• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Keadilan Organisasional, Kepercayaan Pada Atasan Terhadap Perilaku Kewargaan Organisasi (Organizational Citizenship Behavior)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Keadilan Organisasional, Kepercayaan Pada Atasan Terhadap Perilaku Kewargaan Organisasi (Organizational Citizenship Behavior)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Latar Belakang Penelitian

Efektivitas dan kinerja tim dalam setiap organisasi ditentukan oleh kemampuan anggota tim bekerja dalam tim (work teams). Kenyataannya, tidak semua orang mampu bekerja dalam tim, karena memerlukan kemampuan individu untuk berkomunikasi secara terbuka dan jujur, bekerja sama dengan orang lain, membagi informasi, mengakui perbedaan dan mampu menyelesaikan konflik, serta dapat menekan tujuan pribadi demi tujuan tim. Kesulitan bekerja dalam tim terutama disebabkan kebiasaan yang sangat individualistik. Sehingga pegawai sudah terbiasa melaksanakan pekerjaannya secara sendiri-sendiri dan kurang peduli terhadap hubungan dengan sesama tim kerja. Padahal keberadaan tim kerja tidak hanya dilihat sebagai tuntutan organisasi agar pegawai mampu melaksanakan tugas mereka secara bersama-sama, akan tetapi tim kerja pada dasarnya merupakan kebutuhan organisasi guna mendukung kelancaran operasional instansi secara keseluruhan.

Kemampuan yang harus dimiliki individu yang bekerja di dalam tim kerja termasuk ke

dalam keterampilan interpersonal yang hanya dapat ditampilkan oleh individu yang peduli terhadap individu yang lain serta berusaha menampilkan yang terbaik bagi rekan kerja dan instansi tempat individu tersebut bekerja. Dengan kata lain individu tersebut menampilkan perilaku extra-role, yaitu perilaku dalam bekerja yang tidak terdapat pada deskripsi kerja formal pegawai tetapi sangat dihargai jika ditampilkan pegawai karena meningkatkan efektivitas dan kelangsungan hidup organisasi. Perilaku extra-role dalam organisasi juga dikenal dengan istilah organizational citizenship behavior (OCB), dan orang yang menampilkan perilaku OCB disebut sebagai pegawai yang baik (good citizen). Sehingga perilaku OCB dalam diri pegawai tidak hanya meningkatkan kelancaran kegiatan operasional instansi tempat pegawai tersebut bekerja, akan tetapi lebih penting lagi sangat menentukan keberhasilan instansi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Mengingat begitu pentingnya organizational citizenship behavior (OCB)

Pengaruh Keadilan Organisasional, Kepercayaan Pada Atasan Terhadap Perilaku

Kewargaan Organisasi (

Organizational Citizenship Behavior

)

Ratnawati, SE1, Khairul Amri, SE. M.Si2

1)

Fakultas Ekonomi Universitas Serambi Mekah

2)

Akademi Sekretari Manajemen (ASM) Nusantara Banda Aceh

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan terhadap perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior) dikalangan pegawai negeri sipil pada Kodam Iskandar Muda Banda Aceh. Responden penelitian sebanyak 75 orang pegawai instansi tersebut yang diambil secara proporsional sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan peralatan statistik regresi linier berganda. Penelitian menemukan bahwa keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan berpengaruh positif terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh. Hubungan antara OCB pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh dengan keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan termasuk katagori erat, ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,569. Selanjutnya sebesar 32,4 persen OCB dikalangan pegawai dipengaruhi oleh keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan. Sisanya sebesar 67,6 persen lagi dipengaruhi oleh variabel lain diluar variabel tersebut. Hasil pengujian statistik dengan menggunakan statistik uji F dan uji t mengindikasikan bahwa secara simultan dan secara parsial keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan berpengaruh signifikan terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh, sehingga hipotesis Ha diterima dan sebaliknya hipotesis Ho ditolak. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini organizational citizenship behavior (perilaku kewargaan organisasi) dikalangan PNS pada Kodam Iskandar Muda Banda Aceh terkait erat dengan keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan. Karena itu, sebaiknya pimpinan instansi tersebut dipandang perlu untuk meningkatkan keadilan organisasional dan kepercayaan pegawai pada atasan mereka.

(2)

dikalangan pegawai, maka setiap pimpinan instansi dipandang perlu untuk mengembangkan perilaku tersebut. Adanya upaya pimpinan untuk meningkatkan kesadaran dan rasa kebersamaan di antara sesama pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan perilaku OCB dikalangan pegawainya. Kemauan untuk membantu rekan kerja, sukarela melakukan kegiatan ekstra di tempat kerja, menghindari konflik dengan rekan kerja, melindungi properti organisasi, menghargai peraturan yang berlaku di organisasi, toleransi pada situasi yang kurang ideal/menyenangkan di tempat kerja, memberi saran-saran yang membangun di tempat kerja, serta tidak membuang-buang waktu di tempat kerja merupakan contoh perilaku OCB dikalangan pegawai.

Kodam Iskandar Muda Aceh sebagai salah satu intitusi memegang peranan yang sangat penting dalam mendukung program pertahanan dan keamanan. Keberadaan institusi tersebut tidak hanya dilihat sebagai bagian dari intitusi pemerintah, akan tetapi bagian dari kebutuhan masyarakat di Provinsi Aceh. Untuk mendukung kegiatan operasionalnya instansi tersebut memiliki 463 orang pegawai yang teralokasi pada 22 satuan kerja, meliputi Staf Kodam IM, Denmadam IM, Setumdam IM, Pendam IM, Bintaldam IM, Infolahtadam IM, jasdam IM, Sandidam IM, Puskodaldam IM, Zidam IM, Hubdam IM, Paldam IM, Bekangdam IM, Pomdam IM, Ajendam IM, KesdamIM, Kudam

IM, Kumdam IM, Topdam IM,

Babinminvetcaddam IM, Rindam IM, dan Deninteldam IM.

Dalam mendukung kelancaran operasional pegawai yang bekerja dilingkungan Kodam Iskandar Muda Aceh dituntut untuk mampu bekerja sama secara baik. Pimpinan tertinggi yang dalam hal ini Pangdam Iskandar Muda juga sudah berupaya untuk mengembangkan perilaku OCB bagi seluruh pegawai yaitu sikap membantu yang ditunjukkan oleh seluruh pegawai yang sifatnya konstruktif. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua pegawai instansi tersebut memiliki sikap saling membantu. Indikasi lain dari rendahnya perilaku OCB di kalangan sebagian kecil pegawai wujud melalui sikap rendahnya toleransi pada situasi yang kurang ideal/menyenangkan di tempat kerja serta kurangnya keinginan untuk memberikan saran-saran yang sifatnya konstruktif di tempat kerja dan lain sebagainya.

Secara teoritis, perilaku OCB dikalangan pegawai dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya faktor yang berhubungan dengan keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan. Keadilan organisasional adalah suatu perasaan yang ada dalam diri manusia, yang menghendaki agar diperlakukan dengan adil di dalam lingkungan organisasi tempat ia bekerja. Pegawai yang merasakan adanya keadilan organisasional pada instansi tempat ia bekerja, biasanya akan senang berada dalam lingkungan organisasi tersebut. Mereka memiliki anggapan bahwa keberadaan mereka diperlakukan sama dengan pegawai lainnya baik dalam hal keadilan distributif (seperti penggajian, bonus, insentif dan lain sebagainya) maupun dalam hal keadilan prosedural seperti adanya peraturan yang sama bagi seluruh pegawai. Pada akhirnya penilaian yang baik terhadap keadilan organisasional akan mendukung munculnya perilaku kepedulian terhadap organisasi. Pegawai merasa menjadi bagian dari organisasi dan mau bekorban untuk pencapaian tujuan organisai serta berperilaku baik dengan sesama rekan kerja.

Sedangkan kepercayaan pada atasan berkaitan dengan sikap tidak ragu-ragu dari seseorang pegawai (bawahan) kepada atasannya atas kebijakan yang dilakukan atasan tersebut. Pegawai yang memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap atasannya akan cenderung menunjukkan perilaku konstruktif dalam bekerja. Mereka mau mendengarkan semua arahan atasan, saling membantu dalam melaksanakan pekerjaan, dan menganggap atasan sebagai panutan bagi mereka dalam melaksanakan pekerjaan. Pada akhirnya kepercayaan terhadap atasan mendorong timbulnya perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior) dikalangan pegawai.

(3)

rekan kerja, kurang toleransi terhadap situasi yang kurang menyenangkan ditempat kerja, dan kurang menghargai peraturan yang berlaku dalam perusahaan tersebut. Secara konkrit indikasi tersebut dapat terlihat dari adanya pegawai yang tidak mampu bekerja dalam tim kerja. Pegawai ini lebih senang melaksanakan pekerjaan secara individual, sehingga ketika dihadapkan pada bidang pekerjaan yang membutuhkan kerja sama tim, pegawai tersebut kelihatan tidak produktif. Bahkan pegawai tersebut juga kurang menghargai pendapat pegawai lain dalam tim kerjanya.

Indikasi lainnya dari rendahnya OCB dikalangan pegawai juga terlihat dari adanya di antara pegawai yang kurang patuh dengan perintah atasan. Pegawai ini cenderung lebih mementingkan penyelesaian pekerjaannya sendiri, kendatipun menurut arahan atasan penyelesaian pekerjaan tersebut harus dilakukan secara bersamaan karena terkait dengan bidang pekerjaan lain. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa organizational citizenship behavior (OCB) dapat dipengaruhi oleh keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan terhadap perilaku kewaraan organisasi (organizational citizenship behavior) dikalangan pegawai negeri sipil pada Kodam Iskandar Muda Banda Aceh.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Organizational Citizenship Behavior (OCB) Perilaku kewargaan organisasional (organizational citizenship behavior) merupakan perilaku yang tidak secara langsung atau tidak secara eksplisit berada dalam sistem formal dan dalam pemberian penghargaan organisasi. Perilaku tersebut terkait dengan dua variabel yaitu dirinya sendiri (person) dan situasi (situation), atau sering disebut dengan faktor diposisional dan situasional (Barnard dan Russel, dalam Mahdi 2008:151). Sedangkan Huang dan Yang (2004:127) menyatakan bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi perilaku

karyawan. OCB didefinisikan “sebagai perilaku

yang menguntungkan organisasi atau berniat menguntungkan organisasi yang secara langsung

mengarah pada peran pengharapan”.

Selanjutnya Porter yang dikutip oleh Purba dan Nina (2004:108) menyatakan bahwa Organizational Citizenship Behavior (OCB) juga dapat didefinisikan sebagai sikap membantu yang ditunjukkan oleh anggota organisasi, yang sifatnya konstruktif, dihargai oleh perusahaan tapi

tidak secara langsung berhubungan dengan

produktivitas individu”. Organizational

Citizenship Behavior (OCB) merupakan bentuk perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward formal organisasi tetapi secara agregat meningkatkan efektivitas organisasi. Ini berarti, perilaku tersebut tidak termasuk ke dalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberikan hukuman. Berkaitan dengan teori di atas Organizational Citizenship Behavior (OCB) juga merupakan kontribusi individu dalam melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan kemudian diberi imbalan berdasarkan perolehan kinerja tugas. OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong orang lain, menjadi sukarelawan untuk tugas-tugas ekstra, dan patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur ditempat kerja. Perilaku-perilaku ini

menggambarkan ”nilai tambah karyawan” yang

merupakan salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku sosial yang aktif, konstruktif dan bermakna membantu.

Robbins (2001:123) menyatakan contoh perilaku yang termasuk kelompok OCB adalah membantu rekan kerja, sukarela melakukan kegiatan ekstra di tempat kerja, menghindari konflik dengan rekan kerja, melindungi properti organisasi, menghargai peraturan yang berlaku di organisasi, toleransi pada situasi yang kurang ideal/menyenangkan di tempat kerja, memberi saran-saran yang membangun di tempat kerja, serta tidak membuang-buang waktu di tempat kerja.

Semua contoh perilaku yang disebutkan di atas, hanya dapat ditampilkan oleh individu yang peduli terhadap individu yang lain dan berusaha menampilkan yang terbaik jauh melebihi yang diprasyaratkan dalam pekerjaannya. Dengan kata lain individu tersebut menampilkan perilaku extra-role. Perilaku extra-role adalah perilaku dalam bekerja yang tidak terdapat pada deskripsi kerja formal karyawan tetapi sangat dihargai jika ditampilkan karyawan karena meningkatkan efektivitas dan kelangsungan hidup organisasi. Perilaku extra-role dalam organisasi juga dikenal dengan istilah organizational citizenship behavior (OCB), dan orang yang menampilkan perilaku OCB disebut sebagai karyawan yang baik (good citizen) (Purba dan Nina, 2004:109).

(4)

yang sifatnya sukarela (bukan merupakan tindakan yang terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan organisasi), wujud dari kepuasan berdasarkan kinerja (tidak diperintahkan secara formal), dan tidak berkaitan secara langsung dengan sistem imbalan yang formal.

Gonzalez dan Garazo yang dikutip oleh Gunara dkk (2009:27) menyatakan, dimensi OCB terdiri dari:

1) Altruisme yaitu perilaku membantu rekan kerja dalam menyelesaikan pekerjaannya, misalnya bersedia secara sukarela membantu rekan kerja yang kurang paham dan kerja kerja baru, membantu rekan kerja yang mendapatkan pekerjaan overload, mengerjakan pekerjaan rekan kerja yang tidak masuk kerja.

2) Courtesy, yaitu perilaku untuk mencegah terjadinya masalah yang berkaitan dengan hubungan pekerjaan, misalnya mendorong rekan kerja yang bekerja malas-malasan agar bekerja lebih rajin.

3) Sportmanship, yaitu perilaku menerima kondisi atau keadaan yang tidak menyenangkan dan kurang ideal, misalnya tidak suka mengeluh secara picik, tidak suka melalaikan realitas.

4) Civic virtue yaitu perilaku tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan perusahaan, misalnya menghadiri pertemuan yang tidak diperlukan bagi dirinya tetapi bermanfaat bagi perusahaan, bersedia mengikuti atau mentaati perubahan-perubahan yang terjadi dalam perusahaan, memiliki inisiatif untuk meningkatkan produktivitas perusahaan.

5) Conscientiousness atau generalized compliance yaitu dedikasi untuk bekerja dan mencapai hasil di atas standar yang ditetapkan, misalnya bekerja sepanjang hari, tidak membuang-buang waktu, mentaati semua peraturan perusahaan, secara sukarela bersedia melakukan pekerjaan yang tidak menjadi tanggung jawabnya.

Kelima dimensi OCB tersebut juga dapat dikatakan sebagai bentuk dari OCB. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Luthans (2005:212) bahwa OCB dapat memiliki banyak bentuk, tetapi utamanya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Altruisme, misalnya: membantu saat rekan kerja tidak sehat, (2) kesungguhan, misalnya: lembur untuk menyelesaikan kejeraan, (3) kepentingan umum, misalnya: rela mewakili perusahaan untuk program bersama, (4) sikap sportif, misalnya: ikut menanggung kegagalan pekerjaan kelompok/tim

yang mungkin akan berhasil dengan mengikuti nasehat sesama rekan kerja, (5) sopan, misalnya memahami dan berempati waktupun saat dikritik.

Hampir sama dengan pendapat di atas, Organ yang dikutip oleh Purba dan Nina (2004:110), Organizational Citizenship Behavior (OCB) terdiri dari lima dimensi:

1) Altruism, yaitu perilaku membantu meringankan pekerjaan yang ditujukan kepada individu dalam suatu organisasi. 2) Courtesy, yaitu membantu teman kerja,

mencegah timbulnya masalah sehubungan dengan pekerjannya dengan cara memberi konsultasi dan informasi serta menghargai kebutuhan mereka,

3) Sportsmanship, yaitu toleransi pada situasi yang kurang ideal di tempat kerja tanpa mengeluh,

4) Civic virtue, yaitu terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi dan peduli pada kelangsungan hidup organisasi,

5) Conscientiousness, yaitu melakukan hal-hal yang menguntungkan organisasi seperti mematuhi peraturan-peraturan di organisasi.

Dimensi altruism merupakan perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada tugas-tugas yang berkaitan erat dengan operasi organisasional. Hal ini meliputi: perilaku membantu orang tertentu menggantikan rekan kerja yang tidak masuk atau istirahat, membantu orang lain yang pekerjannya overload, membantu proses orientasi karyawan baru meskipun tidak diminta, membantu mengerjakan tugas orang lain pada saat mereka tidak masuk, meluangkan waktu untuk membantu orang lain berkaitan dengan permasalahan-permasalahan pekerjaan, menjadi sukarelawan untuk mengerjakan sesuatu tanpa diminta, membantu orang lain di luar departemen ketika mereka memiliki permasalahan, sehingga membantu pelanggan dan para tamu jika mereka membutuhkan bantuan.

Dimensi courtesy merupakan perilaku meringankan masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang dihadapi orang lain. Termasuk di dalamnya adalah perilaku membantu rekan kerja untuk mencegah terjadinya masalah yang berkaitan dalam konteks pekerjaan, atau pun mencegah berkembangnya masalah yang diakibatkan oleh konteks pekerjaan tersebut.

(5)

sesuatu, serta tidak membesar-besarkan pemasalahan di luar proporsinya. Dimensi civic virtue menunjukkan partisipasi rukarela dan dukungan terhadap fungsi-fungsi organisasi baik secara profesional maupun sosial alamiah. Secara umum hal ini berarti keterlibatan seseorang dalam fungsi-fungsi organisasi, memberikan perhatian terhadap fungsi-fungsi yang membantu meningkatkan citra organisasi, memberikan perhatian terhadap pertemuan-pertemuan yang dianggap penting, serta membantu mengatur kebersamaan secara departemental.

Selanjutnya dimensi conscientiousness berisi tentang kinerja dari prasyarat peran yang melebihi standar minimum, yang dalam hal ini meliputi perilaku yang melebihi prasyarat minimum seperti: kehadiran, kepatuhan terhadap aturan, tiba lebih awal sehingga siap bekerja pada saat jadwal kerja dimulai, tepat waktu setiap hari tidak peduli pada musim atau pun lalu lintas, berbicara seperlunya dalam percakapan di telepon, tidak menghabiskan waktu untuk pembicaraan di luar pekerjaan, datang segera jika dibutuhkan, serta tidak mengambil kelebihan waktu meskipun memiliki waktu ekstra.

Mahdi (2008:152) mengemukakan, secara terperinci pengukuran OCB dapat dilakukan dengan menggunakan 7 (tujuh) item indikator/pernyataan sebagai berikut:

1) Suka membantu rekan kerja yang meminta pertolongan dengan senang hati.

2) Selalu berhati-hati dalam melaksanakan tugas, dan mau berjuang untuk melindungi reputasi instansi.

3) Siap melakukan tugas yang belum terselesaikan dengan lembur.

4) Suka bertindak spotif

5) Biaya menahan diri terhadap perilaku yang tidak disukai orang lain.

6) Menghormati rekan kerja atau siapa saja yang ada dalam lingkungan kerja.

7) Sering berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh instansi dan menyukai kegiatan tersebut.

Keadilan Organisasional

Pareke (2004:52) menyatakan, persepsi tentang aspek-aspek keadilan dalam kehidupan organisasi merupakan bentuk reaksi pegawai yang berhubungan dengan penilaian tentang kewajaran dan kelayakan yang terdapat dalam kehidupan berorganisasi. Persepsi pegawai tentang kewajaran dan kelayakan dalam kehidupan berorganisasi dikonseptualisasikan ke dalam berbagai dimensi yang paling terkenal adalah keadilan prosedural dan keadilan distributif.

Keadilan organisasional juga dapat diartikan sebagai suatu perasaan yang ada dalam diri manusia, yang menghendaki agar diperlakukan dengan adil di dalam lingkungan organisasi tempat ia bekerja. Konsep ini perlu selalu dikaitkan dengan organisasi, karena

organisasi merupakan “rumah kedua” setelah

orang berada dalam rumahnya sendiri. Artinya, sebagian waktu kehidupannya dihabiskan untuk kepentingan rumah kedua tersebut yang dalam hal ini adalah bekerja. Menurut Greenberg yang dikutip oleh Mahdi (2008:155), keadilan organisasional adalah pandangan anggota organisasi terhadap keadilan dalam pendistribusian sumber daya yang ada. Selanjutnya dia menyatakan keadilan organisasional tidak hanya diwujudkan dengan distribusi outcome yang adil (keadilan distributif), tetapi juga keadilan dalam proses yang digunakan untuk mencapai outcome (keadilan prosedural). Sedangkan menurut Folger & Konovsky yang dikutip oleh Mahdi (2008:156), keadilan organisasional merupakan persepsi individu terhadap adil atau tidaknya perlakuan yang diterima dalam organisasi.

Beugre yang dikutip oleh Mahdi (2008:159) mengidentifikasi keadilan organisasional dalam 3 (tiga) dimensi keadilan yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural dan keadilan interaksional.

1. Keadilan Distributif

(6)

atau tidak. Secara umum pegawai menilaih bahwa sistem penggajian itu adil bila mereka menerima gaji yang besarnya sama dengan pekerjaan yang telah mereka lakukan. Jadi keadilan distributif tersebut dilihat dari konteks equality (persamaan), atau pengambilan keputusan berdasarkan manfaat/jasa (Schuler dan Jackson, 2002: 82).

Keadilan sosial meneliti persepsi mengenai keputusan organisasional. Metode yang digunakan untuk menelitinya dan meneliti sikap dari mereka yang dipengaruhi melalui tiga teori yang diungkapkan oleh Folger dan Cropanzano (Thornhill dan Saunders, 2004:75). Teori pertama berhubungan dengan persepsi pekerja mengenai hasil disebut keadilan distributif. Teori kedua yaitu keadilan prosedural yang berfokus persepsi pekerja tentang keadilan prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan. Dan teori ketiga adalah keadilan interaksional yang menekankan pada persepsi tentang keadilan perlakuan interpersonal yang diterima pekerja.

Keadilan organisasional digunakan untuk mengkategorikan dan menjelaskan pandangan dan perasaan pekerja tentang sikap mereka sendiri dan orang lain dalam organisasi, dan hal itu dihubungkan dengan pemahaman mereka dalam menyatukan persepsi secara subyektif yang dihasilkan dari hasil keputusan yang diambil organisasi, prosedur dan proses yang digunakan untuk menuju pada keputusan-keputusan ini serta implementasinya. Keadilan distribusi telah berkembang untuk mengembangkan teori dalam hubungan tiap tiap aspek dan persepsi pekerja mengenai hasil keputusan yang diambil oleh organisasi dan tanggapan mereka pada bentuk dasar keadilan distribusi ini (Thornhill dan Saunders, 2004:76).

Persepsi keadilan distributif merupakan perbandingan dengan yang lain. Akibatnya, persepsi tentang keadilan hasil tidak hanya akan berhubungan dengan ukuran absolut, tetapi juga akan berdasar pada satu ukuran atau lebih, yaitu perbandingan sosial. Hasil tersebut berkenaan dengan perbandingan atau standar dan pengaruh kekuatan perasaan maupun penilaian adil atau tidaknya hasil yang didapat (Sabbagh, 2003:265).

Untuk meneliti persepsi keadilan dalam proses pemberdayaan manusia membutuhkan pemahaman mengenai teori keadilan organisasional. Perlakukan yang adil telah diidentifikasilkan sebagai suatu komponen penting dalam meningkatkan komitmen pekerja (Harris, 2002:57). Folger dan Cropanzano dalam Harris (2002:58) mengamati bahwa sikap adil

berkembang “untuk membantu meningkatkan

perilaku anggota organisasi untuk bekerja

melebihi kewajiban kerja formalnya”. Keadilan

distributif merupakan suatu anggapan mengenai keadilan hasil oleh organisasi dalam hubungannya dengan individu atau input kelompok, dan keadilan ini didominasi oleh teori kesamaan (Adams dalam Thornhill dan Saunders, 2003:78), khususnya dalam hal bagaimana individu mengevaluasi dan bereaksi terhadap perlakuan yang berbeda.

Untuk mengukur keadilan distributif digunakan distributive justice index yang terdiri dari 5 (lima) butir pernyataan yang dikembangkan oleh Mueler seperti dikutip oleh Mahdi (2008:153) dengan skala Likert lima tingkatan, dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) seperti berikut.

1) Instansi tempat bekerja memberikan penghargaan yang adil berdasarkan pertimbangan besarnya tanggung jawab yang dilaksanakan oleh pegawai.

2) Instansi tempat bekerja memberikan penghargaan yang adil berdasarkan pertimbangan pengalaman yang dimiliki pegawai.

3) Instansi tempat bekerja memberikan penghargaan yang adil atas besarnya usaha yang dilakukan pegawai untuk instansi. 4) Instansi tempat bekreja memberikan

penghargaan yang adil atas pekerjaan yang dilakukan pegawai dengan baik.

5) Instansi tempat bekerja memberikan penghargaan yang adil terhadap tingkat tekanan dan ketegangan mental yang dihadapi pegawai dalam menjalankan tugas.

Dalam penelitian ini, pengukuran keadilan distributif mengacu pada lima item pernyataan tersebut. Sehingga indikator variabel yang dijadikan dasar pengembangan kuesioner penelitian berkaitan dengan penilaian pegawai terhadap kesesuaian antara penghargaan/imbalan yang mereka peroleh di satu sisi dengan besarnya tanggung jawab yang diberikan instansi, pengalaman kerja mereka, usaha yang mereka lakukan, keberhasilan dalam menjalankan pekerjaan secara baik dan ketegangan mental yang mereka hadapi dalam bekerja di sisi lain.

2. Keadilan Prosedural

(7)

relasional atau komponen struktural. Perspektif kontrol instrumental atau proses berpendapat bahwa prosedur-prosedur yang digunakan oleh organisasi akan dipersepsikan lebih adil manakala individu yang terpengaruh oleh suatu keputusan memiliki kesempatan-kesempatan untuk mempengaruhi proses-proses penetapan keputusan atau menawarkan masukan (Taylor dalam Pareke, 2003:56).

Mahdi (2008:161) menyatakan, keadilan prosedural adalah persepsi dari para pekerja di suatu organisasi yang menganggap bahwa penghargaan atau fasilitas yang diterimanya pada organisasi tersebut melalui aturan-aturan yang benar, misalnya untuk memperoleh hak cuti perlu mengajukan izin lebih dahulu seminggu sebelumnya agar dapat diatur penggantinya selama cuti dan sebagainya. Schuler dan Jackson (2002: 82) menguatkan bahwa pandangan mengenai keadilan tidak terletak pada hasil akhir saja. Keyakinan mengenai keseluruhan proses yang digunakan untuk menentukan hasil akhir juga mempengaruhi pandangan itu. Istilah keadilan prosedural mengacu pada keadilan dan keterbukaan dalam proses menentukan hasil akhir. Tyler yang dikutip oleh Mahdi (2008:159) menyatakan, orang mempunyai persepsi keadilan prosedural yang tinggi ketika mereka percaya bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, dan dapat memastikan bahwa para atasan berlaku netral dan tidak bias. Sedangkan menurut Folger dan Konovsky (2002:130) keadilan prosedural merupakan keadilan yang dirasakan individu pada proses penentuan outcome yang diterimanya.

Gilliland dalam Pareke (2003:37) menyatakan bahwa perspektif komponen komponen struktural mengatakan bahwa keadilan prosedural merupakan suatu fungsi dari sejauh mana sejumlah aturan-aturan prosedural dipatuhi atau dilanggar. Aturan-aturan tersebut memiliki implikasi yang sangat penting karena dipandang sebagai manifestasi nilai-nilai proses dasar dalam organisasi. Jadi individu dalam organisasi akan mempersepsikan adanya keadilan prosedural manakala aturan prosedural yang ada dalam organisasi dipenuhi oleh para pengambil kebijakan. Sebaliknya apabila prosedur dalam organisasi itu dilanggar maka individu akan mempersepsikan adanya ketidak-adilan. Karenanya keputusan harus dibuat secara konsisten tanpa adanya bias-bias pribadi dengan melibatkan sebanyak mungkin informasi yang akurat, dengan kepentingan-kepentingan individu yang terpengaruh terwakili dengan cara-cara yang

sesuai dengan nilai-nilai etis mereka, dan dengan suatu hasil yang dapat dimodifikasi.

Keadilan prosedural juga dapat diartikan sebagai persepsi mengenai kebijakan serta prosedur yang dipakai organisasi untuk membuat keputusan telah sesuai dengan yang semestinya. Pegawai memiliki kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan berkaitan dengan pekerjaan mereka. Variabel keadilan prosedural dapat diukur dengan 7 (tujuh) item pernyataan yang dikembangkan oleh Leventhal yang dikutip oleh Mahdi (2008:157) dengan indikatornya sebagai berikut.

1) Instansi tempat bekerja telah membuat prosedur formal yang memungkinkan untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan secara akurat. 2) Instansi tempat bekerja telah membuat

prosedur formal yang membuat pegawai merasa tertarik dan tertantang dalam partisipasi pembuatan keputusan.

3) Instansi tempat bekerja telah membuat prosedur formal sehingga segala sisi yang terkait dalam pengambilan keputusan terwakili.

4) Instansi tempat bekerja telah membuat prosedur standar umum yang formal, sehingga hasil keputusan konsisten dengan pedoman tersebut.

5) Instansi tempat bekerja telah mengembangkan prosedur yang diciptakan untuk mendengar kepentingan seluruh pihak yang terpengaruh oleh pengambilan suatu keputusan.

6) Instansi tempat bekerja telah mendesain prosedur untuk menyediakan umpan balik yang berguna berkaitan dengan pengambilan keputusan dan implementasinya.

7) Instansi tempat bekerja telah menciptakan prosedur yang memungkinkan klarifikasi atau informasi tambahan mengenai suatu pengambilan keputusan.

Dalam penelitian ini, pengukuran variabel keadilan prosedural mengacu pada indikator-indikator yang dijelaskan di atas, dan selanjutnya dijabarkan dalam bentuk item pernyataan positif pada kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data.

3. Keadilan Interaksional

(8)

Bies et all yang dikutip oleh Mahdi (2008:161) menyatakan, orang menaruh perhatian pada perlakukan interpersonal yang mereka terima dari pembuat keputusan dan perlakuan dari atau interaksi dengan rekan sekerjanya. Menurut Greenberg (2006:403) keadilan prosedural terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi prosedural formal dan dimensi keadilan interaksional. Prosedur formal mengarah pada sistem birokratik yang dipakai dalam membuat keputusan, sedangkan keadilan interaksional merupakan keadilan yang dirasakan dalam konteks kualitas dan sisi dari interaksi seseorang terhadap orang lain. Persepsi keadilan interaksional menekankan karyawan dijamin/dihargai martabatnya, perasaannya dan dihormati serta apakah keputusan pimpinan dikomunikasikan dan dijelaskan dengan tepat (Greenberg, 2006:404).

Keadilan interaksional dapat didefinisikan sebagai persepsi tentang kualitas perlakuan antar pribadi di antara para individu yang dirasakan pegawai sewaktu bekerja dengan atasan. Beugre (2008:109) menyatakan, keadilan organisasional juga dapat berarti kualitas perlakukan interpersonal yang diterima pekerja selama pengimlementasian prosedur tertentu oleh pihak yang berwenang. Pengukuran variabel keadilan interaksional memakai lima butir item pernyataan yang dikembangkan oleh Moorman yang dikutip oleh Mahdi (2008:162) seperti berikut.

1) Atasan mempertimbangkan pemikiran yang diajukan oleh pegawai.

2) Atasan mampu mengatasi bias personalia ketika menjalankan tugasnya.

3) Atasan memperlakukan pegawai dengan ramah tamah dan penuh perhatian.

4) Atasan menunjukkan perhatiannya terhadap hak-hak pegawai

5) Atasan menempuh cara-cara yang jujur ketika berdiskusi dengan pegawai.

Dalam penelitian ini, pengukuran variabel keadilan interaksional mengacu pada indikator- indikator di atas yang seterusnya dijabarkan dalam kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data.

Kepercayaan

Costabile yang dikutip oleh Ferrinadewi dan Djati (2004:21) mendefinisikan kepercayaan (trust) sebagai persepsi terhadap kehandalan dari sudut pandang pelanggan didasarkan pada pengalaman, atau mengarah pada tahapan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan kinerja produk dan tercapainya kepuasan. Sedangkan Yousafzai et al., (2003:849) menyatakan, trust merupakan

pondasi dari bisnis. Suatu transaksi bisnis antara dua pihak atau lebih akan terjadi apabila masing-masing saling mempercayai. Kepercayaan (trust) ini tidak begitu saja dapat diakui oleh pihak lain/mitra bisnis, melainkan harus dibangun mulai dari awal dan dapat dibuktikan. Trust telah dipertimbangkan sebagai katalis dalam berbagai transaksi antara penjual dan pembeli agar kepuasan konsumen dapat terwujud sesuai dengan yang diharapkan.

Selanjutnya Yousafzai et al. (2003:851) menyatakan, setidaknya terdapat enam definisi mengenai kepercayaan (trust) sebagai berikut: 1) Trust adalah keyakinan bahwa kata atau janji

seseorang dapat dipercaya dan seseorang akan memenuhi kewajibannya dalam sebuah hubungan pertukaran.

2) Trust akan terjadi apabila seseorang memiliki kepercayaan diri dalam sebuah pertukaran dengan mitra yang memiliki integritas dan dapat dipercaya.

3) Trust adalah kemauan seseorang untuk peka terhadap tindakan orang lain berdasarkan pada harapan bahwa orang lain akan melakukan tindakan tertentu pada orang yang mempercayainya, tanpa tergantung pada kemampuannya untuk mengawasi dan mengendalikannya.

4) Trust adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perhatian atau perilaku yang baik dari orang lain.

5) Trust adalah kemauan untuk membuat dirinya peka pada tindakan yang diambil oleh orang yang dipercayainya berdasarkan pada rasa kepercayaan dan tanggung jawab. 6) Trust adalah penilaian hubungan seseorang

dengan orang lain yang akan melakukan transaksi tertentu menurut harapan orang kepercayaannya dalam suatu lingkungan yang penuh ketidakpastian.

Baloglu yang dikutip oleh Susan (2005:112) menyatakan, kepercayaan sebagai keyakinan seseorang terhadap reliabilitas dan integritas. Kepercayaan didefinisikan sebagai dimensi hubungan bisnis yang menentukan tingkat dimana orang merasa dapat bergantung pada integritas janji yang ditawarkan oleh orang lain. Hal ini secara mendasar merupakan keyakinan bahwa seseorang akan memberikan apa yang dijanjikan.

(9)

pertimbangan. Kepercayaan terkait dengan rasa percaya atau tidak percaya dalam diri seseorang terhadap apa yang ditawarkan oleh orang lain, karena itu kepercayaan juga berhubungan dengan perasaan yakin atau tidak yakin yang dimiliki oleh seseorang terhadap apa yang dijanjikan oleh orang lain.

Kepercayaan dalam organisasi berhubungan dengan apa yang menurut organisasi dianggap benar dan dianggap tidak benar. Kepercayaan melukiskan karakteristik normal organisasi atau kode etik organisasi (Wirawan, 2007:52-53). Asal usul kepercayaan dapat dicari dari pola pikir atau kepercayaan pendiri dan para pemimpin organisasi. Dapat juga merupakan kesepakatan anggota organisasi yang diformulasikan melalui pertemuan formal (misalnya rapat atau kongres). Kepercayaan dapat formal (tertulis) dan dapat tidak formal (tidak tertulis). Pernyataan kepercayaan organisasi memberikan dasar nilai proses perencanaan dan evaluasi pelaksanaan rencana organisasi. Kepercayaan dan nilai-nilai organisasi dapat digunakan sebagai landasan untuk strategi organisasi.

Lebih lanjut Wirawan (2007:115) menyatakan, walaupun sering tidak dinyatakan kepercayaan merefleksikan pemahaman anggota organisasi mengenai cara organisasi bekerja dan kemungkinan konsekuensi tindakan yang mereka lakukan. Misalnya, di suatu organisasi anggota menghargai ide produk baru berdasarkan kepercayaan bahwa inovasi merupakan cara untuk mencapai kemajuan. Di sejumlah organisasi lainnya, anggota menganggap bahwa analisis kuantitatif berdasarkan kepercayaan mampu mengontrol risiko dan merupakan cara untuk mencapai kemajuan. Kepercayaan-kepercayaan ini jarang berdasarkan suatu pernyataan nilai-nilai; lebih sering kepercayaan tersebut berdasarkan pengakuan terhadap pola jalur karier yang diambil oleh para eksekutif yang sukses atau yang gagal dalam waktu yang lama.

Kepercayaan Terhadap Atasan

Mahdi (2008:160) menyatakan, kepercayaan terhadap atasan adalah sikap tidak ragu-ragu dari seseorang karyawan kepada atasannya atas kebijakan yang dilakukan atasan tersebut. atasan membangun kontak-kontak hubungan dengan karyawan dan memenuhi persepsi mereka tentang kewajiban organisasi. Kontak tersebut sedemikian seringnya sehingga terjalin kepercayaan yang kuat dari bawahan mereka.

Pengukuran kepercayaan terhadap atasan dalam hal ini memakai7item pertanyaan dalam 5 opsi skala Likert yang dikembangkan oleh Robinson (2006 :154) yang diidentifikasi dari Gabrro dan Athos dengan indikatornya sebagai berikut:

1) Rasa percaya bahwa atasan mempunyai integritas yang tinggi.

2) Atasan memberlakukan pegawai secara konsisten dan tidak akan membohongi pegawai.

3) Atasan selalu jujur dan benar.

4) Secara umum pegawai percaya atasan memotivasi mereka dan memberikan perhatian yang baik.

5) Pegawai tak terpikir atasan mereka memperlakukan mereka secara tidak wajar. 6) Atasan selalu bersifat terbuka dan akrab

sekali dengan pegawai.

7) Pegawai yakin, bahwa mereka sepenuhnya dapat percaya pada atasan.

Dalam penelitian ini, pengukuran variabel kepercayaan pada atasan mengacu pada 7 (tujuh) indikator tersebut yang kemudian dijabarkan dalam item pernyataan kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data.

Keterkaitan Keadilan Organisasional dan Kepercayaan pada Atasan Dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Banyak penelitian dilakukan untuk menjelaskan pentingnya pengaruh alokasi atau pendistribusian sumber daya dalam organisasi perusahaan. Lawler yang dikutip oleh Handi dan Fendy (2007:102) menyatakan, menyatakan bahwa pendistribusian imbalan perusahaan seperti gaji, promosi, jabatan, evaluasi kinerja dan masa jabatan kerja memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior) dikalangan pegawai. Folger dan Konovsky (2002:130) menyatakan bahwa bahwa persepsi terhadap keadilan distributif sebagai salah satu jenis keadilan organisasional berhubungan secara signifikan dengan perilaku kewargaan organisasi.

(10)

pendapat di atas jelaslah bahwa keadilan organisasional dapat berpengaruh pada perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior) dikalangan pegawai.

Keterkaitan antara kepercayaan pada atasan dengan perilaku kewargaan organisasional (organizational citizenship behavior) dijelaskan oleh Mahdi (2008:162) bahwa kepercayaan terhadap organisasi adalah suatu perasaan yang ada pada diri manusia, berkaitan dengan tanggapannya atau keyakinannya tentang segala hal menyangkut berbagai fasilitas yang diperolehnya dari organisasi di mana seseorang itu bekerja mencari nafkah. Kepercayaan pada atasan dapat mendorong munculnya perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior) dikalangan pegawai.

Hasil Penelitian Sebelumnya

Mahdi (2008) mengadakan penelitian dengan judul Keterkaitan antara Keadilan Organisasional, Kepercayaan Terhadap Atasan dan Perilaku Kewargaan Organisasi: Studi Kasus pada Pengelola Program Studi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Daerah Surakarta. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa persepsi terhadap keadilan distributif mempunyai pengaruh lebih kuat pada kepercayaan terhadap organisasi dibandingkan dengan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Namun tidak ada ketergantungan antara kedua variabel yaitu keadilan distributif dengan kepercayaan terhadap organisasi tersebut. Persepsi keadilan prosedural mempunyai pengaruh lebih kuat pada kepercayaan terhadap organisasi dibandingkan dengan PTN. Namun di antara kedua variabel tersebut yaitu keadilan prosedural dengan kepercayaan terhadap organisasi tidak ada ketergantungan. Persepsi keadilan interaksional berpengaruh positif terhadap kepercayaan terhadap atasan pada PTN dan PTS. Artinya terdapat hubungan linier antara kedua variabel tersebut.

Wijayanto dan Gugup (2004) mengadakan penelitian yang berjudul The Effect of Job Embeddedness on Organizational Citizenship Behavior: The Mediating Role of Sense of Responsibility. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa masing-masing dimensi Job Embeddedness memiliki hubungan yang erat dengan rasa tanggung jawab, dan rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan berhubungan erat dengan perilaku Organizational Citizenship Behavior di kalangan karyawan.

Dana dan Hasanbasri (2007) mengadakan penelitian dengan judul Hubungan Kepuasan

Kerja dan Komitmen Organisasi Dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) di Politeknik Kesehatan Banjarmasin. Penelitian tersebut menyimpulkan sebagai berikut : (1) Terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan organizational citizenship behavior dengan sumbangan efektif sebesar 16,5%, (2) Terdapat hubungan positif dan signifikan antara komitmen organisasi dengan organizational citizenship behavior dengan sumbangan efektif sebesar 8,3%, (3) Terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan Organizational Citizenship Behavior dengan sumbangan efektif sebesar 19,4%.

Kerangka Penelitian dan Pengembangan Hipotesis

Sesuai dengan tujuan penelitian, dapat dipahami bahwa perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior) merupakan fungsi dari keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan, sehingga kerangka penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1 Kerangka Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian, tinjauan kepustakaan dan hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

H1 : Keadilan organisasional berpengaruh positif terhadap perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior) dikalangan pegawai negeri sipil pada Kodam Iskandar Muda Banda Aceh.

H2 : Kepercayaan pada atasan berpengaruh positif terhadap perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior) dikalangan pegawai negeri sipil pada Kodam Iskandar Muda Banda Aceh.

Keadilan Organisasional

Kepercayaan pada Atasan

Perilaku Kewargaan

(11)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada Kodam Iskandar Muda Aceh. Pegawai yang dimaksudkan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh. Sedangkan pegawai dengan status non PNS tidak dimasukkan sebagai sampel penelitian.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai yang berkerja pada Kodam Iskandar Muda Aceh yang berjumlah 463 orang teralokasi pada 22 satuan kerja. Keseluruhan pegawai tersebut terdiri dari golongan golongan II, golongan III dan golongan IV. Penentuan jumlah sampel menggunakan rumus Slovin (Suliyanto, 2006: 100) sebagai berikut.

2

1

Ne

N

n

Keterangan:

e = Prosentase kelonggaran ketelitian karena kesalahan pengambilan sampel.

N = Ukuran populasi n = Ukuran sampel

Dengan menggunakan tingkat kelonggaran pengambilan sampel sebesar 5%, maka jumlah pegawai dengan status PNS yang menjadi sampel penelitian sebanyak 82 orang atau sebesar 17,76 persen dari jumlah keseluruhan populasi. Pengambilan sampel dilakukan secara proporsional sampling pada masing-masing golongan. Namun pada saat pengumpulan data, terdapat kuesioner yang hilang (tidak kembali) dan rusak (tidak lengkap diisi). Akhirnya kuesioner yang diolah dan dianalisis dalam penelitian ini hanya 75 eksamplar, sehingga jumlah responden yang sebenarnya sebanyak 75 orang PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh.

Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian lapangan yaitu melalui penyebaran kuesioner. Kuesioner tersebut berisi pernyataan/pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior), keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan. Responden diminta untuk menentukan tingkat kesetujuan mereka pada masing-masing pernyataan terkait.

Skala Pengukuran Data

Skala pengukuran data yang digunakan adalah Likert (Likert Scale). Skala Likert digunakan untuk memberikan skor atau bobot

untuk masing-masing alternatif jawaban sehubungan dengan pernyataan yang berkaitan dengan perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior), keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan. Setiap pernyataan berbentuk pernyataan positif, sehingga pemberian skor berlaku ketentuan skor tinggi poin tinggi dan skor rendah poin rendah. Alterlatif pilihan jawaban berdasarkan pemberian skor terdiri dari tidak setuju = 1, kurang setuju = 2, cukup setuju = 3, setuju = 4 dan sangat setuju = 5.

Peralatan Analisis Data

Peralatan statistik yang digunakan untuk dapat menjelaskan hubungan fungsional antara perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior) sebagai dependen variabel dengan keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan sebagai independen variabel adalah regresi linier berganda diformulasikan sebagai berikut (Gujarati, 2006:130).

Y = α + ß1X1 + ß2X2 + e Dimana:

α = Konstanta

Y = Perilaku kewargaan organisasi (Organizational Citizenship Behavior) X1 = Keadilan organisasional

X2 = Kepercayaan pada atasan

ß1 dan ß2 = Koefisien regresi variabel X1, dan X2 e = Error term

Untuk mengetahui besarnya keeratan hubungan antara variabel independen (keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan) dengan perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior) digunakan koefisien korelasi (R). Interpretasi terhadap nilai koefisien korelasi (R) mengacu pada pendapat Sugiyono (2008:125) sebagai berikut :

- Nilai R berkisar antara 0,00-0,20 hubungan tergolong sangat lemah.

- Nilai R berkisar antara 0,20-0,40 hubungan tergolong lemah.

- Nilai R berkisar antara 0,40-0,60 hubungan tergolong sedang

- Nilai R berkisar antara 0,60-0,80 hubungan tergolong erat/kuat

- Nilai R berkisar antara 0,80-1,00 hubungan tergolong sangat erat/kuat.

(12)

Operasional Variabel

Variabel penelitian terdiri dari perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior) sebagai variabel terikat (dependent variable), dengan keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan sebagai variabel bebas (independent variable). Perilaku kewargaan organisasi (organizational citizenship behavior) didefinisikan sebagai sikap saling membantu yang ditunjukkan oleh anggota organisasi, yang sifatnya konstruktif, dihargai oleh perusahaan tapi tidak secara langsung berhubungan dengan produktivitas individu (Purba dan Nina, 2004). Variabel tersebut terdiri dari 8 indikator meliputi suka membantu rekan kerja, selalu berhati-hati dalam melaksanakan tugas, mau berjuang untuk melindungi reputasi instansi, siap melakukan tugas yang belum terselesaikan dengan lembur, suka bertindak spotif dengan tidak merugikan rekan kerja, menahan diri terhadap perilaku yang tidak disukai orang lain, menghormati rekan kerja dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh instansi.

Keadilan organiasional adalah suatu perasaan yang ada dalam diri manusia, yang menghendaki agar diperlakukan dengan adil di dalam lingkungan organisasi tempat ia bekerja (Pareke, 2004). Keadilan organisasional yang dimaksudkan terdiri dari keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional. Ketiga jenis keadilan organisasional tersebut diwakili oleh 13 indikator meliputi penghargaan yang adil berdasarkan pertimbangan besarnya tanggung jawab, penghargaan yang adil berdasarkan pertimbangan pengalaman kerja, penghargaan yang adil atas besarnya usaha yang dilakukan untuk organisasi, penghargaan yang adil atas pekerjaan yang dilakukan dengan baik, penghargaan yang adil terhadap tingkat tekanan dan ketegangan mental yang dihadapi dalam menjalankan tugas, adanya prosedur formal yang memungkinkan untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan secara akurat, adanya prosedur formal yang membuat pegawai merasa tertarik dan tertantang dalam partisipasi pembuatan keputusan, adanya prosedur formal sehingga segala sisi yang terkait dalam pengambilan keputusan terwakili, adanya prosedur standar umum yang formal, sehingga hasil keputusan konsisten dengan pedoman tersebut, instansi mengembangkan prosedur yang diciptakan untuk mendengar kepentingan seluruh pihak yang terpengaruh oleh pengambilan suatu keputusan, instansi mendesain prosedur untuk menyediakan umpan balik yang berguna berkaitan dengan pengambilan keputusan dan

implementasinya, instansi menciptakan prosedur yang memungkinkan klarifikasi atau informasi tambahan mengenai suatu pengambilan keputusan, atasan mempertimbangkan pemikiran yang diajukan pegawai, atasan saya mampu mengatasi bias personalia ketika menjalankan tugasnya, atasan memperlakukan pegawai dengan ramah tamah dan penuh perhatian, atasan menunjukkan perhatiannya terhadap hak-hak pegawai dan atasan menempuh cara yang jujur ketika berdiskusi dengan pegawai.

Kepercayaan pada atasan adalah sikap tidak ragu-ragu dari seseorang karyawan kepada atasannya atas kebijakan yang dilakukan atasan tersebut (Mahdi, 2008), terdiri dari 7 indikator meliputi rasa percaya bahwa atasan mempunyai integritas yang tinggi, rasa percaya bahwa atasan saya memberlakukan pegawai secara konsisten dan tidak akan membohongi mereka, rasa percaya bahwa atasan selalu jujur dan benar, rasa percaya bahwa atasan dapat memberikan motivasi dan perhatian secara baik, tidak adanya pemikiran bahwa atasan telah memperlakukan pegawai secara tidak wajar, atasan saya selalu bersifat terbuka dan akrab sekali dengan pegawai dan keyakinan bahwa sepenuhnya dapat dipercaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dimaksudkan untuk menguji apakah skala pengukuran yang dibuat dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas item, yaitu untuk mengetahui apakah item-item pernyataan yang dimuat dalam kuesioner penelitian valid atau tidak. Pengujian validitas kuesioner didasarkan pada perbandingan nilai r hitung dan nilai r tabel. Nilai r hitung dicari dengan mencari nilai korelasi antara skor alternatif pilihan jawaban responden pada item pernyataan tertentu dengan total skor item dalam variabel terkait. Selanjutnya nilai korelasi hitung (r hitung) tersebut dibandingkan dengan nilai kritis r product moment (r tabel), dengan ketentuan apabila nilai (r hitung > r tabel), maka item pernyataan dalam variabel tertentu dinyatakan valid. Sebaliknya apabila nilai r hitung < r tabel, maka item pernyataan dalam variabel tertentu dinyatakan tidak valid.

(13)

dibandingkan dengan nilai r tabel (pada n = 75) yang menunjukkan angka sebesar 0,227 (lampiran 9). Dengan demikian dapat diartikan bahwa item pernyataan tersebut dinyatakan valid. Begitu juga halnya untuk item pernyataan A2, A3 sampai A8 juga menunjukkan nilai r hitung lebih besar bila dibandingkan dengan nilai r tabel yang berarti semua item pernyataan pada variabel organizational citizenship behavior (OCB) dinyatakan valid. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil uji validitas dapat dilihat Tabel 1.

Tabel 1 Sumber: Data Primer (Diolah), 2012.

Variabel keadilan organisasional terdiri dari 17 (tujuh belas) item pernyataan yang dilambangkan dengan B1 sampai B17. Nilai r hitung untuk pernyataan pertama (B1) menunjukkan angka sebesar 0,657 lebih besar bila dibandingkan dengan r tabel sebesar 0,227. Dengan demikian dapat diartikan bahwa item pernyataan tersebut dinyatakan valid. Begitu juga halnya dengan item pernyataan kedua (B2) hingga item pernyataan ke tujuh belas (B17), juga

menunjukkan nilai r hitung lebih besar bila dibandingkan dengan nilai r tabel, sehingga dapat diartikan seluruh item pernyataan yang berhubungan dengan keadilan organisasional dinyatakan valid

Berdasarkan Tabel 1 di atas juga dapat diketahui bahwa nilai korelasi hitung (r hitung) untuk masing-masing item pernyataan yang terdapat dalam variabel kepercayaan pada atasan (dengan kode C1-C7), lebih besar bila dibandingkan dengan nilai r tabel. Dengan demikian dapat diartikan bahwa seluruh item pernyataan yang berhubungan dengan variabel kepercayaan pada atasan juga dinyatakan valid.

Untuk menguji kehandalan kuesioner yang digunakan, maka dalam penelitian ini menggunakan uji reliabilitas. Tolok ukur reliabilitas adalah nilai cronbach alpha yang diperoleh melalui perhitungan statistik. Menurut Malhotra (2005:268), nilai cronbach alpha minimum yang diperoleh sebagai syarat kehandalan kuesioner adalah sebesar 0,60. Hal ini berarti bahwa apabila nilai cronbach alpha dibawah 0,60 maka kuesioner belum memenuhi syarat kehandalan.

Hasil pengujian reliabilitas kuesioner untuk keempat variabel penelitian memperlihatkan menunjukkan nilai cronbach alpha masing-masing sebesar 0,843 untuk variabel organizational citizenship behavior (OCB), sebesar 0,855 untuk variabel keadilan organisasional dan sebesar 0,860 untuk variabel kepercayaan pada atasan seperti terlihat dalam Tabel 2.

Tabel 2

Hasil Uji Reliabilitas Kuesioner

Variabel Jumlah

Sumber: Data Primer (Diolah), 2012.

(14)

Analisis Pengaruh Keadilan Organisasional, Kepercayaan Pada Atasan Terhadap Perilaku Kewargaan (Organizational Citizenship Behavior)

Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan berpengaruh positif terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi masing-masing variabel seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2

Koefisien Regresi Masing-masing Variabel Independen

Coefficientsa

1.643 .380 4.328 .000

.290 .106 .279 2.738 .008 .906 1.104

.376 .092 .418 4.108 .000 .906 1.104 (Constant)

Keadilan Organisasional Kepercayaan pada Atasan Model 1

B Std. Error Unstandardized

Coefficients Beta Standardized

Coefficients

t Sig. Tolerance VIF Collinearity Statistics

Dependent Variable: Organizational Citizenship Behavior (OCB) a.

Sumber: Data Primer (Diolah), 2012.

Berdasarkan bagian output SPSS di atas maka persamaan regresi yang memperlihatkan organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh sebagai fungsi dari keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan dapat diformulasikan dalam persamaan berikut.

Y = 1,643 + 0,290X1 + 0,376X2

Persamaan di atas memperlihatkan nilai konstanta sebesar 1,643. Secara statistik dapat diartikan bahwa apabila variabel X1 (keadilan organisasional) dan variabel X2 (kepercayaan pada atasan) bernilai 0 (nol), maka variabel Y (perilaku OCB) akan bernilai 1,643. Angka ini berada pada interval 1,00-2,00 (skor pilihan jawaban tidak setuju dan kurang setuju) pada satuan skala Likert yang bermakna bahwa organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh termasuk katagori sangat rendah. Dengan demikian nilai konstanta tersebut dapat diinterpretasikan bahwa apabila nilai variabel keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan mendekati 0,00 yang bermakna pegawai memiliki penilaian yang tidak baik terhadap keadilan organisasional dan tidak percaya pada atasan, maka organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh termasuk katagori sangat rendah.

Persamaan di atas memperlihatkan nilai koefisien regresi untuk variabel keadilan organisasional (X1) sebesar 0,290. Hal ini dapat diartikan setiap kenaikan skor variabel keadilan

organisasional sebesar 1,00 pada satuan skala likert akan dapat meningkatkan skor OCB sebesar 0,290. Dengan kata lain setiap peningkatan skor variabel keadilan organisasional sebesar 1% akan dapat meningkatkan skor OCB sebesar 0,290%. Hal ini mengisyaratkan bahwa keadilan organisasional berpengaruh positif terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh. Sehingga jelaslah bahwa semakin baik penilaian pegawai terhadap keadilan organisasional akan semakin baik pula OCB dikalangan pegawai tersebut. Sebaliknya apabila pegawai memiliki penilaian yang kurang baik terhadap keadilan organisasional maka OCB pegawai tersebut juga akan kurang baik.

Nilai koefisien regresi variabel kepercayaan pada atasan (X2) menunjukkan angka sebesar 0,376. Secara statistik angka tersebut dapat diartikan bahwa setiap peningkatan skor variabel kepercayaan pada atasan sebesar 1,00 pada satuan skala likert, akan dapat meningkatkan skor OCB sebesar 0,376. Dengan kata lain, setiap peningkatan skor kepercayaan pada atasan sebesar 1% dapat meningkatkan skor OCB sebesar 0,376%. sehingga jelaslah bahwa kepercayaan pada tasan juga berpengaruh positif terhadap OCB dikalangan PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh. Artinya semakin tinggi kepercayaan pegawai pada atasan mereka, akan semakin baik pula perilaku OCB dikalangan pegawai tersebut.

Di antara dua variabel independent seperti dijelaskan di atas, variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap OCB adalah kepercayaan pada atasan (X2) dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,376, lebih besar nilai koefisien regresi keadilan organisasional sebesar 0,290. Dengan demikian dapat dipahami bahwa peningkatan OCB dikalangan pegawai sebagai akibat adanya peningkatan kepercayaan terhadap atasan, lebih besar bila dibandingkan dengan peningkatan OCB sebagai akibat peningkatan penilaian terhadap keadilan organisasional. Dengan kata lain, kendati pun kedua variabel tersebut (keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan) berpengaruh positif terhadap OCB dikalangan pegawai, namun pengaruh keadilan organisasional relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan pengaruh kepercayaan terhadap atasan. Sehingga peningkatan perilaku OCB dalam diri seseorang pegawai lebih didominasi oleh kepercayaan pegawai tersebut terhadap atasannya.

(15)

ini ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (R) bernilai positif sebesar 0,569 (berada pada interval 0,40-60,00; tolok ukur keeratan hubungan menurut Sugiyono, 2008). Selanjutnya besarnya pengaruh kedua variabel independen tersebut terhadap OCB dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2). Bagian output SPSS yang memperlihatkan nilai koefisien korelasi (R) dan nilai koefisien determinasi (R2) seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4

Nilai Koefisien Korelasi (R) dan Nilai Koefisien Determinasi (R2)

Model Summaryb

.569a .324 .305 .51987 1.489

Model 1

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

Predictors: (Constant), Kepercayaan pada Atasan, Keadilan Organisasional

a.

Dependent Variable: Organizational Citizenship Behavior (OCB) b.

Sumber: Data Primer (Diolah), 2012.

Berdasarkan bagian output SPSS di atas dapat dilihat nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,324, dapat diartikan sebesar 32,4 persen variasi yang terjadi pada variabel OCB dikalangan PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh dapat dijelaskan oleh dua variabel independen (keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan). Sisanya sebesar 67,6 persen lagi (1-0,324) dijelaskan oleh variabel lain selain dua variabel tersebut. Dengan kata lain, sebesar 32,4 persen OCB dikalangan pegawai dipengaruhi oleh keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan. Sisanya sebesar 67,6 persen lagi dipengaruhi oleh variabel lain diluar variabel tersebut, seperti keterikatan pada pekerjaan (job embeddedness), faktor individu pegawai sendiri seperti latar belakang pendidikan, gaya kepemimpinan yang diperankan oleh atasan, dan faktor lainnya yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pegawai ditempat kerja termasuk hubungan interpersonal di antara sesama pegawai.

Mengacu pada nilai koefisien determinasi yang telah dijelaskan di atas dapat dipahami bahwa perilaku OCB dikalangan pegawai sebagian besar dipengaruhi oleh faktor lain selain keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan. Hal ini disebabkan perilaku OCB sebenarnya juga terkait erat dengan berbagai faktor seperti gaya kepemimpinan yang diperankan oleh atasan, kekompakan tim kerja dan komunikasi yang terjadi di antara sesama pegawai. Perilaku OCB akan timbul dikalangan pegawai apabila gaya kepemimpinan yang diperankan oleh atasan memungkinkan pegawai untuk bersikap saling membantu dalam bekerja. Demikian pula halnya dengan kekompakan tim

kerja dan komunikasi di antara sesama anggota organisasi. Semakin tinggi kekompakan tim kerja dan semakin baik komunikasi di antara sesama anggota organisasi akan semakin baik pula perilaku OCB dikalangan pegawai yang wujud melalui adanya sikap saling membantu rekan kerja menghindari konflik dengan rekan kerja dan kemauan untuk memberikan saran-saran yang sifatnya konstruktif di tempat kerja.

Pembuktian Hipotesis

Pembuktian hipotesis menggunakan peralatan statistik yaitu statistik uji F untuk menguji signifikansi pengaruh variabel independen secara simultan, dan statistik uji t untuk menguji signifikansi pengaruh variabel independen secara parsial terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh. Masing-masing pengujian tersebut dijelaskan dalam sub bab berikut.

1. Pengujian statistik uji F (Uji Secara Simultan) Hasil pengujian statistik menunjukkan nilai F hitung sebesar 17,246 dengan nilai sig sebesar 0,000. Nilai F tabel pada tingkat keyakinan 95 persen menunjukkan angka sebesar 3,126. Karena nilai F hitung > F tabel (17,246 > 3,126) dapat diartikan secara simultan kedua variabel independen (keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan) berpengaruh signifikan terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh, sehingga hipotesis Ha diterima dan sebaliknya hipotesis Ho ditolak.

2. Pengujian statistik uji t (Uji Secara Parsial) Hasil pengujian secara parsial menunjukkan nilai t hitung sebesar 2,738 untuk variabel keadilan organisasional (X1) dan sebesar 4,108 untuk variabel kepercayaan pada atasan (X2). Ketiga nilai t hitung tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan nilai t tabel sebesar 1,993, sehingga dapat diartikan bahwa secara parsial kedua variabel independen (keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan) berpengaruh signifikan terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh.

(16)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan berpengaruh positif terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh. Hal ini berarti bahwa semakin baik penilaian seseorang pegawai terhadap keadilan organisasional dan semakin tinggi kepercayaan pada atasan, akan semakin baik pula perilaku OCB dikalangan pegawai. Di antara dua variabel independen tersebut, variabel yang memiliki pengaruh paling dominan terhadap OCB pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh adalah kepercayaan pegawai pada atasan.

2. Hubungan antara OCB pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh dengan keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan termasuk katagori erat, ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,569. Selanjutnya sebesar 32,4 persen OCB dikalangan pegawai dipengaruhi oleh keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan. Sisanya sebesar 67,6 persen lagi dipengaruhi oleh variabel lain diluar variabel tersebut.

3. Hasil pengujian statistik menunjukkan nilai F hitung > F tabel dan nilai t hitung masing-masing variabel lebih besar bila dibandingkan dengan nilai t tabel. Dengan demikian dapat disimpulkan baik secara simultan maupun secara parsial keadilan organisasional dan kepercayaan pada atasan berpengaruh signifikan terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada PNS dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh, sehingga hipotesis Ha diterima dan sebaliknya hipotesis Ho ditolak.

Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi saran bagi pimpinan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh sebagai berikut.

1. Tingkatkan penilaian pegawai terhadap keadilan organisasional dilingkungan Kodam Iskandar Muda Banda Aceh. Upaya untuk meningkatkan kedua jenis keadilan organisasional dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Berikan penilaian yang objektif terhadap prestasi kerja pegawai sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dan berikan kompensasi terutama insentif yang

didasarkan pada hasil penilaian prestasi kerja tersebut.

b. Berikan kesamaan hak dan tanggung jawab bagi setiap pegawai. Setiap pegawai harus memiliki hak yang sama baik dalam hal kompensasi maupun maupun pekerjaan sesuai dengan peraturan kerja dan tugas pokok dan fungsi mereka masing-masing.

c. Terapkan peraturan dan prosedur kerja yang jelas bagi setiap pegawai. Penetapan peraturan dan prosedur kerja harus dilakukan dengan mengesampingkan unsur subjektifitas terhadap seseorang pegawai.

2. Tingkatkan kepercayaan pegawai pada atasan sehingga pegawai memandang atasan mereka sebaga sosok yang dapat dijadikan teladan dalam bekerja. Secara operasional upaya untuk meningkatkan kepercayaan pegawai pada atasan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.

a. Atasan harus memberikan perhatian yang sama bagi setiap pegawai, sehingga pegawai merasa tidak ada diskriminasi di antara mereka.

b. Atasan harus berbicara jujur dalam setiap perkataannya baik dalam kompunikasi formal maupun komunikasi informal. c. Atasan sebaiknya tidak hanya memiliki

integritas yang tinggi terhadap instansi melalui pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang dibebankan kepadanya. Akan tetapi juga memiliki integritas yang tinggi terhadap bagian/pekerjaan yang dibidanginya sehingga ia juga merasa menjadi bagian dari bawahannya. Dengan demikian pegawai/bawahan akan merasa bahwa atasan juga merupakan bagian dari mereka, sehingga kepercayaan terhadap atasan meningkat.

d. Atasan sebaiknya selalu bersifat terbuka dan akrab dengan seluruh pegawai/ bawahannya. Sehingga para pegawai menganggap adanya transparansi dalam segala hal yang berkaitan dengan bidang kerja yang mereka lakukan. Kondisi seperti ini akan dapat meningkatkan kepercayaan pegawai terhadap atasan.

DAFTAR PUSTAKA

Gambar

Tabel 1 demikian dapat diartikan bahwa seluruh item
Tabel 2
Tabel 4

Referensi

Dokumen terkait

Variabel yang signifikan adalah klasifikasi daerah tempat tinggal, merokok, konsumsi narkoba, pernah pacaran, masih sekolah, tingkat pendidikan, berkomunikasi

Sumur-sumur warga sekitar juga akan tercemar, serta limbah tersebut mencemari udara di sekitar lokasi pabrik dan lingkungan sekitarnya, jika masalah limbah ini

Berpenampilan rapi dan sopan.. yang merupakan lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan yang mempunyai banyak peraturan maupun aturan, meskipun demikian para guru yang ada

Dilakukan ruas per ruas dengan mempertimbangkan luas daerah tangkapan yang bersangkutan, serta dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan. Dihitung dari tepi

Peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah berfungsi sebagai latihan siswa dalam menumbuhkan rasa kedisiplinan terhadap aturan yang berlaku. Peraturan sekolah

berpengaruh terhadap variabel Y. Sig/Significance 0,009 &lt; 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh kemampuan membaca dan menulis al-Qur’an

Penetapan Status Siaga Darurat Penanganan Bencana Asap sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dalam rangka Siaga Darurat Penanganan Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan

Dalam pelaksanaan geladi ini, dapat memberikan nilai tambahan bagi mahasiswa Universitas Telkom untuk mengenali lingkungan dan suasana kerja. 4.1.2