• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala Pengadaan Tanah bagi Pembangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kendala Pengadaan Tanah bagi Pembangunan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

URGENSI PENGATURAN PERTANAHAN YANG ADIL UNTUK PEMBANGUNAN (EKONOMI) YANG BERKEPASTIAN HUKUM

oleh: Ida Nurlinda1

A. Pendahuluan

Kegiatan pembangunan yang telah dilakukan bangsa Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945 yang lalu, telah membawa berbagai kemajuan dan keberhasilan bagi kehidupan bangsa Indonesia. Namun demikian hal tersebut belum berhasil membawa rakyat Indonesia berada pada taraf kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera sesuai tujuan akhir negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Kegiatan pembangunan ekonomi khususnya, belum mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi, inklusif dan berkelanjutan, sehingga akibatnya hasil-hasil pembangunan belum dapat dinikmati rakyat secara menyeluruh. Dengan kata lain keberhasilan

pembangunan ekonomi belum diikuti dengan keberhasilan pembangunan sosial.

Saat ini, arah pembangunan Indonesia (terutama di bidang ekonomi), telah disusun pemerintah dalam UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP Nasional) tahun 2005-2025. Dalam RPJP Nasional tersebut, pembangunan ekonomi Indonesia dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada sasaran2:

1. Terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh di mana pertanian (dalam arti luas) dan pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi yang menghasilkan produk-produk secara efisien dan modern, industri manufaktur yang berdaya saing global, menjadi motor penggerak perekonomian dan jasa, menjadi perekat ketahanan ekonomi; 2. Pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai sekitar US$6000

dengan tingkat pemerataan yang relatif baik dan jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5%;

1 Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Unpad

(2)

3. Kemandirian pangan dapat dipertahankan pada tingkat aman dan dalam kualitas gizi yang memadai serta tersedianya instrumen jaminan pangan untuk tingkat rumah tangga.

Arah sasaran ini sangat ideal untuk mendukung terwujudnya visi pembangunan nasional tahun 2005-2025 yaitu “Indonesia yang maju dan mandiri, adil dan demokratis serta aman dan bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dalam konteks tanah sebagai sarana untuk mewujudkan pembangunan, maka pengaturan pertanahan yang menjamin kepastian hukum sekaligus memberikan keadilan terhadap masyarakat, menjadi kunci penting untuk tercapainya sasaran-sasaran pokok pembangunan ekonomi di atas. Misalnya, struktur perekonomian yang berbasis pada aktivitas pertanian harus didukung dengan luasan lahan yang produktif dan memadai, pembiayaan yang murah dan mudah, teknologi yang efisien dan ramah lingkungan, serta kebijakan

pertanahan yang mempertahankan ketahanan pangan (food security) secara berkelanjutan untuk mencapai kedaulatan pangan (food soverignity).

B. Masalah Pertanahan dalam Pembangunan Ekonomi

Pentingnya kejelasan kedudukan aspek pertanahan dalam kegiatan pembangunan di Indonesia, merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Timbulnya beragam kasus konflik dan/atau sengketa pertanahan dan sumber daya alam menunjukkan masalah pertanahan mempunyai tingkat urgensitas yang sangat tinggi dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Maria S.W.

Sumardjono membagi kasus-kasus pertanahan ke dalam 5 kelompok, yaitu3:

1. Kasus yang berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dsb;

2. Kasus yang berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform; 3. Kasus yang berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk

pembangunan;

4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; dan 5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.

Dari tipologi kasus pertanahan di atas, ada 3 masalah pokok pertanahan yang menjadi tantangan dinamika pembangunan (ekonomi) Indonesia, yang jika

(3)

tidak diselesaikan dengan baik dan komprehensif, maka dapat menjadi hambatan dalam pencapaian visi, misi dan sasaran pembangunan Indonesia. Adapun ketiga masalah tersebut adalah:

1. Alih Fungsi Lahan Pertanian ke non Pertanian

Arahan pembangunan ekonomi sebagaimana dirumuskan dalam RPJP Nasional di atas dalam implementasinya menghadapi tantangan yang cukup besar. Kegiatan pembangunan terutama pembangunan infrastruktur, kawasan industri dan kawasan perumahan permukiman telah mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian secara besar-besaran dan tidak terkendali. Setiap tahunnya, sekitar 187.720 ha sawah telah beralih fungsi ke penggunaan non pertanian, terutama di pulau Jawa4.

Melengkapi data tersebut, Direktorat Penatagunaan Tanah BPN pada Tahun 2005 juga menyatakan bahwa sehubungan dengan hal alih fungsi lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perlu ditinjau kembali, karena jika tidak maka dari total lahan sawah beririgasi seluas 7,3 Ha, hanya sekitar 4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya, sedangkan sisanya sekitar 3,01 juta Ha (42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain5.

Data BPS bahkan menunjukkan bahwa 60.000 Ha lahan pertanian telah dikonversi setiap tahunnya6 untuk penggunaan non pertanian. Data di atas

tentu menghawatirkan dan mengancam ketahanan pangan nasional. Padahal suatu negara sebesar Indonesia, harus mempunyai sistem ketahanan pangan (food security system) yang baik, di mana rakyatnya dapat memperoleh akses kecukupan pangan yang memadai untuk hidup sehat dan layak7.

Berbagai peraturan/kebijakan telah dirumuskan guna mencegah alih fungsi lahan pertanian tersebut. Misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai

Penyediaan dan Pemberian tanah untuk Keperluan Perusahaan, PMDN No.

4 Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian, Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Lahan, Jakarta, 2005: hlm. 5

5Joyo Winoto, 2005, Kebijakan Pengendalian alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implementasinya, Makalah pada Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, Jakarta 13 Desember 2005: hlm 8.

(4)

3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak atas Tanah untuk Keperluan Pembangunan Perumahan, Keppres No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, Keppres No. 54 Tahun 1980 tentang Kebijaksanaan mengenai Pencetakan Sawah, merupakan contoh-contoh aturan yang melarang digunakannya lahan pertanian subur untuk penggunaan non pertanian. Dalam perkembangannya, sejalan dengan tujuan membangun ketahanan dan kedaulatan pangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, dibentuk Undang-undang No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan jo PP No. 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang secara tegas melarang alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Namun demikian, dalam kenyataannya alih fungsi lahan tetap saja terjadi.

Jika dikaji lebih dalam, tidak efektifnya peraturan yang melarang alih fungsi lahan pertanian terutama disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang kontradiktif, dalam arti di satu pihak melarang adanya alih fungsi lahan pertanian, tetapi di lain pihak kebijakan pembangunan sektor industri, infastruktur, kawasan industri ataupun kawasan perumahan permukiman, justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan8. Kebijakan yang kontradiktif,

tidak saling mendukung, pada tataran implementasi justru menimbulkan masalah, bukan sebaliknya. Kenyataan ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat luas tanah itu sendiri terbatas, terutama di pulau Jawa, padahal intensitas kegiatan pembangunan di pulau Jawa sangat tinggi.

Kebijakan pemerintah melakukan percepatan pembangunan ekonomi melalui Perpres No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025

mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian semakin tidak terkendali. Aspek pertanahan dalam MP3EI tidak mendapat perhatian yang serius, termasuk juga aspek penataan ruang, khususnya penatagunaan tanahnya. Padahal MP3EI ini dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya

pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan dan

berkelanjutan. Hal ini seharusnya diselaraskan dengan arah kebijakan dan

(5)

strategi pembangunan pertanahan itu sendiri, dalam bingkai kerangka reforma agraria yang prinsip dan kebijakannya tertera dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Kebijakan pengelolaan pertanahan dan sumber daya alam di era Orde Baru yang terlalu diarahkan pada kegiatan pembangunan ekonomi semata (economic developmentalism) telah mendorong rusaknya lingkungan dan tertinggalnya faktor pembangunan sosial. Hal ini seharusnya menjadi pelajaran dan perhatian pemerintah ketika kebijakan MP3EI diluncurkan. Proyek MP3EI tak akan dilaksanakan di ruang hampa. Ada masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat yang tinggal di dalam dan sekitar wilayah-wilayah proyek tersebut. Mereka berdiam di atas tanah ulayat mereka. Hal ini mengakibatkan pemerintah harus berhadapan dengan masyarakat hukum adat ketika ingin mendapatkan tanah tersebut9. Dalam kasus pembangunan

Kawasan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke misalnya, proses perolehan tanahnya (yang merupakan tanah adat)

menimbulkan sengketa pertanahan yang sangat masif, baik antara masyarakat adat dengan pemerintah maupun masyarakat adat dengan investor.

2. Tanah Terlantar

Selain masalah alih fungsi lahan pertanian, masalah tanah terlantar cukup menjadi hambatan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Masalah ini seolah-olah kontradiktif. Di satu sisi muncul masalah alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, menunjukan seolah-olah luasan tanah sudah berkurang, namun di sisi lain muncul masalah tanah terlantar, seolah-olah luasan tanah cukup berlebih. Masalah tanah terlantar juga menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi dan kesejahteraan rakyat, selain menurunkan kualitas lingkungan.

Hasil identifikasi Badan Nasional (BPN) atas tanah terlantar di Indonesia pada tahun 2009 menunjukkan bahwa tanah terlantar di Indonesia mencapai seluas 7.386.289 ha, yang terdiri atas tanah terlantar dengan status

9 Siti Rachma Mary, MP3EI Mendorong Pertumbuhan dengan Mempercepat Kehancuran, artikel pada

(6)

Hak Guna Usaha (HGU) seluas 1.925.326 ha, Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 49.030 ha, Hak Pakai seluas 401.079 ha, Hak Pengelolaan seluas 535.682 ha dan sisanya tanah-tanah dengan status izin lokasi dan izin-izin lainnya seluas 4.475.172 ha10. Mengingat luasan tanah terlantar cukup besar,

maka perlu upaya serius untuk mengatasinya. Pengaturan penyelesaian masalah tanah terlantar sebenarnya telah dilakukan melalui PP no. 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Peraturan ini kemudian diganti dengan PP No. 11 tahun 2010 dengan meletakan masalah penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam kerangka reforma agraria sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Namun kenyataannya di lapangan, permasalahan tanah terlantar sangat kompleks. Selain karena PP No. 11 tahun 2011 tidak memberikan definisi tanah terlantar, pembuktian bahwa suatu areal dapat dikatakan terlantar juga tidak mudah. Pasal 2 PP No. 11 tahun 2010 menegaskan bahwa “obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberi hak oleh Negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya”. Untuk menyatakan “tidak

diusahakan”, “tidak dipergunakan” atau “tidak dimanfaatkan” tentulah harus dilakukan penelitian dan identifikasi.

Identifikasi dan penelitian tanah terlantar dilakukan untuk nama dan pemegang hak. Demikian juga atas letak, luas, status hak atau dasar

penguasaan atas tanah dan keadaan fisik tanah yang dikuasai pemegang hak. Namun yang tidak kalah penting untuk diteliti adalah keadaan atau sebab yang mengakibatkan suatu tanah menjadi terlantar atau ditelantarkan. Misalnya hasil penelitian mengenai tanah terlantar di Kabupaten

Tasikmalaya menunjukkan bahwa tanah diterlantarkan karena karakteristik tanah tersebut yang tidak memungkinkan untuk ditanami secara produktif, sehingga tanaman tidak dapat berproduksi secara maksimal. Selain itu,

(7)

karakteristik tanah yang mengandung lapisan solum yang dangkal, sedangkan tanaman yang ditanam adalah pohon karet, yang seharusnya membutuhkan kedalaman solum yang lebih tebal11. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa terjadinya tanah terlantar dapat juga disebabkan pemberian hak guna usaha (HGU) yang tidak didahului dengan studi evaluasi lahan apakah sesuai atau tidak dengan karakteristik tanaman yang akan ditanam. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat reforma agraria itu sendiri. Tidak ada koordinasi yang baik antara kebijakan pemberian hak atas tanah dengan peruntukan lahan tersebut.

Selain itu, obyek tanah yang dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar pun seringkali menimbulkan masalah. Pasal 3 huruf (b) PP No. 11 tahun 2010 menegaskan bahwa “tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung, dan sudah berstatus maupun belum

berstatus Barang Milik Negara/Daerah, yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya”, dikecualikan dari obyek penertiban tanah terlantar. Dengan demikian aturan PP No. 11 tahun 2010 lebih menitikberatkan penertiban tanah terlantar yang berasal dari tanah-tanah HGU, HGB atau hak pakai yang dimiliki oleh badan usaha saja.

Padahal faktanya di lapangan, tanah terlantar banyak terjadi

(terutama di pulau Jawa) pada tanah-tanah yang dikuasai pemerintah/pemda atau BUMN/BUMD, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya tanah-tanah perhutani yang tidak lagi menjadi kawasan hutan karena telah berubah fungsi menjadi perumahan/permukiman atau peruntukan lain non kehutanan. Demikian juga tanah-tanah perkebunan milik PTPN yang sudah tidak lagi digarap, baik karena masa berlaku hak guna usaha (HGU) nya telah berakhir atau karena kondisi dan kualitas lahan yang tidak sesuai dengan tanaman yang akan ditanam (seperti kasus di Kabupaten Tasikmalaya

(8)

seperti dikemukakan di atas). Pada tanah-tanah demikian seringkali kemudian diterlantarkan12.

Jika terhadap tanah-tanah demikian, ketentuan PP No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar dikecualikan, maka hal itu sangat tidak adil. Kondisi demikian justru seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik, karena masyarakat setempat beranggapan tanah tersebut dapat dipergunakan untuk lahan mata pencahariannya, sementara

pemerintah/pemda, BUMN/BUMD na tidak mau melepaskannya karena beranggapan secara de jure tanah-tanah tersebut masih merupakan tanah mereka dan merupakan aset bagi instansi tersebut. Selain tidak adil, demikian juga menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam penatagunaan tanah dan penataan ruang.

3. Pengadaan Tanah

Masalah pengadaan tanah untuk kegiatan merupakan masalah pertanahan yang juga kerap muncul menyertai kegiatan-kegiatan pembangunan, selain masalah alih fungsi lahan dan penelantaran tanah. Pengaturan mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

kepentingan umum hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan, baik bentuk hukum maupun substansinya. Paling tidak sejak era Orde Baru yang diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 5 tahun 1975 tentang Tata Cara Pembebasan Tanah, hingga saat ini dalam bentuk Undang-undang No. 2 tahun 2012.

Di era Orde Baru, masalah pengadaan tanah banyak menimbulkan kasus konflik dan/atau sengketa pertanahan bahkan tidak sedikit berujung pada pelanggaran HAM, seperti kasus Waduk Kedung Ombo di Provinsi Jawa Tengah, kasus tanah Jenggawah di Kabupaten Jember dsb. Hal ini disebabkan di era Orde Baru dikenal adanya kebijakan “Tanah untuk Pembangunan”, yang berintikan pada kegiatan pembebasan tanah yang didukung pemerintah untuk memenuhi kebutuhan proyek-proyek (baik pemerintah maupun swasta) akan tanah untuk pembangunan sektor

pertanian, infrastruktur, perumahan, industri dsbnya. Hal ini dilakukan oleh

(9)

pemerintah Orde Baru dengan menafsirkan asas “fungsi sosial atas tanah” sebagai legitimasi untuk mendukung kebijakan “tanah untuk pembangunan” tersebut13. Tidak adanya penafsiran yang baku atas asas hukum “fungsi sosial

atas tanah”, sebagaimana ditegaskan Pasal 6 UUPA menyebabkan mudahnya asas hukum tersebut dikaitkan dengan makna “kepentingan umum” yang menjadi syarat utama dalam pengadaan tanah untuk pembangunan. Makna “kepentingan umum” dianggap akan selalu terkandung dalam pemaknaan “fungsi sosial atas tanah”. Meskipun pemahaman demikian dapat

dibenarkan, akan tetapi tentu pelaksanaannya harus bertanggung jawab dan mengedepankan aspek keadilan.

Dalam konteks pengadaan tanah untuk mendukung proyek-proyek Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), kendala yang muncul tidak sedikit. Hal ini disebabkan aspek pertanahan tidak diintegrasikan dengan baik untuk mendukung implementasi MP3EI tersebut. Padahal, dalam lampiran dokumen MP3EI ditegaskan bahwa Indonesia memposisikan diri sebagai basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan dan sumber daya mineral, serta pusat mobilitas logistik global14. Hal di atas sulit dilaksanakan

jika tidak ditopang dengan ketersediaan lahan yang memadai dan status tanah yang berkepastian hukum yang jelas.

Sebagai instrumen investasi, dukungan aspek pertanahan pada kegiatan pembangunan ekonomi dalam MP3EI tidak cukup hanya didukung dengan luas tanah yang cukup, status tanah yang jelas,akan tetapi juga perlu memperhatikan aspek sosial dan budaya, karena bagi sebagian besar rakyat Indonesia (terutama masyarakat adat) tanah mempunyai sifat magis religius. Jangan sampai implementasi MP3EI justru meningkatkan potensi konflik dan/atau sengketa pertanahan di Indonesia, karena UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, memberi fasilitas dan kemudahaan yang cukup banyak bagi investor yang akan berinvestasi di Indonesia.

13 Noer Fauzi Rachman, op. cit.: hlm. 5

(10)

Kemudahan perolehan tanah itu terutama dengan diaturnya tengat waktu perolehan tanah. Selama ini investor enggan berinvestasi di Indonesia karena tengat waktu perolehan tanah untuk kegiatan proyek, tidak jelas berapa lama. Dalam UU No. 2 tahun 2012, pengadaan tanah dapat dilakukan dalam waktu 319 hari (kurang dari 2 tahun), atau 583 hari jika ada keberatan dari pihak pemilik tanah. Jangka waktu yang ketat ditetapkan dengan

memberi tengat waktu yang ketat kepada lembaga-lembaga peradilan yang menangani keberatan pengadaan tanah tersebut. Namun, hal ini juga dapat menimbulkan konflik antar lembaga karena tengat waktu penyelesaian perkara yang diajukan ke lembaga peradilan dapat ditafsirkan sebagai upaya intervensi kewenangan lembaga peradilan.

C. Alternatif Solusi

Masalah pertanahan baik yang bersifat hak-hak keperdataan maupun yang menyangkut aspek hukum publik, tentu tidak mudah menyelesaikannya. Apalagi jika hal itu menyangkut kegiatan pembangunan ekonomi yang tentunya harus ditujukan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai tujuan negara. Disamping 3 masalah pertanahan yang telah diuraikan di atas, banyak hal juga yang terkait dengan aspek pertanahan yang pada akhirnya menimbulkan

permasalahan hukum dan/atau sosial. Hanya saja, terkait kegiatan pembangunan ekonomi, ketiga masalah di atas cukup berpotensi menghambat pembangunan Indonesia secara keseluruhan.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, arti hukum dan fungsinya dalam masyarakat harus dikembalikan kepada hakekat tujuan hukum, yang apabila direduksi pada 1 hal saja, adalah ketertiban (order)15. Ketertiban tersebut harus

difahami dalam 2 makna sekaligus, baik tertib hukumnya, maupun tertib

(11)

tidak dapat diselaraskan. Peran pemerintah untuk mencari solusi masalah pertanahan dalam kegiatan pembangunan ekonomi, merupakan aspek penting dalam menyelaraskan kepastian hukum dan keadilan agraria.

Dalam masalah alih fungsi lahan pertanian, pemerintah harus

berpedoman kuat pada kaidah-kaidah penataan ruang dan peraturan mengenai lahan pertanian pangan berkelanjutan. PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional menegaskan bahwa RTRW harus dapat mewujudkan ruang wilayah yang produktif dan berkelanjutan. Dalam peraturan pemerintah tersebut, kawasan peruntukan pertanian masuk ke dalam kawasan budi daya yang penetapannya harus memperhatikan kriteria sebagai berikut:

1. Memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian;

2. Ditetapkan sebagai lahan pertanian abadi (berkelanjutan); 3. Mendukung ketahanan pangan nasional; dan/atau

4. Dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan air.

Kriteria-kriteria tersebut di atas jelas harus dirujuk ketika

mengembangkan wilayah peruntukan pertanian. Dengan demikian, jika suatu ruang/lahan produktif sudah ditetapkan untuk lahan pertanian, maka konversi lahan tersebut untuk penggunaan lain di luar peruntukan pertanian, jelas harus dilarang. Dalam konteks ini peran instrumen pengendalian penataan ruang wilayah menjadi penting. Misalnya pemberian perizinan yang selektif, pengenaan pajak yang progresif, pemberian insentif dan disinsentif penaatan RTRW serta sistem zonasi wilayah yang konsisten.

Namun demikian pada asasnya manakala kepentingan umum

menghendaki, Pasal 44 ayat (3) UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, memperkenankan alih fungsi lahan. Namun tetntunya harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Dilakukan melalui kajian kelayakan strategis; 2. Disusun rencana dengan baik alih fungsi lahannya;

(12)

4. Disediakan lahan pengganti atas tanah yang dialih fungsikan dengan kualitas lahan minimal setara.

Penegakan peraturan di atas perlu diefektifkan, mengingat terminologi “kepentingan umum” itu sendiri sangat debateable. Implementasi pemenuhan persyaratan alih fungsi lahan perlu dilakukan melalui sistem advokasi publik yang konsisten dan efektif serta kompensasi bagi pemilik tanah yang

memperhatikan sifat multi fungsinya lahan pertanian. Misalnya insentif pajak atas tanah pengganti alih fungsi, atau bantuan berupa kredit pembiayaan produksi pertanian.

Keberpihakan kepada petani dan pertanian tetap diperlukan meski di era pasa bebas sekalipun. Liberalisasi di sektor pertanian perlu dilakukan secara hati-hati. Negara-negara maju sekalipun masih tetap melakukan proteksi di sektor pertanian untuk melindungi sebagian terbesar rakyatnya dari aspek negatif liberalisasi16. Apalagi bagi negara seperti Indonesia. Oleh sebab itu

disahkannya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) pada tanggal 9 Juli 2013 lalu patut diapresiasi dengan baik, sebagai bentuk kepedulian

pemerintah pada kehidupan petani. Pembangunan ekonomi bukan berarti harus fokus pada sektor-sektor industri manufaktur, namun bagi Indonesia justru sebaliknya harus berbasis pada sektor pertanian.

Dalam mencari solusi atas masalah tanah terlantar, PP No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pengendalian Tanah Terlantar, masih sangat sulit

diimplementasikan karena prosedur penetapan tanah terlantar yang tidak mudah, berbelit-belit dan memakan waktu yang cukup lama. Pemberdayaan

(empowerment) adalah suatu upaya untuk membuat sesuatu (subyek atau obyek) yang tidak berdaya menjadi berdaya dalam menghadapi atau melaksanakan sesuatu hal17. Dengan demikian penertiban tanah terlantar dilakukan

semata-mata untuk mendayagunakan dan mengoptimalkan tanah agar tanah dapat menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

16 Ahmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2013: hlm. 149

(13)

Memaknai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar pada

hakekatnya harus dalam kerangka reforma agraria, khususnya melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) berupa redistribusi tanah. Aturan mengenai redistribusi tanah sebenarnya telah ada sejak mulai berlakunya UUPA, namun seperti halnya dengan PPAN, pelaksanaannya tidak efektif karena18:

1. Sulit menentukan subyek penerima redistribusi tanah, mengingat tidak adanya kriteria penerima tanah yang standar;

2. Sulit menentukan tanah-tanah yang menjadi obyek redistribusi mengingat kompleksnya permasalahan penguasaan, pemilikan, pengguanaan dan pemanfaatan tanah di lapangan;

3. Khusus untuk tanah yang diredistribusikan berasal dari kawasan hutan, meskipun peruntukannya bukan lagi untuk kehutanan (untuk tujuan non kehutanan) namun dalam kenyataannya karena masih dalam kewenangan kementerian Kehutanan, tidak mudah

meredistribusikan tanah-tanah ex kawasan hutan.

Untuk mengatasi timbulnya tanah terlantar, maka pemerintah perlu memperketat pemberian hak atas tanah dan korelasi permohonan hak atas tanah tersebut dengan peruntukan dan penggunaan tanah. Permohonan hak atas tanah yang sangat luas tanpa disertai dengan proposal peruntukan tanah yang memadai seharusnya menjadi early warning system dalam pemberian hak atas tanah. BPN harus jeli dalam membedakan mana pengusaha yang sesungguhnya dengan pengusaha yang berprofesi sebagai spekulan tanah. Selain itu sistem perpajakan, perizinan serta pemberian insentif dan disinsentif merupakan alat pengendali yang cukup signifikan. Hal ini jauh lebih baik dari pada kemudian pemerintah menetapkan tanah terlantar. Keputusan pemerintah yang menetapkan tanah terlantar rawan digugat oleh masyarakat atau pemilik tanah terlantar. Salah satu diantaranya adalah gugat PT Perkebunan Tratak di Kecamatan Bandar,

Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah terhadap BPN karena mencabut HGU perkebunan tersebut melalui SK No.: 7/PTT-HGU/BPNRI/2013 tentang

Penetapan Tanah Terlantar yang Berasal dari HGU No. 1/Batang atas nama PT Perusahaan Perkebunan Tratak.

(14)

Dalam hal pengadaan tanah bagi kegiatan pembangunan untuk

kepentingan umum, solusi harus diupayakan dengan mengedepankan hakekat kepentingan umum itu sendiri. Dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum , kepentingan umum diartikan sebagai kepentingan untuk seluruh lapisan masyarakat (Pasal 1 angka 3). Sementara ruang lingkupnya dibatasi hanya untuk kegiatan yang dilakukan pemerintah, dimiliki pemerintah dan tidak digunakan untuk mencari keuntungan (Pasal 5 ayat 1 Keppres No. 55 Tahun 1993). Kriteria “tidak

digunakan untuk mencari keuntungan” merupakan kriteria yang sulit ditetapkan mengingat hal tersebut sangat debateable. Misalnya, apakah pembangunan jalan tol oleh pemerintah tidak dimaksudkan juga untuk mendatangkan keuntungan, selain juga untuk kepentingan umum?

Oleh karena itu, makna kepentingan umum itu harus jelas terlebih dahulu agar pemerintah mempunyai alas hak yang kuat ketika melakukan pengambil-alihan hak atas tanah orang lain untuk selanjutnya digunakan untuk proyek-proyek pemerintah. Hal ini harus mengacu pada asas hukum dalam hukum tanah yaitu bahwa penguasaan dan/atau penggunaan tanah oleh siapa pun dan untuk keperluan apapun harus dilandasi oleh alas hak yang sah menurut hukum. Ketiga persyaratan kriteria kepentingan umum di atas (dilakukan pemerintah, dimiliki pemerintah dan non profit), harus terpenuhi ketiganya, bukan hanya salah satu kriteria saja. Ketiga kriteria kepentingan umum itu merupakan satu kesatuan makna yang tidak terpisahkan. Dengan demikian ketika pemerintah akan

menetapkan (dalam UU Pengadaan Tanah) kegiatan-kegiatan pembangunan apa saja yang termasuk kriteria kepentingan umum, seyogianya ditetapkan melalui suatu pendapat umum/deklarasi publik19. Hal ini dimaksudkan agar penetapan

kriteria kepentingan umum dapat lebih dipertanggung-jawabkan.

Selain itu, pemahaman suatu proyek pemerintah termasuk kepentingan umum harus selalu dikaitkan dengan hakekat fungsi sosial atas tanah, yaitu adanya keseimbangan antara kepentingan umum itu sendiri dengan kepentingan perorangan. Asas fungsi sosial harus dimaknai dalam kerangka berfikir bahwa

19 Imam Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk Kepentingan

(15)

hak-hak perseorangan atas tanah tidak bersifat mutlak, tetapi dibatasi oleh kepentingan orang lain, masyarakat atau negara. Dengan demikian dituntut penguasaan dan penggunaan tanah secara wajar dan bertanggung-jawab20.

Dengan kata lain, hak-hak individu atas tanah dibatasi oleh kepentingan umum dalam bingkai asas fungsi sosial. Hak individu, kepentingan umum dan fungsi sosial merupakan tiga makna yang selalu dirujuk untuk memecahkan masalah pengadaan tanah.

D. Penutup

Masalah pertanahan tidak selayaknya ditempatkan secara dikhotomis dengan kegiatan pembangunan. Apapun permasalahannya, sudah seharusnya pengaturan pertanahan mendukung kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, karena pada hakekatnya semua kegiatan pembangunan yang

dilakukan pemerintah tentunya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan amanat konstitusi. Namun demikian, mengingat esensi makna tanah bagi rakyat Indonesia bersifat magis religius, bahkan tanah menjadi “ibu” bagi kehidupan sebagian masyarakat tradisional (masyarakat adat)

Indonesia, maka unsur keadilan juga harus dikedepankan (tidak hanya unsur kepastian hukum) manakala masalah pertanahan muncul. Keadilan dalam konteks hukum pertanahan (agraria) harus dimaknai sebagai keadilan yang menjamin akses yang layak dari masyarakat (termasuk masyarakat adat) terhadap tanah dan/atau sumber daya alam yang menjadi sumber hidup dan kehidupannya.

-inm-DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2013

Arba, Sahnan, Wiwiek Wahyuningsih, Pemberdayaan Hukum dan Kebijakan

Pertanahan sebagai Upaya Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar,

(16)

Artikel dalam Jurnal “Mimbar Hukum”, volume 22, No. 1 Februari 2010, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian, Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Lahan, Jakarta, 2005

Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009

---, Penataan Ruang yang Mendukung Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian, Makalah pada Simposium Nasional Pertanahan di Indonesia pada Abad 21, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 13 Desember 2011

---, Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria, Penerbit LoGoz Publishing bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum

Lingkungan dan Penataan Ruang Fak. Hukum Unpad, 2013

Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak, Evaluasi Dampak Berlakunya PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar terhadap Kebijakan Pengelolaan Tanah Pertanian di Kabupaten Tasikmalaya, Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Program Desentralisasi,

Kemendikbud-Unpad, 2012

Imam Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Pembangunan bagi Umum, Artikel pada Jurnal Konstitusi, Volume 1, No. 1, Agustus 2008, Jakarta

Joyo Winoto, 2005, Kebijakan Pengendalian alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implementasinya, Makalah pada Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, Jakarta 13 Desember 2005

Koran KOMPAS, Politik dan Strategi Pangan Nasional Lemah, Jakarta 30 November 2011

Maria S.W. Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, FH-UGM, Yogyakarta, 1998

Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail dan Isharyanto, Mediasi Sengketa Tanah: Potensi Penerapan ADR di bidang Pertanahan, Penerbit Kompas, Jakarta, 2008

Noer Fauzi Rachman, Landreform dari Masa ke Masa, Penerbit Tanah Air Beta, Yogyakarta, 2012

(17)

Siti Rachma Mary, MP3EI Mendorong Pertumbuhan dengan Mempercepat

Referensi

Dokumen terkait

mendapatkan giliran akan mendapatkan barang yang tidak sesuai dengan harga karena anggota membayar sesuai dengan harga handphone yang diinginkan ketika harga

1) Kendala dalam menanamkan nilai karakter bersahabat melalui budaya sekolah yaitu kurangnya kepedulian antar sesama teman, kurangnya komunikasi dan interaksi yang

Pembeda penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini dapat memadupadankan sintaks tiga model pembelajaran yakni Jigsaw, Example non example, dan Make a

Persentase abnormalitas spermatozoa me- nunjukkan penurunan seiring lama waktu sentri- fugasi, hal ini dikarenakan pencucian sperma meng- akibatkan spermatozoa abnormal terpisah

berbeda dengan kaum perempuan yang lebih sensitif ketika memberikan persepsi terhadap status janda karena objek yang dipersepsi adalah sama-sama perempuan sehingga

Teknik analisis yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan data fuzzy time series Berikut ini adalah uraian dari kedua langkah metode tersebut. Metode fuzzy time series..

Di dalam penelitian ini yang akan diteliti adalah pengaruh variabel independen yaitu variabel motivasi kerja terhadap variabel dependen yaitu variabel kinerja karyawan melalui

Hasil penelitian yang dilakukan dengan wawancara pada 146 karyawan percetakan yang menggunakan bahan kimia di percetakan Kota Makassar tahun 2013 diperoleh hasil lebih banyak