• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL SEBAGAI PELAYANAN PUBLIK TO INCREASE THE PERFORMANCE OF CIVIL GOVERNMENT EMPLOYEE AS A PUBLIC SERVANT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENINGKATAN KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL SEBAGAI PELAYANAN PUBLIK TO INCREASE THE PERFORMANCE OF CIVIL GOVERNMENT EMPLOYEE AS A PUBLIC SERVANT"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL SEBAGAI

PELAYANAN PUBLIK

TO INCREASE THE PERFORMANCE OF CIVIL GOVERNMENT

EMPLOYEE AS A PUBLIC SERVANT

By :

ERIKA REVIDA

Abstract

To increase the performance of civil government employee as a public servant now is a must, because civil government employee not only as a subject and object of development, but also as a promotor of government to achieve their goals.

According to research and opinion of society showed that the performance of public service till now is not so good, so that it is important to study.

There are many strategy to increase the performance of civil government employee that is by increasingly Competence, Motivation and Conducive work climate that public servant can do their jobs freely and acountably.

Key Words : Performance, Civil Government Employee, and Public Servant.

I. Pendahuluan

Pegawai negeri sipil (PNS) adalah unsur aparatur birokrasi, abdi negara, bangsa dan masyarakat. Sebagai aparatur birokrasi berarti pegawai negeri sipil adalah alat pemerintah untuk mencapai tujuan. Sebagai abdi negara, bangsa dan masyarakat berarti pegawai negeri sipil harus mengabdi pada negara, bangsa dan dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kinerja pegawai negeri sipil mendapat perhatian yang penting dan sungguh-sungguh dari pemerintah. Pembinaan pegawai negeri sipil tidak dapat diabaikan karena mereka adalah perpanjangan tangan pemerintah dalam mencapai tujuan yaitu melayani masyarakat.

Dalam Undang–undang Kepegawaian Republik Indonesia nomor 43 tahun 1999 pasal 3 ayat 1 tertulis bahwa pegawai negeri sipil adalah kompenen manusia yang menjadi kunci keberhasilan organisasi pemerintah mencapai tujuan. Mereka merupakan salah satu unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, pembangunan. Tujuan pemerintahan yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat dan melayani masyarakat dengan baik hanya akan tercapai jika kinerja pegawai negeri sipil dapat ditingkatkan.

(2)

rendahnya kinerja pegawai negeri sipil sebagai pelayan masyarakat. Wasistiono (2001) menyatakan bahwa dalam kenyataan hingga saat ini masih banyak aparatur pemerintah yang belum menyadari arti pentingnya pelayanan. Hal ini ditandai dari ungkapan yang beredar di kalangan pegawai negeri sipil yaitu ”kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?, kalau bisa diperlama, mengapa harus dipercepat?”.

Kualitas pelayanan publik selama reformasi ini dirasakan semakin menurun dan buruk, yang ditandai dengan lamanya waktu pengurusan dan biaya siluman yang semakin tinggi. Lebih memprihatinkan lagi, penyedia pelayanan publik di beberapa instansi pemerintah secara terang-terangan dan tanpa merasa malu meminta sejumlah uang tertentu yang kadangkala tidak rasional jumlahnya, bisa 3-5 kali dari biaya resminya. Masyarakat harus mengeluarkan segala daya dan upaya untuk melayani pegawai negeri sipil agar urusannya cepat selesai. Hal ini bukti bahwa birokrasi di Indonesia masih setia menerapkan prinsip, jika masih bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah. Rendahnya kinerja pegawai negeri sipil diungkapkan Nawawi dan Hadari (1990) yaitu indikasi rendahnya kinerja pegawai negeri sipil di lingkungan organisasi pemerintah dapat dilihat dari kurang berprestasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pelayanan masyarakat. Sedangkan Tjiptoherijanto (dalam Thoha, 1999) menyatakan banyaknya keluhan yang datang dari masyarakat tentang kualitas pelayanan para aparatur pemerintah menunjukkan kinerjanya masih rendah.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Saelan (dalam Pikiran Rakyat, 17 September 2003) di Pemerintah Daerah Jawa Barat menyimpulkan bahwa hanya 10% pegawai negeri sipil yang berkinerja baik, 30% berkinerja lumayan, dan sebahagian besar 50% berkinerja buruk dan 10% berkinerja negatif yaitu sulit dimobilisasi atau malah merugikan Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Sihombing (2006) yang menyimpulkan rendahnya kinerja pegawai negeri sipil di Propinsi Sumatera Utara.

Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian di atas, Sudarmo (dalam Harian Semarak, 25 Januari 2001) menyatakan hal yang sama yaitu kinerja pegawai negeri sipil di propinsi dan kabupaten/kota Bengkulu masih relatif rendah. Hasil penelitian di atas tentu saja mengejutkan kita semua. Pegawai negeri sipil yang diharapkan sebagai ujung tombak pembangunan, pemerintahan dan penyedia pelayanan publik tidak menunjukkan kinerja yang baik. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, pemerintah daerah seharusnya menindaklanjuti hasil penelitian di atas. Oleh sebab itu, pemerintah daerah harus mau mengubah paradigma pengelolaan dan pembinaan pegawai negeri sipil agar kinerjanya dapata lebih baik dan berkualitas dari sebelumnya.

(3)

prima kepada masyarakat dan mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan secara efektif dan efisien serta inovatif. Bagaimana meningkatkan kinerja pegawai negeri sipil sebagai pelayan publik? ini adalah pertanyaan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

II. Kinerja Pegawai dan Evaluasi Kinerja

Kinerja sesungguhnya berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang). Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan (Mangkunegara, 2004).

Menurut Gibson, et al. (1997) kinerja adalah tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik. Di sisi lain, Rivai dan Basri (2005) menyatakan kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu disepakati bersama.

Lebih lanjut, Hersey dan Blancard (dalam Rivai dan Basri, 2005) menyatakan kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya.

Ndraha (2003) menyatakan kinerja sebagai padanan kata ”performance”. Kinerja berasal dari kata kerja dan diberi sisipan in menjadi kinerja. Ndraha (2003) mendefinisikan kinerja pemerintahan dari sudut accountability, obligation dan cause. Dari sudut accountability, kinerja merupakan pelaksanaan tugas atau perintah (task accomplishment). Dari segi obligation, kinerja adalah kewajiban untuk menepati janji, sedangkan dari sudut cause, kinerja adalah proses tindakan (prakarsa) yang diambil menurut keputusan batin berdasarkan pilihan bebas pelaku pemerintahan yang bersangkutan dan memikul segala resiko (konsekuensinya).

(4)

mengerjakan serta mengetahui pekerjaannya dan mengetahui tujuan organisasinya.

Pendapat lain menyatakan kinerja merupakan tolok ukur keberhasilan dalam melakukan suatu pekerjaan (Robbins, 1997). Dikaitkan dengan peran individu dalam organisasi, kinerja adalah rangkaian perilaku atau kegiatan individu yang sesuai dengan harapan atau keinginan organisasi tempat ia bekerja (Arnold dan Felman, 1986).

Menurut pendekatan behavioral dalam manajemen kinerja adalah kuantitas atau kualitas sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang melakukan pekerjaan (Luthans, 1995). Sedangkan Mathis dan Jackson (2002) menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan.

Kinerja pegawai mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi, antara lain : 1). kuantitas output, 2) kualitas output, 3) jangka waktu output, dan 4) kehadiran di tempat kerja. Steers dan Porter (1987) menyatakan kinerja (performansi) dipengaruhi oleh motif-motif individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat dinyatakan bahwa kinerja pegawai dapat didefinisikan sebagai hasil kerja/output, baik kualitas maupun kuantitas pekerjaan yang dapat dihasilkan dalam periode tertentu.

Peningkatan kinerja pegawai merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi, karena semakin baik kinerja pegawai akan semakin baik kinerja organisasi yang pada gilirannya akan semakin baik pencapaian tujuan organisasi. Oleh karena itu, kinerja pegawai perlu dievaluasi setiap saat berdasarkan periode tertentu dengan melakukan penilaian kinerja.

Werther dan Davis (1993) menyatakan bahwa ”Performance appraisal is the process by which organization evaluate job performance… the appraisal should create an accurate of an individual’s typical job performance. Sedangkan Bacal (2001) menyatakan evaluasi kinerja merupakan proses dimana kinerja karyawan dinilai dan dievaluasi untuk mengetahui seberapa baik kinerjanya. Dengan demikian, penilaian kinerja adalah untuk menilai kinerja pegawai yang telah ditentukan pada periode tertentu.

Penilaian kinerja diperlukan untuk melihat sejauhmana hasil kerja yang telah dicapai dan apa hambatan/kendala/rintangan-rintangan yang dihadapi dalam pekerjaannya. Hasil penilaian kinerja sebagai masukan (input) untuk peningkatan kinerja pegawai di hari yang akan datang.

(5)

haruslah berdasarkan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Hal ini dinamakan oleh Bacal (2001) dengan istilah penilaian berdasarkan tujuan, standar, ataupun target. Gomes (2001) menyatakan dengan istilah penilaian berdasarkan hasil. Oleh sebab itu, sasaran, tujuan, target sangat penting sebagai pedoman untuk melakukan penilaian kinerja pegawai agar kinerja pegawai tidak menyimpang dari tujuan, sasaran atau standar yang telah ditentukan.

III. Peningkatan Kinerja Pegawai Negeri Sipil Sebagai Pelayan Publik Kinerja pegawai negeri sipil sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, abdi masyarakat dan bangsa perlu ditingkatkan. Hal ini bukan saja merupakan tuntutan pemerintah agar tujuannya tercapai, akan tetapi juga tuntutan masyarakat sebagai pelanggan (kastomer). Masyarakat yang dianggap sebagai pelanggan harus mendapatkan pelayanan yang berkualitas dari pegawai negeri sipil. Untuk itu pemerintah daerah haruslah menempatkan prioritas pada peningkatan kinerja pegawai negeri sipil sebagai pelayanan publik.

Untuk meningkatkan kinerja pegawai banyak faktor yang harus diperhatikan. Dengan menggunakan rumus yang bersifat matematis, Robbins (dalam Rivai dan Basri, 2005) menggambarkan kinerja (performance) sebagai fungsi dari kemampuan atau ability (A), motivasi

atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), secara

matematis dinyatakan Kinerja = f (AxM)xO), yang artinya kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan.

Ability (A) adalah kemampuan untuk menetapkan dan atau melaksanakan suatu sistem pemanfaatan sumber daya dan teknologi secara efektif dan efisien guna mencapai hasil yang optimal. Motivation (M) adalah keinginan dan kesungguhan seseorang pekerja untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik serta berdisiplin untuk mencapai prestasi kerja yang maksimal. Opportinity (O) adalah kesempatan yang dimiliki oleh karyawan secara individu dalam mengerjakan, memanfaatkan waktu dan peluang untuk mencapai hasil tertentu. Dengan demikian, kinerja ditentukan oleh faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan.

(6)

Gambar 1. Dimensi dari Kinerja (Robbins dalam Rivai dan Basri, 2005).

Konsep kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi mempengaruhi dan dipengaruhi (reciprocal) oleh variabel lain yaitu kemampuan, motivasi dan peluang yang dimiliki oleh pegawai.

Selanjutnya, model Partner-Lawyer (dalam Gibson, et al.1997) menggambarkan bahwa kinerja individu pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-faktor : a) harapan mengenai imbalan, b) dorongan, c) kemampuan, kebutuhan dan sifat, d) persepsi terhadap tugas, e) imbalan internal dan eksternal, f) persepsi terhadap tingkatan imbalan dan kepuasan kerja. Dengan demikian, sesungguhnya kinerja pegawai ditentukan oleh tiga hal, yaitu (1) kemampuan, (2) motivasi, dan (3) faktor eksternal yaitu lingkungan. Tanpa melihat ketiga unsur ini, maka akan sulit untuk meningkatkan kinerja pegawai. Untuk meningkatkan kinerja pegawai negeri sipil kiranya peningkatan kemampuan, motivasi, dan lingkungannya perlu menjadi perhatian pemerintah.

3.1. Peningkatan Kemampuan Pegawai Negeri Sipil di Indonesia.

Kemampuan pegawai negeri sipil untuk melakukan pekerjaan sebagai pelayanan publik akhir-akhir ini belum menggembirakan berbagai pihak. Definisi kemampuan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Anonim, 1990) adalah kecakapan, kesanggupan, kekuatan. Kemampuan pegawai negeri sipil berarti kemampuan, atau kesanggupan pegawai negeri sipil dalam melakukan pekerjaannya sebagai pelayanan publik.

Kemampuan mencakup kemampuan teknis, kemampuan manajerial, kemampuan perilaku dan kemampuan konseptual yang dikenal sebagai tiga kemampuan saja yaitu kemampuan teknis, kemanusiaan atau sosial dan konseptual (Rao, 1986, Hersey dan Blancard, 1992).

KEMAMPUAN

MOTIVASI PELUANG

(7)

Kemampuan teknis (technical skill) adalah kemampuan yang menyangkut aktivitas khusus terutama menyangkut proses, prosedur, kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik dan peralatan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tertentu.

Kemampuan sosial (social skill) adalah kemampuan untuk melihat organisasi secara keseluruhan (holostic) memikirkan kemajuan organisasi di masa depan, forecasting, dan kemampuan manajemen stratejik. Ketiga kemampuan ini dalam prakteknya berbeda-beda untuk setiap level pimpinan/manajer, dan harus dikombinasikan secara kontingensi di dalam organisasi. Semakin tinggi level pimpinan/manajer dalam organisasi, maka akan semakin membutuhkan kemampuan

konseptual (conceptual skill) dan sebaliknya semakin rendahnya level

pimpinan/manajer dalam organisasi, maka akan semakin membutuhkan kemampuan teknis (technical skill).

Untuk meningkatkan kinerja pegawai negeri sipil, maka mau tidak mau ketiga kemampuan yaitu kemampuan konseptuan, sosial dan teknis harus ditingkatkan baik secara sendiri-sendiri, atas insiatif sendiri, maupun melalui program pemerintah secara kolektif.

Kinerja pegawai negeri sipil tidak akan optimal jika pegawai negeri sipil hanya menunggu program pemerintah untuk meningkatkan kemampuannya. Oleh sebab itu, pegawai negeri sipil harus dengan inisiatif sendiri mau meningkatkan kemampuannya baik melalui pendidikan formal maupun informal. Kecenderungan yang tampak saat ini, banyak pegawai negeri sipil (birokrat) yang melakukan studi lanjut ke magister (S2) atau bahkan ke program doktor (S3). Hal ini akan mempengaruhi kemampuan pegawai negeri baik kemampuan konseptual, sosial, maupun teknis.

3.2. Peningkatan Motivasi Pegawai Negeri Sipil.

Peningkatan kinerja pegawai negeri sipil melalui peningkatan motivasi kerja sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi mempunyai korelasi yang positif dan signifikan dengan kinerja pegawai negeri sipil. Oleh sebab itu, pemerintah harus dapat meningkatkan motivasi pegawai negeri sipil.

Motivasi merupakan dorongan dalam diri seseorang untuk mau bekerja dengan giat dan baik. Nadler dan Lawyer III (dalam Usmara, 2003) menyatakan motivasi sebagai kekuatan dalam diri individu untuk mengarahkan daya upaya.

(8)

kebutuhan atau keinginan. Kebutuhan atau keinginan yang dirasakan oleh setiap pegawai pada dasarnya berbeda-beda. Selain itu, kebutuhan atau keinginan yang dirasakan pegawai sangat kompleks sifatnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui kebutuhan apa yang diinginkan pegawai, maka pimpinan perlu melakukan survey terhadap setiap bawahannya. Adanya motif mengakibatkan munculnya motivasi. Untuk memahami apa sesungguhnya yang menjadi motivasi seseorang dalam bekerja, para ahli manajemen perilaku mengembangkan konsep dan teori tentang motivasi.

Kebutuhan pegawai negeri sipil merupakan pendorong munculnya motivasi kerja baik kebutuhan yang bersifat fisik dan nonfisik. Dengan demikian, untuk meningkatkan motivasi pegawai negeri sipil, maka mau tidak mau pemerintah harus sedapat mungkin memenuhi kebutuhan pegawai negeri sipil mulai dari kebutuhan yang paling dasar (fisik) yaitu kebutuhan sandang, pangan dan papan sampai pada kebutuhan yang paling tinggi yaitu kebutuhan aktualisasi diri.

Dalam kenyataannya, kebutuhan yang paling dasar (fisik) pegawai negeri sipil belum dapat terpenuhi secara wajar. Hal ini disebabkan minimnya gaji pegawai negeri sipil (PNS) jika dibandingkan dengan gaji pegawai BUMN. Fakta lain yang diungkapkan Muhammad (Harian Pikiran Rakyat, 2003) seorang pengajar dan asisten direktur bidang

akademi program pascasarjana IAIN Bandung berjudul ”Beda sedikit

guru dan satpam”. Artikel tersebut mempertanyakan mengapa rasio gaji seorang dosen yang bergelar doktor dengan seorang satpam berijazah SMU hanya terpaut perbandingan 2:1 lebih sedikit.

Ada sejuta pertanyaan yang muncul tentang rasa keadilan dan penghargaan dari pemerintah dalam menghargai kerja keras dan upaya seseorang pegawai negeri sipil untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilannya. (4-5 tahun untuk menyelesaikan studi S1 dan 2,5 tahun untuk menyelesaikan studi S2, dan 4,5 tahun untuk S3). Ini tentu saja memprihatinkan kita semua, padahal pegawai negeri mengikuti pendidikan lanjut secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kinerjanya.

Selain itu, manajemen PNS yang ”PGPS” (Pegawai Goblok dan Pintar Penghasilan Sama saja) masih tetap dilaksanakan belum ada kemauan

politik (political will) pemerintah untuk memberikan perbedaan

penghasilan/gaji PNS berdasarkan tingkat pendidikan maupun kemampuan/prestasinya. Kenyataan ini menjadi bukti nyata bahwa pemerintah belum memiliki komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kinerja pegawai negeri sipil.

3.3. Peningkatan Kualitas Lingkungan Yang Kondusif.

(9)

Faktor lingkungan atau eksternal dalam hal ini adalah kebijakan, prosedur/peraturan yang dibuat pemerintah yang mengatur pekerjaan pegawai negeri sipil. Pada dasarnya, kebijakan/peraturan/prosedur yang dibuat adalah untuk memperlancar dan mempermudah pekerjaan. Akan tetapi kadangkala kebijakan/peraturan/prosedur justru menjadi penghambat pegawai negeri sipil untuk memberikan pelayanan publik yang cepat dan tepat. Sejak otonomi daerah digulirkan, ada banyak peraturan daerah yang tumpang tindih dan bahkan menghambat kinerja pegawai negeri sipil dalam memberikan pelayanan publik.

Kebijakan/peraturan/prosedur yang menghambat pekerjaan pegawai negeri sipil harus segera dievaluasi atau jika perlu dihapuskan. Jika pemerintah tidak cepat tanggap terhadap kebijakan/peraturan/ prosedur yang menghambat cepat atau lambat justru akan menjadi counter-productive bagi kinerja pegawai negeri sipil.

Menghindarkan rintangan/hambatan (eliminate) adalah kegiatan menghindarkan atau menghapuskan rintangan-rintangan yang menghambat pekerjaan pegawai negeri sipil (PNS). Berkaitan dengan

menghindarkan rintangan-rintangan (eliminate), Stewart (1994)

menyatakan ”Eliminate any unneccessary rules or regulation which stand in the way of empowerment. Remove obstacles and barriers of all kinds, whether human, administrative, or technical,”. Selain itu, DeVrye (2001) menyatakan salah satu kunci kinerja pegawai adalah mengurangi hambatan birokrasi yang tidak perlu untuk membuat pegawai lebih bertanggung jawab dan memiliki daya tanggap lebih lanjut. Bennis dan Mische (1999) menyatakan “organisasi perlu menghilangkan batas birokrasi yang mengkotak-kotakkan orang lain membuat mereka menggunakan seefektif mungkin keterampiulan, pengalaman, energi, dan ambisinya”. Dengan demikian, pemerintah harus menghindarkan rintangan/hambatan yaitu kebijakan/peraturan/prosedur yang meng-hambat pekerjaan PNS dalam memberikan pelayanan publilk. Pada dasarnya, peraturan/sistem dan prosedur yang sifatnya mendasar perlu tetap ada. Menghindarkan rintangan-rintangan (eliminate) dalam hal ini berupaya bekerja dengan sistem, prosedur yang sedikit mungkin dan peraturan atau birokrasi sependek mungkin dan iklim kerja yang kondusif perlu diciptakan.

(10)

tentu perlu dihindari atau setidaknya dikurangi, sehingga pegawai negeri sipil dapat meningkatkan kinerjanya.

Di sisi lain, hambatan-hambatan yang tampak adalah iklim budaya birokrasi yang belum mendukung, terlalu statis, legalistik-formal dan kurang fleksibel. Walaupun pegawai negeri sipil sudah mencapai pendidikan tambahan, tidak serta merta diikuti dengan penempatan kerja yang sesuai dengan keahlian/pendidikannya, sehingga pendidikan tambahan yang diperolehnya tidak dapat secara langsung disumbangkan untuk peningkatan kualitas pekerjaannya.

Selain itu, peraturan-peraturan yang ajek dan tumpang tindih akan membatasi gerak gerik pegawai negeri sipil untuk melakukan inovasi dalam pekerjaannya dan melayani masyarakat. Di sisi lain, jumlah peralatan yang minim kurang mendukung peningkatan kinerja pegawai negeri sipil. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kinerja pegawai negeri sipil, maka hambatan-hambatan/rintangan dalam bekerja mau tidak mau harus dieliminasi atau dikurangi.

Peningkatkan kualitas pelayanan publik dapat ditingkatkan dengan membuat standar operasional prosedur (SOP), waktu pengurusan, sekaligus biaya yang dibutuhkan untuk menekan biaya ekonomi yang tinggi. Selain itu, pembukaan kotak-kotak pengaduan hendaknya ditindaklanjuti oleh instansinya, bukan hanya sebagai kamuflase belaka dalam menenangkan/mengurangi keresahan masyarakat. Bila perlu, pihak pengadu diberikan pelayanan gratis sebagai penghargaan atas informasi temuan penyimpangan yang dilakukan di lingkungan kerja pemerintah.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Secara umum dapat disimpulakan bahwa hingga saat ini

kinereja pegawai negeri sipil masih memprihatinkan sehingga perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan Kinerja Pegawai Negeri Sipil sangat diperlukan Kemampuan, Motivasi dan Iklim kerja yang kondusif sehingga pegawai negeri sipil dapat dengan leluasa menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

4.2. Saran-Saran.

Kinerja pegawai negeri sipil sebagai pelayan publik baik di tingkat pusat sampai pada tingkat kelurahan masih rendah, sehingga perlu ditingkatkan. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan kinerja pegawai negeri sipil adalah kemampuan, motivasi dan faktor lingkungan kerja atau eksternal.

(11)

Kinerja pegawai negeri sipil perlu dinilai dalam periode tertentu. Untuk menilai kinerja pegawai negeri sipil maka penyusunan kriteria dan indikator kerja untuk setiap instansi pemerintah harus segera dilaksanakan sehingga keberadaan LAKIP (laporan Kinerja Instansi Pemerintah) dapat diterapkan sebagai bahan audit untuk instansi dan bahan penilaian atas kinerja pejabat yang menduduki jabatan di instansi tersebut.

Struktur gaji PNS sudah tidak rasional lagi untuk tetap dipertahankan apalagi dengan tingkat inflasi yang meningkat terus. Untuk itu perlu segera diubah berdasarkan sisitem merit (merit system) dan penuh rasa kemanusiaan dan keadilan yang mampu menjadi insentif yang cukup bagi pegawai negeri sipil untuk bekerja secara profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Krebudayaan.

Arnold, Haugh J and Daniel C Feldman. 1986. Organizational Behavior. New York : Mc Graw-Hill Book Company.

Bacal, Robert. 2001. Performance Management. Alih Bahasa Surya Dharma & Yanuar Irawan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Bennis, Warren dan Michael Mische. 1999. Organisasi Abad 21. Reinventing Melalui Reengineering. Alih Bahasa Irma Andriani Rachmawati. Jakarta : PT Pusytaka Binaman Pressindo.

DeVrye, Catherine. 2001. Good Service is Good Business. 7 Strategi Sederhana Menuju Sukses. Alih Bahasa M. Prihminto Widodo. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Gibson, James L, John I Ivancevich and James H Donnelly. 1997. Organizations, Behavior, Structure, Precesses. Texas : Business Publications, Inc.

Gomes, Faustino Cardoso. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Harian Pikiran Rakyat 13 Oktober 2003. Bandung. Harian Semarak 25 Januari 2002. Bengkulu.

Hersey, Paul and Kenneth H Blancard. 1992. Management of Organizational Behavior. New Jersey : Prentice Hall.

LAN dan BPKP. 2000. Pengukuran Kinerja Instansi Pemerintah : Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Jakarta : LAN dan BPKP.

Luthans, Fred. 1995. Organizational Behavior. New York : Mc Graw-Hill Book Company.

Mangkunegara, AA Prabu. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

(12)

Moorhead, Gregory and Ricky W Griffin. 1998. Organizational Behavior : Managing People and Organizations. New York : Hougton Miffin, Inc.

Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1990. Administrasi Personel Untuk

Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta : Haji Masagung.

Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan). Jakarta : Rineka Cipta.

Saxena, A.P. 1986. Peningkatan Produktivitas Tatalaksana Pemerintahan. Majalah Prisma. Jakarta : LP3ES.

Sihombing, Marlon. 2005. Kinerja Pegawai Negeri Sipil Di Propinsi Sumatera Utara. Medan : Badan Diklat Propinsi Sumatera Utara.

Steer, Richard M and Lyman W Porter. 1987. Motivation and Work Behavior. New York : Mc Graw Hill Book Company.

Stewart, Aileen Mitchel. 1994. Empowering People. London : Pitman Publishing.

Rao, TV. 1986. Performance Appraisal : Theory and Practice (Penilaian Presztasi Kerja : teori dan Praktek). Alih Bahasa Ny L. Mulyana. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.

Rivai, Veithzal dan Ahmad Fauzi Basri. 2005. Performance Appraisal. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Robbins, Stephen. 1997. Essential of Organizational Behavior. New Yersey : Prentice-Hall International. Inc.

Thoha, Miftah. 1999. Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani. Jakarta : LAN.

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian di Indonesia.

Usmara A. 2003. Handbook of Organization. Kajian dan Teori Organisasi. Yogyakarta : Amara Books.

Wasistiono, Sadu. 2001. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah. Bandung : Alqaprint.

Referensi

Dokumen terkait

Lembaga Kemasyarakatan Desa lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai kebutuhan sesuai peraturan

(c) Biaya retribusi adalah biaya yang dikeluarkan oleh pedagang perantara yang biasanya dikeluarkan secara resmi dihitung dalam satuan rupiah per botol. 8)

Dari berbagai pemahaman atas tinjauan pustaka mengenai IT Governance dan audit, dapat disimpulkan bahwa Audit IT Governance adalah suatu bagian dari tata kelola organisasi

Suatu benturan kepentingan dapat terjadi jika seorang anggota melakukan layanan profesional untuk klien atau majikan dan anggota atau perusahaannya memiliki

Science (Physics) learning process conducted by the science teacher by using PISA-based teaching materials could enhance the ability of junior high school students

Rencana Kegiatan Tahunan (RKT) Perwakilan BPKP Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri atas rencana output, rencana penerbitan laporan, rencana penugasan, rencana penggunaan

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengalaman kerja, skeptisme profesional dan tekanan waktu terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi

Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada secara kelembagaan tidak mengikuti gelaran aksi 121 yang diselenggarakan oleh BEM SI.. Dewan Mahasiswa Justicia