• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kasus Bisnis Video Porno Anak O

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Kasus Bisnis Video Porno Anak O"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Essay Kelompok 6

Anggota:

1. Roberto Bellarmino Kartiko (1406574081) 2. Mauditha Angela Sihombing (1406574094) 3. Agung Bagus Pangestu (1406578016) 4. Andrew Timothy Umboh (1406620232)

Tema: Child Pornography

Analisa Kasus Bisnis Video Porno Anak Online milik Deden Martakusumah dari Perspektif Hukum dan Anak Sebagai Korban

I. Penjelasan Kasus

Seperti yang diungkap oleh viva.co.id,1 Deden Martakusumah ditangkap dan dikenakan pasal berlapis oleh aparat Subdit IT Cyber Crime milik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri di usianya yang ke 28 tahun dikarenakan keterlibatannya dalam bisnis video porno online anak yang dijalankannya sejak tahun 2012 dengan modal awal sekitar Rp. 500.000,00.

Bisnis ini dimulia dengan menggunakan website gratis yang ia dapatkan, kemudian sesudah website tersebut selesai dibuat ia mulai menunggah video-video porno anak tersebut. Untuk menjaga kerahasiaan bisnis ini, Deden menyatakan bahwa setiap member harus melakukan registrasi terlebih dahulu dengan biaya sekitar Rp. 30.000,00 hingga Rp. 800.000,00 agar tidak sembarang orang yang mampu mengakses website tersebut. Dari proses registrasi itu ia mendapatkan biaya Rp. 3.000.000,00 setiap bulannya yang kemudian ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Mengenai konten di websitenya, ia mengaku bahwa ia hanya menjual tautan video di websitenya, sehingga ia tidak tahu-menahu siapa yang merekam dan melakukan adegan pornografi di websitenya. Saat proses penangkapan tersebut, diketahui Deden sudah mengelola bisnis tersebut dengan 4 website dan 1 link yang masing-masing berisi hingga 120.000 video porno anak. Kemudahan ia dalam mengelola website dan link tersebut menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigadir Jendral Pol Arief Sulistyono, disebabkan karena

1 Finalia Kodrati dan Stella Maria. Membongkar Bisnis Video Porno Deden Martakusumah. Sabtu, 1 Maret

(2)

keahliannya dalam bidang komputer walaupun kemampuannya belum seperti profesional yang mampu membuat database.

II. Analisa Kasus

Secara umum, yang dimaksudkan sebagai pornografi anak tidak terbatas pada sebuah jenis pornografi atau erotika, namun juga menyangkut kekerasan seksual, eksploitasi, dan kekerasan terhadap anak. Di luar kekerasan secara fisik, tindakan-tindakan seperti ini dapat memberikan dampak psikologis selama bertahun-tahun. Terdapat landasan hukum di setiap negara menyangkut isu ini, namun tujuan utama dari penghukuman terhadap pornografi anak adalah untuk menghindari kekerasan terhadap anak dan pedofilia.2 Berdasarkan hal ini, Deden Martakusumah harus dijerat hukuman dikarenakan ia membuka peluang bagi pihak-pihak luar untuk mengeksploitasi anak-anak yang muncul di dalam video-video yang ia masukkan ke internet.

Bisnis pornografi di internet pada dasarnya terdiri dari keterlibatan tiga pihak utama, yaitu pembuat, distributor, dan pengakses3. Pembuat merupakan orang-orang yang membuat atau merekam tindakan-tindakan seksual dirinya sendiri ataupun orang lain. Distributor merupakan pihak yang menyediakan konten-konten pornografi berupa video, gambar, dan lain-lain, baik melalui internet ataupun melalui transaksi fisik yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial bagi dirinya sendiri. Distributor ini seringkali mendapatkan konten-konten tersebut secara eksklusif dari para pembuat, tetapi terkadang para pembuat konten-konten pornografi juga berperan sebagai distributor dimana mereka sendiri menyebarluaskan konten yang telah mereka buat. Pengakses atau konsumen ini umumnya membentuk komunitas yang berisikan orang-orang yang biasa membeli konten-konten pornografi yang tersebar di internet. Mereka memegang peranan yang besar dalam perkembangan pornografi di internet dikarenakan oleh proses penyebarluasan konten-konten pornografi yang dilakukan oleh komunitas tersebut. Misalkan ada yang membeli konten porno dari sebuah website, lalu ia tunjukkan kepada temannya, maka telah terjadi proses penyebaran konten pornografi dan kemungkinan temannya tersebut akan ikut membeli konten

2 Sanette Nel. Child Pornography and the Internet: A Comparative Perspective. (Institute of Foreign and

Comparative Law: The Comparative and International Law of Southern Africa, Vol. 41, No. 2. 2008). hlm. 223-224.

(3)

porno dari website tersebut, dan komunitas inilah yang berperan sebagai pihak yang membuat industri pornografi tetap bertahan.

Dalam contoh kasus di atas, Deden berperan sebagai distributor. Ia mendistribusikan video-video pornografi anak melalui website yang ia buat dengan sistem pembayaran bulanan atau biasa dikenal dengan istilah subscription payment / fitur langganan, dan mendapatkan penghasilan kurang lebih RP 3.000.000,00 per bulan. Penghasilan yang ia dapat merupakan bukti bahwa adanya komunitas menjaga sebuah penyedia konten-konten pornografi tetap hidup, namun tentu saja komunitas pornografi pada umumnya berbeda dengan komunitas pada pornografi anak. Pornografi anak tentu saja lebih susah dicari karena tidak semua orang menyukai anak-anak, atau dalam kata lain pornografi anak hanya ditujukan untuk pasar khusus, yaitu para pedofil. Dibandingkan dengan pornografi biasa, pornografi anak ini lebih sulit diakses, dan yang mengakses tentu saja jumlahnya sangat sedikit apabila dibandingkan dengan komunitas pornografi pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya distributor konten-konten pornografi yang menyediakan konten-konten tersebut secara hratis, sehingga tidak heran apabila saat ini hampir semua orang bisa mengakses konten-konten porno di internet.

Salah satu pertanyaan terkait isu ini adalah mengapa komunitas pornografi biasa dipisah dengan komunitas pornografi anak? Jawabannya adalah karena saat ini hampir semua produsen dan distributor konten-konten porno di internet memberlakukan aturan yang melarang pengedaran dan penyediaan konten-konten pornografi yang mengandung unsur pemerkosaan, dan anak-anak, oleh karena itu muncul produsen dan distributor yang membuat dan menyebarkan konten-konten khusus untuk kategori perkosaan dan anak-anak.

(4)

Menurut Phillip Jenkins, pihak-pihak yang menonton dan mempublikasikan pornografi anak pada umumnya membenarkan tindakan mereka dengan menggunakan istilah VEDNE (View Evil, Do No Evil) dan menyatakan bahwa mereka tidak melakukan pelanggaran terhadap anak-anak tersebut, dan tindakan mereka tersebut lebih didasarkan atas hobi.4 Pendapat Jenkins ini konsisten dengan bagaimana Deden Martakusumah menyatakan bahwa ia hanya membuka website dan menyebarkan tautan berisi pornografi anak tersebut, padahal ia sebetulnya juga ikut bertanggungjawab terhadap eksploitasi anak-anak yang berada di dalam tautan-tautan yang ia sebarkan.

Kita juga dapat melihat bagaimana pemerintahan Indonesia dalam menanggapi isu cyber crime jika dibandingkan dengan Kanada. Kita dapat melihat bahwa hukum mengenai pornografi anak di negara tersebut ditujukan bagi pelaku, penerima, pengakses, dan pihak yang mendistribusikan pornografi anak tersebut. Salah satu isu yang menarik perhatian penulis dalam hal ini adalah mengenai penerima, mengingat di Kanada merupakan sebuah pelanggaran hukum apabila seseorang secara sengaja memiliki atau mengakses pornografi anak, dan hal ini diatur dalam pasal 163 ayat 1 Canadian Criminal Code, dan mereka akan dihukum dengan denda maksimum $2.000 dan pemenjaraan hingga 6 bulan. 5 Walaupun hukuman yang diberikan tidak setimpal dengan dampak yang diberikan terhadap korban, setidaknya pemerintah masih memberikan penghukuman terhadap isu tersebut. Dalam berita tersebut, kita melihat bahwa Deden Martakusumah merupakan pihak yang memberikan akses terhadap video pornografi anak tersebut, namun dia hanyalah satu-satunya pihak yang mendapatkan hukuman akibat hal tersebut, sedangkan pihak yang merekam atau mengakses video tersebut tidak mendapatkan hukuman apapun.

Dalam sistem hukum Indonesia sendiri, kita dapat mengacu pada UU nomor 35 tahun 2014 mengenai Amandemen UU Perlindungan Anak. Di dalam Undang-Undang ini, tercantum secara eksplisit di dalam pasal 59F yang menyatakan bahwa anak yang teribat di dalam pornografi adalah anak yang membutuhkan perlindungan secara khusus dari pemerintah. Mengenai pemberian bantuan dan bimbingan juga diatur di dalam pasal 59A. Undang-Undang ini secara khusus hanya berfokus pada anak, akan tetapi pasal 76I memiliki isi “Setiap orang dilarang menempatkan,

4 Robert Bauserman. Child Pornography Online: Myth, Fact, and Social Control. (Taylor and Francis, Ltd. The

Journal of Sex Research, Vol. 40, No. 2. 2003). hlm. 221.

(5)

membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak”. Pasal tersebut dapat kita kaitkan pada pornografi, di mana anak diekspolitasi secara seksual untuk memberikan tayangan yang “menghibur” bagi sebagian kalangan dan dijadikan suatu sarana untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Pelanggaran terhadap pasal 76I diatur dalam pasal 88 dimana pelanggar akan dikenakan pidana selama 10 tahun penjara dan/atau denda sebesar dua ratus juta rupiah.

Acuan berikutnya adalah UU no.44 tahun 2008 tentang Pornografi. Di dalam undang-undang ini, dengan jelas diatur bahwa setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek dalam kegiatan yang berkaitan dengan pornografi. Dalam UU ini juga tercantum secara eksplisit bahwa pemerintah memiliki peran untuk memberikan pembinaan dan rehabilitasi pada anak yang terlibat di dalam pornografi (pasal 16). Di dalam Undang-Undang ini, terdapat perbedaan sanksi yang diberikan pada pelanggar, yaitu “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).” Dari kedua UU yang ada di Indonesia ini, kita dapat melihat bahwa pihak yang dianggap bertanggungjawab dalam pornografi anak hanyalah pembuat video dan distributor, belum ada sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang mengakses pornografi.

Beberapa argumen mengenai pornografi anak menyatakan bahwa memiliki konten pornografi anak merupakan victimless crime karena satu satunya pihak yang terkena dampaknya adalah si pelaku sendiri, efek yang ditimbulkan merupakan kejahatan psikologi (menyangkut pikirannya sendiri), namun argumen lain secara tegas mengatakan bahwa kepemilikan pornografi anak merupakan kejahatan terhadap masyarakat dan bukan kepada si anak yang menjadi korban. 6 Kejahatan, dalam hal ini, ditujukan kepada masyarakat karena apabila seseorang memiliki konten pornografi anak artinya ia memiliki sesuatu yang tidak diterima oleh masyarakat, dan membuat dirinya seseorang yang tidak diinginkan oleh masyarakat.

6Audrey Rogers. Child Pornography’s Forgotten Victims. (Pace University-School of Law: Pace Law Review,

(6)

Terlepas dari banyaknya argumen yang ada, apabila kita melihat dari sudut pandang anak sebagai korban, maka akan terlihat secara jelas dampak yang ditimbulkan dari pornografi anak terhadap foto ataupun video dirinya yang tersebar di Internet. The National Center of Missing and Exploited Children menjelaskan beberapa efek yang ditimbulkan bagi anak korban CP. Efek pertama adalah efek pada fisiknya, seperti memar di organ genitalnya, luka sayatan, sobekan, dan dapat saja terjangkit yang ditularkan melalui aktivitas seksual. Efek berikutnya adalah efek psikologis, dampak yang akan timbul antara lain: Depresi, kemarahan, penarikan diri, rasa percaya diri yang rendah dan merasa dirinya tidak berguna. Perasaan perasaan tadi dapat dialami melalui mimpi buruk, flashback, dan gejala gejala pos trauma lainnya. Anak yang mengalami gejala diatas cenderung melakukan tindakan yang bersifat self-destructive atau menyakiti diri sendiri, seperti menggunakan narkoba, prostitusi, depresi, bahkan bunuh diri.7 Tampaknya hal inilah yang tidak disadari oleh Deden Martakusumah dan pihak-pihak yang menonton tautan dari websitenya ia menyebarkan tautan-tautan tersebut di dalam websitenya.

Ketika konten pornografi seorang anak tersebar di dunia maya, anak tersebut akan menjadi korban viktimisasi secara berulang, dan mengingat ia semakin sadar bahwa konten mengenai dirinya tersebar luas di internet, maka anak itu akan semakin merasa malu, terhina dan tidak memiliki kekuatan/powerlessness, dan perasaan tersebut akan terus ada dan berkembang karena media yang menyebarkannya adalah internet, media digital yang dapat diakses seluruh orang di dunia. Di tingkat yang lebih fundamental lagi, unsur-unsur yang dirampas dari anak tersebut adalah harga dirinya sebagai manusia dan hak privasi atas dirinya. Ketika konten pornografi seorang anak tersebar dan dimiliki oleh seseorang, maka orang itulah yang menyebabkan kerusakan/harm yang nyata bagi korban. Oleh karena hal diatas maka sebenarnya anak sebagai korban telah mengalami viktimisasi yang luar biasa dari tersebarnya konten porno dirinya, dan kepemilikan konten CP merupakan kejahatan yang perlu dihukum lebih dari sekedar pertimbangan sebagai pelaku victimless crime.

Terdapat tingkatan khusus yang digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan sebuah konten pornografi anak yang digolongkan berdasarkan perbedaan karakteristik dalam komunitas pengakses pornografi biasa dengan pornografi anak.

(7)

Berikut ini adalah 10 tingkatan keparahan sebuah konten pornografi anak dari yang paling ringan hingga yang paling parah8:

Indicative: sebuah gambar anak-anak yang tersebar di media

Nudist: gambar anak-anak telanjang, ataupun setengah telanjang

Erotica: gambar anak-anak telanjang yang diambil secara diam-diam / tidak diketahui oleh anak tersebut

Posing: gambar anak telanjang yang melakukan pose (biasanya pose-pose umum yang dilakukan model)

Erotic posing: gambar anak-anak telanjang yang melakukan pose-pose seksual

Explicit erotic posing: gambar anak-anak yang berpose yang berfokus untuk memperlihatkan alat kelamin anak tersebut

Explicit sexual activity: rekaman aktivitas seksual anak tanpa ada keterlibatan orang dewasa

Assault: rekaman sebuah aktivitas seksual atau pelecehan seksual oleh orang dewasa kepada anak-anak (pada umumnya hanya merupakan sentuhan)

Gross assault: rekaman aktivitas atau pelecehan seksual oleh orang dewasa kepada anak-anak yang melibatkan penetrasi, masturbasi, atau oral sex

Sadistic/bestiality: rekaman aktivitas atau pelecehan seksual yang menunjukkan anak-anak yang disiksa, dan/atau melakukan aktivitas seksual dengan binatang

Dari sepuluh tingkatan di atas, dapat dilihat bahwa Deden melakukan pendistribusian konten-konten pornografi anak yang termasuk dalam tingkatan keparahan yang tinggi karena berada pada tingkat 7-10, dimana semuanya merupakan bentuk rekaman. Meskipun kita tidak tahu video-video macam apa saja yang disediakan oleh Deden di website miliknya, tetapi kita semua tahu bahwa video merupakan sebuah hasil rekaman, dimana sebuah rekaman yang mengandung pornografi anak dianggap lebih parah daripada hanya sekedar gambar yang mengandung pornografi anak karena video atau rekaman dianggap mempermudah fantasi seksual para konsumen dibandingkan hanya gambar saja.

(8)

Daftar Pustaka Berita

Kodrati, Finalia dan Stella Maria. Membongkar Bisnis Video Porno Deden Martakusumah. Sabtu, 1 Maret 2014, 07.38 WIB. http://m.news.viva.co.id/news/read/ 485182-membongkar-bisnis-video-porno-deden-martakusumah.

Buku dan Jurnal

Bauserman, Robert. (2003). Child Pornography Online: Myth, Fact, and Social Control.

Taylor and Francis Ltd: The Journal of Sex Research, Vol. 40, No. 2.

Nel, Sanette. (2008). Child Pornography and the Internet: A Comparative Perspective. Institute of Foreign and Comparative Law: The Comparative and International Law of Southern Africa, Vol. 41, No. 2.

Rogers, Audrey. (2008). Child Pornography’s Forgotten Victims. Pace University-School of Law: Pace Law Review, Vol. 2, No. 4.

Wortley, Richard dan Stephen Smallbone. (2006). Problem-Oriented Guides for Police, Problem-Specific Guide Series No. 41: Child Pornography on the Internet. U.S. Department of Justice: Office of Community Oriented Policing Services.

Undang-Undang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Referensi

Dokumen terkait

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR - UNIVERSITAS MERCU BUANA REKAPITULASI PEMASUKAN MODUL PERKULIAHAN DOSEN TETAP DAN TIDAK TETAP.

Berdasarkan analisis KLT menunjukkan adanya alkaloid dalam ekstrak etanol ganggang hijau dan ternyata adalah melatonin yang ditunjukkan dengan Rf yang sama antara

Temuan penelitian ini adalah efektivitas pemberdayaan PSK di Lokalisasi Pembatuan Banjarbaru yang meliputi: manfaat ceramah agama, kesesuaian materi ceramah,

Faktor kepuasan kerja pegawai honorer Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kecamatan Watopute Kabupaten Muna yaitu faktor penghargaan berupa gaji atau insentif,

Sebagai negara hukum di Indonesia telah menetapkan Undang-Undang untuk di langsungkannya perkawinan, peraturan tersebut harus di laksanakan oleh semua masyarakat tanpa

“Adu zatua milik masyarakat suku Nias, dan orang luar harus mengetahui itu”, Ndruru menambahkan eksistensi dalam fenomena adu zatua yang terjadi pada zaman sekarang

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi 0. Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata uang

Rekapitulasi angket pemahaman terhadap materi Penerapan Model IS-LM pada kelas 4/A/IESP pada pertemuan 1 pada kategori sangat rendah tidak ada, pada kategori rendah sebanyak