• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSISI DEMOKRASI PADA ZAMAN ORDE BARU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TRANSISI DEMOKRASI PADA ZAMAN ORDE BARU"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSISI DEMOKRASI PADA ZAMAN ORDE BARU MENUJU

ZAMAN REFORMASI

Jika berbicara mengenai demokrasi pada era reformasi pasti tidak lepas dari pembicaraan tentang demokrasi sebelumnya, yaitu demokrasi pada era orde baru. Hal ini dikarenakan terjadi perbedaan yang sangat signifikan dilihat dari sisi sistem pemerintahan, partisipasi masyarakat pada saat itu, hingga makna dasar dari demokrasi itu sendiri yang menganut asas pemerintahan oleh rakyat, untuk rakyat dan dari rakyat. Pada era orde baru justru pemimpin lebih bersifat otoriter dan penguasa-penguasa yang ada pun hanya berasal dari para golongan-golongan elit tertentu. Sehingga tidak mencerminkan apa yang terkandung dari asas demokrasi itu sendiri.

Orde baru lahir laksana raksasa kuat yang oleh Thomas Hobbes disebut sebagai leviathan, yang siap memangsa siapa saja yang menentang dan mencoba menggoyang kekuasaannya1. Soeharto berkuasa selama 32 tahun, dia tidak pernah bergeming dari kursi tertinggi di negeri ini. Meskipun pada pidato HUT ke 33 Golkar, Soeharto sempat mengungkapkan keinginannya untuk mundur dari dari tampuk kekuasaan tertinggi di negeri ini, namun pada kenyataannya Soeharto juga tidak turun sampai tuntutan reformasi 1998 yang memaksanya untuk mengundurkan diri.

Reformasi 1998 merupakan suatu momen sejarah yang penting dalam perjalanan Republik Indonesia. Banyak laporan jurnalistik dan kajian akademik dari berbagai aspek dan sudut pandang tentang reformasi dan perubahan-perubahan setelahnya. Gerakan reformasi yang berhasil menurunkan presiden Seoharto pada Mei 1998 mengubah secara kualitatif kesadaran kolektif rakyat Indonesia, sehingga mereka dapat dan berani berharap kembali bahwa, akhirnya negeri ini akan diselenggarakan sebagimana selayaknya suatu negeri yang beradab. Suatu negeri dimana kedaulatan berada ditangan rakyat; dimana wakil rakyat benar-benar merupakan perpanjangan lidah rakyat; dimana pelaksanaan negara berjalan dengan transparan, adil dan akuntable; dimana militer tidak berada diatas hukum; dimana lapangan pekerjaan terbuka; dimana pendidikan dan layanan kesehatan yang baik tersedia dan terjangkau, dan banyak lagi harapan-harapan lainnya. Harapan-harapan tersebut mengkristal dalam satu kata yang sangat

1 Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

(2)

padat muatan moral dan emosinya yaitu, reformasi !. Kata ini menangkap keinginan yang kuat dari rakyat Indonesia untuk menjadi warga negara yang merdeka dari negara Indonesia. Gaung reformasi ini sudah menggema ke seluruh pelosok daerah di Indonesia dan lapisan masyarakat di negeri ini2.

Goyahnya kekuasaan Orde Baru bermula dari krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1997. Inflasi terhadap rupiah yang terlalu tinggi terhadap rupiah membuat orang-orang kelas menengah kebawah semakin menderita. Hanya dalam beberapa bulan, krisis ekonomi telah memporakporandahkan perekonomian di Indonesia. Pemerintah pun terkesan tidak mampu untuk mengatasi krisis ekonomi tersebut. Karena sangat menderita dengan krisis ekonomi tersebut, maka mulai terjadi penurunan legitimasi kekuasaan pada pemerintahan Orde Baru. Hal ini ditandai dengan terjadinya aksi-aksi di daerah untuk menurunkan harga bahan pokok yang dinilai sudah melambung terlalu tinggi. Sehingga sangat sulit bagi masyarakat secara umum untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Orde Baru sepertinya telah kehilangan strategi untuk mengatasi krisis ekonomi. Hal ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin menurun. Masyarakat melakukan aksi-aksi untuk menuntut perbaikan pada sektor ekonomi. Hal ini membuat pemerintahan Soeharto mendapat goncangan dari luar. Kondisi ini diperparah karena Orde Baru juga diguncang dari dalam dimana beberapa menteri mulai menunjukan sikap ketidakberpihakan terhdapa pemerintahan. Beberapa petinggi partai Golkar yang selama ini loyal terhadap Soeharto juga mulai ragu atas kesanggupan pemerintahan Orde Baru mengatasi krisis3.

Akhirnya beberapa politisi seperti Amin Rias, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid dan lain-lain secara terang-terangan terus mengkampanyekan wacana tentang suksesi atau pergantian kepemimpinan nasional termasuk presiden, menteri dan anggota DPR/MPR4. Isu suksesi tersebut terus dikampanyekan dalam diskusi-diskusi, seminar dan orasi bebas. Sebenarnya isu suksesi tersebut sudah pernah dilakukan sejak tahun 1989, namun dengan segala macam bentuk intervensi pemerintah orde baru, isu tersebut selalu dimentahkan bahkan menjadi

2 Abdul Malik Gisman dan Syarif Hidayat, ed., Reformasi Setengah Matang (Jakarta: Hikmah PT. Mizan

Publika, 2010), h. 22

3 Tatang Sinaga, “Transisi Politik Menuju Demokrasi” diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 dari

http://tatangsinaga21.blogspot.com/2012/10/transisi-politik-menuju-demokrasi.html

4 Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, h. 117 mengutip Muhammad Najib, dkk (tim penyusun),

(3)

sesuatu yang dilarang dan dianggap haram untuk diperbicangkan. Kemudian setelah pemilihan umum 1997, Soeharto kembali diangkat menjadi presiden untuk ketujuh kalinya.

Selanjutnya beberapa tahun menjelang keruntuhannya, pemerintah orde baru mengalami krisis. Kebijakan-kebijakan yang diambil pada saat itu dianggap tidak mampu memberikan fundamental yang kuat bagi pembangunan ekomoni rakyat. Pada proses dan hasil akhirnya pembangunan hanya diperuntukan secara maksimal oleh sekelompok orang tertentu dan segelintir otang tertentu sehingga ketika badai krisis ekomomi menerpa Indonesia rakyat tidak dapat menghadapinya dengan kokoh. Kemudian ada beberapa persoalan yang muncul dikarenakan terlalu lamanya pemerintahan orde baru berkuasa. Diantaranya adalah pertama,

walaupun pertumbuhan ekomoni relative baik tetapi masih banyak rakyat Indonesia mengalami kemiskinan dan pengangguran, dimana angka kemiskinan masih sangat tinggi di komunitas urban dan rural di seluruh pelosok Indonesia begitu juga dengan tingkat pengangguran yang masih tinggi. Kedua, korupsi yang merajalela di seluruh sektor public maupun private dan budaya nepotisme dan kolusi yang sudah mendarah daging. Ketiga, demokratisasi yang masih jauh dari harapan, budaya kritis dan kebebasan berekspresi semakin ditekan yang menjadikan rakyat Indonesia semakin bodoh dan buta akan hak-hak politiknya5.

Pada bulan Mei 1998 mulai memuncak kekecewaan-kekecewaan rakyat Indonesia kepada pemerintah yang berkuasa. Akhirnya terjadi aksi masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa mulai terjadi dimana-mana. Mereka mengambil langkah untuk menjatuhkan rezim Soeharto dengan mengadakan aksi besar-besaran serta menduduki gedung DRR/MPR. Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut mundur penguasa Orde Baru yaitu Soeharto karena dinilai telah gagal dalam mengatasi masalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Namun pergolakan yang dilakukan juga tidak berjalan dengan mulus. Sadar kekuasaannya mulai di guncang, Soeharto kemudian memerintahkan militer untuk menghadang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat tersebut. Bahkan militer tidak segan-segan untuk melakukan tindakan represif yang berujung pada kematian di kalangan demonstran6. Aksi besar-besaran tersebut membawa hasil yang baik yaitu pengunduran diri Soeharto sebagai presiden Indonesia.

5 Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia, h. 118 mengutip Muhammad Najib, dkk (tim penyusun),

Suara Amin Rais Suara Rakyat, (Jakarta: Gema Insani Press , 1998), h. 27-28

6 Tatang Sinaga, “Transisi Politik Menuju Demokrasi” diaksas pada tanggal 20 Oktober 2013 dari

(4)

Setelah turunnya Soeharto dari tampuk jabatannya selama ini secara otomatis naiklah B.J. Habibie sebagai presiden penggantinya, walaupun kenaikan B.J. Habibie sebagai presiden dianggap sebagai inskontitusional, karena masa itu dianggap sebagai keadaan darurat, sehingga hukum formal tidak berlaku. Dikarenakan hal itu sebagian orang meminta untuk dibentuk suatu formatur, tetapi tidak terlaksana. Dengan naiknya B.J. Habibie sebagai presiden membuat nuansa baru dalam demokrasi di Indonesia. Dengan dimulainya masa transisi menuju demokrasi di Indonesia maka bereforialah para praktisi politik untuk berpartisipasi dalam perpolitikan Indonesia dengan membentuk partai-partai politik baru dengan beragam idealisme srta ideologi baik yang berdasarkan Ras, kelompok kepentingan ataupun agama tertentu7.

Munculnya partai-partai politik menjadi salah satu hal juga yang menandai adanya arah perubahan peta kekuatan politik di Indonesia. Yang selama ini selalu di dominasi oleh Militer, Golkar, dan Birokrasi. Selain itu arah perubahan peta kekuatan politik di Indonesia ditandai dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan pemerintahan, diantaranya referendum Timor-Timur, pembebasan beberapa tahanan politik, pembebasan pers. Kebijakan mengenai dwi fungsi ABRI pun dihapuskan dan ABRI fungsinya dikembalikan pada posisi awalnya yaitu sebagai alat pertahanan dan keamanan bangsa dari ancaman luar.

Untuk menentukan rezim penguasa pada masa selanjutnya, maka pada tahun 1999 diselenggarakanlah pemilihan umum. Pemilihan umum kali ini tidak hanya diikuti oleh tiga kontestan yang menjadi peserta dalam pemilu pada masa Orde baru melainkan berkembang menjadi 48 peserta partai politik. Banyaknya jumlah parpol yang berpartisipasi dalam pemilu juga diakibatkan karena pasca Orde baru pemerintah memberi kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sebagai manifestasi dari kebebasan berserikat yang juga dijunjung oleh paham demokrasi. Pemilu ini kemudian menjadikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang dalam pemilu tersebut. Sedangkan dalam pemilihan presiden yang dilakukan anggota DPR/MPR Abdurahman Wahid berhasil keluar sebagai peraih suara terbanyak disusul oleh Megawati Soekarno putri. Dengan hasil ini maka Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru.

(5)

Pasca Mei 1998 kata “reformasi” telah menjadi bagian dari kosakata bahasa Indonesia dan memiliki makna simbolik yang khas. Sebagaimana dalam makna-makna budaya lainnya, kata reformasi lahir dua kali. Pertama, ditataran kolektif sebagai makna bersama atau common meaning yang dimengerti dan dihayati bersama. Sedangkan yang kedua di tataran kognitif sehingga kata ini hadir dan tersedia dalam pikiran dan setiap saat dapat mewarnai sikap dan perilaku individu8. Bahkan jika melihat frekuensi, sebaran dan intensitas pemakaiannya reformasi telah menjadi semacam master template melalui mana masalah politik, kenegaraan dan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Kata reformasi juga memberikan prespektif untuk memahami negara, hak-hak warga negara, politik, birokrasi, dan sebagainya. Dengan demikian ia adalah suatu representasi simbolik dari arus kesadaran baru yang “roh”nya adalah rasa kemerdekaan dan berdaulat sebagai warga negara.

Kesadaran baru ini akan menimbulkan kepekaan yang tinggi didalam diri masyarakat Indonesia terhadap masalah-masalah hak asasi manusia, hak-hak sipil, hak-hak politik warga negara, dan keikutsertaan masyarakat di dalamnya. Di sisi lain, karena warga negara Indonesia berasal dari latarbelakang yang beragam, maka kepekaan ini juga sekaligus memunculkan isu kebangsaan yang tajam. Kedua hal ini akan menumtut perubahan fundamental dari tatanan politik dan tata kelola pemerintahan dari state centered menjadi citizen centered9.

Di Era Reformasi kebasan pers juga lebih ditingkatkan. Surat kabar mendapatkan izin terbit sedangkan radio dan stasiun Televisi mendapat izin siar dari pemerintah. Dan negara tidak berhak untuk campur tangan dalam pers. Hal ini lah yang menandai kebebasan pers di indonesia. Dengan kata lain, sejak memasuki era reformasi, maka perjalanan proses politik di Indonesia mengarah kepada sebuah keadaan transisi menuju demokrasi.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini bentuk penelitian yang digunakan yaitu studi hubungan ( interrelationship studies ) untuk mengetahui hubungan antara kemampuan membaca pemahaman

Hasil: Didapati, sebanyak 48,4% mahasiswa yang mengalami stres Data yang ada diuji menggunakan uji korelasi Kendall’s Tau, nilai p yang didapatkan adalah 0,136, menunjukkan

[r]

Tepung daun jarak yang diekstraksi dengan air atau metanol mengandung senyawa fi tokimia saponin dan tanin yang dapat digunakan sebagai anticacing alami. Tepung daun jarak

Terdapat perbe- daan yang nyata (P<0,05) pada panjang kepala, panjang midpiece, dan panjang ekor utama antara anoa dewasa (A) dan anoa muda (B) pada pewarnaan W (Tabel 4),

Negara Tiongkok telah berhasil dalam menciptakan label bahwa Panda merupakan simbol penyelamatan dan pelestarian lingkungan, maka diplomasi Panda pun juga dilakukan

Penelitian yang dilakukan oleh Burger dan Cannistra ini menyatakan, meskipun angka respon terhadap bevacizumab tunggal adalah rendah pada beberapa jenis tumor namun

Memasuki tahun 2008, peningkatan harga komoditas internasional mulai Memasuki tahun 2008, peningkatan harga komoditas internasional mulai mempengaruhi perekonomian daerah