• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum dan Pluralisme menuju hukum yang r

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum dan Pluralisme menuju hukum yang r"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBANGUN HUKUM YANG “NETRAL” BAGI MASYARAKAT PLURAL (POLITIK HUKUM DALAM DIMENSI HUKUM AGAMA DAN HUKUM ADAT)

Jurnal ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Politik Hukum

Dosen Pengampu :

Mustafa Lutfi, S.Pd., SH., MH Oleh

Moh.Sahrun Nizam : 13220200

JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

(2)

MEMBANGUN HUKUM YANG “NETRAL” BAGI MASYARAKAT PLURAL (POLITIK HUKUM DALAM DIMENSI HUKUM AGAMA DAN HUKUM ADAT)

Moh. Sahrun Nizam

Hukum Bisnis Syariah, Fakultas Syariah, UIN Maulana Malik Ibrahim

Abstrak

Hukum yang akan diberlakukan di suatu negara tidak dapat dilepaskan dari situasi konkrit di negara tersebut Paling tidak aliran historis, aliran realis, aliran hukum sosiologis dan aliran feminis mengakui hal tersebut. Untuk dapat mempergunakan aliran-aliran hukum yang ada mengenai hukum yang idealnya diberlakukan di suatu Indonesia, terlebih dahulu perlu dipaparkan situasi konkrit keadaan masyarakat Indonesia pada masa kini. Setelah mengetahui situasi pluralism nilai dan masyarakat Indonesia, sebelum mengajukan usulan tentang hukum yang sebaiknya diberlakukan dalam situasi tersebut,perlu diketahui terlebih dahulu politik Hukum Indonesia menghadapi pluralism nilai dan masyarakatnya.menciptakan sebuah produk Hukum yang ‘Netral’, bagi, berbagai macam budaya dan latar belakang yang ada pada masyarakat Indonesia. Terciptanya sebuah Hukum yang ‘Netral’, agar mampu memberikan rasa keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Keyword : Hukum, pluralism, netral

A. Pendahuluan

(3)

dapat dibantah bahwa kecenderungan akhir dari efektifitas satu hukum sangat tergangung pada faktor antropologi hukum, ilmu hukum, analisis ekonomi terhadap hukum, analisis terhadap kriminologi, analisis agama terhadap hukum dan analisis hak asasi manusia yang mengait dengan hukum.1

Pluralisme hukum adalah munculnya suatu ketentuan atau sebuah aturan hukum yang lebih dari satu di dalam kehidupan sosial. Kemunculan dan lahirnya pluralisme hukum di indonesia di sebabkan karena faktor historis bangsa indonesia yang mempunyai perbedaan suku, bahasa, budaya, agama dan ras. Tetapi secara etimologis bahwa pluralisme memiliki banyak arti, namun pada dasarnya memiliki persamaan yang sama yaitu mengakui semua perbedaan-perbedaan sebagai kenyataan atau realitas. Dan di dalam tujuan pluralisme hukum yang terdapat di indonesia memiliki satu cita-cita yang sama yaitu keadilan dan kemaslahatan bangsa.

Kehidupan hukum indonesia yang notabenya menganut sistem hukum yang begitu plural. Sedikitnya terdapat lima sistem hukum yang tumbuh dan berkembang di dunia. 1).Sistem Common law, sistem common law ini dianut oleh inggris dan bekas penjajahan inggris,pada umumnya , bergabung dalam negara - negara persemakmuran, 2). Sistem Civil Law yang berasal dari hukum romawi,yang dianut di Eropa Barat, dan di bawa ke negara-negara bekas penjajahanya oleh pemerintah kolonial dahulu, 3) Hukum Adat,hukum adat berlaku di negara Asia dan Afrika,hukum adat berlaku tergantung adat masing masing atau suatu wilayah tersebut, 4). Hukum islam, hukum islam di anut oleh orang-orang Islam di manapun berada,baik di negara-negara di Afrika Utara, afrika Timur, Timur Tengah (Asia Barat) dan Asia ,5). Sistem Hukum Komunis atau sosialis yang dilaksanakan di negara-negara seperti Uni Soviet. 2

Dari kelima sistem hukum yang terdapat di Dunia, Indonesia hanya menganut tiga dari lima sistem hukum tersebut yakni sistem hukum Adat, sistem hukum Islam dan hukum Barat, ketiga hukum tersebut saling berkesinambungan antara satu dengan yang lain mereka saling beriringan menggapai tujuan yang sama,

1 Jawahir Thontowi, paper yang disampaikan pada Perkuliahan Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 27 Mei 2010.

(4)

namun di dalam perjalananya mereka mengikuti aturan yang terdapat di dalam hukum tersebut.

Tetapi bila di kaji secara logika masing-masing hukum tersebut, memiliki kesamaan di dalamnya. Mau tidak mau bahwa sistem pluralisme hukum di indonesia telah melekat dan menjadi darah daging bagi masyarakat kita. Dan kita tidak bisa mengelak bahwa hukum pluralisme tersebut berkembang di indonesia. Konsep pluralisme hukum bangsa Indonesia menegaskan bahwa masyarakat memiliki cara berhukumnya sendiri yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan mereka dalam mengatur relasi-relasi sosialnya, pluralnya hukum yang berada pada indonesia, hukum akan terpakai sendiri dengan keinginan atau kebutuhan masyarakat tersebut.

Hakikatnya pluralisme hukum di indonesia tujuaanya sama, yakni mencapai keadilan dan kemaslahatan bangsa. Walaupun hukum bangsa ini bersumber lebih dari satu aturan hukum yang begitu terlihat dan nampak begitu jelas, sistem hukum tersebut memiliki visi dan misi yang sama. Dari sistem keanekaragaman hukum bangsa ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yaitu bangsa Indonesia yang ingin mencapai kehidupan yang maslahat, adil dan sejahtera. Banyak literatur di kemukakan bahwa tujuan hukum adalah mencapai dari pada keadilan. Di dalam buku Prof. Peter Mahmud Marzuki SH.MS.LLM. “Gustav radbruch menyatakan bahwa cita hukum adalah tidak lain dari pada keadilan.3

B. Metode Survei/Analisis 1. Jenis Penelitian

Metode penelitian berhubungan erat dengan prosedur, teknik, alat, serta desain penelitian yang digunakan. Desain penelitian harus cocok dengan pendekatan penelitian yang dipilih. Prosedur, teknik, serta alat yang digunakan dalam penelitian harus cocok pula dengan metode penelitian yang ditetapkan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), yang bertujuan untuk mendeskripsikan

(5)

sebuah penelitian dan apabila memungkinkan memberi solusi masalah- masalah dalam kehidupan sehari-hari.4.

2. Pendekatan penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan nilai-nilai masyarakat (Values of people approach), dengan analisis kualitatif karena penelitian ini diawali dari suatu konstitusi dari segi aspek asas-asas hukum dan konsep hukum dan undang- undang ikutannya atau peraturan organik5, dengan tujuan untuk memperoleh kejelasan dan pembenaran ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum yang bersumber dari prinsip-prinsip hukum.

3. Sumber data

Sumber data dalam suatu penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh. Sumber data merupakan salah satu yang paling vital dalam penelitian. Kesalahan -kesalahan dalam menggunakan atau memahami sumber data, maka data yang diperoleh juga akan meleset dari yang diharapkan.6 Maka sumber data diklasifikasikan menjadi:

a. Data Primer

Data yang diambil dari beberapa Buku ataupun penelitian-penelitian yang berhubungan erat dengan apa yang penulis sedang diteliti.

b. Data Sekunder

Data yang diambil dari buku-buku maupun jurnal yang diterbitkan yang masih ada hubungan dengan penelitian penulis.

C. Hasil dan Pembahasan

4 Saifudin Azar, MetodePenelitian, (Yogyakarta: Pus taka Pelajar, 1998), hlm. 36

5 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, sebagaimana dikutip oleh H.M. Hadin Muhjad, Dasar-Dasar Penelitian Hukum, Jakarta: Aditama 2011, hlm. 33-34

(6)

1. Pluralisme Nilai Agama dan Hukum Adat di Indonesia a. Pluralisme Nilai Agama di Indonesia

Negara Indonesia mengakui berbagai agama untuk dianut masyarakatnya. Agama-agama tersebut adalah agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Selain agama juga diakui adanya aliran kepercayaan. Diantara agama-agama tersebut, agama Islam adalah agama yang paling banyak penganutnya. Dengan demikian dari sisi kekuatan, agama Islam mempunyai kekuatan sosial yang lebih besar dibanding kekuatan agama-agama lainnya.

Nilai-nilai yang dianut dalam agama yang satu dengan yang lain sering berbeda, atau paling tidak ditafsirkan secara berbeda. Agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan atau Allah beserta ajaran-ajaranNya. Apabila ditinjau dari sumber ajaran agama, yakni dari Tuhan, maka mestinya ajaran agama apapun pada dasamya akan sama karena sumbernya sama. Pada kenyataannya, antara agama yang satu dengan agama yang lain saling mengklaim bahwa hanya ajaran agama mereka yang benar. Ajaran masing-masing agama bersumber dari alkitab yang diyakini berasal dari Tuhan. Dari berbagai alkitab itulah sumber perbedaan nilai dari masing-masing agama, meskipun pada hakekatnya bersumber dari ajaran yang sama, yakni ajaran Tuhan. Beberapa contoh puralisme nilai yang diakibatkan adanya perbedaan agama adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini7.

1) Adanya dualisme asas dalam perkawinan, yakni asas monogame dan asas poligame. Asas monogame dianut oleh pemeluk agama non muslim. Asas poligame dengan syarat-syarat tertentu dianut oleh pemeluk agama Islam. 2) Dalam ajaran Islam, adanya 10 aurat perempuan yang harus ditutupi.

Perempuan muslim harus berjilbab sehingga 10 auratnya tertutup. Yang boleh melihat hanyalah mereka yang termasuk muhrimnya. Bagi umat non muslim, ketentuan tersebut tidak ada. Yang ada hanya ketentuan yang sifatnya umum, yakni berpakaian secara sopan dan tidak harus menggunakan jilbab sehingga menutupi 10 auratnya.

3) Dalam ajaran Islam, ahli waris harus seagama dengan pewaris. Dalam agama non muslim tidak mengenal aturan tersebut, bahkan tidak ada ketentuan mengenai pewarisan.

(7)

4) Pemeluk agama muslim mengenal bulan puasa selama satu bulan dan dalam bulan puasa tersebut dalam rangka menghormati umat muslim, ada himbauan bagi penjual makanan dan tempat hiburan untuk tutup selama bulan puasa. Pemeluk agama non muslim juga mengenal puasa, akan tetapi tidak selama itu dan tidak ada himbauan bahwa penjual makanan dan tempat hiburan untuk tutup.

5) Makanan yang mengandung babi haram bagi pemeluk agama Islam, akan tetapi tidak haram bagi pemeluk agama Kristiani.

b. Pluralisme Nilai Hukum Adat di Indonesia

Selain hukum positif yang dari hukum diciptakan oleh pembuat Undang-Undang, hukum positif Indonesia juga terdiri dari hukum tidak tertulis, yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakatnya, dipatuhi serta mempunyai sanksi. Hukinn tidak tertulis tersebut disebut dengan hukum adat.

Antar generasi ada perbedaan pandangan mengenai eksistensi hukum adat di Indonesia8. Berpendapat bahwa hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Hukum adat adalah suatu jenis hukum yang merachmati, yang simpatik, yang karena dinamik dan plastiknya memberikan kemungkinan sepenuhnya imtuk menumbuhkan pengadilan dan keadilan dan karena tinggi nilainya. Kandimgan di dalamnya banyak memberikan sumbangan yang mulia dalam perkembanan seluruh umat manusia. Oleh karena itu patutlah jika mematnirya, memelihara dengan khidmad sebagai pusaka dari leluhur9. Senada dengan pendapat tersebut, dapat pula dicatat pendapat Nasroen, yang menyatakan bahwa kesanggupan bangsa Indonesia dalam soal kebudayaan ternyata dari hukum adat ini adalah tinggi mutunva dalam mengatur ketatanegaraan dan mengatur budi pekerti dan pergaulan hidup manusia. Hukum adat adalah asli kepunyaan dan ciptaan bangsa Indonesia sendiri10. Soeripto yang mencoba untuk mencari pertalian antara hukum adat dengan falsafah negara Pancasila, telah sampai kepada kesimpulan bahwa kedudukan hukum adat dapat dianggap sama dengan kedudukan Pancasila dalam hal hukum. Antara Pancasila dan hukum Adat ada 8 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 2003, hlm 5 9 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung,

1985, hlm 13

(8)

kesatuan dan persatuan dalam hal hukum11. Soekanto secara tegas menyatakan bahwa apabila mereka sungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya mengenai hukum adat, tidak hanya dengan pikiran tetapi dengan penuh perasaan piila, mereka melihat sesuatu sumber yang mengagumkan, adat istiadat dahulu dan sekarang, adat istiadat yang dapat berkembang, adat istiadat yang seirama12. Pendapat-pendapat tersebut mewakili pandangan generasi terdahulu tentang eksistensi hukum adat, sebagai hukum yang memang ada dan berkembang di masyarakat adat serta masih dipatuhi karena mengandung nilai-nilai luhur.

2. Politik Hukum di Indonesia Terhadap Agama dan Hukum Adat a. Politik Hukum di Indonesia Terhadap Agama

Politik hukum adalah kehendak penguasa mengenai hukum yang diberlakukan dan ke arah mana hukum akan dikembangkan. Indonesia adalah masyarakat yang plural dengan nilai, baik karena perbedaan agama, perbedaan adat, maupun perbedaan yang lainnya, misalnya suku.

Bagi kaum instrumentalis, hukum dan kekuasaan negara dipergunakan sebagai alat oleh kelompok terorganisir atau individu-individu dalam masyarakat untuk merealisasikan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan mereka. Kaum instrumentalis menyetujui bahwa hukum adalah hasil hubungan-hubungan politik di antara kelompok dan individual. Paham instrumentalis ada dua tipe, pertama pluralis dan yang kedua elit-elit bersama (corporate elit).

Hukum yang Netral Bagi Masyarakat Plural [Studt pada Sltuasl di Indormtify Hukum menurut pandangan pluralis lebih merupakan pola desentralisasi dari kekuasaan ekonomi dan politik dan kekuasaan dibangun dari beberapa kelompok kepentingan yang saling berseberangan. Lawrence Friedmann lebih mempertegas lagi pandangan faham pluralis mengenai hukum, yakni bahwa hukum merupakan

11 Soeripto Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Bandung: Abardin CV, 1987, hlm 402 12 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

(9)

hasil dari kepentingan kelompok yang saling berkompetisi yang sering mempunyai kekuatan yang berbeda-beda13.

Pandangan kaum pluralis tersebut di atas didasarkan pada pengalaman mereka bahwa dalam masyarakat plural nilai dan kepentingan, atau dalam masyarakat liberal nilai dan kepentingan, proses pembentukan hukum diwarnai dengan upaya dari berbagai kelompok kepentingan untuk mendesakkan kepentingannya agar diakomodasi oleh hukum. Tujuannya adalah untuk melegitimasi kepentingan mereka. Mengapa mereka butuh legitimasi, karena dalam masyarakat plural nilai atau masyarakat liberal nilai, sulit sekali memperoleh legitimasi dari kelompok kepentingan lainnya. Satu-satunya jalan bagi mereka adalah dengan menggunakan kekuasaan negara atau hukum yang mempunyai legitimasi. Apabila pandangan pluralis ini dipergunakan, akan terjadi pertentangan nilai dalam proses pembuatan hukum dan apabila kriteria kepentingan yang diakomodasi dalam hukum adalah nilai mayoritas, bukan nilai yang paling berkualitas, maka kepentingan kelompok minoritas akan selalu kalah berkompetisi.

Mengenai hubungan negara berhadapan dengan agama, terdapat dua bentuk hubungan yang ekstrem dan saling berlawanan, yakni negara sekularistik dan negara agama. Dalam negara sekularistik, negara menganggap sepi adanya agama-agama dalam masyarakat. Agama tidak ditindas akan tetapi juga tidak didukung ataupun diikutsertakan dalam kebijakan-kebijakan negara. Dilihat dari kepentingan agama, apabila dalam suatu masyarakat hanya terdapat sekelompok kecil penganut agama dan kelompok yang jauh lebih besar lainnya tidak begitu peduli dengan agama-agama, maka negara sekularistik dapat diterima. Di sisi lain, apabila dalam masyarakat agama memainkan peran yang besar dan jumlah penganutnya cukup besar (tidak perlu mayoritas), maka paham negara sekularistik tidak akan diterima14.

Politik hukum lain yang sarat dengan unsur agama adalah ketentuan Pasal 31 ayat (5) UUD 1945, yang berbunyi: "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan

13 Lawrence Friedmann, Teor dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema Keadilan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1994, hlm19

(10)

tehnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan serta kesejahteraan umat manusia". Dalam ketentuan Pasal tersebut sekali lagi unsur agama dimasukkan dalam kebijakan pengatuan pendidikan. Ketentuan UUD 1945 sebelumnya yang mengatur mengenai kebijakan pendidikan nasional tidak memuat unsur agama di dalamnya. Perubahan politik hukum yang memasukkan nsur agama tersebut bukan tidak punya maksud. Secara sekilas tujuannya adalah baik, mengembangkan ilmu pengetahuan yang disasrkan atas nilai-nilai yang dianggap luhur. Sayang bahwa nilai-nilai yang dipilih adalah nilai-nilai agama, yang sekali lagi dalam tataran pelaskanannya dapat menimbulkan konflik antar agama.

Ada standard ganda yang dilakukan oleh pemerintah dalam politik hukumnya terhadap agama. Di satu sjsi ada bidang yang diatur tanpa dicampuri unsur agama, seperti kebudayaan (lihat Pasal 32 UUD 1945 amandmen keempat), ekonomi (lihat pasal 33 UUD 1945 amandemen keempat). Di sisi lain,ada yang dicampuri unsur agama, seperti bidang pendidikan (lihat pasal 31 ayat 3 dan 5 UUD 1945 amandemen keempat).

Dari dulu hingga kini ilmu pengetahuan diakui bahwa ilmu harus bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ilmu harus dapat membuat kehidupan manusia lebih adil, lebih damai, lebih sejahtera, lebih beradab dan seterusnya. Itulah sifat hubungan antara ilmu dengan nilai-nilai yang luhur, seperti kemanusiaan, keadilan, kesejaheraan ataupun agama. Kebenaran ilmiah sudah ada metodologinya sendiri, akan tetapi aspek aksiologi dari ilmu pengetahuan memang dapat dimasuki dengan nilai-nilai moral, seperti kedamaian, kesejahteraan, keselamatan manusia dan seterusnya. Lopa berpendapat bahwa ilmu, iman dan amal meruakan satu kesatuan. Satu kesatuan yang dmaksud adalah sebagai berikut. Dengan ilmu orang dapat memperdalam agama dan imannya dan selanjutnya iman yang kuat akan menuntun orang dalam beramal. Pendapat tersebut mendukung padngan yang ada selama ini bahwa metodologi ilmiah sudah ada caranya tersendiri dan tiak apa dicampuri unsur agama, akan tetapi aspek aksiologi dari ilmu pengetahuan yang dapat dicampuri nilai-nilai agama atau nilai luhur lainnya15.

(11)

Apabila perumusan pasal 31 (5) UUD 1945 amandemen keempat yang memuat unsur agama tersebut tetap dibiarkan, dalam tataran penafsiran yang bias yang dapat menimbulkan konflik antar agama.

b. Politik Hukum Indonesia terhadap Hukum Adat

Berlakunya hukum perdata di Indonesia sampai saat ini bersifat pluralisms. Ada lebih dari dua hukum yang diberlakukan untuk masing-masing golongan masyarakat, yakni untuk golongan Indonesia asli, golongan Eropa dan golongan Timur Asing yang berada di Indonesia. Pluralisme hukum perdata tersebut dari sejarhnya diakibtakan adanya politik hukum dari pemerintah Hindia Belanda waktu itu yang memberlakukan ketentuan Pasal 131 jo.163 IS (Indische Staats Regeling, S.1855-2). Berdasrkan ketentuan tersebut berlakunya hukum perdata bagi golongan Indonesia asli adalah hukum adat. Hingga saat ini politik hukum pemerintah Hindia Belanda tersebut masih berlaku meskipun dalam bebrapa bagian hukum perdata sudah diganti dengan hukum nasional Indonesia.

Hukum perdata terdiri dari hukum tentang orang, tentang keluarha, tentang benda dan harta kekayaan. Berlakunya hukum perkawinan saat ini sudah diatur dan berlaku secara nasional untuk semua golongan dengan diundangkannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan. Dasar peinikiran yang dipergunakan dalam kaedah hukum UU No. 1/1974 adalah hukum agama, bukan hukum adat. Jadi hukum adat tentang perkawinan sepanjang sudah diatur dalam UU No.1/1974 sudah tidak berlaku lagi. Tentang upacara perkawinan tidak diatur dalam UU No.1/1974. Dalam praktek, upacara perkawinan doiserahkan kepada para pihak. Pada umumnya yang dipergunakan adalah hkum adat masing-masing.

(12)

demikian ada pluralisme berlakunya hukum waris di Indonesia. Hingga saat ini pepemrintah belum merubah politik hukum yang berhubungan dengan hukum waris tersebut. Dengan demikian politik hukum Indonesia mengenai hukum waris masih meneruskan politik hokum penerintah Hindia Belanda, yakni memebrlkukan hukum adat.

Berlakunya hukum waris adat antara masyarakat adat yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Van Vollen Houven menyebut ada 19 lingkungan hhukum adat. Perbedaan berlakunya hukum adat yang berbeda-beda tersebut menyebabkan timbulnya konflik mengenai berlakunya hukum, dalam hal ada dua pihak yang tunduk pada hukum adat yang berbeda, melakukan hubungan hukum. Pertanyaannya adalah, hukum mana yang diberlakukan? Pertanyaan tersebut dijawab dalam hukum antar golongan. Dalam hukum antar golongan akan dinteukan hukum mana yang akan diberlakukan apabila ada konflik hukum antara du golongan yang tunduk apda hukum yang berbeda. Cara menentukannya ada dua, yakni dengan pilihan hukum (untuk hukum pelengkap) dan penunjukkan hukum (untuk hukum pemaksa)16.

Apabila politik hukum terhadap adanya pluralisme hukum adat adalah dengan tetap memberlakukan masing-masing hukum adat tersebut, maka masih diperlukan adanya hukum antar golongan, yang akan menyelesaikan konflik hukum apabila dua orang yang tunduk apda hukum yang berbeda melakukan hubungan hukum. Karena hukum yang berbeda adalah hukum adat, maka diperlukan hukum antar adat yang akan menyelesaikan konflik hukum antara dua orang yang tunduk apda hukum adat yang berbeda.

Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, untuk menentukan hukum adat mana yang diberlakukan apabila ada dua pihak yang tunduk apda hukum adat yang berbeda melakukan hubungan hukum, dilakukan dengan pilihan hukum atau penunjukkan hukum. Dalam hal dilakukan pilihan hukum, dasarnya alah kesepakatan para pihak. Pertanyaannya, bagaimana apabila para pihak tidak ada kata sepakat? Tentu masih menyisakan persoalan. Dalam hal akan diselesaikan dengan

(13)

penunjukkan hukum, persoalannya ateh hukum seperti apa yang akan dipergunakannya? Pemerintah samapi saat mi kesulitan menentukan hukum yang dapat diterapkan untuk mengatur pluralitas hukum adat, dalam ha berbeda.

3. Politik Hukum yang “Netral” untuk Mengatur Masyarakat a. Pengertian Hukum yang “Netral”

Di dalam GBHN Tahun 1999, Pemerintah Indonesia menetapkan politik hukumnya pada penataan sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu, dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif (lihat Bab IV.A.2 GBHN Tahun 1999). Berdasarkan ketentuan Bab IV.A.2 GBHN 1999 tersebut, ada tiga sistem hukum yang hendak dipadukan dalam penataan sistem hukum nasional, yakni:

a. Hukum agama b. Hukum adat

c. Hukum tertulis yang tidak diskriminatif

Substansi hukum yang hendak diramu dalam rangka menetapkan politik hukum ke depan nampaknya jelas, namun demkian menemukan bahwa Pemerintah Indonesia masih mengalami kesulitan dalam menentukan isi hukum yang mengatur bidang-bidang yang sangat sensitif, atau yang bersifat spiritual, misalnya tentang hukum keluarga (perkawinan, anak, warisan). Kesulitan meramu isi hukum yang mengatur bidang yang sensitif itulah yang menyebabkan sampai saat ini proses penyusunan hukum nasional tidak berjalan dengan lancar17.

Seandainya dalam menentukan isi hukum nasional Pemerintah Indonesia hendak menerapkan unifikasi hukum dengan mendasarkan pada hukum adat atau hukum agama, timbul pertanyaan yang harus dijawab: hukum adat atau hukum agama mana yang akan dipilih? Frans Magnis Suseno (2001:103) mengungkapkan bahwa penerapan hukum agama dalam masyarakat multi agama tidak akan memecahkan masalah. Pertatna, kalau ada lebih dari satu agama, maka yang menjadi pedoman penyelenggara negara adalah norma-norma dari salah satu agama.

(14)

Golongan masyarakat yang beragama lain akan menjadi golongan kelas dua dan mereka tidak akan krasan tinggal di negara tersebut. Kedua, andaikatapun hanya ada satu agama saja, masalahnya tidak akan terpecahkan, karena antara penganut agama itupun pasti ada pandangan-pandangan yang berbeda. Sebagai contoh, penerapan syariat Islam di Aceh menlmbulkan konflik tersendiri dari para penganutnya (Sudarto; Subiyantoro, dalam Journal Perempuan, Januari 2008: 7-31). Di lain pihak, modernisasi menghadapkan masyarakat dengan masalah-masalah yang jawabannya tidak ditemukan secara langsung dalam ajaran agama.

Qodry Azizy (2004:303) dalam kajiannya juga mengemukakan kesimpulan bahwa ada tekad dari bangsa Indonesia untuk tidak mengikuti begitu saja hukum Belanda, untuk tidak bersandar sepenuhnya pada hukum adat serta tidak seluruhnya mengikuti hukum agama. Pertanyaannya yang muncul: Lantas isi hukum yang bagaimana yang mestimya diupayakan dalam sistem hukum nasional Indonesia?

Dari latar belakang tersebut dapat diajukan suatu permasalahan, yakni: Politik hukum yang bagaimanakah yang harus diambil untuk menentukan isi hukum yang tepat diberlakukan bagi bangsa Indonesia yang plural nilai?

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia adalah negara hukum (lihat Penjelasan UUD 1945 Tentang Sistem Pemerintahan No.l). Sebagai negara hukum, maka penelitian tentang persoalan-persoalan yang berhubungan dengan hukum penting untuk dilakukan demi tegaknya supremasi hukum (the rule of law), lebih-lebih persoalan hukum yang sering membawa dampak pada persoalan yang serius lainnya, misalnya disintegrasi bangsa pelanggaran hak asasi manusia, pemiskinan (Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Indonesia, tanpa tahun) dan peminggiran kelompok-kelompok tertentu, misalnya perempuan18.

Persoalan hukum yang akan dijelaskan di sini adalah tentang penciptaan model tatanan hukum yang tepat berdasarkan Pancasila, untuk mengatur masyarakat

(15)

atau bangsa yang plural nilai, karena perbedaan agama atau adat istiadat. Usul model tatanan hukum yang diajukan adalah hukum yang "netral".

Pengertian hukum yang "netral" untuk mengatur masyarakat plural nilai didasarkan pada beberapa argumentasi, yakni19:

1) Adanya pandangan bahwa tendens keadilan dalam hukum mengandung tendens yang lain, yakni hukum yang tidak memihak, yang dalam pertikaian kepentingan-kepentingan, dalam tuntutan-tuntutan dan pandangan-pandangan orang, tidak berpihak kepada yang kuat, melainkan berpihak kepada mereka yang mempunyai nilai yang lebih tinggi, diukur dengan ukuran yang obyektif. Keadilan di sini dimaksudkan sebagai ketidakberpihakan, kenetralan. Hukum yang netral berarti bagian dari hukum yang adil. Selanjutnya Apeldoom mengemukakan bahwa ketidakberpihakan dalam hukum tersebut meliputi baik dalam peraturan hukumnya, maupun dalam penegakannya (putusan hakim). 2) Hukum sebagai kehendak yang obyektif dan netral dari Kelsen yang berangkat

dari situasi plural nilai di negara Austria. Kelsen menyatakan bahwa: Sumber pembuatan norma hukum berasal dari kehendak, akan tetapi bukan kehendak subyektif seperti halnya dalam bidang psikologi, melainkan kehendak yang obyektif dan netral. Kehendak obyektif adalah kehendak yang tidak melekat pada subyek tertentu atau kehendak yang tidak tergantung dari ada tidaknya subyek. Sekalipun subyeknya meninggal, kehendak obyektif akan tetap ada. Kelsen sampai pada suatu kesimpulan bahwa terdapat suatu norma dasar (grund norm), yang berfungsi sebagai sumber keharusan dalam bidang hukum. 3) Pandangan hukum yang netral sebagai a tool of social engineering dari Roscoe

Pound. Hukum menurut Pound merupakan suatu tehnik sosial (social Engineering) atau kontrol sosial (social control) yang bertujuan untuk menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan masyarakat yang satu dengan yang lain, agar harmonis dan tidak memihak, yang didukung dengan paksaan negara demi keamanan negara dan demi memajukan kepentingan umum.

4) Pandangan Ehrlich mengenai hukum yang adil sebagai jalan tengah menghadapi konflik kepentingan dalam masyarakat.

5) Pancasila adalah sumber segala sumber hukum di Indonesia yang substarisinya mempunyai nilai-nilai obyektif yang dapat diterima oleh semua kelompok kepentingan.

Mendasarkan pada pengertian hukum yang "netral" dari Apedoorn, Kelsen, Pound Ehrlich di atas, pengertian hukum yang "netral" yang dimaksud dalam tulisan ini ada hukum yang tidak memihak pada salah satu nilai atau kepentingan kelompok

(16)

tertentu, melainkan berdiri di atas berbagai kepentingan dan nilai kelompok yang ada, dapat diterima oleh semua kelompok kepentingan, dengan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukumnya. Model tatanan hukum yang "netral" bukan berarti netral dari nilai. Tatanan hukum yang "netral" di sini tetap harus bernilai, hanya saja nilai tersebut haruslah dapat diterima oleh semua pihak yang berbeda agama atau adat istiadat, dengan Pancasila sebagai dasarnya. Hukum yang netral adalah hukum yang adil. Dari batasan hukum yang "netral" tersebut, dapat ditetapkan unsur-unsurnya, yakni:

1) Tidak memihak salah satu nilai atau kepentingan dari kelompok tertentu. 2) Berdiri di atas berbagai kepentingan yang berbeda

3) Dapat diterima oleh semua kepentingan kelompok

4) Pancasila yang berisi nilai keadilan, kemanusiaan dan persatuan sebagai perekat dan pemersatunya.

Dari dua pandangan dalam aliran hukum alam klasik, keadilan adalah titik tolak dari substansi hukum. Hukum yang baik adalah yang adil. Tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan. Dalam susunan masyarakat yang sifatnya homogen, menentukan isi hukum yang dianggap adil relatif mudah, karena tidak banyak nilai yang saling bertentangan dalam menyimpulkan keadilan yang seperti apa yang disetujui bersama.Pandangan satu kelompok dengan kelompok lain dalam suatu masyarakat mengenai mana yang dianggap benar dan tidak benar secara garis besar akan sama dalam susunan masyarakat homogen. Hal tersebut akan berbeda dalam masyarakat yang sifatnya plural.

(17)

sekiranya tepat diterapkan sebagai dasar bagi hukum yang "netral" untuk mengatur masyarakat plural nilai.

Sebelum sampai pada usulan model tatanan hukum yang "netral", perlu dikemukakan fakta empirikal munculnya problematika-problematika akibat diterapkannya hukum agama tertentu atau adat tertentu dalam masyarakat plural agama dan plural adat. Problematika tersebut merupakan dasar argumentasi sosiologis atau empiris untuk usulan model hukum yang "netral"20.

b. Akibat Penerapan Hukum Agama dalam Masyarakat Plural Agama

Sebagaimana dikemukakan dalam BAB I, Sub Bab B dan C, hukum yang didasarkan pada wahyu Illahi (agama) pemah dianut oleh beberapa negara pada abad pertengahan (Abad V-XV). Dalam hukum alam agama, wahyu Illahi atau agama diberlakukan sebagai hukum negara, sebagai hukum positif. Berkaitan dengan adanya transformasi norma agama ke dalam hukum, Suseno berpendapat bahwa hal tersebut tidak akan memecahkan masalah. Ada dua alasan yang dikemukakannya. Pertama, kalau ada lebih dari satu agama, maka terpaksa yang menjadi pedoman penyelenggaraan negara adalah norma-norma dari salah satu agama tersebut. Golongan masyarakat yang beragama lain akan menjadi golongan kelas dua dan mereka tidak akan krasan di negara tersebut. Kedua, andaikata pun hanya ada satu agama saja, masalahnya tidak akan terpecahkan, karena antara penganut agama itupun pasti ada pandangan-padangan yang berbeda. Di lain pihak, modernisasi menghadapkan masyarakat dengan masalah-masalah yang jawabannya tidak ditemukan secara langsung dalam ajaran agama21.

Sundari dalam penelitiannya tentang "Penerapan Hukum Agama dalam Masyarakat Multi Agama", dengan mengambil contoh pada penerapan UU No.l Tahun 1974 tentang perkawinan di Kabupaten Sleman, secara empiris menemukan

(18)

fakta bahwa penerapan UU perkawinan yang isinya bersumber dari hukum agama banyak menimbulkan prolematika-problematika yang mendasar22.

Sumiarni dalam kesimpulan disertasinya mengungkapkan bahwa standar dan konsep hukum perkawinan Indonesia yang diformulasikan di dalam UU No.l Tahun 1974 tentang perkawinan, juga dalam hukum adat dan hukum agama, merugikan perempuan. Hal tersebut terungkap dari redaksi rumusan pasal-pasal tentang pengertian dan tujuan perkawinan, syarat dan sahnya perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri serta dalam perjanjian perkawinan23.

Berdasarkan hasil penelitian Sundari dan Sumiarni ada beberapa problematika yang muncul dari penerapan hukum yang tidak "netral", yakni yang bersumber dari agama dan adat. Berlakunya hukum perdata di Indonesia, khususnya hukum perkawinan dan waris, bersumber dari hukum agama serta hukum adat, yang rentan terhadap berbagai problema sebagai akibat dari penerapannya dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Problematika yang muncul dengan diterapkannya hukum agama dan adat dalam hukum perkawinan dan waris adalah sebagaimana di bawah ini.

1) Problematika yang timbul denan diterapkannya Hukum agama dalam perkawinan

2) Problematika yang timbul denan diterapkannya Hukum agama dalam warisan

c. Akibat Diterapkannya Hukum Adat dalam Masyarakat Plural Hukum Adat Problematika yang timbul dengan diterapkannya hukum adat dalam perkawinan. Sebagaimana dijelasakan dalam Bab terdahulu, bahwa hukum perkawinan adat di Indonesia sifatnya pluralistis, yakni hukum perkawinan dalam sistem patrileneal, sistem matrileneal, parental setrta alterend. Sundari dan Sumiarni pernah melakukan penelitian tentang problematika yang timbul dengan

22 E. Sundari, Laporan Penelitian “ Penerapan Hukum Agama dalam Masyarakat Multi Agama: Problematika dan Pemecahannya:, Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya.

(19)

diterapkannya hukum adat dalam perkawinan. Problematika yang timbul adalah sebagaimana di bawah ini.

1) Persoalan siapa yang harus melamar dan penentuan harta bersama 2) Menghindari Hukum adat yang memberatkan

3) Persoalan yang muncul dengan diterapkannya Hukum adat dalam pewarisan antar adat

d. Politik Hukum yang "Netral" untuk Mengatur Masyarakat Plural Nilai

Melihat adanya pluralisme hukum (rechtsverscheidenheid) di Indonesia dengan segala persoalannya24, emberikan pandangan tentang perlunya usaha untuk merumuskan produk peraturan perundang-undangan tertulis yang berlaku untuk semua golongan (univorm) yang mengandung materi yang dapat memenuhi aspirasi rakyat pada umumnya di bidang keadilan. Menurut Ihromi, pembinaan hukum nasional dengan legislasi harus mempunyai dampak yang menyuburkan iklim bagi integrasi bangsa. Di sini lagi-lagi keadilan ditempatkan sebagai dasar perekat dan pertimbangan dari hukum untuk mengatur masyarakat plural, disamping persatuan bangsa. Nilai keadilan dan persatuan bangsa adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Meskipun telah menyebut dasar perekat dan pertimbangannya, yakni keadilan dan persatuan bangsa, kajian Ihromi tersebut masih menimbulkan pertanyaan: aspirasi rakyat yang manakah yang akan dipergunakan agar hukum tetap "netral", sementara ada pluralisme nilai yang dianut rakyat Indonesia.

Dari kajian-kajian yang telah dilakukan terlebih dahulu tentang hukum yang dapat diberlakukan pada masyarakat plural seperti Indonesia, nampak bahwa penerapan pluralisme di bidang hukum akan menimbulkan persoalan-persoalan, salah satunya persoalan disintegrasi bangsa. Beberapa kajian terdahulu masih mempertentangkan dapat tidaknya sistem hukum adat dan agama diterapkan pada masyarakat plural telah mengisyaratkan bahwa pembentukan hukum nasional hams memperkuat perasaan "terikat" pada satuan yang bersifat nasional dan tidak menimbulkan suasana yang malahan merangsang perasaan "bersekat-sekat" dalam

(20)

masyarakat. Menurutnya, hukum nasional yang dibuat harus bersifat integratif, namun belum menjawab, isi hukum yang integratif itu yang bagaimana25.

Algra & Duyvendijk mengungkapkan bahwa pandangan yang menyatakan "pemakaian peraturan perundang-undangan bukanlah merupakan alat yang paling ampuh untuk mengatur masyarakat", makin menguasai lapangan. Algra & Duyvendijk menambahkan bahwa dalam situasi masyarakat pluriform (majemuk) nilai, peraturan yang sifatnya univorm merupakan "alat pengemudi" yang sifatnya kasar. Pengertian "kasar" di sini dapat ditafsirkan bahwa peraturan yang univorm (sama untuk semua nilai yang berbeda) sifatnya akan memaksa dan mengesampingkan pluralisme nilai yang ada serta menimbulkan ketidakdilan bagi salah satu kelompok kepentingan dalam masyarakat. Pandangan Algra & Duyvendijk tersebut didasarkan pada asumsinya bahwa peraturan univorm sifatnya menyamaratakan sejumlah kejadian, sejumlah kepentingan, dan tidak menghiraukan perbedaan kepentingan, nilai, yang adakalanya dalam praktek ternyata dapat sangat relevan. Nilai yang relevan yang dmaksudkan di sini mestinya nilai yang relevan bagi hukum, seperti nilai keadilan, kepastian, kedamaian, perlindungan hak asasi manusia dan sebagainya. Asusmsi Algra & Duyvendijk tersebut mempunyai pengertian bahwa substansi hukum yang univorm adalah substansi hukum yang memilih salah satu atau beberapa nilai dari seluruh perbedaan nilai yang ada. Apabila ada dua nilai yang berbeda, misalnya nilai dua agama yang berbeda, asumsinya hanya akan dipilih salah satu dan mengesampingkan nilai yang lain. Apabila ada dua nilai yang sama dan satu nilai yang berbeda, kemungkinan akan dipilih dua nilai yang sama tersebut. Demikian kira-kira konstruksi substansi hukum yang akan dipilih dalam asumsi pendapat Algra & Duyvendijk. Algra & Duyvendijk dengan demikian menganggap bahwa politik hukum yang univorm (isinya) tidak cocok untuk masyarakat yang plural nilai26.

Dari pendapat Algra & Duyvendijk tersebut, secara a contario dapat ditafsirkan bahwa peraturan yang tidak univorm sifatnya "tidak kasar" bagi

25 T.O Ihromi, Bianglala Hukum,,, hlm 40-41

(21)

kelompok kepentingan yang berbeda-beda, karena tidak menyamaratakan, karena mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda yang sangat mungkin relevan.

Negara Medinah meskipun masyoritas penduduknya beragama Islam, dengan Piagam Madinahnya (Syahifah) tidak menyebut dirinya sebagai negara Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa di dalam negara yang mempunyai satu agama pun tidak serta merta kemudian berubah menjadi negara agama mayoritas-pun tidak serta merta kemudian berubah menjadi negara agama (mayoritas). Meskipun tidak mendeklarasikan dirinya sebagai negara agama (Islam), hubungan antara hukum Islam dengan politik di negara Medinah sangat kuat, meski tanpa menyebut secara tegas hukum Islam sebagai pedoman negara. Pertanyaan yang dapat diajukan: Mungkinkah pedoman demikian tidak mendiskriminasikan pemeluk agama yang lain di Medinah? abdul Halim dalam kajiannya mengungkapkan bahwa meskipun hukum Islam dijadikan pedoman negara, Piagam Medinah sanggup mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat majemuk. Pertanyaan lebih lanjut: Bagaimana mungkin? Kembali Halim mengungkapkan rahasianya, yakni bahwa dalam Piagam Medinah, sama sekali tidak memberlakukan hukum Islam yang satu dan sama untuk semua golongan yang berbeda. Sebaliknya, dikatakan bahwa Piagam Medinah mengandung prinsip-prinsip seperti: membangun etika modern dengan prinsip-prinsip bertetangga yang baik, saling membantu, membela yang tertindas, saling konsultasi/musyawarah dalam urusan bersama dan kebebasan beragama. Tidak ada prinsip yang secara eksplisit menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Islam, akan tetapi prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip-prinsip dasar yang juga dijunjung tinggi dalam hukum Islam, terutama yang menyangkut pedoman hidup bersama dengan kelompok yang berbeda.

(22)

kelompok atau agama tertentu. Kehidupan hukum di negara Medinah membuktikan bahwa kepentingan umat Islam dan non Islam dapat terpenuhi oleh negara tersebut, tanpa ada diskriminasi terhadap golongan tertentu27.

Berlakunya hukum di negara Medinah merupakan dukungan empiris bagi usulan model hukum yang "netral" untuk mengatur masyarakat plural seperti Indonesia. Berlakunya hukum yang "netral" dan "universal" di negara Medinah tersebut, dapat dijadikan contoh positif bagi Indonesia, yakni bahwa agama mayoritas tidak serta merta harus menjadi hukum negara, bahwa politik hukum yang "netral" pun tetap dapat menciptakan tata kehidupan yang baik, aman, tentram dan damai, di tengah masyarakat dengan mayoritas agama tertentu.

Dasar berfikir bagi usulan hukum yang "netral" untuk mengatur masyarakat plural adalah sebagai berikut. Fungsi hukum adalah sebagai penyelesai conflict of interest serta sebagai peirtulih keseimbangan (restutio in integrum). Sebagai penyelesai konflik kepentingan dan pemulih keseimbangan di tengah masyarakat plural nilai, maka hukum harus "netral", dalam arti, tidak memihak pada salah satu kepentingan atau nilai kelompok tertentu, melainkan berdiri di atas berbagai kepentingan dan nilai kelompok tertentu dan dapat diterima oleh semua kelompok kepentingan. Kerangka konseptual hukum harus "netral" ini didasarkan pada 'prinsip mediasi' dan 'prinsip neraca'. Dalam mediasi, mediator berperan sebagai penyelesai konflik dan harus berlaku netral. Dalam neraca, keseimbangan akan terjadi apabila tidak berat sebelah.

Dari dasar berfikir tersebut, dihubungkan dengan problematika/konflik kepentingan yang timbul dengan diterapkannya hukum agama dan hukum adat dalam masyarakat plural agama dan plural adat, dapat diajukan hipotesa sebagai berikut: Agar tidak menimbulkan konflik kepentingan, desain hukum yang "netral" merupakan pilihan yang tepat untuk mengatur masyarakat plural nilai/kepentingan karena perbedaan agama, adat dan suku, seperti Indonesia.

(23)

Hipotesa tersebut perlu diuji kebenarannya. Uraian di bawah adalah upaya untuk menguji kebenaran hipotesa di atas, yakni berupa hasil kajian empiris dalam situasi di Indonesia maupun hasil kajian normatif.

1) Pendapat masyarakat tentang diterapkannya hukum agama

Dalam penelitian yang dilakukan di tiga daerah yang berbeda, yakni Jakarta, Bandung serta Yogyakarta, pendapat masyarakat tentang diterapkannya hukum agama di Indonesia yang bersifat plural nilai agama, adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini. Mengenai toleransi beragama, masyarakat mempunyai pendapat sebagaimana digambarkan dalam Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Perlunya toleransi beragama dalam masyarakat multi agama

Pendapat Masyarakat Jumlah Prosentase

Setuju Perlunya Toleransi 441 98%

Tidak Setuju Perlunya Toleransi

1 0.2%

Tidak Menjawab 8 1.8%

Total 450 orang 100%

Sumber: Laporan Penelitian Sundari & Sumiarni, 2007

Toleransi merupakan sebuah nilai yang sifatnya universal serta "netral". Universal karena tidak hanya dikenal dalam kelompok masyarakat tertentu di daerah tertentu, atau bangsa tertentu saja. Hal tersebut juga terbukti dari data penelitian di atas, yakni bahwa nilai toleransi temyata disetujui atau diakui tidak saja dalam kelompok agama tertentu saja. Baik kelompok umat beragama Islam maupun Kristiani mengakui perlunya nilai toleransi dalam kehidupan mereka, khususnya dalam kehidupan beragama antar umat beragama. Nilai toleransi juga diakui dan disetujui tidak saja di daerah tertentu. Hal tersebut nampak dari Tabel 1, yakni bahwa lebih banyak masyarakat yang mengakui dan menyetujui perlunya nilai toleransi dalam kehidupan umat beragama.

(24)

seperti nilai perlunya toleransi inilah yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat yang plural nilai. Dengan nilai toleransi, maka tidak ada pemaksaan kehendak dari satu kelompok kepada kelompok lainnya. Tidak ada pemaksaaan kehendak dari satu agama kepada pemeluk agama lainnya yang berbeda. Keberadaan umat beragama satu dan lain diakui dan dihormati.

Apabila dihubungkan dengan politik hukum untuk mengatur masyarakat plural nilai, sebagaimana juga dikemukakan oleh T.O ihromi nilai toleransi merupakan salah satu contoh nilai yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam menentukan isi atau substansi hukum karena memperkuat perasaan bersatu. Nilai toleransi tersebut secara empiris atau sosiologis, dari gambaran data penelitian di atas, kemungkinan diterima oleh semua kelompok masyarakat juga akan jauh lebih besar28.

2) Pendapat tokoh agama, tokoh masyarakat atau pemimpin bangsa

Pendapat tokoh agama, tokoh masyarakat atau pemimpin bangsa mengenai persoalan kehidupan beragama dalam masyarakat multi agama diperoleh dengan studi dokumen, yakni pendapat mereka sebagaimana sudah tertuang di koran. Adapun secara keseluruhan pendapat para tokoh agama, tokoh masyarakat maupun pemimpin bangsa tersebut adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.

a) KH. Sholahuddin Wahid, Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang

Melalui tulisannya di harian "Kompas" tanggal 23 Juni 2006 berjudul "Tanpa Pancasila, China dan India Maju", beliau mempunyai pendapat antara lain sebagai berikut.

"...Mungkin hanya sila Ketuhanan yang tidak terkadnung dalam konsep negara ideal mereka. Sila lain, saya yakin tercakup dalam konsep negara ideal mereka, meski dalam rumusan lain. Prinsip persatuan nasional, keadilan sosial dan kemanusiaan tentu tercakup sesuai persepsi negara itu pada suatu era tertentu sejalan dinamika social politik negara itu dalam perjalanan kesejarahannya, tentu dengan memerhatikan tuntutan perkembangan global. ..perhatikan wacana yang berkembang belakangan ini, jika kita bicara tentang memperahankan Pancasila, hemat saya asosiasi kita terutama tertuju pada sila Ketuhanan YME. Tampaknya sila lain

(25)

terabaikan… ironinya, kita sibuk bicara pentingnya sila pertama tetapi tidak mampu menjawab mengapa sila pertama tidak ada bekasnya dalam kehidupan nyata kita. Alih-alih enjadi suatu yang membawa berkah, adakalanya terjadi, agama justru menjadi bencana akibat konflik antar agama…29

b) Dr.Frank Fregosi, peneliti The European Society, Law and Religion, Universitas Strasbough, Perancis.

Dalam diskusi "The Place of Islam in Prance and Europe" di UIN Syarif Hidayatullah, 19 Juli 2006 mengemukakan hasil bahwa sistem masyarakat Eropa yang sekuler sering menimbulkan kesalahpahaman bagi masyarakat agamis dan sebaliknya, keinginan masyarakrat agamis sering dianggap mengada-ada oleh masyarakat Eropa yang sekuler... Sebagai contoh, pemerintah Perancis tidak mendukung kelompok agama manapun untuk mendirikan rumah ibadat. Di tempat umum, misalnya di bandara, didirikan tempat khusus untuk berdoa yang berlaku bagi semua pemeluk agama...muslim di Perancis dan Eropa beragam, tergantung dari asalnya. Keragaman ini membuat bahasa dan tata cara peribadatan yang dipakai juga berbeda meski sama-sama memeluk agama Islam implikasinya

c) KH. Abdurrahman Wahid, mantan Presidan RI

Dalam diskusi "Indonesia Timur dan Nasib NKRI" (18/9/2006) mengatakan: "...demokrasi itu ada dua, yakni kedaulatan hukum dan perlakuan yang sama sesama warga dihadapan hukum. Tetapi apakah yang minoritas, apakah mereka didengarkan? Enggak juga kan? Ini jelas sekali demokrasi belum ada...kenapa Papua ingin merdeka...saya mengerti sebabnya karena tidak ada keadilan..."31

Dalam diskusi "Agama,Perdamaian dan Kebangsaan" (15/6/2006) mengatakan; "..pedamaian antar umat beragama di Indonesia bisa tercipta bila ada kearifan dalam memandang agama, kebangsaan dan kemanusiaan. Pemaksaan satu kebenaran harus dikurangi dan tolerasni harus lebih dikedepankan...persoalan yang dialami oleh umat beragama di Indonesia

29 KH.Sholahuddin Wahid, 2003, "Tanpa Pancasila, China dan India Maju", Harian Kompas 30 Frank Fregosi, "The Place of Islam in Prance and Europe" Acara Seminar di UIN Syarif

Hidayatullah, 19 Juli 2006

(26)

saat ini merupakan pendangkalan ajaran agama oleh sebagian masyarakat... kondisi ini diperparah dengan kurang berjalannya fungsi pemimpin agama dalam membina umatnya...kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama dan bereaksi berlebihan terhadap sesuatu hal pada akhirnya akan ditinggakan masayarakat. Mereka hanya segelintir saja. Sebagian masyarakat di Indonesia menginginkan perdamaian32.

Berbagai pendapat dari tokoh agama, tokoh politik serta pemimpin bangsa di atas pada dasarnya menggambarkan adanya fakta-fakta serta pandangan-pandangan sebagai berikut.

1) Ada kesamaan pendapat bahwa Pancasila harus menjadi alat pemersatu dan tidak boleh disalahtaf sirkan untuk kepentingan kelompok tertentu, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

2) Perlunya mengedepankan nilai kebangsaan dan kemanusiaan serta standarisasi peraturan dari ukuran hak asasi manusia, bukan agama tertentu.

3) Pluralisme merupakan kenyataan kehidupan dari masyarakat Indonesia yang harus diakui, dihormati dan diharmonisasikan dalam toleransi, bukan dipaksakan untuk dihilangkan karena Indonesia adalah milik bersama, bukan milik kelompok tertentu

4) Pendirian negara agama tertentu tidak akan menyelesaikan masalah utama bangsa Indonesia, misalnya masalgh ekonomi dan pendidikan umat.

5) Adanya kenyataan bahwa di antara umat beragama di Indonesia sendiri banyak rnenunjukkan pluralisme cara berfikir, juga di negara lain seperti Eropa.

6) Ada masyarakat yang mengembangkan sikap toleransi, ada yang nya yang masih intoleran.

7) Agama sering dipahami secara keliru dan dangkal yang kemudian menimbulkan konflik antar agama.

Apabila uraian mengenai problematika yang muncul dengan diterapkannya hukum agama tertentu atau hukum adat tertentu dan uraian mengenai pendapat masyarakat dihubungkan dengan pendapat para tokoh agama, tokoh politik serta pemimpin bangsa sebagaimana terurai di atas, maka dapat dilakukan analisis sebagai berikut.

Abdurrahman Wahid (Kompas, 15 Juni 2006) melihat dan menentang bahwa dalam masyarakat plural agama di Indonesia, kelompok minoritas tidak didengar, melihat dan menentang ada pendangkalan ajaran agama oleh kelompok tertentu dan kurang berfungsinya para pemimpin agama dalam membina umatnya, melihat dan

(27)

menentang adanya kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama dengan bertindak secara berlebihan dalam menghadapi suatu persoalan. Salahuddin Wahid dalam tulisannya di harian Kompas 23 Juli 2006 mengemukakan adanya temuan bahwa agama sering menjadi bencana akibat konflik antar agama.

Belum adanya toleransi oleh sebagian masyarakat; masih adanya pemahaman yan keliru dan pendangkalan dalam ajar an agama; adanya tindakan yang berlebih dalai menghadapi suatu persoalan dengan mengatasnamakan agama, merupakan hal-hal yang secara faktual terjadi di Indonesia dan sering menjadi penyebab konflik antar umat beragama atau mengurangi konflik antar agama tersebut, maka toleransi harus dikembangkan, pemahaman yang keliru atau pendangkalan ajaran agama serta tindakan yang berlebih dalam menghadapi suatu persoalan dengan mengatasnamaan agama harus diluruskan.

1) Usulan Model Tatanan Hukum yang 'Netral' untuk Mengatur Masyarakat Plural

a) Dasar argumentasi

Berdasarkan uraian hasil kajian empiris dan normatif bagi usulan hukum yang netral di atas, hipotesa yang diajukan, yakni "hukum yang netral sebagai pilihan yang tepat untuk mengatur masyarakat plural nilai/kepentingan karena perbedaan agama, adat dan suku, seperti Indonesia", terbukti benar.

Dasar argumentasi bagi usulan diterapkannya model hukum yang 'netral' adalah sebagai berikut33.

1.1) Secara empiris ada problematika mendasar yang berupa pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan sosial serta disintegrasi bangsa, yang muncul dengan diterapkannya hukum agama dan adat dalam masyarakat multi agama dan adat, sehingga untuk menghindari munculnya problematika tersebut, hukum yang diterapkan harus bukan hukum agama tertentu dan hukum adat tertentu.

1.2) Secara empiris di antara umat suatu agama sendiri masih ada pluralisme pendapat atau penaf siran sehingga penerapan hukum agama tertentu pun masih akan menimbulkan konflik, baik diantara umat penganut itu sendiri, maupun konflik dengan penganut agama lain.

1.3) Secara empiris masyarakat menghendaki diterapkannya hukum yang 'netral' (termasuk dalam bidang-bidang yang dianggap sensitif, yakni perkawinan dan warisan) yang lebih dapat diterima oleh semua kelompok

(28)

tanpa memandang agama dan adat, yang substansinya didasarkan pada nilai-nilai universal.

1.4) Secara filosofis, hukum yang 'netral' lebih dapat diterima oleh semua kelompok karena substansinya berisi nilai-nilai yang universal, yang dapat diterima oleh kelompok yang berbeda agama sekalipun

2) Nilai-nilai yang bersifat netral dan universal

Sebagaimana dijelaskan dalam Bab terdahulu, hukum yang 'netral' di sini diartikan hukum yang memiliki tiga unsur:

a) Tidak memihak salah satu nilai atau kepentingan dari agama dan adat tertentu. b) Dapat diterima oleh semua kepentingan kelompok agama maupun adat

c) Pancasila sebagai pemersatunya atau perekatnya.

Hukum 'netral' yang diusulkandi sini bukan berarti hukum yang bebas dari nilai. Tidak ada hukum yang bebas dari nilai, karena pada dasarnya hukum itu merupakan perumusan nilai-nilai yang hendak ditegakkan bersama oleh masyarakat dalam pergaulan hidup.

Usulan nilai substansi hukum yang 'netral' sebagaimana disebut di atas apabila dihubungkan dengan kajian teoretis, merupakan upaya sintesa atau penggabungan dari sebagian aspek yang dianut oleh aliran hukum alam dan sebagian aspek yang dianut dalam ajaran hukum murni (reine rechtlehre) dari Hans Kelsen. Aspek dari aliran hukum alam yang diambil di sini adalah pecahan aliran hukum alam yang menganut faham bahwa hukum harus bersumber dari akal budi manusia yang baik dan bukan aliran hukum alam yang menganut faham bahwa hukum harus berasal dari wahyu Allah34.

Aliran hukum alam yang menganggap hukum yang baik adalah hukum yang berasal dari wahyu Allah kurang tepat untuk diterapkan di Indonesia, karena wahyu Allah yang dianut di Indonesia, bersifat multi tafsir karena terdapatnya agama yang berbeda-beda. Penafsiran yang berbeda-beda tersebut dalam realita memunculkan problematika mendasar sebagaimana dapat dilihat dari hasil penelitian Sundari dan Sumiarni, serta dari pengamatan para tokoh agama, tokoh plitik serta pemimpin bangsa sebagaimana dapat dilihat dari uraian sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut,

(29)

lebih tepat apabila isi hukum yang 'netral' adalah hukum yang berasal dari akal budi manusia yang baik. Nilai hukum tersebut tetap tinggi, karena mendasarkan pada akal budi manusia yang baik, tanpa harus menyebabkan konflik dalam realitanya.

Dari pendapat masyarakat, tokoh agama, tokoh politik serta pemimpin bangsa sebagaimana dijelaskan sebelumnya, nampak bahwa usulan nilai hukum yang berasal dari akal budi manusia yang baik mempunyai dasar realita yang kuat untuk dapat berlaku dan diterima oleh semua kelompok.

Aspek lain dari nilai hukum yang 'netral' adalah sebagian faham yang dianut dalam ajaran hukum murni Hans Kelsen. Hans Kelsen yang menciptakan ajar an hukum murni (reine rechtslehre) mendasarkan ajarannya pada situasi di negara Austria, dimana pada saat sistem monarki ganda Austria-Hongaria (1867-1918), masyarakatnya terdiri dari banyak warga negara dan agama. Dalam situasi seperti itu, hukum harus merupakan alat pengikat yang dapat berlaku bagi orang Kristen, Islam, Turki, Gerika, Yahudi dan Katholik, sehingga harus dimurnikan dari berbagai unsur yang sangat berbahaya, seperti politik, agama, sejarah, sosiologi, etik, psikologi dan sebagainya35. Aspek dalam ajaran hukum murni yang hendak diambil dalam usulan hukum yang 'netral' di sini adalah aspek bahwa hukum harus dimurnikan dari unsur agama tertentu, adat tertentu dan politik praktis tertentu, Ajaran hukum yang bebas dari unsur agama tertentu, adat tertentu dan politik praktis tertentu tersebut tepat untuk diterapkan di Indonesia yang plural agama dan adat dengan nilai yang berbeda-beda. Hasil penelitian Sundari dan Sumiarni, menunjukan bahwa penerapan hukum agama akan menimbulkan problematika mendasar dan tidak akan menyelesaikan masalah yang mendasar dari bangsa Indonesia. Berdasarkan sintesa dari kedua aliran hukum tersebut, maka substansi hukum yang 'netral' harus berisi nilai-nilai yang berasal dari akal budi manusia yang baik, akan tetapi yang tidak berasal dari unsur agama dan adat tertentu.Berdasarkan hasil kajian terhadap pendapat Ihromi, Galanter, Pidgam Madinah, Qodry Assisy, pendapat masyarakat, para tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta hasil kajian normatif terhadap aliran hukum alam klasik, pandangan kaum Stoa, aliran historis dan ajaran

(30)

reine rechtslehre Hams Kelsen, dalam model tatanan hukum yang "netral", nilai-nilai yang hendak ditegakkan yang bersifat netral dan universal antara lain adalah36:

a) Nilai kemanusiaan b) Nilai keadilan

c) Nilai hak asasi manusia d) Nilai kelayakan

e) Nilai kejujuran f) Nilai kedamaian g) Nilai kebahagiaan

h) Nilai toleransi atau bantu membantu atau demokrasi i) Persatuan atau integrasi

3) Struktur peraturan hukumnya.

Untuk menghindari agar nilai-nilai tersebut tidak dipengaruhi oleh penafsiran dari agama tertentu, maka usulan struktur kaedah hukumnya atau usulan perumusan norma hukum yang 'netral' haruslah tetap bebas dari unsur atau istilah yang menggunakan istilah atau makna agama tertentu. Untuk menentukan bagaimana usulan rumusan norma hukum yang 'netral' perlu di sini digambarkan terlebih dahulu contoh-contoh perumusan norma hukum yang tidak 'netral' yang dalam praktek masih menimbulkan problematika sebagaimana dapat dilihat dari hasil penelitian Sundari dan Sumiarni.

Bidang yang hendak dikaji untuk diusulkan perumusan kaedah hukumnya juga dibatasi, yakni pada bidang perkawinan serta warisan, dengan tidak menutup kemungkinan usulan rumusan kaedah hukum yang 'netral' ini kelak dipergunakan pada bidang-biang hukum yang lebih luas. Dipilihnya dua bidang hukum tersebut adalah berdasarkan pertimbangan dari hasil temuan T.O Ihromi (1986) yang melihat bahwa pembuat Undang-Undang masih kesulitan dalam menentukan hukum nasional untuk kedua bidang tersebut yang dianggap sensitif karena dianggap bersifat religius.

Rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 tentang sahnya perkawinan dinyatakan bahwa: "Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya". Dalam realita rumusan seperti tersebut pada

(31)

Pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 menimbulkan problematika, yakni dalam hal ada dua orang beda agama ingin menikah, atau dalam hal ada pasangan Kristiani setelah bercerai ingin menikah lagi untuk yang kedua kalinya.

Mengenai nilai yang terkandung dalam Sila pertama, Purnadi melihat bahwa wawasan tentang Tuhan antara manusia yang satu dengan yang lain dapat berbeda, akan tetapi manusia yang mengakui adanya Tuhan akan beriktiar untuk memantapkan keyakinannya dan tidak akan mengganggu hubungan yang serasi antara Tuhan dengan segala ciptaannya. Hal itulah yang menurut Purnadi mengharuskan manusia untuk hidup serasi dalam lingkungan yang serasi pula. Nilai yang ditekankan dalam sila pertama oleh Purnadi adalah nilai keserasian hidup, baik keserasian antara manusia dengan Tuhan maupun antara sesama manusia dalam pergaulan masyarakat.

Sila kedua dari Pancasila menurut Purnadi mengandung nilai keadilan dan beradab. Dalam pergaulan masyarakat manusia harus berlaku adil dan berperilaku beradab. Hukum juga mengenai asas keadilan dan kemanusiaan (perlindimgan hak asasi manusia).

Sila ketiga Pancasila mengandung nilai persatuan Indonesia. Indonesia terdiri dari berbagai suku dan oleh Pancasila disatukan dengan asas Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetrapi tepa harus satu. Ada nilai pluralisme dan unifikasi yang terkandun dalam sila ketiga Pancasila. Hukumpun juga mengenai kedua nilai tersebut. Sebagai contoh, adanya pluralisme berlakunya hukum perdata dan unfikasi berlakunya hukum tata negara dan hukum pidana.

Sila "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwailan" mengandung nilai demokrasi, persamaan kedudukan, hubungan yang serasi antara penguasa dan rakyat, serta perdamaian37.

D. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan

(32)

Nilai-nilai yang dianut dalam agama yang satu dengan yang lain sering berbeda, atau paling tidak ditafsirkan secara berbeda. Agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan atau Allah beserta ajaran-ajaranNya. Apabila ditinjau dari sumber ajaran agama, yakni dari Tuhan, maka mestinya ajaran agama apapun pada dasamya akan sama karena sumbernya sama. Pada kenyataannya, antara agama yang satu dengan agama yang lain saling mengklaim bahwa hanya ajaran agama mereka yang benar. Ajaran masing-masing agama bersumber dari alkitab yang diyakini berasal dari Tuhan. Dari berbagai alkitab itulah sumber perbedaan nilai dari masing-masing agama, meskipun pada hakekatnya bersumber dari ajaran yang sama, yakni ajaran Tuhan.

Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Hukum adat adalah suatu jenis hukum yang merachmati, yang simpatik, yang karena dinamik dan plastiknya memberikan kemungkinan sepenuhnya imtuk menumbuhkan pengadilan dan keadilan dan karena tinggi nilainya. Kandimgan di dalamnya banyak memberikan sumbangan yang mulia dalam perkembanan seluruh umat manusia. Oleh karena itu patutlah jika mematnirya, memelihara dengan khidmad sebagai pusaka dari leluhur.

Aspek dalam ajaran hukum murni yang hendak diambil dalam usulan hukum yang 'netral' di sini adalah aspek bahwa hukum harus dimurnikan dari unsur agama tertentu, adat tertentu dan politik praktis tertentu, Ajaran hukum yang bebas dari unsur agama tertentu, adat tertentu dan politik praktis tertentu tersebut tepat untuk diterapkan di Indonesia yang plural agama dan adat dengan nilai yang berbeda-beda. Hasil penelitian Sundari dan Sumiarni, menunjukan bahwa penerapan hukum agama akan menimbulkan problematika mendasar dan tidak akan menyelesaikan masalah yang mendasar dari bangsa Indonesia. Berdasarkan sintesa dari kedua aliran hukum tersebut, maka substansi hukum yang 'netral' harus berisi nilai-nilai yang berasal dari akal budi manusia yang baik, akan tetapi yang tidak berasal dari unsur agama dan adat tertentu.

2. Saran

(33)

sisteatika penulisannya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan dalam penyusunan jurnal.

DAFTAR PUSTAKA LITRATURE

Abdul Halim, 2000, Peradilan Agama dan Politik Hukum Indonesia, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.

Apeldoorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Mr. Oetarid Sadino, Jakarta: Pradnya Paramita.

Baharuddin Lopa, 1994, Masalah-masalah Politik,Hukum,Sosial dan Budaya, Sebuah Pemikiran, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

(34)

Frans Magnis suseno, 2001, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia.

Lawrence Friedmann, 1994, Teor dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema Keadilan, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Lili Rosyidi, 1988, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Remaja Karya.

Mohammad Daud Ali, 1990, Hadirnya hukum islam di indonesia (Hukum Islam),Jakarta: Rajawali Press.

N.E Algra & K. van Duvendijk, 1989, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan J.C.T Simorangkir & Boerhanoedin Soetan batutah, Bandung: Bina Cipta.

Nasroen Sahibi, 1983, Kerukunan Antar Umat Beragama, Jakarta: Gunung Agung.

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar hukum indonesia,( Civil Law dan Common Law), Jakarta: Prenada Media Grup.

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2011, sebagaimana dikutip oleh H.M. Hadin Muhjad, Dasar-Dasar Penelitian Hukum, Jakarta: Aditama.

Purnadi Purbacaraka, 1994, Penggarapan Disiplin Hukum dan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali.

Qodri Azizy, 2004, Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, Jakarta: Teraju.

Saifudin Azar, 1998, MetodePenelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Sajuti Thalib, Politik Hukum: 1987, Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dan Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional, Bandung: Binacipta.

Soepomo, 2003, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita. Soeripto Tasrif, 1987, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Bandung: Abardin CV.

Soerjono Soekanto, 2001, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soerojo Wignjodipoero, 1985, Pengantar dan Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung. Sunaryati Hartono, 1971, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Bandung:

Alumni

T.O Ihromi, 1986, Bianglala Hukum, Bandung: Tarsito.

(35)

E. Sundari, Laporan Penelitian “ Penerapan Hukum Agama dalam Masyarakat Multi Agama: Problematika dan Pemecahannya:, Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya.

Endang Sumiarni, 2003, Disertasi: Analisis Jender dalam Ilmu Hukum Untuk Mengkritik Hukum Perkawinan Indonesia.

JURNAL

Yayasan Journal Perempuan (YJP), Journal Perempuan, No. 57, Cet. Pertama, Januari 2008, Jakarta.

SEMINAR

Frank Fregosi, "The Place of Islam in Prance and Europe" Acara Seminar di UIN Syarif Hidayatullah, 19 Juli 2006

Jawahir Thontowi, paper yang disampaikan pada Perkuliahan Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 27 Mei 2010.

SURAT KABAR

Gambar

Tabel 1. Perlunya toleransi beragama dalam masyarakat multi agama

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan program GERBANGKU di Kabupaten Merauke yang merupakan wilayah terpencil, tertinggal, khusus, perbatasan telah menjadi salah satu fokus dan program prioritas dalam

Atas dasar itu, maka hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus dituntut harus berdasarkan atas fakta hukum di persidangan, norma/kaidah-kaidah hukum, moral

TIMBAL: Pemajaan yang berkepanjangan terhadap uap atau asap pada suhu yang lebih tinggi dapat menyebabkan iritasi saluran pernapasan dan keracunan timbal sistematis.. Gejala

Sampai saat ini, PT Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan

Menurut petikan yang  bertarikh 16 Mei 2010, Tun Hamdan telaha menyatakan Laporan Razak sejumlah 20 cadangan  penting di mana laporan tersebut mengutamakan bahasa Melayu

Terkadang, sebagian pengunjung Anda melihat iklan di sini Anda dapat menyembunyikan iklan tersebut sepenuhnya dengan melakukan upgrade ke salah satu paket berbayar kami.

DYSY’nın yatay ve dikey verimlilik yayılması etkileriyle birlikte özellikle Türkiye imalat sanayinde ihracat odaklı yabancı iştirakli şirketlerden kaynaklanan geri

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan atara lingkungan sosial terhadap perilaku konsumen pada usia remaja akhir dalam memilih