BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gerakan mahasiswa sangat identik dengan gerakannya yang masif dan berperan dalam mengoreksi setiap penyimpangan sosial dan politik serta berani membela rakyat yang tertindas atas dasar keadilan. Hal inilah yang memicu
kuatnya identitas gerakan sosial pada gerakan mahasiswa sehingga dapat menjadi kekuatan pendobrak dalam proses perubahan di masyarakat. Sejarah telah
mencatat bahwa gerakan mahasiswa memiliki andil yang sangat besar pada beberapa proses transisi di negara ini.
Jika kita melihat sejarah gerakan pemuda dan mahasiswa di Indonesia, kita
akan melihat peran penting yang selalu dimainkannya ketika bangsa ini sedang mengalami keadaan yang kritis. Para pemuda dan mahasiswa adalah pencetus
Sumpah Pemuda tahun 1928. Kemudian kita kembali melihat peran mereka dalam gerakan-gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan sebelum tahun 1940-an dan juga ketika revolusi kemerdekaan tahun 1945 dicetuskan. (Ingat, Soekarno
dan Hatta diculik oleh para pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok untuk “dipaksa” membacakan Proklamasi Kemerdekaan bangsa ini pada tanggal 17
Agustus 1945). Mereka kemudian muncul lagi pada tahun 1966, dan yang juga menarik perhatian adalah mereka –meminjam istilah Arief Budiman- sebagai bintang lapangan dalam peristiwa reformasi 1998 dalam menggulingkan Rezim
Peristiwa 1998 di saat barisan mahasiswa berhasil menumbangkan Presiden Soeharto dan menaklukkan Orde Baru, semakin mengukuhkan
kebenaran predikat mahasiswa sebagai agent of change. Tumbangnya Soeharto merupakan buah estafet dari beberapa peristiwa gerakan mahasiswa, mulai
angkatan 1928, 1974, 1977/1978, 1980-an dan 1990-an; yang didukung oleh elemen pro demokrasi lainnya. Masing-masing angkatan sedikit atau banyak memiliki kontribusi dalam perjuangan melengserkan Soeharto. Pada masa
angkatan 1974, gerakan mahasiswa sudah muncul dengan mengoreksi kinerja pemerintahan Soeharto. Gerakan mahasiswa angkatan 1977/1978, sudah
menyuarakan perlunya meminta tanggung jawab Soeharto sebagai Presiden (Lihat Budiyarso : 2000). Hanya saja, berbeda dengan angkatan 1998, gerakan mahasiswa sebelumnya tidak mampu mencari garis kemenangan karena kapasitas
perlawanan mereka belum sebanding dengan kekuatan Orba. Oleh sebab itu, mahasiswa generasi 1998 sangat tepat jika disebut “generasi pemetik bunga” (A.
Prasetantoko, Ign, dkk, 2001 : 75). Keberhasilan mereka dimungkinkan oleh pematangan situasi, yaitu didukung oleh krisis ekonomi, konflik politik elit dan delegitimasi rezim, serta dukungan yang luas dari hampir seluruh elemen rakyat.
Jatuhnya Soeharto bukanlah tujuan akhir perjuangan mahasiswa. Tapi karena Soeharto diyakini sebagai pusat segala persoalan, maka jatuhnya Soeharto
berarti sebuah perintang utama mencapai perubahan telah disingkirkan. Gerakan mahasiswa sejak era transisi terus berlanjut, kendati gelombang pasang surut. Pada masa pemerintahan Habibie, resistensi mahasiswa masih berada dalam
menyusut secara signifikan. Peran mahasiswa saat penggulingan Soeharto yang melibatkan seluruh eksponen mahasiswa di Indonesia. Yang tersisa kemudian
hanyalah sebagian kecil mahasiswa, yang tersebar di sejumlah kota di mana Jakarta paling dominan (Manan, 2005 : 179)
Kenyataan kemudian adalah semangat perjuangan mahasiswa pada era transisi menyurut padam. Gerakan mahasiswa mengalami disorientasi, fragmentasi, dan berkurangnya militansi. Disorientasi terjadi terutama disebabkan
raibnya common enemy (Soeharto) yang sebelumnya mempersatukan mereka. Setelah Soeharto runtuh, gerakan mahasiswa kehilangan isu sentral untuk menjaga
jalinan kebersamaan yang sudah terbangun.
Amien Rais menilai gerakan mahasiswa pascakejatuhan rezim Soeharto telah mengalami perubahan besar, perubahan yang justru tidak menuju ke arah
yang baik. Gerakan mahasiswa kini seolah-olah mati suri. Aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan dalam menyikapi kebijakan pemerintah tak lagi banyak digelar
(Kompas 19 Desember 2005). Bila melihat informasi yang sering diberitakan di media, memang ada kecenderungan menurun bila dilihat dari kuantitas dan kualitas aksi mahasiswa. Berdasarkan penelurusan dokumentasi media, aksi-aksi
mahasiswa sangatlah menyeruak menjelang reformasi. Kuantitas massa aksi antara 100 hingga 50.000 orang (penulusuran Kompas tahun 1998). Saat
menjelang reformasi, masyarakat dan beberapa kalangan elite pun juga turut mendukung bahkan ikut turun ke jalan. Semisal aksi mahasiswa UI pada tanggal 25 Februari 1998 yang diikuti oleh sesepuh UI dan beberapa Guru Besar
Februari 1998 juga dihadiri oleh Guru Besar dan Pengajar di kampus tersebut (Kompas, 29 Februari 1998).
Pasca Reformasi, praktis terjadi penurunan jumlah massa aksi dan kualitas aksi itu sendiri. Berdasarkan penelurusan dokumentasi media antara edisi sesudah
tahun 1998, jumlah massa aksi yang turut menjadi peserta hanya antara 50 (atau bahkan lebih sedikit dari itu) sampai 1500 orang.
Sebagai salah satu tokoh yang terlibat langsung dalam proses reformasi
1998, bisa dimengerti bila Amien gelisah dengan perkembangan gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Kegelisahan atas menurunnya aktivisme gerakan
mahasiswa dirasakan bukan hanya oleh tokoh-tokoh seperti Amien Rais atau para aktivis yang pernah terlibat langsung dalam menurunkan rezim Soeharto, tetapi juga oleh para aktivis gerakan mahasiswa yang masih terlibat aktif berorganisasi.
Artinya, selain pihak “luar”, aktivis gerakan mahasiswa sendiri turut merasakan adanya penurunan elan vital aktivismenya. Indikator yang digunakan Amien Rais
untuk menyimpulkan bahwa gerakan mahasiswa seolah-olah mati suri memang tertuju pada kuantitas aksi gerakan mahasiswa yang makin menurun pada era reformasi ini. Tidak hanya kuantitas, kualitas dari aksi-aksi yang digelar gerakan
mahasiswa pun perlu dicermati. Sebab, bila indikator untuk menilai aktivisme gerakan mahasiswa hanya terkonsentrasi pada kuantitas demonstrasi yang
dilakukan dalam sebuah periode tertentu, realitas yang ada dalam dinamika gerakan mahasiswa tidak akan tertangkap seluruhnya. Konkretnya, ukuran banyaknya aksi bisa jadi bukan menggambarkan realitas sesungguhnya dari
menyuarakan pendapatnya, mengukur kondisi gerakan mahasiswa hanya pada kuantitas aksi demonstrasi bisa menghasilkan kesimpulan yang bias.
Lantas, menjadi menarik untuk mengkaji kembali tentang aktivisme gerakan mahasiswa pasca reformasi dalam konteks kekinian. Pernyataan Amien
Rais yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa telah mati suri sepertinya perlu dikaji ulang. Atau bisa jadi, bentuk aksi kolektif gerakan mahasiswa berupa aksi demontrasi, sudah bereproduksi ke dalam bentuk-bentuk aksi kolektif lainnya,
sekalipun demonstrasi tetap menjadi salah satu aksi kolektif yang dipertahankan. Mengingat gerakan mahasiswa saat ini sudah semakin jauh fragmentasinya, maka
yang bisa dilakukan adalah meneliti lebih dalam salah satu kelompok yang pernah menjadi aktor reformasi 1998 yang bentuk organisasinya masih bisa dilacak hingga saat ini. Salah satu kelompok tersebut adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI).
KAMMI dijadikan sebagai obyek dalam penelitian mengingat ormas ini
lahir dan bergerak pertama kalinya di masa reformasi dan pasca reformasi hingga saat ini masih terus berjalan dan berkembang. Yang menjadi menarik adalah KAMMI terkenal di masa reformasi dahulu sebagai ormas yang bermassa paling
besar dalam aksi-aksi demonstrasi yang menguatkan jati diri sebagai suatu gerakan mahasiswa yang layak diperhitungkan. Akan tetapi, mengikut fenomena
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan
atau agitasi terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang
ada.
Perlawanan atau desakan untuk mengadakan perubahan dapat
dikategorikan sebuah Gerakan Sosial. Gerakan sosial lahir dari situasi yang dihadapi masyarakat karena adanya ketidakdilan dan sikap sewenang-wenang terhadap rakyat. Dengan kata lain, gerakan sosial lahir sebagai reaksi terhadap
sesuatu yang tidak diinginkan rakyat atau menginginkan perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. Berbagai gerakan sosial contohnya seperti gerakan
mahasiswa memberikan indikasi untuk mengadakan perbaikan sistem atau struktur yang cacat.
Gerakan Sosial secara teoritis merupakan sebuah gerakan yang lahir dari
dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur pemerintah. Di sini terlihat tuntutan perubahan itu
biasanya karena kebijakan pemerintah tidak sesuai lagi dengan konteks masyarakat yang ada atau kebijakan itu bertentangan dengan kehendak sebagian rakyat. Karena gerakan sosial lahir dari masyarakat maka kekurangan apapun
sosial, adapula yang mengartikan gerakan sosial sebagai sebuah gerakan yang anti pemerintah dan juga pro pemerintah. Ini berarti tidak selalu gerakan sosial
itu muncul dari masyarakat tapi bisa juga hasil rekayasa para pejabat pemerintah atau penguasam (Sudarsono, 1976: 24-25).
Jurgen Habermas, sebagaimana dikutip oleh Pasuk Phongpaichit (2004) menyatakan bahwa Gerakan Sosial adalah adalah hubungan defensive individu-individu untuk melindungi ruang publik dan private mereka dengan melawan
serbuan dari sistem negara dan pasar.
Anthony Giddens menyatakan Gerakan Sosial sebagai upaya
kolektif untuk mengejar kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui tindakan kolektif diluar ruang lingkup lembaga- lembaga yang mapan (Putra, 2006: 1). Sedangkan Mansoer Fakih
menyatakan bahwa Gerakan Sosial dapat diartikan sebagai kelompok yang terorganisir secara tidak ketat dalam rangka tujuan sosial terutama dalam usaha
merubah struktur maupun nilai sosial (Fakih dalam Zubir, 2002: 27)
Sejalan dengan pengertian Gerakan Sosial di atas, Herbert Blumer merumuskan Gerakan Sosial sebagai sejumlah besar orang yang bertindak
bersama atas nama sejumlah tujuan atau gagasan. Robert Misel dalam bukunya yang berjudul Teori Pergerakan Sosial mendefenisikan Gerakan Sosial sebagai
BAB III PEMBAHASAN
A. Gerakan Mahasiswa Bandung 1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan
perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya
dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club)
direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat
kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa
Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis
Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober
1928, dimotori oleh PPPI.
B. Gerakan Mahasiswa Bandung 1945-1950
Dibawah kesadaran keadaan Dunia yang sedang bergejolak antara lain dengan Mendaratnya pasukan-pasukan Amerika di pulau Leyte telah mensinyalir
akan tanda-tanda kehancuran Fasis Jepang. Serangan Inggris di Birma dengan cepat memperoleh kemajuan, di bawah keadaan itu menjadi lebih mendesaklah
mengadakan pertemuan untuk Menghimpun dukungan rakyat setempat di pulau Jawa. Dengan memberikan wawasan yg lebih luas kepada perasaan Nasionalis kedudukan tawar-menawar dari pada nasionalis Indonesia, baik golongan muda
maupun tua bertambah baik. Salah satu dari tanda-tanda yang paling nyata dari perubahan ini adalah kongres Pemuda yang di liangsungkan di VILLA Isoha,
Bandung 16-18 Mei 1945. Sidang Kongres itu sebagai tanda dari kemajuan dan keikhlasan pemuda. Kongres itu di sponsori oleh Pemimpin-pemimpin muda yang pertama sejak pendudukan Jepang di Jawa. Setelah melalui perdebatan 3 hari,
pemuda memutuskan dua Resolusi penting, yaitu :
1.Seluruh golongan Indonesia harus di persatukan dan di sentralisasikan
dalam satu kepemimpinan.
2.Kemerdekaan Indonesia harus di wujudkan secepat mungkin, Angkatan Muda harus selalu siap mengabdikan Tenaga, Jiwa dan Raganya Ke arah
Tekanan semakin Keras yang dilakukan oleh para pemuda lebih terlihat pada sidang Ke-8 dari Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In), dimana
pemuda mendesak Jepang supaya membawa lebih banyak Pemuda kedalam kerangka pemerintahan. Kemudian mendesak Jepang untuk mengembangkan
pelatihan daam Kepemimpinan Gerakan Rakyat Baru (GRB/suatu organisasi Massa yang telah diumumkan oleh Jepang akan didirikan pada bulan Juli 1945).
Pada waktu yang sama terdapat sekelompok kecil Pemuda (sekitar 100
orang tokoh pemuda) yang diKetuai oleh B.M Diah seorang wartawan di Surat Kabar Metropolitan Asia Raya yang dapat mencari Informasi secara mendetail
tentang perkembangan situasi Perang dengan cepat sehingga informasi kemajuan sekutu di Asia dan kekalahan Jepang di Pasifik samar-samar sudah terdengar.
Sukarni, Sudiro (Mbah), Sjarif Thayeb Cs, para pemuda terkemuka di
Jakarta mengadakan pertemuan untuk membentuk kelompok Penghubung Poliik tak Resmi yang bernama Angkatan Baru. “Kelompok inilah yg Kemudian
membentuk Gerakan Angkatan Baru Indonesia yg menggerakkan Menteng 31”. 6 Juli saat sidang itu di buka pemimpin-pemimpin angkatan baru bertemu untuk membahas kedudukan mereka. Persoalan pokok timbul dalam pembahasan
Rancangan Piagam GRB, dimana Pemuda Menuntut supaya Kota-kota Republik Indonesia disiapkan, tentu saja tidak dapat diterima Jepang karena :
2. Badan Penyelidik yg membahas apakah Indonesia akan menjadi negara Monarki atau Repulik.
Akibat hasil rapat tersebut hanya menimbulkan makian, kekecewaan yang besar pada diri tiap Para Pemuda. Desas-desus Jepang yang sudah hampir
menyerah kepada Sekutu melalui para Pemuda yang bekerja di SenDenBu dari siaran radio San Fransisco, bahwa Fasis Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Imperialis Sekutu dan pengumuman resmi penyerahan tanpa syarat itu di
umumkan pada tanggal 15 Agustus 1945. Siaran Kaisar Hirohito di terima di Jakarta, sementara itu berita dengan cepat menyebar degan cepat melalui jaringan
Pemuda di seluruh pelosok.
Atas prakarsa Mahasiswa FK, rapat Darurat dilangsungkan di Laboratorium Bakteriologi Pegangsaan yang dihadiri pula oleh Kelompok
Menteng 31, disitu diputuskan untuk mengirim suatu delegasi yang dipimpin Wikana untuk menjumpai Soekarno malam itu juga agar mendesak membuat
Proklamasi, namun Soekarno menolak dan menimbulkan ketegangan dan suasana emosional, mereka menyatakan Soekarno telah gagal menjadi Bapak, akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah apabila tidak mau mengumumkan
pernyataan itu.
Penghinaan pribadi terhadap Wikana telah menimbulkan jarak yang
semakin dalam antara Golongan Tua dan Muda dan sebagai tantangan bersama. Atas prakarsa Sukarni, penculikan terhadap Soekarno-Hatta terjadi, kira-kira pukul 04. pagi dini hari 16-08-45. Soekarno-Hatta dilarikan ke Rengasdengklok,
pimpinan Peta Rengkasdengklok Sudanco Umar Bachsan (beliau adalah salah seorang pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat –LEKRA-). Disana terjadi desakan
untuk memproklamasikan kemerdekaan yang akhirnya menimbulkan perdebatan antara pemuda dan Soekarno-Hatta. Akhir dari perdebatan itu hanya kebuntuan.
Akhirnya Soekarno-Hatta dikembalikan ke Jakarta oleh para pemuda.
Pada 8 Juni 1950, bergabung pula Badan Kongres Mahasiswa Indonesia (BKMI), Federasi dari 5 organisasi mahasiswa lokal yang berada dibawah
pendudukan Belanda pada masa perang kemerdekaan seperti Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Bandung (PMIB) yang kemudian berkembang menjadi
Perhimbunan Mahasiswa Bandung (PMB) dan Ikatan Mahasiswa Bandung (IMABA), Perhimpunan Mahasiswa Surabaya (PMS) yang kemudian berubah menjadi Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS), Perhimpunan Mahasiswa Bogor
(PMS) kemudian menjadi Masyarakat Mahasiswa Bogor (MMB), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Jakarta (PMIJ) kemudian menjadi Gerakan Mahasiswa
Djakarta (GMD), Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA), serta Perhimpunan Mahasiswa Makasar.
C. Gerakan Mahasiswa Bandung 1966
Indonesia memasuki fase ketiga setelah kemerdekaan. Fase dimana
pemerintahan Orde Lama tidak dapat meningkatkan ekonomi Indonesia sehingga kemiskinan semakn parah. Jatuh bangun kabinet dalam pemerintahan menyebabkan kinerja tidak stabil ditambah kehadiran ideologi lain dalam
Kemunculan kembali aliran Sayap Kiri faham ideologi komunis ditubuh partai komunis terbesar di Asia Tenggara yaitu PKI. PKI yang dulu sempat ditumpas
kesatuan Siliwangi tumbuh lagi menjadi lebih subur dari sebelumnya. Mereka sekarang telah mempergunakanstrategi baru untuk mendekati pemerintahan lewat
kedekatannya dengan Presiden pertama Indonesia.
Memasuki 1966 pemuda Indonesia melakukan manifestasi politik menurunkan Orde lama karena dianggap tidak mampu menyelesaikan persolaan
PKI dan ekonomi negara. Mahasiswa telah mengerti peran mereka sebagai “agent of change”. Deputi Menteri Perguruan Tinggi, Mashoeri juru bicara angkatan ‟66
bahkan meminta Mahasiswa Indonesia membantu mengumandangkan suara baru. Mulai dari situ dipelopori pembentukan kesatuan aksi pemuda Mahasiswa dan Pelajar seperti KAPPI, KAMI ,KAPI, KABI (Buruh), KASI (Sarjana), KAWI
(wanita) dan KAGI (Guru). Kesatuan itu menyatukan pendapat dalam Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat (TRITURA) pada 12 Januari 1966. TRITURA
inilah yang menyebabkan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.
Di Bandung Mahasiswa Indonesia mendapatkan dukungan dari Dharsono. Dharsono bahkan dipandang sebagai “radikal Orde Baru” karena mendorong agar
Mahasiswa Indonesia untuk tidak segan mengkritik Orde Lama dengan mempergunakan fungsi sosial kontrol masyarakat sebaik-baiknya (Francois, 1985:
40). Kedekatan Dharsono dengan Mahasiswa telah tercipta sejak munculnya sikap patnership melawan Orde Lama. Dharsono percaya akan pentingnya mahasiswa dalam pergerakkan di Indonesia. Sama pentingnya seperti yang Dharsono dan
adalah sebagai penggerak fungsi sosial kontrol masyarakat berbeda prinsip dengan kebanyakan tentara lainnya yang lebih mengutamakan unsur militer saja. Pada
1966 ini Angkatan Baru mengemban “tugas suci” yaitu menyelamatkan Indonesia dari, dekadensi dan krisis‟ (Francois, 1985: 42).
Pasca kejadian G30S muncul tokoh utama Orde Baru yaitu Soeharto yang mendapat tugas menangkap seluruh petinggi PKI serta memulihkan keadaan, tugas itu membuat popularitasnya naik. Belum lagi dukung kesatuan aksi seperti
KAMI, KAPPI, KASI dan lain sebagainya terhadap Orde Baru. Hubungan patnership ini digunakan demi membuat kekuatan Soekarno menjadi lemah.
Dukungan PKI telah dihancurkan sehingga Soekarno berupaya mencari dukungan lewat “Barisan Soekarno”. Seruan Barisan Soekarno menyebabkan kemunculan sekelompok orang di berbagai daerah khususnya Jawa Barat yang mengaku
sebagai barisan Soekarno. Kehadiran Barisan Soekarno membuat jurang perpecahan diantara golongan pendukung Orde Baru dan pendukung Orde lama
semakin melebar. Pada 9 Februari 1966 Lembaga pembinaan kesatuan Bangsa wilayah Jawa Barat menyatakan kesetiaan rakyat Jawa Barat terhadap Bung Karno adalah dalam pengertian pengamalan dan pengamanan Pancasila. Demi
menyelesaikan Revolusi Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur materil spiritual, masyarakat sosialisme Indonesia. Dikeluarkan surat dari PEPELRADA
Jawa Barat mengenai pelarangan membentuk Barisan Soekarno (Tim sejarah militer Kodam, 1968: 415). Jawa Barat mengenai pelarangan membentuk Barisan Soekarno (Tim sejarah militer Kodam, 1968: 415).
Ketua MPRS men–sahkan Surat Perintah 11 Maret 1966 sebagai surat perlimpahan wewenang Soekarno kepada Soeharto dalam pemerintahan. Surat
perintah 11 Maret 1966 oleh Soekarno sebenarnya dikeluarkan untuk menumpas PKI namun, digunakan Soeharto untuk menduduki jabatan kepresidenan.
Banyaknya petinggi militer yang telah diganti menjadi orang-orang Orde Baru membuat Soekarno terpojok. Mereka yang setia pada Soekarno didalam jajaran TNI diganti oleh orang-orang yang loyal pada Orde Baru. Hal ini terjadi di
Bandung dimana Pangdam Siliwangi ke 8 Ibrahim Adjie yang sebenarnya seorang anti-Komunisme tapi karena dianggap terlalu dekat dengan Soekarno
maka dimutasi oleh Soeharto (Francois, 1985: 40) Digantikanlah Ibrahim Adjie dengan Dharsono sebagai Pangdam Siliwangi ke 9 pada 20 Juli 1966. Serah terima tersebut langsung dilakukan Soeharto sebagai Panglima tertinggi TNI
Foto 1.1
Serah terima Panglima Siliwangi ke 8 Mayor Jenderal TNI Ibrahim Adjie, kepada Panglima Siliwangi ke 9, Mayor Jenderal TNI Hartono Rekso
Dharsono pada tanggal 20 Juli 1966.
Keadaan di Bandung semakin kacau semejak masa yang terdiri dari Mahasiswa/Pelajar KAMI dan kesatuan aksi lainnya kecewa pada Soekarno
turun ke jalan melancarkan aksi menyongsong hari kemerdekaan 17 Agustus. Pada 15 Agustus 1966 mereka turun ke jalan untuk berpawai (Kompas, 22 Agustus 1966: 2&3). Pawai yang disebut sebagai Pawai Alegoris menjadi
penyebab awal kericuhan kedua golongan pro-Soekarno dan pro-Orde Baru. Hal ini karena di dalam Pawai, massa anti–Soekarno menampilkan anekdot Soekarno
“Pecinta wanita” lewat sebuah patung mirip Soekarno yang dikelilingi sejumlah wanita cantik berkebaya atau berpakaian kimono Jepang. Kendaraan pengangkut patung itu berjalan lambat-lambat dengan ditarik sejumlah manusia kurus kering,
berbaju gembel tanda kelaparan. Patung arak-arakan itu menyinggung perasaan Soekarno dan aparat keamanan sehingga dirampas sejumlah petugas di depan
Gedung MPRS yang lebih dikenal sebagai Gedung Merdeka. Mendapat perlakuan tersebut Mahasiswa mogok menuntut patung dikembalikan hingga beberapa perwira Kodam Siliwangi turun tangan untuk mengembalikan
patung itu. Terlihat besarnya dukungan Kodam Siliwangi dalam membantu usaha mahasiswa menancapkan pengaruh Orde baru di Bandung sebagai pusat
dari Jawa barat. Sejumlah anggota KAPPI yang berpawai bahkan terlihat datang dengan mengendarai kendaraan lapis baja milik kesatuan Siliwangi. Dukungan Siliwangi terhadap aksi mahasiswa tidak terlepas dari keterlibatan Dharsono
Foto 1.2
Panglima Siliwangi ke 9 Hartono Rekso Dharsono dalam membina Orde Baru di Jawa Barat bersama angkatan 66 yang terdiri dari
Mahasiswa/Pelajar.
Sumber: Album Kenangan Kodam VI/Siliwangi 1946-1977
Pada 17 Agustus 1966 dirayakan hari ulang tahun RI ke 21 yang paling kontroversial. Upacara bendera dilaksanakan di Istana Merdeka digunakan
Soekarno untuk membela diri dalam pidatonya yang berjudul “Jangan sekali–kali meninggalkan sejarah” disingkat Jas Merah. Di dalamnya Soekarno mengkritik keputusan MPRS mengenai surat perintah 11 Maret 1966 yang dikeluarkan
sebagai surat pengalihan kekuasaan, tapi hanya pengalihan wewenang demi memelihara keamaan dalam negeri (Francois, 1985: 49). Soekarno menyebut
1966 sebagai tahun yang gawat dengan menunjuk adanya gerakan kaum Revolusioner palsu sebagai penyebabnya. Presiden Soekarno menyebut-nyebut Panji Azimat Revolusi dan mengagungkan persatuan berdasarkan
NASAKOM. Tetapi bagian yang paling „kontroversial‟ ialah ketika Soekarno melontarkan tuduhan terhadap arus penentangan dirinya dan NASAKOM
terutama adalah kesatuan-kesatuan aksi alhasil pidato Jas Merah Soekarno memberikan reaksi besar yang merupakan cikal bakal keributan yang terjadi
pada 19 Agustus 1966 di Bandung (Tim sejarah militer Kodam, 1968: 420). Seusai pidato Soekarno, sekelompok orang melakukan serangan bersenjata api
dan senjata tajam ke Markas KAPPI di Jalan Kebon Jati Bandung. Sore harinya melakukan teror terhadap barisan KAMI dan KAPI yang ikut dalam pawai 17-an. Seluruh kampus di Bandung dijaga ketat oleh barisan tentara pelajar
Mahawarman juga mendapat serangan namun, dapat diatasi.
Keesokan harinya 18 Agustus 1966 terjadi aksi penyobekan dan penurunan potret Soekarno oleh anggota KAMI/ KAPI Bandung yang dipelopori
oleh Sugeng Suryadi. Sugeng Suryadi adalah Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran yang memulai aksi penyobekan gambar Soekarno
sewaktu berlangsung apel masa mahasiswa dan pelajar di markas KAMI Jalan Lembong. Seusai apel mahasiswa bergerak memasuki kantor-kantor di Bandung untuk menjalankan apa yang dianjurkannya. Penurunan dan penyobekan gambar
Soekarno pada 18 Agustus 1966 menjadi gerakan paling terang-terangan untuk pertama kali dilakukan di Indonesia terhadap Soekarno. Kejadian ini
menyebabkan Kelompok pro–Soekarno yang tergabung dalam PNI/Marhaen terpicu kemarahan. Soekarno adalah orang yang harus di hormati sebagai “Bapak Marhaen”.
Peristiwa ini mencapai puncaknya pada 19 Agustus 1966 dimana Markas KAMI/
KAPI konsultan Bandung Jalan Lembong dan kampus Universitas Parahyangan di Jalan
Merdeka didatangi segerombolan massa berjumlah kurang lebih 300 orang. Mereka
ABRI tanpa menimbulkan korban (Kompas, 23 Agustus 1966: 1). Gerombolan yang
mengaku sebagai pengikut Bung Karno bergerak dengan membawa senjata tajam seperti
golok (Kompas, 22 Agustus 1966: 2&3). Mereka merusak markas, menurunkan
bendera-bendera dan papan nama KAMI/KAPI, serta menyerang sejumlah anggota KAMI dan
KAPI yang berada di tempat dengan senjata tajam sehingga menyebabkan beberapa orang
terluka.
Setelah dibubarkan Kodam Siliwangi pukul 10.00, kampus Univeristas
Parahyangan Jalan Merdeka dikepung. Terjadi bentorkan fisik antara mahasiswa yang
berada di tempat dengan gerombolan pengacau. Penyerang tersebut dapat dihalau
mahasiswa sampai ke Jalan Perapatan Merdeka atau Jalan Aceh. Tanpa diduga datang
bantuan dari penyerang dengan menggunakan senjata api. Menembaki mahasiswa dari
jarak 100 meter sebelah utara kampus. Mengakibatkan gugurnya anggota Mahawarman
Julius Usman selaku mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan
yang merupakan anggota KAMI Konsulat Bandung (Kompas, 23 Agustus 1969:
1).
Kesatuan Siliwangi dibawah pimpinan Dharsono bergerak cepat mengamankan keadaan. Dilakukan pengamanan terhadap beberapa perguruan tinggai seperti ITB, Universitas Pasundan, Universitas Padjadjaran (kampus
Dipati Ukur), IKIP5 serta lainnya. Serangan Lengkong Besar dapat di gagalkan dan gerombolan pengacau dihalau mundur. Demikian juga terhadap kampus ITB serangan yang terjadi pada pukul 20.00 malam dapat digagalkan oleh ABRI, gerombolan yang ingin mengacau datang dari arah Bandung Utara (Tim sejarah militer Kodam, 1968: 419)
diketahui Dharsono, ada keterlibatan beberapa perwira tentara Kodim Siliwangi Pro-Soekarno. Sejumlah aktivis mahasiswa di markas KAMI dibawa untuk
diamankan petugas Garnisun Bandung di kantor instansi militer selama beberapa jam. Mereka ditanyai macam-macam seolah-olah para aktivis mahasiswa
tersebut adalah tersangka. Beruntung petang hari, Dharsono mencium gelagat tidak beres yang dilakukan sejumlah perwira bawahannya berdasarkan laporan dari seorang mahasiswa. Sehingga keadaan berbalik, para aktivis kesatuan aksi
dibebaskan dan sejumlah perwira di Garnisun ditangkap.
Dharsono kecewa kepada para Staf Kodim Bandung yang berpihak pada
gerombolan anarkis. Dharsono memutuskan untuk menindak tegas dengan membersihkan Staf Kodim 0618 kota Madya Bandung dan Jon lidam
VI/Siliwangi dari unsur Pro-Soekarno. Pembersihan dilakukan dengan membebaskan beberapa orang perwira menegah dan pertama dari tugas dan jabatannya kemudian menahan dan memeriksa mereka secara intensif
(Kompas, 24 Agustus 1966: 1). Nama perwira yang ditangkap adalah Achmad Santoso selaku Mayor Infanteri dengan jabatan Kasdim 0618 Kota Madya
Bandung, Lily Buchor selaku Mayor Infanteri dengan jabatan Ka Lidam VI/Siliwangi, Sunarto selaku Kapten Infanteri dengan jabatan kepala seksi I Skodim 0619 Kota Madya Bandung dan Oking selaku Kapten Infanteri yang
menjabat sebagai Kepala Seksi 2 Skodim 0618 Kota Madya Bandung (Kompas, 24 Agustus 1966: 1). Mereka ditangkap bersama dengan ditangkapnya ratusan
melakukan pemecatan-pemecatan atas mereka yang terlibat pemberontakan seperti Nunung Satia selaku Ketua III, Jatna Ibing selaku sekretari I dan Atma
Achmad selaku sekretari II. Divisi Siliwangi juga membekukan Gerakan Pemuda Marhaenis Bandung.
Kabar duka akibat peristiwa 19 Agustus 1966 dirasakan keluarga
almarhum Julius Usman. Demi menghormati jasanya pada sabtu 20 Agustus 1966 pukul 14.00 Julius Usman di kebumikan di Taman makam Pahlwan
Cikutra Bandung dengan upacara militer. Pemakaman dilakukan di Taman Pahlawan atas keputusan Dharsono yang mengangkat Julius Usman menjadi pahlawan AMPERA. Dharsono selaku Pangdam Siliwangi menyampaikan
sambutan tertulisnya yang dibacarakan inspektur Upacara, Himawan Soetanto yang saat itu menjabat sebagai letnan Kolonel (Tim sejarah militer Kodam,
1968: 422). Pemakaman di Taman Makam Pahlawan Cikutra diberikan kepada Julius Usman bukan karena berstatus tentara namun, sebagai wujud penghormatan kepada anggota Resimen Mahawarman. Julius Usman gugur
dalam melaksanakan tugasnya sebagai tentara pelajar Bandung angkatan 66. Resimen Mahawarman secara langsung berada dibawah binaan KODAM
VI/Siliwang (Tim sejarah militer Kodam, 1968: 423). Penghargaan pada Julius Usman dilihat Dharsono sebagai bentuk perjuangan Mahasiswa dalam membela Orde Baru. Bukti pengorbanan Angkatan 66 sebagai salah satu komponen Orde
Baru. Dharsono meyakini Corps Siliwangi dan Angkatan 66 merupakan Co-Partnership dalam perjuangan menyusun Orde Baru (Tim sejarah militer
Kekuasaan Soeharto masih belum kuat dalam pemerintahan maka sikap hati-hati mengenai langkah yang akan di ambil sedang di jalankan. Berdirinya
Orde Baru membuat hubungan KAMI dan militer Rerformis kesatuan Siliwangi pimpinan Dharsono harus mengambil langkah yang tepat dalam hubungan yang
sempat terikat kuat karena tujuan yang sama. KAMI memiliki sikap antara mendukung dan mengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru yang baru berdiri. Pentingnya militer Orde Baru mengambil sikap dalam menghadapi sikap labil
KAMI. Hal ini yang diambil Dharsono untuk tetap bersikap Patnership. Runtuhnya Orde Lama menjadikan hubungan Patnership kedua kubu militer
dan mahasiswa menjadi berkurang. Dharsono menyadari hal itu sehingga Dharsono melakukan pendekatan dengan tetap bersikap Patnership. Terutama ditegaskan dengan isi pidatonya pada sidang Dewan Pleno Badan Pembinaan
Corps Karyawan TNI kodam Siliwangi pada 2 Mei 1967.
“... Siliwangi berada didalam slagorde Orde Baru dengan mengadakan Patnership terutama sebagai modal yang pertama daripada kekuatan Orde Baru ialah dengan Angkatan 66 khususnya yang di wakili oleh kesatuan kesatuan Aksi baik Mahasiswa, Pelajar maupun kesatuan Aksi lainnya...
... Kekuatan yang ada, mungkin sepintas lalu didasarkan sebagai suatu situasi yang stabil, akan tetapi sebenarnya imbangan masyarakat dan wadah kehidupan sosial ekonomi. Usaha pembersihan Barisan
Soekarno ke tampuk kepemimpinan masih terus dilakukan beberapa kelompok Barisan Soekarno. Pada September 1967. Siliwangi berhasil menangkap
“Gurame” dan “Kancra Gede” yang merupakan oknum-oknum yang berusaha mengembalikan Orde Lama. Penangkapan kelompok Soekarno ini terjadi di
daerah Priangan Timur. “Gurame” yang merupakan panggilan dari A. Pandi alias Sukhro yang pernah menjadi pemimpin kader SOBSI Pusat merangkap pembelaan SOBSI Rangkasbitung, Banten (Tim sejarah militer
Kodam, 1968: 426). SOBSI sendiri dicurigai sebagai underbow partai PKI karena banyaknya pejabat SOBSI termasuk Anggota PKI. Pada awalnya A.Pandi
berhasil meloloskan diri dari kejaran Siliwangi namun, akhirnya berhasil ditangkap di Pasar Tasikmalaya (Tim sejarah militer Kodam, 1968: 426). “Kancra Gede” merupakan julukan Karim bekas pimpinan Biro Daerah IV/Biro
Khusus PKI-bayangan yang mempunyai hubungan langsung dengan Syam seorang gembong PKI yang telah dijatuhi hukuman mati. Sebenarnya Biro
Khusus PKI-bayangan telah berhasil membuat grup yang terdiri dari 5 orang anggotanya sebanyak 80% terdiri dari anggota PNI-Asu. Daerah yang mereka garap adalah Ciamis Selatan ke Tasikmalaya sampai Garut. Bersama
dengan gembong PKI lainya telah diciduk sekitar 184 orang (Tim sejarah militer Kodam, 1968: 426). Operasi demi operasi terus dilaksanakan untuk
memperjuangkan Orde Baru di tanah Priangan. Dharsono selalu melantangkan kesiapan tempur Siliwangi dalam menebas akar-akar PKI dan Orde Lama. Hal ini guna memberikan peringatan kepada mereka yang mencoba mengadakan
serta dalam membangun Orde Baru.
Banyak cara yang dilakukan Dharsono untuk dapat dekat dengan rakyat
Jawa Barat dengan sukarela Dharsono mau ikut mendengar langsung keluhan yang terjadi dalam masyarakat. Disela kesibukannya sebagai Pangdam Siliwangi, Dharsono menyempatkan diri berkomunikasi langsung dengan
masyarakat Jawa Barat tanpa mengungkapkan identitasnya. Hal ini dilakukan sebagai penyiar radio salah satu radio bentukan mahasiswa Bandung.
Meleburkan diri menjadi penyiar biasa demi mendengarkan aspirasi masyarakat Bandung. Dharsono menggunakan nama samaran “Bang kalong” yang dalam bahasa Indonesia “abang” merupakan sebutan untuk memangil seorang laki-laki
yang lebih tua dan “kalong” sebutan untuk menyebut kelelawar karena dirinya selalu datang di malam hari. Dharsono tampil sebagai sosok yang unik, terbuka
dalam membicarkan masalah sosial, mendengarkan komplain masyarakat dan menghibur masyarakat Bandung lewat lagu-lagu kesukaannya. Kedekatan Dharsono dengan masyarakat inilah yang tidak disuka Pemerintah
Soeharto maka Dharsono dipindah tugaskan menjadi duta besar RI yang bekerja di luar negeri jauh dari negaranya.
D. Gerakan Mahasiswa Bandung 1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan
koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
1. Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama pada masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
2. Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di
lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut
gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes
terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap
proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik,
berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di
Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa
Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
E. Gerakan Mahasiswa Bandung 1977-1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi
protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa
baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap
mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer
atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978
lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal
Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas secara nasional meliputi kampus-kampus di kota
Surabaya, Medan, Bogor, Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang. Pada 28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB.
Mereka berikrar satu suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tentram.
Sejak awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa
mengaku pemberontak negara. Tentara pun tidak sungkan lagi masuk kampus. Berikutnya, ITB kedatangan pria loreng bersenjata. Rumah rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal.
F. Gerakan Mahasiswa Bandung 1985
Gerakan pada era ini tidak popular, karena lebih terfokus pada perguruan
tinggi besar saja. Puncaknya tahun 1985 ketika Mendagri (Menteri Dalam Negeri) Saat itu Rudini berkunjung ke ITB. Kedatangan Mendagri disambut dengan Demo Mahasiswa dan terjadi peristiwa pelemparan terhadap Mendagri. Buntutnya
Pelaku pelemparan yaitu Jumhur Hidayat terkena sanksi DO (Droup Out) oleh pihak ITB.
G. Gerakan Mahasiswa Bandung 1998
situasi tersebut akan membuat bangsa ini terpuruk dalam kubangan krisis ekonomi dan politik yang akut. Meski ketika itu banyak pengamat ekonomi melihat bahwa
situasi tersebut hanyalah bagian dari efek kejut saja bagi Indonesia, yang ketika itu menjadi salah satu Macan Asia, karena pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
yang mantap versi Majalah Far East Economic Review (FEER). Akan tetapi pembacaan situasi dan analisis yang dilakukan oleh mahasiswa Bandung ternyata lebih mengarah kepada kebenaran, perlahan tapi pasti perekonomian Indonesia
memasuki fase krisis. Hal ini ditandai dengan melemahnya nilai tukar Rupiah dari mata uang asing lainnya, khususnya Dollar Amerika Serikat. Beberapa universitas
yang memiliki tradisi pergerakan mahasiswa di Bandung telah mulai mengeliat, selain Universitas Padjadjaran, dan ITB, ada juga Universitas Parahyangan (Unpar), Universitas Islam Bandung (Unisba), IAIN Bandung, dan Universitas
Pasundan (Unpas), juga beberapa kampus yang selama ini tradisi pergerakannya kurang mengakar. Meski begitu, baru beberapa kampus saja yang sepakat dengan
berbagai tuntutan yang mengarah kepada pergantian kepemimpinan nasional. Ketika itu baru Unpad yang menyuarakan agar pergantian kepemimpinan nasional merupakan solusi bagi krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat.
Secara harfiah pergerakan mahasiswa di Bandung pada tahun 1998 terbagi dalam empat kelompok, yakni: Pertama, kelompok mahasiswa yang tergabung
dalam organisasi ”Cipayung”, seperti HMI, PMII, GMKI, PMKRI, dan lain sebagainya. Kelompok ini relatif tidak muncul sebagai salah satu kelompok yang secara sistematis melakukan tutntutan dan mengorganisasi mahasiswa di internal
mahasiswa lain yang ada di Bandung, meski tuntutannya sama. Namun begitu, menjelang kejatuhan Soeharto, kelompok ini akhirnya juga mengorganisir massa
mahasiswa di kampus, dan berinteraksi secara ekstrim dengan berbagai elemen mahasiswa, baik yang intra kampus, maupun elemen mahasiswa pro demokrasi.
Kedua, kelompok mahasiswa internal kampus. Kelompok ini banyak melakukan aktivitas di kampus, namun tidak cukup mengikat mahasiswa lainnya
untuk terlibat. Hal ini disebabkan karena kelambanan dan tuntutan yang dikumandangkan bersifat formalitas. Tak heran, mengingat kelompok mahasiswa
ini cenderung terbelenggu oleh birokrasi kampus. Kecenderungan situasi tersebut membuat para penggiat di bawahnya membangun oposisi terhadap organisasi yang ada di atasnya. Sekedar contoh misalnya kelahiran Forum Lembaga
Mahasiswa Universitas Padjadjaran (FLMUP) yang merupakan antitesis dari kelambanan Senat Mahasiswa Unpad (SMUP) dalam merespon setiap
perkembangan yang ada di mahasiswa dan masyarakat.
Ketiga, kelompok mahasiswa eksternal non-Cipayung. Keberadaan kelompok ini sejatinya merupakan bagian dari upaya meradikalisasi kampus agar
lebih berpihak ke masyarakat. Perlu juga diketahui, banyak dari aktivis dari kelompok ini melakukan advokasi, pengorganisasian, dan pendidikan politik
masyarakat, khususnya petani dan buruh, yang ada di sekitar Bandung, dan Jawa Barat. Di Unpad misalnya ada Keluarga Aktivis Universitas Padjadjaran (KA Unpad), di Unisba ada Forum Aktivis Mahasiswa Unisba (FAMU), di Unpas ada
(UPI) ada Serikat Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR). Sementara organisasi di tingkat Bandung ada Front Indonesia Muda Bandung (FIM-B), Solidaritas
Pemuda dan Mahasiswa Bandung (SPMB), Komite Pemuda dan Mahasiswa Bandung (KPMB), dan Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung (FKMB). Harus
diakui, meski dua kelompok di atas memiliki basis dan organisasi yang lebih kuat dan mapan, namun upaya radikalisasi kampus banyak dilakukan oleh kelompok mahasiswa ini. Bahkan langkah taktis dan strategis juga secara mapan dilakukan
untuk mendorong agar unjuk rasa mahasiswa menyentuh isu-isu kerakyatan dan lebih membasis di tingkat rakyat.
Sedangkan kelompok keempat adalah kelompok mahasiswa yang cenderung memiliki basis ideologi seperti Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang merupakan organisasi payung dari Partai Rakyat
Demokratik (PRD) yang ketika itu dilarang, serta Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), yang membangun basisnya di Lembaga Dakwah
Kampus (LDK). Akan tetapi selama kurun waktu antara September 1997 hingga kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, dua elemen mahasiswa tersebut tidak cukup signifikan memiliki andil dalam pengorganisasian mahasiswa menumbangkan
Rejim Orde Baru di Bandung.
Bersatu Karena Isu
Satu penyakit yang mengakar kuat sejak Angkatan ’66 di Bandung adalah
konteks pengorganisasian elemen mahasiswa untuk menyatukan barisan sebagai respon dari krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997 juga berujung pada
ketidaksamaan dalam merumuskan agenda aksi bersama. Ada kecurigaan antara elemen mahasiswa satu dengan yang lain, baik masalah membangun eksistensi
kampus-kampus, maupun ideologi mahasiswa. Sebagaimana diketahui, dua kampus besar yang dianggap memiliki tradisi pergerakan mahasiswa; Unpad dan ITB dicurigai memiliki ambisi mengukuhkan eksistensi kampusnya dalam
pergerakan mahasiswa di Bandung, bahkan ketika berbagai usulan agenda aksi yang diusung oleh kedua kampus tersebut dimentahkan dan dipatahkan. Sehingga
terlepas pembagian kelompok mahasiswa di atas, muncul juga poros kampus yang makin membuat kompleks gerakan mahasiswa di Bandung. Poros pertama, adalah poros kampus besar, dan memiliki tradisi pergerakan mahasiswa yang mengakar
seperti Unpad dan ITB. Sedangkan poros kedua adalah beberapa kampus swasta yang menggalang dan mengorganisasi kampusnya dan sedapat mungkin untuk
menghindari beraliansi dengan Unpad ataupun ITB.
Akan tetapi hal tersebut hanya berlangsung beberapa saat saja. Situasi dan kondisi yang memaksa aliansi dan koalisi yang lebih ketat dan kokoh bagi
perjuangan untuk menuntut Reformasi di segala bidang, dan berujung pada pergantian kepemimpinan nasional. Yang patut ditegaskan di sini adalah, bahwa
gerakan dengan memakai almamater kampus khususnya di Bandung baru terjadi pada awal Januari 1998. sebelumnya, unjuk rasa dan demonstrasi dilakukan dengan memakai bendera masing-masing elemen, baik dari organisasi Cipayung,
KPMB, dan lain-lainnya. Sementara organisasi kampus seperti Senat Mahasiswa sendiri lebih banyak terkungkung oleh aturan dan ketakutan sebagian besar karena
adanya ancaman sanksi dan skorsing dari birokrat kampus.
Serangkaian pertemuan antar elemen mahasiswa dari berbagai kampus
maupun organisasi ekstra kampus lainnya merumuskan satu agenda aksi bersama di tiap kampus, dengan bendera di tingkat Bandungnya bernama ’Mahasiswa Bandung’. Yang menarik dari kondisi ini adalah bahwa rangkaian unjuk rasa yang
dilakukan secara bergilir dari kampus ke kampus mampu meningkatkan solidaritas antar mahasiswa dan kampus. Jadwal unjuk rasa yang terorganisir di
Bandung dengan nama ’Mahasiswa Bandung’ dari Senin hingga Jum’at membuka ruang bagi kampus-kampus yang tidak memiliki tradisi pergerakan mahasiswa ikut dalam unjuk rasa menuntut ’Reformasi Ekonomi Politik Sekarang’, serta
’Ganti Kepemimpinan Nasional’. Hari Senin unjuk rasa di lakukan di IKIP/UPI Bandung dan Unpas Setiabudhi, hari Selasa unjuk rasa dilakukan di Unpas Taman
Sari dan Unpas Lengkong, dan Unisba. Sementara hari Rabu unjuk rasa dilakukan di ITB dan Unpad Dipati Ukur, sedangkan unjuk rasa di Unpad Jatinangor, Universitas Winaya Mukti, Ikopin dilakukan pada hari Kamis. Pada hari Jum’at
demonstrasi dilakukan di IAIN Bandung, Uninus, STSI, STISI, dan STT Mandala. Akan tetapi, perlu juga digarisbawahi, meski jadwal unjuk rasa dan
demotrasi telah dibuat, namun bukan berarti di luar hari yang telah disepakati masing-masing kampus tidak melakukan unjuk rasa di kampusnya. Justru langkah untuk menjadwalkan hari-hari demonstrasi di Bandung agar stamina mahasiswa
pembesaran massa dan solidaritas mahasiswa, dan masyarakat untuk menyuarakan tuntutan reformasi di bidang ekonomi dan politik, di mana salah satu tuntutan agar
Soeharto mundur sebagai Presiden. Dari berbagai unjuk rasa ini juga terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan, baik Polri maupun TNI.
Alhasil, dorongan agar gerakan menuntut reformasi berlangsung secara simultan, dan mengundang simpati dari masyarakat luas dapat terjadi.
’Mahasiswa Bandung’ yang merupakan aliansi berbagai kampus di
Bandung tersebut pada akhirnya terbelah menjadi tiga menjelang Sidang MPR pada Maret 1998, yakni; Blok mahasiswa Bandung Utara yang dipimpin oleh
ITB, Maranatha, dan UPI. Blok mahasiswa Bandung Selatan yang dipimpin oleh Unpad, IAIN, Uninus, dan Ikopin. Sedangkan blok yang ketiga adalah kumpulan kampus-kampus swasta yang tidak mau dipimpin oleh ITB ataupun Unpad.
Pangkal perpecahan ’Mahasiswa Bandung’ adalah pembacaan yang berbeda terhadap pelaksanaan Sidang MPR 1998 yang akan memilih kembali Soeharto
menjadi Presiden. Pembacaan yang tidak sama ini juga makin mengentalkan tuntutan dari sekedar ganti kepemimpinan nasional menjadi adili dan turunkan Soeharto. Mandat baru yang diterima Soeharto dari MPR ini telah membuat
mahasiswa makin meradang, sehingga ketika ada sebagian kampus yang masih mengemukakan tuntutan normatif, maka harus ditinggalkan. Kondisi inilah yang
kemudian mendorong kampus-kampus di Bandung makin memperkuat basisnya di kampus. Efek positif yang menarik adalah mulai kewalahannya aparat keamanan untuk mencegah mahasiswa keluar dari kampus. Sekedar gambaran
Unpad, ITB, dan Unisba membuat unjuk rasa sudah keluar dari kampus dan mengambil titik di Lapangan Gasibu. Meski tidak sampai di Gasibu, namun
dengan unjuk rasa di luar kampus sudah mampu membangun simpati dan solidaritas mahasiswa dan masyarakat. Dan dapat dikatakan bahwa dengan
berbagai upaya mahasiswa untuk keluar kampus dan menyuarakan, serta bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan yang terjadi di berbagai kampus di Bandung makin memperkuat keinginan masyarakat untuk bersimpati
dan terlibat secara penuh dalam unjuk rasa dan demonstrasi mahasiswa di Bandung.
Menariknya, dalam berbagai unjuk rasa, meski masih mengedepankan eksistensi kampus masing-masing. Namun upaya untuk mengintegrasikan agar gerakan dapat lebih sinergis dan efektif dalam langkah yang sama juga menjadi
wacana yang berkembang di elemen mahasiswa dari berbagai kampus. Satu hal yang juga dibenahi adalah pembangunan komunikasi dan koordinasi antar elemen
yang berbeda di masing-masing kampus. Di Unpad, terjadi integrasi politik taktis antara Senat Mahasiswa Unpad, FLM Unpad, Komite Aksi Mahasiswa Unpad, serta Keluarga Aktivis Unpad dengan mengusung satu nama, yakni: Keluarga
Besar Unpad (KB Unpad). Sedangkan di ITB misalnya ada sinergisitas antara Forum Komunikasi Himpunan Jurusan (FKHJ) dengan Pusat Studi Ilmu
Kemasyarakatan (PSIK), serta elemen mahasiswa lainnya untuk membawa nama satu ITB. Hal yang sama juga terjadi di berbagai kampus yang ada di Bandung.
Pertengahan bulan April 1998, terjadi integrasi lintas kampus dengan nama
Bandung. FMB ini memiliki satu tujuan untuk mengusung isu Reformasi Ekonomi dan Politik sekarang Juga, serta menjatuhkan Soeharto dan Rejim Orde
Baru-nya. Secara prinsip, FMB ini telah menjadi super body bagi konsolidasi gerakan mahasiswa di Bandung. FMB juga mengintegrasikan semua kekuatan
elemen pergerakan mahasiswa yang pro reformasi dan anti Orde Baru. Tercatat lebih dari 60 kampus, baik universitas, institut, sekolah tinggi, akademi, hingga sekolah-sekolah tinggi kejuruan seperti NHI, Sekolah Tinggi Penerbangan,
maupun STPDN tergabung dalam aliansi gerakan mahasiswa yang mengorganisir unjuk rasa dan tuntutan mahasiswa Bandung.
Di bulan April 1998 ini juga intensitas unjuk rasa dan perkembangan isu telah marak dan berkembang mengarah kepada kepemimpinan Soeharto yang menjadi sumber dari krisis yang melanda Indonesia. Bahkan hampir tiap hari
terjadi unjuk rasa dan bentrokan yang estimasi massanya tidak sekedar ratusan, tapi telah mencapai ribuan. Di Jatinangor, Kawasan Pendidikan di Timur
Bandung, pengorganisasian massa aksi telah melumpuhkan Jalan Negara yang menghubungkan antara Bandung dengan kota-kota lainnya di bagian timur Jawa Barat, maupun Pulau Jawa. Pelibatan massa yang besar telah juga menegaskan
bahwa tuntutan reformasi telah benar-benar disambut dan didukung oleh masyarakat secara luas. Bahkan pembentukan Pos Koordinasi di tiap kampus telah
FMB menjadi satu organisasi gurita dengan anggota hampir semua kampus di Bandung, memasuki bulan Mei 1998, anggota FMB lebih dari 70
kampus. Bahkan keanggotaan FMB juga berasal dari Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan lain sebagainya. Karena besarnya anggota FMB ini pula maka
dibutuhkan Posko gabungan bagi elemen-elemen dan kampus untuk dapat berkoordinasi. Melalui berbagai perdebatan yang serius, Posko gabungan akhirnya ditentukan di Unpad, dengan perhitungan karena dekat dengan kantor
Gubernuran, kantor DPRD Jawa Barat, dan Lapangan Gasibu. Selain alasan tersebut, Unpad juga dilalui jalan di tengah kota, sehingga mudah bagi masyarakat
dan elemen lainnya untuk merapat dan berkoordinasi.
Ketika terjadi Tragedi Trisakti, dan kerusuhan yang melanda Jakarta, dan beberapa kota-kota besar lainnya, praktis Posko Gabungan di Unpad juga
menjelma menjadi dapur umum, bagi mahasiswa Bandung yang berunjuk rasa di Lapangan Gasibu, dan kantor DPRD serta Gubernuran Jawa Barat. Dapur umum
tersebut digawangi oleh mahasiswa sekolah pariwisata dan perhotelan seperti Sekolah Tinggi Pariwisata (NHI) yang bahu-membahu untuk memenuhi logistik ratusan satuan tugas gabungan, dan dahaga sekitar seratus ribuan massa yang
tumpah di Lapangan Gasibu, dan pelataran DPRD serta Gubernuran Jawa Barat antara tanggal 14 hingga 21 Mei 1998.
Di tengah upaya untuk makin memperbesar massa yang terlibat dalam mengusung tiga isu penting:Turunkan Soeharto, Turunkan Harga, dan Reformasi Ekonomi-Politik terjadi perbedaan yang mengemuka dalam tubuh FMB. Setelah
lamban. Sehingga ada langkah-langkah taktis-politis dilakukan oleh beberapa kampus untuk menyempal membangun organisasi yang terbebas dari pengaruh
presidium FMB. Hal ini makin kentara ketika ratusan ribu massa terbelah ke dalam dua panggung yang sama-sama mengatasnamakan mahasiswa Bandung;
panggung yang dibuat di tengah Lapangan Gasibu, yang dimotori oleh ITB, Maranatha, UPI, dan kampus-kampus gurem lainnya. Sementara panggung kedua berada di depan Gedung DPRD dan Gubernuran Jawa Barat, yang dimotori oleh
Unpad, Unpar, Unpas, Unisba, IAIN, dan kampus-kampus lainnya. Ada empat alasan mengapa pembelahan massa di lapangan tersebut terjadi. Pertama, ada
asumsi bahwa FMB dikuasai dan didominasi oleh jaringan kampus yang secara tradisional dekat dengan Unpad. Kedua, kelambanan presidium FMB merespon dan melakukan berbagai manuver politik di lapangan dan antisipasi lainnya.
Kelambanan ini dapat dimaklumi mengingat setiap keputusan harus disetujui oleh minimal tiga perempat anggota presidium. Ketiga, adanya tradisi rivalitas yang
dipelihara antara Unpad dan ITB. Sehingga ada upaya untuk saling membangun eksistensi, dan tidak mau dipimpin oleh satu di antara kedua kampus tersebut. Dan keempat, kreativitas lapangan yang mengarah kepada kemunculan figur-figur
aktivis mahasiswa yang selama ini tertahan dalam antrian untuk melakukan orasi di depan Gedung DPRD Jawa Barat.
Disadari oleh masing-masing tokoh pergerakan mahasiswa apabila perbedaan tersebut dimunculkan ketika semangat berkobar akan memecah konsentrasi massa dalam menuntut isu-isu reformasi. Sehingga, sampai pada
waktu. Setelah Soeharto mundur dari kursi kepresidenan, barulah persoalan-persoalan tersebut mengemuka dan menjadi titik pijak bagi kampus-kampus yang
tergabung dalam FMB untuk menarik diri. Isu yang tidak sedap seputar pemanfaatan dana masyarakat oleh oknum mahasiswa menjadi dagangan politik
untuk menghancurkan aliansi taktis-strategis tersebut. Kuda-kuda FMB pun akhirnya goyah, dan rapuh. FMB menjadi salah satu organisasi taktis yang mampu mengkoordinasikan satu demonstrasi dengan jumlah massa puluhan
hingga ratusan ribu, dan hancur bersama jatuhnya Soeharto dan Rezim Orde Baru. Gerakan mahasiswa Bandung pasca kejatuhan Soeharto kembali pada
basis masing-masing kampus dan organisasi. Bukan itu saja efektivitas dan kepemimpinan mahasiswa Bandung dalam pergerakan mahasiswa melamban, dan akhirnya setiap langkah yang diambil oleh segenap elemen mahasiswa di
Bandung lebih menonjolkan eksistensi organisasi dan kampus masing-masing, tanpa memperhatikan esensi dan pentingnya mengedepankan mahasiswa Bandung
secara utuh dalam pentas pergerakan mahasiswa nasional. Bahkan gerakan mahasiswa Bandung telah bergumul untuk menegakkan benang kusut; eksistensi mahasiswa Bandung di pentas nasional, sebagai sebuah tradisi yang menjadi