• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEDAGANG KAKI LIMA DAN INTERRELASI AKTOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEDAGANG KAKI LIMA DAN INTERRELASI AKTOR"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Hak Cipta Drs. Cornelius J. Paat, Msi.; Dr. Antonius Purwanto, MA.; Lidya Kandowangko, MA., 2016

Hak Terbit pada UMM Press

Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Raya Tlogomas No. 246 Malang 65144 Telepon (0341) 464318 Psw. 140

Fax. (0341) 460435

E-mail: ummpress@gmail.com http://ummpress.umm.ac.id

Anggota APPTI (Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia)

Cetakan Pertama, April 2016

ISBN : 978-979-796-177-0

xiv; 1055 hlm.; 21 x 29,7 cm Setting & Layout : Septian R. Design Cover : A.H. Riyantono

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. Pengutipan harap menyebutkan sumbernya.

(3)

lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).

(4)
(5)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20 – 23 Mei 2015 v SAMBUTAN KETUA PANITIA

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi di Manado, 20 – 23 Mei 2015

Assalamualaikum Wr. Wb

Salam Sejahtera buat kita semua, Syalom,

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kongres APSSI II dan KNS IV dapat

dilaksanakan dan mempercayakan kami Jurusan Sosiologi FISIP UNSRAT sebagai tuan

rumah. Kongres APSSI II dan KNS IV ini diikuti oleh peserta yang berasal dari seluruh

Universitas yang memiliki program studi sosiologi, baik dosen, peneliti, mahasiswa dan

pemerhati sosial. Seluruh rangkaian acara yang ada menuntun kita untuk mempererat

hubungan pengurus dan anggota APSSI beserta pengajar-pengajar Sosiologi. Kita juga

bersama-sama telah memilih struktur kepengurusan yang baru untuk membawa APSSI lebih

maju. Untuk menciptakan konsolidasi organisasi dan mengembangkan jaringan program

studi.

Tema acara kita yang mengenai Tantangan Baru Pembangunan dan Pelembagaan

Kebijakan Sosial di Indonesia adalah persoalan menarik. Pembangunan berlangsung cepat

dan tak terbendung. Mengapa kita perlu membahas ini sebagai persoalan ? Kita dapat

saksikan bagaimana pembangunan membawa perubahan besar untuk masyarakat.

Pembangunan maritim, pertambangan dan pariwisata sedang digalangkan. Namun,

pembangunan akhir-akhir ini seringkali kurang memperhatikan pelestarian lingkungan. Air

dan udara yang bersih kian susah didapatkan karena polusi dan kurang pepohonan sebagai

penghasil oksigen dan penyimpan air. Timbulnya kemiskinan disaat pembangunan tidak

berpihak pada kesejahteraan rakyat dan hanya menguntungkan segelintir pihak.

Pembangunan mengubah gaya hidup masyarakat juga membawa arus persoalan yang baru.

Maka, kita butuh terlembagakan kebijakan sosial yang mampu meminimalisir dampak

buruk pembangunan bagi masyarakat. Pemerintah, stakeholder, yang terlibat ditantang bukan

hanya menjalankan pembangunan tetapi merumuskan kebijakan yang dapat menjamin

kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya, kebijakan mengenai jaminan sosial, kesehatan,

pendidikan dan proteksi terhadap anak-anak dan kelompok marjinal dikaji dalam penelitian

sosial.

Makalah-makalah ilmiah yang disajikan menunjukkan cairnya perspektif sosiologi

yang dapat kita aplikasikan untuk menjawab kompleksitas pembangunan dan mengarahkan

(6)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20 – 23 Mei 2015 vi penulisan makalah yang merupakan hasil penelitian dapat lebih meningkatkan kualitas

sumber daya dalam penelitian penulisan karya ilmiah. Begitu juga makalah-makalah ilmiah

yang disajikan dapat mempengaruhi arah kebijakan sosial dalam mengadakan pembangunan.

Tentunya acara Kongres APSSI II dan KNS IV ini dapat menjadi wadah bagi kita

semua untuk bertukar pikiran dan berbagi pengalaman demi mengembangkan Program Studi

Sosiologi dan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Kebersamaan yang kita jalin

semoga dapat memajukan program studi sosiologi dan jaringan yang terbentuk dapat

meningkatkan kualitas sumberdaya di bidang sosiologi. Karena bila ada kebersamaan dan

kuatnya jaringan kita bisa saling membantu dalam mentransfer ilmu yang kita miliki, saling

memberdayakan, saling menguatkan sesama program studi maupun dosen dan mahasiswa.

Acara ini semoga dapat menyatukan visi dan persepsi sesama anggota APSSI agar dapat

berjalan bersama menjawab kebutuhan program studi, baik kepentingan akademis dan

pengabdian masyarakat. Terima kasih!

Manado, 22 Mei 2015

Ketua Panitia Kongres APSSI II dan KNS IV Manado

Drs. Jefry C. Paat, MSi

(7)
(8)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20 – 23 Mei 2015 viii

DAFTAR ISI

Kata Sambutan . . . . . . . i

Daftar Isi . . . . . . . iii

SUBTEMA PEMBANGUNAN

Konsep dan Teori Kontemporer tentang Pembangunan . . . 1

1. Gated Communities: Penanda Segregasi Sosial Masyarakat Urban Yogyakarta

Derajad S. Widhyharto . . . 2

2. Media dan Keamanan Pangan Indonesia: Studi Sosiologi Selera

Ikma Citra . . . 31

3. Keterbukaan Informasi Publik dan Pembangunan Perdamaian di Aceh

Afrizal Tjoetra . . . 44

4. Transformasi Sosiokultural Studi Berbasis Pemetaan Isu Mutakhir Sosiologi

Andi Tenri, Andi Asrina . . . . . . . 60

Pembangunan yang Berkeadilan dan Ramah Lingkungan . . . 91

1. Pembangunan Berbasis Agama (Gagasan Mewujudkan Pembangunan Yang

Berkeadilan Dan Ramah Lingkungan)

Jamaluddin Hos . . . 92

2. CSR: Upaya Mewujudkan Pembangunan yang Berkeadilan dan Ramah

Lingkungan (Studi di PT. Antam Pongkor)

Sigit Pranawa . . . 103

3. Pemberdayaan Masyarakat Lokal Berbasis Social Forestry untuk

Pengembangan Konservasi Lingkungan dan Ekowisata Hutan

Fitri Ramdhani Harahap . . . 116

4. Kinerja Pemerintah Kota Manado Dalam Melaksanakan Program

Pembangunan Berbasis Lingkungan – Mapaluse

Femmy C. M. Tasik . . . 130

Potensi dan Tantangan Pembangunan Maritim di Indonesia . . . 144

(9)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20 – 23 Mei 2015 ix Bahtiar, Susalman Moita . . . . . . . 145

2. Kebijakan Tol Laut: Peluang dan Tantangan

Kelangsungan Pelayaran Tradisional

Tasrifin Tahara . . . . . . . 155

3. Peluang dan Hambatan Pengembangan Maritim Di Kota Bengkulu;

Diantara Potensi SDA dan Etos Kerja Masyarakat

Lesti Heriyanti . . . . . . . 180

4. Modal Sosial Perempuan Sulawesi Utara Sebagai Modal Sosial

Di Pintu Gerbang Asia Pasifik

Charles R.Ngangi . . . . . . . 190

5. Memperkokoh Identitas Keindonesiaan Melalui Ketahanan

Budaya Masyarakat Perbatasan Di Bibir Pasifik Studi Kasus

Pada Kabupaten Talaud

Maria Heny Pratiknjo . . . . . . . 197

Lokalitas dan Pembangunan Alternatif Berorientasi Partisipasi Warga . . . 208

1. Community Development Sebagai Jalan Menuju Pembangunan Berkelanjutan:

Studi Kasus Praktek Community Development oleh Lembaga Pengembangan

Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) di Kec. Kokonao, Kab. Mimika,

Prov. Papua

Yusdam Arrang Bua . . . . . . . 209

2. Lokalitas dan Ikatan Sosial pada Masyarakat Desa Labuku

Syamsul Bachri, Andi Burchanuddin,

Abdul Malik Iskandar, Harifuddin . . . . . . . 228

3. Penguatan Ideologi Kebangsaan Berbasis Pengembangan Potensi

Masyarakat Grass-Root di Kota Surakarta

Bagus Haryono, Ahmad Zuber . . . . . . . 245

4. Mekanisme Bekerjanya Modal Sosial Terhadap Perubahan Aktivitas

Mata Pencaharian Sebagai Sistem Penghidupan (Livelihood) Pasca

Timah (Studi Terhadap Masyarakat Desa Delas, Kecamatan Air Gegas,

Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)

Herdiyanti . . . . . . . 258

(10)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20 – 23 Mei 2015 x Soetji Lestari . . . . . . . 279

6. Pemberdayaan Institusi Lokal dalam Pemanfaatan Remiten Migran

Internasional dan Nasional untuk Pengentasan Kemiskinan

Indraddin . . . . . . . 291

7. Penguatan Identitas Masyarakat Lokal (Indigeneous People), Melawan Korporasi

dan Menyelamatkan Lingkungan

Syafruddin . . . . . . . 312

8. Selamatan Dusun: Peneguhan Komunitas sebagai Subjek (Studi di Dusun

Babatan, Desa Tegalgondo, Kec. Karangploso, Kab. Malang, Jawa Timur)

Muhammad Hayat . . . . . . . 323

9. Pembangunan Masyarakat melalui Model Pemberdayaan Masyarakat dan

Pendidikan Politik Partisipatif-Integratif berbasis Potensi Lokal

Vina Salviana . . . . . . . 344

10.Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Menangani Dan Mengentaskan Kemiskinan

Di Jawa Timur Peran Komunitas Dan Lembaga Non-Pemerintah Dalam

Program Pengentasan Kemiskinan Di Kab. Bojonegoro, Kab. Pacitan dan

Kab. Probolinggo

Martinus Legowo . . . . . . . 351

11.Membangun Kemandirian Masyarakat Petani Padi Pada Kawasan Agropolitan

Dumoga Provinsi Sulawesi Utara Dalam Menunjang Percepatan Swa Sembada

Pangan Nasional

Wehelmina Rumawas . . . . . . . 385

Kemiskinan, Kerentanan dan Ketidakadilan Baru dalam Pembangunan . . . 400

1. Kerentanan Masyarakat di Periphery Perbatasan Laut Indonesia:

Pemetaan Pembangunan di Kelurahan Pemping Kota Batam

Siti Arieta . . . . . . . 401

2. Kemiskinan Struktural Sektor Informal Perkotaan di Makassar

(Wajah Buram Pembangunan Perkotaan yang Berkeadilan)

Syaifullah Canggara . . . . . . . 418

3. Kerentanan Komunitas Nelayan dalam Konteks Perubahan Iklim:

Studi Kasus di Pulau Ambon, Maluku

(11)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20 – 23 Mei 2015 xi 4. Pengentasan Kemiskinan berbasis Kearifan Lokal pada

Masyarakat Pesisir di Provinsi Sumatera Barat

Rinaldi Ekaputra, Wahyu Pramono, Bob Alfiandi, Merry Anda Yanto . . . 458

5. Hubungan Dialektika Antara Orang Miskin Dengan Kebijakan Penanggulangan

Kemiskinan Di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur

Sugeng Harianto . . . 471

Pembangunan Pariwisata Menuju Pemberdayaan Sosial Ekonomi . . . 481

1. Perencanaan Partisipatif Dalam Pengembangan Desa Wisata di Desa Jayagiri

Kecamatan Lembang

Bintarsih Sekarningrum, Desi Yunita . . . 482

2. Pedagang Kaki Lima dan Inter-relasi Aktor-Aktor Pariwisata

Maksud Hakim, Rosmawati, Rasyidah Zainuddin,

Harifuddin Halim, Rivai Mana . . . 494

3. Model Pembangunan Desa Wisata Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

Tachya Muhammad, Wahyu Gunawan, Budi Sutrisno . . . 515

4. Pembangunan Sosial dengan Metode Jejaring Kolegial dalam Membangun

Kampung Wisata Pasir Ipis Lembang Jawa Barat

Wahyu Gunawan, Ari Ganjar Herdiansah . . . 530

5. Pengembangan Ekowisata Berbasis Modal Sosial (Konsep dan Aplikasinya

bagi Penguatan Ekonomi Masyarakat Lombok Barat)

Sukardi, Wildan, M. Zulfikar Syuaib . . . 542

6. Upaya Pengembangan Wisata Sangiran dalam Pemberdayaan Sosial Ekonomi

Sudaru Murti . . . . . . . 557

7. Perencanaan Strategis Pengembangan Pariwisata Kota Manado

Very Y. Londa . . . . . . . 572

SUBTEMA KEBIJAKAN SOSIAL

Konsep dan Perspektif Jaminan dan Perlindungan Sosial . . . 585

1. Meneropong Perlindungan Hukum dari Kacamata Kebijakan Sosial

(Studi Terhadap Penghukuman Perempuan Pelaku Pembunuhan)

Vinita Susanti . . . . . . . 586

(12)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20 – 23 Mei 2015 xii Kualitas Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hongkong

Siti Komariah . . . . . . . 599

Perdebatan Populisme, Prorakyat dan Kebijakan Sosial . . . 613

1. Pengembangan Kewirausahaan Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat

Abdi Rahmat . . . . . . . 614

2. Kajian Sosiologis tentang Interaksi Sosial dan Struktur Sosial terhadap Naskah

Drama Indonesia, Studi Kasus pada Naskah Drama “Maaf-Maaf-Maaf”

Parwitaningsih . . . . . . . 635

Model Pendekatan Tanggung Jawab Sosial Negara dan Partisipasi Warga . . . 654

1. Antara Partisipasi Warga dan “Federasi-Kampung”: Dilema Kepemimpinan

Kepala Desa di Tasikmalaya Jawa Barat

Asep Suryana . . . . . . . 655

2. Profesionalisme Petugas Pelayanan Publik

Sudirah . . . . . . . 677

3. Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Perama Swara Tour dan

Travel terhadap Kesejahteraan Masyarakat Denpasar Selatan

Heri Wahyudi . . . . . . . 693

Tantangan dan Model Pelembagaan Kebijakan Jaminan Sosial . . . 710

1. Motif Berperilaku Kepala Desa pada Penyelenggaraan Pelayanan Publik

di Kabupaten Minahasa Selatan

Shirley Y. V. I. Goni . . . . . . . 711

2. Dilema Pemenuhan Jaminan Sosial dan Peran Modal Sosial di Daerah Bencana,

Studi Kasus: Desa Balerante (Klaten, Jawa Tengah) dan Desa Glagaharjo

(Sleman, DIY)

Suryo Adi Pramono . . . . . . . 723

3. Pondok Baremoh dan Payung Ceper (Studi tentang Perubahan Makna

Konsep Perilaku Menyimpang di Provinsi Sumatera Barat)

Dwiyanti Hanandini, Nini Anggraini, Indraddin,

Wahyu Pramono, Machdaliza . . . 751

(13)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20 – 23 Mei 2015 xiii 1. Program Kesehatan Gratis dan Budaya Lokal di Kabupaten Mamuju

Muhammad Masdar, Haslinda B. Anriani, Roslinawati,

Ansar Arifin, Syamsu Kamaruddin . . . 770

2. Kesehatan Reproduksi Perempuan dalam Keluarga Nelayan (Studi terhadap

Pengetahuan, Kesadaran, Prilaku dan Akses Istri Nelayan terhadap

Kesehatan Reproduksi serta Partisipasi Suami)

Fachrina, Maihasni . . . . . . . 783

3. Kepuasan Mahasiswa dalam Tutorial Online

Bambang Prasetyo . . . . . . . 797

4. Korelasi Bantuan Belajar Tutorial Online pada Nilai Ujian Akhir Semester

Mahasiswa Universitas Terbuka (Studi Kasus pada Mata Kuliah Logika

di Masa Ujian 2013)

Haryanto . . . . . . . 804

5. Peranan Komunikasi Keluarga dalam Keberhasilan Belajar Siswa SMP

di Kota Manado

Elfie Mingkid . . . . . . . 817

6. Implementasi Kebijakan Pendidikan Dasar di Kabupaten Kepulauan Talaud

Provinsi Sulawesi Utara

Very Y. Londa, Shirley Y.V.I. Goni . . . 827

Perlindungan Sosial Anak-Anak dan Kelompok Marginal . . . 845

1. Corporate Social Responsibility (CSR) untuk Mewujudkan Kota Layak Anak

(KLA) di Surakarta Jawa Tengah

Eva Agustinawati, Diffah Hanim, Insiwi Febriary Setiasih . . . 846

2. Pendidikan Inklusi: Perlindungan Sosial Anak Berkebutuhan Khusus

Bastiana . . . . . . . 855

3. Pembangunan dan Pemenuhan Hak Anak Miskin di Kabupaten Sragen

Thomas Aquinas Gutama, Siany Indria Liestyasari, Sumardiyono . . . 864

4. Model Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Perdagangan Wanita

(Trafficking) di Kecamatan Jagoi babang Kab. Bengkayang,

Prov. Kalimantan Barat

Herlan, H. Mochtaria M. Noh . . . 883

(14)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20 – 23 Mei 2015 xiv Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau

Tri Samnuzulsari . . . . . . . 803

6. Pelacuran Anak di Kepri

Marisa Elsera . . . . . . . 923

7. Pemberdayaan Penyandang Disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta

Imma Indra Dewi, W, Victoria Sundari Handoko . . . 939

8. Pemenuhan Hak Anak Sebagai Bentuk Perlindungan Sosial dan Pemberdayaan

Terhadap Anak (Studi pada Anak Jalanan di Surabaya)

Fakhriyatul Ainiyah . . . 962

9. Orang Tua Ideal Masa Kini (Studi Keharmonisan Orang Tua – Anak

Pada Empat Etnik di Makassar)

Maria E. Pandu . . . . . . . 986

PENUTUP

Ucapan Terima Kasih . . . . . . . 1055

(15)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 481

PEMBANGUNAN

PARIWISATA MENUJU

PEMBERDAYAAN SOSIAL

(16)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 494

PEDAGANG KAKI LIMA DAN

INTERRELASI AKTOR-AKTOR PARIWISATA

Maksud Hakim1 ;

Rosmawati2; Rasyidah Zainuddin3; Harifuddin Halim4; Rivai Mana5

1STIE YAPTI Jeneponto; 2Universitas Tadulako Palu; 3STIKES Megarezky Makassar; 4,5UVRI Makassar

e-mail: 1Maksudhakim811@yahoo.com; 2rosma_tadulako@yahoo.co.id; 3georgiana.aan07@gmail.com;

4athena_lord73@yahoo.com; rivaimana@gmail.com.

ABSTRAK

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu entitas sosial atau komponen yang penting dalam roda pembangunan. Meskipun kesan ‘disepelekan’ banyak melekat pada entitas Pedagang Kaki Lima (PKL) tetapi justru ia ‘tidak bisa disepelekan’ oleh siapapun terutama para pemutus kebijakan sosial.

Tulisan ini mengungkapkan betapa pentingnya eksistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam menggerakan roda perekonomian masyarakat secara khusus. Pada aspek lain, eksistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi salah satu ‘struktur’ utama berlangsungnya sebuah sistem pembangunan terutama ‘kepariwisataan’. Pada bidang ini, Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi bagian utama yang eksistensinya harus ‘ada’. Sebuah tempat wisata yang ‘menarik’ hati pengunjung bila kebutuhan dasar mereka tersedia di tempat tersebut. Pada konteks inilah eksistensi Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi sangat dibutuhkan.

Dalam tulisan ini, Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dimaksud adalah mereka yang berjualan di sepanjang jalan pinggiran pantai Losari di kota Makassar. Beragam usaha yang mereka lakukan seperti: asongan, jualan minuman, jualan bakso mie, jualan pisang bakar, jualan mainan, jualan seafood.

Di balik semua itu, berbagai masalah juga melingkupi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang hendak berjualan di lokasi wisata pantai Losari tersebut. Seorang PKL harus memiliki ‘izin’ resmi dari pemerintah kota. Dalam konteks ini seorang PKL harus berhadapan dengan sistem ‘birokrasi’ formal yang menyita waktu. Selain itu, aspek informal juga turut mengkondisikan PKL, misalnya adanya ‘preman’ bayangan yang mengklaim dirinya sebagai ‘petugas keamanan’ tidak resmi. Mereka ini biasanya memberi jaminan keamanan kepada para PKL. Mereka ini juga sering berprofesi sebagai tukang parkir. Konsekuensinya adalah para PKL harus menyetor ‘uang keamanan’ sebagai bentuk ‘resiprositas’ interaksi atas kebutuhan timbal-balik mereka yang saling menguntungkan.

(17)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 495

A. Pendahuluan

Keberhasilan usaha para PKL ditentukan oleh tindakan-tindakan ekonomi yang

merupakan tindakan sosial. Dengan kata lain, perilaku para aktor ekonomi dilantaskan pada

norma/nilai yang diinternalisasinya melalui sosialisasi. Pada kondisi ini, aktor cenderung

kompromis dan taat terhadap aturan-aturan sosial yang berlaku. Walaupun perlu dipertanyakan

apakah aktor hanya bersifat pasif, namun pemikiran ini setidaknya menunjukkan bahwa tindakan

aktor belum tentu diorientasikan pada tujuan-tujuan ekonomi/nasional. Tujuan ekonomi ini bisa

diperkirakan terkait dengan hubungan sosial yang terjalin antar si pedagang kaki lima dengan

aktor-aktor lainnya (misalnya pemasok dan pelanggang lainnya). Dalam konteks pertukaran ini,

harapan antara pihak-pihak yang saling berinteraksi menjadi menarik untuk diungkap, termasuk

bentuk hubungan sosial dan sumbernya.

Menurut Weber, tindakan ekonomi dapat dipandang sebagai tindakan sosial selama

tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku orang lain. Hal ini memberi perhatian dan

dilakukan secara sosial dalam berbagai cara. Dalam istilah Granovevetter, pada dasarnya

tindakan aktor melekat ke dalam hubungan sosial yang berjalan, oleh sebab itu aktor perlu

mendefinisikan situasi sosialnya lebih dahulu sebelum menanggapi orang lain. Pendapat ini

mendukung gagasan Weber, bahwa tindakan ekomoni tidak hanya dipandang sebagai tindakan

stimulus-responn yang sederhana, akan tetapi juga merupakan proses yang dilakukan individu

dalam proses hubungan sosial yang sedang berlangsung. Artinya tindakan ekonomi disituasikan

secara sosial, melekat dengan jaringan-jaringan yang ada. Akibatnya tindakan ekonomi terkait

dengan jaringan sosial. Melalui pendekatan jaringan sosial akan tergali pola-pola dan

sumber-sumber hubungan sosial di berbagai dimensi dalam mekanisme proses aktivitasnya (Damsar,

1997:30).

Perkembangan dan aktivitas PKL di Makassar terus mengalami peningkatan yang cukup

signifikan, akibatnya pemerintah harus mengambil suatu kebijakan. Tindakan pengambilan

kebijakan ini karena terkait dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pedagang kaki

lima. Kegiatan pedagang kaki lima sering sering dianggap sangat mengganggu ketertiban lain,

seperti lalu lintas, keindahan kota, serta mengakibatkan maraknya kekerasan dan keributan.

Berdasarkan uraian tersebut, mereka yang tergolong dalam kategori PKL sangat banyak.

(18)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 496

pelayanannya. Aktivitas kegiatan mereka ada yang menetap pada suatu tempat tertentu dan ada

yang berpindah-pindah, dan ada yang praktek pada hari-hari tertentu dan jam tertentu. Pada

intinya pedagang kaki lima akan terus berusaha untuk dapat bertahan di wilayah perkotaan dan

dapat memperoleh penghasilan.

B. Asal-Usul Pedagang Kaki Lima (PKL)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:395), istilah kaki lima adalah lantai yang

diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) di

muka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian

depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana

kota bahwa bagian depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan

dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima

kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi

menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang

kaki lima dimasyarakatkan.

Perkembangan selanjutnya, pedagang kaki lima (PKL), ialah pedagang yang menjual

barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan

perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan serta memempergunakan bagian

jalan (trotoar), tempat-tempat yang tidak diperuntukkan bagi tempat untuk berusaha atau tempat

lain yang bukan miliknya. Dengan demikian, secara etimologi PKL adalah orang yang berdagang

atau penyalur barang dan jasa. Pedagang adalah orang yang melakukan kegiatan perdagangan

sehari-hari sebagai mata pencaharian. Damsar (1997:106) mendefinisikan pedagang sebagai

berikut: “Pedagang adalah orang atau instansi yang memperjual belikan produk atau barang

kepada konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung”.

Manning dan Effendi (1991), menjelaskan makna PKL adalah istilah untuk menyebut

penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena

jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga

"kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah

PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Pedagang kaki lima seringkali

(19)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 497

produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu. Usahanya

dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam lingkungan yang informal.

Sektor usaha pedagang kaki lima tersebut seringkali menjadi incaran bagi masyarakat dan

pendatang baru untuk membuka usaha di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya

ciri khas dan relatif mudahnya membuka usaha (tidak memerlukan modal yang besar) di sektor

tersebut. Pedagang Kaki Lima pada umumnya adalah self-employed, artinya mayoritas Pedagang

Kaki Lima hanya terdiri dari satu tenanga kerja. Modal yang di miliki relatif tidak terlalu besar

dan terbagi atas modal tetap berupa peralatan, dan modal kerja.

Pedagang kaki lima menurut An-nat (1993) bahwa istilah pedagang kaki lima merupakan

peninggalan dari zaman penjajahan Inggris. Istilah ini diambil dari ukuran lebar trotoar yang

waktu dihitung dengan feet (kaki) yaitu kurang lebih 31 cm lebih sedikit, sedang lebar trotoar

pada waktu itu adalah lima kaki atau sekitar 1,5 meter lebih sedikit. Jadi orang berjualan di atas

trotoar kemudian disebut pedagang kaki lima (PKL). Sedangkan Karafir (1977:4)

mengemukakan bahwa PKL adalah mereka yang berusaha di tempat-tempat umum tanpa adanya

izin dari pemerintah. Bromley (Manning, 1991:228) menyatakan bahwa: “Pedagang kaki lima

adalah suatu pekerjaan yang paling nyata dan penting dikebanyakan kota di Afrika, Asia, Timur

Tengah, atau Amerika Latin.

Berdasarkan penjelasan dan beberapa pengertian tentang pedagang kaki lima, maka dapat

dipahami bahwa pedagang kaki lima adalah salah satu jenis pekerjaan di sektor informal yang

mempunyai tempat kerja yang tidak menetap. Dengan kata lain, mereka berpindah dari satu

tempat ke tempat yang lain sepangjang hari. PKL banyak dijumpai di semua sektor kota,

terutama di tempat-tempat pemberhentian sepanjang jalur bus, sekitar stadion dan pusat-pusat

hiburan lainnya yang dapat menarik sejumlah besar penduduk untuk membeli.

Istilah PKL seperti dijelaskan Kuncoro (2008) merupakan peninggalan zaman penjajahan

Inggris. Istilah ini diambil dari ukuran trotoar yang pada saat itu dihitung dari sebutan feet (kaki),

kira-kira sama dengan 31 cm lebih sedikit. Dan lebar trotoar yang biasanya digunakan oleh para

pedagang waktu kira-kira 5 kaki (1.5 meter) sehingga para pedagang yang berdagang di pinggir

jalan disebut dengan pedagang kaki lima. Akhirnya istilah ini kemudian menjdi sebutan bagi

(20)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 498

Kuncoro (2008) mengkategorikan Pedagang Kaki Lima sebagai berikut: (1) Kelompok

PKL adalah pedagang yang kadang-kadang berarti produsen sekaligus penjual (misalnya

pedagang makanan dan minuman yang dimasak sendiri). (2) Peralatan PKL memberikan

konotasi bahwa, sebagian besar mereka menjajakan barang-barang dagangannya pada tikar dan

lokasinya di pinggir jalan atau dibagian depan toko yang dianggap strategis. (3) PKL mayoritas

bermodalkan kecil, bahkan tidak jarang mereka hanya merupakan alat bagi pemilik modal

dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan jerih payahnya. (4) Umumnya kelompok

Pedagang Kaki Lima ini merupakan kelompok marjinal, bahkan ada pula yang tergolong pada

kelompok sub marjinal. (5) Umumnya kualitas barang yang diperdagangkan merupakan

barang-barang cacat dengan harga yang jauh lebih murah. (6) Omsetnya tidak besar. (7) Para

pembelinya berdaya beli rendah (lower income pockets). (8) Kurang atau jarang PKL berhasil

secara ekonomi sehingga dapat memasuki dunia usaha dalam perdagangan yang sukses. (9) Pada

umumnya usaha ini merupakan family enterprise, atau malah one man enterprise. (10)

Barang-barang yang ditawarkan biasanya tidak standar, dari shifting jenis barang yang diperdagangkan

seringkali terjadi. (11) Tawar menawar antarpenjual dan pembeli merupakan ciri khas usaha para

PKL. (12) Terdapat jiwa kewirausahaan yang kuat.

C. Interrelasi PKL dengan Aktor-Aktor Pariwisata

1. Interrelasi Asosiatif

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa, ada dua jenis interrelasi sosial yang

dikembangkan dalam membahas aktivitas PKL di Pantai Losari, yaitu “asosiatif” dan

“disosiatif”. Interrelasi sosial dalam tulisan ini adalah interrelasi sosial antara PKL dan

pihak-pihak terkait, dalam hal ini komunikasi atau hubungan antara PKL dengan pengelola pantai

Losari (Petugas Dinas Kebersihan dan Tata Kota, Satpol PP, dan pihak swasta yang peduli atas

nasib PKL di kawasan pantai Losari.

Interaksi sosial dilihat dari aktivitas usaha, ruang aktivitas serta kebijakan pemerintah

perlu memahami situasi sosial yang terjadi di kawasan tersebut karena PKL sebagai warga yang

kurang mampu harus diberi ruang untuk mencari nafkah bagi kelangsungan hidup keluarganya.

Oleh karena itu, bagian ini akan dibahas interaksi sosial asosiatif, interaksi sosial disosiatif, dan

(21)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 499

Makassar. Di samping itu, interaksi mutualisme antara sektor informal khususnya PKL dan pihak

terkait termasuk sektor formal telah menunjukkan adanya bentuk interaksi mutualisme. Interaksi

mutualisme selain dampak negatif, sektor informal terutama PKL memiliki banyak manfaat bagi

kehidupan perkotaan, yaitu adanya ketergantungan pegawai sektor formal dengan dagangan dan

jasa dari sektor informal. Hal ini seperti terlihat aktivitas PKL di kawasan pantai Losari dan

sekitarnya.

Dalam interaksi antara PKL dengan pihak terkait bentuk mutualismenya antara lain dapat

dilihat dalam cara mendapatkan dagangan PKL, yaitu apakah berasal dari pertokoan sekitar

kawasan serta pertukaran pemenuhan kebutuhan keduanya. Lokasi aktivitas yang sama juga

dapat menarik lebih banyak pembeli dan pengunjung pantai Losari, sehingga peluang untuk

pemasaran lebih terbuka. Di samping itu, interaksi sosial parasialisme adalah bentuk interaksi

yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Penelitian ini menggambarkan hubungan

sektor informal (PKL) dengan pihak terkait (pengelola pantai Losari, pengunjung atau pembeli,

dan masyarakat di kawasan pantai Losari sebagai bentuk hubungan yang subordinatif. Hubungan

seperti ini didasarkan pada prinsip pertukaran yang tidak adil, sehingga mendorong pihak lain

untuk cenderung melakukan eksploitasi terhadap lainnya (PKL penjual pisang epe, penjual buah,

dll).

Interrelasi sosial antara PKL dengan pihak-pihak terkait dalam melakukan komunikasi

sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka akan tercipta suatu kondisi yang harmonis antara

PKL dengan pihak-pihak terkait. Ada hal yang menarik berkaitan dengan aktivitas PKL di pantai

Losari mengingat area ini sekarang telah menjadi ruang publik yang ramai dikunjungi, sehingga

pihak pengelola harus mampu menjaga ketertiban, keamanan, dan kebersihan di kawasan pantai

Losari.

Menurut Soekanto (2001) dasar dari terjadinya interaksi sosial adalah kontak dan komunikasi

sosial yang didefinisikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama serta

menyatakan bahwa interaksi sosial adalah dasar dari proses-proses sosial. Pandangan tersebut di atas,

sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa interaksi sosial antara PKL

dengan pihak-pihak terkait di pantai Losari yang menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang

dinamis. Secara garis besar bentuk-bentuk interaksi sosial para PKL, pembeli atau pengunjung, dan

(22)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 500

Inetraksi sosial asosiatif, dimana dalam penelitian ini interaksi sosial antar-PKL dengan

pihak pembeli (pengunjung pantai Losari), dan pengelola, meliputi:

1) Kerjasama, yaitu di pantai Losari adanya interaksi antara PKL dengan pembeli yang

merupakan aksi yang di lakukan PKL dengan memasarkan dagangan atau jualannya kepada

pengunjung. Misalnya, pembeli atau pengunjung yang melewati pantai Losari, para PKL

menawarkan “Mari bu, singgah, lihat-lihat, boleh bu, dll. Kemudian reaksinya adalah

pembeli atau pengunjung mendekati dan menghampiri si penjual (PKL) karena yang ingin di

cari kebetulan ada.

2) Akomodasi, yakni di dalam kehidupan perbedaan agama pasti terjadi aksi nya ketika bulan

ramadhan tiba seluruh umat islam menjalankan ibadah puasa dan reaksi nya terdapat

toleransi dari agama lain dengan menghindari makan di tempat terbuka. Demikian halnya,

bentuk interaksi sosial para PKL di pantai Losari, tidak melakukan aktivitas di siang hari

karena pada umumnya PKL di kawasan pantai Losari adalah beragama Islam, seperti yang

dijelaskan oleh salah satu informan PKL (Haliman, 45 tahun).

3) Asimilasi, yaitu dalam melakukan aktivitas di pantai Losari antara PKL yang satu dengan

PKL yang lain (misalnya PKL penjual pisang epe dengan PKL penjual buah, jus, makanan,

dan lain-lain tidak saling mengenal dan memiliki karakter yang berbeda; kemudian sering

bertemu dan melakukan aktivitas dagangan di kawasan pantai Losari, sehingga terjadi aksi

dimana antara PKL saling mengenal satu sama lain dan mengetahui karakter masing-masing,

serta timbul reaksinya mengalami perubahan karena perbedaan karakter dalam hal

perlakukan dan sikap terhadap pengelola pantai Losari, sehingga PKL dilarang melakukan

aktivitas di kawasan pantai Losari.

Interrelasi sosial PKL di pantai Losari sebagai ruang publik yang menjadi kebanggaan

masyarakat kota Makassar harus dipelihara dan dibina bersama (termasuk para PKL), sehingga

bentuk interrelasi asosiatif, adalah:

a) Kerjasama, berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa kerjasama dapat timbul karena

adanya orientasi perorangan terhadap kelompoknya sendiri. Dalam hal ini, individu-individu

sesama PKL melakukan komunikasi dan hubungan kerjasama baik perorangan maupun

kelompok adalah bentuk interaksi sosial yang utama. Tanpa adanya kerjasama, maka sangat

(23)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 501

bekerjasama antar-individu, antara individu dan kelompok, atau antar-kelompok dengan

kelompok untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan bersama. Kerjasama antar-PKL

dengan pihak-pihak terkait di pantai Losari dapat ditemukan pada semua kelompok umur,

mulai anak-anak sampai orang dewasa. Pada hakikatnya, kerjasama timbul apabila: (1) PKL

menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama; (2)

masing-masing pihak menyadari bahwa mereka hanya mungkin memenuhi kepentingan-kepentingan

mereka tersebut melalui kerjasama.

b) Akomodasi, adalah usaha-usaha yang dilakukan PKL dan pihak-pihak lain yang saling terkait

untuk meredakan atau menyelesaikan suatu perbedaan (pertentangan). Akomodasi dapat

terlaksana dengan tujuan tercapainya kestabilan dan keharmonisan dalam kehidupan.

Demikian akomodasi PKL sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan

pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan (PKL) oleh pengelola pantai Losari,

terutama Satpol PP yang sering melakukan penertiban aktivitas PKL di kawasan pantai

Losari dengan melakukan tindak kekerasan terhadap PKL. Artinya, akomodasi merupakan

bentuk penyelesaian tanpa mengorbankan salah satu pihak. Adakalanya, pertentangan yang

terjadi sulit diatasi sehingga membutuhkan pihak ketiga sebagai perantara. Misalnya, DPRD

sebagai wakil rakyat atau lembaga-lembaga masyarakat (swasta) yang memiliki kepedulian

terhadap nasib masyarakat termasuk PKL.

c) Asimilasi, adalah suatu bentuk proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha

mengurangi perbedaan-perbedaan antara orang-orang atau kelompok manusia. Seperti halnya

PKL, mereka tidak lagi merasa sebagai individu atau kelompok PKL yang berbeda sebab

mereka lebih mengutamakan kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai bersama, yaitu

mencari nafkah dan reski yang halal. Apabila antara PKL dan masyarakat (pembeli atau

pengunjung), serta pemerintah (pengelola pantai Losari dan Satpol PP) telah melakukan

asimilasi, batas antara ruang publik yang dapat dimanfaatkan PKL untuk berdagang

menyadari akan hak dan kewajiban untuk menjaga keamanan dan kebersihan, sehingga akan

tercipta suasana keharmonisan di kawasan pantai Losari.

Proses asimilasi timbul bila terdapat hal-hal berikut: (1) Kelompok-kelompok manusia

(PKL) yang berbeda kebudayaan; (2) Individu sebagai PKL atau kelompok itu saling bergaul

(24)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 502

individu dan kelompok PKL tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.

Proses asimilasi dapat berlangsung dengan mudah atau dapat juga dihambat. Faktor-faktor yang

mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara lain: (a) toleransi; (b) kesempatan-kesempatan

yang seimbang di bidang ekonomi; (c) sikap menghargai kehadiran orang atau kelompok dan

kebudayaannya; (d) sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam hal ini pengelola pantai

Losari kepada masyarakat; (e) memiliki persamaan hak dan kewajiban dalam melakukan

aktivitas.

Dalam hal interrelasi sosial atau interaksi aktivitas antar-PKL pada ruang publik, proses

dan bentuk-bentuk interaksi di atas mungkin sekali terjadi. Dalam hal ini kemungkinan bentuk

interaksi yang terjadi yaitu kerjasama (mutualisme), persaingan (kompetisi), pertentangan

(konflik), dan persesuaian (akomodasi) atau parasialisme yaitu interaksi sosial yang hanya

menguntungkan salah satu pihak saja. Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa dalam melihat

bentuk interaksi antar-PKL dan pihak-pihak terkait, selain dilihat dari aktivitas PKL di ruang

publik dan kebijakan pemerintah tentang penggunaan kawasan pantai Losari.

Bentuk interaksi sosial para PKL yang bersifat asosiatif, yaitu kerjasama yang saling

menguntungkan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya bentuk interaksi sosial asosiatif antara

PKL dengan pihak pengelola pantai Losari, seperti kerjasama. Hal ini sejalan dengan pandangan

Paulus Wirutomo (dalam Rachbini dan Hamid, 1994), mengatakan adanya ketergantungan

pegawai sektor formal kepada dagangan dan jasa dari sektor informal (PKL) di kawasan pantai

Losari dan sekitarnya, dimana sejumlah pegawai atau karyawan bergaji rendah membeli

makanan dan minuman dijual oleh PKL.

Para PKL khususnya penjual makanan dan minuman di kawasan pantai Losari (di luar

area anjungan) Bahari, dimana para pembeli (pelanggan) yang memiliki latar belakang bervariasi

dan pada umumnya adalah pegawai dan karyawan berpenghasilan rendah dengan berbagai

tujuan, ada yang sekedar membeli makanan atau minuman dan langsung kembali ke ternpat kerja

(RS Stella Maris, kantor pemerintah, dan kantor swasta) di sekitar kawasan pantai Losari dan ada

yang tinggal ngobrol bersama pelanggan sambil menikmati makanan dan minuman.

Selanjutnya bentuk kerjasama, komunikasi, dan interaksi sosial antar PKL dengan

pemasok barang dagangan seperti: pisang, makanan, minuman, kemasan bermerk, dan rokok,

(25)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 503

barang terbantu untuk memasarkan dagangan yang saling menguntungkan. Fungsi PKL disini

sebagai kaki tangan pemasaran kepada konsumen. Dengan meilihat fungsinya, maka pihak

pemasok sebagai pihak yang memberikan bantuan sarana berdagang kepada PKL seperti

Gerobak duduk (Gardu) dalam bentuk bantuan stimulus untuk usaha.

Kardus yang dipakai menjual di sini, pada umumnya bantuan gratis dari sponsor produk

rokok (sebagai kelompok binaan usaha kecil menengah), disini saya juga diberi modal produk

rokoknya untuk menjualkan yang setiap tiga hari dikontrol basil penjualannya. Dengan syarat

saya menjual produk rokoknya harus tampak dominan dilihat oleh konsumen, meskipun menjual

produk rokok lain. Sedangkan untuk jenis minuman kemasan maupun vocer sehrier, juga

demikian sama dengan sponsor produk rokok, seperti menitip untuk menjualkan.

Tindakan pilihan rasional dan voluntaristik, yang dilakukan sejumlah pelaku PKL sebelum

menjadi urban di Makassar, merupakan suatu fakta sosial, bahwa kehidupan mereka di daerah asal (di

desa) terkait dengan persoalan struktural, yaitu salah satunya kekurangan pemenuhan kebutuhan hidup

rumah tangga atau keluarganya, yang identik dengan "kemiskinan alamiah". Kemiskinan alamiah di

pedesaan adalah salah satu sebab, karena rninirnnya sumber daya masyarakat terhadap keterbatasan

memperoleh pekerjaan dan penghasilan, serta kepemilikan lahan atau tanah pertanian di daerah asal.

Hal tersebut, menjadikan semakin berat beban domestik yang haras dipikul masih jauh dari harapan

untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga atau keluarganya yang identik dengan kebutuhan

ekonomi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, pada prinsipnya mereka bersikap meng-ambil posisi

yang menguntungkan dirinya, maka timbul tindakan pilihan rasional dan voluntaristik (sukarela).

Tindakan tersebut memutuskan migrasi ke kota sebagai urban PKL. Persepsi mereka bahwa

berimigrasi ke kota sebagai urban PKL melalui aksessibilitas jaringan sosial migran terdahulu

yang sukses bekerja sebagai pelaku urban PKL, dan terdorong oleh keinginan untuk

memperbaiki kondisi kehidupan sosial ekonomi rumah tangga atau keluarga. Dengan harapan

mudah mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup

rumah tangga atau keluarga. Dimana akan merobah status sosial ekonomi rumah tangga dan

keluarga jika memutuskan migrasi ke kota sebagai urban PKL di Makassar dibandingkan jika

(26)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 504

2. Interrelasi Disosiatif

Terdapat tiga bentuk interrelasi disosiatif, terkait dengan aktivitas PKL di pantai Losari,

yaitu persaingan, kontravensi, dan pertentangan.

Bentuk persaingan antar-individu atau kelompok yang terjadi dari interaksi sosial sesama

PKL, misalnya persaingan antara PKL dengan pemasok barang dan atau pemilik toko di

kawasan pantai Losari.

Bentuk persaingan antara pihak terkait dengan PKL khususnya di pantai Losari semakin

memperkuat hasil penelitian De Soto (1989) yang menjelaskan adanya persaingan antara

pedagang formal dan pedagang jalanan di Kota Lima, Peru, yaitu ketika pedagang jalanan

menyamai jenis dagangannya dengan pedagang formal, sehingga para pedagang formal minta

perlindungan kepada pernerintah untuk mengatur pedagang jalanan. Dari analisis persaingan di

atas, nampak jelas adanya persaingan antara pertokoan dan PKL terutama dalam jenis dagangan.

Keberadaan para PKL harus diakui sebagai tindakan kelompok, karena saling

berhubungan satu sama lain. Dalam hal ini, tindakan kelompok tersebut adalah perilaku PKL

yang bersifat kelompok dan berlandaskan atas kepentingan kelompoknya. Tindakan Integratif,

adalah tindakan individu yang diintegrasikan dengan tindakan kelompok. Dari berbagai jenis tipe

tindakan sosial jika sudah saling berhubungan akan menjadi interaksi sosial. Oleh karena itu,

interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu sebagaimana

halnya perlaku atau tindakan PKL di kawasan pantai losari.

Syarat-syarat interaksi sosial terhadap kontak sosial, yang dilakukan PKL di pantai losari

yaitu berhubungan antar individu PKL dengan pemasok barang, masyarakat sekitar pantai losari,

dan pembeli atau pengunjung. Dalam hal ini, individu PKL berkomunikasi, menyampaikan

pesan dari satu pihak ke pihak yang lain sehingga terjadi saling pengertian. Selain itu,

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap interaksi sosial PKL sesuai dengan fakta yang diperoleh

adalah tindakan meniru sikap perilaku orang lain yang positif maupun negatif terkait dengan

pekerjaan mereka untuk memperoleh hasil yang diharapkan.

Hasil penelusuran lapangan tentang interaksi sosial antar PKL di kawasan pantai losari

dan hasil analisis data menunjukkan bahwa, selain dalam interaksi tersebut menimbulkan

kerjasama, persaingan, dan konflik. Bentuk konflik atau pertentangan yang pernah terjadi dalam

(27)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 505

epe dengan PKL penjual makanan maupun sesama konsumen biasa terjadi karena dari faktor

pelayanan dengan kesalah pahaman dalam bentuk konflik non fisik.

Konflik yang sering terjadi terkait dengan interaksi sosial antar PKL dan pihak lain

adalah sebatas kesalahpahaman atau ketidakpuasan yang ditimbulkan oleh pengunjung atau

pembeli maupun sesama PKL, sehingga tidak menimbulkan dampak atau efek luas terhadap

sektor lain maupun suasana tidak aman di kawasan pantai losari karena ketika terjadi konflik

atau kesalahpahaman tersebut, langsung diselesaikan. Dengan demikian, konflik yang penulis

maksud dalam penelitian ini bukan suatu proses sosial ketika individu-individu atau kelompok

individu berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman

atau kekerasan.

Konflik yang sering terjadi antar PKL dengan pihak-pihak terkait hanya sebatas konflik

non fisik sebagai akibat dari kesalahpahaman atau perbedaan pendapat yang dapat diselesaikan

dengan saling pengertian dan menghormati satu sama lain. Selanjutnya interaksi antara PKL

dengan lembaga pemerintah biasanya terjadi saat akan dilakukan operasi penertiban PKL yang

dilakukan oleh lembaga pemerintahan seperti: Kecamatan, kelurahan dan Satpol PP. Hal ini

biasanya terjadi konflik yang dialami oleh PKL yang keberadaan mereka berdagang menyalahi

aturan Pemerintah kota Makassar dengan payung hukum seperti: Perda No 10 tahun 1990,

tentang Pembinaan PKL; SK Walikota Makassar No. 44 tahun 2002, tentang Penunjukan

beberapa tempat pelataran yang dapat dan yang tidak dapat dipergunakan oleh PKL dalam

wilayah kota; SK Walikota Makassar No. 651/Kep/180/2007 Kawasan Segi Empat Jalan sebagai

Percontohan Kebersihan dan Penegakan Daerah.

Keberadaan PKL sering mengundang konflik pemanfaatan tata mang, karena

menyebabkan kemacetan lalu-lintas, kesemerawutan kota, dan kekumuhan lingkungan.

Akhirnya operasi penertiban atau penggusuran oleh aparat Pemda dalam hal ini Satpol PP biasa

terjadi pada aktivitas PKL yang menempati ruas ruang jalan untuk berdagang yang tidak sesuai

dengan penunjukan beberapa tempat pelataran yang dapat dan yang tidak dapat dipergunakan

oleh PKL dalam wilayah kota.

Interaksi sosial antara PKL dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Lembaga

Ketahanan Masyarakat (LKM), ini terjadi apabila terjadi konflik antara PKL dengan instansi

(28)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 506

PKL. Peran pihak LSM atau LKM sebagai tempat mengadu untuk menjembatani mencarikan

solusi kepada pemerintah kota atau wakil rakyat yang berada di DPRD kota Makassar.

Konflik atau benturan yang melibatkan antara PKL dengan petugas Satpol PP khususnya

di kawasan pantai losari berbeda dengan penertiban PKL di kasawan lain dalam wilayah kota

Makassar, misalnya; di kawasan Pintu I Universitas Hasanuddin beberapa waktu, begitu juga di

tempat lain seperti di pasar-pasar tradisional yang sering menimbulkan bentrokan atau konflik

kekerasan yang melibatkan PKL yang dianggap liar dengan petugas yang hendak menertibkan

kawasan tersebut sesuai dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Perda yang berlaku.

Kebijakan kota yang diberlakukan tersebut, mengancam keberadaan PKL pisang epe

yang berdagang di sekitar pantai losari dan PKL yang beraktivitas di sekitar Mesjid Al-Markas,

direspon dengan tindakan kolektif dalam bentuk protes atau aksi demontrasi dengan melibatkan

LSM atau LKM untuk menjembatani kepada pemerintah, dengan berdemo ke Balaikota dan

Gedung DPR kota Makassar untuk mencari solusi terbaik dengan keberadaannya.

Dengan demikian, pola interaksi sosial tidak sesama pedagang, yang terjadi dalam bentuk

kerjasama (mutualisme) yaitu pada sektor formal dengan sektor informal (PKL) di lokasi

perkantoran dan perdagangan, selanjutnya di lokasi pertokoan adanya persaingan antara

pertokoan dan PKL terutama dalam jenis dagangan. Meskipun ada persaingan yang terjadi,

justru keberadaan PKL di depan pertokoaan sangat membantu dalam rasa aman dan mempererat

tali kekerabatan antar mereka atau senasib sama-sama mencari nafkah untuk hidup. Selanjutnya

bentuk konflik yang terjadi dalam bentuk non fisik seperti: perang mulut atau omelan.

Sedangkan konflik yang terjadi antar pemerintah dengan adanya operasi penertiban atau

penggusuran.

Interaksi sosial (pertentangan atau konflik) antara pihak terkait dengan PKL seringkali

merupakan kelanjutan dari persaingan yang tidak sehat, dalam hal ini aktivitas salah pihak

mengganggu dan merugikan pihak lain sehingga terjadi perlawanan atau ancaman. Lokasi

aktivitas dalam satu kawasan perdagangan berpotensi untuk menjadi penyebab konflik antara

pihak terkait dengan PKL. Di samping itu, bentuk interaksi akomodatif, merupakan bentuk

interaksi yang saling meredakan ketegangan yang terjadi untuk menghindari konflik.

Kebijakan pemerintah yang tidak jelas dan lemahnya penegakan hukum mengakibatkan

(29)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 507

aktivitas PKL. Bentuk interaksi ini cenderung kepada penerimaan secara sosial (saling

memahami terhadap kondisi yang ada) antara pihak terkait dengan PKL dalam beraktivitas.

Berdasarkan hasil analisis data tentang interaksi sosial antar-PKL dengan pihak terkait di pantai

losari kota Makassar menunjukkan adanya hubungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Demikian halnya hubungan antar-PKL di pantai losari dalam melakukan aktivitas dagangan atau

jualan makanan dan minuman guna memenuhi kebutuhan hidup. Melalui hubungan itu individu

dalam hal ini PKL ingin menyampaikan maksud, dengan tujuan barang dagangan atau jualannya

laku karena banyak masyarakat yang berkunjung di kawasan pantai Losari.

D. Pembahasan

Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara

individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Interaksi terjadi terjadi

apabila seorang individu melakukan tindakan, sehingga menimbulkan reaksi dari

individu-individu yang lain. Dalam hal ini PKL melakukan tindakan dengan menawarkan barang

dagangan (jualan) baik berupa makanan maupun minuman kepada pengunjung atau masyarakat

sekitar. Hal ini karena itu interaksi terjadi dalam suatu kehidupan sosial. Interaksi pada dasarnya

merupakan siklus perkembangan dari struktur sosial yang merupakan aspek dinamis dalam

kehidupan sosial. Perkembangan inilah yang merupakan dinamika yang tumbuh dari pola-pola

perilaku individu yang berbeda menurut situasi dan kepentingan PKL yang diwujudkan dalam

proses hubungan sosial.

Hubungan-hubungan sosial yang dimaksud pada awalnya merupakan proses penyesuaian

nilai-nilai sosial dalam kehidupan sosial, termasuk PKL. Kemudian meningkat menjadi semacam

pergaulan yang ditandai adanya saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing pihak

yang terkait, dalam ini antara PKL, masyarakat (pengunjung), pemerintah (pengelola pantai

losari), dan pembeli. Oleh karena itu, sudah menjadi hukum alam dalam kehidupan individu

bahwa keberadaan dirinya adalah sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Dalam hal

ini, kebutuhan dasar individu adalah untuk melangsungkan kehidupannya membutuhkan makan,

minum untuk menjaga kesetabilan suhu tubuhnya dan keseimbangan organ tubuh yang lain

(30)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 508

Individu membutuhkan pula perasaan tenang dari ketakutan, keterpencilan, kegelisahan,

dan berbagai kebutuhan kejiwaan lainnya. Kebutuhan individu yang mendasar juga diperlukan

yaitu kebutuhan untuk berhubungan dengan individu lainnya, kebutuhan meneruskan keturunan,

kebutuhan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, kebutuhan untuk belajar

kebudayaan dari lingkungan agar dapat diterima atau diakui keberadaannya oleh warga

masyarakat lain setempat. Dalam kehidupan masyarakat, setiap individu terikat dalam

struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya.

Masing-masing struktur sosial dapat mengatur kedudukan masing-masing anggota

individu dalam kaitannya dengan kedudukan-kedudukan dari individu yang lain yang secara

keseluruhannya memperhatikan corak-corak tertentu yang berada dari struktur sosial yang lain.

Adanya kedudukan-kedudukan yang diatur oleh struktur sosial tersebut menuntut dan

menghasilkan adanya peranan-peranan sesuai dengan kedudukan yang dimiliki individu. Sebagai

makhluk sosial individu manusia dilahirkan sendiri dan memiliki ciri-ciri yang berbeda antara

satu dengan lainnya. Perbedaan ini adalah keunikan dari manusia tersbut. Sebagai makhluk sosial

manusia membutuhkan individu lain untuk memenuhi segala kebutuhannya, dari sinilah

terbentuk kelompok yaitu khidupan bersama individu dalam suatu ikatan, dimana dalam suatu

ikatan tersebut terdapat interaksi sosial dan ikatan organisasi antar masing-masing anggotanya.

Dalam proses sosial, interaksi sosial merupakan sarana dalam melakukan hubungan dengan

lingkungan sekitarnya.

Interaksi sosial antar-PKL dengan pihak terkait merupakan pengembangan dasar dari

proses sosial yang menunjukan adanya komunikasi dan hubungan yang dinamis dalam

melakukan aktivitas di pantai Losari. Interaksi sosial yang dinamis tersebut meliputi: interaksi

sosial PKL dengan konsumen (pengunjung, pembeli), interaksi sosial PKL dengan pemasok

barang atau pemilik modal, interaksi sosial PKL dengan pengelola pantai Losari, dan interaksi

sosial PKL dengan Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) dan Liga Mahasiswa Nasional

untuk Demokrasi (LMND) kota Makassar.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, dampak positif dan negatif interaksi sosial

disosiatif yang mendasari penggunaan gabungan teori Pilihan Rasional dan Voluntaristik dalam

penelitian ini. Untuk menjelaskan tindakan pilihan rasional dan voluntaristik terhadap PKL yang

(31)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 509

dan meningkatkan ekonomi keluarga. Demikian, Teori Pilihan Rasional Coleman tampak jelas

dalam gagasan dasarnya bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan

itu ditentukan oleh nilai atau pilihan, seperti dijelaskan (Ritzer, 2007:394). Dalam hal ini, teori

pilihan rasional Coleman, memusatkan perhatian pada aktor (misalnya PKL), dipandang sebagai

manusia yang mempunyai tujuan dan tindakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kemudian teori

tindakan voluntaristik Parsons, ternyata mendukung teori pilihan rasional. Teori pilihan rasional

menegaskan bahwa, para pelaku bertindak untuk mengejar kepentingan secara rasional

(memaksimalkan) tujuan yang hendak dicapai.

Teori Pilihan Rasional dan Tindakan Voluntaristik memiliki keterbatasan-keterbatasan.

Artinya, ada kalanya suatu tindakan pengambilan keputusan tentang aktivitas PKL yang sudah

diperhitungkan secara matang ternyata memiiiki akibat akhir yang tidak diharapkan, dan kadang

kala tidak diantisipasi sebelumnya. Hasil penelitian ini juga menunjukan tidak semua para PKL

di kota Makassar, termasuk di pantai Losari sukses mencapai apa yang diharapkan. Meskipun

ada yang sukses tapi presentasinya sangat kecil dan sebagian besar atau pada umumnya belum

mencapai apa yang diharapkan, kalau tidak dikatakan gagal.

Bertambahnya PKL di kawasan pantai Losari seiring dengan perubahan dan

perkembangan kawasan pantai Losari sebagai ruang publik, bertambah pula tantangan yang

dihadapi oleh para PKL terutama dalam hal persaingan dengan sektor informan non-PKL,

seperti usaha makanan siap saji, café, dan lain-lain yang lebih direspon oleh pemerintah

keberadaannya dalam mendukung promosi pantai Losari sebagai objek wisata yang sedang

dikembangkan.

Pedagang kaki lima seringkali didefinisikan sebagai sektor usaha yang memerlukan

modal relatif sedikit, berusaha dalam bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan

kelompok konsumen tertentu. Sektor usaha informal (PKL) tersebut juga menjadi harapan bagi

masyarakat dan pendatang baru untuk membuka usaha di perkotaan, karena sektor ini sering

dianggap lebih mampu bertahan hidup 'survive' dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal ini

disebabkan karena adanya ciri khas yang fleksibel, relatif mudahnya membuka usaha (tidak

memerlukan modal yang besar) dan tidak memerlukan prosedur yang rumit serta mudah

beradaptasi dengan lingkungan usahanya. Oleh karena itu kegiatan sektor usaha informal (PKL)

(32)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 510

Kebijakan Pemerintah tentang keberadaan PKL dianggap ilegal, karena menempati

ruang-ruang public, seperti bahu/badan jalan, trotoar, di atas drainase, dan taman yang

mengakibatkan ruang publik tersebut tidak dapat dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan

fungsinya. Di samping itu, masalah kebersihan, tata ruang, dan keindahan kota sering diabaikan.

Kondisi tersebut, seringkali menjadi target utama penegakan kebijakan pemerintah kota dengan

operasi penertiban dan penggusuran. Dalam operasi penertiban dan penggusuran sering terjadi

bentrok antara PKL dengan petugas Satpol PP. Namun berbagai upaya yang dilakukan terkait

kebijakan tersebut terbukti belum efektif karena banyak PKL yang kembali beraktivitas

khususnya di pantai Losari kota Makassar.

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa dampak positif dari interaksi sosial disosiatif

adalah upaya penertiban PKL di kawasan pantai Losari sebagai icon, agar tetap menjadi

kebanggaan masyarakat dalam menikmati suasana pantai dengan berbagai keunikan yang

dimiliki. Namun, dampak negatif dari interaksi sosial disosiatif yang sering terjadi adalah upaya

penertiban tersebut dilakukan oleh Satpol PP dengan tindakan kekerasan, sehingga menimbulkan

bentrokan dan mendapat perlawanan dari PKL. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi dampak

negatif dari interaksi sosial disosiatif antara PKL dengan pihak-pihak terkait khususnya Satpol

PP perlu diperbaiki terutama dalam hal komunikasi dan saling memahami tugas dan fungsi, serta

tanggung jawab (kewajiban) masing-masing sesuai dengan ketentuan ang berlaku. Hal ini

dijelaskan oleh beberapa informan PKL (penjul pisang epe) bahwa mereka melakukan unjuk

rasa dan menginap di kantor DPRD kota Makassar, karena pemerintah kota melarang mereka

berjualan di kawasan pantai losari.

Strategi yang dikembangkan para PKL untuk mempertahankan kehidupan di kota dengan

melakukan kegiatan ekonomi seperti berjualan di kawasan pantai Losari. Dalam hal ini, jaringan

sosial yang berbasis sektor informan tentang kondisi PKL di kota Makassar khususnya di

kawasan pantai Losari agar tetap bertahan hidup dan berhasil menjalankan aktivitasnya sebagai

PKL sesuai dengan jenis usaha (dagangan) yang ditekuni. Terbentuknya jaringan sosial berbasis

sektor informal dengan memperkuat kerjasama antar-PKL dan pihak-pihak terkait dalam bentuk

komunikasi dan hubungan-hubungan yang dinamis antar PKL dengan PKL, antar PKL dengan

pelanggan (masyarakat atau pembeli) maupun antar PKL dengan kerabat termasuk tetangga di

(33)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 511

antara PKL dengan pihak-pihak terkait yang telah dilakukan sebelum memutuskan untuk

menjadi PKL.

Secara ekonomi PKL merupakan salah satu sektor informal, dimana para pelaku pada

umumnya memiliki latar belakang bervariasi dan status sosial rendah. Mereka berasal dari

pedesaan atau pinggiran, menghadapi tekanan ekonomi dan kemiskinan. Penghasilan yang

diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsistem, padahal mereka harus memikul

beban domestik yang makin berat. Di saming itu, timbul kesadaran akan adanya persamaan

(senasib) diantara mereka. Perasaan senasib tersebut membuat hubungan kerjasama diantara

PKL dengan pihak terkait semakin erat, akrab dan harmonis. Hubungan kerjasama antar-PKL

dengan pihak terkait dalam melakukan aktivitas berdagang, bukan merupakan persaingan tetapi

seorang keluarga atau teman yang senasib, sama-sama mencari nafkah untuk menghidupi

keluarga.

Mencermati beberapa contoh atau kasus yang dialami PKL kawasan pantai losari di atas

yang mengidentifikasikan ada persamaan suku bangsa, budaya, dan bahasa yang digunakan

dalam berinteraksi satu sama lain. Hasil pengamatan dan analisis data tentang pola interaksi yang

terjadi setiap hari diantara PKL yang berasal dari daerah yang sama atau satu suku yang sama,

umumnya menggunakan bahasa daerah dan bila memungkinkan menggunakan bahasa Indonesia.

Para PKL yang berasal dari luar Makassar, berusaha untuk mengetahui dan menggunakan bahasa

Makassar agar dapat berinteraksi sesama PKL maupun dengan konsumen. Meskipun bahasa

yang dia ketahui hanya sepatah kata saja yang lazim digunakan untuk menjual.

Penggunaan bahasa yang mereka gunakan untuk berinteraksi dengan para pembeli

(konsumen) menjadi perekat hubungan di antara PKL dan pihak terkait, baik itu dari satu daerah

maupun dari daerah lain. Dengan demikian bahasa yang mereka gunakan merupakan simbol

identitas dengan latar belakang suku bangsa, bahasa dan budaya, sehingga rasa kebersamaan

tetap terjalin. Olehnya itu, mereka tetap menjaga dan menghormati nilai budaya yang berlaku,

serta tetap menjalin hubungan sosial agar kerukunan dan keharmonisan sesama PKL dan

pihak-pihak terkait dalam memeliharan ruang publik di pantai Losari sebagai kmilik bersama akan

terbangun dengan sendirinya.

Bentuk hubungan kerjasama yang biasa dilakukan sesama PKL seperti: (a) memberikan

(34)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 512

modal usaha dan lainnya; (c) menentang perlawanan apabila terjadi operasi sepihak dari Satpol

PP. Dari bentuk hubungan kerjasama di atas, salah satu aspek yang paling dominan adalah

memperkuat hubungan sesama PKL, untuk melakukan perlawanan apabila akan terjadi

penertiban dengan dalih kebersihan kota dari Satpol. Bekerja sebagai PKL ialah sebuah bentuk

perjuangan untuk tetap bertahan hidup, karena sewaktu-waktu harus menghadapi berbagai

tindakan represif yang dilakukan aparat pemerintah.

E. Penutup

Interrelasi sosial yang bersifat asosiatif yang dikembangkan PKL di pantai losari kota

Makassar, adalah diwujudkan dalam bentuk kerjasama, akomodasi, dan asimilasi. Interaksi sosial

dalam bentuk kerjasama, adalah proses komunikasi dan hubungan timbal balik antara individu

(PKL) maupun kelompok dengan individu atau kelompok lain (pembeli, konsumen, pelanggan)

dan masyarakat dengan tujuan saling mempengaruhi dalam suatu situasi atau kondisi tertentu.

Interrelasi sosial disosiatif antar PKL dengan pihak-pihak terkait di pantai Losari kota

Makassar, adalah bentuk interaksi sosial yang diwujudkan dalam proses sosial antara individu

atau kelompok PKL dengan pembeli/konsumen, antara PKL dengan pengelola pantai Losari.

Interaksi sosial disosiatif meliputi; persaingan, pertentangan (konflik), dan kontravensi.

Interaksi sosial yang bersifat disostiatif PKL di pantai Losari dalam bentuk persaingan, adalah

proses sosial yang timbul akibat persaingan harga, kualitas barang atau jualan, kebersihan, dan

lain-lain dalam menarik simpatik pengunjung atau konsumen di kawasan pantai Losari. Interaksi

sosial PKL yang bersifat disosiatif dalam bentuk pertentangan (konflik) terjadi karena ada

perbedaan pendapat dan/atau kesalahpahaman antara PKL dengan pihak terkait, misalnya antara

Satpol PP dengan PKL dalam operasi penertiban (pembersihan) aktivitas PKL di pantai Losari.

Sedangkan kontravensi adalah bentuk interaksi sosial yang berada di antara persaingan dengan

pertentangan (konflik), misalnya sikap PKL yang melakukan penolakan, perlawanan, atau

menghalang-halangi petugas satpol PP melakukan penertiban PKL di kawasan pantai Losari,

melakukan perbuatan atau tindakan provokasi, menghasut, memfitnah, dan lain-lain.

Oleh karen itu, kepada pihak-pihak terkait perlu mempertimbangkan hal-hal berikut: (1)

Pemerintah perlu meninjau kembali perda dan Surat Keputusan Walikota Makassar yang masih

berlaku saat ini, kurang relevan lagi digunakan dengan arah perubahan sosial dalam pemanfaatan

(35)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 513

Surat Keputusan Walikota Makassar No. 44 tahun 2002. (2) Hendaknya pemerintah kota

Makassar dalam membuat Perda dan/atau surat keputusan, terkhusus terhadap pembinaan PKL,

perlu melibatkan stakeholder dari pihak PKL melalui wakil-wakil mereka (organisasi yang

dibentuk PKL), sehingga keputusan yang dikeluarkan adalah milik bersama baik oleh PKL

maupun terhadap Pemerintah kota Makassar. (3) Untuk menghindari semakin banyaknya PKL

musiman yang bermunculan, sehingga sulit melakukan penataan, pembinaan dan/atau merelokasi

mereka dikarenakan jumlah mereka yang sangat banyak; hendaknya pemerintah kota Makassar

melakukan penanganan sejak dini terhadap PKL yang bermunculan di badan jalan, sehingga

PKL tidak menjadi masalah dalam penataan kota dan kemacetan lalu lintas. Di samping itu,

hendaknya pemerintah kota bekerjasama dengan pemodal (seperti: pasar modern/mall)

memberikan ruang khusus peruntukan aktivitas usaha PKL di lokasi yang strategis dan

diformalkan. (4) Diharapkan kepada pemerintah kota Makassar khususnya dinas-dinas terkait

seperti Dinas Tata Kota, Dinas Kebersihan, Pengelola Pasar, Dinas Pertamanan dan Dinas

Pariwisata bersama PKL membentuk suatu organisasi yang dapat menampung aspirasi mereka

yang bertujuan untuk melindungi dan membantu para PKL dari segala macam hambatan yang

dirasakan selama ini.

Referensi

An-Nat, B. 1993. Implementasi Kebijakan Penanganan PKL : Studi Kasus di Yogyakarta dan

DKI – Jakarta. Beberapa koleksi hasil penelitian program Pascasarjana Magister

Administrasi Publik, UGM.

Anonim, 2010. Peraturan Daerah No. 10/1990. Kotamadya Tingkat II Ujung Pandang, diakses tanggal 28 Mei 2013. http://makassar.bpk.go.id/web/wp-content/uploads/2010/11/PERDANO-10-THN-1990-PK-5.pdf

Anonim. 2002. SK Walikota Makassar No. 44 Tahun 2002 Tentang Penunjukan Beberapa Tempat Pelataran yang Dapat dan yang Tidak Dapat Dipergunakan oleh PKL Dalam wilayah kota.

Anonim. 2007. SK Walikota Makassar No. 651/Kep/180/2007 Kawasan Segi Empat Jalan sebagai Percontohan Kebersihan dan Penegakan Daerah.

Damsar. 1997. Pengantar Sosiologi Ekonomi, Jakarta: Kencana Prenata Media Group.

De Soto, Hernando. 1989. The Other Path: The Invisible Revolution in the Third World.

Harpercollins.

Depdikbud, 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua, Cetakan ke-8. Jakarta: Balai Pustaka.

Effendi, Tadjuddin Noer, 1991. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan,

(36)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20-23 Mei 2015 514

Karafir Pieter Yan, 1977, Pemupukan Modal Pedagang Kakilima: Penelitian Studi Kasus di

Daerah Tanah Abang Pasar Jakarta. Jakarta: Pusat Latihan Ilmu-imu Sosial.

Kuncoro, Mudradjad. 2008. Strategi Pengembangan Pasar Modern dan pasar Tradisional

(Artikel 6 Mei 2008). Kadin Indonesia.

Manning, Chris. & Tadjuddin Noer. 1991. Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Cet. 2, Jakarta.

Rachbini, J. Didik, Hamid Abdul, 1994, Ekonomi Informal Perkotaan, Gejala Industri

Kelombang ke Dua, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES.

Ritzer, G., dkk. 2007. Teori Sosiologi Modern, Terjemahan oleh Alimandan. Jakarta: Prenada Media.

(37)

Kongres APSSI II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV di Manado, 20 – 23 Mei 2015 1055 UCAPAN TERIMA KASIH

Sekretaris Panitia Kongres APSSI II dan KNS IV di Manado, 20 – 23 Mei 2015

Assalamualaikum Wr. Wb Salam Sejahtera buat kita semua, Syalom,

Bapak Ibu yang sangat kami hormati dan banggakan, Para pengurus APSSI, Para

pengurus ISI, yang sampai detik ini boleh ada bersama-sama di tempat ini. Atas nama panitia,

kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Ibu sekalian yang telah

mempercayakan kami jurusan Sosiologi FISIP UNSRAT sebagai tuan rumah Kongres APSSI

II dan Konferensi Nasional Sosiologi IV. Dulunya kami masih merasa kecil dibandingkan

dengan Program Studi yang lain yang sudah sangat besar. Tapi acara ini menjadi cambuk

bagi kami untuk meningkatkan kapabilitas dan berusaha memberi yang terbaik bagi Bapak

Ibu sekalian. Dan menjadi sebuah kebanggaan bagi kami karena acara ini merupakan iven

pertama dan terbesar yang kami selenggarakan.

Kami menyadari bahwa suksesnya acara ini tak lepas dari kepercayaan yang telah

diberikan oleh Bapak Ibu sekalian meski telah dua kali kami menolak. Namun, ketiga kalinya

kami tidak sanggup untuk menolak lagi. Tentunya kami bersyukur karena acara ini sangat di

dukung oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, oleh Rektor Universitas Sam Ratulangi,

Pimpinan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, beserta Dosen dan Mahasiswa. Diatas semuanya

itu, tentunya karena berkat tuntunan dan penyertaan dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga

kami dimampukan untuk menyelenggarakan acara ini.

Kami menyadari masih banyak sekali kekurangan-kekurangan yang telah kami

perbuat, yang mungkin kurang menyenangkan hati bapak ibu sekalian. Oleh karenanya

dengan penuh kerendahan hati kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Kiranya apa

yang manis boleh Bapak dan Ibu bawa pulang dan kemudian bisa menjadi alasan untuk boleh

kembali lagi. Namun, hal-hal yang tidak mengenakkan hati boleh ditinggalkan disini sebagai

bahan koreksi bagi kami untuk menjadi lebih baik lagi. Sekali lagi atas nama pengurus dan

panitia kami mengucapkan terima kasih. Kiranya kita bisa bertemu lagi di lain waktu dan

Sosiologi menjadi lebih maju! Terima kasih.

Manado, 22 Mei 2015

Sekretaris Panitia Kongres APSSI II dan KNS IV Manado

Referensi

Dokumen terkait

pengelolaan pedagang kaki lima menjelaskan bahwa: “Pedagang Kaki Lima(PKL) adalah pedagang yang menjalankan kegiatan usaha dagang dan jasa non formal dalam jangka

REAKSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) TERHADAP KINERJA SAT POL PP PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA. (Stdudi di Pasar Bambu Kuning

Berdasarkan hasil analisis data, hasil penelitian terdapat beberapa temuan yang dapat dipaparkan sebagai berikut; (1) setiap Pedagang Kaki Lima yang berjualan di sekitar Simpang

Penelitian siasat usaha pedagang kaki lima di pasar Suak Bato Palembang akan secara khusus akan menjelaskan dan menggambarkan siasat usaha Pedagang Kaki Lima

Salah satu lokasi pedagang kaki lima yang ada di kota Pekanbaru adalah PKL yang ada di sepanjang jalan H.R. Subrantas kecamatan Tampan Panam kota Pekanbaru.

Hasil penelitian ini menunjukkan ada banyak faktor yang menyebabkan para pedagang kaki lima (PKL) kurang berminat untuk berjualan di Nuwo Intan kota Metro, dari

Bentuk Sanksi Bagi Pedagang Ikatan pedagang kaki lima di Pantai Gandoriah bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta dengan Satpol PP Kota Pariaman, tentu dengan adanya

Secara subtansi pengaturan hukum pedagang kaki lima PKL oleh pemerintah daerah kota Banjarbaru ditetapkan Peraturan Daerah Perda Kota Banjarbaru Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penataan