pendidikan formal.

2) Tindak pidana pendidikan yang dilakukan oleh seorang pendidik, yang dalam arti seorang pengajar di lembaga-lembaga atau usaha-usaha pendidikan non-formal/ekstra kurikuler.

3) Tindak pidana Pendidikan yang dilakukan oleh orang tua murid,

7https://sapriantoo.wordpress.com/2012/11/15/tindak-pidana-di-bidang-pendidikan/diakses pada tanggal 30 Mei 2017, pukul 14.45 Wib.

(9)

4) Tindak pidana yang dilakukan oleh anak atau murid.

5) Tindak pidana pendidikan yang universal, yakni tindak pidana dalam bidang pendidikan yang pelakunya bisa siapa saja, baik ia itu pengajar (di lembaga pendidikan formal ataupun nonformal) atau/dan orang tua murid, atau/dan murid atau/dan karyawan lembaga pendidikan atau/dan pimpinan lembaga pendidikan yang bersangkutan itu sendiri atau/dan tidak mustahil juga orang luar, korbannya pun bisa siapa saja, sama halnya dengan masalah pelaku di atas bisa siapa saja, sepanjang ada hubungan dan kaitannya dengan bidang pendidikan.

b. Tindak pidana pendidikan dalam arti luas, yang secara garis besarnya terdiri dari/meliputi:

1) Tindak pidana pendidikan dalam arti sempit, sebagaimana telah dijabarkan di atas (dari angka 1 sampai dengan angka 5).

2) Feodalisme Ilmiah.

Istilah feodalisme ilmiah ini sebenarnya bukanlah suatu istilah yang baru lagi karena sejak dahulu sudah banyak orang yang menyebut, menggunakan dan mengenalnya. Tetapi bagaimanakah esensi dan eksistensi feodalisme ilmiah itu dalam praktek pelaksanaan atau penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran sehari-hari, hal ini dapat dikatakan sangat jarang dibahas atau dikupas orang. Sedemikian jarangnya hal ini diperhatikan sehingga seakan-akan dapat dikatseakan-akan belum pernah dianalisa orang secara terperinci. Tetapi mengingat bahwa feodalisme ilmiah ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk tindak pidana yang khusus namun juga cukup luas dan cukup banyak kemungkinan untuk mewujudkan pola-polanya dalam pelaksanaannya.9

Adapun beberapa contoh dan pembagian tindak pidana yang dapat terjadi dalam

dunia pendidikan ialah:

1. Tindak Pidana Kekerasan dimana tidak jarang kekerasan dan penganiayaan terjadi

didalam ruang lingkup pendidikan, kekerasan ini tidak hanya dapat dilakukan

guru terhadap murid namun kekerasan dan penganiayaan bisa saja terjadi terhadap

setiap orang dalam pendidikan.

2. Korupsi, dimana korupsi ini dapat terjadi di dalam sekolah karena adanya

perbuatan dengan sengaja menggunakan atau mengambil dana yang dihasilkan

atau didapatkan untuk kepentingan sekolah.

3. Tindak pidana kesusilaan atau perbuatan cabul,pencurian bahkan pemerasan dan

pengancaman yang juga bisa terjadi di lingkungan pendidikan.

9

(10)

C. Bentuk Kekerasan Dalam Bidang Pendidikan.

Banyaknya tindak pidana didalam pendidikan dapat dihubungkan dengan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang khusus lain yang memiliki

pengaturan sanksi pidana, artinya tidak menutup kemungkinan bahwa semua perbuatan

pidana yang menimbulkan akibat dari sannki pidana dapat terjadi di dalam ruang lingkup

pendidikan itu sendiri.

Kekerasan dengan alasan sebuah kedisiplinan di sekolah yang mulai mewarnai

pendidikan, sebenarnya mencerminkan kurangnya kasih sayang dalam setiap proses

pembelajaran di dalam kelas. Guru sebagai pendidik cenderung meletakkan peserta didik

sebagai objek pendidikan, bukan subjek pendidikan yang merupakan pribadi-pribadi

dengan segala ciri kepribadian yang harus dihargai bukan diseragamkan lewat

kedisiplinan.Peserta didik pada jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar dan

pendidikan menengah dengan kisaran usia dibawah 18 (delapan belas) tahun rentan menjadi

korban kekerasan dalam pendidikan.

Dalam Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan. Selanjutnya masih dalam undang-undang yang sama dijelaskan

bahwakekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran,

termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum.10

(11)

Dalam Pasal 89 KUHP dinyatakan bahwa yang disamakan melakukan kekerasan

itu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Selanjutnya dijelaskan

bahwa melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak

kecil secara yang tidak sah misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam

senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.11

Kekerasan pada peserta didik (siswa) adalah suatu tindakan keras yang dilakukan

terhadap siswa di sekolah dengan dalih mendisiplinkan siswa. Ada beberapa bentuk

kekerasan yang umumnya dialami atau dilakukan terhadap siswa sebagai peserta didik,

yaitu:

a. Kekerasan fisik, merupakan suatu bentuk kekerasan yang dapat mengakibatkan luka

atau cedera pada siswa, seperti memukul, menganiaya, dan lain-lain.

b. Kekerasan psikis yaitu kekerasan secara emosional dilakukan dengan cara menghina,

melecehkan, mencela atau melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai

harga diri, menurunkan rasa percaya diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah,

jelek, tidak berguna dan tidak berdaya.

c. Kekerasan defensivedimana kekerasan defensive dilakukan dalam rangka tindakan

perlindungan, bukan tindakan penyerangan.

d. Kekerasan agresif yaitu kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu

seperti merampas, dan lain-lain.12

D. Pertanggungjawaban Pidana Kekerasan Dalam Pendidikan.

Pepatah mengatakan “tangan menjinjing bahu memikul” yang artinya seseorang

harus menanggung segala akibat dari tindakan yang telah dilakukannya. Di dalam hukum

pidana juga ditentukan hal seperti itu, yang dinamakan pertanggungjawaban pidana yaitu

11R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1993), hlm. 98.

(12)

pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang

dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya

pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang.13

Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab apa bila:

a. Keadaan jiwanya:

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara.

2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, dan sebagainya).

3. Tidak terganggu karena terkejut, hipnotis, amarah yang meluap, pengaruh bawah

sadar, melindur, mengigau karena demam dan lainsebaginya.

b. Kemampuan jiwanya:

1. Dapat menginsafi hakikat dari tindakannya.

2. Dapat menetukan dari kehendaknya atas tindakan tersebut apakah akan

dilaksanakan atau tidak.

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.14

Kemampuan bertanggungjawab diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau

sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan

yang buruk atau dengan kata lain mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya

suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan

kehendaknya.15

Apabila dikaitkan dengan tindak pidana dalam bidang pendidikan dalam bentuk

kekerasan yang dilakukan oleh guru sebagai pendidik terhadap murid sebagai peserta

didik maka terhadap guru tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban selama keadaan

13Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 156.

14E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indaonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 249.

(13)

batinnya normal atau akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan

dan yang tidak boleh dilakukan.

Menurut Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto

bahwa kasus kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun mengalami pergeseran. Data

KPAI Tahun 2015 mencatat kasus pendidikan menempati urutan ke-3 setelah kasus anak

berhadapan dengan hukum dan kasus pengasuhan. Sedangkan Tahun 2016, terjadi

pergeseran cukup berarti. Kasus pornografi dan cyber menempati urutan ke-3 sementara

kasus pendidikan menempati urutan ke-4.16

Kasus kekerasan dalam bidang pendidikan yang menimpa peserta didikterutama

pada jenjang pendidikan formal yang terdiri atas pendidikan dasar dan pendidikan menengah

dengan kisaran usia dibawah 18 (delapan belas) tahun yang notabene adalah anak, perlu

mendapat perhatian serius mengingat anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

kelangsungan hidup manusia bahkan bangsa dan Negara.Pendidikan memiliki peranan

penting bagi kemajuan suatu negara. Tanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan

yang berkualitas menjadi tanggung jawab semua pihak.

Dalam peraturan perundangan di Indonesia, belum ada satu

undang-undang yang mengatur khusus tentang tindak pidana di bidang pendidikan. Padahal di

dalam Pasal 54 Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa anak di

dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak

kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh

pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Setiap produk hukum yang bentuk dalam suatu perundang-undangan di dalamnya

harus ada sanksi, tanpa adanya sanksi maka seperti ikan tanpa insang dimana ikan

(14)

tersebut tidak bisa bertahan lama di dalam air, hukum tanpa sanksi maka tidak akan

menciptakan ketertiban. Sanksi diciptakan untuk memberikan kehormatan atau penaatan

pada hukum.

Sanksi adalah suatu alat, dan alat kekuasaan untuk menguatkan berlakunya suatu

norma dan untuk mencegah serta memberantas tindakan-tindakan yang mengganggu

berlakunya suatu norma.17 Sanksi pidana merupakan penerapan keseimbangan dalam

hukum pidana, yang tujuannya merupakan konsekuensi yuridis dari terpenuhinya

unsur-unsur tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sebagai sanksi yang memiliki

keunikan/keistimewaan dibandingkan sanksi lainnya, maka pengenaan pidana diharapkan

lebih cermat, bijaksana dan manusiawi serta merupakan suatu kesetimpalan terhadap

sebuah kejahatan.

Berbicara mengenai sanksi pidana, berarti tidak terlepas akan membicarakan

pemidanaan. Pemidanaan secara sederhana diartikan pemberian/pengenaan pidana. Demi

menghilangkan ekses negatif dari sanksi pidana, maka pengenaan pidana perlu diarahkan

pada tujuan/sasaran yang hendak dicapai dari pemidanaan itu sendiri. Sesuai dengan

target hukum pidana, maka tujuan pemidanaan harus diarahkan pada perlindungan

masyarakat dan kesejahteraan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam

masyarakat dengan memperhatikan kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku.

Memang sangat dilematis menerapkan sanksi pidana terhadap pendidik (guru)

atas tindak pidana yang dilakukannya. Di satu sisi, pendidik dikenal sebagai profesi yang

mulia, dengan kesejahteraan yang belum sepadan dengan tugas dan fungsi yang

diembannya. Di lain sisi, pendidk (guru) tidak ada bedanya dengan individu lainnya,

mempunyai kewajiban yang sama untuk menaati hukum, dan sanksi pidana hanyalah

konsekuensi dari perbuatannya yang melanggar hukum tersebut.

(15)

Dengan mengingat kemanfaatan dan kepentingan seorang guru, baik kepentingan

guru itu sendiri, maupun kepentingan masyarakat luas, maka penetapan sanksi pidana

harus mencerminkan perlindungan kepentingan tersebut. Sanksi pidana pada dasarnya

bersifat ultimum remedium atau last resort, yang berarti bahwa sanksi pidana diterapkan

sebagai sarana terakhir apabila sarana-sarana (sanksi-sanksi) lainnya tidak mampu lagi

menanggulangi tindak pidana tersebut.

Bertolak pada ide individualisasi pidana, maka pidana yang dikenakan harus

sesuai dengan karakteristik dan kondisi pelaku. Artinya, harus memungkinkan adanya

fleksibilitas atau modifikasi pidana dalam pelaksanaanya. Fleksibiltas ataupun modifikasi

sanksi pidana yang dimaksud adalah, dalam hal jenis-jenis sanksi dalam hukum pidana

dan bobot sanksi.

Dalam pemidanaan, terdapat pedomana pemidanaan, dimana hakim wajib

mempertimbangkan:

1. Kesalahan pembuat;

2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana 3. Cara melakukan tindak pidana

4. Sikap bati si pembuat

5. Riwayat hidup dan keadaan social ekonomi pembuat

6. Sikap dan tindakan pebuat sesudah melakukan tindak pidana; 7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;

8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan; 9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; 10. Tindak pidana dilakukan dengan berencana atau tidak.18

Jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pendidik(guru), pada prinsipnya harus

merujuk pada jenis sanksi yang telah diatur secara umum dalam ketentuan hukum pidana

yang berlaku. Hanya saja, mengingat bahwa tindak pidana yang dilakukan pendidik

(guru) ini terkait erat dengan bidang pendidikan, maka jenis sanksi yang digunakan

(16)

seyogyanya lebih mengedepankan unsur pendidikan/perbaikan pelaku, yakni sanksi

administrasi, tindakan dan baru kemudian sanksi pidana.

Menurut Undang-Undang 35 Tahun 2014 atas Perubahan undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 76C menyatakan bahwa terhadap

setiap orang, yang dalam hal initentunya termasuk pendidik (guru) dilarang

menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta

melakukan kekerasan terhadap anak. Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas maka

terhadap pendidik (guru) yang melakukan kekerasan sebagai salah satu bentuk tindak

pidana dalam bidang pendidikan dapat kenakan sanksi pidana sebagaimana yang diatur di

dalam Pasal 80 yaitu:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau

denda peling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal anak sebagaimana pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan

pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak

3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Menurut Maria Advianti, Ketua Divisi Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi

KPAI, menyikapi kasus kekerasan yang dilakukan pendidik (guru) terhadap peserta didik

(murid/siswa) jalur pidana bukanlah cara bijak untuk menyelesaikan masalah sebab

(17)

keluarganya. Untuk itu, pendidik (guru) agar lebih memahami bahwa guru yang

mengayomi akan lebih disukai murid dari pada guru yang kerap memakai jalur

kekerasan.19

Untuk meminimalisasi perbuatan negatif dari pidana bagi guru dan juga

mengingat pidana ini hanyalah sarana terakhir (bukan satu-satunya sarana) yang

digunakan untuk melindungi kepentingan guru dalam arti luas, dan juga kepentingan

pendidikan, maka seharusnya hakim dituntut untuk lebih cermat dan bijaksana untuk

memilih jenis sanksi pidana yang hendak dijatuhkan.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan.

19

(18)

Pertanggungjawaban pidana dari seorang pendidik (guru) yang melakukan

kekerasan terhadap peserta didik (siswa/murid) adalah sesuai dengan yang diatur di

dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 atas Perubahan undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa bagi siapa

saja yang melakukan kekerasan terhadap anak, yang dalam hal ini termasuk peserta

didikyang usianya dibawah 18 (delapan belas) tahun maka dapat dikenakan pidana

penjara sampai paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.

100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pertanggungjawaban pidana tersebut dapat

dimintakan selama keadaan batin si pendidik normal atau akalnya dapat

membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.

B.Saran.

Bahwa meskipun terhadap pelaku kekerasan dalam pendidikan dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana namun diharapkan agar tetap mengedapankan musyawarah

untuk mufakat dalam mewujudkan perdamaian sebab pidana bukanlah jalan satu-satunya

dalam menyelesaikan masalah kekerasan dalam bidang pendidikan melainkan sebagai

upaya terakhir.Untuk masa yang akan datang diharapkan agar pemerintah segera

membuat peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana di

(19)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku.

Arif Gosita. Masalah Perlindungan Anak,. (Depok: FHUI, 2004).

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indaonesia dan

Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002).

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015).

Niniek Suparni. 2007. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan.

(Jakarta: Sinar Grafika/ 2007).

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta

Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1993).

Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010).

Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan (Suatu Tinjauan Filosofis – Edukatif) (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1985).

B. Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidkan Nasional.

C. Internet.

https://spa2daily.wordpress.com/2008/06/02/kekerasan-pada-siswa-di-sekolah/diakses tanggal 30 Mei 2017.

https://video.search.yahoo.com/search/video;_ylt=A0SO8wWSrytZJHUA_RFXNyoA;_y lu=X3oDMTEycWM5amxrBGNvbG8DZ3ExBHBvcwMxBHZ0aWQDQjI5NDR

(20)

https://video.search.yahoo.com/search/video;_ylt=A0SO8wWSrytZJHUA_RFXNyoA;_y lu=X3oDMTEycWM5amxrBGNvbG8DZ3ExBHBvcwMxBHZ0aWQDQjI5NDR

fMQRzZWMDc2M-?p=kekerasan+guru+terhadap+murid&fr=tightropetb#id=11&vid=8c0e7ccb43172 246a984eef5761b2ccd&action=viewdiakses tanggal 30 Mei 2017.

https://sapriantoo.wordpress.com/2012/11/15/tindak-pidana-di-bidang-pendidikan/diakses tanggal 30 Mei 2017.

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-hardiknas-jadi-momentum-maksimalkan-perlindungan-anak/diakses tanggal 30 Mei 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya salah satu kegiatan pemerintah yang berusaha untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan melalui

Make sure that you keep a certain portion above the ground level to prevent surface water from flowing inside. waste water from a factory, waste water from workers’ village,

Selain itu, terdapat penemuan bahwa untuk menyukseskan kinerja perusahaan dapat dicapai melalui daya saing yang berasal dari strategi dife- rensiasi, yang terkait

Gambar 6 Kapas Sebagai Media Budi Daya Semut Jepang. Universitas

Selain geometri Euclid yang pembahasannya seperti disebutkan di atas, dalam matematika ada pula yang dikenal dengan geometri Riemann. Geometri Riemaan hadir

Upaya yang dilakukan guru dalam mengatasi kendala metode adalah guru memilih dan memilah metode yang cocok digunakan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan dengan metode pengambilan sampel secara acak da ri populasi yang diri dari siswa SMU / SMK se kota Surakarta dan

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda yang dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Current Ratio (CR), Net Profit Margin (NPM), dan