LAPORAN TUGAS AKHIR
BE 3105 Analisis dan Interpretasi Data
Analisis Terhadap Persebaran Hasil Produksi Tanaman Jahe
(Zingiber officinale) di Provinsi Jawa Barat Menggunakan
Metode Geostatistika
Kelompok 5
Rifki Muhammad Rizki (11213005)
Mochamad Firmansyah (11213013)
Ganjar Abdillah Ammar (11213021)
Fathiyah Zahra (11213029)
Jovi Ananta Pratama Bangun (11213037)
PROGRAM STUDI REKAYASA HAYATI SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
1. RINGKASAN
Salah satu komoditas pertanian rempah-rempah terbesar di daerah
Jawa Barat adalah jahe, dengan persebaran utamanya berasal dari daerah
Cianjur, Majalengka, Garut, Ciamis, dan Cirebon. Hal ini didasarkan pada iklim pertumbuhan yang cocok dengan kondisi fisiologis tumbuhan yaitu pada ketinggian 0-1.500 m diatas permukaan air laut dan suhu optimalnya berkisar 20-35 oC. Serta dengan curah hujan 2.500-4.000 mm/tahun yang mengindikasikan kelembaban udara yang cukup tinggi yakni 60-90 %. Dengan mengetahui hubungan kondisi atau letak lokasi persebaran jahe yang diketahui, diharapkan dapat mengetahui juga pola persebaran jahe di sekitar lokasi yang tidak diketahui nilai produksinya. Hal itu dapat dianalisis dengan menggunakan metode geostatistika. Geostatistika merupakan suatu analisis model yang mengambil data dan mengolahnya untuk memperhitungkan korelasi antara jarak dengan efek yang dimiliki dan sering digunakan dalam pengolahan data geografis. Model tersebut diterapkan pada semivariogram dengan prinsip hubungan kedekatan sesuatu terhadap kemiripannya. Sehingga semivariogram membutuhkan data koordinat serta nilai yang akan diamati, dimana pada kasus ini adalah mengenai produksi jahe, untuk diamati korelasi keduanya. Teknik ini menggabungkan analisis data statistika deskriptif sehingga akan dapat dengan jelas pola persebaran yang akan menghasilkan grafik boxplot, model semivariogram dan peta kontur, ketiganya akan membantu dalam analisis persebaran produksi jahe di wilayah sekitar Jawa Barat dari 26 kota dan kabupaten.
Diperoleh hasil produksi jahe di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 sebesar 22.956,973 ton, dengan nilai tertinggi bersumber dari kabupaten Cianjur (11.561,902 ton) dan nilai terendah (1,056 ton) dari Kota Bandung. Diperoleh pula tiga model semivariogram, yaitu model eksponensial (Co = 0, C = 5.092.000, dan a = 65,41 km), model Gaussian
(Co = 0, C = 4.840.000, dan a = 100 km), model spherical (Co = 0, C =
2. PENDAHULUAN
Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu tanaman
temu-temuan yang banyak digunakan sebagai bumbu masakan, bahan obat-obatan tradisional, serta bahan ekspor yang menjadi andalan Indonesia. Permintaan pasar jahe dalam negeri terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan semakin meningkatnya laju konsumsinya. Jahe dari dalam negeri biasanya diekspor dalam bentuk bentuk jahe segar, jahe kering, jahe segar olahan dan minyak atsiri. Indonesia juga melakukan impor jahe sebagian besar adalah untuk memenuhi kebutuhan industri obat dan jamu.
Perkembangan perusahaan jamu dalam negeri sudah semakin maju dan bahkan telah melakukan ekspor jamu tersebut ke mancanegara sehingga peluang pengembangan jahe sebagai salah satu bahan baku pembuatan jamu menjadi sangat terbuka. Pada tahun 2012 terdapat 8 negara pengekspor jahe ke Indonesia yaitu China, Singapura, Malaysia, Swiss, Jepang, India dan Australia dengan eksportir utama adalah China, dengan volume impor sebesar 779,89 ton senilai US$296.863 (Data BPS 2012).
Jahe merupakan salah satu komoditas ekspor yang permintaannya cukup tinggi dengan harga yang cukup tinggi dibandingkan dengan biaya produksi. Berdasarkan data produksi jahe yang didapatkan dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian tahun 2011 Jawa Barat menduduki peringkat kedua terbesar dalam produksi jahe (20,82%), setelah Jawa Tengah (21,78%). Salah satu kendala yang ditemui oleh para eksportir adalah pasokan jahe dari sentra-sentra produksi tidak mencukupi dibandingkan dengan pesanan yang diterima. Menurut data ekspor jahe Indonesia rata-rata meningkat sebanyak 32,75 % per tahunnya. Sedangkan pangsa pasar jahe Indonesia terhadap pasar dunia 0,8 %, berarti peluang Indonesia ekspor jahe Indonesia masih memiliki potensi untuk pangsa ekspor (Data Litbang, Poktan). Oleh karena itu, potensi Jawa Barat sebagai salah satu provinsi penghasil jahe terbesar di Indonesia haruslah dikembangkan, salah satu caranya adalah dengan memaksimalkan daerah-daerah yang secara statistik memiliki lingkungan yang baik untuk penanaman jahe.
3. TUJUAN
a. Menentukan analisis statistika deskriptif dari data hasil produksi jahe provinsi Jawa Barat pada tahun 2013.
b. Membuat model semivariogram eksponensial, gaussian, dan bola
(spherical) dari data hasil produksi jahe provinsi Jawa Barat pada
4. TINJAUAN PUSTAKA a. Produksi Jahe di Indonesia
Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu jenis
rempah-rempah yang sangat ramai diperjualbelikan belakangan tahun ini yang disebabkan karena meningkatnya permintaan yang besar akan jahe setiap tahunnya. Di dunia, tanaman jahe tersebar di daerah tropis, benua Asia dan kepulauan Pasifik. Dengan pengembangannya berada di Jamaika, Brazil, Hawai, Afrika, India, Cina, Jepang, Filipina, Australia, Selandia Baru,
Thailand, dan Indonesia (Hasanah et. al., 2010). Di Indonesia terdapat
beberapa sentra produksi jahe, yaitu Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa barat. Sedangkan sentra produksi utama di Indonesia ada di provinsi Jawa Barat, dan di Jawa Barat sendiri Majalengka menjadi kabupaten yang memproduksi jahe terbesar pada tahun 2001 (Assary, 2001).
Jahe memiliki daya adaptasi yang cukup baik, dengan habitatnya
diketinggian 0-1.500 m di atas permukaan laut (dpl) (Purseglove et. al.,
1981) dan curah hujan 2.500-4.000 mm/tahun (kelembaban 60-90%) (Soediarto, 1978) serta suhu udara optimum pembudidayaan jahe antara 20-35°. Untuk dapat memproduksi jahe secara optimal sangat diperlukan perhatian mulai dari sumber benih dengan varietas yang tepat, penggunaan lahan produksi dengan isolasi jarak pada lahan datar 10-100 m, kedalaman tanam, penyiangan gulma, pemupukan, waktu hingga cara panen (Sudiarto, 1978).
b. Analisis Statistika Deskriptif
Statistika deskriptif merupakan sekumpulan metode mengenai penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang diinginkan. Statistika deskriptif hanya memberikan informasi mengenai data yang dimiliki dan sama sekali tidak menarik inferensi atau kesimpulan apapun mengenai gugus induk yang lebih besar. Dengan Statistika deskriptif, kumpulan data yang diperoleh akan tersaji dengan ringkas dan rapi serta dapat memberikan informasi inti dari kumpulan data yang ada (Walpole, 1993).
yang menyatakan seberapa besar nilai-nilai data berbeda atau bervariasi dengan nilai ukuran pusatnya atau seberapa besar penyimpangan nilai-nilai data dengan nilai pusatnya. Misalnya jangkauan, kuartil, standar deviasi, variansi dan sebagainya.
c. Analisis Semivariogram
Semivariogram merupakan perangkat dasar dari ilmu geostatistika untuk memvisualisasikan, memodelkan dan mengeksploitasikan autokorelasi spasial variabel regional. Semivariogram (Gambar 1) digunakan untuk menentukan jarak dimana nilai-nilai data pengamatan menjadi tidak saling bergantung atau tidak ada korelasinya dan digunakan untuk mengestimasi parameter di tempat yang tidak diketahui datanya (Alfiana, 2010).
Gambar 1. Model Umum Semivariogram
Dari model umum semivariogram dapat diketahui 4 komponen utama yaitu nugget effect (Co), scale (C), sill (Co+C), dan range (a).
Komponen pertama yaitu nugget effect yang disimbolkan ‘Co’ merupakan
diskontinuitas pada pusat barogram terhadap garis vertikal yang melompat dari nilai 0 pada pusat menuju nilai barogram pemisahan jarak terkecil (Isaaks dan Srivastava, 1989). Efek ini dapat berupa kesalahan sistematis
atau yang dibuat manusia, seperti pembacaan alat, kesalahan sampling atau
apapun itu.
Kedua adalah scale yang disimbolkan dengan ‘C’ merupakan skala
vertikal dari struktur semivariogram dan merupakan hasil pengurangan sill
dengan nugget effect. Komponen ketiga adalah sill, yang merupakan total
dari skala vertikal barogram (penjumlahan nugget effect dengan seluruh
memiliki komponen ini. Dengan kata lain sill menjelaskan masa stabil suatu barogram yang mencapai rentangnya (Barnes, 1991).
Komponen utama yang terakhir adalah range atau length yang
disimbolkan dengan ‘a’, adalah suatu rentang horizontal dari barogram dan hanya beberapa model yang tidak memiliki komponen ini, termasuk model
linear (walaupun punya slope). Range juga didefinisikan sebagai jarak
antar lokasi dimana setiap pengamtannya terlihat independen, yakni ragamnya tidak mengalami suatu kenaikan atau disebut stabil (Dorsel dan Breche, 1997). Simbol a menunjukan jarak pada sumbu horizontal yang dimulai dari titik nol sampai titik proyeksi perubahan variogram dari miring ke mendatar. Beberapa model semivariogram diantaranya:
Model Eksponensial
Pada model eksponensial (Gambar 2) terjadi peningkatan dalam semivariogram yang sangat curam dana mencapai nilai sill
secara asimtotik, dirumuskan sebagai berikut :
γ(h) = C
Gambar 3. Model Gaussian (Pannatier, 1996)
Model Bola (Spherical Model)
Bentuk model semivariogram jenis bola (spherical) (gambar 4.)
dirumuskan sebagai berikut :
γ(h) = C0+C
[
(
3h2a
)
−0,5(
h
a
)
3
]
, untuk h ≤ a danγ(h) = C0 + C, , untuk h ¿a
Gambar 4. Model Bola (spheriacal)
(Pannatier, 1996)
Dengan :
- γ(h) : Semivariogram fungsi h
- h : Jarak relatif lokasi terpisah antar sampel
- C+C0 : Sill, yaitu nilai variogram untuk jarak pada saat besarnya konstan (tetap). Nilai ini sama dengan nilai variansi data
(variogram)
d. Peta Kontur
Peta kontur merupakan peta yang diilustrasikan dengan garis yang menunjukkan level atau tingkatan persebaran, salah satu jenisnya adalah peta topografi. Peta kontur dilengkapi dengan interval kontur yang membedakan elevasi antara garis yang memisahkan antar daerah kontur (Tracy, 1907). Setiap peta topografi merepresentasikan garis secara rinci dan akurat mengenai keadaan alam di suatu daerah. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang keberadaan, lokasi, jarak, kerapatan, kepadatan, persebaran suatu biomassa ataupun hal lainnya (Kraak dan Omeling, 1996).
e. Penggunaan Software
Software Atau perangkat lunak yang kami gunakan dalam analisis persebaran produksi jahe di wilayah Jawa Barat adalah Microsoft Excel,
add in Stat Plus, Google Earth, dan Surfer.
5. DATA DAN HASIL a. Data
Berikut ini merupakan data persebaran produksi jahe (Zingiber
officinale) di provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 (Tabel 1).
Tabel 1. Data hasil produksi jahe di Jawa Barat tahun 2013 (sumber: Badan Pusat Statistik, 2014)
1 Kabupaten Sukabumi 39,122 70,406 627,301
2 Kabupaten Cianjur 98,272 49,445 11.561,902
3 Kabupaten Bogor 45,604 142,931 573,264
4 Kota Bogor 63,512 136,049 129,325
5 Kota Depok 68,857 158,738 115,896
6 Kota Bekasi 88,593 172,424 12,964
7 Kabupaten Bekasi 105,458 171,459 10,563
8 Kabupaten Karawang 160,356 125,684 922,167
9 Kabupaten Purwakarta 134,783 136,574 451,921
10 Kabupaten Subang 131,203 169,195 493,661
11 Kabupaten Bandung Barat 141,031 99,797 515,739
12 Kota Cimahi 141,836 95,160 15,850
13 Kota Bandung 149,925 92,810 1,057
14 Kabupaten Bandung 68,139 149,288 273,495
15 Kabupaten Garut 160,861 26,896 4.633,694
16 Kabupaten Tasikmalaya 201,310 7,144 354,289
18 Kabupaten Ciamis 227,906 39,630 1014,345
19 Kota Banjar 249,751 32,164 47,727
No
. Lokasi
Koordinat X (km)
Koordinat Y (km)
Produksi Jahe (Ton); Z
20 Kabupaten Sumedang 187,848 96,539 265,112
21 Kabupaten Majalengka 225,011 100,999 259,265
22 Kabupaten Indramayu 233,634 148,641 7,168
23 Kabupaten Cirebon 246,384 107,860 6,201
24 Kota Cirebon 255,213 102,399 1,056
25 Kota Sukabumi 74,640 99,591 6,700
26 Kabupaten Kuningan 245,969 76,337 536,964
Berikut merupakan peta wilayah Jawa Barat yang telah ditandai daerah-daerahnya sebagai asumsi pusat produksi tanaman jahe (Gambar 5).
Gambar 5.Lokasi Persebaran Produksi Jahe di Wilayah Jawa Barat (Sumber: Google Earth, 2015)
b. Hasil Analisis Statistika Deskriptif
Pada tahun 2013, provinsi Jawa Barat memproduksi berbagai jenis
tanaman, di antaranya jenis tanaman obat berupa Jahe (Zingiber officinale
L.). Sari numerik dari data hasil produksi jahe provinsi Jawa Barat ditunjukkan oleh Tabel 2. Hasil produksi Jahe di provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 mencapai 22.956,973 ton yang diperoleh dari 26 kota dan kabupaten yang berada di provinsi tersebut dengan rata-rata produksi
sebesar 882,9605 ton. Tingkat produksi jahe yang cukup tinggi di provinsi tersebut sebagian besar disumbang oleh kabupaten Cianjur, dengan hasil produksi jahe sebesar 11.561,902 ton dalam satu tahun. Perolehan tersebut merupakan hasil produksi tertinggi di provinsi Jawa Barat yang memliki koordinat kartesius (98,272; 49,445) dengan koordinat (0,0) di daerah bagian selatan Kabupaten Sukabumi. Sedangkan kota Bandung menduduki peringkat terendah dalam produksi jahe di provinsi tersebut dengan perolehan sebesar 1,056 ton dengan koordinat kartesius (68,139; 149,288).
Tabel 2. Sari Numerik Persebaran Produksi Jahe di Wilayah Jawa Barat tahun 2013
Statistika Deskriptif Nilai
Terjadi kesenjangan yang begitu besar antara hasil tertinggi dengan yang terendah dalam produksi tumbuhan jenis obat-obatan tersebut dengan rentang mencapai 11.560,846 ton. Namun demikian secara statistika nilai maksimum tersebut termasuk pencilan atas dari keseluruhan data (Gambar 6). Secara umum sekitar 64% dari total hasil produksi berada pada kisaran produksi 0 (dibuat nol, karena nilai produksi tidak dapat negatif) hingga 2.619,03 ton untuk tahun 2013, dilihat dari simpangan baku data yang diolah. Data hasil produksi jahe provinsi Jawa Barat memiliki nilai
kemencengan (skewness) positif yang menunjukkan persebaran data
-2000
Gambar 6. Diagram kotak titik (boxplot) produksi jahe Provinsi Jawa Barat tahun 2013.
3
Gambar 7. Diagram Batang produksi jahe Provinsi Jawa Barat tahun 2013.
b. Analisis Geostatistika (Semivariogram)
Pengolahan data didapat dengan melakukan running perangkat
lunak ‘Surfer 8’ dari data mentah berupa koordinat X, Y, dan nilai produksi yaitu Z. Dibuatlah grafik semivariogram eksperimental (Gambar 8) sebagai acuan dalam membentuk model. Dipilihlah 3 model semivariogram yaitu model eksponensial, model gaussian, dan model bola. Dari hasil yang didapat ketiga model tersebut sesuai dengan apa yang referensi berikan apabila dilihat dari pola grafik dan strukturnya. Pada
masing-masing model juga didapat data komponen yaitu nugget (Co),
scale (C), sill (Co+C), dan range (a). Diantara ketiga komponen hanya
Sedangkan untuk nilai C dan a memiliki perbedaan yang unik. Sehingga dari nilai-nilai komponen tersebut didapat persamaan untuk setiap
modelnya dan dari persamaan model tersebut didapatlah suatu grafik γ
terhadap h.
Gambar 8. Semivariogram eksperimental
Didapatkan tiga jenis model semivariogram, yaitu model eksponensial, model Gaussian, dan model spherical (Tabel 4 dan Tabel 5). Dari ketiga model dapat ditentukan model yang paling tepat untuk melakukan pengukuran selanjutnya dapat dilihat dengan perhitungan r2 (koefisien determinasi) dan RSS (Root Sum of Square) atau SSE (Sum of
Squared Errors). Koefisien determinasi merupakan kuadrat dari koefisien
korelasi yang digunakan untuk menganalisis variabel γ dipengaruhi oleh variabel h atau seberapa variabel independen (h) mempengaruhi variabel dependen (γ). Sedangkan RSS atau SSE merupakan toleransi eror dari data yang diplotkan. Model yang tepat ialah model yang memiliki nilai RSS paling kecil atau memiliki nilai r2 yang besar. Sehingga didapat nilai RSS terkecil ada pada model eksponensial yaitu 6,64927E-08. Dari data komponen sendiri dapat dilihat bahwa model eksponensial memiliki nilai
scale yang paling besar dan nilai a yang paling kecil diantara model
Tabel 4. Nilai Co, C, dan A untuk Setiap Model pada Parameter Produksi Jahe
Tabel 5. Model Eksponensial, Gaussian, dan Bola pada Parameter Produksi Jahe
2 Gaussian
Berdasarkan kontur (Gambar 9), jumlah produksi jahe terbanyak yang ada di Jawa Barat terletak pada kabupaten Cianjur (y = 98,272 km, x = 49, 445 km). Hal bisa di sebabkan oleh beberapa faktor. Bila kita melihat
faktor iklim dan tanah kita bisa melihat dari Gambar 10 dan Gambar 11
serta Tabel 3, rata-rata suhu di Cianjur sepanjang tahun adalah 24,7 oC
dengan variasi suhu tahunannya adalah 0,8 oC, kelembaban nisbi di
kabupaten Cianjur berkisar antara 80-90% menurut BLHD kabupaten Cianjur tahun 2015 yang masih relevan dengan kondisi optimal pertumbuhan jahe (Rukmana, 2000), dan jenis tanah sebagian besar
wilayah kabupaten Cianjur adalah latosol seluas ± 17,741 Ha (62,03%)
yang merupakan tanah yang paling cocok untuk menanam jahe (Santoso, 1991). Oleh karena itulah Kabupaten Cianjur dapat memproduksi jauh
lebih besar di bandingkan dengan kawasan-kawasan pertanian jahe lainnya di Jawa Barat.
Menurut Rukmana tahun 2000, tanaman jahe memerlukan persyaratan tumbuh tertentu, yang meliputi keadaan iklim dan tanah. Tanaman jahe memerlukan suhu tinggi serta curah hujan yang cukup selama pertumbuhannya. Suhu tanah yang diinginkannya antara 25-30ºC. Apabila suhunya di atas kisaran tersebut, akan adanya tunas yang terbakar, misalnya pada suhu 32ºC. Sekalipun daun muda pada tunas yang baru tumbuh terbakar karena sinar matahari, produksinya tidak terlalu banyak penurunan.
Gambar 9. Peta Kontur Persebaran Produksi Jahe di Wilayah Jawa Barat
Gambar 10. Grafik Iklim kabupaten Cianjur sepanjang tahun (Sumber : http://id.climate-data.org/location/716749/ diakses tahun 2015)
Pengembangan tanaman jahe biasanya pada tanah-tanah latosol merah cokelat atau andosol. Syarat lain, jahe tidak menyukai tanah yang menggenang. Tanaman ini kurang baik ditanam pada tanah rawa dan tanah berat yang banyak mengandung fraksi liat maupun pada tanah yang didominasi oleh kandungan pasir kasar.
Gambar 11.Grafik Suhu di Kabupaten Cianjur sepanjang tahun. (Sumber : http://id.climate-data.org/location/716749/ diakses tahun 2015)
Tabel 3. Iklim di Kabupaten Cianjur sepanjang tahun
6. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Diperoleh hasil produksi jahe di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 sebesar 22.956,973 ton, dengan nilai tertinggi bersumber dari kabupaten Cianjur (11.561,902 ton) dan nilai terendah (1,056 ton) dari Kota Bandung.
Diperoleh pula tiga model semivariogram, yaitu model eksponensial (Co = 0, C = 5092000, dan A = 65,41 km), model Gaussian (Co = 0, C = 4840000, dan A = 100 km), model spherical (Co = 0, C = 4581000, dan A = 123 km).
b. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Alfiana, AN. 2010. Metode Ordinary Kriging pada Geostatistika [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Yogyakarta.
Barnes, R. 1991. The Variogram Sill and the Sample Variance, Mathematical
Geology. v. 23, n. 4, hal. 673-678.
Cressie, N. 1991. Statistics for Spatial Data, John Wiley and Sons, New York, 900
pp., ISBN 0-471-84336-9.
Dorsel, D, dan La Breche, T. 1997. Environmental Sampling and Monitoring Primer. Kriging.
Hasanah, M, Sukarman, dan Rusmin, D. 2010. Teknologi Produksi Benih Jahe.
Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Isaaks, E dan Mohan S. 1989. An Introduction to Applied Geostatistics, Oxford
University Press, New York, 561 pp., ISBN 0-19-505013-4.
Kraak, MJ dan Ormeling, F. 1996. Cartography: Visualization of Spatial Data,
Longman. "Traditionally, the main division of maps is into topographic
and thematic maps. Topographic maps supply a general image of the
earth's surface: roads, rivers, buildings, often the nature of the vegetation, the relief and the names of the various mapped objects." hal. 44.
Pannatier, Y. 1996. VarioWin - Software for Spatial Data Analysis in 2D,
Springer-Verlag, New York, 91 pp., ISBN 0-387-94579-9.
Purseglove, JW, Brown, EG, Green CL, dan Robbins, SRJ. 1981. Spice. Longman Group Limited. London. Vol. 2. 813
Sudiarto. 1978. Budidaya tanaman jahe di Indonesia dan penelitian beberapa aspek budidaya. LPTI Bogor. hal. 17.
Tracy, John C. 1907. Plane Surveying; A Text-Book and Pocket Manual. New
York: J. Wiley & Sons,. hal. 337.
Walpole, Ronald E. 1993. Pengantar Statistika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka