• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketika Tuhan Ditenggelamkan Lumpur Lapindo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Ketika Tuhan Ditenggelamkan Lumpur Lapindo"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

________________________________________________________________________ Sumber: Koran Tempo, 29 Maret 2008

Ketika Tuhan Ditenggelamkan Lumpur Lapindo

Oleh: Firdaus Cahyadi

Gencarnya upaya penyesatan informasi melalui iklan PT Lapindo di berbagai media massa yang kemudian diikuti oleh semakin kuatnya pembelaan lembaga-lembaga negara (dari eksekutif, yudikatif, sampai legislatif) terhadap perusahaan ini telah kembali "berhasil" mengkambinghitamkan Tuhan sebagai penyebab utama bencana ekologi yang menyengsarakan ribuan warga Sidoarjo.

Seperti sebuah grup paduan suara, para pejabat publik di negeri ini menyatakan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam. Bahkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, sebagai tempat bersemayamnya para ilmuwan, telah merekomendasikan bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam (Koran Tempo, 18 Maret 2008).

Negara, yang seharusnya dapat bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang merugikan masyarakat, pun kini hanya berfungsi tak lebih dari sekadar kasir Lapindo. Pasalnya, Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 Pasal 15 ayat 1 menyebutkan bahwa biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta wilayah yang terkena dampak lumpur Lapindo dibebankan kepada pemerintah. Sementara itu, Lapindo hanya menanggung ganti rugi untuk warga yang ada di dalam peta.

Berdasarkan payung hukum itulah, dalam sidang kabinet terbatas yang diselenggarakan pada awal Maret 2008 lalu, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dengan mudah menyanggupi untuk mengucurkan uang sekitar Rp 700 miliar dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk menanggung dampak sosial dan lingkungan dari semburan lumpur Lapindo.

Uang dari APBN yang seharusnya bisa digunakan untuk membiayai anggaran pendidikan dan kesehatan pun dengan mudah dibobol untuk menanggulangi dampak sosial dan lingkungan dari semburan lumpur Lapindo. Padahal, jika saja tidak terjadi semburan lumpur dan Lapindo berhasil mengeruk sumber daya alam di Sidoarjo, keuntungan dari usaha itu sudah dapat dipastikan tidak mengalir ke kas negara atau andaikata mengalir pun jumlahnya tidak signifikan.

Kemenangan Lapindo atas negara kini sudah di ambang mata, sementara kekalahan rakyat Indonesia, terutama yang telah menjadi korban semburan lumpur, pun tinggal menunggu waktu saja. Kekuatan uang benar-benar telah sedemikian berkuasanya di negeri yang selalu mengklaim religius ini.

(2)

________________________________________________________________________ Suara pakar pertambangan dari perguruan tinggi ternama di Indonesia yang menilai semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh adanya unsur kelalaian dalam proses pengeboran, seperti mantan Direktorat Eksplorasi dan Produksi BPPKA-Pertamina Ir Kersam Sumanta, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar, dan ahli perminyakan ITB yang juga mantan ketua tim investigasi independen luapan lumpur Lapindo, Rudi Rubiandini, tidak pernah menjadi pertimbangan dalam munculnya hampir setiap kebijakan publik tentang Lapindo. Jika suara para pakar independen saja diabaikan, dapat dipastikan suara korban Lapindo juga akan mengalami hal yang sama.

Hal itu diperkuat oleh pernyataan Ibu Sumiyati, salah satu warga korban Lapindo, dalam sebuah testimoni yang dipublikasikan di sebuah blog yang mengatakan bahwa selama ini pemerintah tidak mendengar golongan bawah. Mereka hanya memperhatikan golongan atas. Menurut dia, yang diajak bicara oleh pemerintah hanya pemilik perusahaan, sementara para korban tidak diajak bicara. Bahkan sering kali para korban mendapatkan teror dari aparat.

Kekalahan negara dalam kasus Lapindo itu sebenarnya sudah terlihat sejak awal munculnya kasus lumpur Lapindo. Beberapa keputusan pemerintah yang dianggap merugikan Lapindo sering kali dengan mudah diabaikan. Keputusan-keputusan yang merupakan hasil rapat 28 Desember 2006, misalnya, Presiden memerintahkan Lapindo menuntaskan tanggung jawab penanganan lumpur panas dengan kewajiban menanggung biaya penanggulangan lumpur sebesar Rp 1,3 triliun. Selain itu, Lapindo harus membayar kompensasi berupa ganti rugi lahan sawah dan rumah rakyat mulai awal Maret 2007. Total kerugian rakyat yang diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun pun harus sudah dibayar 20 persen oleh Lapindo (Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo, Ali Azhar Akbar, 2007).

Namun, jangankan memenuhi keputusan tersebut, Lapindo justru mengklaim telah mengeluarkan dana untuk mengatasi dampak sosial lebih dari US$ 15 juta. Celakanya, pemerintah SBY-JK menuruti saja klaim Lapindo tersebut. Bahkan akhirnya pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 14 Tahun 2007, yang merupakan payung hukum bagi Lapindo untuk mendapatkan kemenangan-kemenangan berikutnya.

Upaya mengkambinghitamkan Tuhan dalam kasus Lapindo tampaknya sebuah langkah yang memang sudah direncanakan sejak awal. Bagaimana tidak, bila lumpur Lapindo ini berhasil dinyatakan sebagai bencana alam, bukan hanya dapat membobol APBN untuk membiayai dampak sosial dan lingkungan dari semburan lumpur, tapi juga kerugian yang diderita Lapindo dalam kasus itu dapat diringankan oleh klaim asuransi yang bersedia menanggung kerugian hingga US$ 25 juta.

(3)

________________________________________________________________________ URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/lapindo-dan-tanggung-jawa

Lapindo dan Tanggung Jawab Sosial

Oleh: Viktor Silaen

Akhir Mei silam, bencana yang bernama ”lumpur panas Lapindo” di Sidoarjo itu bermula. Efeknya bagaikan ”bola salju” (snowball effect): mula-mula kecil, tapi karena menggelinding terus-menerus, lama-lama semakin membesar.

Hingga kini, ”bola salju” itu sudah bergulir kurang-lebih enam bulan lamanya. Dampak negatifnya sungguh dahsyat, baik secara material maupun non-material. Tapi, baru 23 November lalu ia dinyatakan sebagai bencana nasional. Betapa lambannya pemerintah menyikapi bencana ini.

Itu pun ”menunggu” dulu setelah terjadinya ledakan pipa gas Pertamina di kawasan berbahaya sekitar lokasi semburan lumpur yang meminta korban jiwa lebih dari 10 orang. Ledakan pipa gas tersebut adalah bencana atau kecelakaan, demikian dinyatakan

pemerintah yang diwakili Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro. Baiklah, kita terima bahwa ini memang bencana.

Tapi, mengapa bisa sampai berbulan-bulan lamanya? Kita patut mempersoalkan, dengan kategori sederhana: ini bencana yang tak diundang atau bencana yang diundang? Ada beberapa alasan mengapa pertanyaan itu patut dikemukakan. Pertama, menurut Effendi Siradjudin, Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), sebelum pipa gas Pertamina meledak, Aspermigas sebenarnya sudah memprediksikan bahwa bencana tersebut memang akan terjadi.

Dalam pembicaraan awal dengan ahli geologi, Dr Andang Bachtiar dan Staf Ahli Menko Perekonomian Ahmad Husein––terkait rencana Aspermigas menyelenggarakan temu ilmiah untuk mengkaji kasus Lapindo pada awal Desember mendatang ––ledakan pipa gas Pertamina di lokasi Lapindo termasuk salah satu masalah yang harus cepat

diantisipasi.

Selain karena penanganan yang lamban, peninggian tanggul penahan lumpur panas yang terus dilakukan telah menimbulkan beban yang melebihi daya tahan pipa. Secara teoretis, jika tanggul terus ditinggikan, pipa saluran gas tersebut akan pecah karena kuatnya tekanan dari dalam dan dari luar pipa.

Kedua, data Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) menyebutkan bahwa lokasi sumur eksplorasi dan eksploitasi Lapindo semuanya berada di kawasan permukiman padat dan pertanian dengan kualitas kesuburan tanah kelas 1. Dari aspek geologis, lokasi tersebut merupakan zona yang mempunyai struktur bumi yang banyak patahan dan rekahan yang sangat rentan terhadap underground blow out.

(4)

________________________________________________________________________ 49 sumur. Dari 49 sumur tersebut, yang memiliki izin AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) hanya 21 sumur (AMDAL tahun 1997). Sedangkan 17 sumur lainnya baru dalam tahap pengajuan AMDAL (draf), sisanya (11 sumur) tidak memiliki AMDAL.

Sejatinya, AMDAL sebagai instrumen pengendali dampak lingkungan dan sebagai prasyarat perizinan seharusnya dimiliki oleh setiap pemrakarsa usaha. Tapi ternyata, Lapindo dapat mengabaikannya begitu saja. Bukankah berdasarkan datadata ini pun sebenarnya bencana yang ditimbulkan Lapindo juga sudah dapat diprediksi jauh sebelumnya?

Ketiga, sekaitan itu sebenarnya Lapindo patut disangka telah melakukan beberapa pelanggaran. Antara lain UU Lingkungan Hidup No 4/1982 (terutama Pasal 16 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup) dan Peraturan Pemerintah No. 29/1986 tentang AMDAL. Dengan demikian, seharusnya sudah sejak jauh hari pemerintah memberikan sanksi kepada Lapindo, dengan mengacu pada:

1) Pasal 27 UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberi kewenangan bagi instansi pemberi izin usaha untuk mencabut izin usaha bila terjadi pelanggaran tertentu yang dianggap berbobot, mulai pelanggaran syarat administratif, pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan terhadap penduduk setempat, sampai pelanggaran yang menimbulkan korban;

2) UU No. 5/1984 tentang Perindustrian yang memberi dasar yang kuat bagi pemerintah untuk menjatuhkan sanksi bagi kegiatan industri yang menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup Hal senada pernah dikemukakan Dr Suparto Wijoyo, ahli hukum lingkungan Universitas Airlangga, jauh sebelum ledakan pipa gas Pertamina terjadi. Menurut dia, Lapindo telah melakukan setidaknya 10 dosa hukum, antara lain UU Lingkungan Hidup, UU Jalan, UU Migas, UU Pertambangan, dan UU Kesehatan.

Dari seluruh dosa hukum itu, maka ancaman hukuman yang bisa ditudingkan ke Lapindo adalah di atas 5 tahun. Mestinya, lanjut Suparto, mereka yang mendapatkan ancaman penjara lebih dari 5 tahun layak ditahan. Dengan beberapa alasan di atas, seharusnyalah pemerintah bersikap tegas dan bertindak cepat menangani kasus ini. Mengapa harus ”menunggu” sampai terjadinya ledakan 22 November itu baru kasus ini dinyatakan sebagai bencana nasional? Seandainya pemerintah lebih sigap, setidaknya jatuhnya korban jiwa secara siasia dapat dicegah.

Karena itulah ke depan, kita berharap pemerintah mampu memperlihatkan kinerjanya secara lebih serius dan sikap yang lebih berani dalam menangani kasus ini. Maka,

berkaitan dengan kabar yang beredar bahwa saham PT Energi Mega Persada (anak usaha Grup Bakrie) di Lapindo telah dijual kepada Freehold Group Limited, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah konkret.

Pertama, mencegah pelepasan saham oleh kelompok Bakrie itu sebelum beberapa hal penting terkait dengan hal ini menjadi jelas.

(5)

________________________________________________________________________ itu harus dilakukan audit yang bukan saja terkait bidang finansial, tapi juga tanggung jawab sosial, lingkungan hidup, dan kompetensi para pemimpin perusahaan tersebut.

Ketiga, membuat perjanjian secara hukum tentang siapa yang akan meneruskan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab lingkungan hidup itu selanjutnya. Terkait hal itu, maka ada hal yang mengherankan: bahwa siapa di balik Freehold Group Limited itu tidak pernah dijelaskan secara rinci sampai sekarang.

Pihak Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) jelas harus konsern dengan urusan alih-saham itu. Sementara Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo harus konsern dengan masalah tanggung jawab Lapindo. Sebab, sebagai perusahaan besar, Lapindo seharusnya menjalankan apa yang disebut social corporate responsibility (CSR). CSR itu haruslah ditunjukkan secara konkret, baik kepada pemerintah, masyarakat sekitar,

maupun lingkungan hidup.

Apalagi, menurut data Walhi, sejak tahun 2001 hingga 2004, pendapatan Pemkab Sidoarjo dari Lapindo terus menurun. Bahkan, antara tahun 2005 hingga pertengahan 2006 ini, Lapindo tidak pernah menyumbangkan pendapatan pada kas daerah. Sementara di sisi lain, sejak terjadinya semburan lumpur panas itu, pertumbuhan investasi di

Sidoarjo mencapai nol persen. Penyebabnya, para investor takut tanah di sekitar lokasi semburan menjadi ambles.

Sehingga, pengusaha kalangan menengah ke atas tak ada yang mau menanam modalnya di sana. Bukankah atas semua dampak negatif itu pihak Lapindo layak dituntut untuk bertanggung jawab? Tapi, siapakah pihak Lapindo itu? Di baliknya ada keluarga Bakrie, dan salah seorang di antaranya adalah Aburizal Bakrie, yang kini menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

(6)

________________________________________________________________________ URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kepemilikan-saham-bagi-ko

Bencana Lumpur Lapindo Bencana Lumpur Lapindo:

Kepemilikan Saham bagi Korban Lumpur Sidoarjo

Oleh: Mohammad Nuh

Hingga saat ini, belum bisa dipastikan kapan semburan lumpur di lokasi sumur eksplorasi Lapindo, Porong, Sidoarjo, bisa teratasi. Tapi yang jelas, korban akibat lumpur Sidoarjo (Lusi) ini, terus bertambah, akibat terus meluasnya daerah yang terendam dan dampak ikutannya.

Namun, harus tetap diakui dan diberikan apresiasi atas berbagai ikhtiar dan upaya yang telah dilakukan. Sementara itu, penanganan terhadap keputusan kompensasi terhadap korban Lusi masih menjadi berdebatan dan perbincangan yang hingga saat ini belum juga menemui titik terang, dan berakibat terhadap makin tidak jelasnya masa depan para korban Lusi.

Memang konsep resettlement atau lainnya sudah digulirkan untuk mencarikan jalan keluar bagi para korban Lusi. Tapi karena pemikirannya sering kali tidak sejalan dengan keinginan warga, konsep itu malah menggulirkan permasalahan baru. Di satu sisi, para korban menginginkan segera adanya penyelesaian terhadap tempat tinggal dan lahan yang saat ini memang sudah terendam lumpur. Tapi di sisi lain, keinginan para warga untuk mendapatkan penggantian, seolah mengesampingkan rasionalitas dalam penentuan harga lahan di lokasi itu.

Tulisan ini memang tidak bermaksud untuk memihak kepada kepentingan warga atau pengusaha, tapi lebih pada pemberian pemikiran untuk mencari jalan keluar terbaik terhadap penyelesaian kompensasi yang ideal, karena itu cara pandangnya pun bukan semata pada bagaimana sekadar memikirkan mencarikan pengganti atau tempat tinggal baru dengan lingkungan yang hampir sama, atau memberikan penggantian dengan cara mematok harga lahan dan bangunan di atas nilai ratarata, tapi juga mempertimbangkan pada ikatan emosional dan jaminan rasa aman kepada para korban Lusi.

Hilangnya Cita-Cita

Kita dapat memahami, sejak awal masyarakat korban Lusi jelas posisinya terhadap kepemilikan rumah, lahan dan tercatat sebagai warga di sana. Karena itu pun pilihan mereka untuk tinggal di sana pasti telah memiliki dan menyusun cita-cita tentang masa depannya. Tapi akibat kejadian semburan lumpur, seolah cita-cita mereka hilang, berbagai rencana yang telah disiapkan warga sebagai sebuah masa depan bubar.

(7)

________________________________________________________________________ Tapi dengan tidak kunjung selesainya persoalan ini, ketidakpastian warga makin besar, cita-cita baru yang harusnya sudah mereka miliki pun, belum terpikir. Mereka masih berkutat pada persoalan berapa seharusnya kompensasi ideal yang bisa mereka terima untuk menjadikan hidup mereka di tempat baru kelak, lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Karena itulah berkembang pemikiran pada sisi warga untuk menentukan harga lahan yang di luar batas kewajaran.

Ini artinya, mereka sesungguhnya bukan hanya tidak ingin pindah dari lokasi di mana dia lahir, besar, dan bermasyarakat serta menggantungkan cita-citanya di wilayah itu, tapi juga warga masih dihantui keraguan terhadap masa depan dan cita-cita barunya, setelah pindah atau tidak lagi bermukim di lokasi yang kini sudah terendam lumpur.

Pada sisi inilah seharusnya dipikirkan, bahwa persoalan kompensasi tidak hanya sebatas pada pemberian harga yang jauh lebih baik, tapi juga ada social cost yang perlu

diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan. Pada titik inilah maka sesungguhnya model resettlement atau kompensasi pemberian uang langsung (cash compensation), belum menyelesaikan masalah secara keseluruhan.

Apalagi, banyak pengalaman membuktikan berpindahnya seseorang pada kasus pembebasan lahan atau penggusuran di banyak tempat, tidak menjamin kehidupannya lebih baik dibanding dengan daerah asal mereka.

Kepemilikan Saham

Jika kenyataannya seperti itu, pertanyaannya, model dan keputusan yang bagaimana seharusnya bisa diambil dalam upaya sesegera mungkin memberikan kepastian terhadap masa depan dan cita-cita baru warga korban Lusi?

Dengan mempertimbangkan berbagai aspek––nilai lahan, bangunan, dan social cat––, rasanya akan sangat ideal dan segera menemukan titik terang jika warga yang berada di lokasi korban Lusi, tidak hanya menerima kompensasi dengan hitungan yang layak, tapi juga mendapatkan insentif berupa kepemilikan saham atas kompensasi tanah, lahan atau aset yang ditinggalkannya.

Insentif tersebut lebih merupakan kompensasi sosial dan menjaga ikatan emosional para korban Lusi terhadap daerah yang ditinggalkannya. Pemikiran ini tentu tidak hanya pada bagaimana mencarikan jalan keluar terbaik dalam mencari bentuk kompensasi, tapi juga tetap membina hubungan emosional atau historis warga dengan daerah asalnya, dengan sebuah cita-cita lama yang terpaksa ditinggalkannya akibat luapan Lusi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Selama ini, salah satu kendala tidak terselesaikannya dengan segera terhadap proses kompensasi bagi korban Lusi, antara lain adanya anggapan di antara warga, terhadap berbagai kemungkinan masa depan yang menyebabkan lahan di sana memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibanding saat ini.

(8)

________________________________________________________________________ yang ditinggalkan warga, menjadi kata kunci berkembangnya spekulasi dan ke depan tidak terlalu mengecewakan warga atas kemungkinan munculnya ”trik-trik” bisnis, ketika diketahui ternyata bekas tanah dan asetnya, mengalami peningkatan nilai ekonomi yang sangat luar biasa.

Cara ini juga merupakan upaya dalam ”memuliakan” warga yang terkena bencana Lusi, berkait dengan pernyataan dan komitmen pemerintah untuk tetap memprioritaskan warga yang ada di sana. Langkah ini tidak lain bagian dari upaya penyelamatan masa depan korban “pembebasan terpaksa” di sana, serta menjawab ketidakpastian warga terhadap cita-cita barunya. Berapa rasionalitas terhadap kepemilikan saham atas tanah, lahan atau aset yang ditinggalkannya?

Sangat bergantung dari hasil kesepakatan antara warga dan pengusaha, dalam hal ini bisa diwakili Tim Nasional Lusi. Tentu saja yang lebih penting dari usulan kepemilikan saham bagi warga korban Lusi ini adalah bagaimana hal ini bisa dijadikan sebagai komitmen politik, baik bagi timnas, pemprov, maupun pemkab, untuk melindungi warganya dari spekulasi oleh sekelompok orang yang kini terus berkembang di masyarakat.

Kita berharap usul ini kiranya akan menghasilkan win-win solution terhadap proses kompensasi korban Lusi yang hingga kini belum menemukan titik temu yang ideal, akibat banyaknya pemikiran, kepentingan, dan spekulasi-spekulasi terhadap masa depan kawasan itu. Lewat insentif kepemilikan saham atas tanah, lahan atau aset yang

ditinggalkan, kiranya warga akan sepakat, karena mereka tidak serta-merta putus begitu saja dengan tempat asalnya, tapi juga masih punya kesempatan merasakan atau

(9)

________________________________________________________________________ URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0703/24/Fokus/3402371.htm

Bencana Lumpur Lapindo

Pembangkangan Rakyat Jenggala

Oleh: Hotman M Siahaan

Tebar pesona boleh saja dilakukan untuk mempertahankan citra kedigdayaan penguasa negeri ini. Namun, lumpur Lapindo di Sidoarjo yang tak mampu dibuntu kemampuan teknologi macam apa pun, yang ternyata juga buntu secara sosial politik, kini justru menyemburkan pesona pembangkangan sipil rakyat Jenggala—kalau boleh disebut demikian.

Pembangkangan sebagai puncak kebuntuan dan keputusasaan rakyat atas kemampuan negara melindungi dirinya. Ketika semua upaya dialog, perundingan, serta negosiasi, mulai dari yang paling ramah sampai yang paling amarah sekalipun ternyata tidak mampu mengurai solusi, rakyat Jenggala melontarkan agenda pembangkangan.

Pesona pembangkangan sipil (civil disobedience) kini marak bukan saja di kalangan rakyat seputar bencana lumpur Lapindo, tapi juga bergayung-sambut dengan sikap para wakil rakyat DPRD Jawa Timur. Pembangkangan ini merupakan pesona politik baru dalam perlawanan rakyat terhadap penguasa.

Panitia Khusus (Pansus) Lapindo DPRD Jawa Timur melontarkan tekanan politik, merekomendasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur menahan setoran Dana Perimbangan dari Jawa Timur ke pusat sebesar Rp 70 triliun.

Wakil Presiden Jusuf Kalla merespons dengan pernyataan, "jangan main gertak" karena pemerintah pusat bisa juga menahan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus untuk Jawa Timur. Sikap "main gertak" ini menambah kian tidak jelasnya sikap negara terhadap rakyat Jenggala yang hak sosial politik, ekonomi, dan budayanya sudah ditenggelamkan lumpur panas.

Pembangkangan sipil adalah kulminasi cara yang ditempuh rakyat ketika kekuasaan negara yang mereka amini sebagai institusi yang wajib melindungi hak-hak

kehidupannya, ternyata tidak memenuhi kewajibannya.

Pesona pembangkangan sipil yang kini marak, apakah melalui upaya menahan Dana Perimbangan, boikot membayar pajak, cap jempol darah, rencana ngeluruk ke pusat negara, membangun koalisi dengan parlemen daerah, mengajak pemerintah daerah menyatukan sikap menekan pemerintah pusat, adalah puncak dari upaya negosiasi amarah itu.

Bencana lumpur Lapindo ini bukan mustahil dapat membiak menjadi bencana sosial politik. Ketika semua upaya negosiasi rakyat dengan korporat menemui jalan buntu, ketika asumsi negara punya kedigdayaan melindungi rakyat dan bukan melindungi korporat ternyata tidak terbukti, agenda apalagi yang harus dijalankan kecuali

(10)

________________________________________________________________________ "State hidden agenda"

Semua itu adalah counter rakyat terhadap state hidden agenda (agenda tersembunyi negara) dalam kasus lumpur panas ini. Rakyat menyusun agenda tersendiri mengimbangi agenda tersembunyi negara yang hingga kini tidak bisa diurai oleh kekuatan politik macam apa pun. Bahkan tak peduli apakah itu sesuai prosedur atau tidak.

Pansus DPRD memberikan memo politik atau memo kebijakan kepada pemerintah pusat, adakah itu sesuai prosedur? Bukankah keputusan pansus selayaknya disahkan dalam sidang pleno, dan hasilnya merupakan keputusan resmi DPRD sebagai wakil rakyat kepada pemerintah?

Tapi tampaknya, itu tidak menjadi perkara bagi para wakil rakyat itu. Tekanan politik harus dilakukan, bahkan tuntutan cash and carry sebagaimana dituntut warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) 1 menjadi satu-satunya agenda yang

ditawarkan untuk menolak tawaran pemerintah pusat dan Lapindo, relokasi plus.

Gubernur yang secara konstitusional adalah wakil pemerintah pusat juga diminta

menolak tawaran relokasi plus, dan memaksa Lapindo dan pemerintah pusat menyetujui cash and carry untuk warga Perumtas 1, sama dengan kebijakan yang sudah disepakati untuk warga Desa Siring, Reno Kenongo, dan Kedung Bendo.

Sebagai bentuk pembangkangan sipil, rekomendasi menahan Dana Perimbangan, menolak membayar pajak, cap jempol darah, rencana ngeluruk ke Istana Presiden, boleh jadi akan mengalami kebuntuan juga bila hidden agenda negara tidak mampu

di-jelentreh-kan.

Tapi itulah pesona pembangkangan rakyat Jenggala yang kini kian marak. Sempurnalah semuanya, kebuntuan membuntu luapan lumpur panas, buntu bernegosiasi dengan

Lapindo, kini kebuntuan menghadang tuntutan atas kewajiban negara melindungi rakyat.

Pesona negara dan pemerintah macam apakah gerangan ini? Puluhan ribu rakyat tercerabut dari kehidupan sosial politik, ekonomi, dan budayanya.

Terlunta-lunta secara fisik dan batiniah, didera ketidakpastian nasib, dipecundangi kebijakan ekonomi politik bahkan hukum, dicederai korporat raksasa, dan… masya Allah, mereka tidak bisa berpaling ke mana pun untuk membela nasib yang terpuruk, termasuk kepada negara. Adakah kenistaan rakyat yang lebih daripada itu di suatu negeri yang penuh tebar pesona?

Anomali

(11)

________________________________________________________________________ Bukankah merekomendasi menahan Dana Perimbangan daerah ke pusat adalah suatu anomali? Bagaimana pula caranya? Kiat administrasi negara macam apa yang harus ditempuh? Bukankah itu juga anomali ketika rekomendasi itu direspons sebagai gertakan, dan dibalas gertak pula dengan menahan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dari pusat ke Jawa Timur?

Bukankah anomali pula ketika Pansus DPRD tanpa melalui sidang pleno mengajukan memo kebijakan ke pemerintah pusat? Bukankah juga anomali, boikot membayar pajak? Pajak mana yang harus diboikot? Pajak rakyat ke pusat atau pajak rakyat ke kas daerah?

Bukankah lagi-lagi anomali dengan berkilah mengatakan kesepakatan membayar ganti rugi/ganti untung oleh Lapindo hanya sebagai tanggung jawab moral, karena Lapindo belum ditetapkan secara hukum sebagai penyebab melubernya lumpur?

Bukankah anomali, keputusan melakukan pembangkangan sipil di suatu negara hasil reformasi yang menebah dada mengagulkan (membanggakan) transparansi, akuntabilitas, demokrasi, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)? Sungguh, lumpur panas Lapindo di Bumi Jenggala ini sedang memercikkan api sosial politik, yang boleh jadi kian membara.

Di mana kesulitan negara mengambil kebijakan guna melindungi rakyatnya dari ulah suatu korporat besar? Bukankah presiden—kalau mau—bisa mendelegasikan otoritas kepada pemerintah daerah untuk mengambil alih perkara, dan dengan otoritas penuh atas nama presiden, gubernur ditugaskan memimpin institusi pengganti Tim Nasional?

Dengan otoritas penuh dari presiden sebagai kepala pemerintahan, gubernur, kalau perlu dapat melikuidasi semua aset korporat Lapindo untuk diperhitungkan guna membayar semua kerugian ekonomi, sosial politik, serta budaya yang makin hari makin besar di Jawa Timur. Bukankah masih banyak sumur pengeboran Lapindo di Sidoarjo di luar sumur Banjar Panji 1 yang bermasalah itu?

Seandainya keuntungan dari berbagai sumur itu, diaudit secara transparan, bukankah semua bencana kehidupan sosial ekonomi politik dan budaya yang menimpa rakyat Sidoarjo dan Jawa Timur ini bisa diurai?

Tapi semua itu butuh komitmen pemerintah pusat, butuh komitmen negara memenuhi kewajibannya melindungi rakyat bukannya melindungi korporat, sebesar apa pun

keuntungan negara yang diperoleh dari korporat itu, termasuk sedekat apa pun hubungan penguasa dengan pemilik korporat itu.

(12)

________________________________________________________________________ URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0612/02/Fokus/3134959.htm

Bencana Lumpur Lapindo, Lapindo Tak Bisa Lari

Oleh: Harry Ponto

Upaya kelompok usaha Bakrie menjual kepemilikan PT Energi Mega Persada Tbk di Lapindo Brantas Inc kandas untuk kedua kalinya.

Upaya pertama dilakukan pertengahan September lalu kepada Lyte Limited, perusahaan Kepulauan Jersey, Inggris, yang masih terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie. Yang kedua masih hangat karena terjadi di bulan November kepada Freehold Group Limited, perusahaan British Virgin Island. Jika yang pertama harga jualnya 2 dollar AS (sekitar Rp 18.000), yang kedua seharga 1 juta dollar AS (sekitar Rp 9,1 miliar).

Polemik atas rencana penjualan tersebut tentu tidak terhindarkan karena tanggung jawab Lapindo yang sangat besar akibat lumpur panas di Sidoarjo. Menurut pemberitaan, lumpur sudah merendam tiga kecamatan, dan luas luberan lumpur mencapai 400 hektar.

Dalam waktu sekitar enam bulan, lebih dari 15.000 warga harus mengungsi dan kehilangan tempat tinggal (Kompas, 30/11). Biaya penanggulangan, konon, bisa mencapai 170 juta dollar AS (sekitar Rp 1,6 triliun), ditambah dengan biaya relokasi sebesar Rp 1 triliun-Rp 2 triliun.

Pertanyaannya, mengapa kelompok usaha Bakrie begitu gigih hendak menjual Lapindo? Apakah penjualan itu semata-mata untuk melindungi pemegang saham minoritas?

Atau, seperti ungkapan dalam bahasa Latin, in cauda venenum (racun ada di buntut/ekor), adakah maksud lain yang tersembunyi, semisal, pengalihan tanggung jawab? Tentu patut juga dipertanyakan peran yang seharusnya dilakukan negara sehubungan dengan

penanggulangan masalah ini.

Dari pemberitaan diketahui, alasan penjualan Lapindo adalah untuk melindungi pemegang saham minoritas di Energi Mega yang sekitar 30 persen. Sekitar 70 persen saham Energi Mega terkait dengan kelompok usaha Bakrie. Keberadaan Lapindo, katanya, hanya akan menggerogoti Energi Mega.

Disebutkan juga, penjualan Lapindo adalah penjualan peluang usaha (baca: memperoleh keuntungan) karena Blok Brantas masih menjanjikan. Risiko tetap akan menjadi

tanggung jawab kelompok usaha Bakrie.

Jika alasan penjualan itu adalah yang sesungguhnya, penjualan Lapindo tidak diperlukan. Jika benar kelompok usaha Bakrie akan menanggung seluruh beban biaya, kelompok usaha Bakrie cukup membuat perjanjian penjaminan yang menegaskan bahwa seluruh biaya penanggulangan menjadi beban dan tanggung jawabnya.

(13)

________________________________________________________________________ digerogoti oleh Lapindo.

Akibat kegagalan pengeboran sumur Banjar 1 yang dituding menjadi biang semburan lumpur panas, pemegang saham minoritas Energi Mega telah kehilangan kesempatan memperoleh keuntungan.

Jika Lapindo dijual, Energi Mega dan pemegang saham minoritas akan selamanya kehilangan Lapindo sebagai sumber pendapatan potensial. Padahal, kata kelompok usaha Bakrie, Lapindo memiliki sejumlah sumur yang masih menjanjikan untuk dikembangkan sebagai ladang minyak dan gas.

Dengan memberikan penjaminan, maksud melindungi kepentingan pemegang saham minoritas, sekali lagi, tentu akan tercapai karena mereka tidak perlu kehilangan Lapindo.

Tanggung jawab Bakrie

Karena ada dugaan terjadinya kesalahan atau penyalahgunaan perseroan untuk

kepentingan pribadi pemegang saham, tidak mustahil tuntutan kepada pemegang saham Lapindo akan sangat besar jumlahnya.

Mungkin terjadi pengeboran yang lupa memasang pengaman (casing) merupakan akibat penyalahgunaan perseroan untuk kepentingan pribadi pemegang saham. Jika terbukti, sesuai prinsip piercing the corporate veil dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, tanggung jawab pemegang saham bisa menjadi tidak terbatas lagi.

Walau mungkin sudah berdamai, gugatan PT Medco E&P Brantas ke arbitrase adalah bukti awal adanya kecerobohan atau kesalahan.

Medco bersama Santos Brantas Pty Ltd adalah rekan Lapindo dalam pengembangan Blok Brantas di Sidoarjo. Jika pemegang saham sebenarnya (ultimate beneficiary) adalah kelompok usaha Bakrie (sekitar 70 persen di Energi Mega), pertanggungjawaban tidak terbatas itu mungkin saja menembus sampai ke kelompok usaha Bakrie.

Dari prinsip piercing the corporate veil yang juga berlaku di banyak negara lain, patut diduga bahwa tujuan pelepasan kepemilikan di Lapindo mungkin tidak semata karena alasan perlindungan pada pemegang saham minoritas Energi Mega selaku pemilik Lapindo.

Karena, seperti ungkapan terkenal dari ekonom terkemuka Amerika, Milton Friedman, peraih Hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1976, there is no such as a free lunch, tidak ada yang gratis dalam kehidupan ini. Lagi pula, memang sudah menjadi sifat pebisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

(14)

________________________________________________________________________ Keppres No 13/2006

Secara berulang dikesankan di media massa bahwa Lapindo tetap bertanggung jawab atas semua biaya penanganan dampak semburan lumpur panas di Sidoarjo sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 13 Tahun 2006. Akibatnya, banyak yang bertanya tentang nasib korban setelah berakhirnya keppres.

Sesungguhnya Keppres itu tidak mengatur tentang tanggung jawab biaya penanganan semburan lumpur Sidoarjo. Yang diatur adalah pembentukan Tim Nasional

Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dengan masa kerja sampai enam bulan (7 Maret 2007) dan dapat diperpanjang.

Dalam Butir 5 Keppres memang disebutkan, pembentukan Tim Nasional tidak

mengurangi tanggung jawab Lapindo untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.

Namun, ketentuan itu hanya merupakan penegasan atas tanggung jawab Lapindo, dan bukan dasar hukum pertanggungjawaban Lapindo. Karena itu, Lapindo demi hukum tetap bertanggung jawab atas dampak semburan lumpur sekalipun masa tugas Tim Nasional telah berakhir.

Tugas negara

Sudah menjadi tugas negara, dalam hal ini pemerintah, untuk menjamin adanya

kehidupan yang nyaman, aman, dan tenteram serta memajukan kesejahteraan rakyatnya. Yang terjadi sekarang ini adalah tercerabutnya hak asasi masyarakat Sidoarjo secara besar-besaran.

Yang terjadi tidak hanya hilangnya hak untuk memiliki (harta benda) dan kebebasan untuk mencari nafkah, tetapi juga hak hidup karena lumpur Sidoarjo itu sudah memakan korban nyawa sedikitnya 12 orang.

Dengan segala kewenangan dan perlengkapan yang dimilikinya, pemerintah tentu dapat mempercepat penanggulangan dampak lumpur panas. Selain itu, jika pemerintah serius, Bapepam jangan dibiarkan sendiri. Bagaimana dengan hasil penyidikan pihak kepolisian yang sampai saat ini nyaris tak terdengar?

(15)

________________________________________________________________________ URL Source:

http://www.korantempo.com/korantempo/2007/03/01/Opini/krn,20070301,65.id.html Lumpur Lapindo Menjelang 8 Maret

Oleh: Bambang Widjojanto

Sembilan bulan berlalu, dan hingga kini masih belum jelas ujung derita yang timbul akibat dahsyatnya semburan lumpur di ladang pengeboran Lapindo Brantas Inc. Aneka upaya yang diambil pun sejauh ini tampaknya belum memenuhi harapan. Di tengah itu semua, masa tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 akan selesai pada 8 Maret mendatang. Pertanyaannya kemudian, siapa atau lembaga apa yang kelak harus diberi tugas menghentikan semburan Lumpur.

Ada beberapa isu utama menyangkut lembaga baru ini. Pertama, sejauh mana lingkup tugasnya dalam mengelola dampak yang muncul serta apa kewenangannya guna mengambil langkah-langkah strategis meminimalisasi kerusakan yang lebih masif, baik di berbagai sektor kehidupan masyarakat maupun lingkungan hidup. Dan kedua, seberapa besar lembaga ini memiliki sumber-sumber pembiayaan untuk mengoptimalkan tugas dan kewenangannya.

Jawaban tegas untuk soal ini tentu tak mungkin kita berikan di sini. Yang ingin kita bahas justru masalah krusial dan sensitif, yang mestinya bisa dijawab lebih dulu sebelum

pertanyaan di atas tadi, yakni tentang siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab, serta seberapa besar dia harus bertanggung jawab dalam mengelola keseluruhan dampak yang muncul dari lumpur Lapindo.

Jika kita mendekati masalah ini melalui pendekatan pidana, ada prinsip dasar yang harus ditegakkan di sini: "tiada pertanggungan jawab tanpa kesalahan serta tiada pidana tanpa kesalahan". Berpijak pada kaidah ini, tidaklah mungkin Lapindo Brantas Inc. dapat dimintai pertanggungjawaban menyeluruh untuk memikul segenap akibat yang muncul dari semburan lumpur jika tidak pernah dibuktikan bahwa ada kesalahan atau tindakan melawan hukum yang secara nyata telah dilakukannya sehingga menyebabkan terjadinya semburan lumpur. De facto hingga kini, Lapindo Brantas Inc. belum dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan.

Untuk itu, tidak pula berlebihan jika harus dikaji, bahkan dilakukan penyelidikan dan penyidikan, untuk menentukan apakah ada elemen-elemen yang dapat bersifat deceit (kecurangan), concealment of facts (penyembunyian kenyataan), illegal circumvention (pengelakan peraturan), atau subterfuge (akal-akalan) dalam proses operasi pengeboran. Semua itu untuk menentukan sifat melawan hukum guna mengkualifikasi ada-tidaknya kesalahan yang telah dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc.

(16)

________________________________________________________________________ Inc. pernah membuat pernyataan yang menegaskan bahwa total dana yang dianggarkan perusahaan untuk penanggulangan lumpur sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah hanya US$ 170-180 juta.

Salah satu media mengutip pendapat sebuah lembaga keuangan, UBS AG, yang menaksir biaya yang harus dikeluarkan untuk penanggulangan bencana lumpur US$ 750 juta atau sekitar Rp 6,8 triliun. Bandingkan juga dengan jumlah kerugian yang dituntut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam gugatannya yang mencapai angka Rp 33 triliun. Belum lagi beberapa taksiran lembaga lain yang mencoba merumuskan nilai kerugian yang muncul akibat semburan lumpur.

Uraian mengenai besarnya kerugian ini hendak menegaskan: pertama, belum ada yang dapat memastikan jumlah kerugian; dan kedua, apa mungkin Lapindo Brantas Inc. dapat dimintai pertanggungjawaban. Juga apakah mereka mau bertanggung jawab atas semua biaya dan kerugian yang muncul untuk menanggulangi semburan lumpur jika tidak dapat dibuktikan adanya kesalahan mereka dalam kasus ini.

Itu sebabnya, tidaklah mengherankan bila ada sinyalemen yang menyatakan adanya suatu usaha yang kian sistematis untuk mengkualifikasi semburan lumpur Lapindo sebagai bencana alam semata, dan bukan karena kesalahan prosedur pengeboran. Sinyalemen ini berimpitan dengan kecenderungan yang memperlihatkan adanya satu upaya menutupi kesalahan pihak yang bertanggung jawab, atau setidak-tidaknya meminimalisasi derajat kesalahannya. Indikasinya bisa didapatkan dari ketidakjelasan dan akuntabilitas proses penyidikan atas dugaan kelalaian dalam proses pengeboran yang menjadi penyebab utama munculnya bencana semburan lumpur.

Tanpa bermaksud menyamakan kasus lumpur Lapindo dengan modus kejahatan yang dilakukan Enron Corp., ternyata kejahatan itu ditopang oleh perusahaan auditor Arthur Andersen yang mengaudit laporan keuangan Enron Corp. Hal serupa juga terjadi pada kasus WorldCom Inc., yang melakukan accounting scandal. Pada kasus ini, seorang controller WorldCom mengakui kesalahannya karena memalsukan laporan keuangan; dan yang mengejutkan, dia juga membuat pernyataan bahwa tindakan yang dilakukannya itu atas perintah atasannya untuk membuat markup pendapatan perusahaan hingga mencapai US$ 5 miliar selama 18 bulan. Fakta ini hendak menegaskan, pada kejahatan bisnis, otoritas asosiasi dan para atasan mempunyai potensi dan peran penting untuk melegalisasikan suatu kejahatan dan sekaligus menjadi pelaku intelektual kejahatan.

Hal lain yang juga terjadi, ada upaya sistematis lainnya untuk mengalihkan kepemilikan Lapindo Brantas Inc. yang semula berinduk pada PT Energi Mega Persada Tbk. ke pihak lain. Di satu sisi, penjualan Lapindo Brantas Inc. dapat saja dilakukan agar tidak

mengganggu keseluruhan perusahaan bisnis dari holding company yang membawahkan Lapindo Brantas Inc. Tapi penjualan itu juga dapat dimaksudkan untuk mengingkari tanggung jawab.

Belum jelas betul apakah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) tetap menolak penjualan Lapindo kepada Freehold Group Ltd. karena tetap belum mendapat

(17)

________________________________________________________________________ yang seharusnya dipikul bila kelak terbukti ada kesalahan yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc.

Perdebatan di atas juga dapat diimbuhi dengan diskursus mengenai batas tanggung jawab perseroan sesuai dengan ketentuan korporasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 3 ayat 1 UU Perseroan Terbatas menegaskan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas nilai saham yang dimilikinya.

Pendeknya, persero tidak dapat dituntut untuk bertanggung jawab atas kerugian yang melebihi nilai saham atau kekayaan korporasi. Meski perlu dicatat, undang-udang itu pun mengenal doktrin piercing the corporate veil, yang memberi peluang menuntut

pertanggungjawaban dari pemegang saham. Bahkan harta kekayaan direktur dan

komisaris dapat ditanggungkan bila terbukti terjadi tindakan yang dilakukan direktur dan komisaris melebihi batas kewenangan yang dimiliki.

Selain itu, bukan tidak mungkin Lapindo Brantas Inc. akan mengambil tindakan untuk mempailitkan dirinya sendiri (voluntary bankruptcy) atau pihak lain yang

mempailitkannya, sehingga dia tidak bisa dituntut lagi untuk menanggung kerugian yang muncul. Keseluruhan tindakan itu dapat berpucuk pada suatu maksud yang ditujukan untuk meminimalisasi, mengalihkan, dan/atau mengingkari tanggung jawab yang harus dipikul atas semburan lumpur Lapido. Itu sebabnya, tak mengherankan bila Lapindo menolak memberikan ganti rugi kepada warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera. Dan kondisi ini dapat menyebabkan potensi konflik yang serius dan sangat mengkhawatirkan.

Dari uraian itu, kita menemukan suatu keadaan ketika potensi kerugian akibat semburan lumpur akan kian meluas, tapi Lapindo Brantas Inc. akan menolak bertanggung jawab memberikan ganti kerugian. Sementara itu, alasan dan dasar hukum yang dapat memaksa Lapindo Brantas Inc. belum ada, karena proses hukumnya tidak jelas--kecuali gugatan yang diajukan Walhi. Dan jika tak ada kesalahan yang bisa dibuktikan, tidaklah mungkin dituntut suatu pertanggungjawaban secara penuh dari Lapindo.

Dalam situasi begini, upaya pembuktian mengenai siapa sesungguhnya penyebab timbulnya semburan lumpur itu menjadi tak bisa ditawar. Benarkah akibat kelalaian teknis dalam pengeboran yang dilakukan Lapindo atau memang bencana alam seperti akhir-akhir ini dicoba "dikampanyekan".

(18)

________________________________________________________________________ URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/negara-dan-lumpur-

Kasus Lumpur Lapindo , Negara dan Lumpur Sidoarjo

Oleh: Muhammad Qodari

APAKAH Anda sudah pernah merasakan dampak semburan lumpur di Sidoarjo? Saya sudah, ketika harus pergi ke Kota Batu, Malang, beberapa bulan lalu. Gara-gara Lusi (Lumpur Sidoarjo) menggenangi jalan tol Porong–Gempol di Sidoarjo, perjalanan saya ke Malang harus memutar sehingga lebih lambat 3–4 jam.

Dampak tersebut bisa dikategorikan sebagai dampak paling ringan dari semburan Lusi. Cuma, itu saja sudah bikin kesal. Maklum, perjalanan menjadi lebih lama, terjebak macet, dan bensin yang dihabiskan lebih banyak. Kesulitan yang dialami warga yang tinggal di Jawa Timur tentu lebih besar.

Kesulitan itu semakin hari semakin besar dan meluas. Hal ini karena semburan lumpur terus membesar hingga mencapai 126 ribu kubik (m3) per hari atau setara dengan

792.540 barel. Hampir mendekati produksi rata-rata minyak bumi Indonesia saat ini yang sekitar 1 juta barel per hari. Semburan itu juga tak kunjung henti. Akibatnya, wilayah yang terancam Lusi semakin meluas hingga semakin banyak rumah penduduk, pabrik, dan fasilitas umum yang terkena dampak langsungnya.

Ledakan pipa gas yang terjadi Rabu (22/11) semakin memperbesar skala kesulitan yang timbul akibat Lusi. Bukan hanya karena ledakan itu memakan tak kurang dari 11 orang meninggal dan dua lainnya hilang, ledakan juga menyebabkan pasokan gas yang dibutuhkan untuk pembangkit tenaga listrik dan untuk industri terputus. Akibat penurunan pasokan listrik, sebagian wilayah Jakarta terpaksa mengalami pemutusan listrik.

Dampak langsung Lusi di ujung timur Pulau Jawa akhirnya dirasakan sampai Jakarta yang terletak di ujung barat Pulau Jawa. Ledakan pipa gas telah menjebol tanggul yang dibuat untuk melindungi jalan tol Porong– Gempol. Akibatnya, jalan tol sepanjang 1 km tergenang lumpur dengan kedalaman 2–3 meter. Dalam rapat terbatas pascaledakan pipa gas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang notabene orang Jawa Timur,

menginstruksikan agar jalan tol ditutup secara permanen.

Berkurangnya pasokan listrik, gas, dan ditutupnya jalan tol pada saat bersamaan akan menimbulkan biaya ekonomi yang jauh lebih besar. Semburan lumpur di Sidoarjo berawal dari kegiatan pengeboran minyak yang dilakukan Lapindo Brantas Inc yang sahamnya dimiliki Kalila dan Pan Asia Enterprise. Kalila dan Pan Asia Enterprise sendiri merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada yang 70% sahamnya dimiliki kelompok usaha Bakrie.

(19)

________________________________________________________________________ penanganan dampak semburan Lusi menjadi tanggung jawab Lapindo.

Masalahnya, semburan lumpur semakin besar dan semakin luas. Dampaknya juga mengenai penduduk, pabrik, dan berbagai fasilitas umum seperti jalan tol, rel kereta, jaringan listrik, dan pipa gas yang ada di daerah tersebut sehingga pemerintah daerah dan akhirnya pemerintah pusat ikut turun tangan.

Keluarlah Keppres No 13/2006 yang mengatur penanganan Lusi dan pembentukan Tim Nasional Penanganan Semburan Lumpur di Sidoarjo (PSLS) di mana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro menjadi Ketua dewan

pengarahnya. Dengan Keppres No 13/2006 dan Timnas PSLS, negara (baca: pemerintah pusat) telah memainkan peranannya.

Timnas PSLS dibagi dalam tiga kelompok kerja. Kelompok 1 berusaha menghentikan semburan. Kelompok 2 mencari cara penanganan lumpur yang keluar. Kelompok 3 menangani aneka dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Di Timnas sendiri, bekerja aparatur dan para ahli dari berbagai departemen, seperti ESDM, Perikanan dan Kelautan, Lingkungan Hidup, dan lain-lain.

Masalahnya sekarang adalah sejauh mana peran negara itu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan dunia usaha sampai dengan hari ini? Menjelang enam bulan semburan pada 29 November ini (semburan Lusi pertama kali terjadi pada 29 Mei 2006), kelompok 1 belum berhasil menghentikan lumpur yang keluar. Dari sekian pilihan teknik yang ditawarkan, Timnas memilih membuat dua relief well (pengeboran dari samping).

Saya tidak tahu persis bagaimana relief well ini bekerja, tapi dari newsletter edisi V, November 2006, yang diterbitkan Timnas LSPS, diinformasikan bahwa pengeboran relief well 1 telah mencapai kedalaman 3.533 kaki dan casing pertama sudah dipasang.

Sementara pengeboran relief well 2 telah mencapai 1.170 kali. Ditargetkan, Desember pembuatan kedua relief well akan selesai sehingga Januari 2007 barulah semburan Lusi dapat dihentikan.

Apakah benar berhenti? Ini pertanyaan yang tentu kita nanti-nanti jawabnya. Adapun kelompok 2 telah melakukan setidaknya dua tugas besar. Pertama, pembuatan dan penguatan tanggul-tanggul kolam penampungan lumpur. Kolam yang dibangun sudah sekitar 450 hektare. Menurut Rudy Novrianto, juru bicara Timnas PSLS, kolam ini dapat menampung 13 juta kubik lumpur sementara lumpur yang ada sekarang 11 juta kubik.

Kelompok 2 juga harus selalu menjaga agar tanggul-tanggul ini tidak jebol dan menutup kembali tanggul yang jebol sejauh memungkinkan. Kedua, membuat spill way (saluran pelimpahan) untuk membuang lumpur dari kolamkolam ke Sungai Porong yang

harapannya akan mengalirkan lumpur ke Selat Madura. Spill way telah diuji coba pada 2 November dan dianggap berhasil dengan bukti susutnya lumpur di kolam 5 sekitar 1,5 meter dalam dua hari.

(20)

________________________________________________________________________ sehingga lumpur meluber keluar kolam, menumpuknya lumpur di Sungai Porong karena tidak terbawa ke laut, dan potensi kerusakan alam akibat pembuangan lumpur di Sungai Porong dan Selat Madura.

Untuk kelompok 3, tugas mereka adalah menangani evakuasi dan relokasi warga yang rumahnya tergenang lumpur dan ganti kerugian yang ditimbulkan akibat hilangnya mata pencarian masyarakat yang lahan kerja atau pabriknya terpaksa tutup. Pekerjaan mereka akan semakin luas apabila semburan lumpur terus melebar hingga mengancam wilayah pemukiman dan industri lainnya.

Peran Lain

Tugas-tugas Timnas LSPS di atas jelas sangat berat. Apalagi di luar tugas-tugas di atas, setidaknya masih ada empat pekerjaan rumah lain yang besar seperti merelokasi jalan tol, rel kereta api, jaringan listrik, dan pipa gas yang harus dipindahkan sebagai akibat

langsung dan akibat sampingan dari semburan Lusi.

Apakah ini juga menjadi tugas Timnas, tim lain, ataukah diserahkan pada departemen dan institusi lain yang membawahi keempat masalah di atas, kita tunggu peran yang tegas dari negara. Ketegasan lain yang ditunggu dari pemerintah berkaitan dengan status kepemilikan Lapindo Brantas yang oleh Keppres 13/2006 ditunjuk untuk menanggung semua biaya sosial dan teknis yang harus keluar akibat semburan lumpur Sidoarjo.

Diberitakan bahwa Energi Mega Persada (EMP) telah menjual saham Lapindo Brantas kepada Freehold Group Ltd. Penjualan saham ini telah menimbulkan kontroversi tentang tanggung jawab kelompok usaha Bakrie selaku pemilik saham mayoritas terhadap kelanjutan penanganan masalah Lusi di masa yang akan datang. Nirwan D Bakrie selaku pemilik kelompok usaha Bakrie telah menyatakan bahwa mereka tidak akan lari dari tanggung jawab.

(21)

________________________________________________________________________ URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0701/23/opini/3206257.htm

Pelanggaran HAM Kasus Lapindo

Oleh: Salahuddin Wahid

Semburan lumpur panas yang mengandung hidrogen sulfida H2

Akibatnya, penduduk di empat desa harus mengungsi. Mereka kehilangan rumah, sawah, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Bencana itu juga mengakibatkan pencemaran air, tanah, dan udara.

Hingga kini, penyebab musibah itu tidak pernah jelas akibat aktivitas alam atau kesalahan pengeboran oleh Lapindo Brantas Inc. Ada yang menyatakan, fenomena semburan lumpur itu termasuk hal biasa dalam dunia pertambangan dan merupakan risiko yang sering terjadi.

Namun, harus diingat, hanya di Indonesia pertambangan boleh dilakukan di permukiman seperti di Sidoarjo. Maka, sesuai prinsip pertanggungjawaban dalam hukum lingkungan, Lapindo Brantas Inc mutlak (absolut liability) harus bertanggung jawab atas dampak lumpur panas tanpa melihat apakah itu kesalahan aktivitas Lapindo Brantas atau tidak. Di sisi lain, karena dalam perkembangannya bencana itu mengakibatkan pelanggaran HAM, negara juga harus bertanggung jawab tanpa menghilangkan tanggung jawab perusahaan.

Pelanggaran HAM

Bencana lumpur panas menggenangi empat desa di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, dan ribuan penduduknya kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Mereka kehilangan lingkungan yang sehat untuk tumbuh dan berkembang. Anak-anak mereka terhambat perkembangan dan pendidikannya. Korban akan kian besar jika diperhitungkan dampak bencana itu menghambat aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat Jawa Timur.

Bencana itu telah menimbulkan kondisi yang mengakibatkan tidak terlindungi dan terpenuhinya hak asasi korban. Hak-hak yang terlanggar antara lain:

Pertama, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan seperti dijamin dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945.

Kedua, hak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan perlakuan adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana dijamin Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945.

Ketiga, hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagaimana dijamin Pasal 27A UUD 1945.

(22)

________________________________________________________________________ Kelima, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak mendapat layanan kesehatan sebagaimana dijamin Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945.

Keenam, hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar; hak mendapat pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan manusia seperti dijamin Pasal 28C UUD 1945.

Ketujuh, hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang sebagaimana dijamin Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945.

Pasal 28I UUD 1945 mengamanatkan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Untuk itu, dalam kasus lumpur Sidoarjo pemerintah harus bertanggung jawab tanpa menghilangkan tanggung jawab Lapindo Brantas Inc.

Langkah penting

Adalah ironi, bencana yang sudah terjadi tujuh bulan belum ditangani dengan baik. Bahkan, hingga kini belum ada keputusan yang menyatakan, apakah semburan lumpur dapat dihentikan dalam waktu dekat atau tidak.

Selain ganti rugi bagi korban, yang lebih penting adalah memberi kepastian dan pilihan yang menentukan masa depan korban yang lama terkatung-katung.

Jika semburan itu mungkin dihentikan dalam waktu dekat, yang dibutuhkan adalah penampungan sementara yang memenuhi kelayakan hingga dapat menempati tempat tinggal semula. Tentu harus disiapkan pembangunan kembali perumahan, infrastruktur dan fasilitas sosial yang rusak terendam lumpur. Tidak kalah penting, menyiapkan

program ekonomi untuk mengembalikan penghidupan korban yang dalam jangka panjang tidak akan dapat menggantungkan pada lahan persawahan atau tambak.

Jika semburan lumpur itu tidak dapat dihentikan dalam waktu dekat, harus segera diputuskan adanya relokasi korban.

Persoalan paling krusial adalah menentukan apakah relokasi itu dilakukan di wilayah Kabupaten Sidoarjo sendiri atau ke wilayah lain karena menyangkut identitas kelahiran dan ikatan nenek moyang yang tidak mudah dihilangkan. Karena itu, proses relokasi harus benar-benar dilakukan secara partisipatif tanpa pemaksaan. Relokasi juga harus dilakukan dengan menyediakan sarana perumahan, infrastruktur memadai, fasilitas umum dan sosial, serta ketersediaan lapangan kerja baru sesuai keahlian yang dimiliki masing-masing korban.

Tidak ada kepastian

(23)

________________________________________________________________________ seperti orang jatuh yang tertimpa tangga.

Dalam negara dengan sistem ekonomi pasar, kualitas birokrasi yang buruk akan

menghasilkan kualitas regulasi yang buruk pula. Jika ini terjadi, mekanisme pasar akan melahirkan benih-benih destruktif yang dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Dalam pidato pelantikan menjadi Presiden AS (1961), John F Kennedy mengatakan, "If a free society cannot help the many who are poor, it cannot save the few who are rich".

(24)

________________________________________________________________________ URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0703/24/Fokus/3402715.htm

Bencana Lumpur Lapindo, Lumpur Panas yang Bikin Mulas

Oleh: Hamzirwan

Sudah hampir sepuluh bulan lumpur Lapindo menyembur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Ketinggian tanggul yang dibangun mengelilinginya pun terus ditambah. Tak ada yang tahu, kapan semburan itu berhenti dan genangan lumpur mengering.

Sejak sumur pengeboran milik PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, menyemburkan lumpur pada 29 Mei 2006, sampai kini belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Kehidupan ribuan orang pun

mendadak terhenti akibat permukiman dan tempat usaha mereka terendam lumpur panas.

Sedikitnya 20 pabrik yang mempekerjakan 2.500 orang tutup akibat terendam lumpur. Saat ini, sekitar 1.000 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja akibat ketidakjelasan kelanjutan operasional pabriknya.

Efek domino perekonomian pun tidak kecil. Perekonomian Jawa Timur merugi sedikitnya Rp 13 triliun akibat tutupnya pabrik, distribusi produk ekspor, transportasi antarkota, dan hancurnya industri pariwisata. Belum lagi kehancuran infrastruktur seperti rel kereta api, jalan tol, dan jalan umum.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi di Jakarta, Kamis (22/3), mengatakan, pemerintah memang tidak ingin menyatakan kasus lumpur panas Lapindo sebagai bencana nasional untuk menghindari negara bertanggung jawab pada seluruh kerugiannya.

Namun, pemerintah seharusnya bersikap tegas dengan mengambil alih tanggung jawab Lapindo untuk sementara dan menyelesaikan seluruh persoalan berkait dengan rakyat dan dunia bisnis korban lumpur.

"Jangan hanya mendiamkan seperti sekarang ini, tidak produktif bagi siapa pun. Pemerintah harus mengambil alih sementara agar seluruh korban mendapat kepastian. Setelah itu, baru pemerintah hitung-hitungan dengan Lapindo," kata Sofjan.

Penanganan yang berlarut-larut tanpa ketegasan pemerintah selama ini telah

menimbulkan ketidakpastian bagi pengusaha. Menurut Sofjan, pertumbuhan perusahaan di Jawa Timur kini merosot 30 persen sejak lumpur panas meluber.

Ongkos transportasi barang dan waktu tempuh lebih panjang menyebabkan pengusaha harus memutar otak untuk menyiasati kenaikan biaya produksi. Keuntungan semakin menipis, sementara potensi kerugian terus membayang di depan mata.

(25)

________________________________________________________________________ sedikit.

Greenomics menghitungnya berdasarkan komponen biaya pembersihan lumpur Rp 4,3 triliun, penanganan sosial Rp 3,59 triliun, restorasi lahan Rp 3,97 triliun, ekologi Rp 4,63 triliun, pertumbuhan ekonomi Rp 4,34 triliun, pemulihan bisnis Rp 5,79 triliun,

kehilangan kesempatan Rp 2,88 triliun, dan ketidakpastian ekonomi Rp 3,7 triliun.

"Seluruh biaya ini tidak jelas siapa yang akan menanggung karena kas Lapindo sendiri jauh lebih kecil dari nilai kerugian yang terjadi. Pemerintah sebaiknya segera

memutuskan apa yang harus dilakukan agar rakyat mendapat kepastian," katanya.

Ia pun gerah oleh sikap ambigu pemerintah dalam kasus Lapindo. Pemerintah pusat dan daerah seperti menutup mata dalam menangani kasus Lapindo.

Elfian mencoba membandingkan kasus lumpur panas Lapindo dengan bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, 26 Desember 2004. Korban tsunami—meski mengalami kerusakan fisik dan psikologis yang cukup dahsyat—mereka tahu pasti bahwa peristiwa tersebut memang bencana dan berlangsung pada batas waktu yang jelas.

Sementara, di Sidoarjo, ribuan korban setiap hari harus terus menatap permukiman dan tempat sumber nafkah mereka yang telah terendam lumpur panas. Perlahan-lahan kedalaman air terus bertambah tanpa tahu kapan akan berhenti.

"Bahkan, para insinyur muda yang mengawasi lumpur pun jenuh, karena mereka terus-menerus mengawasi luapan lumpur yang tidak tahu kapan berakhirnya," kata Elfian.

Tak mampu

Pengamat ekonomi Faisal Basri mengemukakan, sikap tidak tegas pemerintah dalam menangani kasus Lapindo Brantas telah menunjukkan ketidakmampuan mengatasi persoalan.

"Ongkos paling mahal yang muncul akibat lambannya penanganan lumpur panas Lapindo ini adalah ketidakpastian di Jawa Timur," katanya.

Dampak jangka pendek

Menurut Faisal, lumpur panas Lapindo hanya akan berdampak pada perekonomian jangka pendek Jawa Timur. Untuk jangka menengah, perekonomian akan lebih stabil, sebab infrastruktur dan antisipasi terhadap lumpur panas sudah selesai dibangun sehingga sudah ada alternatif distribusi barang dan orang.

Kegiatan bisnis di daerah lain yang tidak terkena lumpur panas, tapi terganggu arus transportasi pasokannya pun kini mulai normal. Karena itu, dia memperkirakan perekonomian jangka menengah Jawa Timur dapat segera normal kembali.

(26)

________________________________________________________________________ "Ini hanya untuk menunjukkan bahwa pemerintah turut bertanggung jawab karena kuasa pertambangan pemerintah kan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Badan Pengatur Migas. Karena tidak mungkin juga Lapindo atau Grup Bakrie menanggung semua kerugian yang nilainya tak terbatas saat ini," kata Faisal.

Apalagi, lanjutnya, kerugian yang ditimbulkan diperkirakan telah melebihi nilai kekayaan PT Lapindo Brantas dan grupnya. Penegasan pemerintah dibutuhkan untuk menunjukkan kemauan melindungi investor.

Soal hak normatif pemerintah dan Lapindo Brantas sebenarnya dapat diketahui dari isi kontrak kerja yang disepakati. Karena itu, kata Faisal, pemerintah seharusnya

membeberkannya kepada publik sehingga semua orang tahu apa yang menjadi kewajiban pemerintah dan Lapindo.

Selanjutnya, lokasi pertambangan di masa mendatang seharusnya menjauhi kawasan permukiman penduduk dan bisnis.

(27)

________________________________________________________________________ URL Source:

http://korantempo.com/korantempo/2007/04/19/Opini/krn,20070419,78.id.html Bencana Lumpur Lapindo, Siapa Harus Menanggung Lumpur?

Oleh: Harry Ponto

Upaya membuat negara ikut menanggung biaya bencana semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo akhirnya berhasil. Pemerintah pusat memutuskan mengambil alih bagian terbesar biaya penanggulangan bencana lumpur Lapindo. Padahal bencana lumpur tersebut tidak dinyatakan sebagai bencana nasional.

Keputusan itu dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Meski kerusakan infrastruktur merupakan akibat aktivitas pengeboran Lapindo Brantas Inc., Perpres memastikan Lapindo tidak perlu menanggung biaya pemindahan dan perbaikannya. Semua biaya perbaikan akan dimasukkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.

Yang ditanggung Lapindo, menurut Perpres, hanya dua. Pertama, biaya sosial

kemasyarakatan dengan membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur. Pembelian itu dilakukan hanya terhadap korban yang termasuk dalam peta area terdampak pada 22 Maret 2007. Jika area terdampak meluas, biayanya akan dibebankan pada APBN. Dan kedua, biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk tanggul utama sampai ke Kali Porong.

Keputusan ini tentu bermanfaat bagi masyarakat Jawa Timur, karena perbaikan dan pengalihan infrastruktur bisa segera dilakukan. Pengalihan infrastruktur ini, seperti perbaikan jalan tol dan pemindahan rel kereta api, sangat vital untuk masyarakat Jawa Timur dan untuk mengatasi perekonomian di provinsi itu yang sudah lama terganggu.

Masalahnya, jika bencana lumpur terjadi karena kelalaian Lapindo, semisal karena pengeboran yang tidak memasang pengaman (casing), apakah wajar jika seluruh rakyat Indonesia yang menanggungnya? Bagaimana perlakuan dana APBN yang akan

dikeluarkan untuk Lapindo? Apa merupakan dana talangan yang harus dikembalikan oleh Lapindo atau pemberian cuma-cuma?

Perpres ini jelas berbeda dengan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006, yang habis masa berlakunya pada 8 April lalu. Dalam butir 5 Keppres ditegaskan tanggung jawab Lapindo untuk melakukan penanggulangan dan memulihkan kerusakan lingkungan hidup serta masalah sosial yang ditimbulkannya.

(28)

________________________________________________________________________ Tanggung jawab Lapindo

Rakyat Indonesia tentu menginginkan infrastruktur di area terdampak dapat segera diperbaiki atau dialihkan agar roda perekonomian di Jawa Timur dapat segera berputar normal. Namun, tentu tidak adil bagi rakyat umumnya jika biaya yang besar itu harus ditanggung rakyat melalui APBN. Apa landasan hukum yang digunakan hingga rakyat yang mesti bertanggung jawab?

Sebelum ini, upaya membuat biaya penanggulangan masuk dalam APBN sudah dilakukan, yaitu mendorong pemerintah menyatakan bencana lumpur Lapindo sebagai bencana nasional. Nyatanya, ini tidak dilakukan pemerintah. Artinya, pemerintah tahu bahwa bencana lumpur Lapindo bukan bencana nasional. Setidaknya pemerintah ragu apakah itu tergolong bencana nasional atau tidak.

Masih segar dalam ingatan bahwa Kelompok Usaha Bakrie secara berulang menjamin akan menanggung semua beban biaya bencana tersebut. Jika niat itu benar, guna menjamin pengembalian dana APBN yang digunakan, pemerintah dapat meminta Kelompok Usaha Bakrie membuat perjanjian penjaminan yang menegaskan bahwa semua biaya penanggulangan menjadi beban dan tanggung jawabnya.

Jika perlu, para pengendali Kelompok Usaha Bakrie bisa diminta memberikan jaminan pribadi untuk menanggung biaya tersebut. Selain itu, guna memastikan klaim pemerintah nantinya bisa dipenuhi oleh Lapindo, wajar jika Lapindo diminta memberikan asuransi atas risiko ketidakmampuan melakukan pembayaran (guarantee liability insurance).

Selain tanggung jawab atas biaya, penting bagi pemerintah membuktikan bahwa pemerintah serius dalam penegakan hukum. Hingga kini, belum terlihat jelas hasil penyidikan kepolisian atas kasus Lapindo. Padahal kegagalan pengeboran sumur Banjar-1 yang dituding menjadi biang semburan lumpur panas terjadi sudah hampir setahun lalu.

Ke mana Bapepam?

Menarik dilihat adanya perubahan sikap Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menanggapi penjualan 32 persen participating interest PT Medco E&P Brantas di blok Brantas kepada Grup Prakarsa pertengahan Maret lalu. Medco E&P Brantas adalah anak usaha PT Medco Energi Internasional Tbk. Medco bersama Santos Brantas Pty. Ltd.(18 persen) adalah rekan Lapindo (50 persen) dalam pengembangan blok Brantas di Sidoarjo.

Sebelum ini, Bapepam dua kali melarang Kelompok Usaha Bakrie menjual kepemilikan PT Energi Mega Persada Tbk. di Lapindo. Upaya pertama dilakukan Bakrie pada September2006 dan yang kedua pada November 2006. Dalam upaya penjualan kedua, sekalipun penjualan itu didalilkan bukan transaksi yang mengakibatkan adanya perbenturan kepentingan, Bapepam tetap melarang terjadinya penjualan Lapindo. Alasannya, Bapepam tidak hanya melindungi kepentingan pemegang saham publik, tapi juga kepentingan masyarakat luas karena belum jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas dampak lumpur Lapindo.

(29)

________________________________________________________________________ sesuatu yang, menurut dia, tidak menjadi tanggung jawabnya, tentu Medco akan melawan balik. Itu terindikasi dengan adanya gugatan arbitrase terhadap Lapindo. Walau mungkin sudah berdamai, gugatan terhadap Lapindo di Amerika Serikat akhir tahun lalu

mengindikasikan adanya kecerobohan atau kesalahan Lapindo dalam pengeboran sumur Banjar-1.

Lolosnya penjualan saham Medco niscaya akan berdampak pada makin sulitnya pembuktian adanya kecerobohan atau kesalahan saat pengeboran. Pertanyaannya, jika saat rencana penjualan oleh Bakrie, Bapepam bisa dengan tegas melarang, mengapa saat penjualan oleh Medco, Bapepam hanya meminta klarifikasi dan dokumen?

Jual-beli

Membaca Perpres, terlihat bahwa tanggung jawab Lapindo telah dibatasi. Hak rakyat untuk meminta ganti rugi juga sudah dibatasi. Perpres mewajibkan Lapindo menangani masalah sosial kemasyarakatan dengan membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur. Mekanismenya, dengan akta jual-beli kepemilikan. Cara pembayaran pun sudah diatur, yaitu 20 persen dibayar di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis. Jika area terdampak meluas, menurut Perpres, biaya akan dibebankan pada APBN.

Tentu perlu dicermati beberapa hal sehubungan dengan pengaturan ini. Pertama, perlu mekanisme validasi batas-batas tanah yang lebih dapat diterima oleh semua pihak. Jika, misalnya, disyaratkan harus melampirkan bukti sertifikat, ini tentu akan sulit karena mungkin banyak sertifikat yang ikut terendam lumpur.

Perpres mensyaratkan adanya akta jual-beli kepemilikan dengan Lapindo. Perlu diatur bahwa akta jual-beli hanya akan dibuat jika pembayaran telah lunas. Sebelum lunas, yang dilakukan hanyalah pengikatan jual-beli. Sangat tidak adil kalau hak warga atas tanah dan bangunan telah dialihkan ke Lapindo, sedangkan pembayaran penuh belum selesai. Dari Perpres ini juga terlihat bahwa setelah pembayaran ganti rugi selesai dilakukan, Lapindo akan menjadi pemilik area yang masuk dalam peta area terdampak pada 22 Maret 2007.

Perpres memang membatasi tanggung jawab Lapindo, yaitu hanya membayar ganti rugi tanah dan bangunan. Padahal masih banyak masalah sosial kemasyarakatan yang belum tertangani. Contoh, warga yang kehilangan pekerjaan, hak anak-anak atas kesempatan bersekolah, hilangnya makam orang tua dan kerabat, serta hilangnya apa yang disebut kampung halaman.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah Perpres menghilangkan hak warga untuk menuntut ganti rugi atas segala kerugian yang mereka alami? Jawabnya, tentu tidak.Warga, baik sendiri maupun berkelompok, dapat menuntut ganti rugi dengan mengajukan gugatan terhadap pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab.

(30)

________________________________________________________________________ diperbuat pemerintah hanya menjadi konsumsi politik, yang akhirnya hanya

(31)

________________________________________________________________________ URL Source:

http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL Kerugian akibat lumpur Lapindo Rp27,4triliun

Oleh: Diena Lestari

Bappenas menyatakan kerugian dan kerusakan akibat bencana lumpur Lapindo dalam sembilan bulan terakhir sudah mencapai Rp27,4 triliun.

Berdasarkan Laporan Bappenas tentang Awal Penilaian Kerusakan dan Kerugian akibat Semburan Lumpur Panas Sidoarjo Jatim yang telah diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pekan lalu tertulis bahwa total kerusakan dan kerugian selama sembilan bulan terakhir mencapai Rp27,4 triliun.

Total kerusakan dan kerugian ini terdiri atas kerugian langsung Rp11 triliun dan kerugian tidak langsung Rp16,4 triliun. Kerugian langsung terdiri dari kerusakan pada perumahan dan permukiman yang tergenang lumpur, total berjumlah 10.426 unit dengan perkiraan kerugian sebesar Rp2,5 triliun.

Prasarana dan sarana sosial senilai Rp51,7 miliar serta kerusakan pada aset dan kegiatan perekonomian produktif a.l. 20 pabrik.

Kerugian tidak langsung bersifat opportunity loss meliputi kerugian ekonomi akibat penutupan jalan tol Porong-Sidoarjo selama sembilan bulan mencapai Rp1,35 triliun. Kerugian PT Jasa Marga dan PT KA mencapai Rp28,78 miliar.

Klaim ke Lapindo

Sementara itu, Menteri Negara BUMN Sugiharto kembali menyatakan proses pergantian dana yang telah dikeluarkan oleh sejumlah BUMN yang fasilitasnya tidak berfungsi karena terendam lumpur panas dari sumur migas milik Lapindo Brantas Inc, mutlak ditagihkan ke KPS bersangkutan melalui proses hukum.

Proses pembuatan infrastruktur di Sidoarjo yang terganggu sementara ini harus dilakukan sendiri oleh BUMN yang bersangkutan. Hal ini, tambahnya, karena masyarakat tidak dapat menunggu sampai dana dari Lapindo mengucur. Oleh karena itu, tambahnya, maka BUMN seperti PT KAI harus membiayai terlebih dahulu pembangunan rel kereta yang melintas di Porong Sidoarjo.

"Kepentingan masyarakat harus didahulukan. Dari mana biayanya kalau kita harus menunggu dari Lapindo dulu. Untuk rakyat saja sampai sekarang belum dibayar. Apalagi untuk ini [infrastruktur]," katanya di Departemen Keuangan kemarin.

Menurut dia, yang paling penting saat ini adalah mengupayakan kebutuhan rakyat dan pembangunan infrastruktur. "Kepentingan publik harus didahulukan dibandingkan kepentingan korporasi, tapi masalah dengan korporasi akan diselesaikan melalui mekanisme hukum," ujarnya.

(32)

________________________________________________________________________ semburan lumpur yang mencapai Rp7,6 triliun. Jumlah tersebut, terdiri dari dari

kebutuhan sosial sebesar Rp4,2 triliun, dan teknis sebesar Rp3,4 triliun.

Angka Rp7,6 triliun dari kerugian sebesar Rp700 miliar dari jalan tol, jalan arteri Rp300 miliar, lahan Rp600 miliar. Selain itu dibutuhkan Rp612 miliar untuk membuat kanal guna membawa lumpur ke laut, dan dana operasional sebesar Rp70 miliar per tahun.

Kemudian untuk pembenahan jaringan gas jangka menengah sekitar Rp60 miliar,

pembuatan desain Rp4,5 miliar, pengaliran lumpur ke Porong Rp50 miliar, untuk tanggul Rp300 miliar, masalah tanah rumah dan lainnya Rp4,2 triliun.

Luki Fathul Aziz, Kepala BI Surabaya sebelumnya menjelaskan kredit macet itu ada dilima fokus utama berada pada sejumlah kecamatan di Sidoarjo, yaitu Porong, Jabon, Tanggulangi, Tulangan dan Krembung.

Meski demikian dia mengakui untuk kredit macet dampak lumpur ini, sudah ada

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis perancangan sistem yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa sistem pengelolaan persediaan yang dirancang untuk PT.Mutiara Motor adalah sebuah

Hal ini mengindikasikan bahwa persamaan yang disarankan oleh program dengan metode desain faktorial dapat memprediksi nilai-nilai yang akan dihasilkan oleh setiap

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan yaitu: perbedaan antara daun sehat dengan daun yang terserang penyakit garis kuning pada tanaman kelapa

menurut mereka halal atau haramnya suatu makanan bukan dari bahannya saja, tapi banyak aspek lagi seperti kebersihan, dll, mereka berpendapat bahwa sangatlah penting logo halal

Hasil khusus tersebut membuktikan bahwa hipotesis alternatif (H 1 ) dari hubungan antara Kesadaran Membayar Pajak (X 1 ) dengan Kewajiban Membayar 3DMDN GDUL

mendapatkan model pembelajaran terpadu berbasis sentra yang dilaksanakan pada.. paud

Jl. Prof Soedarto, Tembalang, Semarang. Pembangunan dermaga ini, bertujuan untuk melayani kapal general cargo 10.000 DWT dan untuk memaksimalkan distribusi barang

Abstrak: Penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui: (1) perbedaan keterampilan komunikasi siswa yang belajar menggunakan strategi pembelajaran