BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan teori
2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD
Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam
pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun
kabupaten dan kota.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya
merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk
meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Menurut Halim (2004 : 15) tentang Anggaran Pendapatan dan belanja
Daerah (APBD) yaitu :
“Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) adalah suatu anggaran Daerah yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut : rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci; adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan; jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka; periode anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun”.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 14, ” Anggaran pendapatan
dan belanja daerah yang selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan
Menurut Bastian (2006 : 189) APBD merupakan “pertanggungjawaban
rencana kerja Pemda dalam bentuk satuan uang untuk kurun waktu satu tahunan
dan berorientasi pada tujuan kesejahteraan publik.”
APBD harus memuat sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja,
standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen
kegiatan yang bersangkutan, serta bagian pendapatan APBD yang digunakan
untuk membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan
dan belanja modal/investasi.
Unsur-Unsur APBD menurut Halim (2004 : 15-16) adalah sebagai berikut
1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci.
2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk
menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan.
3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.
4. Periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun.
2.1.1.2 Struktur APBD
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang
pedoman pengelolaan keuangan daerah. Adapun bentuk dan susunan APBD yang
didasarkan pada Permendagri 13/ 2006 pasal 22 ayat (1) terdiri atas 3 bagian,
yaitu : “pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah.”
sebelumnya (SiLPA), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan piutang daerah. Pengeluaran pembiayaan mencakup pembentukan dana cadangan, penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah. (Permendagri 13/ 2006)
Menurut halim (2004) terkait dengan struktur Anggaran Pendapatan dan
Belanja Modal yaitu :
“Pendapatan dibagi menjadi 3 kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Belanja digolongkan menjadi 4 yakni belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasi menjadi 3 kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Pembiayaan dikelompokkan menurut sumber-sumber pembiayaan yaitu : sumber penerimaan daerah dan sumber pengeluaran daerah. Sumber pembiayaan berupa penerimaan daerah adalah : sisa lebih anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi, hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan dan transfer dari dana cadangan. Sumber pembiayaan berupa pengeluaran daerah terdiri atas : pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal, transfer ke dana cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun sekarang”.
2.1.1.3 Fungsi APBD
Fungsi APBD pada dasarnya sama dengan fungsi APBN. Fungsi APBD
terdiri dari:
1. Fungsi otoritasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk
merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa
dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan
2. Fungsi perencanaan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman bagi manajemen merencanakan kegiatan pada tahun yang
bersangkutan.
3. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan
pemerintah daerah.
4. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus
diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran,
dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan
efektivitas perekonomian daerah.
5. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam
penganggaran daerah harus memperlihatkan rasa keadilan dan kepatuhan.
6. Fungsi stabilitas memiliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat
untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian daerah.
2.1.2 Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Boediono (dalam Tarigan, 2006 : 46), “Pertumbuhan ekonomi
adalah proses kenaikan output per kapita”. Menurut Arsyad (2005 : 7)
“pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan PDB/PNB tanpa memandang
apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan
penduduk, atau apakah pertumbuhan struktur ekonomi terjadi atau tidak”.
Perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat kegiatan
dan jasa yang dihasilkan bertumbuh besar pada tahun berikutnya yang berarti
bahwa produktivitas dari fakta-fakta yang dimasukkan dalam produksi yang
menyebabkan pertumbuhan ekonomi meningkat.
Pertumbuhan Ekonomi sering diukur dengan menggunakan pertumbuhan
Produk Domestik Bruto (PDRB). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada
dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha
dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi.
Penyajian angka-angka dalam PDRB dibedakan menjadi dua, yaitu PDRB
atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar
harga berlaku menggambarkan nilai tambah dari barang dan jasa dihitung dengan
menggunakan harga yang berlaku pada tahun berjalan setiap tahun, sedangkan
PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung dengan memakai harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai
tahun dasar. PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk menilai
pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan
digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.
Untuk menghitung angka-angka PDRB ada tiga pendekatan umum yang
dapat digunakan, yaitu:
1. Pendekatan Produksi, PDRB jumlah nilai tambah atas barang dan jasa
yang dihasilkan oleh berbagai oleh berbagai unit produksi di suatu daerah
2. Pendekatan Pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang
diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses
produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tetentu (biasanya satu
tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji,
sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan, semuanya sebelum dipotong
pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB
mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak
langsung dikurangi subsidi).
3. Pendekatan Pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan
akhir yang terdiri dari: (1) pengeluaran konsumsi rumahtangga dan
lembaga swasta nirlaba, (2) konsumsi pemerintah, (3) pembentukan
modal tetap domestik bruto, (4) perubahan stok dan (5) ekspor neto,
(ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor).
2.1.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut Halim (2004 : 67) tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD)
yaitu :
“Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu : pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah.”
Sebagaimana disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah merupakan
penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, maka
diharapkan tiap-tiap pemerintah daerah dapat membangun infrastruktur ekonomi
Menurut UU No. 33 Tahun 2004, “Pendapatan Asli Daerah selanjutnya
disebutkan PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut
berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
PAD bertujuan untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk
mendanai pelaksanaan otonomi sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan
desentralisasi. Sumber-sumber penerimaan daerah yang dimasukkan dalam pos
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil
Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, serta Lain-lain PAD yang sah.
Klasifikasi PAD berdasarkan Permendagri 13/2006 adalah sebagai
berikut :
pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusaahaan milik pemerintah/ BUMN, dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/ atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas umum, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran / cicilan penjualan.
Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakannya sebagai
menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan asli daerah yang
diterima, maka akan semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut
dalam melaksnakan kebijakannya. Upaya meningkatka kemampuan penerimaan
daerah, khususnya penerimaan dari pendapatan asli daerah harus diarahkan pada
usaha yang terus menerus dan berlanjut agar pendapatan asli daerah tersebut terus
meningkat, sehingga pada akhirnya diharapkan akan dapat memperkecil
ketergantungan terhadap sumber penerimaan dari pemerintah diatasnya
(pemerintah pusat).
2.1.4 Dana Alokasi Umum (DAU)
Menurut Pemendagri 13 Tahun 2006, “Kelompok pendapatan dana
perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: dana bagi hasil,
dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.”
Menurut UU No. 34 Tahun 2004, “Dana Alokasi Umum, selanjutnya
disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.”
Menurut Halim (2004 : 141), “Dana Alokasi Umum adalah dana yang
berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.”
DAU dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan
pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju
dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Pada dasarnya, dengan
diberlakukannya otonomi daerah diharapkan ketergantungan pemerintah daerah
terhadap pemerintah pusat tentang keuangan daerah diharapkan semakin kecil
(sumbangan DAU kecil), atau dengan kata lain sumber pendapatan daerah bisa
bersumber pada daerah sendiri (sumbangan PAD besar).
2.1.5 Belanja Modal
Menurut Halim (2004 : 73), “Belanja Modal merupakan belanja pemerintah
daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah
belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada Kelompok Belanja
Administrasi Umum.”
Berdasarkan Peraturan Menteri dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 53
ayat (1) :
“Belanja modal sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 huruf c digunakan
untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau
pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari
12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti
dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan,
irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya”.
Syaiful (2006) menjelaskan bahwa belanja modal dapat dikategorikan dalam
5 kategori utama :
Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan, pembelian, pembebasan penyelesaian untuk balik nama dan
sewa, pengosongan, pengurungan, perataan, pematangan tanah,
pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan
perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap
pakai.
2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan
kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan
manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/ biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan termasuk
pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan
pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai
gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan
pembangunan/ pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran
jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
5. Belanja Modal Fisik Lainnya
Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan
untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan pembangunan/
pembuatan serta perawatan terhadap Fisik lainnya yang tidak dapat
dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin,
gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam
belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian
barang-barang kesenian, barang-barang purbakala dan barang-barang untuk museum, hewan
ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.
Berikut ini adalah tabel komponen biaya yang termasuk dalam belanja
modal :
Tabel 2.1
Jenis Belanja Modal dan Komponen-Komponennya
Jenis Belanja Modal Komponen Biaya yang Dimungkinkan di dalam
Belanja Modal
Belanja Modal Tanah 1) Belanja Modal Pembebasan Tanah
2) Belanja Modal Pembayaran Honor Tim Tanah
3) Belanja Modal Pembuatan Sertifikat Tanah
4) Belanja Modal Pengurugan dan Pematangan
Tanah
5) Belanja Modal Biaya Pengukuran Tanah
6) Belanja Modal Perjalanan Pengadaan Tanah
Belanja Modal Gedung dan Bangunan
1) Belanja Modal Bahan Baku Gedung dan
Bangunan
2) Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor
Pengelola Teknis Gedung dan Bangunan
3) Belanja Modal Sewa Peralatan Gedung dan
Bangunan
4) Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan
5) Belanja Modal Perizinan Gedung dan Bangunan
6) Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran
Bangunan Lama Gedung dan Bangunan
7) Belanja Modal Honor Perjalanan Gedung dan
Bangunan Belanja Modal
Peralatan dan Mesin
1) Belanja Modal Bahan Baku Peralatan dan Mesin
2) Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor
Pengelola Teknis Peralatan dan Mesin
3) Belanja Modal Sewa Peralatan, Peralatan dan
Mesin
4) Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan
Peralatan dan Mesin
5) Belanja Modal Perizinan Peralatan dan Mesin
6) Belanja Modal Pemasangan Peralatan dan Mesin
7) Belanja Modal Perjalanan Peralatan dan Mesin
Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
1) Belanja Modal Bahan Baku Jalan dan Jembatan
2) Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor
Pengelola Tekhnis Jalan dan Jembatan
3) Belanja Modal Sewa Peralatan Jalan dan
Jembatan
4) Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan
Jalan dan Jembatan
5) Belanja Modal Perizinan Jalan dan Jembatan
6) Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran
Bangunan Lama, Jalan dan Jembatan
7) Belanja Modal Perjalanan Jalan dan Jembatan
8) Belanja Modal Bahan Baku Irigasi dan Jaringan
9) Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor
Pengelola Teknis Irigasi dan Jaringan
10) Belanja Modal Sewa Peralatan Irigasi dan
Jaringan
11) Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan
Irigasi dan Jaringan
12) Belanja Modal Perizinan Irigasi dan Jaringan
13) Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran
Bangunan Lama,Irigasi dan Jaringan
14) Belanja Modal Perjalanan Irigasi dan Jaringan
Belanja Modal Fisik Lainnya
1) Belanja Modal Bahan Baku Fisik Lainnya
2) Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan
Pengelola Teknis Fisik Lainnya
3) Belanja Modal Sewa Peralatan Fisik Lainnya
4) Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan
Fisik Lainnya
5) Belanja Modal Perizinan Fisik Lainnya
2.2 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu Nama dan
Tahun
Variabel Penelitian Hasil Penelitian Halim dan
Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Hasil Daerah
Secara parsial dan simultan DAU dan PAD berpengaruh signifikan positif terhadap belanja daerah
Hadi (2006) Variabel Dependen: PDRB dan
PAD
Variabel Independen: Belanja Pembangunan
Belanja Pembangunan memberikan dampak postif dan signifikan terhadap PAD
maupun pertumbuhan ekonomi
Siagian (2008)
Variabel dependen: Belanja Pemerintahan daerah
Variabel independen:
Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan lain-lain yang dianggap sah
Secara parsial maupun secara simultan DAU, PAD dan pendapatan lain-lain yang dianggap sah berpengaruh signifikan positif terhadap belanja daerah
Anggara (2012)
Variabel Dependen: belanja modal
Variabel Independen: PAD dan DAU
Terdapat pengaruh yang signifikan antara Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal
Megawati (2013)
Variabel dependen: belanja modal
Variabel independen: pertumbuhan ekonomi, PAD,
DAU
Terdapat pengaruh yang
signifikan antara PDRB, Pendapatan Asli Daerah, DAU terhadap Belanja Modal
2.3 Kerangka Konseptual
Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/investaris yang
adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau
menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.
Belanja Modal pada umumnya dialokasikan untuk perolehan aset tetap yang
dapat digunakan sebagai sarana pembangunan daerah. Dengan berkembang
pesatnya pembangunan diharapkan terjadi peningkatan kemandirian daerah dalam
membiayai kegiatannya terutama dalam hal keuangan. Untuk dapat mengetahui
terjadinya peningkatan kemandirian daerah, pendapatan asli daerah bisa dijadikan
sebagai tolak ukurnya karena PAD ini sendiri merupakan komponen yang penting
yang merencanakan bagaimana sebuah daerah dapat mendanai sendiri
kegiatannya melalui komponen pendapatan yang murni dihasilkan melalui daerah.
Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam
pelaksanaan pelayanan publik dan merupakan output pengalokasian sumberdaya.
Keterbatasan sumber daya adalah pangkal masalah utama dalam pengalokasian
anggaran daerah. Hal ini dapat diatasi dengan menciptakan manajemen pelayanan
publik yang terencana dengan baik.
Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja
modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini
didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk
kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk kualitas pelayanan
publik. Besarnya belanja modal yang dialokasikan pemerintah daerah dalam
APBD tentu sangat dipengaruhi oleh posisi keuangan pada daerah tersebut. Posisi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) pada daerah
tersebut.
Untuk menyederhanakan alur pemikiran tersebut, maka kerangka konseptual
dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konseptual diatas, maka penulis membuat hipotesis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh signifikan
secara simultan dan parsial terhadap pengalokasian anggaran belanja modal pada
pemerintahan kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara.
Belanja Modal
(Y)
Dana Alokasi Umum (X3)
Pendapatan Asli
Daerah (X2)
Pertumbuhan