BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN
MENURUT KUH PERDATA
A. Pengertian Perjanjian dan Asas – Asas dalam Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan “Suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”.
Perjanjian merupakan sumber perikatan atau dengan kata lain perikatan biasa
lahir dari perjanjian. Perikatan merupakan suatu perbuatan hukum antara dua pihak,
dimana pihak menuntut sesuatu dari pihak yang lain yang mempunyai kewajiban
memenuhi tuntutan ini. Dalam arti luas perjanjian berarti setiap perjanjian yang
menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak.
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang
satu dan pihak yang lain. Dalam hubungan hukum tersebut, setiap pihak memiliki hak
dan kewajiban timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu
terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga
sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut pihak yang dituntut
(debitur). Sesuatu yang dituntut disebut prestasi.13
“suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasarkan kata
sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para
pihak / subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu
berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban yang telah
disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.
Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perjanjian adalah “Suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”.
Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian pada Pasal 1313 KUHPerdata
adalah sebagai berikut:
14
“Perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di
bidang harta kekayaan.”
Dalam arti sempit perjanjian dapat diartikan sebagai berikut:
15
Definisi dalam arti sempit ini jelas menunjukkan telah terjadi persetujuan
(persepakatan) antara pihak yang satu (kreditur) dan pihak yang lain (debitur), untuk
melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan (zakelijk) sebagai objek perjanjian.
13
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal 229
14
Handri Rahardjo, Op. Cit, hal 42
15
2. Asas – Asas dalam Perjanjian
Asas – asas hukum yang penting diperhatikan pada waktu membuat perjanjian
maupun pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
a. Asas kebebasan berkontrak
Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan
siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1337 KUH
Perdata).
Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi relative
(kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Asas inilah yang
menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal – pasal dalam
hukum perjanjian sebagian besar karena Pasal 1320 KUHPerdata bersifat
memaksa dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum
perjanjian.
Jika dipahami secara seksama maka asas kebebasan berkontrak memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.16
b. Asas Konsensualisme
Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam pasal
itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas
yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan
yang dibuat oleh kedua belah pihak.17
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan
dengan akibat perjanjian, bahwa asas ini adalah dimana hakim atau pihak
ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak. Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi: “ Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang.”
16
Handri Rahardjo, Op. Cit, hal 44
17
d. Asas Iktikad Baik
Asas ini disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang
berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas ini
merupakan bahwa para pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan
substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh
atau kemauan baik dari para pihak.
Asas iktikad baik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Iktikad baik nisbi yaitu orang memperhatikan sikap dan tingkah laku
yang nyata dari subjek.
2. Iktikad baik mutlak yaitu penilaiannya terletak pada akal sehat dan
keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan menurut
norma-norma yang objektif.
e. Asas kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340
KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya
seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk
dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan
perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH
Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antar pihak yang
membuatnya.” Inti ketentuan ini bahwa perjanjian yang dibuat oleh para
ada pengecualiannya sebagaimana yang di jelaskan dalam Pasal 1317
KUH Perdata. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat
mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka dalam Pasal 1317 KUH Perdata
mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam pasal
1318 KUH Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan
orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Sedangkan Pasal 1317
KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318
KUH Perdata memiliki ruang lingkup luas.18
B. Syarat – Syarat Sahnya Perjanjian
1. Kesepakatan
Syarat sahnya perjanjian yang pertama adalah kesepakatan para pihak,
kesepakatan diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Kesepakatan adalah
persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak
dapat dilihat atau diketahui orang lain.
Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis;
b. Bahasa yang sempurna dan lisan;
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan
18
dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi di mengerti oleh pihak
lawannya;
d. Bahwa syarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
e. Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.19
2. Kecakapan Bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dam mempunyai wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh
undang-undang. Orang yang cakap atau mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran
kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang
yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah;
a. Orang yang belum dewasa
Menurut Pasal 330 KUH Perdata, belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila
perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap 21 tahun maka tidak
berarti mereka kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan
Menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
Seseorang yang berada di bawah pengawasan pengampuan,
19
kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Jika
seorang anak yang belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya,
maka seseorang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus
diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dalam Pasal 433 KUH
Perdata disebutkan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada
dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, harus di bawah
pengampuan jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya.
Seseorang yang telah dewasa dapat juga berada di bawah pengampuan
karena keborosannya.
c. Istri dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Namun dalam perkembangannya
istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo SEMA Nomor. 3 Tahun 1993.
3. Adanya Objek Perjanjian
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek
perjanjian adalah pokok perjanjian. Pokok perjanjian adalah apa yang
menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Pokok
perjanjian ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Yang menjadi pokok
perjanjian adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu, misalnya adalah jual beli dimana menyerahkan hak milik atas
rumah itu dan menyerahkan uang harga dari pembelian rumah itu.
Pokok perjanjian itu harus ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat
perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan dalam arti dapat ditentukan secara
cukup.
4. Adanya sebab yang halal
Undang-undang tidak menyebutkan pengertian mengenai sebab. yang
dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang mendorong para pihak
untuk mengadakan perjanjian, karena alasan yang menyebabkan para pihak
untuk membuat perjanjian itu tidak menjadi perhatian umum. Adapun sebab
yang tidak diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.20
Perjanjian sah dan mengikat adalah perjanjian yang memenuhi unsur-unsur
dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah dan
mengikat diakui dan memiliki akibat hukum. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga keempat disebut
syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian.
Dari uraian di atas, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu
pihak dapat meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, namunapabila para pihak tidak
ada yang keberatan, maka perjanjian itu dianggap sah. Sementara itu apabila syarat
objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Perdata setiap perjanjian selalu memiliki empat unsur dan pada setiap unsur melekat
syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.
Perjanjian yang tidak memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat seperti yang
ditentukan di atas tidak akan diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak
yang membuatnya, tetapi tidak mengikat, artinya tidak wajib dilaksanakan. Apabila
dilaksanakan juga, sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya dan
menimbulkan sengketa.
Perjanjian yang tidak memenuhi unsur-unsur dapat merupakan konsekuensi
hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih syarat-syarat sahnya kontrak
bervariasi mengikuti syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Batal demi hukum
Dimana dalam hal dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 1320 KUH
Perdata syarat objektif adalah perihal tertentu dan kausa yang legal.
b. Dapat dibatalkan
Dalam hal tidak terpenuhinya syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata
syarat subjektif tersebut adalah kesepakatan kehendak dan kecakapan berbuat.
c. Kontrak itu dapat dilaksanakan
Kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak tidak begitu saja batal
tetapi tidak dapat dilaksanakan, melainkan masih mempunyai status hukum
kontrak tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dikonvensi menjadi kontrak
yang sah. Sedangkan bedanya dengan kontrak yang dapat dibatalkan adalah
bahwa dengan kontrak yang dapat dibatalkan, kontrak tersebut sudah sah,
mengikat dan dapat dilaksanakan sampai dengan dibatalkan kontrak tersebut,
sementara kontrak yang tidak dapat dilaksanakan belum mempunyai kekuatan
hukum sebelum dikonversi menjadi kontrak yang sah.
d. Sanksi administratif
Ada juga syarat kontrak yang apabila tidak dipenuhi hanya mengakibatkan
dikenakan sanksi administratif saja terhadap salah satu pihak atau kedua belah
pihak dalam kontrak tersebut.21
1) Perjanjian mengikat para pihak
Dimana telah diuraikan di atas bahwa perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain sepakat kedua belah pihak. Atau karena alasan-alasan
yang cukup menurut undand-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal
ini merupakan, akibat hukum yang timbul dalam perjanjian.
Akibat dari suatu perjanjian menurut Pasal 1338 KUH Perdata, adalah:
Yang dimaksud dengan para pihak adalah para pihak yang membuatnya
yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1340 KUH Perdata, ahli waris
berdasarkan alas hak umum karena mereka itu memperoleh segala hak
21
dari seseorang secara tidak terperinci, serta yang dimaksud dengan para
pihak juga dimaksudkan pada pihak ketiga yang diuntungkan dari
perjanjian yang dibuat berdasarkan alas hak khusus karena mereka
memperoleh segala hak dari seseorang secara terperinci atau khusus.
2) Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena Pasal 1338
ayat (2) KUH Perdata merupakan kesepakatan diantara kedua belah pihak
dan alasan- alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik yang ditentukan dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Melaksanakan apa yang menjadi hak di
satu pihak dan kewajiban di pihak yang lain dari yang membuat
perjanjian. Hakim berkuasa menyimpangi isi perjanjian bila bertentangan
dengan rasa keadilan. Sehingga ada suatu perjanjian dapat dilaksanakan
harus dilandasi dengan prinsip iktikad baik, prinsip kepatutan, kebiasaan
dan sesuai dengan undang-undang. Dimasukkannya itikad baik dalam
pelaksanaan perjanjian berarti kita harus menafsirkan perjanjian itu
berdasarkan keadilan dan kepatutan.22
Dengan adanya akibat hukum yang timbul dalam perjanjian maka perjanjian
itu menimbulkan akibat hukum yang sah dan mengikat berlaku sebagai
undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan
kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Dimana akibat hukum
yang timbul di dalam perjanjian yang sah.
22
(a) Berlaku sebagai undang-undang
Dikatakan berlaku sebagai undang-undang artinya perjanjian mempunyai
kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum kepada
pihak-pihak yang membuatnya. Pihak-pihak wajib menaati perjanjian itu
sama dengan menaati undang-undang. Apabila ada pihak yang melanggar
undang-undang sehingga diberi akibat hukum tertentu, yaitu sanksi
hukum. Jadi, siapa yang melanggar perjanjian dia dapat dituntut dan diberi
hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
(b) Tidak dapat dibatalkan sepihak
Perjanjian adalah persetujuan kedua belah pihak, jika akan dibatalkan
harus dengan persetujuan kedua belah pihak juga. Namun, jika ada alasan
yang cukup menurut undang-undang perjanjian dapat dibatalkan secara
sepihak.
(c) Pelaksanaan dengan iktikad baik
Pada Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata iktikad baik adalah ukuran objektif
untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta apakah
pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan dengan benar.
Apabila terjadi selisih pendapat antara pelaksanaan perjanjian dengan
mengawasi dan menilai pelaksanaan, apakah ada pelanggaran terhadap
norma-norma kepatutan dan kesusilaan itu.23
C. Berakhirnya Suatu Perjanjian
Tentang hapusnya perjanjian yang mengakibatkan berakhirnya suatu
perjanjian diatur dalam buku III KUH Perdata, hapusnya persetujuan berarti
menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam
persetujuan dengan sendirinya menghapuskan seluruh perjanjian, tetapi belum
tentu dengan hapusnya perjanjian akan menghapuskan persetujuan hanya saja
persetujuan itu tidak akan mempunyai kekuatan, maka pelaksanaan suatu
perjanjian itu telah dipenuhi debitur.
Adapun macam-macam penghapusan perjanjian dalam Pasal 1381 KUH
Perdata adalah, sebagai berikut:
1. Karena pembayaran
2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
3. Karena pembaharuan hutang
4. Karena perjumpaan hutang atau kompensasi
5. Karena pencampuran hutang
6. Karena pembebasan hutang
7. Karena musnahnya barang yang terhutang
8. Karena kebatalan atau pembatalan
9. Karena kadaluwarsa.24
23
Ad. 1. Pembayaran
Hal ini adalah yang paling penting karena mengenai betul-betul
pelaksanaan perjanjian. Hal pembayaran ini diatur dalam Pasal 1382 sampai
Pasal 1403 KUH Perdata.
Pembayaran disini adalah pembayaran dalam arti luas, tidak saja
pembayaran berupa uang juga penyerahan barang yang dijual oleh penjualnya.
Pembayaran itu sah apabila pemilik berkuasa memindahkannya, pembayaran
itu harus dilakukan kepada si berhutang atau seseorang yang dikuasakan
untuk menerima.
Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan
seperti seseorang yang merupakan si berhutang atau seseorang penanggung
hutang. Suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang
tidak mempunyai kepentingan asal saja pihak ketiga itu bertindak atas nama
dan untuk melunasi hutangnya si berhutang atau bertindak atas namanya
sendiri asal tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.
Ad. 2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan perjanjian
Hal ini diatur dalam Pasal 1404 sampai 1412 KUH Perdata. Usaha ini
adalah perlu, oleh karena biasanya dianggap bahwa pihak-pihak tidak ada
kewajiban untuk menerima pelaksanaan perjanjian.
24
Namun adakalanya kreditur menolak pembayaran yang dilakukan debitur.
Hal ini dimana kreditur berada dalam keadaan wanprestasi, apabila terjadi
debitur dapat menuntut pemutusan dan pembatalan perjanjian ataupun ganti
rugi.
Hal ini kemungkinan bahwa perjanjian yang telah dibuat oleh kreditur
dan debitur akan memberatkan debitur apabila pembayaran tidak segera
dilakukan seperti pada perjanjian untuk menyerahkan barang atau uang yang
memakai bunga tinggi maka dalam hal ini debitur dapat melakukan
penawaran pembayaran, namun apabila debitur segera membayar dengan
suatu penitipan barang yang ditetapkan pula oleh undang-undang maka
bebaslah debitur dari kewajibannya dan dianggap telah terjadi suatu
pembayaran yang sah.25
25
Ibid, hal 193
Ad. 3 Pembaharuan hutang
Pembaharuan hutang lahir atas dasar persetujuan para pihak untuk
membuat persetujuan dengan jalan menghapuskan perjanjian yang lama
dengan perjanjian yang baru.
Pembaharuan hutang diatur dalam Pasal 1413 KUH Perdata yang terdiri
1. Apabila seseorang yang berhutang membuat suatu perikatan-hutang
baru guna orang yang menghutangkan kepadanya, yang menggantikan
hutang yang lama, yang dihapuskan karena disebut novasi objektif.
2. Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
yang berhutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari
perikatannya, disebut novasi subjektif.
3. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang berpiutang
baru ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap
siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya, disebut novasi
subjektif aktif.
Dalam Pasal 1414 KUH Perdata diterangkan bahwa “pembaharuan
hutang hanya dapat terlaksana antara orang-orang yang cakap untuk
mengadakan perikatan-perikatan”. Dalam Pasal 1415 KUH Perdata
ditegaskan bahwa “tiada pembaharuan hutang yang dipersangkakan,
kehendak seseorang untuk mengadakan harus dengan tegas ternyata dari
perbuatannya”.26
Perjumpaan hutang adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan
memperjumpakan atau memperhitungkan hutang piutang secara timbal
balik antara kreditur dengan debitur dimana perjumpaan hutang diatur
dalam Pasal 1424 KUH Perdata. Ad. 4 Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
26
Dalam Pasal 1426 KUH Perdata menyatakan “ perjumpaan terjadi demi
hukum, bahkan dengan tidak setahunya orang-orang yang berhutang, dan
kedua hutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya, pada
saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk
diperjumpakan kecuali dalam tiga hal yang disebutkan dalam Pasal 1429
KUH Perdata:
a. Apabila dituntut pengembalian suatu barang yang secara berlawanan
dengan hukum dirampas dari pemiliknya.
b. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau
dipinjamkan.
c. Terhadap suatu hutang yang bersumber pada tunjangan-nafkah telah
dinyatakan tidak dapat disita.
Ad. 5 Pencampuran Hutang
Dalam Pasal 1436 KUH Perdata pencampuran hutang ini terjadi
apabila kedudukan-kedudukan sebagai orang berpiutang dan orang berhutang
berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu pencampuran
hutang, dengan mana piutang dihapuskan.
Mariam Darus Badrulzaman, “mengatakan bahwa percampurqan
hutang adalah percampuran kedudukan dari partai yang mengadakan
kreditur. Dalam hal ini demi hukum perikatan yang semula ada diantara kedua
belah pihak”.
Hal yang menyebabkan terjadinya percampuran hutang adalah:
a. Perkawinan, dengan pencampuran harta antara si berpiutang
dengan si berhutang.
b. Apabila si berhutang menggantikan hak si berpiutang karena
warisan.27
Ad. 6. Pembebasan hutang
Pembebasan hutang terjadi apabila dengan tegas menyatakan tidak
menghendaki lagi prestasi dari kreditur dan melepaskan hak atas pembayaran.
Hal ini yang dibutuhkan adalah adanya kehendak kreditur disertai dengan
menggugurkan perjanjian itu sendiri. Dan yang dapat dikatagorikan sebagai
pembebasan hutang apabila pembebasan itu merupakan pelepasan hak oleh
kreditur terhadap debitur. Pembebasan hutang ini diatur dalam Pasal 1438
KUH Perdata.
Akibat dari pembebasan hutang ini tidak ada di atur dalam
undang-undang secara khusus, tetapi dengan pembebasan hutang ini maka perikatan
akan dianggap telah selesai atau hapus.
27
Ad. 7. Musnahnya barang yang terhutang
Musnahnya barang yang terhutang diatur dalam Pasal 1444 KUH Perdata
yang menyatakan “apabila tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah,
tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali
tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya,
asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si berhutang dan sebelum
ia lalai menyerahkannya”.
Ad. 8. Kebatalan atau Pembatalan
Apabila suatu perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak diminta
oleh suatu pihak. Maka perjanjian seperti itu dianggap tidak ada sejak semula,
batal mutlak adalah suatu perjanjian yang diadakan tanpa mengindahkan cara
yang secara mutlak dikehendaki oleh undang-undang. Pembatalan lain adalah
pembatalan tidak mutlak yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang
tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu.
Pembatalan perjanjian yang berdasarkan atas hal merugikan suatu pihak,
maka pembatalan tersebut dapat diminta untuk melakukan pembatalan
perjanjian.
Ad. 9. Daluwarsa atau Lampau waktu
Daluwarsa diatur dalam Pasal 1946 KUH Perdata yaitu adalah sesuatu
atau untuk dibebaskan dari sesuatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu
Suatu perikatan dapat hapus karena lewatnya waktu tetapi daluwarsa yang
dimaksud adalah daluwarsa yang batas waktunya telah ditetapkan oleh
undang-undang. Apabila dengan lampaunya jangka waktu tertentu maka
dianggap perjanjian telah hapus, sehingga debitur bebas dari kewajiban
memenuhi perjanjian dan dianggap seseorang telah memperoleh hak milik