• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA - BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA - BAB II"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Metakognisi

1. Pengertian Metakognisi

Istilah metakognisi pertama kali diperkenalkan Flavell pada tahun 1976. Metakognisi diartikan sebagai kognisi tentang kognisi, pengetahuan tentang pengetahuan atau berpikir tentang berpikir, pengertian metakognisi yang dikemukakan para pakar pada umumnya memberikan penekanan pada proses berpikir seseorang. Pengertian yang paling umum dari metakognisi adalah berpikir tentang berpikir [8] (Livington, 2007). Livington menyatakan bahwa “Metacognition” is often simply defined as “thinking about thinking”.

Livington mendefinisikan metakognisi secara sederhana sebagai “thinking about thinking” atau berpikir tentang berpikir. Metakognisi menurut Livington adalah kemampuan berpikir dimana yang menjadi objek berpikirnya adalah proses yang terjadi pada dirinya sendiri. Namun untuk dapat memahami lebih mendalam tentang pengertian metakognisi, maka berikut dikemukakan pengertian metakognisi dari beberapa pakar beserta penjelasannya.

O’neil dan Brown (dalam Arif, 2009) mengemukakan pengertian metakognisi sebagai proses dimana seseorang berpikir tentang berpikir mereka sendiri dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah [10].

Wellman (dalam Sumawan, 2012) menyatakan bahwa :

Metacognition is a form of cognition, a second or higher order thinking process wich involves active control over cognitive processes. It can be simply defined as thinking about thinking or as a “person’s cognition about cognition”.

(2)

Menurut Flavell (1976) “Metacognition refers to one’s knowledge concerning one's own cognitive processes and products or anything related to them... Metacognition also thinks about one's own thinking process such as study skills, memory capabilities, and the ability to monitor learning [12].

Kutipan di atas, menunjukkan bahwa definisi metakognisi menurut Flavell adalah Metakognisi mengacu pada pengetahuan seseorang tentang proses kognitif sendiri dan produk atau apapun yang berhubungan dengannya, kemudian aspek kedua Metakognisi adalah berpikir tentang proses berpikir sendiri seperti kemampuan belajar, kemampuan memori, dan kemampuan untuk memonitor pembelajaran.

Schonfeld (dalam Iffah, 2012) mendefinisikan metakognisi sebagai berikut: “reflection on cognition” or ”thinking about your own thinking”. Metacognition has focused on three related but distinct categories of intellectual behavior: your knowledge about your own thought processes,control or self-regulation, beliefs and intuitions”. Metakognisi adalah refleksi pada kognisi atau pemikiran tentang pemikiran diri sendiri. Metakognisi fokus pada tiga kategori yang terkait tetapi berbeda dari perilaku intelektual yaitu: pengetahuan tentang proses berpikir diri sendiri, pengontrolan atau pengaturan diri, serta keyakinan dan intuisi. Dalam hal ini Schoenfeld menambahkan satu aspek dalam metakognisi dari yang disampaikan Flavell yaitu keyakinan dan intuisi [13].

(3)

Apabila seseorang sadar tentang apa yang dipikirkan maka akan mudah baginya untuk mengawali tindakan yang akan diambil selanjutnya. Proses metakognisi membantu meningkatkan pembelajaran dengan cara membimbing pelajar atau seseorang menentukan langkah yang akan diambil apabila dia mencoba memahami suatu keadaan, menyelesaikan masalah dan membuat suatu keputusan.

2. Metakognisi untuk Pemecahan masalah

Untuk mendapatkan kesuksesan belajar dan siswa mampu memecahkan suatu permasalahan, guru harus melatih siswa untuk merancang apa yang hendak dipelajari, memantau kemajuan belajarnya sendiri, dan menilai atau mengevaluasi apa yang telah dipelajari. Asep Sapa’at (2008) membedakan Ada 4 strategi metakognitif yang dapat dikembangkan untuk melatih siswa dalam pemecahan masalah, diantaranya:

a. Tahap proses sadar belajar, meliputi proses untuk menetapkan tujuan belajar, mempertimbangkan sumber belajar yang akan dan dapat diakses (contoh: menggunakan buku teks, mencari buku sumber di perpustakaan, mengakses internet di lab. komputer, atau belajar di tempat sunyi), menentukan bagaimana kinerja terbaik siswa akan dievaluasi, mempertimbangkan tingkat motivasi belajar, menentukan tingkat kesulitan belajar siswa.

b. Tahap merencanakan belajar, meliputiproses memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas belajar, merencanakan waktu belajar dalam bentuk jadwal serta menentukan skala prioritas dalam belajar, mengorganisasikan materi pelajaran, mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk belajar dengan menggunakan berbagai strategi belajar (outlining, mind mapping, speed reading, dan strategi belajar lainnya).

(4)

saya kuasai?, mengapa saya mudah/sukar menguasai materi ini?), menjaga konsentrasi dan motivasi dalam belajar.

d. Tahap evaluasi, dapat didefinisikan sebagai verbalisasi mundur (retrospective) yang dilakukannya setelah kejadian berlangsung, yaitu dengan melihat kembali strategi yang telah ia gunakan dan apakah strategi tersebut mengarahkannya pada hasil yang diinginkan atau tidak dalam pemecahan masalah [14].

B. Masalah Matematika

Masalah atau problem merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat terpisahkan. Setiap manusia pasti mempunyai masalah dalam kehidupannya. Masalah sering disebut sebagai kesulitan, hambatan, gangguan, atau kesenjangan.

Robert K. Merton (dalam Trunodipo, 2011) mengartikan masalah sebagai ”ketidaksesuaian yang signifikan dan tidak diinginkan” antara standar kebersamaan dan kondisi nyata [15].

Menurut Suharnan (2005) masalah adalah suatu kesenjangan antara situasi sekarang dengan situasi yang akan datang atau tujuan yang diinginkan [16].

Sedangkan menurut Nurman (dalam Andriani 2011) masalah bersifat relatif. Suatu situasi atau kondisi (dapat berupa isu/pertanyaan/soal) yang disadari dan memerlukan suatu tindakan penyelesaian, serta tidak segera diperoleh suatu cara mengatasi situasi itu. Pengertian “tidak segera” dalam hal ini adalah bahwa pada saat situasi tersebut muncul, diperlukan suatu usaha untuk mendapatkan cara yang dapat digunakan untuk mengatasinya [17].

(5)

apabila dalam menyelesaikan pertanyaan tersebut siswa tidak memiliki cara atau strategi yang siap dipergunakan untuk menyelesaikannya, sehingga siswa tidak dapat memperoleh suatu jawaban atau solusi penyelesaian [17].

Untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana menyelesaikan masalah?” menurut G. Polya (Princeton University Press, 1957) dapat dirangkum sebagai berikut :

1. Memahami masalah

a. Pertama dapatkah menyatakan masalah dalam kata-kata sendiri b. Apa yang coba dicari atau dikerjakan

c. Apa yang tidak diketahui

d. Data-data apa saja yang ada, atau informasi apa yang didapatkan dari masalah yang dihadapi

e. Informasi apa yang tidak tersedia

f. Adakah kemungkinan untuk memenuhi kondisi atau persyaratan itu,

g. Apakah kondisi atau persyaratan itu cukup untuk menentukan masalah? Atau itu tidak cukup ? Atau berlebihan ? Atau bertentangan ?

h. Membuat gambar atau sketsa yang cocok

i. Memisahkan bagian-bagian dari kodisi yang diketahui 2. Merencanakan pemecahan masalah

Walaupun bukan merupakan keharusan, strategi berikut ini sangatlah berguna dalam proses pemecahan masalah.

a. Mencari pola.

b. Menguji masalah yang berhubungan serta menentukan apakah teknik yang sama bisa diterapkan atau tidak.

c. Menguji kasus khusus atau kasus lebih sederhana dari masalah yang dihadapi untuk memperoleh gambaran lebih baik tentang penyelesaian masalah yang dihadapi.

d. Membuat sebuah tabel. e. Membuat sebuah diagram. f. Menulis suatu persamaan.

(6)

i. Mengidentifikasi bagian dari tujuan keseluruhan.

j. Menghubungkan antara data dengan hal-hal yang belum diketahui

k. Perlu dipertimbangkan adanya masalah tambahan jika hubungan langsung tidak dapat ditemukan

l. Adakah teorema yang berkaitan dengan pertanyaan m. Pernahkah menemui permasalahan yang sejenis

n. Atau apakah pernah menemui masalah yang sama dalam bentuk yang sedikit berbeda

o. Coba menemukan permasalahan biasa yang meiliki kemiripan dengan masalah yang ditanyakan

3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana

a. Melaksanakan strategi sesuai dengan yang direncakan pada tahap sebelumnya.

b. Melakukan pemeriksan pada setiap langkah yang dikerjakan. Langkah ini bisa merupakan pemeriksaan secara intuitif atau bisa juga berupa pembuktian secara formal.

c. Upayakan bekerja secara akurat. d. Meneliti langkah-langkah penyelesaian

e. Apakah sudah jelas dan dapat dipertanggungjawabkan 4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh

a. Periksa hasilnya pada masalah asal (Dalam kasus tertentu, hal seperti ini perlu pembuktian).

b. Interpretasikan solusi dalam konteks masalah asal. Apakah solusi yang dihasilkan masuk akal?

c. Apakah ada cara lain untuk menyelesaikan masalah tersebut?

d. Jika memungkinkan, tentukan masalah lain yang berkaitan atau masalah lebih umum lain dimana strategi yang digunakan dapat bekerja.

e. Meneliti hasil yang diperoleh, argumen-argumen yang digunakan

f. Memikirkan apakah hasil atau cara yang digunakan dapat digunakan untuk menyelesaikan beberapa masalah lain [18].

(7)

seseorang pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur rutin baginya, namun bagi orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan pengorganisasian pengetahuan yang telah dimiliki secara tidak rutin. Jadi suatu pertanyaan merupakan suatu masalah apabila pertanyaan tersebut menantang untuk dijawab yang jawabannya tidak dapat dilakukan secara rutin [19].

Pengertian masalah matematika dikemukakan oleh Hudoyo (2001) sebagai berikut :

Masalah matematika adalah masalah yang berkaitan dengan matematika sekolah. Suatu masalah dikatakan masalah matematika jika memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu : (1) menantang untuk diselesaikan dan dapat dipahami siswa. (2) tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang telah dikuasai siswa, dan (3) melibatkan ide-ide matematika [19].

Sedangkan menurut Holmes (dalam Lutfi, 2013) terdapat dua kelompok masalah dalam pembelajaran matematika yaitu masalah rutin dan masalah nonrutin. a. Masalah Rutin

Masalah rutin dapat dipecahkan dengan metode yang sudah ada. Masalah rutin sering disebut sebagai masalah penerjemahan karena deskripsi situasi dapat diterjemahkan dari kata-kata menjadi simbol-simbol. Masalah rutin dapat membutuhkan satu, dua atau lebih langkah pemecahan. Charles dalam Holmes pada intinya menyatakan bahwa masalah rutin memiliki aspek penting dalam kurikulum, karena hidup ini penuh dengan masalah rutin. Oleh karena itu tujuan pembelajaran matematika yang diprioritaskan terlebih dahulu adalah siswa dapat memecahkan masalah rutin.

b. Masalah Nonrutin

(8)

memiliki lebih dari satu solusi atau pemecahan. Masalah tersebut kadang melibatkan situasi kehidupan atau membuat koneksi dengan subyek lain [20].

Berdasarkan uraian di atas maka masalah matematika adalah soal matematika yang tidak bisa diselesaikan dengan prosedur rutin yang dikuasai siswa, dan dalam penyelesaiannya siswa tidak secara langsung mengetahui bagaimana menyelesaikan masalah yang diberikan.

C. Pemecahan Masalah Matematika

Masalah dalam matematika merupakan soal-soal yang belum diketahui prosedur pemecahannya oleh siswa. Pemecahan masalah merupakan upaya memperoleh solusi masalah dengan menerapkan pengetahuan matematika dan melibatkan keterampilan siswa berpikir dan bernalar. Pemecahan masalah matematika dapat berfungsi sebagai konteks (problem solving as context), sebagai keterampilan (problem solving as skill), dan sebagai seni dari matematika (problem solving as art) atau Stanick dan Kilpatrick (dalam sofan, 2012) mengistilahkannya sebagai heart of mathematics [5].

Pemecahan masalah atau problem solving, merupakan masalah yang benar–benar sentral dalam pembelajaran matematika. Lebih-lebih dalam kurikulum matematika, hampir di semua Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, di dalam Standar Isi, akan dijumpai penegasan betapa kompetensi pemecahan masalah betul-betul harus dicapai. Hal ini ditegaskan pada tujuan pembelajaran matematika yang ke tiga disebutkan bahwa : Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh [4] (Depdiknas, 2006). Dalam latar belakang dari Standar Isi mata pelajaran matematika, secara tegas disebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika, yang mencakup masalah tertutup, mempunyai solusi tunggal, terbuka atau masalah dengan berbagai cara penyelesaian [4] (Depdiknas, 2006). Dari uraian di atas jelas bahwa pemecahan masalah adalah sangat penting di dalam pembelajaran matematika.

(9)

ada tiga jenis interpretasi pemecahan masalah matematia yaitu: sebagai tujuan, proses, dan keterampilan dasar. Interpretasi lain adalah pemecahan masalah sebagai pendekatan, proses, dan tujuan pembelajaran (Baroody dalam Sofan, 2012) Sedangkan Riedesel, dkk (masih dalam Sofan, 2012) menginterpretasi emecahan masalah sebagai proses dan produk.

Dalam tulisan ini, pemecahan masalah matematika diinterpretasikan sebagai pendekatan, proses, dan tujuan. Interpretasi ini didasarkan pada pendapat bahwa pemahaman suatu konsep atau pengetahuan dibangun pada pendapat bahwa pemahaman suatu konsep atau pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa. Dengan kata lain, suatu rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika seyogyanya ditemukan kembali oleh siswa di bawah bimbingan guru. Dengan demikian pemecahan masalah matematika dapat dilihat sebagai upaya mencari jalan keluar yang dilakukan siswa dengan menggunakan pengetahuan matematika yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan kemampuan dalam pemecahan masalah matematika merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh siswa, yang dalam hal ini mencakup proses berpikir siswa tentang kemampuan dirinya dalam membangun strategi untuk memecahkan masalah, yang jika dikaitkan dengan tulisan sebelumnya merupakan proses metakognisi siswa dalam memecahkan masalah matematika.

D. Hubungan Pemecahan Masalah dan Metakognisi

Ketika siswa mampu merancang, memantau, dan merefleksikan proses belajar mereka secara sadar, pada hakikatnya, mereka akan menjadi lebih percaya diri dan lebih mandiri dalam belajar. Kemandirian belajar merupakan sebuah kepemilikan pribadi bagi siswa untuk meneruskan perjalanan panjang mereka dalam memenuhi kebutuhan intelektualnya.

(10)

Dari tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan memilik kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, sebab dalam setiap kegiatan yang dikerjakan senantiasa muncul pertanyaan: “Apa yang saya kerjakan?”, “Mengapa saya mengerjakan ini?”. “Hal apa yang membantu saya menyelesaikan masalah ini?”. Pengontrolan diri ini akan membantu seseorang dalam mengatur kognisinya dan mengarahkan dalam pemecahan masalah dengan baik.

Lidinilah (dalam Sumawan, 2012) berpendapat bahwa strategi metakognitif adalah komponen metakognisi berkaitan dengan cara untuk meningkatkan kesadaran tentang proses berpikir. Apabila kesadaran itu ada, seseorang dapat mengontrol pikirannya. Strategi metakognitif dapat digunakan untuk mengarahkan siswa agar bisa secara sadar mengontrol proses berpikir dan belajar yang dilakukannya. Dengan mengunakan strategi metakognitif diharapkan : 1. Siswa akan mampu mengontrol kelemahan diri dalam belajar dan kemudian

memperbaiki kelemahan tersebut

2. Siswa dapat menentukan cara belajar yang tepat sesuai dengan kemampuannya sendiri

3. Siswa dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam belajar baik yang berkaitan dengan soal-soal yang diberikan oleh guru atau masalah-masalah yang timbul berkaitan dengan proses pembelajaran

4. Siswa dapat memahami sejauh mana keberhasilan yang telah ia capai dalam belajar [11].

Charles dan Lester (dalam Sumawan, 2012) menyatakan bahwa terdapat 3 aspek yang turut mempengaruhi penyelesaian masalah matematika, yaitu :

1. Aspek kognitif, termasuk di dalamnya pengetahuan konseptual, pemahaman dan strategi untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut

2. Aspek efektif, merupakan aspek yang mempengaruhi kecenderungan siswa untuk menyelesaikan masalah

(11)

Aspek yang ketiga merupakan aspek yang penting diperhatikan dalam mengajarkan penyelesaian masalah. Hal ini disebabkan karena penyelesaian masalah tidak terlepas dari kesadaran siswa untuk mengontrol dan mengecek belajarnya sendiri, apa yang ia pikirkan dapat membantunya menyelesaikan suatu masalah.

Dari penjelasan di atas kemampuan metakognisi memiliki peran dalam kegiatan pemecahan masalah matematika. Metakognisi akan membantu seseorang mengatur proses dan hasil berpikirnya sebelum, sesudah, dan ketika sedang berlangsugnya proses pemecahan masalah. Sehingga membantu seseorang memecahkan masalah dengan baik dan memperoleh hasil pemecahan masalah yang tepat.

Pengaturan kognisi dalam pemecahan masalah meliputi tiga tahap berikut, yaitu: (1) mengenali masalah dan merencanakan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah; (2) memantau langkah-langkah pemecahan masalah selama kegiatan pemecahan masalah berlangsung; (3) mengevaluasi hasil penyelesaian masalah yang telah dibuat.

E. Proses Metakognisi dalam Memecahkan Masalah

Pada pemecahan masalah matematika, pelibatan metakognisi akan memberikan dampak penting bagi pola pikir seseorang. Namun demikian beberapa siswa mungkin akan mengalami masalah bila menghadapi tugas yang terlalu sulit, sehingga tidak mampu melakukan langkah pemecahan yang diperlukan. Jadi diperlukan kejelian memilih tugas yang tepat untuk diselesaikan agar dapat mengenali proses metakognisi yang dilakukan.

Menurut Schoenfeld (dalam Iffah, 2012) ada tiga cara untuk menerapkan metakognisi dalam menyelesaikan masalah matematika, yakni knowlege, beliefs (and intuition) and self-regulation [13].

(12)

2. Beliefs and intuitions adalah ide-ide tentang sebuah topik belajar yang salah satunya membawa untuk bekerja. Schoenfeld menyatakan bahwa siswa membangun kerangka matematika mereka dari keyakinan mereka, intuisi dan pengalaman masa lalu dalam memahami dan memaknai kehidupan dunia

3. Self regulation mengacu pada seberapa baik seseorang memantau apa yang dilakukan dan seberapa baik dia menggunakan hasil pengamatan untuk membimbingnya memecahkan masalah. Cara lain untuk berpikir tentang hal ini adalah sebagai kesadaran berpikir seseorang dan perkembangan seseorang dalam memecahkan masalah [13].

Cohors-Fresenborg & Kaune (dalam Iffah, 2012) mengelompokkan aktivitas metakognisi dalam memecahkan masalah matematika terdiri atas (1) perencanaan (planning), (2) pemantauan (monitoring), (3) refleksi (reflection). Schraw (masih dalam Iffah) menyatakan bahwa, planning melibatkan identifikasi dan pemilihan strategi yang tepat, dapat termasuk penetapan tujuan, mengaktifkan pengetahuan sebelumnya, dan rencana waktu yang dihabiskan dalam penyelesaian.

Monitoring atau pemantauan diantaranya adalah memperhatikan dan menyadari kinerja pemahaman dan tugas, monitoring dapat termasuk pengujian diri atau menguji diri sendiri. Reflection atau evaluation didefinisikan sebagai “penilaian produk dan proses regulasi pembelajaran seseorang”, dan termasuk peninjauan kembali [13].

(13)

Tabel 2.1 Proses metakognisi pada langkah pemecahan masalah

N

o Indikator Metakognisi Deskriptor

1 a. Memahami masalah 1. Planning (rencana)

Merencanakan apa yang akan dilaksanakan untuk memahami masalah Memikirkan apa yang akan dilaksanakan untuk dapat memahami masalah 2. Monitoring

Memonitor langkah yang dilakukan dalam memahami soal Memantau caranya dalam memahami soal 3. Evaluation (evaluasi)

Mengevaluasi langkah yang digunakan dalam memahami soal Memeriksa kembali cara yang digunakan dalam memahami soal

2 b. Menyusun rencana penyelesaian 1. Planning (rencana)

Merencanakan hal yang akan dilakukan untuk menyusun rencana penyelesaian Memikirkan apa yang akan dilakukan ketika akan menyusun rencana penyelesaian 2. Monitoring

Memonitor hal yang dilakukan dalam menyusun rencana penyelesaian Memantau kegiatannyadalam menyusun rencana penyelesaian 3. Evaluating (evaluasi)

Mengevaluasi hal yang dilakukan dalam menyusun rencana Memeriksa langkahnya dalam menyusun rencana

3 c. Melaksanakan rencana penyelesaian 1. Planning (rencana)

Merencanakan untuk menggunakan rencana yang telah dibuat untuk Berpikir akan menggunakan rencananya untuk memecahkan masalah menyelesaikan masalah

2. Monitoring

Memonitor penggunaan rencana penyelesaian yang telah dibuat untuk Melaksanakan dan memantau langkah penyelesaian yang dilakukan berdasarkan

menyelesaikan masalah rencana

3. Evaluating (evaluasi)

Mengevaluasi kebenaran penggunaan langkah penyelesaian apakah telah Memeriksa apakah langkah yang dilakukan telah sesuai dengan rencana sesuai dengan rencana atau belum pada setiap tahapnya

4 d. Memeriksa kembali 1. Planning (rencana)

Merencanakan untuk memeriksa langkah penyelesaian secara keseluruhan Berpikir akan memeriksa seluruh langkah yang dilakukan 2. Monitoring

Memonitor pemeriksaan langkah penyelesaian Memantau langkahnya dalam memeriksa kembali 3. Evaluation (evaluasi)

(14)
(15)

F. Adversity Quotient

1. Pengertian Adversity Quotient

Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan mengatasi kesulitan (Stoltz, dalam Sudarman, 2012), dengan kata lain Adversity Quotient merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan yang dihadapinya [21]. AQ

memberi tahu anda seberapa jauh anda mampu bertahan menghadapi kesulitan dan untuk mengatasinya.

Menurut Stoltz (dalam Mulyani, 2013) AQ mempunyai 3 bentuk, yaitu (1)

AQ adalah suatu kerangka konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan, (2) AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang untuk menghadapi kesulitan, (3) AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan [22].

Suksesnya pekerjaan dan hidup seseorang banyak ditentukan oleh AQ.

Orang yang memiliki AQ lebih tinggi, akan selalu mawas diri dan selalu mengoreksi dirinya, sehingga mereka tidak mudah menyalahkan orang lain. Mereka yang ber AQ tinggi memiliki rasa tanggungjawab besar terhadap persoalan yang dihadapi, sehingga dengan kemampuan yang dimiliki mereka terus berusaha untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang dihadapi. Seorang ber AQ tinggi memiliki ketahanan yang baik, artinya mereka tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan. Dengan segala keterbatasannya, mereka mampu berpikir, bertindak dan menyiasati diri untuk maju terus. Sebaliknya, rendahnya AQ seseorang adalah minimnya daya tahan hidup, sehingga mereka mempunyai kebiasaan mengeluh dan sulit untuk mengambil hikmah dibalik semua permasalahan yang dihadapinya.

(16)

sehingga dia menyerah dan berhenti berusaha. Meski kondisinya sama, tapi siswa kedua menyikapinya dengan cara yang berbeda, siswa kedua menyadari kekurangannya, ia merasa kesulitan namun ia tetap berusaha untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Siswa kedua mempunyai prinsip setelah kegagalan pasti ada keberhasilan dan setiap kesulitan pasti ada jalan keluar. Dengan demikian siswa kedua tetap berusaha untuk mengatasi kesulitan dan terus berusaha sampai menemukan jawabannya. Dari cerita tersebut muncul pertanyaan, mengapa siswa pertama mengambil keputusan untuk berhenti berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan guru, sementara siswa kedua mau berusaha mengerjakan tugas. Jawaban yang dapat diberikan adalah karena AQ

mereka berbeda, siswa pertama memiliki AQ lebih rendah dari siswa kedua. Stoltz (dalam Suhartono, 2011) mengumpamakan hidup ini sebagai sebuah pendakian puncak gunung. Pendaki yang awalnya berada di kaki gunung sedikit demi sedikit mendaki, semakin mendekati puncak ia akan mendapatkan medan yang semakin terjal, yang akhirnya mencapai puncak. Merekalah yang dikatakan sukses jika mereka sampai pada puncak tertinggi. Pengertian pendakian dalam kehidupan sehari-hari dapat berarti usaha untuk mencapai cita-cita yang tinggi [6].

Dalam pengajaran, pendakian dapat diartikan sebagai langkah peserta didik dalam mencapai prestasi belajar yang baik. Seorang siswa dapat dikatakan melakukan pendakian jika mereka mampu meningkatkan kemampuan belajarnya, termasuk memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah. Puncak dari sebuah gunung diibaratkan solusi yang dicari. Jalan yang berliku, semak belukar, jurang yang curam, medan yang terjal adalah kesulitan yang dihadapi dalam mencari solusi. Sementara siswa yang menjadi problem solver

adalah si pendaki yang dituntut untuk mendaki gunung sampai puncak yang merupakan keberhasilan dalam mendapatkan solusi.

2. Kategori Adversity Quotient

Stoltz (dalam Suhartono, 2011) mengelompokkan orang kedalam tiga kategori AQ. Yaitu quitter (AQ rendah), camper (AQ sedang), dan climber (AQ

(17)

Tabel 2.2 Kategori Adversity Quotient

No Skor Kategori Siswa

1 59 ke bawah quitter

2 60 sampai dengan 94 peralihan quitter menuju camper

3 95 sampai dengan 134 camper

4 135 sampai dengan 165 peralihan camper menuju climber

5 166 ke atas climber

Berdasarkan skor ARP (Adversity Response Profle)

Tetapi dalam hal ini yang menjadi perhatian penulis adalah kategori

quitter, camper, dan climber.

Siswa yang masuk kategori quitter biasanya belajar seadanya sekedar ikut teman, sedikit ambisi, minim semangat, biasanya tidak kreatif, tidak banyak memberi sumbangan yang berarti dalam kelompok, biasanya menjauh dari permasalahan, begitu melihat kesulitan ia akan mundur, dan motivasi kurang.

Siswa camper adalah anak yang tak mau mengambil resiko yang terlalu besar dan merasa puas dengan kondisi atau keadaan yang telah dicapainya. Siswa camper masih menunjukkan sejumlah inisiatif, mereka tidak memaksimalkan usahanya walaupun peluang dan kesmpatannya ada. Mereka berusaha sekedarnya saja, mereka berpandangan bahwa tidak perlu nilai tinggi yang penting lulus.

Siswa climber menyambut baik tantangan, dapat memotivasi diri, memiliki semangat tinggi dan mereka cenderung membuat segalanya terwujud, terus mencari cara baru untuk bertumbuh dan berkontribusi, penuh dengan inspirasi. Siswa climber adalah anak yang mempunyai tujuan atau target. Untuk mencapai tujuan itu ia mengusahakan dengan ulet dan gigih. Ibarat orang mendaki gunung, ia akan terus mencoba sampai yakin berada di puncak gunung. Siswa

climber biasanya senang belajar matematika, karena mereka menyukai tantangan. Mereka tidak mmengenal kata menyerah, juga memiliki keberanian dan disiplin tinggi.

(18)

pula yang benar-benar berkeinginan menaklukkan puncak tersebut. Dari kisah tersebut kemudian Stoltz mengistilahkan orang yang berhenti di tengah jalan sebelum usai sebagai quitter, kemudian mereka yang merasa puas berada pada posisi tertentu sebagai camper, sedangkan yang ingin terus meraih kesuksesan ia sebut climber [22].

3. Pentingnya Adversity Quotient dalam Pembelajaran Matematika

Matematika mempunyai sifat yang khas dibandingkan disiplin ilmu yang lain. Menurut Hermes (dalam Suhartono, 2011) semua konsep matematika memiliki sifat abstrak sebab hanya ada dalam pikiran manusia. Hanya pikiran yang dapat “melihat” objek matematika. Objek dalam matematika yang abstrak dapat menyebabkan siswa kesulitan dalam mempelajari matematika. Matematika berkaitan dengan ide abstrak yang diberi simbol yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif. Oleh karena itu kegiatan belajar matematika merupakan kegiatan mental yang tinggi dan menuntut pemahaman serta ketekunan berlatih [6].

Matematika diajarkan dari SD sampai sekolah lanjutan, sehingga siswa tidak dapat menghindar dari matematika, termasuk menghindar dari kesulitan mempelajari matematika. Setiap siswa tidak dapat menghindar dari kesulitan dalam belajar matematika. Matematika masih dianggap sulit oleh siswa, hanya tingkat kesulitannya berbeda-beda, karena perbedaan kemampuan siswa. Ada siswa yang merasa kesulitan pada pokok bahasan tertentu dan ada juga yang merasa kesulitan untuk seluruh materi matematika.

Disini potensi AQ sangat dibutuhkan dalam belajar mateematika. Stoltz (dalam Chanifah, 2013) menyatakan bahwa orang sukses dalam belajar adalah orang yang memiliki AQ tinggi [23]. Kesulitan yang dialami mereka yang ber

AQ tinggi dijadikan tantangan, sehingga mereka menjadi siswa yang pantang menyerah. Mereka mampu mengubah kesulitan menjadi peluang. Mereka adalah orang yang optimis bahwa setiap kesulitan pasti ada jalan keluar.

AQ sangat berpengaruh terhadap hasil belajar. Faktor dominan pembentuk

(19)

seseorang untuk tetap gigih dan tegar dalam kesulitan. Saatnya membangun cara pandang siswa bahwa kesulitan adalah bagian dari proses menuju kemandirian melalui kegigihan dan daya juang.

G. Hubungan Metakognisi dalam Memecahkan Masalah dengan Adversity Quotient

Metakognisi adalah pengetahuan atau kesadaran siswa terhadap proses dan hasil berpikirnya sendiri, kemampuan memantau (memonitor) hasil berpikirnya sendiri, serta mengevaluasi proses dan hasil berpikirnya sendiri, atau dengan kata lain metakognisi adalah kesadaran berpikir tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Dalam konteks pembelajaran, siswa mengetahui bagaimana untuk belajar, mengetahui kemampuan dan modalitas belajar yang dimiliki, dan mengetahui strategi belajar terbaik untuk belajar efektif. Jika siswa mempunyai kemampuan seperti itu dapat dimungkinkan bahwa siswa tersebut memilik kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah, akan tetapi jika dikaitkan dengan kemampuan Adversity Quotient siswa yang didefinisikan sebagai kecerdasan mengatasi kesulitan (Stoltz, dalam Sudarman, 2012), atau dengan kata lain Adversity Quotient merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan yang dihadapinya [21], maka akan menjadi sesuatu hal yang menarik untuk diteliti.

Stoltz (dalam Suhartono, 2011) mengelompokkan kedalam tiga kategori

AQ yaitu quitter (AQ rendah), camper (AQ sedang), dan climber (AQ tinggi) [6].

Jika siswa yang masuk kategori quitter biasanya menjauh dari permasalahan, begitu melihat kesulitan ia akan mundur, dan motivasi serta semangat belajar kurang, maka dapat dikatakan bahwa siswa quiter ini memliki kemampuan metakognisi yang rendah juga. Hal ini dikarenakan pengetahuan atau kesadaran siswa terhadap proses dan hasil berpikirnya sendiri rendah. Bahkan untuk tahap awal kemampuan metakognisi yaitu kesadaran diri, atau dalam hal ini sadar belajar sudah tidak terpenuhi untuk siswa dalam kategori

(20)

Untuk siswa yang masuk kategori camper, adalah anak yang tak mau mengambil resiko yang terlalu besar dan merasa puas dengan kondisi atau keadaan yang telah dicapainya. Siswa camper masih menunjukkan sejumlah inisiatif, mereka tidak memaksimalkan usahanya walaupun peluang dan kesempatannya ada. Terkait dengan metakognisi siswa camper dapat diduga bahwa kemampuan metakognisi siswa camper adalah menengah atau sedang, atau dalam kata lain bisa dinyatakan kemampuan metakognisi siswa camper

tidak utuh. Hal ini dikarenakan bahwa siswa camper cepat merasa puas dengan kondisi atau keadaan yang dicapainya. Dalam kaitannya dengan kemampuan metakognisi, siswa camper diduga hanya melalui dua tahapan dari empat tahapan seperti yang diutarakan sapa’at [14] dalam strategi metakognisi, yaitu kesadaran diri atau sadar belajar, merencanakan dan melaksanakan, sedangkan tahapan berikutnya tidak dijalani yaitu tahap monitoring dan evaluasi.

Sedangkan untuk siswa kategori climber adalah siswa yang menyukai dan menyambut baik tantangan, dapat memotivasi diri, memiliki semangat tinggi dan berusaha membuat segalanya terwujud. Siswa climber adalah anak yang mempunyai tujuan atau target. Ibarat orang mendaki gunung, ia akan terus mencoba sampai yakin berada di puncak gunung. Siswa climber biasanya senang belajar matematika, karena mereka menyukai tantangan. Mereka tidak mmengenal kata menyerah, juga memiliki keberanian dan disiplin tinggi. Terkait dengan metakognisi siswa climber dapat dikatakan bahwa siswa

climber memiliki kemampuan metakognisi yang tinggi. Siswa climber

Gambar

Tabel 2.1 Proses metakognisi pada langkah pemecahan masalah
Tabel 2.2 Kategori Adversity Quotient

Referensi

Dokumen terkait

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Luas tanah berdasarkan ketinggian tempat dapat dilihat pada Tabel 11, dimana tabel tersebut menunjukkan bahwa wilayah yang berada pada ketinggian 25 – 100 meter di atas permukaan

Terkait dengan pemanfaatan perangkap lampu yang telah banyak dilakukan dan merupakan metode yang efisien dalam memerangkap ngengat, maka perlu dilakukan penelitian

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin yang khusus disediakan dan atau diberikan

Pada perlakuan C, dimana media tanam jamur tiram putih menggunakan kulit kacang dengan penambahan kapur dolomit 5gr/baglog didapatkan rata-rata penyebaran miselium

Namun ternyata hal itu pun tidak cukup bagi telkomsel untuk menjadi internet service provider yang terbaik diantara pesaingnya, karena dapat dilihat dari hasil survei di

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu proses evaluasi saat ini pada Kota Cimahi masih dilakukan dengan metode penyebaran formulir kuesioner, akibatnya

Taksonomi dapat diartikan sebagai pengelompokan suatu hal berdasarkan hierarki (tingkatan) tertentu. Di mana taksonomi yang lebih tinggi bersifat lebih umum dan