• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan dan Kemitraan Civil Society

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan dan Kemitraan Civil Society"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Pendidikan dan Kemitraan Civil Society Oleh Syamsul Arifin

Pengantar

Tulisan ini terinspirasi oleh isu atau permasalahan strategis pendidikan di Indonesia yang meliputi: akses masyarakat terhadap pendidikan, partisipasi masyarakat, dan pengembangan mutu pendidikan. Ketiga permasalahan ini dapat dikatakan sebagai permasalahan klasik, karena selalu muncul dalam setiap periode perkembangan pendidikan di Indonesia. Pada periode Orde Baru, misalnya, pendidikan nasional telah dihadapkan pada ketiga permasalahan tersebut. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan yang dirancang oleh pemerintahan Orde Baru selalu mengarah pada upaya pengentasan ketiga permasalahan tersebut. Salah seorang ahli pendidikan yang secara ekstensif mengkaji kebijakan Orde Baru dalam bidang pendidikan adalah Tilaar. Pada salah satu publikasinya, Pembangunan Pendidikan Nasional, 1945-1995 (1995), Tilaar, antara lain, mengungkap kebijakan pokok pemerintahan Orde Baru selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT-I) yang terpusat pada lima isu strategis, yakni: (1) relevansi pendidikan; (2) pemerataan pendidikan; (3) peningkatan mutu guru atau tenaga kependidikan; (4) mutu pendidikan; dan (5) pendidikan kejuruan.

Kajian yang dilakukan oleh Tilaar tersebut, merupakan kelanjutan dari kajian yang dilakukan sebelumnya, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan (1992). Pada buku ini, Tilaar mengawali dengan paparan apa yang disebutnya dengan “sukses besar” program pemerintahan Orde Baru di bidang pendidikan. Ada dua prestasi yang mendapat perhatian Tilaar dalam buku tersebut. Pertama, sukses dalam pendidikan universal 6 tahun. Menurut Tilaar, jika banyak negara maju memerlukan lebih dari 50 tahun untuk mencapai pendidikan universal 6 tahun bagi rakyatnya, Indonesia, tegas Tilaar, dapat mencapainya dalam waktu 15 tahun sejak dimulainya rencana pembangunan pada tahun 1969. Sukses kedua yang yang mendapat apresiasi Tilaar adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang merupakan landasan hukum dalam pengembangan penelolaan sistem pendidikan nasional.

(2)

Tabel 1. Perubahan Peran Negara dalam Pendidikan

Peran Masa Lalu Sekarang & Masa Depan

Pemerataan Beorientasi target. Berorientasi kualitas.

pusat. Berakar dari budaya dan agama setempat. Nasionalisme Pemaksaan dari atas dan

(3)

sebagai salah satu negara berkembang yang mampu menuntaskan persoalan pendidikan universal (wajib belajar) hanya dalam waktu 15 tahun, lebih cepat dari negara yang tergolong maju yang membutuhkan waktu lebih dari 50 tahun. Tetapi jika indikator pemerataan pendidikan menggunakan jenjang pendidikan di atas sekolah dasar (SD), sebenarnya masih banyak masyarakat Indonesia yang belum terserap ke dalam sektor pendidikan. Untuk mengungkap rendahnya akses masyarakat terhadap pendidikan, Nugroho menggunakan indikator pemerataan dari Depdiknas. Indikator pertama adalah APK (Angka Partisipasi Kasar), yaitu persentase jumlah murid pada suatu satuan pendidikan terhadap jumlah penduduk usia yang berkaitan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa. Berdasarkan data Susenas 2003 diperoleh gambaran bahwa rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun sampai ke atas mencapai 7,1 tahun, dan proporsi penduduk berusia 10 tahun yang berpendidikan SLTP ke atas masih sekitar 36,2%. Sementara angka buta aksara penduduk berusia 15 tahun ke atas sebesar 10,12%.

Indikator kedua yang digunakan Nugroho adalah Angka Partisipasi Murni (APM), yakni persentase jumlah murid pada usia sekolah tertentu terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada suatu satuan pendidikan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa. Dengan merujuk pada data Susenas 2003, Nugroho memberikan gambaran bahwa APM pada 2003 mencapai hampir 93% untuk SD, 63,5% untuk SMP, 54,32% untuk SLTA, dan 14,26% untuk perguruan tinggi.

Setelah pemerataan, Nugroho menyoroti masalah mutu dan relevasi. Setidaknya ada empat komponen utama pendidikan yang dijadikan tolok ukur oleh Nugroho dalam menilai mutu dan relevansi pendidikan Indonesia, yaitu: kurikulum, lulusan, guru, dan infrastruktur pendukung. Analisis Nugroho terhadap kelima komponen tersebut dapat diringkas sebagaimana tabel 5 di bawah.

Tabel 2. Analisis Mutu Kurikulum, Lulusan, Guru, dan Infrastruktur Pendukung

Komponen Kelebihan Kekurangan

Kurikulum Menggunakan KBK Banyak guru yang belum berkompeten dalam menjabarkan isi dokumen KBK ke dalam bentuk praktik kegiatan belajar di kelas.

Lulusan Menggunakan UAN

sebagai standar nasional keberhasilan pendidikan.

(4)

Permasalahan strategis ketiga yang disoroti oleh Nugroho adalah manajemen. Terahadap masalah strategis yang ketiga ini, Nugroho memberikan afirmasi terhadap tata kelola pendidikan yang bersifat desentralistik, karena dapat memberikan ruang secara lebih lebih leluasa terutama pemerintah daerah dalam mengembangkan kebijakan pendidikan yang lebih menguntungkan masyarakat. Pemerintah daerah yang disebut Nugroho berhasil mengembangkan kebijakan pendidikan adalah Jembarana. Keberhasilan Jembarana dipaparkan oleh Nugroho dalam, Kebijakan Pendidikan yang Unggul: Kasus Pembangunan Pendidikan di Kabupaten Jembrana 2000-2006 (2008), dan Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik (2008), yang ditulis bersama Tilaar. Salah satu keberhasilan Jembarana yang dipaparkan oleh Nugroho adalah penyelenggaraan pendidikan yang “tidak memungut bayar” kepada seluruh siswa sekolah negeri sejak SD hingga SMP, meskipun Jembarana merupakan salah satu kabupaten termiskin di Bali, khususnya dari segi pendapatan asli daerah yang kurang dari 5% terhadap APBD.

Penelitian berikutnya yang perlu disebut pada bagian ini adalah yang dilakukan Idris yang berjudul, Analisis Kritis Mutu Pendidikan (2005). Penelitian yang dilakukan oleh Idris sengaja dikutip pada bagian ini, karena dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu aspek pendidikan yang paling mudah mendapat sorotan adalah mutu lulusan sekolah. Hal ini tidak mengherankan karena lulusan sekolah merupakan salah satu aspek pendidikan yang bersentuhan secara langsung dengan stakeholders, seperti dunia industri dan lembaga pendidikan pada jenjang berikutnya yang dituju oleh lulusan sekolah pada jenjang di bawahnya. Padahal, mutu lulusan sekolah tidak hanya ditentukan oleh siswa, tetapi sangat tergantung pada sejumlah variabel. Dalam penelitiannya, Idris membuktikan hubungan antarvariabel, yakni kepemimpinan kepala sekolah, kemampuan mengajar guru, status sosial ekonomi orang tua, status akademik siswa (NEM), motivasi belajar, dan fasilitas belajar siswa dengan mutu lulusan sekolah. Karena keterkaitan sejumlah variabel tersebut, Idris merekomendasikan perlunya pendekatan sistemik dalam meningkatkan mutu pendidikan, terutama mutu lulusan sekolah.

Pada bagian ini penting juga disebut penelitian yang dilakukan oleh Faisal,dkk., Partisipasi Masyarakat terhadap Sekolah (2007). Penelitian ini mengungkap partisipasi masyarakat terhadap sekolah di sepuluh wilayah di Indonesia, yakni: Magelang (Jawa Timur), Malang (Jawa Timur), Mandailing Natal atau Madina (Sumatera Utara), Bantaeng (Sulawesi Selatan), Cianjur (Jawa Barat), Wonosobo (Jawa Barat), Tuban (Jawa Timur), dan Lombok Barat atau Lobar. Temuan lapangan dalam penelitian yang dilakukan Faisal, dkk. menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat terhadap sekolah umumnya muncul dalam tiga wujud utama, yakni: dana, fasilitas, dan pemikiran/moral. Dari ketiga wujud ini, yang paling menonjol adalah partisipasi dalam bentuk dana, kemudian diikuti dengan pemikiran, dan fasilitas. Kelompok partisipan terbesar terhadap sekolah adalah orang tua murid, diikuti alumni, dan kalangan masyarakat lainnya, baik kelompok maupun individu.

(5)

Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI Jakarta (2004), penting dibaca. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu bentuk wujud nyata reformasi pendidikan. Tetapi sayangnya pada tataran implementasi, MBS belum berjalan dengan baik. Inti MBS, menurut Tilaar (2004), adalah partisipasi masyarakat sebagai pendukung dan sekaligus pengontrol kegiatan pendidikan di dalam masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Irawan, dkk. berhasil menunjukkan ketidakefektifan MBS pada sejumlah sekolah yang diteliti karena, antara lian, adanya pungutan yang dilakukan sekolah tanpa menyertakan peran serta masyarakat yang justru ditekanakan oleh MBS.

Berdasarkan review terhadap sejumlah kajian terdahulu dapat ditarik suatu benang merah, bahwa untuk menuntaskan permasalahan krusial pendidikan, baik di tingkat nasional, maupun lokal (daerah) membutuhkan partisipasi kolektif dari masyarakat. Dalam konteks ini, keberadaan masyarakat kewargaan atau civil society memiliki posisi strategis. Mengapa civil society? Pasca-Orde Baru, di satu sisi, terjadi peningkatan jumlah institusi civil society. Banyak penelitian terdahulu yang mengungkap fenomena tersebut, seperti yang dilakukan Hikam (1996), Gunawan dan Nurjulianti (1999), Nyman (2006), Manan (2005), dan Culla (2006). Tetapi, di sisi lain, penelitian yang mengkaji secara mendalam tentang keterlibatan institusi civil society dalam menangani persoalan utama pendidikan seperti keterbatasan akses, partisipasi masyarakat, dan mutu pendidikan belum banyak dilakukan. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini memfokuskan pada kajian kemitraan masyarakat kewargaan (civil society) dalam meningkatkan akses dan partisipasi masyarakat sebagai upaya pengembangan mutu pendidikan.

Pengembangan Alur Pemikiran

Berdasarkan pada kajian di atas, selanjutnya bisa dikemukakan suatu tesis bahwa bahwa penyelesaian permasalahan pendidikan seperti keterbatasan akses, rendahnya partisipasi dan mutu pendidikan tidak bisa dilakukan oleh satu institusi saja, misalnya, sekolah atau pemerintah saja. Pihak pemerintah sendiri telah memberikan peluang kepada masyarakat terlibat lebih aktif dalam pengelolaan pendidikan. Peluang dari pemerintah ini dicetuskan dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut Balitbang-Depdiknas (2004), UU tersebut serta perangkat PP yang berkaitan, berimplikasi pada perubahan paradigma pengelolaan sistem pendidikan. Jika di masa lalu, stake-holder pendidikan itu sepenuhnya ada di tangan aparat pusat, maka dalam era otonomi pendidikan sekarang ini peranan sebagai stake-holder itu akan tersebar kepada berbagai pihak yang berkepentingan.

Salah satu model pengelolaan yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional adalah apa yang disebut manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS merupakan salah satu model manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah dalam menentukan arah, kebijakan, serta jalannya pendidikan di daerah masing-masing. Di samping pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan pendidikan, MBS juga bertujuan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan semua stake-holder pendidikan di sekolah, sehingga tercipta sense of belonging (rasa memiliki) dari mereka (Balitbang-Depdiknas, 2004).

(6)

berada di luar pemerintahan, kendati tidak harus diposisikan secara diametral antara civil society dengan pemerintah atau negara (state). Pada tingkat diskursus teoritik, memang terdapat perbedaan cara pandang dalam menjelaskan posisi civil society di hadapan negara. Jika coba dipilah diskursus tentang civil society pada zaman modern terpola pada beberapa pandangan. Pandangan liberalisme-radikal lebih menekankan aspek kemandirian masyarakat dan perbedaan posisinya sedemikian rupa sehingga menjadi antitesis dari state. Pandangan ini rupanya lebih mementingkan masyarakat (society). Pandangan ini memperoleh kritik tajam dari Hegel yang kemudian didukung oleh Marx. Hegel mempunyai pandangan pesimistik bahkan nihilistik tentang civil society. Menurut Hegel, civil society merupakan wilayah kehidupan orang-orang yang telah meninggalkan pesan kuat keluarga dan masuk ke dalam kehidupan ekonomi yang kompetitif. Menurut Hegel, ini adalah arena di mana kebutuhan-kebutuhan tertentu atau khusus dan berbagai kepentingan perseorangan bersaing, yang menyebabkan perpecahan-perpecahan sehingga civil society itu mengandung potensi besar untuk menghancurkan dirinya. Dengan watak sosial semacam itu, Hegel kemudian menekankan pentingnya supervisi dan kontrol negara. Sebab dalam pandangan Hegel, kebebasan mengembangkan aspirasi dan kepentingan yang berbeda, yang menjadi karakter civil society sebagai sesuatu yang menciptakan kerawanan kepada kohesi masyarakat.

Pandangan berikutnya adalah yang memosisikan civil society sebagai, intermediary entity, standing between the private and the state (Diamond, 1994). Pandangan ini diwakili oleh Alexis de Tocqueville (Hikam, 1996) yang mendefinisikan civil society sebagai:

“wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diakui oleh warganya”.

Pengertian dari de’Tocqueville di atas sejiwa dengan pengertian yang dirumuskan Diamond(1994) : “civil society is the realm of organized social life that is voluntary, self-generating, self-supporting, autonomous from the state, and bound by legal order or set or sharea rules”.

Lalu bagaimana pengertian civil society di Indonesia? Berikut ini coba dikonstruksikan kembali pandangan kalangan intelektual Indonesia seputar pengertian civil society. M. Ryass Rasyid (1997) yang menggunakan istilah masyarakat kewargaan sebagai versi bahasa Indonesia dari civil society memberi rumusan bahwa yang dimaksud dengan civil society atau masyarakat kewargaan merupakan konsep tentang keberadaan masyarakat yang mandiri dan dalam batas-batas tertentu mampu memadukan dirinya sendiri serta cenderung membatasi intervensi negara ke dalam realitas yang telah diciptakan sebagai ruang kegiatannya.

(7)

merumuskan dua kondisi esensial bagi pembentukan civil society, yakni: pertama, kebebasan memperbincangkan isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama sebagai bangsa (wacana publik), seperti menyatakan pendapat, mengartikulasikan kepentingan, melakukan proses memilih dan mengganti pengurus, dan bebas dari perlakuan semena-mena. Dan kedua, tersedianya lembaga perwakilan rakyat, partai politik, organisasi kemasyarakatan, media massa, kampus, forum-forum komunikasi, dan tempat-tempat pertemuan umum dalam jumlah yang memadai dan berfungsi otonomi (ruang publik). Dalam ruang publik yang bebas dan otonomlah para individu bertindak sebagai political persons untuk memperbincangkan dan melaksanakan apa yang telah disepakati bersama sebagai kepentingan bersama.

Sementara itu, pakar politik dari UGM, Affan Gaffar (1999) mencukupkan pada pengertian civil society yang dirumuskan oleh Nicos Mouzelis, yakni: “all social group an institution which, in conditions of modernity, lie between the primordial kinship group and institutions on the other”. Meskipun Affan Gaffar (1999) tidak merumuskan pengertian, ia merumuskan komponen penting bagi pembentukan civil society yang meliputi empat hal utama, yaitu (1) otonomi; (2) akses masyarakat terhadap lembaga negara; (3) arena publik yang bersifat otonom, dan; (4) arena publik tersebut terbuka bagi semua lapisan masyarakat.

Dari penelusuran secara teoritik tersebut, kajian ini menggunakan perspektif moderat yang menempatkan civil society dalam dalam posisi sebagai mitra kritis pemerintah, bukan civil society dalam pengertian radikal yang selalu mengambil posisi bertentangan dengan negara. Perspektif teori yang dipilih ini selanjutnya akan dikaitkan dengan fokus penelitian berikutnya, yakni akses dan partisipasi masyarakat, serta pengembangan mutu pendidikan. Dengan posisinya sebagai mitra kritis pemerintah, civil society diharapkan dapat menjalankan dua fungsi sekaligus. Pertama, dalam masyarakat aktor civil society melakukan peran penyadaran agar masyarakat menyadari terhadap haknya di bidang pendidikan. Sedangkan terhadap negara atau pemerintah, civil society dapat menjalankan fungsi kritis untuk mengontrol implementasi kebijakan pendidikan di tingkat daerah.

(8)

MASALAH PENDIDIKAN Keterbatasan Akses Rendahnya Partisipasi

Pengembangan Mutu

INSTITUSI CIVIL SOCIETY KEBIJAKAN

PENDIDIKAN MUTU PENDIDIKANPENGEMBANGAN

NEGARA ATAU PEMERINTAH

Bagan 1. Pengembangan Alur Pemikiran

Harapan:

Ke Arah Praksis Civil Society di Sampang

Kabupaten Sampang, merupakan salah satu wilayah yang terdapat di Pulau Madura. Selain Kabupaten Sampang, di Madura terdapat tiga kabupaten lainnya, yaitu: Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep. Sampang memiliki luas wilayah 1.233,30 km2, yang terletak antara 6 o 50 sampai dengan 7 o 13 Lintang Selatan dan 113 0 80 sampai dengan 113 o 39 Bujur Timur. Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sampang, di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan, dan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa Timur.

(9)

wilayah lainnya yang ada di Jawa Timur, peringkat IPM Sampang berada posisi paling bawah. Pada periode berikutnya, statistik IPM di Sampang ternyata belum mengembirakan seperti dapat dibaca pada kutipan berita Surabaya Post Online (www.surabayapost.co.id):

Ironis, angka Indek Pembangunan Manusia (IPM) 2010 di sektor pendidikan di Kabupaten Sampang terendah se-Jawa Timur, yakni sebesar 52,31%. Padahal Pemkab setempat telah mengalokasikan dana untuk bidang pendidikan mencapai lebih dari 20 persen dari APBD 2011, namun beberapa tahun terakhir hasilnya hanya bergerak sedikit dari 2009 yakni sebesar 52,03%, atau 0,28% selama dua tahun.Indikator lemahnya IPM pendidikan itu dilihat dari angka buta huruf yang mencapai 34,6% dari jumlah penduduk Sampang. Serta rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang hanya mencapai 3,9 %. Ironisnya program Keaksaraan Fungsional (KF) yang digelontorkan melalui sumber dana APBN maupun ABPD tidak berjalan efektif dalam mengurangi angka buta aksara tersebut.

Rendahnya IPM di Sampang tampaknya berkaitan perkembangan pendidikan di tempat tersebut yang juga belum begitu menggembirakan. Secara umum perkembangan pendidikan di Sampang dihadapkan pada persoalan klasik pendidikan di tanah air. Salah satu permasalahan pendidikan di Sampang yang penting diperhatikan adalah akses masyarakat terhadap pendidikan yang terlihat pada Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK).

(10)

pertimbaangan (advisory agency), pendukung (supporting agency), pengawas (controlling agency), dan badan mediator (mediator agency). Tetapi fungsi ini belum berjalan optimal di Sampang. Dengan mempertimbangkan adanya tiga persoalan krusial tersebut, kemitraan masyarakat kewargaan atau yang sering disebut dengan civil society dalam mengembangkan partisipasi masyarakat dan mutu pendidikan di Sampang perlu dioptimalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Culla, Adi Suryadi (2006) Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Jakarta: LP3ES.

Diamond, Larry (1994) “Civil Society and the Development of Democracy” Journal of Democracy, Vol. 5, No. 3, July.

Faisal, Sanapiah, dkk. (2007) Partisipasi Masyarakat terhadap Sekolah, Malang: Universitas Negeri Malang.

Gaffar, Affan (1999) Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Gunawan, Asep dan Nurjulianti, Dewi (ed.) (1999) Gerakan Keagamaan dalam Penguatan Civil Society: Analisis Perbandingan Visi dan Misi LSM dan Ormas Berbasis Keagamaan, Jakarta: LSAF.

Hikam, Muhammad AS (1996) Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES. Idris, Jamaluddin (2005) Analisis Kritis Mutu Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Irawan, Ade, dkk. (2004) Mendagangkan Sekolah: Studi Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah di DKI Jakarta, Jakarta: Indonesia Corruption Watch.

Manan, Munafrizal (2005) Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta: Resist Book. Nugroho, Riant (2008) Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi, dan Strategi,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nyman, Mikaela (2006) Democratising Indonesia: The Challenge of Civil Society in the era of Reformasi, Denmark: Nias Press.

Nugroho, Riant (2008) Kebijakan Pendidikan yang Unggul: Kasus Pembangunan Pendidikan di Kabupaten Jembrana-2006, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(11)

Schutt, Russell K. (2006) Investigating the Social World: The Proscess and Practice of Research, London: Sage Publications.

Surbakti, Ramlan (1997) “Ditsospol dan Pembentukan Civil Society”.Dalam I. Bambang Susilo (ed.), Masyarakat & Negara: Kado untuk Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Surabaya: Airlangga University Press.

Tilaar, H.A.R. (1992) Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, Bandung: Rosda Karya.

Tilaar, H.A.R. (1995) 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional, 1945-1995: Suatu Analisis Kebijakan, Jakarta: Grasindo.

Tilaar, H.A.R. (1998) Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia.

Tilaar, H.A.R. (2003) Kekuasaan & Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, Magelang: Tera Indonesia.

(12)

Gambar

Tabel 1. Perubahan Peran Negara dalam Pendidikan
Tabel  2.  Analisis  Mutu  Kurikulum,  Lulusan,  Guru,  dan

Referensi

Dokumen terkait

sistem pembelajaran menggunakan buku memakan waktu cukup lama, selain itu ada kalanya mahasiswa merasa jenuh untuk membaca buku.Berdasarkan uraian di atas, maka penulis

Artikel ini akan membahas bagaimana public relations dan masyarakat dapat bersinergi untuk memacu pertumbuhan pariwisata suatu daerah.Artikel ilmiah ini dapat menjadi acuan

Coldsink menggunakan mekanisme yang sama dengan heatsink namun yang membedakan seperti dalam penamaannya adalah bila heatsink berfungsi untuk memindahkan panas dari permukaan

Pemangkasan pemeliharaan dilakukan pada bagian-bagian tanaman yang meliputi: tunas yang tumbuh searah batang pokok, ranting yang tumbuh ke dalam, ranting yang bertumpang

Selesai mengikuti perkuliahan ini, diharapkan mahasiswa S2 Prodi PU memiliki kompetensi tentang: (1) Wawasan Konseptual tentang hakikat Pedagogik, (2) Pemahaman

Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang

2 Data pengukuran guncangan truk pada berbagai keadaan jalan 19 3 Pengaruh jenis kemasan terhadap kerusakan mekanis buah mentimun 21 4 Pengaruh lama simulasi terhadap

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis alternatif diterima, yang berarti terdapat perbedaan signifikan antara kinerja portofolio optimal saham syariah Indonesia dan