• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KREA TIVITAS ANTARAANAK PENDIDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBEDAAN KREA TIVITAS ANTARAANAK PENDIDI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KREATIVITAS ANTARAANAK PENDIDIKAN FORMAL DENGAN ANAK HOMESCHOOLING

Danik Wijayanti

Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Jalan Kusumanegara 157, Yogyakarta

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik perbedaan tingkat kreativitas antara anak pendidikan formal dengan anak homeschooling. Hipotesis yang diajukan adalah anak yang sekolah homeschooling kreativitasnya lebih tinggi daripada anak yang sekolah di pendidikan formal. Subjek dalam penelitian ini adalah 31 anak-anak tingkat Sekolah Dasar yang berusia sekitar 9 tahun sampai 11 tahun, yang terdiri dari 20 anak SD formal kelas IV dan 11 anak SD Homeschooling kelas III dan kelas IV. Subjek berasal dari SD Demakijo 2 dan SD Homeschooling Group Khoiirul Ummah. Torrance Tests ofCreative Thinking Figural Form B (Circle Test) dipakai untuk mengukur subjek penelitian. Hasil analisis data dengan menggunakan Independent Sample T Tests, diperoleh hash sebagai berikut : Ada perbedaan kreativitas antara anak pendidikan formal dengan anak homeschooling(t = 4,568, p = 0,000). Anal( homeschooling memiliki kreativitas yang lebih tinggi daripada anak pendidikan formal (M = 227,149 > 185,048).

kata kunci : kreativitas, pendidikan formal, homeschooling

ABSTRACT

This study was intended to reveal the differences of creativity between children in formal schooling and children in homeschooling. The hypothesis that could be explained in this study, there was creative level difference between children in formal schooling and children in homechooling. The subjects of this study were 31 Elementary School students aged 9 to 11 from Sekolah Dasar Demakijo 2 and Sekolah Dasar Homeschooling Group Khoirul Ummah, consisting of 20 Formal Elementary School students grade IV and 11 Homeschooling Elementary School students grade III and IY. Data were collected by administering Torrance Tests of Creative Thinking Figural Form B (Circle Test). Based on the analysis using Independent Sample T Tests, the following results were concluded: Difference in creativity between children in formal schooling and children in homeschooling (t = 4,568, p = 0, 000). Children in homeschooling showed a higher creativity compared children in formal schooling (M = 227,149 > 185, 048).

Keywords: creativity, formal schooling, homeschooling

PENDAHULUAN

Ditinjau dari aspek kehidupan manapun, kebutuhan akan kreativitas sangatlah penting. Menurut Safaria (2005) ada beberapa alasan mengapa kreativitas perlu dipupuk sejak diri. Pertama, proses kreatif merupakan perwujudan dari aktualisasi diri. Kedua, kreativitas adalah kemampuan untuk menemukan cara-cara baru dalam memecahkan masalah. Ketiga, menyibukkan diri dalam proses kreatif, bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi anak, karena dari kegiatan kreatif anak akan mendapatkan kepuasan yang tinggi, sehingga hal ini

(2)

akan meningkatkan makna dan kebahagiaan hidup anak. Keempat, kreativitas menjadikan peradaban manusia berkembang dengan pesat.

Faktor lingkungan seperti keluarga dan sekolah dapat berfungsi sebagai pendorong dalam pengembangan kreativitas anak (Munandar, 2002). Sehingga peran orangtua dan pendidik sangat penting dalam memberikan dorongan dan tuntunan bagi anak. Namun menurut Mulyadi yang menjadi orientasi pendidikan saat ini, adalah bagaimana menciptakan anak yang cerdas secara logika, matematika, dan bahasa. Padahal hasil penelitian Goleman mengungkapkan bahwa orang yang sukses belum tentu yang IQ nya tinggi. Alasannya adalah IQ hanya sebagian kecil dari potensi manusia. Faktor lain seperti kecerdasan emosi, kecerdasan moral, dan kecerdasan menghadapi kenyataan, juga berpengaruh besar (dalam Suara Pembaharuan, 13 Januari 2006).

Imajinasi yang aktif adalah inti dari pemikiran kreatif. Kerangka pemikiran ini penting untuk terbukanya kemungkinan menjadi kreatif. Tetapi perkembangan masyarakat kita mengharuskan anak-anak tumbuh dan berkembang seperti orang lain pada umumnya. (Presbury, 1990). Ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Moran (1988) yang menunjukkan bahwa melalui proses sosial, anak-anak berkembang ke arah komformitas selama tahun-tahun di Sekolah Dasar. Persentase respon original pada ide-ide dalam kelancaran tugas menurun sebesar 50 persen pada usia 5 tahun, 25 persen selama di Sekolah Dasar kemudian kembali meningkat 50 persen di Perguruan Tinggi. Hal ini yang kemungkinan besar menjadi alasan, kreativitas anak Indonesia kurang berkembang dengan baik. Kenyataan tersebut juga dibuktikan dengan basil penelitian dari Jellen dan Urban yang dikutip Munandar (2002) yang menggunakan TCT-DP untuk mengukur kreativitas dengan mengambil sampel anak-anak Sekolah Dasar dari delapan Negara termasuk Indonesia. Ternyata dari basil penelitian Jellen dan Urban, anak Indonesia mencapai skor kreativitas yang paling rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Filipina, India, dan Afrika Selatan.

Kreativitas adalah basil dari proses interaksi antara individu dan lingkungannya (Munandar, 2002). Seseorang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan di mans dia berada, dengan demikian baik perubah di dalam individu maupun di dalam lingkungan dapat menunjang atau dapat menghambat upaya kreatif. Implikasinya adalah bahwa kemampuan kreatif dapat ditingkatkan melalui pendidikan.

Model pendidikan yang paling terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem sekolah atau pendidikan formal baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan anak usia diri, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (http:// id.wikipedia.org/wiki/ pendidikan formal).

Menurut Pormadi (2007) bagi sebagian orang, sistem sekolah formal merupakan sekolah yang tidak memuskan bagi perkembangan diri anak. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan sosial (nilai-nilai iman dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian pendidik secara personal pada anak dinilai kurang. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih "cerdas". Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan. Oleh karena itu banyak orangtua yang memilih homeschooling sebagai sarana pendidikan bagi anak-anaknya.

Homeschooling (http:// www.sekolahrumah.com) adalah sebuah keluarga yang memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anak dan mendidik anaknya dengan

(3)

berbasis rumah. Keberadaan homeschooling dalam sistem pendidikan Indonesia, adalah legal karena memiliki dasar hukum yang jelas di dalam UUD 1945 maupun di dalam UU No. 20/2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Sekolah disebut jalur pendidikan formal, homeschooling disebut jalur pendidikan informal.

Pormadi (2007) mengemukakan, bahwa kelebihan homeschooling adalah sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga; lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum; dapat memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah; output sekolah rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya; relatif terlindung dari hamparan nilai dan pergaulan yang menyimpang; biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga. Sementara itu, homeschooling juga mempunyai kelemahan-kelemahan yang antara lain, membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orangtua; memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim, organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orangtua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.

Semua sistem pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan. Para orangtua pun memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai altematif pendidikan yang paling tepat untuk anaknya. Ada orangtua yang berfikir bahwa pendidikan formal adalah sarana pembelajaran yang paling tepat untuk anak, dan ada orangtua yang lebih memilih homeschooling sebagai sarana pembelajaran yang terbaik untuk anaknya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kreativitas antara anak yang menempuh pendidikan formal dengan anak yang menempuh homeschooling.

A. Kreativitas

Menurut Rhodes (dalam Munandar, 2002), kreativitas dapat dirumuskan dalam istilah Pribadi, Proses, Pendorong dan Produk. Drevdahl (dalam Hurlock, 1978) mendefiniskan kreativitas sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan apa saja yang pada dasamya baru, dan sebelumnya tidak dikenal pembuatnya. Sedangkan Torrance (dalam www.yahoo.com/ Defining creativity.htm), mengungkapkan bahwa kreativitas merupakan fluency, flexibility, originality, dan elaboration.

Pemikiran kreatif menurut Oech (dalam http://www.yahoo.com/ Defining creativity.htm) melibatkan membayangkan berbagai hal umum yang dikenal dengan cara yang baru, menggali ke dalam untuk menemukan pola yang tidakdiketahui sebelumnya, dan menemukan hubungan antara fenomena yang tidak berhubungan. Sementara itu Carnevale dkk (dalam http://www.yahoo.com/ Definingcreativity.htm) berpendapat bahwa pemikiran kreatif merupakan kemampuan untuk menggunakan gaya pemikiran yang berbeda untuk menghasilkan solusi dan gagasanyang dinamis dan baru.

Hasil kreativitas, di samping dipengaruhi oleh kemampuan koglitif juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, seperti faktor sikap, motivasi, dan temperamen. Model yang dikemukakan oleh William (dalam Selby dkk, 2005) untuk perkembangan bakat kreatif meletakkan sifat kognitif dan afektif pada tempat yang sama. Di samping kemampuan kognitif dari kelancaran ide (ideational fluency), keluwesan berfikir (flexibility), originalitas (originality) dan elaborasi pemikiran (elaborative thinking), William menyatakan kualitas

(4)

afektif dari keingintahuan, keberanian, kompleksitas dan imajinatif sebagai pembentuk kreativitas. Munandar (dalam Nakita, 20 Januari 2006) mengatakan bahwa dari berbagai penelitian, temyata kemampuan berpikir kreatif belumlah cukup jika tanpa disertai sikap kreatif. Tanpa sikap kreatif, produk kreatif tidak akan terwujud. Menurut Munandar, sikap kreatif adalah terbuka terhadap pengalaman Baru, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, tidak takut melakukan kesalahan ketika mengemukakan ide, imajinatif, dan berani mengambil risiko terhadap langkah yang diambil.

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan pembentukan dari kemampuan kognitif yang terdiri dari kelancaran berfikir (fluency), keluwesan berfikir (flexibility), originalitas (originality), elaborasi pemikiran (elaboration) dan kualitas afektif dari terbuka terhadap pengalaman baru, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, tidak takut melakukan kesalahan ketika mengemukakan ide, imajinatif, dan berani mengambil risiko terhadap langkahyang diambil.

Aspek-aspek dalam kreativitas menurut Torrance (Daruma, 1997) mencakup empat hal, yang meliputi: fluency yang didefinisikan sebagai banyaknya respon yang dibuat terhadap suatu stimulus, flexibility yang berarti kemampuanmerespon suatu stimulus dengan cara yang berbeda-beda, originality yang merupakan kemampuan memberikan respon yang secara statistik langka, relevan, dan mampu menghasilkan respon yang tepat, dan elaboration yang berarti detil ide-ide atau gagasan yang ditambahkan untuk merespon suatu stimulus sehingga responnya menjadi berarti, bermakna dan relevan.

Ada banyak teori untuk menjelaskan tentang kreativitas, antara lain, teori Empat P yang dikemukakan oleh Rhodes (dalam Munandar, 2002). Menurut Rhodes, kreativitas dirumuskan dalam istilah Pribadi, Proses, Press dan Produk yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Kemudian teori Investasi yang dikemukakan oleh Stemberg dan Lubart (dalam Sternberg, 1999). Menurut Sternberg dan Lubart (dalam Sternberg, 1999), ada enam elemen utama yang membentuk kreativitas, yaitu inteligensi, pengetahuan, gaya berfikir, kepribadian, motivasi dan lingkungan. Sementara itu menurut menurut Amabile (1983) dalam teori Psikologi Sosial, kreativitas merupakan interaksi antara komponen lingkungan atau sosial, karakteristik kepribadian dan kemampuan kognitif. Menurut teori Sikap Kreatif yang dikemukakan oleh Csikszentmihalyi (1996) dijelaskan bahwa ciri-ciri yang memfasilitasi kreativitas ada beberapa macam, antara lain, predisposisi genetik untuk bidang tertentu, minat pada usia dini pada bidang tertentu, akses terhadap suatu bidang, dan access to a field. Sementara itu menurut pandangan Lewin (dalam Selby dkk, 2005) dalam Field Theory menyatakan bahwa perilaku manusia adalah fungsi dari hasil interaksi kepribadian dan lingkungan. Menurut Hurlock (1978), ada beberapa factor yang mempengaruhi kreativitas pads anak, yaitu: waktu, kesempatan menyendiri, sarana, lingkungan yang merangsang, cara mendidik anak, dan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan.

B. Pendidikan Formal

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. (http:// id.wikipedia.org/wiki/ Pendidikan formal).

C. Homeschooling

Homeschooling (HS) (http:// www.sekolahrumah.com) yang dalam Bahasa Indonesia digunakan istilah Sekolah Rumah adalah model altematif belajar selain di sekolah.

(5)

Pengertian dari homeschooling (http://www.sekolahrumah.com) adalah sebuah keluarga yang memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anak dan mendidik anaknya dengan berbasis rumah. Sedangkan menurut Ella Yulaelawati (http://baitijannati.wordpress.com/ 2008/01 /28/sekolah-rumahmengapa tidak/), direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), homeschooling adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga di mana proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa homeschooling adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga di mana proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif. Tujuannya agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal.

Mayoritas homeschoolers (71%) memilih sendiri materi pengajaran dan kurikulum dari yang tersedia, kemudian melakukan penyesuaian agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak, keadaan keluarga, dan prasyarat dari pemerintah. Selain itu, 24% diantaranya menggunakan paket kurikulum lengkap yang dibeli dari lembaga penyedia kurikulum dan materi ajar. Sekitar 3% menggunakan materi dari sekolah satelit (partner homeschooling) atau program khusus yang dijalankan oleh sekolah swasta setempat (http:// www sekolahnunah.com).

Pendekatan homeschooling memiliki rentang yang lebar antara yang sangat tidak terstruktur (unschooling) hingga yang sangat terstruktur seperti belajar di sekolah (school at-home). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi orangtua untuk memilih homeschooling dibandingkan sekolah formal, yaitu: kegagalan sekolah formal, Teori Inteligensi Ganda, sosok homeschooling terkenal dan tersedianya aneka saran.

D. Hubungan antara Kreativitas dengan Pendidikan Formal dan Homeschooling

Setiap anak dilahirkan memiliki potensi kreatif. Hal ini terlihat pada waktu anak berusia satu sampai dua tahun. Pada masa-masa kritis tersebut potensi kreatif anak yang mulai tumbuh dan berkembang seringkali menjadi terhambat karena factor-faktor tertentu, seperti larangan--larangan orang tua terhadap aktivitas anak sehingga anak tidak memiliki kebebasan untuk bereksplorasi. Akibat negatif dari larangan-larangan yang ditegaskan orangtua membuat anak menjadi takut, tidak percaya diri, menjadi anak yang pasif, pemalu dan merasa tidak mampu. Pada masa-masa perkembangan yang kritis ini sangat penting sekali bagi anak untuk memperoleh dukungan dan dorongan dalam mengembangkan kreativitasnya. Menurut Hurlock (1995), perkembangan kreativitas sangat dipengaruhi oleh dorongan dari lingkungan, sarana yang mendukung perkembangan kreativitas anak, lingkungan yang merangsang, dan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan. Kesemua hal tersebut kemungkinan besar dapat diperoleh anak saat mereka mulai bersekolah, di samping lingkungan keluarga juga ikut berperan dalam mengembangkan kreativitas anak.

Kreativitas sangat penting untuk dikembangkan dan diajarkan sejak dini, karena jika anak memiliki kreativitas yang tinggi maka diharapkan anak akan mampu memecahkan persoalan yang dihadapinya secara efektif dan efisien. Akibatnya, anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk sukses di masa depannya. Kreativitas anak-anak biasanya akan lebih berkembang ketika mereka bersekolah, karena sekolah adalah tempat anak-anak untuk belajar bersosialisasi dengan orang lain dan belajar ketrampilan-ketrampilan yang tidak didapati anak ketika mereka di rumah. Yang dimaksud sekolah di sini adalah pendidikan formal yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. (http:// id.wikipedia.org/wiki/

(6)

Pendidikan formal). Namun pada masa sekarang ini, anak-anak tidak hanya dapat belajar melalui pendidikan formal raja namun juga dapat belajar di rumah dengan menyesuaikan kurikulum yang ada pada sekolah regular, sekolah rumah ini populer dengan nama "homeschooling". Homeschooling bukan berarti tidak belajar. Salah satu pengertian umum dari homeschooling adalah sebuah keluarga yang memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anak dan mendidik anaknya dengan berbasis rumah (http://www.sekolahrumah.com). Pada homeschooling, orangtua bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pendidikan anak; sementara pada sekolah reguler tanggung jawab itu didelegasikan kepada guru dan sistem sekolah. Berbeda halnya dengan siswa yang menempuh pendidikan formal. Orang tua tidak dapat mengawasi secara langsung aktivitas yang dilakukan oleh anakanak mereka.

Pormadi (2007) mengemukakan kelebihan homeschooling adalah sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga; lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum; dapat memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah; output sekolah rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya; relatif terlindung dari pergaulan yang menyimpang; biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga. Sementara itu, homeschooling juga mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain, membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orangtua; menmilila kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim, organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orangtua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial.

Dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal dan homeschooling mempunyai pengaruh yang besar dalam meningkatkan kreativitas anak.

Hipotesis

Ada perbedaan tingkat kreativitas antara anak yang menempuh pendidikan formal dengan anak yang menempuh pendidikan homeschooling.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil subjek 31 anak Sekolah Dasar yang berusia sekitar 9 tahun sampai 11 tahun. Subjek penelitian diambil dari 20 siswa SD Demakijo 11 kelas IV dan 11 siswa SD Homeschooling Group Khoirul Ummah 7 yang terdiri dari 7 siswa kelas III dan 4 siswa kelas IV.

Metode yang digunakan untuk mengukur kreativitas dalam penelitian ini adalah Torrance Test of Creative Thinking Figural Form B yang mana dibagi menjadi tiga aktivitas, yaitu: Picture Construction, Picture Completion dan Circle. Namun dari ketiga macam tes tersebut hanya tes Circle saja yang akan digunakan untuk mengukur kreativitas anak. Circle test mempunyai 36 lingkaran yang berdiameter 2 cm yang berfungsi sebagai stimulus. Dalam tes ini subjek diminta membuat beberapa gambar dengan menggunakan lingkaran sebagai stimulus.

Penelitian ini menggunakan metode statistik Independent Sample t tests untuk menganalisis data. Independent Sample t tests dinilai paling tepat untuk menganalisis data, karena tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan rata-rata dari dua sampel yang tidak berhubungan

(7)

satu dengan yang lainnya, yaitu membandingkan kreativitas antara anak yang mengampu pendidikan formal dengan anak yang mengampu pendidikan homeschooling.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil uji asumsi pada skor kreativitas yang didapatkan dari T Skor total Torrance Test of Creative Thinking Figural Form B (Circle Test) menunjukkan besamya nilai Kolmogorov-Smimov Z adalah 0,804, sedangkan nilai signifikansinya (2-tailed) sebesar 0,538. Nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05 menunjukkan bahwa skor kreativitas berdistribusi data normal.

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Independent Sample t tests. Hasil analisis data pada Torrance Tests of Creative Thinking Figural Form B (Circle Test) menunjukkan nilai t sebesar 4,568 dan nilai probabilitasnya (sig.2 -tailed) sebesar 0,00. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat kreativitas antara anak pendidikan formal dengan anak homeschooling. Sementara itu dengan melihat rata-rata T-Skor total hasil Circle Test pada anak-anak homeschooling (M = 227,1486) yang lebih besar daripada rata-rata T-Skor total hasil Circle Test pada anak-anak pendidikan formal (M = 185,0683) menunjukkan bahwa anak-anak homeschooling mempunyai tingkat kreativitas yang lebih tinggi daripada anak-anak pads pendidikan formal.

Penelitian ini berusaha membuktikan apakah ada perbedaan tingkat kreativitas antara anak pendidikan formal dengan anak homeschooling. Setelah dilakukan analisis data ternyata hasilnya menunjukkan bahwa hipotesis terbukti dan dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat kreativitas antara anak pendidikan formal dengan anak homeschooling. Anak-anak homeschooling lebih kreatif daripada anak-anak pada pendidikan formal.

Homeschooling yang mana keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anak-anaknya terbukti memang dapat membentuk kreativitas anak. Selaras dengan tujuannya agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal, maka kurikulum yang ada di homeschooling disesuai dengan kebutuhan anak-anak tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah sehingga anak dapat lebih santai dan tidak merasa terpaksa ketika belajar, homeschooling juga membekali anak dengan ketrampilan khusus yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan di masyarakat serta memberikan pembelajaran langsung secara kontekstual, tematik, ataupun nonscholastik dimana tidak tersekat oleh batasan ilmu. Di samping itu, homeschooling juga memberikan lingkungan sosial dan suasana belajar yang baik, nyaman dan menyenangkan bagi anak sehingga anak-anak lebih merasa beban untuk bereksplorasi dan hal inilah yang dapat anak homeschooling lebih kreatif membentuk kreativitas anak, karena seperti yang diungkapkan Hurlock (1978) bahwa untuk menjadi kreatif, kegiatan anak seharusnya jangan diatur sedemikian rupa sehingga hanya sedikit waktu bebas bagi mereka untuk bermain-main dengan gagasan-gagasan dan konsep-konsep dan mencobanya dalam bentuk baru dan orisinal. Ini berbeda dengan sekolah formal, yang mana pengalaman di lapangan menunjukkan bahwasanya banyak anak mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan selama di sekolah formal. Sebut saja, kasus Bullying, bentakan dan kekerasan dari guru bahkan pemasungan kreatifitas anak. Kemudian, upaya penyeragaman kemampuan dan keterampilan semua anak untuk seluruh bidang turut mematikan minat dan bakat anak yang tentunya berbeda-beda, karena setiap anak adalah unik. Lebih jauh lagi, kurlkulumyangterlalu padat dan tugas-tugas rumah yang menumpuk membuat kegiatan belajar menjadi suatu beban bagi sebagian anak. Melalui kondisi ini, maka tidak heran jika tingkat kreativitas anak pendidikan formal lebih rendah dari anak homeschooling .

(8)

Model homeschooling dalam penelitian ini adalah komunitas yaitu gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olahraga, musik/seni dan bahasa), sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran. Ada komitmen penyelenggaraan pembelajaran antara orang tua dan komunitasnya. Maka dari itu meskipun disebut sekolah rumah namun program-programnya lebih terstruktur dan pembelajaran tidak selalu di nunah. Peserta didik juga akan mendapatkan ijazah yang sama nilainya dengan ijazah sekolah formal jika dapat lulus ujian persamaan yang dilakukan oleh Depdiknas. Bahkan kelemahan homeschooling yang banyak ditakutkan masyarakat bahwa anakanak homeschooling akan mengalani kesulitan dalam penyesuaian sosial tidak berlaku di sini, karena untuk homeschooling group atau komunitas ini terdiri dari beberapa anak yang belajar bersama-sama dalam satu tingkatan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Astrid Klara (2008) mengenai Gambaran Penyesuaian Sosial Anak Usia 6-12 Tahun yang Mengikuti Homeschooling yang menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya kesulitan penyesuaian social mengukur kreativitas dengan mengambil sampel anak-anak Sekolah Dasar dari delapan negara termasuk Indonesia. Ternyata dari hasil penelitian Jellen dan Urban, anak Indonesia mencapai skor kreativitas yang paling rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Filipina, India, danAfrika Selatan.

Penelitian dari Jelen dan Urban (Munandar, 2002) di atas memang dapat dijadikan pemikiran untuk memperbaiki sistem dan kurikulum yang sekarang ada pada sekolah formal agar dapat mengembangkan kreativitas anak didik dan bukan malahmengembangkan konformitas, seperti pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Moran (1988) yang menunjukkan bahwa melalui proses sosial, anak-anak berkembang kearah konformitas selama tahun-tahun di Sekolah Dasar. Hasil kategorisari dari skor Torrance Test of Creative Thinking dalam penelitian ini juga menunjukkan hal yang sama, bahwa sebagian besar subjek yang berasal dari Sekolah Dasar formal memiliki tingkat kreativitas pada kategori rendah yaitu sebesar 42%. Sementara itu, kategori sangat tinggi sebesar 6% untuk skor kreativitas hanyadimiliki oleh subjek dari SD homeschooling . Dan sebagian besar subjek yang berasal dari SD homeschooling memiliki tingkat kreativitas yang tinggi (sebesar 16 %).

Kreativitas memang penting dipupuk sejak usia dini karena dapat menunjang kesuksesan dan kebahagiaan hidup seseorang. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kreativitas anak-anak, seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Namun dari itu semua, menurut Sternberg (1999), faktor kultur juga dapat menunjang atau bahkan menghambat kreativitas anak. Bachtiar (dalam Munandar, 2002) mengatakan bahwa tradisi budaya yang kuat, yang menuntut semua anggota masyarakat berfikir dan bertindak sesuai dengan tradisi akan menyulitkan kemungkinan munculnya kreativitas anggota masyarakat yang hendak menciptakan sesuatu yang baru. Dalam penelitian ini faktor tersebut juga diduga ikut mempengaruhi hasil penelitian. Banyak dari orangtua yang masih bersikap konservatif. Orangtua yang konservatif sangat taat pada pola social yang berlaku (Sriwijaya Post, 28 Oktober 2003). Selama ini, anak dianggap baik dan pandai kalau penurut, patuh, manis, dan mau berbuat sesuatu yang dikatakan oleh orang tua atau siapapun yang lebih tua. Anak akan dianggap perusak, kalau dia suka memberontak dan melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua (Suara Pembaharuan, 13 Januari 2006). Padahal anak kreatif suka mencoba-coba dan menyenangi hal-hal baru, yang biasanya menyimpang dari pola sosial yang berlaku. Menurut Mulyadi (dalam http://www.yahoo.com/ [balita anda]/Kreativitas/Anak.htm), tanpa disadari, orangtua yang bermaksud baik dengan dalih

(9)

menanamkan disiplin dan kepatuhan pada anak, tidak memberi kesempatan bagi pertunbuhan benih-benih kreativitas. Seharusnya disadari bahwa kreativitas tidak bertentangan dengan disiplin. Hidup dalam masyarakat memang menuntut anggotanya untuk mentaati aturan--aturan yang disepakati. Namun sebaiknya orangtua mempertimbangkan terlebih dahulu sejauh mana peraturan betul-betul perlu diterapkan dan sejauh mana bisa diberlakukan secara fleksibel. Di sisi lain, kedisiplinan dan kepatuhan hendaknya diterapkan sedemikian rupa sehingga tetap memberi kesempatan kepada anak untuk menjajaki lingkungannya, mengembangkan minat-minatnya, dan menggunakan kreativitasnya, maka dari itu diperlukan adanya jembatan komunikasi yang baik antara orangtua dan tutor agar mereka memiliki kesepakatan mengenai penerapan pendidikan yang paling tepat bagi anak. Hal ini berpengaruh baik pads anak yang menempuh pendidikan formal atau pun anak homeschooling karena sekali lagi peran orangtua sangat besar dalam pembentukan kreativitas anak.

Ada kemungkinan, perbedaan jenis kelamin jugadapat berpengaruh terhadap perkembangan kreativitas anak. Menurut Hurlock (1978), perlakuan yang berbeda dari masyarakat terhadap jenis kelamin yang berbeda memberikan pengaruh terhadap perkembangan kreativitasnya. Kultur yang lebih memberi kesempatan kepada anak laki-laki untuk mandiri, didesak teman sebaya untuk lebih berani bertindak dan didorong oleh orangtua dan guru untuk lebih menunjukkan orisinalitas dan inisiatif akan membuat anak laki-laki cenderung memiliki kreativitas yang lebih besar. Peneliti mencoba untuk membandingkan skor kreativitas pada anak laki-laki dan anak perempuan. Hasilnya, ditemukan adanya perbedaan kreativitas antara subjek laki-laki dan perempuan dari hasil T-skor Torrance Tests of Creative Thinking Figural dengan t -2,92 dan signifikansinya (2-tailed) sebesar 0,007, di mana dilihat dari besarnya rata-rata skor kreativitas diketahui bahwa anak perempuan lebih kreatif dari anak laki-laki (213,46 > 183,66). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh variasi kultur yang mana pola pengasuhan orangtua dan para pendidik tidak lagi menerapkan peran seks tradisional namun sudah menerapkan adanya kesetaraan gender.

Di samping faktor-faktor di atas yang mempengaruhi hasil penelitian, ada faktor lain yang kemungkinan jugs dapat mempengaruhi hasil penelitian yaitu alat tes pada Torrance Test of Creative Thinking Figural yang mungkin masih baru bagi subjek dan kemungkinan ada beberapa subjek yang kurang memahami instruksi sehingga tidak semua subjek mengerjakan tes secara maksimal. Kondisi subjek saat mengerjakan tes juga dapat mempengaruhi skor kreativitas seperti suasana hati, kondisi kesehatan dan kurangnya motivasi untuk mengerjakan secara maksimal.

Dari semua penj elasan di atas dapat diketahui bahwa sebenarnya banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kreativitas anak yang belum tenmgkap oleh peneliti, namun yang jelas dari basil penelitian ini adalah bahwa terbukti ada perbedaan antara tingkat kreativitas anak pendidikan formal dengan homeschooling.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan kreativitas antara anak pendidikan formal dengan anak homeschooling. Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa homeschooling memang berperan dalam meningkatkan kreativitas anak. Anak yang menempuh homeschooling mempunyai kreativitas yang lebih tinggi daripada anak yang menempuh pendidikan formal.

(10)

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi hasil penelitian meliputi program-program yang diselenggarakan oleh homeschooling, peran orangtua sebagai guru dan peran tutor, lingkungan dan fasilitas yang memadai di homeschooling, peran kultur, penyesuaian diri anak terhadap lingkungan sekolah, alat tes dan kondisi anak saat mengerjakan tes.

Hasil penelitian ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi orangtua untuk memperhatikan perkembangan dan pendidikan anak-anaknya. Orangtua seharusnya lebih selektif untuk memilih pendidikan yang paling tepat bagi anak-anaknya.

Homeschooling atau pun pendidikan formal tentunya memiliki keunggulan dan kelemahan masingmasing, maka faktor penentu terbesar keberhasilan anak tetap pada orangtua yang seharusnya dapat menjadi motivator terbesar bagi anak untuk maju.

Pendidikan itu seharusnya dapat memberikan fasilitas yang lebih baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Hasil penelitian ini hendaknya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi lembaga pendidikan baik homeschooling maupun sekolah formal agar dapat meningkatkan kualitas pendidikannya.

Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian dengan melibatkan faktor-faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kreativitas, seperti faktor inteligensi, keadaan sosial ekonomi keluarga, pola asuh yang diterapkan orangtua dalam mendidik anak,' pendidikan orangtua dan juga faktor-faktor lain yang diduga dapat mempengaruhi perkembangan kreativitas untuk membuktikan kebenaran dari dugaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Amabile, T. M. (1983). The social psychology of creativity: a c o m p o n e n t i a l conceptualization. Journal of Personality and Social Psychology. No. 45 (2), pp. 357-376.

Astrid, K. (2008). Gambaran Penyesuaian Sosial Anak Usia 6-12 Tahun yang Mengikuti Homeschooling. Thesis. Jakarta :UnikaAtmajaya.

Azwar, S. (1999). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cramond, B., Morgan, J.M, Bandalos, D., dan Zuo, L. (2005). A report on the 40-year follow-up of the torrance tests of creative thinking: alive and well in the new millennium. Academic Research Library. Vol.49, No.4, pp.283-357.

Csikszentmihalyi, M. (1996). Creativity: Flow and the psychology of discovery and invention. New York: Harper Collins publishers.

Daruma, A. R. (1997). Hubungan antara taraf inteligensi, kepercayaan diri dan pendidikan orangtua dengan kreativitas siswa. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.(tidak dipublikasikan).

DeBord, K. (1997). Child Development: creativity in young children. the national network for child care - NNCC. NC: North Carolina Cooperative Extension Service.

Fasko, D. (2001). Education and Creativity. Creativity Research Journal. Vol. 13, No. 3 & 4, pp. 317–327

Griffith. (2001). Children who play creatively early show best creativity and problem solving lather. CWRV.

Handayani, C. H. S. (1996). Perbedaan kreativitas antara siswa yang mengikuti kegiatan melukis dengan siswa yang tidak mengikuti kegiatan melukis. Skripsi. Universitas

.

(11)

Gadjah Mada. (tidak dipublikasikan)

Health, R. (1999). Creative play builds coping skills, lowers stress. CreativityR e s e a r c h Journal . Vol. 12, pp.129-139.

Hennessey, B.A. (2003). The Social Psychology of Creativity. Scandinavian Journal of Educational Research. Vol. 47, No. 3, pp. 254-271.

Hurlock, E.B. (1978). Child Development. Terjemahan. Jakarta : Erlangga.

Jalongo. (2003). The Children Right To Creative Thought and Expression. The Association for Childhood Education International.

Kelly, K.E. (2005). The relationship between worry and creative personality. Counseling and Clinical Psychology Journal. Vol. 2, No. 1, pp. 75-80.

Lalemi, A. N. B. (1991). The role of imagery training on tohono o'odham children's creativity scores. Journal of American Indian Education. Vol. 3 0 , No. 3.

Moran, J. D., III. (1988). Creativity In Young Children . Eric Digest. Urbana: Eric Clearinghouse on Elementary & Early Childhood Education.

Munandar,S.C.U. (2002). Kreativitas & Keberbakatan. Strategi mewujudkan potensi kreatif & bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Nakita. Edisi No. 353 Th VII, 20 Januari 2006. Dunia Prasekolah: Mengukur Tingkat Kreativitas Si Prasekolah.

Pormadi. (2007). Home schooling: Sebuah Pendidikan Alternatif http://pormadi.wordpress.com/ 2007/11/1 2/homeschooling. (diakses April 2008)

Presbury, J.H., Benson, A.J., Madison, J.; Fitch.J, dan Torrance.E.P. (1990). Children and creativity. Handouts. University of Georgia: National Association of School Psychologists.

Safaria, T . (2005)Creativity Quotient. Panduan mencetak anak super kreatif. Yogyakarta: Platinum.

Santrock, J . W. (1995). Life - Span Development. Terjemahan. Jakarta: Erlangga.

Selby, E.C., Shaw, E.J., dan Houtz, J.C. (2005). The creative personality. the gifted child quarterly. Academic Research Library. 49, 4 pp. 300-311.

Solso, R. L. (1988). Cognitive Psychology. Newton: Allyn and Bacon.

Suara Pembaruan Daily. (Edisi 13 Januari 2006). Mendidik Anak: Tak Cukup Hanya Mengenal Angka.

Suharnan. (1998). Pengaruh Pelatihan Imajeri Dan Penalaran Terhadap Kreativitas Menurut Perspektif Perbedaan Individu. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. (tidak

dipublikasikan).

Suparno, P. (2001). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.

Referensi

Dokumen terkait

1.2 Mengungkap- kan pengalaman musikal dari hasil pengamatan terhadap pertunjukan musik tradisional

Lebih banyak generasi millenial yang menyukai makan di tempat tradisional seperti di Warung Wajik Berastagi dari pada di Cafe karena makanan tradisional kaya akan

sedikit edukatif, objektif, akuntabel, dan transparan yang merupakan penilaian yang prosedur dan hasil penilaiannya dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan; b) harus

Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keungan Nomor 16, Aset tetap adalah sebagai aset berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dulu

[r]

Hal ini ditandai dengan kecemasan ringan sebanyak 21 responden (42%), penurunan kecemasan dikarenakan responden telah mengetahui tentang penyakit yang diderita oleh

Investasi pada produk unit link mengandung risiko, termasuk namun tidak terbatas pada risiko politik, risiko perubahan peraturan pemerintah atau perundang-undangan lainnya,

Dari hasil dendrogram dapat disimpulkan responden yang cenderung bersedia mengikuti program asuransi adalah mereka yang berusia di bawah 30 tahun dan bekerja