“Menghadirkan Kesejahteran Semu di Jogja”: Menyingkirkan Kelas Pekerja Melalui Pengembangan Pariwisata Perkotaan
Akhir-akhir ini banyak pemerintah perkotaan seperti di Kota Jogja, tengah mengembangkan pariwisata untuk meningkatan kesejaheraan ekonomi masyarakat. Lewat artikel Cities and Visitors, Huffman dkk menunjukan bahwa birokrat, akademisi arus utama, dan LSM meyakini perekonomian kota akan bergerak cepat melalui pengembangan pariwisata (2003). Akan tetapi sebagian akademisi menilai, manfaat ekonomi pariwisata nantinya hanya dinikmati oleh pemilik hotel dan mall saja. Disisi lain, masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan yang sebagian besar terdiri dari pekerja di hotel, mall dan sektor informal, tengah dihantui ancaman kehilangan tempat tinggal selama berlangsungnya pengembangan.
Klaim kuatnya dorongan ekonomi sektor pariwisata didasari atas ukuran kontribusi Product Domestic Regional Bruto (PDRB). Di Kota Jogja misalnya, pariwisata dinilai sebagai tulang punggung perekonomian karena menyumbang 35 % dari porsi PDRB (Tribunnews, 2016). Dianggap sebagai ukuran kekuatan ekonomi sebuah wilayah, Fioramonti melalui buku Problem Domestik Bruto menguraikan pandangan umum, yang mempercayai kehidupan ekonomi masyarakat menjadi lebih baik jika terdapat peningkatan PDRB (2017). Namun klaim perbaikan ekonomi masih diragukan adanya, terlebih dengan indicator garis kemiskinan Rp. 360 ribu/perkapita perbulan yang ditetapkan pemerintah masih jauh dari kebutuhan riil masyarakat. Jumlah masyarakat miskin di DIY yang mencapai 488.830 jiwa jika mengacu garis diatas, dapat meningkat drastis apabila menggunakan standar internasional US 2$ perhari atau setara dengan Rp. 840 ribu perbulan.
Pariwisata di kota tidak lebih dari buatan industri wisata nasional atau global. 40% sektor pariwisata Jogja dikuasai oleh industri hotel dan restoran menurut Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti dalam liputan majalah SWA (2016). Artikel
Fantasi City yang ditulis Haningan menguraikan jika industri wisata telah mengubah ruang kota menjadi objek konsumsi melalui pembangunan berbagai tempat hiburan (Hotel, Mall, Diskotik, Bioskop Wahana bermain, Bioskop, Rerstoran dll). Sebagai penguasa alat produksi, Gotham lewat artikel Thourism Gentrfication yakin jika profit terbesar hanya akan dinikmati pemilik hotel dan mall (2005). Seperti halnya profit Royal Hotel dan Ambarukmo Plaza yang juga berkontribusi menjadikan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai orang terkaya nomor 118 di Indonesia versi majalah
Globe Asia (2016).
dari tempat tinggal sebelumnya menuju daerah yang lebih murah di pinggiran (2009). Seperti halnya pengalaman 600.000 kelas pekerja yang tersingkir dari kota Beijing karena pembangunan sarana olimpiade tahun 2008. Melihat pengalaman lain di Barcelona dan Venesia, kelas pekerja perkotaan melawan keras berbagai kebijakan pariwisata yang memicu penyingkiran. Artikel Evolution of Gentrfication
tulisan Smith menunjukan jika kelas menengah justru berbahagia di balik penyingkiran, karena mereka akan semakin mudah merebut tempat tinggal strategis bekas kelas pekerja (2008).
Tren pengembangan pariwisata oleh pemerintah perkotaan mendapat legitimasi sebagian ahli karena dipandang mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun produk wisata perkotaan yang telah dikembangkan, hanya berfungsi sebagai sarana akumulasi profit pemilik hotel dan mall saja. Tanpa adanya perubahan strategi peningkatan ekonomi berbasis pengembangan pariwisata di perkotaan, kelas pekerja akan tersingkir dari tempat tinggalnya. Dinilai dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang sebagian besar merupakan kelas pekerja, pengembangan pariwisata perkotaan justru mempermudah langkah pemilik hotel atau mall kian memperkaya diri.
Hardian.
Gotham, K. F. (2005). Tourism gentrification: The case of New Orleans’ Vieux quarter. Urban Studies, 42(7), 1099–1121. https://doi.org/10.1080
Hoffman, L., Fainstein, S., & Judd, D. (2003). Cities and Visitors. Regulating People, Markets and City Space. UK: Oxford, Blackwell.
Liang, Z. X., & Bao, J. G. (2015). Tourism gentrification in Shenzhen, China: causes and socio-spatial consequences. Tourism Geographies, 17(3), 461–481. https://doi.org/10.1080/14616688.2014.1000954
Slater, T. (2009). Missing marcuse: On gentrification and displacement. City, 13(2–3), 292–311. https://doi.org/10.1080/13604810902982250
Smith, N. (1979). Toward a theory of gentrification: A back to the city movement by capital, not people. Journal of the American Planning Association, 45(4), 538–548. https://doi.org/10.1080/01944367908977002
Smith, N. (2008). Evolusi Gentrifikasi by Neil Smith. In T. Kaminer & Z. Joost (Eds.), Houses in transformation: Interventions in European gentrification (pp. 15–26). Rotterdam.