• Tidak ada hasil yang ditemukan

tugas etika bisnis id. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "tugas etika bisnis id. docx"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Prinsip Etis Etika Bisnis

Posted: November 28, 2012 in Tugas Etika Bisnis 0

Bisnis dapat diartikan sebagai kegiatan memproduksi dan menjual barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kegiatan bisnis terjadi karena keinginan untuk saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing manusia, dan masing-masing pihak tentunya

memperoleh keuntungan dari proses tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa pada umumnya orang berpendapat bahwa bisnis adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Untuk

memaksimumkan keuntungan tersebut, maka tidak dapat dihindari sikap dan perilaku yang menghalalkan segala cara yang sering tidak dibenarkan oleh norma moral.

Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Mengapa begitu? Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi, memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Dengan itu dilanggar suatu prinsip etis yang paling mendasar kita selalu harus menghormati martabat manusia. Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18, menurutnya prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut: “hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka”. Mereka tidak boleh dimanfaatkan semata-mata untuk mencapai tujuan. Misalnya, mereka harus dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman dan sehat dan harus diberikan gaji yang pantas.

Sejarah mencatat Revolusi Industri yang terjadi dari 1760 sampai 1830 dengan tujuan untuk memaksimalisasi keuntungan, menyebabkan tenaga buruh dihisap begitu saja, sungguh diperalat. Upah yang diberikan sangat rendah, hari kerja panjang sekali, tidak ada jaminan kesehatan. Jika buruh jatuh sakit ia sering diberhentikan dan dalam keadaan lain pun buruh bisa diberhentikan dengan semena-mena. Lebih parahnya, banyak dipakai tenaga wanita dan anak dibawah umur, karena kepada mereka bisa diberikan upah lebih rendah lagi dan mereka tidak mudah

memberontak. Hal ini menunjukkan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomis bisa membawa akibat kurang etis.

Di satu pihak perlu diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi. Di lain pihak keuntungan tidak boleh dimutlakkan. Keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif. Ronald Duska (1997) dalam Bertens (2000), mencoba untuk merumuskan relativitas tersebut dengan menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose (maksud) dan motive. Maksud bersifat obyektif, sedangkan motivasi bersifat subyektif. Keuntungan tidak merupakan maksud bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat untuk masyarakat. Keuntungan hanya sekadar motivasi untuk mengadakan bisnis. Oleh karena itu, bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan.

(2)

bagi bisnis. Beberapa cara untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis, dengan tidak mengabaikan perlunya (Bertens, 2000), adalah sebagai berikut:

 · keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan;

 · keuntungan adalah pertanda yang menunjukkan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat;

 · keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha;

 · keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan;

 · keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha.

Dari konsep relativitas keuntungan diatas, mengisyaratkan bahwa keuntungan bukan yang utama dalam bisnis. Persepsi manfaat dari pencapaian keuntungan harus dirubah, karena bisnis bukan semata-mata untuk memperoleh keuntungan materiil. Untuk itu prinsip-prinsip etika yang diterapkan dalam kegiatan bisnis pada perusahaan-perusahaan bisnis, haruslah mengacu pada

stakeholders benefit.Stakeholders adalah semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan suatu perusahaan. Pihak berkepentingan internal adalah “orang dalam” dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah “orang luar” dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat, pemerintah, lingkungan hidup. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholders. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan para pemegang saham dipertimbangkan. Bukan saja kepentingan para pemegang saham harus dipertimbangkan tapi juga kepentingan semua pihak lain, khususnya para karyawan dan masyarakat di sekitar pabrik.

Beberapa prinsip etis dalam bisnis telah dikemukakan oleh Robert C.Solomon (1993) dalam Bertens (2000), yang memfokuskan pada keutamaan pelaku bisnis individual dan keutamaan pelaku bisnis pada taraf perusahaan. Berikut dijelaskan keutamaan pelaku bisnis individual, yaitu:

1. Kejujuran

Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki pelaku bisnis. Orang yang memiliki keutamaan kejujuran tidak akan berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis. Pepatah kuno caveat emptor yaitu hendaklah pembeli berhati-hati. Pepatah ini mengajak pembeli untuk bersikap kritis untuk menghindarkan diri dari pelaku bisnis yang tidak jujur. Kejujuran memang menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran, namun dalam dunia bisnis terdapat aspek-aspek tertentu yang tetap harus menjadi rahasia. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa setiap informasi yang tidak benar belum tentu menyesatkan juga.

(3)

Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan dengan ”wajar” yang dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi.

3. Kepercayaan

Kepercayaan adalah keutamaan yang penting dalam konteks bisnis. Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbal-balik. Pebisnis yang memiliki keutamaan ini boleh mengandaikan bahwa mitranya memiliki keutamaan yang sama. Pebisnis yang memiliki kepercayaan bersedia untuk menerima mitranya sebagai orang yang bisa diandalkan. Catatan penting yang harus dipegang adalah tidak semua orang dapat diberi kepercayaan dan dalam memberikan kepercayaan kita harus bersikap kritis. Kadang kala juga kita harus selektif memilih mitra bisnis. Dalam setiap perusahaan hendaknya terdapat sistem pengawasan yang efektif bagi semua karyawan, tetapi bagaimanapun juga, bisnis tidak akan berjalan tanpa ada kepercayaan.

4. Keuletan

Keutamaan keempat adalah keuletan, yang berarti pebisnis harus bertahan dalam banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang terkadang seru tentang proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia juga harus berani mengambil risiko kecil ataupun besar, karena perkembangan banyak faktor tidak diramalkan sebelumnya. Ada kalanya ia juga tidak luput dari gejolak besar dalam usahanya. Keuletan dalam bisnis itu cukup dekat dengan keutamaan

keberanian moral.

Selanjutnya, empat keutamaan yang dimiliki orang bisnis pada taraf perusahaan, yaitu:

1. Keramahan

Keramahan tidak merupakan taktik bergitu saja untuk memikat para pelanggan, tapi menyangkut inti kehidupan bisnis itu sendiri, karena keramahan itu hakiki untuk setiap hubungan antar-manusia. Bagaimanapun juga bisnis mempunyai segi melayani sesama antar-manusia.

2. Loyalitas

Loyalitas berarti bahwa karyawan tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji, tetapi juga mempunyai komitmen yang tulus dengan perusahaan. Ia adalah bagian dari perusahaan yang memiliki rasa ikut memiliki perusahaan tempat ia bekerja.

3. Kehormatan

Kehormatan adalah keutamaan yang membuat karyawan menjadi peka terhadap suka dan duka serta sukses dan kegagalan perusahaan. Nasib perusahaan dirasakan sebagai sebagian dari nasibnya sendiri. Ia merasa bangga bila kinerjanya bagus.

(4)

Rasa malu membuat karyawan solider dengan kesalahan perusahaan. Walaupun ia sendiri barang kali tidak salah, ia merasa malu karena perusahaannya salah.

sumber : http://ilmar-education.blogspot.com/2011/01/teori-etika-dan-prinsip-etis-dalam.html

BAB 5

Keuntungan Sebagai Tujuan Perusahaan

Kuntungan termasuk definisi bisnis. Sebab, apa itu bisnis? Frngan cara sederhana atapi cuup jelas, bisnis sering dilakukan sebagai “to provide product or sevices for profit”. Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan ekonomis menghasilkan keuntungan. Keuntungan atau

profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang memakai sistem keuntungan. Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomi, dimana kedua belah pihak menggunakan uang.

Karena hubungan dengan uang itu, perolehan profit secara khusus berlangsung dalam konteks kapitalisme. Keterkeikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alas an khusus mengapa bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Tentu saja, organisasi yang non for profit pun pasti sewakt waktu berurusan dengan etika.

1. Maksimalisasi keuntungan sebagai cita-cita kapitalisme liberal

Profit maximimization atau maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi. Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan itu, semua karyawan dikerahkan dan dimanfatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan tetapi memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Studi sejarah

menunjukan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomi memang bisa membawa akibat kurang etis.

2. Masalah pekerja anak

Tidak perlu diragukan, pekerja yang dilakukan oleh anak (child labor) merupakan topic dengan banyak implikasi etis, tetai masalah ini sekaligus juga sangat kompleks, karena faktor-faktor ekonomis di sini dengan dengan aneka macam cara bercampur baur dengan faktor-faktor budaya dan social.

Dalam Convention on the Right of the Child yang diterima dalam siding umum PBB pada 1989 siserahkan pada masing-masing Negara anggota untuk”menetapkan usia minimum atau usia rata-rata minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja” [Pasal 32,2(a)].

Yang dianggap pekerjaan yang dilakukan anak dianggap tidak etis karena pertama, adalah pekerjaan itu melanggar hak para anak. Anak itu belum dewasa karena itu harus diperlakukan begitu pula. Karena belum dewasa, seorang anak juga belum bebas atau sanggup menjalankan kebebasannya. Lagipula, anak yang bekerja tidak mendapat pendidikan di sekolah dan karena itu mereka dirugikan untuk seumur hidup. Oleh sebab itu pekerjaan yang dilakukan oleh anak melangar juga hak anak, karena mengekploitasi tenaga mereka.

Alasan kedua menegaskan bahwa memperkejakan anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau menggunakan tenaga anak, karena menganggap hal itu cara berproduksi yang tidak etis.

(5)

dimana antara lain ditegaskan bahwa perusahaan tidak akan mengijinkan produknya dibuat dengan memanfaatkan tenaga anak di bawah umur. Yang ketiha melengkapi garmen atau produk lain dengan No Sweat Label, yang menjamin produk itu tidak dibuat dengan menggunakan tenaga anaka atau dengan kondisi kerja yang tidak pantas.

3. Relativasi keuntungan

Tidak bisa disangkal, pertimbangan etis mau tidak mau membatasi peranan keuntungan dalam bisnis. Seandainya keuntungan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan sukses dalam bisnis, perdagangan heroin, kokain, atau obat terlarang lainnya harus dianggap sebagai good business, karena sempat membawa untung yang sangat banyak. Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan. Di satu pihak perlu diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi.

Dengan demikian dan banyak cara lain lagi dapat dijelaskan relativitas keuntungan dalam usaha bisnis. Tetapi, bagaimanapun juga, keuntungan dalam bisnis tetap perlu. Hanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan bisnis atau profit merupakan satu-satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara lain lagi untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis, sambil tidak mengabaikan perlunya adalah sebagai berikut :

a. Keuntungan merupak tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan;

b. Keuntungan adalah pertanda yang menunjukaan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat;

c. Keuntungan dalah cambuk untuk meningkatkan usaha; d. Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan; e. Keuntungan mengimbangi risiki dalam perusahaan.

4. Manfaat bagi stakeholder

Yang dimaksud stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan suatu bisnis atau perusahaan. Dalam bahasa Indonesia kini sering dipakai terjemahan “pihak yang

berkepentingan” Stakeholder adalah semua pihak yang berkepntingan yang berkepentingan dengan kegiatan suatu perusahaan. Stockholder tentu termasuk Stockholders.

Kadang-kadang stakeholders dbagi lagi atas pihak berkepentingan internal dan eksternal. Pihak berkepentingan internal adalah “orang dalam” dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah “orang luar” dari suatu perusahaan: orang yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat, pemerintah lingkungan hidup.

Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah tujuan perusahaan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholder.

(6)

untuk memperkenalkan produk barang atau jasanya untuk publik.

Tetaplah tujuannya adalah untuk mencari calon pembeli karena itu tidak lepas dari pencarian keuntungan.

Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan ekonomis menghasilkan keuntungan.

Keuntungan atau profit dihasilkan dengan kegiatan ekonomis yang memakai sistem keuangan. Letak perbedaan perdagangan dan bisnis kalau perdagangan mempunya arti yang lebih luas hingga meliputi juga kegiatan ekonomis seperti barter sedangkan bisnis adalah perdagangan khusus yang memperoleh keuntungan

PENDAHULUAN

Keuntungan sebagai tujuan perusahaan

Keuntungan termasuk definisi bisnis. Menyediakan suatu produk atau jasa secara percuma tidak merupakan bisnis. Menawarkan sesuatu dengan percuma masih bisa dianggap bisnis, selama terjadi dalam rangka promosi, untuk memperkenalkan sebuah produk baru atau untuk mengiming-iming publik.

Tidak bisa dikatakan juga bahwa setiap kegiatan ekonomis menghasilkan keuntungan.

Keuntungan atau profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang memakai system keuangan. Bisnis merupakan perdagangan yang bertujuan khusus memperoleh keuntungan financial. Robert Solomon mengatakan, bila ia menekankan bahwa keuntungan atau profit merupakan buah hasil suatu transaksi moneter. Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomis, di mana kedua belah pihak menggunakan uang.

Profit diperoleh tidak kebetulan tapi berkat upaya khusus dari orang yang mempergunakan uang. Untuk sebagian perolehan profit tergantung juga pada factor mujur atau sial. Pebisnis tidak bisa menguasai semua seluk beluk keadaan ekonomi. karena itu diadakannya transaksi keuangan yang bisa menghasilkan keuntungan, selalu mengandung juga resiko untuk mengalami kerugian. Jika disini kita berefleksi tentang profit dalam bisnis, tidak boleh dilupakan bahwa selalu juga ada kemungkinan kerugian.

Karena hubungan dengan transaksi uang itu, perolehan profit secara khusus berlangsung dalam konteks kapitalisme. Menurut pandangan yang tersebar agak luas, kapitalisme meliputi tiga unsure pokok: lembaga milik pribadi, prektek pencarian keuntungan, dan kompetisi dalam system ekonomi pasar bebas.

(7)

saja, guna mencapai tujuannyadengan lebih cepat dan lebih mudah. Tetapi hal seperti itu tidak boleh dilakukan dan dengan itu kita menjumpai kenyataan yang disebut etika.

1. Maksimalisasi keuntungan sebagai cita – cita kapitalisme liberal

Memaksimalkan tingkat keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis karena dalam keadaan semacam itu karyawan diperalat begitu saja. Jika keuntungan menjadi satu-satunya tujuan, semuanya dikerahkan dan

dimanfaatkan demi tercapainya tujuan itu, termasuk juga karyawan yang bekerja dalam

perusahaan. Akan tetapi, memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia. Pada Abad ke-18 filsuf asal Jerman Immanuel Kant telah melihat bahwa menghormati martabat manusia sama saja dengan memperlakukan dia sebagai tujuan. Menurut immanuel Kant prinsip etis yang mendasar dapat dirumuskan sebagai berikut : ”Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka.

Halnya dalam suatu perusahaan, semua karyawan dalam perusahaan dipekerjakan untuk merealisasikan tujuan perusahaan. Tetapi disamping itu juga untuk membantu mewujudkan tujuan perusahaan, para karyawan harus diperlakukan juga sebagai tujuan sendiri. Mereka tidak boleh dipergunakan sebagai sarana belaka yang dimanfaatkan hanya untuk mencapai tujuan semata. Mereka harus dipekerjakan dalam kondisi kerja yang aman serta sehat dan harus

diberikan gaji yang sesuai dengan apa yang mereka kerjakan dan mempunyai pengaruh besarnya bagi perusahaan.

Sebuah benda bisa dipakai sebagai sarana belaka. Disini etika tidak diangkat bicara, tetapi manusia tidak pernah boleh diperalat dan hal itu pasti terjadi, bila keuntungan dijadikan satu-satunya tujuan perusahaan. Para ekonom menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan ditfsirkan sebagai sebuah

pernyataan moral. Maksimalisasi keuntungan hanya dimaksud sebagai sebagai suatu model ekonomis yang diharapkan akan memberi arah kepada strategi ekonomis yang bisa berhasil.

Dalam hal ini juga kita tidak boleh melupakan masa lampau.. Sejarah mencatat bahwa pada awal era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas dengan cara yang tidak manusiawi. Para buruh diberi upah yang sangat rendah, hari kerja yang sangat panjang, tidak ada jaminan

keselamatan para pekerja, jika buruh sakit langsung diberhentikan dan semena-mena, banyaknya tenaga anak dibawah umur dan para wanita.

Studi sejarah menunjukan bahwa memaksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomis memang bisa membawa akibat kurang etis. Hal itu sungguh berlangsung dalam kapitalisme liberal yang menterbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan negara-negara barat lainnya. Dalam zaman pasca komunis sekarang hal itu mendesak dengan cara baru. Suatu proses

maksimalisasi keuntungan sebagai sebuah model ekonomis yang abstrak yang mengakibatkan ketidakberesan etis yang baru. Bahwa kualitas etisnya disini tidak selalu gampang dinilai dengan tepat, dapat kita pelajari dengan meninjau masalah buruh anak.

(8)

Yang dimaksud disini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh anak dibawah umur demi pembayaran uang yang digunakan untuk membantu keluarganya. Logisnya, “dibawah umur” harus disamakan dengan batas umur wajib belajar. Pekerjaan anak menjadi suatu masalah etis yang serius dalam zaman industrialisasi.

Dalam convention on the rights of the child yang diterima dalam sidang umum PBB pada1989 diserahkan kepada masing-masing Negara anggota untuk “menetapkan usia minimum atau usia-usia minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja” [pasal 32,2(a)]. Organisasi

ketenagakerjaan internasional (ILO) pada 1973 mengeluarkan konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Disitu negara-negara anggota ILO dianjurkan untuk meningkatkan usia minimum. Sebagai patokan dikatakan mereka harus mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan ringan. Indonesia baru mensahkan konvensi tersebut pada 1999 dan menetapkan usia minimum pada 15 tahun.

Dalam etika tidak cukup kita mensinyalir saja sikap negative yang agak umum terhadap anak pekerja. Kita juga harus mengetahui mengapa pekerjaan yang dilakukan oleh anak perlu dianggap tidak etis. Pekerjaan anak ditolak terutama karena dua alasan. Yang pertama adalah bahwa pekerjaan itu melanggar hak para anak. Kita melanggar hak anak, jika kita menuntut dari mereka apa yang kita tuntut dari orang dewasa. Karena belum dewasa, seorang anak juga belum bebas atau belum sanggup menjalankan kebebasanya. Anak yang bekerja tidak mendapatkan pendidikan disekolah dan karena itu mereka dirugikan seumur hidup. Tidak pernah mereka bisa keluar dari kehidupan bodoh dan miskin. Seringkali terutama anak perempuan di sini menjadi korban, karena oleh orang tuanya dinilai tidak membutuhkan pendidikan di sekolah. Anak-anak dipilih sebagai pekerja karena tenaga mereka murah dan menguntungkan bagi bisnis.oleh sebab itu pekerjaan yang dilakukan oleh anak melanggar juga hak anak, karena mengeksploitasi tenaga mereka. Mereka berhak dilindungi terhadap segala upaya eksploitasi, karena mereka belum mampu membela dirinya sendiri.

Alasan kedua menegaskan bahwa mempekerjakan anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan demikian

melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau menggunakan tenaga anak, karena menganggap hal itu cara berproduksi yang tidak etis.

Karena alasan-alasan tadi mempekerjakan anak menjadi tidak etis. Akan tetapi, di sini etika tidak boleh menjadi rigorus. Seandainya anak tidak bekerja, hal itu tidak berarti ia akan masuk sekolah dan masa depan lebih baik terjamin baginya. Pekerjaan mereka kadang-kadang mempunyai segi positif juga, karena dengan bekerja anak bisa belajar dalam arti memperoleh ketrampilan

tertentu. Lagi pula, pekerjaan itu bisa dijalankan dalam keadaan yang tidak sama. Kalau anak bekerja dalam keadaan sehat dan dengan pembayaran cukup lumayan, nasibnya harus kita nilai positif, ketimbang anak yang bekerja dalam pertambangan dimana sirkulasi udara sangat buruk, hari kerja sangat panjang dan pembayaran sangat rendah. Tidak semua kasus pekerja anak boleh disamakan. Pertimbangan-pertimbangan utilitaristis ini pasti harus diikutsertakan dalam

penilaian etis tentang pekerja anak.

(9)

perusahaan yang terkena imbasnya adalah perusahaan Nike. Hal tersebut terjadi setelah Nike dituduh mempekerjakan anak-anak dipabrik asia,yang harus bekerja dalam kondisi buruk dengan upah rendah.

Cara untuk mengatasi masalah pekerja anak:

1. Kesadaran dan aksi dari pihak publik konsumen.

2. Kode etik yang dibuat dan ditegakkan juga oleh perusahaan, dimana antara lain

ditegaskan bahwa perusahaan tidak mengijinkan produknya dibuat dengan memanfaatkan tenaga kerja dibawah umur.

3. Membuat produk dengan no sweet label yang menjamin produk tersebut tidak dibuat dengan tenaga kerja dibawah umur.

Penelitian 84% masyarakat AS rela merogoh kocek lebih dalam untuk membeli suatu produk asalkan produk dipastikan dalam kondisi kerja yang baik.

Sedangkan untuk di indonesia sendiri,masalah tenaga kerja dibawah umur sudah sangat memprihatinkan. Menurut sensus 1990,ada sekitar 2,4 juta anak berumur 10-14 tahun yang bekerja. Baik dalam instansi formal maupun informal.

Contohnya kasus yang khususnya ada di Sumatra Utara, bocah-bocah tersebut harus bekerja diataas jermal-jermal di tengah laut. Mereka bekerja sampai 19 jam per hari.”pekerjaan mereka mengambil ikan teri dari jaring, memasang jaring kembali,memasak, menjemur, memilih jenis ikan teri yang baik, selama berbulan-bulan. Tanpa istirahat seharipun. Pengusaha hanya memberi upah sekitar Rp.40.000 sampai dengan Rp.90.000 perbulan (januari 1997).

Untuk mengatasi hal tersebut kembali terulang, pemerintah mengeluarkan undang-undang no. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (yang sudah beberapa kali ditunda berlakunya) ditentukan 15 tahun sebagai batas minimum pekerja indonesia. Semua perusahaan dilarang mepekerjakan anak yang berumur kurang dari 15 tahun (pasal 95). Tetapi larangan ini tidak berlaku bagi anak yang terpaksa bekerja. Disini dijelaskan masalah ekonomi dari keluarga bersangkutan dengan syarat tidak boleh dipekerjakan lebih dari 4 jam sehari. Mereka tidak boleh diikutkan dalam pekerjaan yang berbahaya (pasal 96). Jadi,disini diambil alih pikiran dasar dari peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 1 Tahun 1987. intinya bahwa kenaikan dan kesejahteraan anak tidak pernah boleh dikorbankan kepada keuntungan ekonomis.

3. Relativasi Keuntungan

(10)

dimana usaha bisnis langsung bentrok dengan pertimbangan etis dan karena itu bisnis narkotika tidak merupakan good business. Apa yang berlaku pada bisnis narkotika sebenarnya berlaku juga pada bisnis lain pada umumnya. Bisnis menjadi tidak etis bila perolehan untung dimutlakkan dan segi moral diabaikan. Manajemen modern sering disebut sebagai management by objectives

sedangkan dalam manajemen ekonomis salah satu unsur penting adalah cost benefit analysis. Supaya dapat mencapai sukses hasil dalam bisnis harus melebihi dari biaya yang dikeluarkan. Semua ini bisa diterima asalkan tetap disertai pertimbangan etis. Bisnis menjadi tidak etis jika keuntungan dijadikan satu-satunya objectives atau benefit dengan mengorbankan semua faktor lain.

Di satu pihak perlu diakui bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi. Supaya bisa tahan dalam uji skrining etika, bisnis tidak perlu berubah menjadi karya amal. Bagaimanapun juga

keuntungan merupakan unsur hakiki dalam usaha bisnis dan perusahaan mau tidak mau merupakan organisasi for profit. Pada taraf ekonomi yang lebih luas peran keuntungan tidak boleh diabaikan. Seluruh sistem ekonomi pasar bebas akan ambruk kalau keuntungan dicopot dari segala usaha bisnis. Sebagai contoh, kegagalan total sistem ekonomi komunistis di Uni Soviet yang disebabkan karena sistem ini sebagai ekonomi berencana tidak mengenal motif keuntungan.

Perlu ditekankan Keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif. Banyak pengarang telah mencoba untuk merumuskan relativitas tersebut dengan cara yang berbeda-beda.

Ronald Duska menegaskan bahwa kita harus membedakan antara purpose(maksud) dan

motive(motivasi). Maksud bersifat obyektif dan motivasi bersifat subyektif. Sebagai contoh kita memberi sedekah pada seorang pengemis supaya bisa makan (maksud),sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan. Motivasi menjelaskan mengapa kita melakukan sesuatu dan maksud membenarkan perbuatan kita itu. Keuntungan bukanlah maksud dari bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk atau jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis.

Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale menegaskan bahwa manajer yang hanya mengejar keuntungan sama saja dengan pemain tenis yang hanya melihat papan angka tanpa melihat bola. Maksudnya tentu bahwa bisnis mempunyai nilai intrinsik sendiri (misalnya, memproduksi sesuatu yang berguna bagi masyarakat) dan untuk menjadi bernilai tidak harus selalu membawa keuntungan.

Max De Pree membandingkan keuntungan dengan bernapas. Kita tidak hidup untuk bernapas, tetapi tidak mungkin juga kita hidup tanpa bernapas. Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus tapi bukanlah tujuan akhir dari bisnis,

(11)

Dengan demikian banyak cara lain yang dapat menjelaskan relativitas keuntungan dalam bisnis. Tetapi keuntungan dalam bisnis tetap perlu, hanya saja tidak dapat dikatakan lagi bahwa

maksimalisasi keuntungan merupakan tujuan bisnis.

Beberapa cara lain untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis tanpa mengabaikan perlunya keuntungan dalam bisnis:

 Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajemen dalam perusahaan

 Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat.

 Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha

 Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan

 Keuntungan mengimbangi risiki dalam usaha.

4. Manfaat Bagi Stakeholders

Definisi Stakeholders

 Stakeholders adalah orang atau instansi yang berkepentingan dengan suatu bisnis atau perusahaan.

 R. Edward Freeman : “ Individu- individu dan kelompok- kelompok yang dipengaruhi oleh tercapainya tujuan- tujuan organisasi dan pada gilirannya dapat mempengaruhi tercapainya tujuan- tujuan tersebut “.

 Kamus bahasa Indonesia : “ pihak yang berkepentingan “ yaitu semua pihak yang berkepentingan dengan suatu perusahaan.

Manfaat Bagi Stakeholders

Para pemegang saham sebagai pemilik perusahaan pasti berkepentingan dengan sepak terjang perusahaan. Kalau perusahaan memeperoleh laba, para pemegang saham mendapat deviden. Kalau tidak, mereka tidak mendapat apa-apa. Disamping para pemegang saham ada banyak pihak lain yang berkepentingan juga dengan aktivitas suatu perusahaan. Seperti : manajer, karyawan, pemasok, konsumen, masyarakat sekitar lokasi perusahaan, masyarakat luas, pemerintah, lingkungan hidup, dan sebagainya.

Stakeholders dibagi lagi atas 2 pihak :

(12)

Orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan.

1. Pihak berkepentingan eksternal ( orang luar dari suatu perusahaan )

orang atau instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti konsumen, masyarakat, pemerintah, dan lingkungan hidup.

Tetapi stakeholders internal dan eksternal tidak bisa dipisahkan. Misalnya, para pemasok pada umumnya digolongkan kedalam pihak berkepentingan eksternal. Tetapi jika pemasok tersebut hanya memaok kebutuhan satu perusahaan saja maka ia termasuk pihak

berkepentingan internal juga. Demikian pula dengan warung- warung kecil yang menyediakan makanan untuk karyawan. Nasib mereka seluruhnya tergantung pada perusahaan.

Jika perusahaan menghentikan kegiatannya, mereka semua kehilangan sumber pendapatannya.

Paham stakeholders ini membuka prespektif baru untuk membahas segi etis dari suatu keputusan bisnis. Misalnya, tidak etis kalau dalam suatu keputusan bisnis hanya kepentingan para

pemegang saham dipertimbangkan. Seperti keputusan untuk menutup atau memindahkan suatu unit produksi dalam suatu pabrik.

Senin, 29 Oktober 2012

Keuntungan dan Etika Bisnis

Tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan. Keuntungan adalah hal yang pokok bagi kelangsungan bisnis, walaupun bukan merupakan tujuan satu-satunya, sebagaimana dianut pandangan bisnis yang ideal. Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk. Bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima.

Karena :

Keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan dalam usaha bisnisnya.

Tanpa memeperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang produktif demi memacu pertumbuhan ekonomi yang menjamin kemakmuran nasional.

Keuntungan memungkinkan perusahaan tidak hanya bertahan melainkan juga dapat menghidupi karyawan-karyawannya bahkan pada tingkat dan taraf hidup yang lebih baik.

(13)

 Pertama, dalam bisnis modern dewasa ini, para pelaku bisnis dituntut menjadi orang-orang profesional di bidangnya.

 Kedua dalam persaingan bisnis yang ketat para pelaku bisnis modern sangat sadar bahwa konsumen adalah benar-benar raja. Karena itu hal yang paling pokok untuk bisa untung dan bertahan dalam pasar penuh persaingan adalah sejauh mana suatu perusahaan bisa merebut dan mempertahankan

kepercayaan konsumen.

 Ketiga, dalam sistem pasar terbuka dengan peran pemerintah yang bersifat netral tak berpihak tetapi efektif menjaga agar kepentingan dan hak semua pemerintah dijamin, para pelaku bisnis berusaha sebisa mungkin untuk menghindari campur tangan pemerintah, yang baginya akan sangat merugikan

kelangsungan bisnisnya. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan menjalankan bisnisnya bisnisnya secara secara baik dan etis yaitu dengan menjalankan bisnis sedemikian rupa tanpa secara sengaja merugikan hak dan kepentinga semua pihak yang terkait dengan bisnisnya.

 Keempat, perusahaan-perusahaan modern juga semakin menyadari bahwa karyawan bukanlah tenaga yang siap untuk eksploitasi demi mengeruk keuntunga yang sebesar-besarnya. Justru sebaliknya, karyawan semakin dianggap sebagai subjek utama dari bisnis suatu perusahaan yang sangat menentukan berhasil tidaknya, bertahan tidaknya perusahaan tersebut.

Bisnis sangat berkaitan dengan etika bahkan sangat mengandalkan etika. Dengan kata lain, bisnis memang punya etika dan karena itu etika bisnis memang relevan untuk dibicarakan. Argumen mengenai keterkaitan antara tujuan bisnis dan mencari keuntungan dan etika memperlihatkan bahwa dalam iklim bisnis yang terbuka dan bebas, perusahaan yang menjalankan bisnisnya secara baik dan etis, yaitu perusahaan yang memperhatikan hak dan kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya, akan berhasil dan bertahan dalam kegiatan bisnisnya.

Pro dan Kontra Etika Dalam Bisnis Perusahaan

Mitos bisnis amoral

Bisnis adalah bisnis. Bisnis jangan dicampuradukkan dengan etika. Para pelaku bisnis adalah orang-orang yang bermoral, tetapi moralitas tersebut hanya berlaku dalam dunia pribadi mereka, begitu mereka terjun dalam dunia bisnis mereka akan masuk dalam permainan yang mempunyai kode etik tersendiri. Jika suatu permainan judi mempunyai aturan yang sah yang diterima, maka aturan itu juga diterima secara etis. Jika suatu praktik bisnis berlaku begitu umum di mana-mana, lama-lama praktik itu dianggap semacam norma dan banyak orang yang akan merasa harus menyesuaikan diri dengan norma itu. Dengan demikian, norma bisnis berbeda dari norma moral masyarakat pada umumnya, sehingga pertimbangan moral tidak tepat diberlakukan untuk bisnis dimana “sikap rakus adalah baik”(Ketut Rindjin, 2004:65).

Belakangan pandangan diatas mendapat kritik yang tajam, terutama dari tokoh etika Amerika Serikat, Richard T.de George. Ia mengemukakan alasan alasan tentang keniscayaan etika bisnis sebagai berikut. Pertama, bisnis tidak dapat disamakan dengan permainan judi. Dalam bisnis memang dituntut

(14)

lain pada umumnya.

Kedua, bisnis adalah bagian yang sangat penting dari masyarakat dan menyangkut kepentingan semua orang. Oleh karena itu, praktik bisnis mensyaratkan etika, disamping hukum positif sebagai acuan standar dlaam pengambilan keputusan dan kegiatan bisnis.

Ketiga, dilihat dari sudut pandang bisnis itu sendiri, praktik bisnis yang berhasil adalah memperhatikan norma-norma moral masyarakat, sehingga ia memperoleh kepercayaan dari masyarakat atas produ atau jasa yang dibuatnya.

Alasan Meningkatnya Perhatian Dunia Usaha Terhadap Etika Bisnis

 Krisis publik tentang kepercayaan

 Kepedulian terhadap kualitas kehidupan kerja

 Hukuman terhadap tindakan yang tidak etis

 Kekuatan kelompok pemerhati khusus

 Peran media dan publisitas

 Perubahan format organisasi dan etika perusahaan

Perubahan nilai-nilai masyarakat dan tuntutan terhadap dunia bisnis mengakibatkan adanya kebutuhan yang makin meningkat terhadap standar etika sebagai bagian dari kebijakan bisnis.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada kelas kontrol menggunakan model pembelajaran group investigations, belajar group dengan topik tertentu menyebabkan setiap siswa tidak paham dengan

Pasien setelah menjalankan terapi sebanyak 6 kali menggunakan terapi latihan berupa Streching mengalami penurunan spasme otot karena Latihan peregangan atau

Tujuan dari dilakukannya pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak sebagai upaya dalam meningkatkan penerimaan pajak penghasilan Orang Pribadi pada

Yap, pada Jakarta Fashion Week 2012, yang akan berlangsung 4 November nanti, seluruh busana yang terpilih sebagai finalis dalam Dress Me Up Competition untuk pertama kalinya

Kerusakan sel pasca induksi Cyclosporine-A dikonfirmasi dengan pengamatan histologi organ ginjal melalui metode pewarnaan Hematoxylen-Eosin (HE).Pewarnaan HE dilakukan

Konsep Trust atau percaya disini diartikan sebagai berikut: Percaya akan potensi yang dimilik oleh Eka Proma sebagai perusahaan yang ahli dalam bidang PVC yang telah

Kegiatan luar ruangan yang dapat dilakukan oleh wisatawan, atau seni dan budaya yang dimiliki oleh Bali sebagai bagian dari daya tarik wisata yang ditawarkan

Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang