• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN PERILAKU KONTRAPRODUKTIF PADA PEGAWAI BADAN PERTANAHAN NASIONAL TINGKAT II SAMARINDA Milna Ayu Lestari1 Abstract - Jurnal Milna Ayu Lestari ONLINE (08 15 16 07 53 58)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN PERILAKU KONTRAPRODUKTIF PADA PEGAWAI BADAN PERTANAHAN NASIONAL TINGKAT II SAMARINDA Milna Ayu Lestari1 Abstract - Jurnal Milna Ayu Lestari ONLINE (08 15 16 07 53 58)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

© Copyright 2016

HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN PERILAKU

KONTRAPRODUKTIF PADA PEGAWAI BADAN

PERTANAHAN NASIONAL TINGKAT II SAMARINDA

Milna Ayu Lestari1

Abstract

This study aims to determine the relationship of organizational culture with counterproductive behavior of the employees of the National Land Agency Level II Samarinda. This study consisted of two variables, the dependent variable and independent variables counterproductive behavior of the culture of the organization.

The data collection is done by using counterproductive behavior scale and the scale of the organization's culture. The sample in this study is the Employee Variable and Civil Servants in the National Land Agency Level II Samarinda using total sampling methods that amounted to 80 employee data analysis technique used is the analysis of product moment. These results indicate there is a relationship between organizational culture with counterproductive behavior with counterproductive behavior with a correlation value = 0.679 and p = 0.000

Keywords: organizational culture, counterproductive behavior

Pendahuluan Latar Belakang

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi, Pegawai yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43, 1999).

(2)

Perilaku kerja kontraproduktif yang terjadi di kalangan pegawai pemerintah terkait erat dengan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, disebutkan bahwa pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan dijatuhi hukuman sesuai dengan tingkat dan jenis disiplin.

Tingginya angka perilaku kerja kontraproduktif dikalangan Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai tidak tetap di Indonesia dapat dilihat dari indikasi meningkatnya jumlah kasus yang terkait dengan perilaku kerja kontraproduktif, seperti meningkatnya kasus korupsi dan suap, tingginya tingkat keterlambatan dan ketidakhadiran tanpa izin, seringnya terjadi tindakan arogan di lingkup organisasi pemerintah, dan berbagai bentuk penyimpangan perilaku kerja lainnya. Menurut data statistik yang diungkapkan oleh salah satu surat kabar harian nasional, disebutkan bahwa sampai dengan awal tahun 2013 tercatat sebanyak 474 orang Pegawai Negeri Sipil terjerat berbagai kasus hukum yang sebagian besar disebabkan oleh kasus korupsi dan suap (Suara Karya, 2013).

Salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan perilaku kontraproduktif dilingkungan pegawai organisasi pemerintah adalah kasus KKN (korupsi,kolusi dan nepotisme) yakni proses rekruitmen pegawai baru yang dilakukan pemerintah daerah setempat tidak berdasarkan hasil tes tetapi berdasarkan kedekatan dengan penguasa setempat (Effendi, 2009). Kasus tersebut memperlihatkan bahwa para penanggung jawab penerimaan pegawai pemerintahan secara tidak langsung telah memanfaatkan status jabatan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi. Hal ini termasuk dalam salah satu perilaku penyimpangan politik pada perilaku kontraproduktif.

Perilaku kontraproduktif sebagai suatu gejala sosial, khususnya penyelewengan tanggung jawab perilaku korupsi dipengaruhi berbagai hal seperti adanya kesempatan atau peluang, gaya hidup hedonisme, status sosial, serta budaya. Budaya dalam hal ini merupakan termasuk dalam budaya kerja.

Akan tetapi pada kenyataannya masih terdapat beberapa kasus perilaku kerja yang tidak produktif dari pegawai pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya. Menurut penjabaran Levy & Ritti (2003), perilaku kontraproduktif merupakan perilaku karyawan yang berupa perilaku mencuri atau maling (theft), perilaku sabotase (sabotage), pemerasan (blackmail), penyuapan (bribery) dan perilaku menyerang orang lain (aggression).

Perilaku ini muncul di instansi pemerintahan, dalam konteks perilaku kelompok (group behavior), adanya kesempatan (opportunity), akibat lemahnya kendali kelompok (group control), akibat ketidakpaduan antara kata dan perbuatan (inconsistency), menjadi indikator munculnya perilaku kontraproduktif tersebut yang tidak sesuai norma dan nilai setempat (Aronson dalam Meliala, 1998).

(3)

Anderson, 2005) menguraikan bahwa terdapat empat aspek dalam penyimpangan perilaku kontraproduktif yaitu penyimpangan produksi, penyimpangan properti, penyimpangan politik, dan agresi individu.Penyimpangan perilaku kontraproduktif dilingkungan organisasi pemerintah ini dipicu salah satu penyebab contohnya internalisasi nilai budaya organisasi yang rendah di lingkungan instansi. Budaya organisasi yang baik akan menekan jumlah perilaku kontraproduktif pegawai.

Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Menurut Robbins (2002) budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu, yang memberi pengertian budaya organisasi antara lain sebagai nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan, cara pekerjaan dilakukan di tempat itu, asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi.

Budaya organisasi yang salah dapat menimbulkan perilaku kontraproduktif pada individu karena sebuah lembaga atau organisasi membawa tindakan yang baik untuk para individu yang berkerja didalamnya. Budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi (Schein, 1992).

Kerangka Dasar Teori Perilaku Kontraproduktif

Sacket dan De Vore (dalam Anderson, 2005) mengartikan bahwa perilaku kontraproduktif mencakup segala bentuk perilaku yang dilakukan dengan sengaja oleh anggota organisasi yang bertentangan dengan tujuan organisasi tersebut. Perilaku kontraproduktif ini dapat juga disebut dengan penyimpangan perilaku yang termasuk dalam jenis ini adalah absen/mangkir, penyimpangan produksi, agresi di tempat kerja, pencurian, sabotase dan penipuan (Rotundo dalam Locke, 2009). Menurut Levy dan Ritti (2003), perilaku kontraproduktif merupakan perilaku karyawan yang berupa perilaku mencuri/maling (theft), perilaku sabotase (sabotage), pemerasan (blackmail), penyuapan (bribery) dan perilaku menyerang orang lain (aggression).

Gruys dan Sackett (2003) yang menyatakan bahwa perilaku kerja kontraproduktif merupakan perilaku anggota organisasi yang sengaja dilakukan untuk melanggar aturan atau mengabaikan nilai-nilai yang bertentangan dengan kepentingan sah organisasi.

(4)

Menurut Robbins (2002), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu, yang memberi pengertian budaya organisasi antara lain sebagai nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan, cara pekerjaan dilakukan di tempat itu, asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi

Menurut Siagian (2002), budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut anggota-anggota yang membedakan perusahaan itu terhadap perusahaan lain. Disisi lain, budaya organisasi juga sering diartikan sebagai filosofi dasar yang memberikan arahan bagi karyawan dan konsumen. Menurut Schein (1992), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai Badan Pertanahan Nasional Tingkat II Samarinda. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah metode skala. Metode skala merupakan suatu metode pengumpulan data yang berisikan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Sugiono, 2006). Alat pengukuran atau instrument yang digunakan ada dua macam yaitu skala perilaku kontraproduktif dan skala budaya organisasi.

Skala perilaku kontraproduktif di susun berdasarkan empat aspek yang dikemukakan Robinson dan Bennet (dalam Greenberg & Baron 2003,dan Sacket dan De Vero dalam Anderson, 2005) dengan aspek-aspek yang meliputi penyimpangan properti (property deviance), penyimpangan produksi (production

deviance), penyimpangan politik (political deviance), agresi individu (personal

aggression).

Skala budaya organisasi di susun berdasarkan lima aspek budaya organisasi yang dimiliki Badan Pertanahan Nasional tingkat II samarinda sendiri dengan aspek-aspek yang meliputi informasi akurat dan kepastian hukum dibidang pertanahan, peningkatan kualitas SDM, penertiban administrasi pertanahan, penyelesaian masalah pertanahan yang baik, dan menjalin kerjasama dengan instansi terkait yang berkesinambungan

(5)

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan budaya organisasi dengan perilaku kontraproduktif pada pegawai Badan Pertanahan Nasional Tingkat II Samarinda. Untuk mengetahui hubungan tersebut, maka peneliti menentukan 80 pegawai yang ada dikantor tersebut untuk dijadikan sampel dengan menggunakan perhitungan statistik SPSS. Pada hasil uji normalitas, nilai yang didapatkan pada variabel perilaku kontraproduktif yaitu sebesar 0.068 yang berarti bahwa data tersebut memiliki sebaran yang normal (p < 0,050). Sedangkan pada variabel budaya organisasi memiliki sebaran data normal 0.087 (p < 0.050).

Peneliti melakukan beberapa wawancara pada pegawai yang bersangkutan bahwa perilaku kontraproduktif di pengaruhi budaya organisasi di lingkungan kerja mereka yang memberikan dampak pada hasil kinerja mereka dan pelayanan pada masyarakat.

Teori dan Gruys dan Sackett (2003) tentang faktor yang mempengarui perilaku kontraproduktif yaitu penyalahgunaan waktu dan sumber daya, yaitu membuang-buang waktu dan melakukan bisnis pribadi selama jam kerja, penarikan diri (withdrawal) terdiri dari perilaku yang membatasi jumlah waktu kerja dari yang ditentukan oleh organisasi seperti datang terlambat atau pulang kerja lebih awal.

Para peneliti sebelumnya seperti: Aquino, Lewis, dan Bradfield, (1999) secara konsisten telah menyebutkan bahwa perilaku kerja negatif (misalnya, perilaku kerja kontraproduktif) dinilai dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang dapat merugikan organisasi. Konsekuensi negatif tersebut dapat berupa kerugian ekonomi dan dampak sosial maupun psikologis bagi organisasi maupun karyawan yang ada di dalam organisasi itu sendiri.

Perilaku kerja kontraproduktif yang terjadi di kalangan pegawai pemerintah terkait erat dengan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, disebutkan bahwa pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan dijatuhi hukuman sesuai dengan tingkat dan jenis disiplin. Akan tetapi pada kenyataannya masih terdapat beberapa kasus perilaku kerja yang tidak produktif dari pegawai pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya.

Menurut Schein (1992), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi. Menurut Cushway dan Lodge (2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku.

(6)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara budaya organisasi dan perilaku kontraproduktif pada pegawai Badan Pertanahan Nasional Tingkat II Samarida.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian di atas maka peneliti menyarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Diharapkan pada kantor untuk tetap mempertahankan budaya organisasi yang baik agar kinerja pegawai tetap produktif dan dapat menghindari perilaku kerja yang kontraproduktif.

2. Diharapkan kepada para pegawai untuk semakin meningkatkan produktivitas kinerjanya dan budaya organisasi yang semakin kuat agar perilaku kontraproduktif bisa dihindari.

Daftar Pustaka

Aquino, K., Lewis, M. U., dan Bradfield, M. 1999. Justice constructs, negative affectivity, and employee deviance: A proposed model and empirical test. Journal of Organizational Behavior, 20 (7): 1073-1091.

Cushway, Barry dan Derek Lodge. 2000. Organizational Behaviour And Design. Jakarta: Elex Media Computindo.

Effendi, A. 2009. Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang Efektif. Bandung: Lembaga Adminitrasi Negara.

Gruys, M. L., dan Sackett, P. R. 2003. Investigating the dimensionality of counterproductive work behavior. International Journal of Selection and Assessment, 11 (1): 30-42.

Levy, Steve dan Ritti, R. Richard. 2003. Instructor Manual for The Ropes to Skip and Ropes to Know. Sixth Edition. New York: John Wiley and Sons, Inc. Meliala, Adrianus. 1998. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Mahasiswa

Terhadap Korupsi. Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Robbins, Stephen P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Edisi Kelima, Jakarta: Erlangga.

Schein, Edgar H. 1992. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.

Sondang P, Siagian. 2001. Filsafat Administrasi, Edisi Revisi cetakan kelima, Jakarta, Bumi Aksara.

Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi membutuhkan peran resiliensi.Resiliensi adalah kualitas pribadi yang memungkinkan individu untuk bangkit ketika

But, as with any new technology, we’re going to see a lot of bad interfaces in the beginning as companies learn when to use voice and designers learn how to use it to make things

perusahaan, dimana konsumen adalah semua orang yang membeli dan menerima barang maupun jasa yang dikonsumsi secara pribadi, jadi adanya keterlibatan langsung konsumen dalam

Hasil selengkapnya dari skala perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik dapat dilihat pada lampiran B-1, sedangkan sebaran item yang valid dan gugur dapat dilihat

Pada kedua NACA simmertis dan tak simmetris terlihat sama-sama mengalami Lift ke bawah, tetapi NACA 2410 Lift yang terjadi tidak sebesar NACA 0012 hal tersebut terlihat pada

(1) self knowledge (pemahaman diri), karakteristik yang ditunjukkan adalah menyadari kebutuhannya, menyadari perasaan dan emosinya, menyadari faktor yang membuat dirinya

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan penuruan partisipasi anak usia dini di Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) Al Huda beserta

Figure 2.7: Informal sectors in Brazil, South Africa, Indonesia and OECD High Income countries. Source: Friedrich Schneider, Andreas Buehn and