• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR - Perbedaan Geografi Dialek Jogja Solo: Studi Kasus Isolek Jawa di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR - Perbedaan Geografi Dialek Jogja Solo: Studi Kasus Isolek Jawa di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Terdahulu

Penting disampaikan mengenai beberapa hasil penelitian sejenis yang

pernah dilakukan selama ini. Penelitian atau kajian secara khusus mengenai isolek

Jawa di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten relatif baru dalam khazanah

penelitian linguistik.

1. Tesis Ambar Pujiyanto (Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada,

2007) yang berjudul Variasi Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen,

Kajian Sosiodialektologi. Data penelitian tersebut terkumpul dari tujuh

daerah pengamatan (DP) di Kabupaten Kebumen bagian timur, yakni Desa

Kebumen - Kecamatan Kebumen, Desa Sumberjati - Kecamatan Ambal,

Desa Kutowinangun - Kecamatan Kutowinangun, Desa Kertodesa -

Kecamatan Mirit, Desa Tlogodepok - Kecamatan Mirit, Desa Prembun -

Kecamatan Prembun, dan Desa Padureso - Kecamatan Padureso. Analisis

penelitian tersebut meliputi masalah tingkat tutur dan variasi kebahasaan.

Secara dialektologi hasil penelitian tersebut berupa gambaran mengenai

garis isoglos dan pemberkasan isoglos. Selain itu, belum ada

penggambaran secara jelas mengenai status isolek dalam perbedaan

bahasa, dialek, subdialek, beda wicara atau tanpa beda sama sekali.

2. Penelitian Pemetaan Bahasa di Kabupaten Kebumen: Kajian Dialektologi

yang dilakukan oleh mahasiswa peserta mata kuliah Dialektologi

(2)

commit to user

Sebelas Maret Surakarta, 2007 menghasilkan pemetaan isoglos leksikal

dengan salah satu daerah pengamatan di lingkungan Kecamatan Ambal,

Kabupaten Kebumen. Penelitian sendiri mengambil empat daerah

pengamatan, meliputi Desa Ampih - Kecamatan Bulupesantren, Desa

Karangsari - Kecamatan Kutowinangun, Desa Sidoluhur - Kecamatan

Ambal, dan Desa Pekutan - Kecamatan Mirit.

3. Tesis Ngumarno (Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Surakarta, 2010) yang berjudul Isolek Jawa di Kecamatan Ambal,

Kabupaten Kebumen : Kajian Dialektologis yang mencoba menekankan

adanya isolek Jawa di Kecamatan Ambal yang bervariasi. Data penelitian

tersebut meliputi enam daerah pengamatan, yakni Desa Plempukan

Kembaran, Desa Banjarsari, Desa Sidomulyo, Desa Sumberjati, Desa

Ambarwinangun dan Desa Ambalresmi. Hasil penelitian tersebut berupa

pemberkasan serta penggambaran isoglos leksikal dan fonologis

Kecamatan Ambal.

Hasil penelitian di atas berdasarkan fenomena kebahasaan yang ada membuat

penulis menetapkan masalah isolek di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten

sebagai tema dalam penulisan skripsi ini. Selain kondisi tata letak kota Kecamatan

Wedi dan Kecamatan Ambal yang hampir mirip, alasan lain adalah adanya

keunikan bahasa. Secara fonologis fenomena tersebut tampak unik, serta kondisi

geografis isolek yang berada di wilayah dialek Jogja-Solo ternyata memberikan

variasi kebahasaan tertentu.

Penulis menyebut fenomena kebahasaan tersebut dengan istilah isolek.

(3)

commit to user

kebahasaan yang belum jelas kedudukannya (Mahun, 1995: 11).

B. Kajian Pustaka

Bahasa mempunyai pengaruh yang luar bisa, termasuk dari apa yang

membedakan manusia dari binatang (Bloomfield,1995: 1). Kebersisteman dan

arbitresisme bahasa manusia barangkali merupakan sifat yang memungkinkan

tumbuh dan berkembangnya bahasa itu sendiri, sehingga mencapai jumlah ribuan.

Peran penting kedudukan bahasa dalam kehidupan manusia memberi

alasan tentang pentingnya penelitian atau pengkajian terhadap bahasa. Linguistik

merupakan wahana keilmuan yang menempatkan bahasa atau lughoh sebagai

objeknya. Abdul Chaer (2003: 2) menyatakan bahwa linguistik merupakan telaah

ilmiah mengenai bahasa manusia. Lebih spesifik dinyatakan oleh Verhaar (2006:

5) ”Yang menjadi kekhususan linguistik adalah bahasa sebagai bahasa”, yakni

bahasa dalam pengertiannya sebagai parole – wujud bahasa yang konkret –

diucapkan anggota masyarakat bahasa itu dalam kegiatan sehari-hari.

1. Dialektologi

Istilah dialek merupakan padan kata logat yang lebih umum dibicarakan

dalam ilmu bahasa. Istilah Dialektologi berasal dari bahasa Yunani yakni

Dialektos atau sebagai salah satu ciri “ilmiah”. Istilah ini dipakai di Yunani

setelah muncul perbedaan-perbedaan kecil di dalam bahasa-bahasa yang

dipakai, namun tidak sampai menyebabkan mereka merasa mempunyai

bahasa yang berbeda (Meillet, 1967: 69). Panitia Atlas bahasa-bahasa Eropa

(4)

commit to user

suatu masyarakat untuk membedakan dengan masyarakat yang bertetangga

walaupun erat hubungannya.

Dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda,

memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya

dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama. Dialek tidak

harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Dialektologi mulai

berkembang di beberapa negara dengan menghadirkan tulisan-tulisan

mengenai dialektologi itu sendiri. Ida Zulaeha (2010: 4) menjelaskan

mengenai perkembangan dialektologi di lima negara.

1. Perkembangan Dialektologi di Jerman

Pada masa sebelum tahun 1875 tulisan-tulisan mengenai

dialektologi dikatakan hampir selalu dikaitkan dengan ilmu bahasa

bandingan dan filologi, terutama bahasa-bahasa Indo-Eropa.

Tulisan-tulisan tersebut pada umumnya membandingkan suatu bahasa dialek

tertentu dengan bahasa lain dan hampir selalu diakhiri dengan

kesimpulan atau dugaan bahwa bahasa atau dialek yang mereka telaah

itu berkerabat. Sejak zaman Kebangkitan Kembali (Renaissance), para

ahli bahasa mulai merasa mampu untuk dapat mengikuti dan

mengamati perkembangan bahasa, sementara negara dan politik juga

tidak jarang turut mencampuri masalah kebahasaan. Penilaian bahwa

bahasa yang dipergunakan di kalangan kerajaan merupakan ragam yang

paling baik di antara ragam bahasa yang bersangkutan dan untuk

(5)

commit to user

Pada tahun 1876 seorang filsuf Jerman bernama Gustav Wenker

mengirimkan daftar pertanyaan yang berisi 40 kalimat sederhana

kepada para guru di sekolah-sekolah daerah Renia. Pertanyaan itu

dibuat dalam bahasa sastra Jerman dengan permintaan agar

diterjemahkan ke dalam bahasa dialek setempat. Tujuannya ialah untuk

mengumpulkan bahan-bahan yang bertalian dengan wujud fonetik

bahasa rakyat Renia secara sistematik dan memperlihatkannya di dalam

peta.

Pada perkembangannya dirasakan 40 kalimat tersebut tidak cukup

mewakili kenyataan kebahasaan Jerman, terutama di bidang kosa kata,

maka mulai tahun 1921 di bawah lembaga Marburg diadakan prakarsa

untuk menyusun kamus dialek dengan bantuan daftar pertanyaan yang

dikirimkan kepada para informan di Jerman, termasuk juga orang

Jerman yang berada di luar Jerman.

2. Perkembangan Dialektologi di Perancis

Pada tahun 1880, seorang kelahiran Swiss yang bernama Jules

Louis Gillieron melakukan penelitian lapangan di daerah Vionnaz

(Swiss). Untuk penelitiannya tersebut Gillieron memilih kira-kira 200

patah kata yang menurut hematnya memadai untuk menentukan kaidah

fonetik, di antaranya kata-kata yang umum dan hanya dikenal di daerah

itu saja. Pengumpulan bahan dilakukan di 43 tempat yang berbeda.

Pada perkembangannya muncul seruan Gaston Paris yang

(6)

commit to user

sebuah naskah, sehingga diperoleh pemahaman yang lebih baik

mengenai keadaan kebahasaan tersebut.

Seruan ini kemudian mendasari penelitian geografi dialek Perancis

yang mula-mula dilakukan oleh Gillieron. Berlanjut pada pengumpulan

bahan untuk pembuatan Atlas Linguistique de France (ALF) tahun

1897 oleh Edmont. Edmont merupakan seseorang yang membantu

Gilliearon ketika melakukan penelitian, serta melaksanakannya selama

empat tahun. Hasil penelitian tersebut terdiri dari 35 fascicule yang

terbit dalam waktu delapan tahun.

3. Perkembangan Dialektologi di India

Penelitian bahasa di India dilakukan sekitar tahun 1927 yang

dipimpin oleh Gierson. Penelitian tersebut berhasil mengetahui bahwa

di India terdapat 179 bahasa dan 544 dialek. Penelitian ini juga

menghasilkan sebelas peta bahasa yang mengikuti metode penelitian

bahasa mazhab Perancis. Metode ini lebih berkembang karena peneliti

dapat mengidentifikasi bunyi yang dituturkan oleh informan, sehingga

analisis fonologisnya dapat segera dilakukan.

4. Perkembangan Dialektologi di Amerika

Tahun 1939 Amerika melakukan pemetaan bahasa yang pertama

kali di bawah pimpinan Hans Kurath. Pemetaan bahasa di Amerika

bermula karena para guru tidak tahu dengan pasti pelafalan mana yang

dianggap baku untuk diajarkan kepada para siswa. Para ahli dialektologi

Amerika akhirnya melakukan penelitian geografi dialek. Kurath dalam

(7)

commit to user

pemetaannya. Pada akhirnya Amerika menjadi negara pertama yang

menggunakan strata sosial dengan menggunakan mazhab Perancis

dalam penelitian dialektologi.

5. Perkembangan Dialektologi di Indonesia

Penelitian-penelitian dialek di Indonesia telah banyak dilakukan,

meskipun jumlahnya belum sebanding dengan bahasa daerah di

Indonesia. Tahun 1990 baru 15 buku penelitian mengenai dialektologi

telah diterbitkan dari 54 penelitian yang telah dilakukan. Penelitian

tersebut mencakup bahasa-bahasa di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi

dan Nusa Tenggara.

Dalam bahasa Indo-Eropa, Meillet (1967: 7) mencatat bahwa dialek

tidak dapat ditentukan secara pasti, kecuali ditetapkan berdasarkan sistem

fonologis, morfologis, sintaksis dan leksikal. Sejalan dengan hal itu,

Ayatrohaedi (1978: 3-5) menyatakan bahwa ada lima macam ciri pembeda

dialek.

1. Pembeda Fonetik

Pembeda Fonetik (Guiraud,1970: 12), polimorfisme (Seguy, 1973: 6)

atau alofonik (Dubois dkk, 1973: 21). Perbedaan ini berada di bidang

fonologi dan biasanya pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak

menyadari adanya perbedaaan tersebut.

2. Perbedaan Semantik

Perbedaan Semantik adalah terciptanya kata-kata baru berdasarkan

(8)

commit to user

biasanya juga terjadi pergeseran makna kata itu. Pergeseran tersebut

bertalian dengan dua corak, yaitu :

a. Pemberian nama yang berbeda untuk linambang yang sama di

beberapa tempat yang berbeda seperti turi dan turuy ‘turi’.

Dalam bahasa Semantik pergeseran corak ini pada umumnya

dikenal dengan isitilah sinonim, padan kata atau sama makna.

b. Pemberian nama yang sama untuk hal berbeda di beberapa

tempat yang berbeda. Misalnya calingcing ‘calingcing’,

belimbing dan meri ‘anak itik’ dikenal sebagai homonimi.

3. Perbedaan Onomasiologis

Perbedaaan ini menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan satu

konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda. Misalnya untuk

menghadiri acara pada suatu tempat biasanya disebut kondangan, namun

pada tempat lain disebut juga dengan nama kaondangan atau nyambungan.

4. Perbedaan Semasiologis

Perbedaan ini merupakan kebalikan dari perbedaan Onomasiologis,

yaitu pemberian nama sama untuk beberapa konsep yang berbeda. Misalnya

kata Aceh yang secara arti memiliki banyak makna seperti nama suku

bangsa, nama daaerah, nama kebudayaan, nama bahasa, dan nama jenis

buah rambutan.

5. Perbedaan Morfologis

Perbedaan ini dibatasi oleh adanya sistem tata bahasa yang bersangkutan

(9)

commit to user

Misalnya kata jentik dengan jentikan, namun penambahan sufiks [-an] tidak

mengubah kelas katanya.

2. Variasi Bahasa

Pembicaraan tentang objek kajian dialektologi dan unsur-unsurnya terkait

dengan masalah variasi bahasa. Variasi bahasa adalah seperangkat unsur

linguistis yang mempunyai kemiripan distribusi, maka bahasa-bahasa yang

dipakai oleh penutur atau komunitas multilingual dapat dikatakan sebagai satu

variasi tunggal karena semua unsur lingusitisnya dianggap memiliki kemiripan

distribusi sosial. Oleh karena itu, variasi bahasa dimungkinkan lebih besar

daripada suatu bahasa atau dialek (Wardhaugh, 1998 : 22)

Sekelompok penutur sebagai anggota masyarakat dari daerah tertentu

menimbulkan variasi dalam pemakaian bahasanya. Variasi yang timbul karena

perbedaan asal daerah penuturnya disebut dialek geografis, baik yang sifatnya

regional maupun lokal, sedangkan variasi yang disebabkan oleh perbedaan

khas sosial penuturnya disebut dialek sosial (Suwito, 1988: 28).

Bila variasi bahasa itu dipakai oleh kelompok bahasawan yang hidup

dalam kurun waktu tertentu disebut dialek temporal (Kridalaksana, 2008: 48).

Dalam hal ini isolek Jawa di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten diasumsikan

sebagai dialek geografis karena isolek tersebut mempunyai ciri khas lingual

tertentu yang lekat dengan penuturnya di lingkungan Kecamatan Wedi,

Kabupaten Klaten.

3. Bahasa dan Dialek

Membedakan istilah dialek dan bahasa bukanlah hal yang mudah. Haugen

(10)

commit to user

ambigu. Bahasa dapat dipakai sebagai istilah untuk menyebut suatu aturan

linguistik atau sekelompok aturan yang saling terkait, sedangkan istilah dialek

dapat dipakai untuk menyebut salah satu dari aturan itu, meski

aturan-aturan itu sendiri tidak statis. Setidaknya kedua istilah tersebut

diperbandingkan dengan hubungan ordinatif.

Bahasa merupakan superordinat bagi dialek, sedangkan dialek merupakan

subordinat atau variasi subordinat bagi bahasa (Wardhaugh, 1988: 37). Bahasa

Jawa merupakan superordinat bagi bahasa Jawa dialek Jogja-Solo, dialek

Banyumasan, dialek Surabaya dan sebagainya. Sebaliknya, bahasa Jawa dialek

Jogja-Solo, dialek Banyumasan, dialek Surabaya dan sebagainya merupakan

subordinat bagi bahasa Jawa.

Istilah dialek pada mulanya dipergunakan di Yunani dalam hubungannya

dengan keadaan kebahasaan; bahwa di sana terdapat perbedaan-perbedaan

kecil di dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendukungnya masing-masing,

tetapi mempunyai bahasa yang berbeda. Oleh karena itu, ciri utama dialek

ialah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan (Ayatrohaedi,

1983: 2).

Dialek sebagai bagian dari fakta bahasa dianggap memperlihatkan jenis

penyimpangan dari bahasa standar. Bahasa Jawa dialek Jogja-Solo

memperlihatkan perbedaan antara satu sama lain. Begitu pula isolek bahasa

Jawa di Kecamatan Wedi memperlihatkan adanya perbedaan bahasa dalam

satu wilayah tesebut. Dalam hal ini dialek dimaknai sebagai variasi bahasa

yang memiliki sistem lingual tersendiri, dipakai oleh sekelompok penutur di

(11)

commit to user

lainnya (dalam bahasa yang sama) masih terdapat pemahaman timbal balik

(Kisyani, 2004: 11).

4. Lek dan Isolek

Segala fenomena bahasa yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu dalam

masyarakat bahasa yang menyangkut variasi regional dan sosial disebut lek

(Kridalaksana, 2008: 141).

Dalam pandangan Bailey, setiap penutur bahasa tertentu menggunakan

satu lek. Lek-lek penutur yang satu selalu terkait dengan lek penutur lain.

Penelitian mengenai variasi hubungan antar lek dapat digunakan untuk

mengelompokkan variasi bahasa dan mengetahui betapa bahasa sebagai

sebuah kesatuan yang menyeluruh itu mengalami perubahan (Wardhaugh,

1988: 206).

Isolek adalah istilah yang digunakan secara netral untuk menyebut alat

komunikasi yang dipakai di kalangan penutur suatu paguyuban atau anggota

masyarakat (berupa bunyi tutur), tetapi status alat komunikasi itu belum

ditetapkan sebagai bahasa, dialek, atau subdialek baik dari kriteria yang

menggunakan pendekatan dialektologi maupun pendekatan linguistik

komparatif (Fernandez, 1993: 19).

Bailey dan Bickerton memandang isolek sebagai perilaku tutur individual,

sedangkan sosiolek sebagai perilaku berbahasa kelompok. Setiap individu

menggunakan suatu isolek bahasa tertentu, yaitu kaidah individual berbahasa

dengan orang lain (Wardhaugh, 1993: 183).

Fenomena tuturan para penduduk yang khas di lingkungan Kecamatan

(12)

commit to user

bahasa, dialek, atau subdialek. Oleh karena itu, untuk menyebut fenomena

tersebut digunakan istilah isolek dan isolek tersebut diasumsikan sebagi

bahasa Jawa, maka disebut dengan isolek Jawa.

Isolek Jawa di Kecamatan Wedi (IJW) sangat kenarik karena di samping

secara lingual tampak unik, kondisi geografis isolek itu berada di wilayah

dialek Jogja-Solo (JS) yang tenyata masih memiliki perbedaan antara dialek

Jogja (DJ) dan dialek Solo (DS) itu sendiri. Beradasar latar kondisi geografis

tersebut sangat dimungkinkan adanya keunikan isolek dan penelitian ini

diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan linguistik, khususnya

bidang dialektologi.

5. Pemetaan Bahasa

Peta bahasa dalam dialektologi sangat penting, mengingat objek kajiannya

yang menyangkut perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang disebabkan oleh

faktor geografis. Peran penting itu terkait dengan upaya memvisualisasikan

data lapangan ke dalam banyak peta. Tujuannya agar data tersebut tergambar

dalam perspektif yang bersifat geografis, serta memvisualisaikan

pernyataan-pernyataan umum yang dihasilkan berdasarkan distribusi

perbedaan-perbedaan kebahasaan yang lebih dominan dari wilayah ke wilayah pemetaan

(Mahsun, 1995: 58).

Selanjutnya dikatakan bahwa dalam dialektologi ada dua jenis peta, yakni

peta peragaan dan peta penafsiran. Peta peragaan merupakan peta yang berisi

tabulasi data lapangan mengenai perbedan bidang fonologi, morfologi,

sintaksis, leksikon atu semantik. Baik melalui sistem langsung (memindahkan

(13)

commit to user

(mengganti unsur yang berbeda dengan menggunakan lambang tertentu di

daerah pengamatan bersangkutan), atau sistem petak (tanda petak dengan garis

atau arsiran yang sama untuk daerah pengamatan yang beriannya sama. Untuk

kemudahan, maka penulis menggunakan sistem lambang, yakni mengganti

unsur kebahasan yang berbeda dengan menggunakan lambang tertentu di

daerah pengamatan.

Peta penafsiran merupakan peta yang memuat akumulasi

pernyataan-pernyataan umum tentang distribusi perbedaan-perbedaan unsur linguistik

yang dihasilkan berdasarkan peta peragaan. Baik peta peragaan maupun peta

penafsiran dibuat berdasarkan peta dasar. Dari peta dasar itu, kemudian dibuat

peta yang hanya memuat daerah penelitian. Selanjutnya dari peta itulah akan

dibuat peta peragaan maupun peta penafsiran.

6. Isoglos

Untuk menganalisis gejala kebahasaan, para ahli dialektologi bisa

menggunakan alat yang disebut isoglos. Isoglos bermakna sama bahasa

(iso+glos), demikian pendapat Annuar Ayyub (1990: 131). Istilah ini

dikenalkan oleh J.G.A Bielenstein sebagai bandingan istilah isoterm dalam

Metrologi. Isoterm adalah garis dalam peta cuaca yang menghubungkan

tempat-tempat dengan temperatur rata-rata sama dalam periode tertentu (Tim,

1994: 389). Isoglos dimaknai sebagai sebuah garis imajiner sebagai sebuah

peta bahasa. Garis imajiner itu menyatukan tiap titik daerah pengamatan yang

menampilkan gejala kebahasaan yang serupa (Lauder, 1993: 87).

Selain istilah isoglos dikenal pula istilah heteroglos. Heteroglos adalah

(14)

commit to user

munculnya setiap gejala bahasa berdasarkan wujud atau sistem yang berbeda

(Kurath dalam Lauder, 1993: 88). Baik isoglos maupun heteroglos dianggap

sama, hanya pembuatan dan fungsinya yang berbeda. Garis isoglos berfungsi

memisahkan daerah-daerah yang serupa, sedangkan garis heteroglos berfungsi

memisahkan daerah-daerah pengamatan yang menampilkan gejala kebahasaan

berbeda. Selanjutnya dalam penelitian ini digunakan istilah isoglos sebagai

peta kebahasaan.

Adapun cara membubuhkan isoglos di atas peta bahasa (peta dasar)

adalah sebagai berikut:

a. Memberikan simbol-simbol tertentu pada tiap-tiap berian. Berian yang

mempunyai gejala kebahasaan yang serupa diberi simbol sama.

b. Menyatukan berian yang mempunyai gejala kebahasaan serupa, garis

dapat melengkung atau lurus dan digambar di antara daerah

pengamatan. Pada daerah pengamatan mempunyai dua berian atau

lebih yang salah satunya sama dengan daerah pengamatan lainnya.

Garis isoglos ditorehkan melintasi daerah pengamatan tersebut.

c. Mendahulukan berian yang daerah sebarannya paling luas.

d. Dalam setiap isoglos harus diusahakan torehan garis permulaan dari

posisi yang sama, sehingga pada pembuatan peta berkas isoglos

garis-garis itu akan menumpuk dalam peta dengan ujung yang berbeda.

Penorehan garis isoglos dimulai dari sisi kiri peta menuju ke arah

kanan.

Setelah semua peta dibubuhi garis isoglos, berikutnya adalah membuat

(15)

commit to user

a. Mengelompokkan peta-peta bahasa berdasarkan pola isoglosnya,

jumlah etimon, medan makna atau secara acak.

b. Menyalin semua isoglos pada sebuah peta dasar.

c. Menghimpun semua isoglos dari setiap peta menjadi sebuah berkas

isoglos (Lauder, 1993: 88).

Kriteria penerapan metode berkas isoglos dalam pemilihan isolek menjadi

dialek atau subdialek, oleh Mahsun (1995: 130) disusun dengan

mempertimbangkan.

a. Presentase penentuan isolek sebagai dialek atau subdialek dalam

dialektometri.

b. Kuantitas dan kualitas isoglos-isoglos yang menyatukan

daerah-daerah pengamatan itu ke dalam daerah-daerah dialek atau subdialek

tertentu.

c. Kuantitas dan kualitas isoglos-isoglos yang membedakan daerah

dialek atau subdialek yang satu dengan lainnya.

Peta-peta bahasa secara umum akan memperlihatkan adanya gejala

pembagian daerah kebahasaan. Cara untuk mendeteksi adanya gejala

pembagian daerah kebahasaan, yaitu dengan mengelompokkan peta-peta

bahasa yang mempunyai pola penyebaran berian yang mirip. Pola penyebaran

berian dapat ditelusuri melalui arah gerak isoglos yang berulang-ulang ditemui

di sejumlah peta bahasa, sehingga memperlihatkan pola tertentu (Lauder,

1993: 90).

Banyak sedikitnya garis yang melintas akan menunjukkan kualitas

(16)

commit to user

sedikitnya perbedaan, sedangkan makin tebalnya garis menunjukkan makin

banyakknya perbedaan.

7. Deskripsi Perbedaan Linguistik

Deskripsi perbedan unsur-unsur kebahasaan mencakup semua bidang yang

termasuk dalam kajian linguistik, yaitu fonologis, morfologis, sintaksis,

leksikon dan semantik. Topik pembahasan mengenai penelitian ini hanya

terbatas pada segi leksikon dan fonologisnya saja, sehingga simpulan yang

diambil hanya sebatas pada dua bidang tersebut.

Suatu perbedaan disebut sebagai perbedaan dalam bidang leksikon apabila

tidak berasal dari satu etimon prabahasa yang sama. Semua perbedaan bidang

leksikon selalu berupa variasi (Mahsun, 1985: 21).

Perbedaan fonologis menyangkut adanya perbedaan fonetik. Perbedaan

fonologi perlu dibedakan dengan lekiskon, mengingat dalam penentuan isolek

sebagai bahasa, dialek atau subdialek dengan menggunakan dialektometri

pada tataran leksikon, maka perbedaan-perbedaan fonologis yang muncul

dianggap tidak ada (Mahsun, 1985: 24).

Leksem-leksem merupakan realisasi dari suatu makna yang terdapat di

antara daerah-daerah pengamatan ditetapkan memiliki perbedaan fonologis

apabila:

1. Perbedaan pada leksem-leksem yang menyatakan makna sama muncul

secara teratur atau merupakan korespodensi.

2. Perbedaan di antara leksem-leksem yang menyatakan makna sama

berupa variasi dan perbedaan terjadi pada satu atau dua bunyi yang

(17)

commit to user

Berdasarkan hal tersebut, ada dua macam perubahan bunyi berupa

korespodensi dan variasi. Perubahan bunyi yang muncul secara teratur disebut

korespondensi, sedangkan perubahan bunyi yang muncul secara sporadis

disebut variasi (Mahsun, 1985: 23).

C. Kerangka Pikir

Masyarakat penutur isolek Jawa di lingkungan Kecamatan Wedi adalah

masyarakat tutur yang khas dialektal Jogja-Solo. Masyarakat khas dialektal di sini

adalah masyarakat penutur isolek Jawa di Kecamatan Wedi yang dikenal memiliki

dialek khas Jogja-Solo. Pada kenyataannya tururan masyarakat sekitar masih

memiliki banyak perbedaan dalam hal isolek tiap-tiap daerah. Ada tuturan yang

dianggap khas dialek Jogja dan ada tuturan khas dialek Solo didasarkan pada letak

geografisnya.

Karakteristik tuturan isolek Jawa di Kecamatan Wedi dipengaruhi oleh

faktor sosial, politik, budaya dan geografis masyarakat penuturnya. Isolek sebagai

wujud variasi bahasa tidak terlepas dari hubungannya dengan dialek Jogja-Solo.

Variasi tersebut dimungkinkan karena posisi geografis masing-masing yang masih

dalam satu lingkungan teritorial. Wilayah Kecamatan Wedi bagian timur banyak

diidentikkan dengan adanya pengaruh variasi dialek Solo, sedangkan untuk

wilayah barat selalu diidentikkan dengan variasi dialek Jogjakrata.

Keberadaan isolek Jawa Kecamatan Wedi perlu dipertegas dengan kajian

dialektologis. Identifikasi isolek Jawa Kecamatan Wedi diperlukan untuk

memastikan keberadaan status isolek tersebut apakah sebagai dialek tersendiri,

(18)

commit to user

perbedaan wicara saja. Selain identifikasi, diperlukan pula pemetaan isolek Jawa

Kecamatan Wedi secara visual untuk memberikan gambaran hubungan tuturan

dari kelompok penutur yang ada. Selanjutnya, juga diperlukan deskripsi bentuk

lingusitis isolek Jawa Kecamatan Wedi untuk menunjukkan apakah bentuk

tersebut mempertahankan bahasa Jawa Kuna atau justru mempunyai kekhasan

tertentu.

Jadi penelitian ini secara garis besar memiliki sistematika seperti berikut :

1. Penentuan wilayah penelitian sebagai objek penelitian, yakni Kecamatan

Wedi, Kabupaten Klaten sebagai wujud variasi dialek Jogja-Solo

2. Identifikasi karakteristik linguistis kebahasaan isolek Jawa di Kecamatan

Wedi, Kabupaten Klaten.

3. Penggambaran garis isoglos sebagai wujud pemetaan bahasa isolek Jawa

di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten.

Untuk kerangka pikir selanjutnya dapat digambarkan seperti diagram di

(19)

30

Bagan 1. Kerangka Pikir Penelitian

Konteks Sosial, Poltik, Budaya dan

Geografis Masyarakat Penutur

Isolek Jawa di Kecamatan Wedi

Bahasa Jawa Dialek Jogja-Solo

Isolek Jawa di Kecamatan Wedi

Karakteristik Tuturan Isolek Jawa

di Kecamatan Wedi

Identifikasi Isolek Jawa di Kecamatan

Wedi

Pemetaan Isolek Jawa di Kecamatan

Wedi

Deskripsi Bentuk Lingusitis Isolek Jawa di Kecamatan

Wedi

Status dan Keberadaan

Referensi

Dokumen terkait

JICT yang dibuat financial advisor (DB) diarahkan untuk mendukung opsi perpanjangan ( extension ) dengan mitra lama (HPH) tanpa mempertimbangkan opsi pengelolaan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian getah buah pepaya (Carica papaya L.) pada mencit betina sebelum dikawinkan tidak memberikan pengaruh yang

Anak 11 tahun dibawa gurunya dengan keluhan gatal pada kulit kepala dan kulit belakang telinga sejak 3 bulan yang lalub. PF: putih-putih menempel di

pembenaran ini merupakan konsep- konsep rasionalisasi ketika sebuah lembaga legitimasi membuat aturan- aturan profan yang harus dijalani oleh pengikut baik secara

Dapat dikatakan mengalami peningkatan karena telah memenuhi target yang telah ditentukan oleh Dinas Pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Berdasarkan pola hidupnya, laba-laba terbagi menjadi laba-laba pembuat jaring dan laba-laba pemburu (tidak membuat jaring). Tujuan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan teknik mind map dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran PKn materi sistem pemerintahan

5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kombinasi ekstrak bawang putih Allium sativum L, temu mangga Curcuma mangga Val dan