BAB II
PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG HUBUNGAN
ANTARA NEGARA DENGAN WARGA NEGARA
A. PENGERTIAN RAS,BANGSA DAN WARGA NEGARA
Negara adalah subyek hukum Internasional asli (original subject of
international)18. Negara juga adalah subyek hukum yang terpenting (par excellence), dibanding dengan subyek-subyek hukum Internasional
lainnya,sebagai subyek hukum internasional negara memiliki hak-hak dan
kewajiban menurut hukum internasional.
Sarjana filsafat hukum terkemuka, HLA Hart, menggambarkan negara
sebagai gambaran dari dua fakta yang didalamnya memuat unsur-unsur dari
negara,dimana dia berpendapatan bahwa
“The expression of a ‘state’ is not the same of some person or thing
inherently or ‘by nature’ outside the law;it is a way of refrring to two facts
first,that a population inhabiting a territory lives under that form of ordered
government provided by a legal system within its characteristic structure of
legislative,Courts,and primary rules ; and secondly that the government
enjoy a vaguely defined degree of independence”19
18
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Keni Media, Bandung, 2001, hlm. 1
19
Hart tidak berupaya memberikan definisi mengenai negara, Hart hanya
menjelaskan ciri-ciri negara, yaitu :
1. Penduduk
2. Wilayah
3. Pemerintahan
4. Sistem hukum
5. Indenpendensi
Dalam Negara, Penduduk dalam hal ini harus mempunyai rakyat yang
tetap adalah syarat yang paling utama dan terutama dalam terbentuknya suatu
negara yang merupakan subyek yang terpenting dalam Hukum Internasional.
Dimana dalam hal ini pengertian Penduduk adalah sekumpulan manusia
yang hidup bersama disuatu tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan
masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional, sekumpulan manusia ini
mungkin saja berasal dari ras,keturunan yang berlainan,kepercayaan yang berbeda
dan memiliki kepentingan yang saling bertentangan.perbedaan tersebut itulah
yang membuat adanya pertentangan antara kelompok yang satu dengan yang
lainnya atau kelompok yang minoritas dengan kelompok yang minoritas,karena
hidup dalam satu wilayah yang sama,tentu saja suatu penduduk yang hidup dalam
suatu negara mempunyai ras dan sifat yang berbeda-beda, jadi pengertian
Penduduk merupakan sekumpulan manusia yang terdiri dari berbagai macam ras
yang berkumpul dalam suatu wilayah tertentu kemudian membentuk suatu Bangsa
sehingga lahirlah Negara, yang kemudian penduduk yang mendiami Negara
Pengertian ras adalah golongan manusia yang mempunyai ciri-ciri fisik
,dimana berdasarkan ciri-ciri fisik ras dibedakan atas :
1. Ciri Kualitas meliputi warna kulit, bentuk rambut, lipatan mata,
dan bentuk bibir
2. Ciri Kuantitas meliputi bentuk badan, berat badan dan bentuk
kepala
Sedangkan Menurut G.Cuvier ada 3 pembagian ras yaitu :
1. Kulit Putih ( Leukoderm)
Cirinya : bagian wajah menonjol, rambut lurus atau berombak,
hidung mancung, badan tinggi, dan warna kulit agak terang
2. Kulit Hitam ( melanodem)
Cirinya : warna kulit gelap, rambut keriting, hidung lebar, wajah
gempal/prognat dan bibir tebal
3. Kulit kuning (xantoderm)
Cirinya : wajah mendatar, pipi menonjol, celah mata datar,
rambut hitam/lurus/tebal kulit kekuning-kuningan
Pengertian Bangsa menurut Otto Baeur merupakan sekelompok
manusia yang memiliki karakter dan sifat yang hampir sama karena persamaan
nasib dan pengalaman sejarah dan budayanya yang saling sama dan juga tumbuh
berkembang bersama dengan tumbuh kembangnya bangsa
Dari pendapat dari Otto Baeur dapat disimpulkan bahwa bangsa adalah
bersama,dan mempunyai kesamaan bahasa, agama ideologi, budaya, dan/atau
sejarah dan dianggap memiliki keturunan yang sama,dimana suatu bangsa pada
hakikatnya mempunyai unsur-unsur sebagai berikut
1. Cita-cita bersamamyang mengikat dan menjadi satu kesatuan
2. Perasaan senasib sepenanggungan
3. Karakter yang sama
4. Suatu kesatuan wilayah
5. Terorganisir dalam suatu wilayah hukum
Sama seperti halnya organisasi yang memiliki anggota,negara yang
merupakan organisasi tertentu pun memiliki anggota yang lazim disebut sebagai
warga negara20. Menurut Abdul Bari Azed,
“Warganegara adalah sekelompok manusia yang ada dalam
wewenang suatu negara, hubungan keduanya adalah hubungan
timbal balik,dimana masing-masing pihak memiliki hak dan
kewajiban21”
Setelah sekumpulan manusia yang berbeda ras dengan segala perbedaan
berkumpul dalam suatu wilayah dalam satu jangka waktu tertentu, maka timbullah
perasaan senasib sepenanggungan, dan mempunyai satu tujuan ataupun cita cita
yang mengikat antara satu ras dengan ras yang lainnya maka muncullah Istilah
bangsa yang dilahirkan berdasarkan karena adanya persamaan tujuan, sehingga
20
Sudargo Gautama, Warga negara dan Orang Asing,berikut peraturan dan contoh-contoh, Bandung , Alumni, 1992 hlm. 4
21
untuk mencapai suatu tujan ataupun cita-cita tersebut, sekumpulan manusia yang
berbeda ras tersebut kemudian disebut menjadi suatu Bangsa.
Bangsa inilah kemudian yang menjadi cikal bakalnya adanya suatu
Negara, untuk mencapai tujuan tertentu dan karena adanya rasa sepenanggungan
smaka dibentuklah Negara, setiap Negara mempunyai warganegaranya
masing-masing, dimana warganegara ini adalah suatu identitas untuk menunjukkan
adanya persamaan cita-cita dan tujuan dalam suatu negara, yang berasal dari
penduduk yang menempati suatu negara dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, dengan menjadi warga negara suatu negara maka, berarti mempunyai
suatu cita-cita dan tujuan yang sama.
B. PENTINGNYA MEMILIKI KEWARGANEGARAAN DALAM
NEGARA
Salah satu unsur negara adalah warga negara, dari berbagai teori yang
telah dikembangkan oleh Ilmu Negara, negara ada untuk warga negaranya. Jika
mengacu pada paham demokrasi eksistensi negara adalah, dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat,kewarganegaraan merupakan ikatan hukum antara seseorang
dengan negaranya
Kewarganegaraan adalah hak asasi manusia dan landasan identitas,
martabat, keadilan, perdamaiaan dan keamanan. Menjadi orang yang tidak
memiliki kewarganegaraan berarti tidak memiliki perlindungan hukum atau hak
untuk berpartisipasi dalam proses politik, tidak mendapat akses yang memadai
pembatasan hak kekayaan sendiri, pembatasan perjalanan, pengucilan sosial,
kerentanan terhadap perdagangan manusia, pelecehan dan kekerasan,22
Dalam hukum internasional hanya warga negaralah yang dapat masuk dan
menetap dalam suatu negara. Oleh karena itu orang yang tanpa kewarganegaraan
dapat berakhir tanpa status kependudukan bahkan lebih buruk lagi yaitu
penahanan jangka panjang23
Seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan tidak mendapat
perlindungan hukum, ia juga tidak menikmati hak-haknya sebagai warga negara
sebagaimana mestinya misalnya tidak dapat ikut serta dalam proses-proses politik
karena tidak memiliki hak untuk memberikan suara, tidak terjaminya hak untuk
mendapatkan pendidikan, hak atas perawatan kesehatan, hak untuk memiliki
pekerjaan, hak atas perawatan kesehatan, tidak memperoleh dokumen pernikahan,
tidak dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan dokumen perjalanan,
dan bagi mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan,dan berada diluar negara
asal atau negara tempat tinggal sebelumnya dapat ditahan jika mereka kembali
ketempat tersebut24
Setiap negara berdaulat dalam menentukan siapa yang menjadi
warganegaranya, hal ini juga berarti tidak ada negara manapun yang berhak
mencampuri masalah kewarganegaraan negara lain 25 , seseorang dapat
22
UNHCR, “Nationality Rights for All : A Progress Report and Global Survey on Statelessness
23
UNCHR “Mencegah dan mengurangi keadaan tanpa kewarganegaraan : Konvensi 1961 tentang pengurangan keadaan tanpa kewarganegaraan”, hlm. 2
24
Marilyn Achiron, Kewarganegaraan dan tak berkewarganegaraan, Buku panduan untuk anggota parlemen,hlm. 6
25
memperoleh atau kehilangan status kewarganegaraanya dengan dua cara, Pertama,
orang itu secara aktif berusaha memperoleh atau untuk melepaskannya, cara ini
biasa disebut dengan sistem aktif, kedua, seseorang memperoleh atau kehilangan
status kewarganegarannya tanpa berbuat apapun, cara ini disebut dengan sistem
pasif,
Asas kewarganegaraan adalah pedoman bagi negara untuk menentukan
siapakah yang menjadi warga negaranya, ada beberapa asas yang dikenal pada
saat ini antara lain asas kewerganegaraan yang dilihat dari segi kelahiran, yaitu ius
soli dan ius sanguinis, dan asas kewarganegaraan dari segi perkawinan yaitu asas
kesatuan hukum dan asas persamaan drajat
1. Dari Segi Kelahiran
Menurut asas ini, seseorang mendapatkan kewarganegaraannya
berdasarkan kelahiran, ada dua teori kewarganegaraan yang melandaskan
pada kelahiran seseorang, yaitu ius soli dan ius sanguinis,kedua istilah ini
berasal dari bahassa latin. Ius yang berarti hukum, dalil, atau pedoman,
soli yang berasal dari kata solum yang memiliki arti negeri, tanah, atau
daerah, jadi ius soli adalah kewarganegaraan seseorang yang ditentukan
berdasarkan tempat kelahirannya. Misalnya seorang anak yang lahir di
negara x akan mendapatkan kewarganegaraan di negara x, sementara itu
ius sanguinis adalah kewarganegaraan seseorang yang ditentukan oleh
berkewarganegaraan Y maka anak tersebut mendapatkan kewarganegaraan
dari negara Y26.
Setiap negara bebas menggunakan asas yang akan digunakannya
dalam menentukan kewarganegaraan warganegaranya, ada yang
menggunakan ius sanguinis, ada juga yang menggunakan ius soli.
Perbedaan ini dapat menyebabkan seseorang tidak memiliki
kewarganegaraan,atau memiliki lebih dari satu kewarganeegaraan.
Misalnya, Negara X menganut asas ius soli, sedangkan negara Y
menganut asas ius sanguin. Dimana seseorang tidak dapat memiliki
kewarganegaraan apabila seseorang tersebut lahir di negara Y dari
orangtua yang berkewarganegaraan X, hal ini disebut sebagai Apatride
yaitu kondisi dimana seseorang tidak mendapatkan kewarganegaraan.
Sedangkan Bripratide adalah kondisi dimana seseorang mendapatkan lebih
dari satu kewarganegaraan, hal ini dapat terjadi apabila orangtua
berkewarganegaraan Y dan anaknya lahir di negara X. Masing-masing
negara dapat memberikan kewarganegaraannya terhadap anak tersebut,
karena orangtua dari anak tersebut berkewarganegaraan Y yang menganut
asas ius sanguin, sedangkan negara X juga dapat memberikan
kewarganegaraannya terhadap anak tersebut karena anak tersebut lahir di
negara X yang menganut asas ius soli
.
26
2. Dari segi Perkawinan
Suatu perkawinan campuran dapat menyebabkan perubahan status
kewarganegaraan seseorang, ada dua asas yang digunakan dalam hal ini,
yaitu asas kesatuan hukun dan asas persamaan drajat. Asas kesatuan
hukum bertolak dari hakikat ikatan suami istri dalam keluarga. Asas ini
pada umumnya pihak istri yang mengikuti kewarganegaraan suami, dan
kemudian muncul gerakan emansipasi wanita yang beranggapan bahwa
asas ini telah merendahkan wanita karena wanita harus selalu mengikuti
kewarganegaraan suaminya, gerakan ini berpendapat bahwa wanita sama
seperti laki-laki yang memiliki kebebasan untuk memilih, sehingga
muncullah asas persamaan drajat dalam menentukan kewarganegaraan dari
segi perkawinan. Dalam asas ini suatu perkawinan tidak mengubah
kewarganegaraan masing-masing pihak27
Penggunaan asas kewarganegaraan dari segi perkawinan yang berbeda
antara negara dapat menyebabkan status bipatride maupun apatride,
melalui perkawinan seorang wanita dapat memiliki lebih dari satu
kewarganegaraan ataupun dapat kehilangan kewarganegaraan. Misalnya
negara X menganut asas kesatuan hukum sedangkat negara Y menganut
asas persamaan drajat. Bipatride dapat terjadi apabila seorang laki-laki dari
negara X menikahi seorang wanita dari negara Y, sebaliknya apatride
27
terjadi apabila seorang laki-laki yang berasal dari negara Y menikahi
seorang wanita yang berasal dari negara X28.
Dalam kaitannya dengan perlindungan kelompok etnis yang tidak
memiliki kewarganegaraan adalah pemberian kewarganegaraan dengan
menggunakan asas perkawinan bai asas kesatuan hukum maupun asas
persamaan drajat. Kedua asas ini dapat mengurangi jumlah jumlah orang
yang tidak memiliki kewarganegaraan baik istri maupun suami dapat
memilih mempertahankan kewarganegaraannya ataupun mengikuti
pasangannya. Sehingga tidak menjadi soal siapa yang tidak memiliki
kewarganegaraan selama salah satu pasangannya memiliki
kewarganegaraaan. Tetapi dalam asas kesatuan hukum yang pada
umumnya istri yang mengikuti kewarganegaraan suami, jika suami tidak
memiliki kewarganegaraan maka istri terancam kehilangan
kewarganegaraannya. Oleh karena itu, jika ditujukan untuk mengurangi
jumlah orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, penggunaan asas
kesatuan hukum ditetapkan jika yang tidak memiliki kewarganegaraan
adalah istri, bukan suami.
Perlindungan terhadap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan
banyak disorot oleh publik internasional, sehingga diadakannya beberapa
konvensi yang mengatur tentang perlindungan seseorang ataupun
sekelompok orang maupun etnis yang tidak memiliki kewarganegaraan
tempat dimana mereka tinggal, mengingat akan pentingnya
28
kewarganegaraan yang harus dimiliki oleh setiap orang yang mendiami
suatu negara, berikut adalah beberapa konvensi yang mengatur bahwa
betapa pentingnya memiliki kewarganegaraan dalam suatu negara, yaitu ;
1. Convention Relating to the Stateless Persons
Ditetapkan pada Conference of Plenipotentiaries convened by
Economic and Social Councilmelalui resolusi 526 A (XVII) 26 April 1954
dan mulai berlaku pada 6 Juni1960. Konvensi 1954 merupakan instrumen
hukum Internasional utama yang mendefinisikan dan mengatur status dan
perlakuan terhadap orang-orang tanpa kewarganegaraan. Dalam Pasal 1
Konvensi 1954 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan orang tanpa
kewarganegaraan adalah “a person who is not considered as a national by
any State under the operation of its law”. Rumusan ini diakui sebagai
kebiasaan Internasional29. Konvensi ini menyatakan bahwa orang-orang
tanpa kewarganegaraan dapat mempertahankan hak dan kebebasan
mendasar tanpa diskriminasikan. Hak tersebut termasuk hak milik, akses
gratis ke pengadilan, akses terhadap pekerjaan, perumahan setidaknya
seperti yang diberikan kepada orang asing, dan pendidikan dasar dan
bantuan publik setara dengan apa yang warga negara dapatkan
Convention Relating to the Stateless Persons, berdasar pada asas
pokok yaitu tidak seorangpun yang tidak berkewarganegaraan dapat
diperlakukan lebih buruk dari orang asing maupun yang berkewarganaan
29
lain. Hak lain yang dijamin dalam konvensi ini dan tidak diatur dalam
konvensi manapun adalah hak akan meminta bantuan administrasi
terhadap orang-orang tanpa kewarganegaraan, hak akan identitas diri, dan
dokumen perjalanan dan mengecualikan orang-orang yang tidak memiliki
kewarganegaraan yang btidak memiliki kewarganegaraan yang tidak
memiliki kewarganegaraan ini dari persyaratan-persyaratan timbal balik.
2. Convention on the reduction of Statelessness
Ditetapkan pada tanggal 30 Agustus 1961 oleh Conference of
Plenipotentiaries, melali Resolusi Majelis Umum 896 (IX). Mulai berlaku
pada 13 Desember 1975. Konvensi 1961 menguraikan tentang mekanisme
untuk mencegah dan mengurangi keadaan tanpa kewarganegaraan Pasal 1
sampai Pasal 4 mengatur tentang perlindungan terhadap keadaanm tanpa
kewarganegaraan untuk anak-anak. Negara harus memberikan akses
terhadap kewarganegaraan bagi anak yang kemungkinan tidak
berkewarganegaraan jika anak tersebut lahir di negaranya atau lahir di luar
negeri tetapi kembali ke negaranya sendiri, Pasal 5 sampai Pasal 7
mengatur tentang perlindungan kepemilikan kewarganegaraan atau
jaminan memperoleh kewarganegaraan lain sebelum pengambilan
kewarganegaraan seseorang, Pasal 8 dan Pasal 9 mengatur tentang
penghilangan kewarganegaraan kecuali jika orang tersebut
mendapatkannya dengan cara yang tidak sah, Pasal 10 memberikan
jaminan terhadap penolakan tanpa kewarganegaraan dalam kasus transfer
keputusan kewarganegaraan, termasuk juga pemberitahuaan yang
memadai dan hak untuk banding.
3. International Convenant on Civil dan Political Rights
Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 220 A (XXI) 16
Desember 1966 dan mulai berlaku pada 23 Maret 1976. Dalam pasal 24
ayat 2 International Convenant on Civil an Political Rights menyatakan
bahwa “every child shall be registered immediately after birth and shall
have a name”
Sedangkan dalam Pasal 24 ayat 3 menyatakan bahwa “every child has
the right to acquire a nationally”. Ketentuan ini bertujuan mencegah anak
dari ketiadaan perlindungan negara, karena anak tersebut tidak memiliki
kewarganegaraan. Ketentuan ini tidak mengharuskan suatu negara untuk
memberikan kewarganegaraannya untuk masing-masing anak yang lahir di
wilayah negara tersebut. Namun, negara diminta untuk melakukan
tindakan yang tepat, baik secara internal maupun bekerjasama dengan
negara lain untuk memastikan setiap anak memiliki kewarganegaraan
ketika ia dilahirkan. Dalam hali ini tidak ada diskriminasi sehubungan
dengan akuisisi kewarganegaraan dalam hukum nasional negara tersebut
baik untuk anak sah, anak yang lahir diluar nikah, anak yang lahir dari
orangtua yang tidak memiliki kewarganegaraan, maupun anak yang
didasarkan oleh status kewarganegaraan salah satu atau kedua orangtua30
30Office of the United Nations high Commisioner for Human Rights “General comment
4. Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination
against Women
Ditetapkan Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1979 dan
mulai beraku pada tanggal 3 September 1981. Pasal 9 Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women berisi
ketentuan untuk memberikan hak wanita yang sama seperti hak yang
dimiliki oleh laki-laki yaitu untuk memperoleh dan merubah
kewarganegaraan mereka dan untuk memberikan kewarganegaraan bagi
anak-anak mereka, dimana dengan ketentuan tersebut, seorang dapat
terhindar dari keadaan tanpa kewarganegaraan karena seorang wanita
berhak memberikan kewarganegaraannya untuk anak-anaknya.
5. Convention on the Nationally of Married Women.
Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 1040 (XI) 29 Januari
1957 dan mulai berlaku pada tanggal 11 Agustus 1958. Convention on The
Nationally of Married Women melindungi kewarganegaraan wanita dalam
hal kehilangan dan akuisisi kewarganegaraan oleh suaminya. Latar
belakang Konvensi ini adalah karena status hukum wanita yang dikaitkan
dengan pernikahan, hal ini membuat wanita bergantung pada
kewarganegaraan suami mereka daripada wanita sebagai individu yang
berdiri sendiri,dengan adanya konvensi ini, wanita tidak berhak lagi untuk
mengikuti kewarganegaraan suaminya karena alasan pernikahan dimana
dalam konvensi ini telah diatur wanita berhak untuk mempertahankan
C. TANGGUNGJAWAB NEGARA TERHADAP WARGANEGARA
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Komunitas hukum internasional saat ini dikelilingi dengan pembicaraan
tentang pertanggungjawaban. Negara-negara, organisasi-organisasi internasional
dan organisasi-organisasi non-pemerintah membicarakan tentang pentingnya
membuat individu-individu bertanggungjawab atas tindakan-tindakan yang
dilakukan atas nama jabatan yang melanggar hak-hak asasi manusia yang paling
dijungjung tinggi.31
Dalam Hukum Internasional, bahasan tentang hak dan kewajiban dasar
(fundamental) negara telah berlangsung sangat lama,dan bahkan sebagian besar
muatan dalam hukum Internasional mengatur tentang hak dan kewajiban negara
terhadap warganega. Schwarzenberger menyatakan hak dan kewajiban adalah
dasar atau fundamental apabila memenuhi 3 (tiga) syarat berikut32
1. Hak dan Kewajiban tersebut harus benar-benar memiliki arti
yang penting dalam hubungan Internasional
2. Hak dan Kewajiban tersebut mengalahkan hal-hal (isu) lainnya
3. Hak dan Kewajiban tersebt membentuk atau menjadi bagian
penting dari sistem yang diketahui atau yang ada sehingga
apabila diabaikan maka akan berakibat pada hilangnya
karekteristik hukum Internasional.
31
Steven R. ratner dan Jason S. abrams, Melampaui warisan Nuremberg,
pertanggungjawaban untuk kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional,
Jakarta, ELSAM, 2008, hlm. 3 32
Pegangan untuk ruang lingkup terhadap apa yang dimaksud dengan
hak-hak dan kewajiban dasar tersebut adalah batasan seperti yang dinyatakan
L.Oppenheim. Oppenheim menyatakan bahwa hak-hak dan kewajiban negara
adalah hak dan kewajiban yang biasa dinikmati oleh negara-negara.33
Adapun prinsip-prinsip mengenai hak dan kewajiban negara seperti
temuat dalam rancangan Deklarasi ILC 1949 dapat digunakan sebagai pedoman.
Adapun hak- hak dan kewajiban tersebut adalah34 :
1. Hak-hak Negara
a) Hak atas kemerdekaan ( pasal 1 )
b) Hak untuk melaksanakan juridikasi terhadap wilayah, orang
dan benda yang berada didalam wilayahnya
c) Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama
dengan negara-negara lain
d) Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif
2. Kewajiban Negara
a) Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap
masalah-masalah yang terjadi di negara lain
b) Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di
negara lain
c) Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada
di wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia
33
S.Tasrif, Hukum Internasional tentang pengakuan dalam teori dan praktek, Bandung, abardin, 1987, hlm. 15
34
d) Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak
membahayakan perdamaiaan dan keamanan Internasional
e) Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai
f) Kewajiban untuk tidak membantu untuk menggunakan
kekuatan atau ancaman senjata
g) Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang
diperoleh melalui cara-cara kekerasan
h) Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional
dengan itikad baik
i) Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan
negara-negara lain sesuai dengan hukum Internasional
Pada dasarnya, ada dua macam teori pertanggungjawaban negara yaitu
sebagai berikut
1. Teori risiko (risk theory)
Kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute
libility atau strict liability) atau tanggung jawab mutlak
(objective responbility). Yaitu bahwa suatu negara mutlak
bertanggung jawab atas kegiatan yang menimbulkan akibat yang
sangat membahayakan (Human affects of untra-hazardous
2. Teori kesalahan (fault theory)
Melahirkan prinsip tanggungjawab subjektif (subjective
responbility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability
based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas
perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan dengan
adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.
Menurut Profesor Higgins, hukum tentang tanggung jawab negara adalah
hukum yang mengatur akuntanbilitas (accountability) terhadap pelanggaran
hukum internasiona35 Jika suatu negara melanggar kewajiban Internasional,negara
tersebut bertanggung jawab untuk pelanggaran yang dilakukannya. Menurutnya
kata accountability mempunyai dua pengertian yaitu Pertama, Negara memiliki
keinginan untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan mental (mental
capacity) untuk menyadari hal-hal yang akan dilakunannya. Kedua
Tanggungjawab (liability) untuk tindakan negara yang melanggar hukum
Internasional (International wrongful behaviour) dan tanggung jawab tersebut
harus dilaksanakannya.
Menurut Shaw, karakteristik penting adanya tanggung jawab ( negara)
bergantung pada faktor berikut :
35
Dedi Supriyadi,M.Ag, Hukum Internasional (dari konsepsi sampai implikasi),
1. Adanya kewajiban Hukum Internasional yang berlaku antara dua
negara tertentu
2. Adanya perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum
internasional yang melahirkan tanggung jawab negara
3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang
melanggar hukum atau kelalaian.
Secara garis besar, tanggung jawab negara dapat dibagi menjadi sebagai
beriikut :
1. Negara beserta komponennya dan organ-organ yang dimilikinya
memiliki tanggung jawab untuk menghormati,menegakkan dan
memajukan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Negara
tidak diperkenankan mencampuri ataupun menghalang-halangi segala
upaya yang dilakukan oleh warganegaranya untuk memenuhi hak
mereka. Intervensi hanya diperbolehkan dalam hal mendorong
masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka
2. Negara berkewajiban untuk mengeluarkan segala peraturan
perundang-undangan dan instrument lainnya yang menjamin
terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi seluruh
warganegaranya tidak hanya menguntungkan pihak ataupun kelompok
tertentu
3. Negara harus berperan aktif dalam mengupayakan pemenuhan hak
megurangi hak-hak warganegara tertentu. Dan harus dipastikan bahwa
setiap warganegara memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk
menikmati hak ekonomi, sosial dan budayanya36
Pada dasarnya, suatu negara dapat bertanggung jawab apabila suatu
perbuatan atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan
pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu
perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya.
Tanggung jawab Negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum
internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hakantar
negara37
Menurut hukum Internasional pertanggungjawaban Negara timbul dalam
hal suatu Negara timbul dalam hal suatu negara merugikan negara lain.
Pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan
yang melanggar hukum Internasional, perbuatan suatu negara yang merugikan
negara lain tetapi tidak melanggar hukum internasional, tidak menimbulkan
pertanggungjawaban negara. Misalnya perbuatan negara yang menolak masuknya
orang asing kedalam wilayahnya, tidak menimbulkan pertanggungjawaban
negara. Hal ini disebabkan, negara menurut hukum internasional berhak menolak
atau menerima orang asing ke dalam wilayahnya38
36
Hari Mardiansyah, Tanggung jawab Negara kepada warganegara, diakses dari http://hari-mardiansyah.blogspot.com (diakses pada tanggal 28 februaari 2014, pukul 03:34)
37
Adithiya Diar, Tanggung jawab Negara dalam penegakan hak asasi manusia, diakses dari http://boyyendratmin.blogspot.com (diakses pada tanggal 28 Februari 2014 pada pukul 03:45)
38
Karl Zemanek menjelaskan bahwa yang mendasari munculnya tanggung
jawab negara pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap hak subjektif negara
lain, pelanggaran terhadap norma hukum internasional merupakan Jos Cogens dan
tindakan-tindakan yang berkualifikasi sebagai kejahatan internasional seperti
misalnya, tindakan agresi, perbudakan, genosida, apartheid, kolonialisme, dan
juga pencemaran lapisan atmosfer dan laut secara besar-besaran.39 Sedangkan
perbuatan suatu negara tidak dianggap pelanggaran kewajiban internasional jika
perbuatan itu terjadi sebelum terkaitnya suatu negara oleh suatu kewabiban
internasional. Hal ini sudah merupakan asas internasional yang berlaku umum
yaitu bahwa suatu perbuatan harus dinilai menurut hukum yang berlaku pada saat
perbuatan itu terjadi, bukan ketika terjadinya sengketa akibat perubahan yang bisa
saja terjadi bertahun tahun setelah perbuatan tersebut
Secara historis prinsip tanggung jawab negara memiliki kaitan erat dengan
Hak asasi manusia. HAM yang dewasa ini telah diatur dalam hukum HAM
Internasional pada awalnya dikembangkan melalui prinsip tanggung jawab negara
atas perlakuan orang asing (state responbility for the treatment of aliens)40. Dalam
konteks penegakan HAM, negara juga merupakan pengemban subjek hukum
utama. Negara diberikan kewajiban melalui deklarasi dan konvenan-konvenan
tentang HAM sebagai entitas utama yang bertanggung jawab secara penuh untuk
melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM warganegaranya.
Tanggung jawab negara tersebut dapat terlihat dalam UDHR 1948,
International convenant on civil and political rights (ICCPR) 1966, dan
39
Rhona K.M. Smith, Christina Ranheim, dkk, Hukum hak asasi manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008, hlm. 75
40
International convenant on economic, social and cultural rights (ICESCR) 1966.
Dalam mukaddimah UDHR 1948 menegaskan bahwa :
” As a common standard of achievement for a people and all nations, to
the end that every individual and every organ of society, keeping this
Declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to
promote respect for these rights and freedoms and by progressive
measures, national and international, to secure their universal an effective
recognition and observance, both among the peoples of member states
themselves and among the peoples of territories under their jurisdiction”41
Sebagai satu standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan semua
negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat
dengan senantiasa mengingat pernyataan ini, akan berusaha dengan jalan
mengajar dan mendidik untuk menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan
kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-tindakan progresif yang
bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan
penghormatannya secara universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari
negara-negara anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari daerah-daerah
yang berada dibawah kekuasaan hukum mereka.
41
Dalam mukaddimah ICCPR 1966 menegaskan tentang tanggung jawab
negara dalam penegakan hak-hak sipil dan politik adalah sebagai berikut :
“Recognizing that, in accordance with the Universal Declaration of
Human Rights, the ideal of free human beings enjoying civil and political
freedom and freedom from fear and want can only be achived if conditions
are created whereby everyone may enjoy his civil and political rights, as
well as his economic, social and cultural rights”.42
Mengakui bahwa,berdasarkan piagam-piagam perserikatan
bangsa-bangasa negara-negara wajib untuk memajukan penghormatan universal dan
pentaatan atas hak asasi dan kebebasan manusia.
Sedangkan pada pasal 2 (1) ICCPR 1966 menegaskan bahwa tanggung
jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang
dijanjikan di dalam konvenan ini adalah di pundak negara, khususnya yang
menjadi negara pihak ICCPR. Negara-negara pihak diwajibkan untuk
menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam konvenan ini, yang
diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk
pada yudridikasinya, tanpa diskriminasi seperti apapun.43
42
Mukaddimah ICCPR 1966 43