• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBURUAN PENYIHIR ABAD 21 LGBT sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBURUAN PENYIHIR ABAD 21 LGBT sebagai"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

PERBURUAN PENYIHIR ABAD 21

(LGBT sebagai Kepanikan Moral di Indonesia)

Sandy Allifiansyah 1 Universitas Gadjah Mada

Abstrak

Isu tentang moral adalah isu yang paling sering diperdebatkan dalam sejarah peradaban manusia. Sesuatu yang dianggap benar pada masa lalu, belum tentu benar pula pada masa yang akan datang. Begitu pula sebaliknya. Di Indonesia, isu moral dirasa begitu sensitif karena selalu bersinggungan dengan aspek-aspek seperti SARA, pilihan ideologi politik, dan yang paling terbaru adalah orientasi seksual. Terbukanya arus informasi membuka pula suara-suara kelompok dengan orientasi seksual yang dianggap kaum heteroseksual sebagai orientasi yang menyimpang. Indonesia sebagai negara yang iklim masyarakatnya cenderung konservatif, menganggap kelompok LGBT sebagai benalu dan harus direhabilitasi secara seksual setelah sebelumnya dikutuk secara moral. Fenomena pengkutukan itu muncul pula lewat tangan-tangan lembaga otoritas media yang memberlakukan pembatasan ketat terhadap kelompok LGBT atau terduga LGBT di media massa.

Kata kunci: media, moral panic, otoritas, konflik, LGBT

Latar Belakang

Generasi yang hidup pada abad 21 sering mengklaim diri mereka sebagai generasi yang beruntung karena hidup dalam segala kecanggihan teknologi yang belum

bisa dinikmati oleh generasi-generasi sebelumnya. Namun perlu disadari bahwa historiografi dan peradaban selalu bersifat sirkular. Apa yang pernah terjadi di masa lalu, selalu berulang di masa yang akan datang, kendati hadir dalam bungkus

1 Sandy Allifiansyah adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah

(2)

yang berbeda. Aspek moral adalah satu di antara banyak contoh sirkulasi peradaban itu. Pada abad pertengahan, terjadi kepanikan moral besar di daratan Eropa dan Amerika soal fenomena penyihir (witch) yang identik dengan kaum hawa dan praktik okultisme. Peristiwa tersebut menjadi sebuah kepanikan moral

(moral panic) terbesar dan terkonyol yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban

manusia. Periode tahun 1450-1750 terdapat setidaknya 35.000 orang yang dieksekusi dengan tuduhan tukang sihir (Monter, 2002). Angka tersebut menunjukkan adanya ketakutan yang besar akan praktik-praktik sihir yang

disematkan pada kelompok masyarakat tertentu.

Bila kita membuka kembali buku sejarah, cara-cara seperti ini dilakukan oleh rezim otoritas agama abad pertengahan lewat legitimasi tangan-tangan penegak hukum, untuk membasmi mereka-mereka yang dianggap dan dituduh sebagai penyihir. Dugaan itu dicari rasionalisasinya melalui tanda lahir (birth mark) yang tak lazim, tenggelam tidaknya mereka saat dimasukkan kedalam air , hingga sakit tidaknya mereka ketika ditusuk oleh jarum (Sharpe, 2002).

Lantas apa hubungannya dengan LGBT? Usaha kaum mayoritas atau mereka yang merasa berhak (entitled) untuk menyingkirkan kaum yang dianggap menyimpang, ternyata mengalami pengulangan. Kendati muncul dalam kemasan yang berbeda, tetapi cara-cara yang dilakukan untuk menghukum kelompok ini secara moral tetaplah sama. Kelompok mayoritas heteroseksual yang bertindak layaknya polisi moral, memberlakukan stigma-stigma tidak masuk akal untuk memberangus kelompok ini.

Kepanikan moral yang tak terkendali atas LGBT ini dipahami sebagai gejala yang mendadak terjadi di tahun 2016. Seolah-olah ada agenda media untuk membungkam dan menghakimi kelompok minoritas yang sesungguhnya sudah ada sejak lama. Ketakutan tersebut bahkan dibungkus sedemikian rupa dengan

wacana adanya “sebuah gerakan” yang mencoba untuk mengajak awam untuk menjadi bagian dari LGBT. Pertanyaan lantas muncul, bagaimana cara

(3)

Baru saat TVRI menjadi satu-satunya corong media massa televisi yang mempunyai daya jangkau luas.

Intan Paramaditha memposisikan kekhawatiran berlebihan terhadap

“gerakan” LGBT ini sebagai perpanjangan dari cara berpikir Orde Baru tentang

OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) yang kental akan unsur politik

(thejakartapost.com,2016). OTB adalah sebuah istilah bentukan Orde Baru untuk

menyebut organisasi yang tidak berpayung hukum, sehingga dengan mudah dilabeli stigma subversif (Harsutejo, 2010). Budaya Indonesia yang gemar sekali

menciptakan hantu dan takut pada hantu itu sendiri adalah salah satu dari sekian banyak bentuk kekerasan budaya yang dipelihara bahkan dikembangkan oleh otoritas negara pasca reformasi (Herlambang, 2013).

Rasanya sulit bila cara berpikir anti-intelektual dan anti-diskusi ini masih dipertahankan. Di Indonesia, persoalan seksual rentan diintervensi oleh negara. Hal ini bisa terjadi karena masyarakat Indonesia cenderung konservatif. Celakanya, lembaga otoritas mengajarkan pendidikan seksual kepada publik dengan cara-cara yang menakutkan. Sampai saat ini bahkan belum ada kurikulum pendidikan seks di sekolah dasar secara menyeluruh dan komprehensif. Kendati kini internet telah membuka keran informasi yang sedemikian deras, pemahaman soal dunia seks perlu diajarkan secara khusus oleh kurikulum.

Akibatnya dari kealpaan kita akan pendidikan seks, perburuan terhadap kelompok-kelompok yang dituding LGBT dengan memberikan stigma soal ciri-ciri tingkah laku mereka secara serampangan, akhirnya terjadi. Peristiwa ini persis dengan peristiwa perburuan penyihir di Eropa dan Amerika saat abad pertengahan. Penjajaran (juxtaposition) dua peristiwa ini adalah representasi simbolik dari sebuah pengulangan sejarah mengenai kecenderungan mayoritas untuk menghukum kelompok-kelompok yang ingin mereka disingkirkan.

(4)

fallacy) dalam mengambil kebijakan tentang kelompok LGBT dan kelompok minoritas lain.

Kepanikan Moral yang Direncanakan

Sebuah kepanikan moral yang melanda massa dalam jumlah besar tidak semerta-merta terjadi secara alamiah. Kondisi ini pasti dirangsang oleh sebab-sebab yang terjadi sebelumnya. Kepanikan akan komunisme misalnya, merupakan gerakan politis yang dirancang secara terorganisir oleh rezim. Massa dikondisikan

sedemikian rupa agar merasa ketakutan akan sebuah isu yang disebut-sebut mengancam kelangsungan dan keharmonisan hidup sehari-hari mereka.

Dalam fenomena kepanikan moral (moral panic) akan selalu ada kambing hitam atau pihak yang menanggung dosa sosial. Stanley Cohen (1972) menyebut entitas yang mendapat stigma layaknya iblis ini sebagai folk devils. Masyarakat yang telah dikondisikan akan sebuah stigmatisasi moral ini mudah untuk dimobilisasi untuk tujuan tertentu, misalnya politik. Ketika Orde Baru saat segala yang berbau komunisme dirancang sebagai kepanikan moral, orang-orang yang bersinggungan dengan komunisme, entah itu pemilik buku Das Kapital, perkumpulan studi ilmiah berparadigma tertentu, dianggap sebagai gerakan subversif.

Kepanikan moral yang bersumber dari sebuah institusi atau otoritas ini berorientasi pada penciptaan hantu moral yang didasari cara berpikir oposisi biner (Levi-Strauss, 1968) tentang benar atau salah, hitam atau putih, kita atau mereka. Cara berpikir semacam ini lazim digunakan dalam narasi-narasi dongeng untuk mempermudah pemahaman pembaca tentang siapa pahlawan dan pengkhianat. Paradigma berpikir ini sebenarnya sudah lama ditinggalkan dalam tradisi masyarakat pascamodern. Sebab faktanya, tidak mungkin sebuah karakter tetap

berada dalam satu kutub ekstrim. Tidak selamanya seseorang selalu berbuat jahat, dan tidak selamanya pula seseorang selalu bertingkah laku baik.

(5)

leaders dalam pembungkusan isu yang menimbulkan kecemasan ini (Garland, 2008). Para aktor-aktor sosial ini diwakili oleh sebuah lembaga resmi dan memiliki otoritas yang dilindungi oleh undang-undang.

Kepanikan moral masyarakat terhadap LGBT ini muncul secara mendadak karena pemberitaan media tentang isu adanya sebuah gerakan dari kaum LGBT yang meminta legalitas status mereka. Pertanyaannya, apakah kaum LGBT memang meminta hal tersebut secara terbuka atau ini hanya klaim pihak-pihak pemangku otoritas. Uniknya, sejak isu ini menjadi viral pada awal 2016, KPI

(Komisi Penyiaran Indonesia) mengeluarkan edaran yang berisi pelarangan

terhadap segala atribut dan tingkah laku “kebanci-bancian” di televisi.

KPI bahkan sampai membuat daftar tingkah laku yang mengindikasikan seseorang adalah bagian dari LGBT (Tashandra,2016). Indikasi-indikasi itu menyangkut aspek-aspek yang lazim terdapat dalam sebuah acara televisi, seperti host, talent, atau pengisi acara lainnya.

(6)

Ketakutan-ketakutan yang diciptakan KPI yang terwujud melalui 7 kriteria di atas terlampau tendensius. Sulit untuk dibuktikan keabsahannya dan justu akan memicu perdebatan baru. Misalnya, pada poin 4. Apa yang dimaksud dengan gaya berbicara kewanitaan? Apakah hal itu termanifestasi lewat suara atau gestur? Apakah ada ukuran mutlak atas sebuah gaya seseorang berbicara? Masih banyak lagi dari 7 poin di atas yang bisa dipertanyakan keabsahan ukurannya.

Justru dengan stigma-stigma yang dilekatkan oleh KPI tentang perilaku LGBT, membuat masyarakat menjadi kian tidak simpatik terhadap orang-orang di

sekitar kita. Kecenderungan untuk menjadi sinister figure atau figur-figur yang sinis terhadap sesama, menjadi kian rentan terjadi. Perilaku ini disebut Foucault (1975) sebagai praktik medical gaze yang lazim dilakukan oleh dokter-dokter di masa lalu. Praktik-praktik diagnosis medis seperti ini sarat akan muatan dehumanisasi. Diagnosis hanya memposisikan pasien sebagai entitas pesakitan yang mengalami kerusakan, tanpa menghiraukan aspek kemanusiaan (humanity).

Dengan memberikan daftar ciri-ciri kelompok yang dianggap menyimpang secara seksual tersebut, KPI justru melatih kita untuk tidak simpatik terhadap orang-orang disekitar. Maka jangan heran bila kita kerap melihat praktik-praktik tatapan sinis masyarakat terhadap orang-orang dengan ciri-ciri di atas. Padahal belum tentu orang tersebut memang beorientasi seksual seperti yang dimaksudkan. Lucunya, bila masyarakat melihat kemunculan dan tingkah polah

karakter “kebanci-bancian” di televisi, masyarakat justru menikmatinya. Segala

tingkah polah “kebanci-bancian” selalu menjadi sasaran tembak untuk dihina dan dicibir karakter lain di luar mereka. Sementara itu di sisi yang lain, masyarakat tetap menikmati kemunculan karakter “kebanci-bancian” di layar kaca.

Dari kecenderungan perilaku tendensius KPI tadi, kita bisa menangkap cara-cara serupa layaknya yang dipraktikkan oleh otoritas gereja abad pertengahan

(7)

Secara impulsif, televisi gencar memberitakan tentang adanya ancaman dari kelompok LGBT. ILC (Indonesia Lawyers Club) sebagai salah satu acara terkenal bahkan sampai menggelar dialog tentang LGBT hingga memperdebatkan apakah LGBT merupakan penyimpangan seksual atau tidak. Para pakar dalam acara tersebut berpatokan pada buku Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III yang merupakan hasil kesepakatan bersama para doketer dan psikiatri seluruh dunia. Akan tetapi, salah satu pakar secara tendesius membantah bahwa berbeda pandang dengan apa yang tertera dalam literatur (PPDGJ) III.

Pertentangan muncul beberapa hari setelah acara. Presiden Asosiasi Psikiater Amerika - American Psychiatric Association (APA) Dr. Renee Binder M.D. dan Direktur Medis dan CEO APA Saul M. Levin M.D., M.P.A. melayangkan protes pada Asosiasi Psikiater Indonesia dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia untuk mengklarifikasi pernyataan salah satu dokter di acara ILC (Indonesia Lawyers Club) yang berkata bahwa homoseksualitas adalah masalah kejiwaan mereka anggap telah menyalahi kesepakatan bersama Ikatan Psikiater Dunia.

Fakta yang Diingkari

Banyak perdebatan yang tak kunjung usai mengenai penyebab perbedaan orientasi seksual seseorang. Apakah orientasi tersebut disebabkan oleh faktor genetika, lingkungan, atau bahkan keduanya. Salah satu teori yang paling sering disebut dan diperdebatkan adalah teori skala Kinsey (1948-1953).2 Dari segala perdebatan teoritis akademis tadi, terdapat satu hal yang pasti. Orang-orang dengan orientasi seksual yang berbeda dari mayoritas memang ada di sekitar kita. Fakta ini tidak

2

(8)

bisa diingkari. Kita tidak bisa menganalisis sebuah permasalahan sosial terkait kebijakan dengan paradigma berpikir kontra fakta.

Sebagai orang masuk dalam kategori orientasi seksual hetero, kita lazim menggunakan istilah “penyimpangan seksual” kepada mereka yang orientasi

seksualnya berada di luar lingkaran himpunan heteroseks. Istilah “penyimpangan seksual” ini sebenarnya adalah istilah yang diskriminatif karena acap kali tidak berdasar pada analisis objektif yang komprehensif. Istilah “penyimpangan” seringkali diukur hanya berdasarkan pada minoritas jumlahnya.

Sudah banyak studi tentang kelompok LGBT di Indonesia di masa lampau. Bahkan ketika istilah LGBT belum dikenal, praktik-praktik orientasi seksual sesama jenis ini sudah ada. Dede Oetomo (1991) mencatat bahkan kebudayaan kuno Nusantara telah menjalankan praktik-praktik ini sebagai bagian dari ritual yang sifatnya vertikal dan sakral kepada Tuhan (tradisi Makassar mengenal sosok

bissu). Ada pula praktik mairilan yang terjadi di pesantren-pesantren dan

melibatkan aktifitas hubungan erotis antar santri laki-laki. Bahkan kitab kuno Serat Tjentini juga menggambarkan hubungan homoseksual semacam ini tanpa tendensi untuk menghakimi.3

Ada pula tradisi di Aceh ketika para uleebalang menyukai budak-budak muda di Nias. Ada pula tradisi gemblak di Ponorogo yang dikenal memelihara hubungan sesama jenis, baik antar laki-laki maupun perempuan.4 Konon hubungan ini juga bertujuan untuk memperoleh kesaktian. Entah karena rendahnya minat baca masyarakat Indonesia atau justru fakta-fakta ini sengaja disembunyikan dalam penulisan buku-buku sejarah arus utama yang akhirnya berdampak pada abainya kita akan eksistensi praktik LGBT.

Tradisi-tradisi kuno yang melibatkan praktik-praktik LGBT ini sifatnya cenderung tertutup dan laten. Eksistensi dan praktik mereka dipahami secara

bersama dalam lingkup terbatas dan tidak digembar-gemborkan demi mencari

3

Lihat Serat Tjentini, dilatinkan oleh R. Ng. Soeradipoera dan lain-lain. (Batavia, 1912-1915), hal 141-154. Dede Oetomo merujuk ini atas jasa dari Benedict Anderson.

4

(9)

popularitas atau bahkan untuk kepentingan politik tertentu. Sehingga ketika tiba-tiba LGBT menjadi kepanikan moral di tahun 2016 ini, kita seolah abai terhadap fakta bahwa erotisme dan orientasi seksual tidak bisa dipahami secara hitam-putih.

Hingga kini pertentangan antar para pakar tentang asal muasal orientasi seksual seseorang masih berlangsung. Hal ini menjadi indikasi bahwa ilmu pengetahuan adalah kekuasaan akan selalu bersinggungan (Foucault,1980). Ilmu pengetahuan membutuhkan otoritas kekuasaan untuk validitas. Sedangkan otoritas

kekuasaan membutuhkan ilmu pengetahuan sebagai alasan dan dalih. Ilmu pengetahuan tak jarang pula digunakan untuk menghukum seseorang secara moral. Kita tidak berbicara dalam konteks pembuktian hukum positif materiil, akan tetapi moral selalu mengalami evolusi. Dahulu perbudakan dianggap wajar, bahkan diatur dalam undang-undang. Tetapi saat ini perbudakan dilarang karena sudah terbukti salah secara moral.

Kontroversi terhangat masalah moral di Indonesia menyangkut orientasi seksual seseorang. Banyak negara-negara yang dahulunya melarang hubungan LGBT, kini telah memperbolehkannya dan mengaturnya dalam kitab undang-undang hukum mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa isu LGBT adalah bom waktu yang pada masa yang akan datang pasti akan muncul kembali dan dikaji secara lebih serius di Indonesia.

Celakanya, jika kita masih terus menganggap seks sebagai hal yang tabu dan sebatas dibicarakan dalam ruang-ruang tertutup, kita justru akan menjadi bangsa yang makin tertinggal dan jauh dari prinsip demokrasi yang selama ini kita anut. Kita tidak bisa memastikan secara pasti apa alasan bangsa-bangsa yang dahulunya melarang hubungan LGBT kini memperbolehkannya. Tapi satu hal yang pasti, negara-negara tersebut tentu telah memikirkan matang-matang untung

(10)

Ini hanya salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan soal untung rugi legalitas LGBT. Saya berikan contoh di Indonesia terkait dengan hal ini. Sudah banyak fakta dan testimoni soal adanya orang-orang dengan orientasi seksual tertentu yang harus menjalankan dua kehidupan sekaligus. Maksudnya, di satu sisi mereka harus menikah dengan lawan jenis karena tekanan sosial masyarakat, tetapi di sisi yang lain mereka tetap berhubungan aktif dengan pasangan sejenis mereka. Kita tahu bahwa untuk menjalankan hubungan dengan seseorang pasti membutuhkan biaya yang tak sedikit, apalagi bila berdomisili di

kota-kota besar dengan tingkat konsumsi dan gaya hidup yang tidak murah.

Dengan menjalani dua kehidupan sekaligus, tentunya mereka harus mengeluarkan biaya mahal demi kelangsungan hubungan masing-masing. Sedangkan penghasilan warga perkotaan kelas menengah per-bulannya sangat terbatas, dan hanya cukup untuk menghidupi anak istri mereka saja. Maka jangan heran bila praktik-praktik korupsi dan kecurangan finansial juga berawal dari kebutuhan semacam ini.

Kemungkinan-kemungkinan seperti ini pasti telah dikaji oleh para pemikir kebijakan di negara-negara yang telah melegalkan LGBT. Karena negara-negara ini mengerti bahwa ada orang-orang dengan orientasi non-hetero di sekitar mereka dan perlu pula diberikan hak hidup yang sama dan diatur dalam undang-undang. Satu lagi hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun kebijakan terkait undang-undang adalah masalah konsistensi logika. Jangan sampai kebijakan tersebut berbuah standar ganda (double-standard).

Salah satu logika yang digembar-gemborkan para pembuat kebijakan dalam mengatur orientasi seseorang adalah masalah ketidakmampuan pasangan LGBT dalam menghasilkan keturunan. Jika ingin membuat aturan, kita harus konsisten dengan alur logika yang dibangun. Memang benar, faktanya tanpa bantuan

surrogate parents, pasangan LGBT tidak bisa memiliki keturunan. Namun, logika

(11)

yang mandul harus dilarang pula untuk menikah, karena tidak bisa memiliki keturunan.

Argumen yang cacat logika dan kerap disuarakan aktor sosial di media massa ini masuk dalam kategori kesalahan logika appeal to nature (Groarke, 2008). Kekeliruan logika seperti ini sering juga dipakai oleh para pendukung poligami yang berkata bahwa produksi sperma terus berlangsung hingga akhir hayat, tetapi perempuan pada usia di atas 50 mengalami menopause, sehingga seharusnya laki-laki secara alamiah diperbolehkan menikah kembali dengan

perempuan yang lebih muda.

Intinya, kita harus benar-benar merumuskan aturan yang tepat untuk mengatur eksistensi kaum LGBT. Sampai kapan kita sebagai bangsa terus menerus berpura-pura akan adanya eksistensi mereka di sekitar tempat kita tinggal dan bekerja? Tentunya aturan tersebut tidak boleh ingkar pada fakta sosial dan harus dipertimbangan berbagai dimensi untung ruginya bagi bangsa. Media massa juga harus menjadi sarana pendidikan yang tepat dan bukannya menjadi media yang mengajarkan hasutan dan kebencian kepada kelompok-kelompok minoritas tertentu.

Media Massa antara Kepanikan Moral dan Ketakutan

Sebagai sebuah medium yang terinstitusi, media mempunyai kekuatan untuk membingkai persepsi masyarakat melalui informasi yang mereka buat dan sebarkan. Dalam hal jurnalisme damai, konflik dimaknai sebagai sebagai sebuah masalah yang harus diselesaikan, maka tak heran jika jurnalisme damai selalu berorientasi pada advokasi dan resolusi, bukan menyulut konflik menjadi semakin parah (Sterling, 2009:1046). Namun, pada kenyataannya, tidak semua jurnalis dan media memegang prinsip tersebut. Tak jarang media-media yang berorientasi

(12)

Salah satu hal paling mengkhawatirkan dari perilaku media massa adalah terciptanya sebuah moral panic atau kepanikan moral yang diprakarsai oleh media massa atas dasar kepentingan politik dan ekonomi tertentu. Moral panic adalah sebuah fenomena saat sebuah objek dirasa mengancam secara moral. Moral

panics mempunyai 5 elemen dasar, yaitu:

1. Sesuatu atau seseorang dirasa mengancam tatanan moral yang berlaku. 2. Ancaman ini dipublikasikan secara luas oleh media massa.

3. Menyita perhatian publik.

4. Ada respon atau campur tangan dari pihak otoritas atau opinion-makers. 5. Kepanikan ini menyebabkan perubahan sosial masyarakat.

Terdapat dua jenis kepanikan berdasarkan pada waktu kejadiannya. Pertama kepanikan moral yang sifatnya mendadak. Sebelumnya entitas yang dijadikan sasaran tembak tidak pernah diungkit keburukan dan dicap menyimpang secara moral oleh media secara berlebihan. Namun tiba-tiba mereka diposisikan pada posisi pada kutub yang berseberangan dengan norma kenormalan, sehingga harus dihukum dan disiplinkan secara moral. Kepanikan moral terhadap LGBT tergolong pada kepanikan moral jenis ini, mengingat kemunculannya sebagai folk

devils yang mendadak walaupun eksistensinya telah ada sejak lama. Bahkan

sejarah mencatat ada seorang LGBT yang berhasil menjadi menteri di zaman Orde Baru. Orientasinya tidak pernah dipersoalkan oleh media massa dan kekuasaan, kendati orang-orang terdekatnya sudah tahu sama tahu.

Jenis kepanikan moral yang kedua adalah kepanikan yang berdasar pada memori kolektif masyarakat yang buruk di masa lalu, kemudian dibangkitkan kembali oleh media massa (Cohen,1972). Di Indonesia, contoh paling baik untuk

(13)

dan kepentingan politik luar negeri sebuah bangsa. Celakanya, media massa gemar sekali bermain api saat bersinggungan dengan isu ini.

Studi-studi yang menyangkut moral panic sering sampai pada kesimpulan bahwa apa yang disajikan oleh media massa arus utama, harus diimbangi oleh wacana tandingan yang munculnya dari media alternatif (McRobbie & Thornton, 1995). Di era informasi seperti saat ini, media alternatif bisa muncul dari internet, entah itu media sosial atau situs-situs ilmiah tertentu yang concern terhadap salah satu isu kepanikan moral. Sekarang pertanyaannya adalah seberapa efektif

kekuatan media alternatif tersebut mampu melawan kekuatan media arus utama semisal televisi.

Dalam sejarahnya, wacana media alternatif selalu muncul dan bersinggungan dengan wacana media arus utama (Allifiansyah,2015). Dialektika inilah yang menentukan majunya peradaban dan ilmu pengetahuan. Pertarungan adu wacana antara media alternatif dan media arus utama sering kali tidak berimbang karena media arus utama selalu dibungkus oleh kepentingan komersil bahkan dilindungi oleh otoritas.

Jock Young (1971) mengemukakan bahwa media yang terinstitusi sangat ingin menyulut kepanikan moral demi kepentingan komersial. Logika yang coba dibangun Young adalah bila sebuah media secara terus menerus mengabarkan tentang ancaman LGBT, publik akan merasa resah. Secara otomatis publik akan merasa bahwa lingkungannya sudah tidak lagi aman. Maka secara tidak langsung publik akan ikut dalam orkestrasi yang dipimpin oleh media. Publik menjadi tergantung padanya.

Kepanikan terhadap LGBT ini datang bak gelombang. Mulai dari kemunculan pemberitaan tentang layanan konseling yang diadakan oleh SGRC UI

(Support Group and Research center on Sexuality) yang dituduh menjadi sebuah

(14)

Cara-cara media untuk melakukan orkestrasi ketakutan itu dilakukan dengan cara membuat sensasi dan melebih lebihkan sesuatu (exaggerated) dan tidak sesuai dengan porsinya (Goode & Yehuda, 1994). Hal ini dilakukan semata-mata demi mendapatkan atensi publik yang berdampak pada tingginya pemasukan iklan. Dalam kasus LGBT, media selalu menunjukkan beragam jenis kejahatan yang dilakukan oleh para LGBT misalnya prostitusi gay anak dan pelecehan seksual terhadap anak di tempat umum. Fakta seperti ini memang tidak bisa dibantah, tetapi di sisi lain, peristiwa sexual abuse serupa juga kerap dilakukan oleh kelompok hetero.

Kejadian saling tuduh menuduh penuh kebencian ini mengarah pada guilty

by association atau menyamaratakan perilaku seseorang dari ras atau golongan

tertentu berdasarkan kesalahan salah seorang anggota kelompok tersebut. Cara berpikir semacam ini juga terjadi pada umat Muslim di Amerika Serikat yang

selalu diidentikkan dengan terorisme. Kita tidak bisa secara semerta-merta

Sebuah media cetak bahkan berani mengklaim 10 ciri seorang gay, beberapa poin indikasinya bahkan sulit dicerna nalar. Apakah seorang yang wangi

(15)

langsung menghakimi perilaku seseorang berdasarkan ras, etnis, atau orientasi seksualnya. Lembaga yang menjadi otoritas moral (contohnya KPI) harus mengambil langkah solutif, bukan langkah yang justru akan menyebabkan kebencian.

Bila kita berbicara presentase, berdasarkan data dari The Williams Institute, angka populasi LGBT tahun 2012 hanya berkisar 3,8% dari total populasi di Amerika Serikat. Angka yang didapatkan dari penelitian berbasis demografi ini bahkan lebih kecil dari dugaan para pengamat (Gates, 2012). Pertanyaan yang

muncul terkait data adalah apakah KPI atau lembaga penyiaran lainnya pernah melakukan riset mendalam tentang jumlah populasi LGBT di Indonesia secara komprehensif berikut jumlah kejahatan yang pernah mereka lakukan? Lalu bagaimana jika hasilnya kelak dibandingkan dengan jumlah kejahatan yang dilakukan oleh hetero?

Konstruksi Sosial Kepanikan Moral

Mengutip Goode & Yehuda (1994), penyebab kepanikan moral dikelompokkan menjadi tiga model. Pertama adalah grassroot model yang bersumber dari kecemasan masyarakat akar rumput akan tekanan sosial yang akan menyebabkan adanya kepanikan moral secara spontan. Dalam model ini, otoritas moral hanya berperan sebagai pantulan dari keresahan-keresahan masyarakat tadi, tetapi tidak menciptakannya.

Contoh paling baik grassroot model kepanikan moral adalah fenomena geng motor dan begal yang memang sudah menahun terjadi di sebuah daerah tertentu. Media massa sebagai otoritas hanya memainkan dan menunggangi isu ini. Tak jarang pula media melakukan dramatisasi dan bias terhadapnya. Model kedua adalah elite domination model. Dalam model ini, otoritas kekuasaan (misalnya pemerintah, industri, otoritas keagamaan, bahkan media massa) bertindak sebagai promotor atas kepanikan moral. Mereka menciptakan ketakutan-ketakutan untuk mengalihkan masalah yang bila terselesaikan, justru akan mengancam posisi orang-orang dalam otoritas tersebut. Model ketiga adalah interest conflict group

(16)

atau lebih kelompok kepentingan yang berusaha meraih dukungan moral dari masyarakat (Henry,2009:302).

Bagaimana aplikasinya terhadap isu-isu yang ada di Indonesia? Pertama menarik untuk melihat bagaimana munculnya kepanikan moral terhadap komunisme di Indonesia. Secara sistematis bisa kita simpulkan bahwa ketakutan akan komunisme ini adalah gabungan dari model kepanikan moral elite

domination dan interest group conflict. Orde Baru bahkan hingga melanggengkan

ketakutan ini lewat beragam medium, mulai dari monumen, film,

penataran-penataran kenegaraan, hingga buku-buku pelajaran sejarah sekolah dasar. Berbagai pihak misalnya Gerwani dan seniman yang berafiliasi dengan Lekra, diberikan stigma layaknya iblis dan harus mengalami penyiksaan hingga pengasingan.

Pendapat menarik muncul dari sejarawan Hermawan Sulistyo (2000) yang mengemukakan bahwa peristiwa 1965 adalah akumulasi dari konflik sosial horizontal yang sebenarnya sudah ada dalam masyarakat akar rumput di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Temuan menariknya soal konflik antara kaum non-PKI dan simpatisan PKI di Jawa Timur, menunjukkan bahwa kepanikan moral akan komunisme tidak hanya dikonstruksi oleh elit, melainkan juga sebuah akumulasi menahun dari grassroot model. Artinya telah ada situasi yang memang mendahului kebencian-kebencian terhadap orang-orang yang berafilisasi dengan Partai Komunis Indonesia. Otoritas negara (pada saat itu diwakili oleh tentara) sangat jeli memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan dukungan politik sembari di sisi yang lain melakukan praktik pemberangusan pihak-pihak yang berada di luar kepentingan politik mereka.

Bagaimana dengan kepanikan terhadap LGBT? Sangat jelas terlihat bahwa kebencian-kebencian terhadap kaum dengan orientasi seksual LGBT adalah

(17)

paradigma tulisan ini, ide yang hendak disampaikan adalah perilaku kebablasan KPI sebagai otoritas penyiaran akan kemunculan orang-orang dengan perilaku seksual tertentu.

Reaksi KPI yang reaktif dan tendensius ini justru menimbulkan pertanyaan mengenai kepentingan apa yang sebenarnya ada dibelakang riuhnya isu LGBT. Reaksi ini bahkan diperparah dengan klaim adanya “gerakan” yang terinspirasi oleh legalitas LGBT di Amerika Serikat. Sebagai negara yang berdasar pada hukum, sudah saatnya bangsa Indonesia berbenah untuk tidak menghukum

seseorang berdasarkan perbedaan orientasi seksualnya. Hak yang sama harus kita berikan kepada siapa saja yang hidup di Republik ini tanpa terkecuali. Media juga harusnya belajar untuk tidak menghakimi siapa pun atas identitas mereka. Peristiwa penghakiman kelompok LGBT yang telah divonis KPI secara semena-mena ini justru akan mengulang-ulang kesalahan di masa lampau saat para tertuduh penyihir dibasmi karena dianggap sebagai sumber wabah penyakit dan bencana.

Penutup dan Kesimpulan

Media sebagai corong informasi dan pemberitaan, selalu memiliki dua sisi. Mereka bisa saja menumbuhkan harapan atau justru menimbulkan ketakutan. Cara media membingkai pemberitaan terutama terkait konflik, sangat bergantung pada tiga kondisi. Pertama, kondisi media itu sendiri. Kondisi media ini meliputi ideologi, kepentingan pemilik, hingga dampak yang kira-kira akan terjadi kepada media terkait konflik tersebut. Kedua, kondisi dari jurnalis. Tak bisa dipungkiri bahwa jurnalis adalah garda terdepan dalam memberitakan sebuah konflik, maka

frame of reference dan field of experience sang jurnalis sangat berperan besar terhadap berita yang ia tulis. Dan yang ketiga adalah kondisi otoritas tempat

(18)

sebuah disfungsi, yang menjadikan media justru keluar dari fungsi-fungsi yang seharusnya wajib mereka jalankan. Disfungsi juga bisa dimaknai sebagai menyimpangnya media dari fungsi-fungsi yang seharusnya ia jalankan. Contohnya adalah media justru menjadi agen propaganda, penghasutan, disiarkannya berita-berita pesanan, hingga media menjadi corong kepanikan moral masyarakat.

Fenomena kepanikan moral yang bersumber dari media terhadap kelompok LGBT ini adalah salah satu disfungsi terbesar media. Kemampuannya untuk

menyebarluaskan informasi kepada publik, disalahgunakan untuk menyebarkan stigma-stigma terhadap individu-individu atau isu-isu tertentu. Aksi moral panic terhadap sebuah kelompok tertentu yang dianggap meresahkan warga tanpa melalui proses penelitian lebih lanjut ini, mengingatkan kita pada praktik-praktik kekuasaan Orde Baru yang represif. Uniknya stigmatisasi-stigmatisasi itu justru terjadi di era informasi dan demokrasi.

Salah satu sifat dari kepanikan moral adalah kemampuannya untuk dihadirkan kembali oleh elit atau lembaga otoritas lainnya. Kepanikan moral adalah hasil dari interplay antara kelompok yang dianggap menyimpang, otoritas kontrol sosial, media massa, dan publik (David, Rohloff, Petley, & Hughes, 2011). Relasi dari beragam entitas ini tidak bersfat setara, melainkan saling menindas di satu sisi, tetapi saling menguntungkan di sisi yang lainnya.

Bila media telah mengajarkan kebencian seperti ini, maka sudah saatnya kaum cendikiawan memberikan koreksi. Sangatlah tidak bijaksana bila kita mengutuk dan secara tendensius menyimpulkan keberadaan sebuah kelompok dengan jumlah yang tergolong minoritas. Apalagi bila kelompok tersebut memang nyata ada dalam kehidupan kita dan telah menjadi bagian dari sejarah masa lalu. Tidak bisa kita bayangkan bagaimana jadinya bila KPI sudah ada sejak zaman

Majapahit dan menyaksikan Baginda Hayam Wuruk melakukan kegemarannya menari menggunakan pakaian perempuan di hadapan menteri-menterinya.5

Artinya, sejak zaman Majapahit dulu, tingkah laku yang dianggap kewanita-wanitaan bahkan dilembagakan dan menjadi bagian dari kesenian. Jauh dari

5

(19)

usaha-usaha penghakiman apalagi mendiagnosis yang mengarah pada kesimpulan

adanya “gerakan” yang membahayakan umat.

Sepanjang sejarahnya, kepanikan moral tidak selalu berbuah negatif. Ada kalanya pemerintah turun tangan untuk memberlakukan regulasi moral. Contohnya adalah ketika alkohol sempat menjadi kepanikan moral di tanah Britania Raya (Critcher, 2011). Namun, mengatur sebuah kepanikan yang bersumber pada sebuah benda (misalnya alkohol) sangat berbeda dengan mengatur kepanikan moral yang bersumber pada penyakit (HIV/AIDS) atau

orientasi seksual seseorang. Terlebih lagi saat unsur media massa seperti televisi sudah menjadi bagian di setiap dinamikanya.

Masalah dalam struktur media itu sendiri juga dapat mengakibatkan media mengalami sebuah disfungsi kerja. Disfungsi ini ditandai dengan melemahnya kerja dari media itu sendiri atau bahkan menyimpang dari nilai-nilai yang seharusnya diperjuangkan, misalnya menyangkut imparsialitas berita. Salah satu fenomena penyimpangan dan disfungsi yang paling parah adalah berubahnya kecenderungan media menjadi lapdog journalism yang berakar pada argumentasi bahwa media memiliki kecenderungan untuk beorientasi pada kepentingan elit untuk mempertahankan status quo. Kedua, hanya percaya pada penyataan korporasi dan pemerintah, dan yang ketiga, media tersebut selalu menimbulkan bias politik yang menguntungan pihak otoritas dan korporasi di setiap pemberitaan yang mereka (Franklin, Hamer, Hanna, Kinsey, & Richardson, 2005:130). Kegiatan jurnalistik bergaya lapdog ini bertentangan dengan prinsip

watchdog yang berorientasi pada investigasi dan pengungkapan fakta-fakta.

Moral panic atau kepanikan moral tentang siapa yang salah dan siapa yang

benar, tentang mana yang benar dan mana yang salah, hanya bisa dihadapi oleh pertarungan wacana dalam media itu sendiri. Pergerakan tersebut harus dimulai

(20)
(21)

Daftar Pustaka

Allifiansyah, Sandy. (2015). Media Alternatif di Indonesia (Napak Tilas dan Pencarian Arah di Masa Depan). www.academia.edu .

Brandes, J.L.A. (1879). Pararaton (Ken Arok) of het boek der Koningen van

Tumapěl en van Majapahit. Ze druk, Verhandelingen van de Bataviasche Genootschap No. 62 (Batavia, 1920).

Cohen, Stanley. (1972). Folk Devils and Moral Panics: The Creation of The Mods

and Rockers. Oxford: Martin Robertson.

Critcher, Chas. (2011). For a Political Economy of Moral Panic. Crime Media

Culture 7 (3) , 259-275.

David, Rohloff, Petley, & Hughes. (2011). The Idea of Moral Panic - Ten Dimensions of Dispute. Crime Media Culture 7(3) , 215-228.

Foucault, Michel. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other

Writings 1972-1977. New York: Pantheon Books.

Foucault, Michel. (1975). The Birth of The Clinic: An Archeology of Medical

Perception. New York: Vintage Books.

Fraden, J. B., & Fraden, D. B. (2008). The Salem Witch Trials. United States: Marshall Cavendrish.

Franklin, B., Hamer, M., Hanna, M., Kinsey, M., & Richardson, J. E. (2005). Key

Concept in Journalism Studies. London: SAGE Publications Ltd.

Garland, David. (2008). On The Concept of Moral Panic. Crime, Media, Culture, Vol 4 (1) , 9-30.

Gates, Gary J. (2012, Juni). LGBT Identity: A Demographer’s Perspective.

Retrieved Oktober 1, 2016, from The Williams Institute: http://williamsinstitute.law.ucla.edu/

Goode, & Yehuda, Ben. (1994). Moral Panics: The Social Construction of

Deviance. Oxford: Blackwell.

Groarke, Leo. (2008). Fallacy Theory. In E. N. Zalta, Informal Logic. http://plato.stanford.edu/.

(22)

Henry, Stuart. (2009). Social Construction of Crime. In J. M. Miller, 21st Century

Criminology: A Reference Handbook (pp. 296-304). California: Sage

Publications.

Herlambang, Wijaya. (2013). Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde

Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Tangerang

Selatan: Marjin Kiri.

de Lyon J.M.B. (1941). Over de waroks and Gemblaks van Ponorogo. Koloniaal

Tijdschrift, Vol 30, 740-60

Kinsey, Pomeroy, & Martin. (1948). Sexual Behavior in The Human Male. Philadelphia & London: W.B. Saunders Company.

Kinsey, Pomeroy, Martin, & Gebhard. (1953). Sexual Behavior of The Human

Female. Philadelphia & London: W. B. Saunders Company.

Levi-Strauss, Claude. (1968). Structural Anthropology. London: Allen Lane. McRobbie, & Thornton. (1995). Re-thinking Moral Panics for Multi-mediated

Social Worlds. British Journal of Sociology 46 (4) , 559-74.

Monter, William. (2002). Witch Trials in Continental Europe. In B. A. Clark,

Witchcraft and Magic in Europe (p. 22). Philadelphia: University of

Pennsylvania Press.

Oetomo, Dede. (1991, Juli 7). Homoseksualitas di Indonesia. Prisma.

Paramaditha, Intan. (2016, February 27). The LGBT Debate and the Fear of

'gerakan'™. Retrieved September 29, 2016, from The Jakarta Post: www.thejakartapost.com

Pigeaud, Theodore Th. (1962). Java in The 14th Century: A Study in Cultural History . The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. Koninklijk Instituut voor Tall-, Land-en Volkenkunde, Vol IV, 29-41

Serat Tjentini. [1814] 1912-1915. Edited by Ng. Soeradipoera et.al. Batavia:

Martinus Nijhhoff.

(23)

Soerijo, Soedagoeng Hendro. (1961). Gemblakan di Ponorogo. Skripsi Sarjana pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Sterling, Christopher W. (2009). Encyclopedia of Journalism. California: SAGE Publications Ltd.

Sulistyo, Hermawan. (2000). Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian

Massal yang Terlupakan (1965-1966). Jakarta: Gramedia.

Tashandra, Nabilla. (2016, Februari 25). Ini Alasan KPI Larang Stasiun TV

Tayangkan Sosok "Pria yang Kewanitaan". Retrieved Oktober 1, 2016,

from Kompas.com: nasional.kompas.com

Thompson, Kenneth. (2005). Moral Panics. London: Taylor & Francis e-Library. Tjiadarma, Eduard. Lazarus. (2016, Maret 24). Kepanikan Moral Di Balik

Perbincangan tentang LGBT. Retrieved Oktober 12, 2016, from

www.remotivi.or.id: http://www.remotivi.or.id/amatan/271/Kepanikan-Moral-di-Balik-Perbincangan-tentang-LGBT

Referensi

Dokumen terkait

Mata kuliah ini merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diikuti oleh semester III (tiga), dalam mata kuliah ini yang dibahas adalah Manajemen Keuangan, Analisa Laporan

1) biokaasusta puhdistetaan vain viiden osakastilan liikennekaasukäyttöön menevä osuus, loput lämmön ja sähkön tuotantoon, sekä lämpöä että sähköä tuotetaan yli

Hasil analisis perlakuan perbedaan kedalaman tanam dan volume penyiraman air pada biji sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench.) terhadap persentase perkecambahan dan laju

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.. Program Pasca Sarjana

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan dengan menggunakan SPSS dapat diperoleh informasi bahwa terdapat peningkatan yang tidak signifikan antara pemberian teknik drill

[r]

Naskah drama mangrupa karangan sastra nu eusina dialog tokoh anu ngaguluyur ngawangun hiji jalan carita, nu engkéna dijieun hiji pintonan drama, ieu hal luyu jeung

Nanopartikel emas digunakan sebagai penanda (marker) karena memiliki warna yang cerah, kestabilan tinggi, mudah dikonjugasikan dengan antibodi dan pembacaan hasil